Вы находитесь на странице: 1из 34

SISTEM NEUROLOGI

KONSEP DASAR CIDERA KEPALA

D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
KELOMPOK II

1. Efendi Putra Hulu


2. Iin Evening
3. Ramaya Pinte
4. Wahyuni
5. Yesi Indrayanti Marbun

Dosen Pengajar : Elida Sinuraya M.Kep

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
2018
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Tujuan ................................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Defenisi ............................................................................................................... 2
2.2 Mahasiswa mampu mengetahui defenisi cedera kepala
2.3 Mahasiswa mampu melakukan pengkajian riwayat keluhan, riwayat penyakit
2.4 Mahasiswa mampu pemeriksaan fisik system neurologi
2.5 Mahasiswa mampu mengetahui penatalaksaanaan pada fase emergency
2.6 Mahasiswa mampu mengetahui pemeriksaan diagnostic: masalah
keperawatan prioritas
2.7 Mahasiswa mampu mengetahui tindakan keperawatan mandiri, kolaborasi,
terapy farmakologis, health edukasi
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 24
3.2 Saran ................................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kesehatan pada penulis, dan atas berkat rahmat dan karuniaNya sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Konsep Dasar Cidera Kepala ”.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu syarat untuk memenuhi tugas
Sistem Neurologi I. Makalah ini dapat diselesaikan berkat bantuan pihak terkait. Oleh karena
itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang membantu
baik secara moral maupun material, terutama kepada :
1. Dr. Ivan Elisabeth Purba, M.Kes, selaku Rektor Universitas Sari Mutiara Indonesia
2. Taruli Yohana Sinaga, M.KM, selaku Dekan Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan
Universitas Sari Mutiara Indonesia
3. Ns. Rinco Siregar, S.Kep, MNS, selaku ketua Program Studi Ners Fakultas Farmasi
dan Ilmu Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia
4. Ns. Amila M.Kep, Sp.KMB Selaku Dosen pengajar Sistem Neurologi II
5. Ns. Elida Sinuraya, M.Kep Selaku Dosen pengajar Sistem Neurologi II
6. Seluruh Dosen Program Studi Ners Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Universitas
Sari Mutiara Indonesia
7. Seluruh staff Program Studi Ners Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Universitas
Sari Mutiara Indonesia.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, dengan demikian
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam rangka
penyempurnaan makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi seluruh pihak, akhir kata
penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 05 Oktober 2018

Kelompok 2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cidera kepala merupakan trauma yang terjadi pada otak yang disebabkan kekuatan atau
tenaga dari luar yang menimbulkan berkurang atau berubahnya kesedaran, kemampuan
kognitf, kemampuan fisik, perilaku, ataupun kemampuan emosi (Ignatavicius, 2009).

Jadi kesimpulannya cidera kepala adalah trauma yang mengenai otak yang terjadi secara
langsung atau tidak langsung atau efek sekunder yang menyebabkan atau berpengaruh
berubahnya fungsi neurologis, kesadaran, kognitif, perilaku, dan emosi.

Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil, dengan cara kepala miring, buka
mulut, immobilisasi, cegah gerakan hiperekstensi, hiperfleksi ataupun rotasi. Semua
penderita cedera kepala yang tidak sadar harus dianggap disertai cedera vertebrae cervical
sampai terbukti tidak disertai cervical, maka perlu dipasang collar barce. Jika sudah stabil
tentukan saturasi oksigen, minimal saturasinya di atas 90%, jika tidak usahakan untuk
dilakukan intubasi dan support pernafasan.

1.2 Tujuan
3 Mahasiswa mampu mengetahui defenisi cedera kepala
4 Mahasiswa mampu melakukan pengkajian riwayat keluhan, riwayat penyakit
5 Mahasiswa mampu pemeriksaan fisik system neurologi
6 Mahasiswa mampu mengetahui penatalaksaanaan pada fase emergency
7 Mahasiswa mampu mengetahui pemeriksaan diagnostic: masalah keperawatan
prioritas
8 Mahasiswa mampu mengetahui tindakan keperawatan mandiri, kolaborasi, terapy
farmakologis, health edukasi
BAB II
PEMBAHASAN

1. Defenisi cedera kepala


Cidera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap
kepala yang menyebabkan kerusakan kepala atau otak (Borley & Grace, 2006).

Cidera kepala adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya trauma pada
jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi
(pierce, 1995).

Cidera kepala merupakan trauma yang terjadi pada otak yang disebabkan kekuatan atau
tenaga dari luar yang menimbulkan berkurang atau berubahnya kesedaran, kemampuan
kognitf, kemampuan fisik, perilaku, ataupun kemampuan emosi (Ignatavicius, 2009).

Jadi kesimpulannya cidera kepala adalah trauma yang mengenai otak yang terjadi secara
langsung atau tidak langsung atau efek sekunder yang menyebabkan atau berpengaruh
berubahnya fungsi neurologis, kesadaran, kognitif, perilaku, dan emosi.

Menurut mansjoer (2000) cidera kepala tersebut dibedakan menjadi ringan, sedang, berat.
Adapun kriteria dari masing-masing tersebut adalah

1. Cidera kepala ringan (CKR)


Tanda-tandanya adalah:
a). Skor glasgow coma scale 15 (sadar penuh, atentif, dan orientatif);
b). Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi);
c). Tidak adanya intoksikasi alkohol atau obat terlarang;
d). Pasien dapat mengeluh sakit dan pusing;
e). Pasien dapat menderita laserasi, abrasi, atau hematoma kulit kepala.
2.
2. Cidera kepala sedang (CKS)

Tanda-tandanya adalah

a). Skor glasgow coma scale 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor);
b). Konkusi;

c). Amnesia pasca trauma;

d). Muntah;

e). Kejang
3.
3. Cidera kepala berat (CKB)

Tanda-tandanya adalah

a). Skor glasgow coma scale 3-8 (koma);

b). Penurunan derajat kesadaran secara progresif;

c). Tanda neurologis fokal;

d). Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.

2. Pengkajian riwayat keluhan, riwayat penyakit


a. Dasar data pengkajian pasien
Pengkajian data dasar meliputi tipe, lokasi, keparahan cedera dan mungkin
dipersulit oleh cedera tambahan pada organ vital

b. Aktivitas / istirahat
Gejala: merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan
Tanda: perubahan kesadaran, letargi, hemiparesis, ataksia cara berjalan tak tegap,
masalah dalam kesimbangan, cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot, otot
spastik

a. Sirkulasi
Gejala: perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi). Perubahan frekuensi
jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi bradikardi, disritmia)

b. Integritas Ego
Gejala: perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
Tanda: cemas, mudah tersinggung, derilium, agitasi, bingung, depresi, impulsive
c. Eliminasi
Gejala: inkontinensia kandung kemih/ usus atau mengalami gangguan fungsi
makanan/ cairan

d. Nutrisi
Gejala: mual, muntah, dan mengalami perubahan selera Tanda: muntah (mungkin
proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia)

e. Nyeri / ketidaknyamanan
Gejala: sakit kepala dengan intensitas, lokasi yang berbeda, biasanya lama
Tanda: wajah menyeringai, respon menarik pada rangsang nyeri yang hebat,
gelisah tidak bisa beristirahat, merintih

g. Neurosensori
Gejala: kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkope, tinitius, kehilangan pendengaran, diplopia, kehilangan sebagian
lapang pandang, Fotopobia.

Tanda: perubahan kesadaran dari biasa sampai koma, perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh
emosi/tingkah laku, memori). Perubahan pupil(respon terhadap cahaya, simetri).
Deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan penginderaan seperti
penciuman, pengcapan dan pendengaran, wajah tidak simetris, genggaman lemah,
apraksia, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian
anggota tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi

i. Pernapasan
Gejala: perubahan pola napas(apnea yang diselingi hiperventilasi), napas
berbunyi, stridor, tersedak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena
aspirasi)

j. Keamanan
Gejala: trauma baru/ trauma karena kecelakaan.
Tanda: fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, kulit laserasi, perubahan
warna seperti racoon eye, tanda bale disekitar telinga, demam , gangguan
regulasi suhu tubuh.

3. Pemeriksaan fisik system neurologi


a) Anamnesa

Perlu ditanyakan keluhan utama pasien. Pada setiap keluhan ditanyakan :

1. Sejak kapan timbul

2. Sifat serta beratnya

3. Lokasi serta penjalarannya

4. Hubungannya dengan waktu (pagi, siang, malam, sedang tidur, waktu haid, habis
makan, dsb.)

5. Keluhan lain yang ada kaitannya

6. Pengobatan sebelumnya dan bagaimana hasilnya

7. Faktor yang memperberat atau memperingan keluhan

8. Perjalanan keluhan, apakah menetap, bertambah berat/ringan, datang dalam bentuk


serangan, dsb

Pada setiap pasien dengan penyakit syaraf, harus dijajaki kemungkinan adanya
keluhan atau kelainan di bawah ini, dengan mengajukan pertanyaan.

9. Nyeri kepala

10. Muntah

11. Vertigo

12. Gangguan penglihatan

13. Gangguan pendengaran

14. Gangguan syraf otak lainnya


15. Gangguan fungsi luhur

16. Gangguan kesadaran

17. Gangguan motoric

18. Gangguan sensibilitas

19. Gangguan syaraf otonom

b) Pemeriksaan Tingkat Kesadaran

Prinsip : Untuk Mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan skala


koma glasgow yang memperhatikan tanggapan / respon pasien terhadap rangsang dan
memberikan nilai pada respon tersebut. Tanggapan atau respon pasien yang perlu
diperhatikan ialah : Respon Membuka mata (Eye), Respon verbal (V), dan respon motorik
(M).
Area Pengkajian Nilai

Membuka mata (Eye)

Spontan 4

Terhadap bicara (suruh pasien membuka mata) 3

Dengan rangsang nyeri (tekan pada syaraf supra orbita atau kuku jari) 2

Tidak ada reaksi ( dengan rangsang nyeri pasien tidak membuka mata) 1

Respon verbal (bicara)

Baik dan tidak ada disorientasi 5

Kacau (Confused), dapat berbicara dalam kalimat,namun ada disorientasi waktu dan tempat 4

Tidak tepat (dapat mengucapkan kata-kata,Namun tidak berupa kalimat atau tidak tepat 3

Mengerang (tidak mengucapkan kata,hanya mengeluarkan suara erangan 2

Tidak ada respon 1


Motor Response (M)

Menurut perintah (misalnya suruh pasien angkat tangan) 6

Mengetahui lokasi nyeri 5

Berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan dengan jari pada supra orbita. Bila pasien
mengangkat tangannya sampai melewati dagu untuk maksud menepis rangsangan tersebut,
berarti ia dapat mengetahui lokasi nyeri

Reaksi menghindar / Withdraws 4

Reaksi fleksi (dekortikasi) Abnormal Flexion 3

Berikan rangsangan nyeri misalnya menekan dengan objek keras seperti ballpoint pada kuku
jari, Bila sebagai jawaban siku memfleksi, terdapat reaksi fleksi terhadap nyeri

Reaksi ekstensi abnormal /Abnormal extention / desebrasi 2

Dengan rangsangan nyeri tersebut diatas, terjadi ekstensi pada siku. Ini selalu disertai fleksi
spastic pada pergelangan tangan.

Tidak ada reaksi 1

(harus dipastikan terlebih dahulu, bahwa rangsangan nyeri telah adekuat

c). Pemeriksaan Rangsangan Meningeal

Bila ada peradangan selaput otak atau di rongga sub arachnoid terdapat benda asing
seperti darah,

maka dapat merangsang selaput otak

1. Kaku kuduk

Untuk memeriksa kaku kuduk dapat dilakukan dengan cara :


a. Tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring
b. Kemudian kepala ditekukkan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada.
c. Selama penekukan ini diperhatikan adanya tahanan.
d. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak mencapai dada.
e. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat. Pada kaku kuduk yang berat, kepala
tidak dapat ditekuk, malah sering kepala terkedik ke belakang.

f. Pada keadaan yang ringan, kaku kuduk dinilai dari tahanan yang dialami waktu
menekukkan kepala.

2. Tanda laseque

Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :

a. Pasien berbaring lurus,

b. lakukan ekstensi pada kedua tungkai.

c. Kemudian salah satu tungkai diangkat lurus, di fleksikan pada sendi panggul.

d. Tungkai yang satu lagi harus berada dalam keadaan ekstensi / lurus.

e. Normal : Jika kita dapat mencapai sudut 70 derajat sebelum timbul rasa sakit atau
tahanan.

f. Laseq (+) = bila timbul rasa sakit atau tahanan sebelum kita mencapai 70 o

3. Tanda Kerniq

Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :

a. Pasien berbaring lurus di tempat tidur.

b. Pasien difleksikan pahanya pada sendi panggul sampai membuat sudut 90o,

c. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut.

d. Biasanya dapat dilakukan ekstensi sampai sudut 135 o, antara tungkai bawah dan
tungkai atas.

e. Tanda kerniq (+) = Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut 135
4. Tanda Brudzinsky I

Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :

a.Pasien berbaring di tempat tidur.

b. Dengan tangan yang ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring,
kita tekukkan kepala sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada.

c. Tangan yang satunya lagi sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk mencegah
diangkatnya badan.

d. Brudzinsky I (+) ditemukan fleksi pada kedua tungkai.

5. Tanda Brudzinsky II

Pemeriksaan dilakukan seagai berikut :

a. Pasien berbaring di tempat tidur.

b. Satu tungkai di fleksikan pada sendi panggul, sedang tungkai yang satu lagi
berada dalam keadaan lurus.

c. Brudzinsky I (+) ditemukan tungkai yang satu ikut pula fleksi, tapi
perhatikan apakah ada kelumpuhan pada tungkai.

d). Pemeriksaan Kekuatan Motorik

1. Inspeksi

- Perhatikan sikap pasien waktu berdiri, duduk, berbaring dan bergerak,

- Perhatikan bentuknya apakah ada deformitas,

-Perhatikan ukuran nya apakah sama bagian tubuh kiri dan kanan

- Perhatikan adanya gerakan abnormal yang tidak dapat dikendalikan seperti tremor,
khorea, atetose, distonia, ballismus, spasme, tik, fasikulasi dan miokloni.
2. Palpasi

- Pasien disuruh mengistirahatkan ototnya

- Palpasi otot untuk menentukan konsistensi dan nyeri tekan, tonus otot

3. Pemeriksaan gerakan aktif

- Pasien disuruh menggerakan bagian ekstremitas atau badannya dan kita pemeriksa
menahan gerakan tersebut

- Kita pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan disuruh ia
menahan

Penilaian status motorik dilakukan dengan melihat :

1. Fungsi motoris dengan menilai : Besar dan bentuk otot, tonus otot dan kekuatan
otot

ekstremitas (skala 0 – 5)

1) 0 = tidak ada gerakan

2) 1 = kontraksi otot minimal terasa tanpa menimbulkan gerak

3) 2 = otot dapat bergerak bila gaya berat dihilangkan

4) 3 = gerakan otot dapat melawan gaya berat tapi tidak bisa thd tahanan
pemeriksa
5) 4 = gerakan otot dg tahanan ringan pemeriksa dan dapat melawan gaya
berat

6) 5 = gerakan otot dg tahanan maksimal pemeriksa

Pada pemeriksaan kekuatan otot digunakan skala dari 0-5. Seperti pada gambar di bawah ini:

4. Pemeriksaan gerakan pasif

5. Koordinasi gerak
e). Pemeriksaan Sensorik

1. Pemeriksaan sensibilitas : Pemeriksaan rasa raba, Pemeriksaan rasa nyeri,


Pemeriksaan rasa Suhu

2. Pemeriksaan rasa gerak dan rasa sikap

3. Pemeriksaan rasa getar

4. Pemeriksaan rasa tekan

5. Pemeriksaan rasa interoseptif : perasaan tentang organ dalam

6. Nyeri rujukan

f). Pemeriksaan Nervus Craniali

1. Pemeriksaan N. I : Olfaktorius

Fungsi : Sensorik khusus (menghidu, membau)

Cara Pemeriksaan :

a. Periksa lubang hidung, apakah ada sumbatan atau kelainan setempat, misalnya
ingus atau polip, karena dapat mengurangi ketajaman penciuman.

b. Gunakan zat pengetes yang dikenal sehari-hari seperti kopi, teh, tembakau dan
jeruk.
c. Jangan gunakan zat yang dapat merangsang mukosa hidung (N V) seperti mentol,
amoniak,

alkohol dan cuka.

d. Zat pengetes didekatkan ke hidung pasien dan disuruh pasien menciumnya


e. Tiap lubang hidung diperiksa satu persatu dengan jalan menutup lobang hidung
yang lainnya dengan tangan.
2. Pemeriksaan N. II : Optikus

Fungsi : Sensorik khusus melihat

Tujuan pemeriksaan :

a. Mengukur ketajaman penglihatan / visus dan menentukan apakah kelaianan pada


visus disebabkan oleh kelaianan okuler lokal atau kelaianan syaraf.

b. Mempelajari lapangan pandangan

c. Memeriksa keadaan papil optic

Cara Pemeriksaan :

Jika pasien tidak mempunyai keluhan yang berhubungan dengan nervus II dan
pemeriksa juga tidak mencurigai adanya gangguan, maka biasanya dilakukan pemeriksaan
nervus II , yaitu :

a. Ketajaman penglihatan

b. Lapangan pandangan

Bila ditemukan kelainan, dilakuakn pemeriksaan yang lebih teliti. Perlu dilakukan
pemeriksaan oftalmoskopik.

Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan :

1. Dilakukan dengan cara memandingkan ketajaman penglihatan pasien dengan


pemeriksa yang normal.
2. Pasien disuruh mengenali benda yang letaknya jauh, misalnya jam dinding dan
ditanyakan pukul berapa.

3. Pasien disuruh membaca huruf-huruf yang ada di koran atau di buku.

4. Bila ketajaman penglihatan pasien sama dengan pemeriksa, maka dianggap normal.
5. Pemeriksaan ketajaman penglihatan yang lebih teliti dengan pemeriksaan visus
dengan menggunakan gambar snellen.

6. Pemeriksaan snellen chart

a. Pasien disuruh membaca gambar snellen dari jarak 6 m


b. Tentukan sampai barisan mana ia dapat membacanya.

c. Bila pasien dapat membaca sampai barisan paling bawah, maka ketajaman
penglihatannya norma (6/6)

d. Bila tidak normal :

1. Misal 6/20, berarti huruf yang seharusnya dibaca pada jarak 20 m,


pasien hanya dapat memaca pada jaral 6 m, namun bila pasien dapat
melihat melalui lubang kecil (kertas yang berluang, lubang peniti),
huruf bertambah jelas, maka pasien mengalami kelainan refraksi.
2. 1/300 = Pasien dapat melihat gerakan tangan / membedakan adanya
gerakan atau tidak
3. 1/~ = pasien hanya dapat membedakan gelap dan terang

Pemeriksaan Lapangan Pandangan :

Dilakukan dengan jalan membandingkan dengan penglihatan pemeriksa yang dianggap


normal.,

dengan menggunakan metode konfrontasi dari donder.

1. Pasien disuruh duduk atau berdiri berhadapan dengan pemeriksa dengan jarak kira-
kira 1 m.
2. Jika kita hendak memeriksa mata kanan, maka mata kiri pasien harus ditutup,
misalnya dengan tangan atau kertas, sedangkan pemeriksa harus menutup mata
kanannya.
3. Kemudian pasien disuruh melihat terus pada mata kiri pemeriksa dan pemeriksa
harus selalu melihat mata kanan pasien.

4. Setelah itu pemeriksa menggerakkan jari tangannya di bidang pertengahan antara


pemeriksa dan pasien.

5. Lakukan gerakan dari arah luar ke dalam

6. Jika pasien mulai melihat gerakan jari-jari pemeriksa, ia harus memberi tahu dan
dibandingkan dengan pemeriksa, apakah pemeriksa juga melihatnya
7. Bila sekiranya ada gangguan kampus penglihatan, maka pemeriksa akan lebih
dahulu melihat gerakan tersebut.
8. Lakukan pemeriksaan pada masing-masing mata pasien.

3. Pemeriksaan N. III Okulomotorius

Fungsi : Sematomotorik, visero motoric

Meninervasi m. Rektus internus (medialis), m. Rektus superior dan m. Rektus inferior, m


levator palpebra, serabut visero motorik mengurus m. Sfingter pupil dan m. Siliare (lensa
mata).

4. Pemeriksaan N. IV Trokhlearis

Fungsi : Somatomotorik

Menginervasi m. Obliqus superior. Kerja otot ini menyebabkan mata dapat dilirikkan ke
bawah dan nasal.

5. Pemeriksaan N. V Trigeminus

Fungsi : Somatomotorik, somatosensorik

Bagian motorik mengurus otot-otot untuk mengunyah, ayitu menutup mulut, menggerakkan
rahang ke bahwa dan samping dan membuka mulut. Bagian sensorik cabang Oftalmik
mengurus sensibilitas dahi, mata, hidung, kening, selaput otak, sinus paranasal dan sebagian
mukosa hidung.

Bagian sensorik cabang maksilaris mengurus sensibilitas rahang atas, gigi atas, bibir atas,
pipi, palatum durum, sinus maksilaris dan mukosa hidung. Bagian sensorik cabang
mandibularis mengurus sensibilitas rahang bawah, bibir bawah, mukosa pipi, 2/3 bagian
depan lidah dan sebagian telinga, meatus dan selaput otak.

Cara pemeriksaan fungsi motorik :


a. Pasien disuruh merapatkan giginya sekuat mungkin dan kita raba m. Masseter dan
m. Temporalis, perhatikan besarnya, tonus serta bentuknya.

b. Kemudian pasien disuruh membuka mulut dan perhatikan apakah ada deviasi
rahang bawah.
c. Bila ada parise, maka rahang bawah akan berdeviasi ke arah yang lumpuh

Cara pemeriksaan fungsi sensorik :

a. Diperiksa dengan menyelidiki rasa raba, rasa nyeri dan suhu daerah yang
dipersyarafi.
b. Periksa reflek kornea

6. Pemeriksaan N. VI Abdusen

Fungsi : Somatomotorik

Meninervasi m. Rektus eksternus (lateralis). Kerja mata ini menyebabkan lirik mata ke arah
temporal

Untuk N. III, IV dan VI fungsinya saling berkaitan. Fungsinya ialah menggerakkan


otot mata ekstra okuler dan mengangkat kelopak mata. Searbut otonom N III,
mengatur otot pupil. Cara pemeriksaannya bersamaan, yaitu :

1. Pemeriksa melakukan wawancara dengan pasien

2. Selama wawancara, pemeriksa memperhatikan celah matanya, apakah ada ptosis,


eksoftalmus dan strabismus/ juling dan apakah ia cendrung memejamka matanya
karena diplopia.
3. Setelah itu lakukan pemeriksaan yang lebih teliti mengenai ptosis, besar pupil,
reaksi cahaya pupil, reaksi akomodasi, kedudukan bola mata, gerakan bola mata dan
nistagmus.
4. Untuk menilai m. Levator palpebra, pasien disuruh memejamkan matanya, kemudia
disuruh ia membuka matanya.

5. Waktu pasien membuka matanya, kita tahan gerakan ini dengan jalan memegang /
menekan ringan pada kelopak mata.
6. Dengan demikian dapat dinilai kekuatan kelopak mata.

7. Untuk menilai pupil, perhatikan besarnya pupil pada kiri dan kanan, apakah sama
ukurannya, apakah bentuknya bundar atau tidak rata tepinya. Miosis = pupil
mengecil, midriasis = pupil membesar
8. Reflek cahaya pupil terdiri dari reaksi cahaya langsung atau tidak langsung.,
caranya :

a. Pasien disuruh melihat jauh.

b. Setelah itu pemeriksa mata pasien di senter/ diberi cahaya dan lihat apakah
ada reaksi pada pupil. Normal akan mengecil

c. Perhatikan pupil mata yang satunya lagi, apakah ikut mengecil karena
penyinaran pupil mata tadi disebut dengan reaksi cahaya tak langsung

d. Cegah reflek akomodasi dengan pasien disuruh tetap melihat jauh.

7. Pemeriksaan N. VII Fasialis

Fungsi : Somatomotorik, viseromotorik, viserosensorik, pengecapan, somatosensorik


Cara Pemeriksaan fungsi motorik :

a. Perhatikan muka pasien, apakah simetris atau tidak, perhatikan kerutan dahi,
pejaman mata, plika nasolabialis dan sudut mulut.

b. Bila asimetris muka jelas disebabkan kelumpuhan jenis perifer.


c. Pada kelumpuhan jenis sentral, kelumpuhan nyata bila pasien disuruh melakukan
gerakan seperti menyeringai dan pada waktu istirahat, muka simetris.

d. Suruh pasien mengangkat alis dan mengkerutkan dahi

e. Suruh pasien memejamkan mata

f. Suruh pasien menyeringai (menunjukkan gigi geligi)

g. Gejala chvostek, dengan mengetuk N. VII di bagian depan telinga. (+) bila ketokan
menyebabkan kontraksi otot mata yang di persyarafi.
Fungsi pengecapan :

a. Pasien disuruh menjulurkan lidah

b. Taruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam secara bergiliran

c. Pasien tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut.

d. Pasien disuruh menyatakan pengecapan yang dirasakan dengan isyarat.

8. Pemeriksaan N. VIII Akustikus

Fungsi : Sensorik khusus pendengaran dan keseimbangan

Cara Pemeriksaan syaraf kokhlerais :

a. Ketajaman pendengaran

b. Tes swabach

c. Tes Rinne

d. Tes weber

Cara untuk menilai keseimbangan :

a. Tes romberg yang dipertajam :

- Pasien berdiri dengan kaki yang satu di depan kaki yang lain, tumit kaki yang satu berada di

depan jari-jari kaki yang lain

- Lengan dilipat pada dada dan mata kemudian ditutup

- Orang normal mampu berdiri dalam sikap romberg yang dipertajam selama 30 detik atau
lebih

b. Tes melangkah di tempat

- Pasien disuruh berjalan di tempat dengan mata ditutup, sebanyak 50 langkah dengan
kecepatan
berjalan seperti biasa

- Suruh pasien untuk tetap di tempat

- Tes abnormal jika kedudukan pasien beranjak lebih dari 1 m dari tempat semula atau badan
berputar lebih 30 o

c. Tes salah tunjuk

- Pasien disuruh merentangkan lengannya dan telunjuknya menyentuh telunjuk pemeriksa


- Kemudian pasien disuruh menutup mata, mengangkat lengannya tinggi-tinggi dan
kemudian kembali ke posisi semula

- Gangguan (+) bila didapatkan salah tunjuk

9. Pemeriksaan N. IX Glossofaringeus

Fungsi : Somatomotorik, viseromotorik, viserosensorik, pengecapan, somatosensorik

10. Pemeriksaan N. X Vagus

Fungsi : Somatomotorik, viseromotorik, viserosensorik, somatosensorik

N IX dan N X diperiksa bersamaan. Cara Pemeriksaan Fungsi motorik :

- Pasien disuruh menyebutkan aaaaaa

- Perhatikan kualitas suara pasien, apakah suaranya normal, berkurang, serak atau tidak sama
sekali.
- Pasien disuruh memakan makanan padat, lunak dan menelan air

- Perhatikan apakah ada kesalahan telan / tidak bisa menelan / disfagia

- Pasien disuruh membuka mulut

- Perhatikan palatum mole dan faring, perhatikan sikap palatum mole, arkus faring dan uvula
dalam keadaan istirahat dan bagaimana pula waktu bergerak, misalnya waktu bernafas atau
bersuara. Abnormal bila letaknya lebih rendah terhadap yang sehat.
11. Pemeriksaan N. XI aksesorius

Fungsi : Somatomotorik

Cara Pemeriksaan :

a. Untuk mengukur kekuatan otot sternocleidomastoideus dilakukan dengan cara :

- pasien disuruh menggerakkan bagian badan yang digerakkan oleh otot ini dan kita tahan
gerakannya.
- Kita gerakkan bagian badan pasien dan disuruh ia menahannya.

- Dapat dinilai kekuatan ototnya.

b. Lihat otot trapezius

- apakah ada atropi atau fasikulasi,

- apakah bahu lebih rendah,

- apakah skapula menonjol

- Letakkan tangan pemeriksa diatas bahu pasien

- Suruh pasien mengangkat bahunya dan kita tahan.

- Dapat dinilai kekuatan ototnya.

12. Pemeriksaan N. XII Hipoglosus

Fungsi : Somatomotorik

Cara Pemeriksaan :

a. Suruh pasien membuka mulut dan perhatikan lidah dalam keadaan istirahat dan bergerak
b. Dalam keadaan istirahat kita perhatikan :

- besarnya lidah,

- kesamaan bagian kiri dan kanan

- adanya atrofi
- apakah lidah berkerut

c. Apakah lidahnya mencong bila digerakkan atau di julurkan

g). Pemeriksaan Reflek Fisiologis

1. Reflek tendon dalam (bisep dan trisep)

Derajatnya : 0 = absen reflek

1=Menurun

2 = Normal

3 = Hiperreflek

4 = Hiperreflek dengan klonus

2. Reflek superficial

a. Reflek kulit perut :

epigastrium T 6-9, abdomen tengah T 9-11, Hiogastrium T 11-L1. Abdomen


digores dari arah luar menuju umbilikus --- kontraksi dinding perut

b. Kremaster ( L 1-2)

Paha bagian dalam digores—kontraksi kremaster dan penarikan testis ke atas

c. Reflek anus ( S3-4-5)

Pakai sarung tangan ujung jari dimaasukkan kedalam cincin anus terasa
kontraksi spingter ani

d. Reflek bulbokavernosus

Kulit penis atau glan dicubit terlihat kontraksi bulbokavernosus

5. Reflek Plantar ( L 5, S 1-5)

Telapak kaki dirangsang akan timbul fleksi jari kaki seperti pemeriksaan Babinski
h). Pemeriksaan Reflek Patologis

1. Babinski

Telapak kaki digores dari tumit menyusur bagian lateral menuju pangkal ibu jari, timbul
dorso fleksi ibu jari dan pemekaran jari-jari lainnya.

2. Chadock

Tanda babinski akan timbul dengan menggores punggung kaki dari arah lateral ke depan
3. Openheim

Mengurut tibia dengan ibu jari, jario telunjuk, jari tengah dari lutut menyusur kebawah (+
= babinski)

4. Gordon

Otot gastroknemius ditekan (+ sama dengan Babinski)

5. Scahaefer

Tanda babinski timbul dengan memijit tendon Achiles

6. Rosollimo

Mengetok bagian basis telapak jari kaki (+) fleksi jari-jari kaki

7. Mendel Rechterew

Mengetok bagian dorsal basis jari kaki. (+) fleksi jari kaki

8. Hoffman –Trommer

Positif timbul gerakan mencengkram pada petikan kuku jari telunjuk atau jari tengah

4. Penatalaksaanaan pada fase emergency


Menurut Smeltzer (2001) penatalaksanaan pada klien dengan cidera kepala
a. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
c. Pemberian analgetik
d. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin)
e. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan
lunak.
f. Pembedahan.

Prinsip Penatalaksanaan
Pertolongan pertama dari penderita dengan cedera kepala meliputi, anamnese sampai
pemeriksaan fisik secara seksama dan stimultan. Pemeriksaan fisik meliputi Airway,
Breating, Circulatin, Disability, Expoure.
1) Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil, dengan cara kepala miring,
buka mulut, immobilisasi, cegah gerakan hiperekstensi, hiperfleksi ataupun rotasi.
Semua penderita cedera kepala yang tidak sadar harus dianggap disertai cedera
vertebrae cervical sampai terbukti tidak disertai cervical, maka perlu dipasang
collar barce. Jika sudah stabil tentukan saturasi oksigen, minimal saturasinya di
atas 90%, jika tidak usahakan untuk dilakukan intubasi dan support pernafasan.
2) Setelah jalan nafas bebas, sedapat mungkin pernafasannya (breating) di
perhatikan frekuensinya normalnya antara 16-18 x /menit, dengarkan suara nafas
bersih, jika tidak ada nafas lakukan nafas buatan, kalau bisa dilakukan monitorv
terhadap gas darah dan pertahanan PCO2 antara 28-35 mmHg karena jika lebih
dari 35 mmHg akan terjadi vasodilatasi yang berakibat terjadinya edema serebri.
Sedangkan jika kurang dari 20 mmHg akan menyebabkan vasokontroksi yang
berakibat terjadinya iskemia. Periksa tekanan oksigen 100 mmHg, jika kurang
beri oksigen masker 8 liter/menit
3) Pada pemeriksaan sistem sirkulasi, periksa denyut nadi/janting, jika tisak ada
lakukan resusitasi jantung. Bila shok atau tensi <90 mmHg nadi >100 x per menit
dengan infus cairan RL, cari sumber perdarahan ditempat lain, karena cedera
kepala single pada orang dewasa hampir tidak pernah menimbulkan shock.
Terjadinya shock pada cidera kepala meningkatkan angka kematian 2 x
4) Pada pemeriksaan disabiliti/kelainan kesadaran, pemeriksaan kesadaran memakai
gaslow coma skale, periksa kedua pupil dan besarnya serta catat reaksi terhadap
cahaya langsung maupun tidak langsung. Periksa adanya hemiperase/plegi,
periksa juga adanya reflek patologi kanan kiri, jika penderita sadar baik, tentukan
adanya gangguan sensori maupun fungsi misalnya adanya aphasia
5) Pada pemeriksan exposure perhatikan bagian tubuh yang terluka, apakah ada jejas
atau lebab pada tubuh akibat trauma

Setelah fungsi vital stabil (ABC stabil barudilakukan survey yang lain dengan cara
melakukan sekunder survey/pemeriksaan tambahan seperti skull foto, foto thorak, foto pelvis,
CT Scan dan pemeriksaan ini sebenarnya dikerjakan secara stimultan dan seksama

5. Pemeriksaan diagnostic: masalah keperawatan prioritas


Pemeriksaan untuk cidera kepala menurut Rosjidi & Nurhidayat (2007) yaitu

a) MRI dan CT Scan untuk mengidentifikasi adanya hematoma epidural,


menentukan ukuran intra ventrikuler, kontusio danperdarahan jaringan otak,
edema serebri, pergeseran jaringan otak, fraktur cranium;
b) Angiografi serebral untuk menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
sepertipergesran jaringanotak, perdarahan;
c) EEG untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis;
d) Sinar x untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur),
pergeseran struktur dari garis tengah, adnya fragmen tulang;
e) BAER (Brain Auditory Evoked Respons) untuk menentukan fungsi korteks
dan batang otak;
f) PET ( Positron Emision Tomography) menunjukkan perubahan aktivitas
metabolisme pada otak;
g) Pungsi Lumbal, Cairan Serebrospinal dapat menduga kemungkinan adanya
perdarahan subaraknoid;
h) GDA (Gas Darah Arteri ) mengetahui adanya masalah ventilasi atau
oksigenasi yang akan menigkatnya tekanan intrakranial;
i) Kimia / elektrolit darah untuk mengetahui ketidakseimbangan yang berperan
yang berperan dalam peningkatan tekanan intrakranial;
j) Pemeriksaan toksikologi untuk mendeteksi obat yang mungkin bertanggung
jawab terhadap penurunan kesadaran;
k) Kadar antikonvulsan darah untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup untuk
mengatasi;
Pemeriksaan Fisik Neurologi
1. GCS
2. Tanda Rangsang Meningeal
3. Pemeriksaan Nervus Kranial
4. Pemeriksaan Sensorik
5. Pemeriksaan Motorik
6. Pemeriksaan Otonom
7. Pemeriksaan Keseimbangan

 GCS
Mata (E):
 4 : bisa membuka mata spontan
 3 : buka mata kalo diajak ngomong/disuruh
 2 : buka mata dg rangsang nyeri
 1 : tdk bisa buka mata

 Motorik (M):
 6 : bergerak mengikuti perintah
 5 : gerakan menepis
 4 : gerakan menghindar
 3 : dekortikasi (fleksi, aduksi bahu)
 2 : deserebrasi (ekstensi)
 1 : tidak bergerak

 Verbal (V):
 5 : bicara nyambung
 4 : bicara ga nyambung (meracau)
 3 : mengeluarkan kata dengan rangsang nyeri
 2 : hanya mengerang dengan rangsang nyeri
 1 : tidak ada suara

 Tanda Rangsang Meningeal


 Tidur tanpa bantal
 Cek dulu ada kuduk kaku ato ngga (geleng-gelengkan kepala)
 Periksa kaku kuduk (tangan kiri pemeriksa di belakang kepala pasien, tangan
kanan di dada pasien)
 Brudzinsky I amati ada/tidaknya fleksi pada lutut saat melakukan pemeriksaan
kaku kuduk
 Laseque fleksi pada sendi panggul dengan tungkai lurus (normalnya: Laseque >
60°)
 Kernig lanjutannya laseque, lutut ditekuk, paha 90°, lalu lutut diluruskan
(normalnya: Kernig > 135°)
 Brudzinsky II sambil melakukan laseque dan kernig, lakukan fleksi maksimal
dari sendi panggul utk liat apakah ada fleksi di lutut sebelahnya
Contoh pelaporan yang normal: kaku kuduk (-), Brudzinsky I (-), Laseque > 60°,
Kernig > 135°, Brudzinsky II (-)

 Pemeriksaan Nervus
Komponen sensorik, harus dipastiin kalo pasiennya GCS 15.
Nervus I (olfaktorius):
 Dengan rangsang kopi, the, atau tembakau. JANGAN pake alkohol atau bahan lain
yang menimbulkan iritasi mukosa (nanti jadi rangsang n.V)
 Nilai 1 per 1 (1 hidung ditutup, mata ditutup), bandingkan kiri dan kanan “ Ada
bau ga pak? Bau apa?”
 Laporan: normosmia, hiposmia, anosmia
 Nervus II (optikus):
 Visus Snellen chart,, atau bisa jg pemeriksaan visus bedside dg hitung jari
(hasilnya nanti …/60; pelaporannya misalnya visus 2/60 bedside harus ditulis
bedside karena artinya bukan visusnya bener2 2/60)
 Refleks cahaya (jalur aferen)
 Lapang pandang (kampimetri)
 Warna : tes ishihara, atau tanya warna dasar aja (bedside) misalnya pake pulpen
yang warna merah trs tanya ini warna apa pak
 Nilai satu per satu, mata yang tidak diperiksa ditutup dg telapak tangan tanpa
ditekan

 Nervus III (okulomotor), IV (trochlear), VI (abducens)


 Fiksasi kepala pasien
 Liat kelopak (ada ptosis/tidak)
 Liat ukuran pupil dan refleks cahaya
 Lihat kedudukan bola mata
 Suru mata pasien ikutin gerakan tangan pasien (bentuk H)

 Nervus V (trigerminus)
 Komponen sensorik: frontalis, zigomatik, mandibularis utk tiap area dilakukan
pemeriksaan sensorik raba halus (tissue dipilin), nyeri (jarum), suhu (tabung
reaksi), getar; bandingkan dengan kontralateral
 Komponen motorik: m.masseter dan m.temporalis (pelipis) pasien suru gigit
yang kuat, amati kontraksi pelipis

 Nervus VII (fasialis)


 Motorik kasar : otot wajah suru kerutin dahi (m.frontalis), tutup mata
(m.orbicularis oculi), gembungin pipi (m.bucinator), senyum (m.orbicularis oris??),
tegangkan leher dan katupkan gigi (m.platisma)
 Sensorik khusus 2/3 anterior lidah
 Otonom kelenjar air mata, liut]

 Nervus VIII (vestibulokoklear)


 Auditorik tes berbisik, garputala
 Vestibularis
 Nervus IX (glosofaringeal) dan X (vagus)
 Inspeksi arkus faring normalnya uvula di tengah, kalau ada parese maka uvula
ketarik ke sisi yang sehat
 Suara sengau bila parese

 Nervus XI (aksesorius)
 M.trapezius angkat bahu
 M.sternocleidomastoideus kalo cek yang sebelah kiri: pasien suru nengok ke kiri
sementara kita tahan dagunye; kalo cek yang kanan ya sebaliknya

 Nervus XII (hipoglosus)


 Lidah : amati ada atrofi (kerut-kerut di pinggir lidah), lalu apakah letak lidah di
tengah (kalo ada parese di dalam mulut, lidah mencong ke arah yang sehat; waktu
dijulurkan mencong ke arah yang sakit)

 Pemeriksaan Motorik
Pemeriksaan motorik terbagi atas pemeriksaan: Tonus, Trofi, kekuatan otot
 Pemeriksaan tonus
 Palpasi tonus otot pasien
 Gerak-gerakin tangan dan kaki pasien dgn cepat dan lambat (fleksi dan ekstensi)
o Eutoni : normal
o Hipotoni : ngeplek
o Hipertoni : rigid (lagpipe atau cogwheel phenomenon), atao spastis (clasp
knife phenomenon)

 Pemeriksaan trofi: diliat aja terutama di otot dorsum manus dan pretibial
hipertrofi, eutrofi, hipotrofi
a) Kekuatan otot :
o Yang diperiksa : Tangan dan bahu, siku, pergelangan, jari; Kaki dan
gelang panggul, lutut, gelang kaki, jari kaki.
o Berikan tahanan sedistal mungkin dari segmen yang diperiksa.
o Penilaian:
o 5 : melawan tahanan normal
o 4 : melawan tahanan ringan
o 3 : melawan gravitasi
o 2 : gerakan horizontal
o 1 : tidak bergerak tapi bisa kontraksi
o 0 : tidak ada kontraksi

 Refleks :
b) Refleks fisiologis: patella, achilles, biseps, triseps
o + 1 : menurun
o + 2 : normal
o + 3 : hiperrefleks
o + 4 : klonus
c) Refleks patologis:
Babinsky-group (positif kalo ekstensi jempol kaki dan fleksi 4 jari lainnya)
o Babinsky
o Chaddock sama seperti babinsky tetapi di dorsum pedis
o Schaeffer dipencet di achilles
o Openheim diteken sepanjang medial tibia
o Gordon pencet di m.gastrocnemius

 Pemeriksaan Keseimbangan
d) Romberg : berdiri kaki rapat, buka mata 30 detik tutup mata 30 detik
(Romberg + kalau jatuh) interpret: kalau tutup mata terus jatuh, kelainan
pada proprioseptif atau vestibular; kalau buka mata jatuh, kelainan pada
cerebellum
e) Romberg dipertajam: berdiri dengan 1 kaki tepat pada ujung kaki yang lain,
buka mata 30 detik tutup mata 30 detik
f) Fukuda : jalan 30 langkah sambil tutup mata Fukuda + kalau orangnya muter
> 30⁰ atau geser > 1 meter
g) Tandem gait
h) Past pointing

Masalah prioritas

a). Gangguan pola nafas b/d obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan


medula oblongata (Doenges, 1999).
b). Gangguan perfusi jaringan cerebral b/d edema cerebri, meningkatnya aliran
darah ke otak (Doenges, 1999).
c). Nyeri kepala b/d cedera fisik, peningkatan tekanan intrakranial, dan alat traksi
(Doenges, 1999).
d). Perubahan persepsi sensori b/d penurunan kesadaran, peningkatan tekanan
intra kranial (Doenges, 1999).
e). Gangguan mobilitas fisik b/ d spastisitas kontraktur, kerusakan saraf motorik
(Doenges, 1999).
f). Resiko infeksi b/d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala (Carpenito, 2006).
g). Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/d haluaran urine dan elektrolit
meningkat (Carpenito, 2006).
h). Gangguan kebutuhan nutrisi b/d kelemahan otot untuk menguyah dan menelan
(Carpenito, 2006)

6. Tindakan keperawatan mandiri, kolaborasi, terapy farmakologis, health edukasi

BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Jadi kesimpulannya cidera kepala adalah trauma yang mengenai otak yang terjadi secara
langsung atau tidak langsung atau efek sekunder yang menyebabkan atau berpengaruh
berubahnya fungsi neurologis, kesadaran, kognitif, perilaku, dan emosi.

1.2 Saran
Sebagai perawat agar lebih memperhatikan keselamatan pasien cidera kepala karena
perawat berperan penting untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien. Perawat
juga dapat teliti dalam melakukan tindakan pelayanan yang dapat menjaga kesehatan diri
pasien

DAFTAR PUSTAKA

Ani Haryani, S.Kep., Ners. Irma Halimatussaidah, S.Kep., Ners & Santy Sanusi, S.Kep.,
Ners, 2009, Anatomi Fisiologi Manusia, Cakra, Bandung.
Tarwono, Ns.S.Kep,M.Kep,dkk, perawatan medikal bedah, sistem endokrin, jakarta:tim
2012
Nurarif,Amin H.dkk.2013. Panduan Penyusunan Askep Profesional : Aplikasi Asuhan
Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC.Yogyakarta:
Mediaction
Price, Sylvia A.dkk.2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Ed. 8. Vol. 2. Jakarta : EGC
Doenges, E. M, Mary F.M, Alice C.G, (2002), Rencana Asuhan Keperawatan, ECG, Jakarta.

Вам также может понравиться