Вы находитесь на странице: 1из 55

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kejang demam adalah gangguan neurologis akut yang sangat sering terjadi pada anak.
Terjadinya kejang ini diakibatkan oleh kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38oC) yang
disebabkan oleh proses ekstrakranium. Penyebab demam terbanyak adalah infeksi saluran
pernapasan bagian atas disusul infeksi saluran pencernaan.(Ngastiyah, 1997; 229).
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4
tahun.Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang
demam.Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki daripada perempuan.Hal
tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat
dibandingkan laki-laki. (ME. Sumijati, 2000;72-73)
Bangkitan kejang berulang atau kejang yang lama akan mengakibatkan kerusakan sel-
sel otak kurang menyenangkan di kemudian hari, terutama adanya cacat baik secara fisik,
mental atau sosial yang mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak. (Iskandar
Wahidiyah, 1985 : 858) .
Kejang adalah kedaruratan medis yang memerlukan pertolongan segera.Diagnosa
secara dini serta pengelolaan yang tepat sangat diperlukan untuk menghindari cacat yang
lebih parah, yang diakibatkan bangkitan kejang yang sering. Untuk itu tenaga
perawat/paramedis dituntut untuk berperan aktif dalam mengatasi keadaan tersebut serta
mampu memberikan asuhan keperawatan kepada keluarga dan penderita, yang meliputi aspek
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif secara terpadu dan berkesinambungan serta
memandang klien sebagai satu kesatuan yang utuh secara bio-psiko-sosial-spiritual. Prioritas
asuhan keperawatan pada kejang demam adalah : Mencegah/mengendalikan aktivitas kejang,
melindungi pasien dari trauma, mempertahankan jalan napas, meningkatkan harga diri yang
positif, memberikan informasi kepada keluarga tentang proses penyakit, prognosis dan
kebutuhan penanganannya. (I Made Kariasa, 1999; 262).
Epilepsy adalah kompleks gejala dari beberapa kelainan fungsi otak yang ditandai
dengan terjadinya kejang secara berulang.Dapat berkaitan dengan kehilangan kesadaran,
gerakan yang berlebihan, atau kehilangan tonus atau gerakan otot, dan gangguan prilaku
suasana hati, sensasi dan persepsi (Brunner dan suddarth, 2000). Epilepsi atau penyakit ayan
dikenal sebagai satu penyakit tertua di dunia (2000 tahun SM).Penyakit ini cukup sering

1
dijumpai dan bersifat menahun. Penderita akan menderita selama bertahun-tahun. Sekitar 0,5
– 1 % dari penduduk adalah penderita epilepsy (Lumbantobing, 1998).
Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak. Pada tahun 2000,
diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang di
antaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang. Laporan WHO
(2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif di antara
1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi
dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara berkembang.
Epilepsi dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka kematian yang tinggi,
stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan gangguan psikiatrik.
Pada penyandang usia anak-anak dan remaja, permasalahan yang terkait dengan epilepsi
menjadi lebih kompleks.
Penanganan terhadap kedua penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan
medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana
meminimalisasikan dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi penderita dan keluarga
maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita kejang dan epilepsi. Pemahaman
epilepsi secara menyeluruh sangat diperlukan oleh seorang perawat sehingga nantinya dapat
ditegakkan asuhan keperawatan yang tepat bagi klien dengan kejang dan epilepsi.
Berdasarkan latar belakang tersebut, kelompok akan membahas tentang asuhan
keperawatan pada pedriatri yang mengalami asthma akut, kejang dan epilepsi, dan
ensepalopati dengue.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah konsep dasar penyakit kejang & epilepsi?
2. Bagaimanakah konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien kejang & epilepsi?
3. Bagaimanakah contoh kasus asuhan keperawatan pada pasien kejang & epilepsi?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Mahasiswa mampu memahami konsep dasar penyakit kejang dan epilepsi
2. Mahasiswa mampu memahami konsep dasar asuhan keperawatan pada kejang dan
epilepsi
3. Mahasiswa mampu memahami contoh kasus asuhan keperawatan pada kejang dan
epilepsi

2
D. MANFAAT PENULISAN
Berdasarkan tujuan diatas, maka penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat,
sebagai berikut:
1. Manfaat Umum
Dapat memperkaya wawasan dan pengetahuan tentang materi serta bahan
pembelajaran dalam perkuliahan
2. Manfaat Khusus
a. Bagi pembaca
Makalah ini diharapkan dapat mempermudah pembaca dalam memahami materi
yang di sajikan. Selain itu pembaca makalah ini diharapkan mampu menerima
semua materi yang disampaikan.
b. Bagi penulis
Dapat memperluas kaidah-kaidah pengetahuan serta sumber ajar yang berguna
dalam proses pembelajaran khususnya pada materi Kasus Kegawatdaruratan
Pediatrik : Kejang Dan Epilepsi

3
KASUS KEGAWATDARURATAN PEDIATRIK : KEJANG EPILEPSI

I. KONSEP DASAR TEORI KEJANG DEMAM


A. Defenisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang
demam sering juga disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada
anak-anak usia di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan
hypertermia yang timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Price, 2008).
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rectal > 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses di luar otak. Kejang
demam terjadi pad 2-4% anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun. Anak yang pernah
mengalami kejang tanpa demam kemudian kejang demam kembali tidak termasuk
dalam kejang demam (Hartono, 2011)
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kejang demam
merupakan bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh (>38oC)
sebagai akibat dari proses ekstrakranium (pajanan dari suatu penyakit) namun tanpa
adanya tanda-tanda infeksi intrakranial atau penyebab yang jelas. Kejang demam
sering dijumpai pada anak usia di bawah umur 5 tahun.

B. Etiologi
Etiologi dari kejang demam masih belum diketahui. Namun pada sebagian
besar anak dipicu oleh tingginya suhu tubu yang disebabkan oleh infeksi diluar
susunan saraf pusat misalnya tonsilitis, ostitis media akut, bronkitis (Judha & Rahil,
2011).
Demam merupakan faktor pencetus terjadinya kejang demam pada anak.
Setiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda. Kejang tidak selalu timbul pada
suhu yang paling tinggi. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, serangan
kejang dapat terjadi pada suhu 38°C bahkan kurang, sedangkan pada anak dengan
ambang kejang tinggi, serangan kejang baru terjadi pada suhu 40°C bahkan lebih.
Menurut Lumban Tobing & Mansjoer (2005), faktor yang berperan dalam
menyebabkan kejang demam antara lain :
1. Demam itu sendiri
2. Efek produk toksik dari pada mikroorganisme (kuman dan virus terhadap otak)

4
3. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi
4. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit
5. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan yang tidak diketahui atau
ensekalopati toksik sepintas
6. Gabungan semua faktor tersebut di atas.

Faktor risiko berulangnya kejang demam antara lain sebagai berikut : (IDAI,
2009)
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 18 bulan
3. Temperatur tubuh saat kejang. Makin rendah temperatur saat kejang makin
sering berulang
4. Lamanya demam.

C. Manifestasi Klinis
Menurut Wongjingkang (2012), manifestasi klinis dari kejang demam antara
lain :
1. Kejang umum basanya diawali kejang tonik (otot seluruh tubuh kaku dan
berkontraksi secara tiba – tiba) kemudian diikuti klonik (gerakan berkedut dan
menyentak yang berulang – ulang pada seluruh tubuh secara tiba – tiba) yang
berlangsung 10 sampai 15 menit
2. Frekuensi takikardia pada bayi sering di atas 150 – 200 kali / menit
3. Pulsasi arteri melemah dan tekanan nadi mengecil yang terjadi sebagai akibat
menurunnya curah jantung
Selain itu pedoman mendiagnosis kejang demam menurut Livingstone juga
dapat kita jadikan pedoman untuk menetukan manifestasi klinik kejang demam. Ada
7 kriteria antara lain :
1. Umur anak saat kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun
2. Kejang hanya berlangsung tidak lebih dari 15 menit
3. Kejang bersifat umum (tidak pada satu bagian tubuh seperti pada otot rahang
saja).
4. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5. Pemeriksaan sistem persarafan sebelum dan setelah kejang tidak ada kelainan.

5
6. Pemeriksaan elektro Enchephalography dalam kurun waktu 1 minggu atau lebih
setelah suhu normal tidak dijumpai kelainan
7. Frekuensi kejang dalam waktu 1 tahun tidak lebih dari 4 kali.
D. Klasifikasi
Menurut Lumbantobing (2004), kejang demam dapat dibagi menjadi 2 jenis,
yaitu :
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure) Adapun ciri-ciri kejang
demam sederhana antara lain :
a. Berlangsung singkat (< 15 menit)
b. Menunjukkan tanda-tanda kejang tonik dan atau klonik
c. Kejang hanya terjadi sekali / tidak berulang dalam 24 jam.
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure) Adapun ciri-ciri kejang
demam kompleks antara lain :
a. Berlangsung lama (> 15 menit)
b. Menunjukkan tanda-tanda kejang fokal yaitu kejang yang hanya melibatkan
salah satu bagian tubuh
c. Kejang berulang / multipel atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

E. Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah
menjadi CO2 dan H2O. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan
dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran
sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion K+ dan sangat sulit dilalui oleh ion
Na+ dan elektrolit lainya kecuali ion Cl-. Akibatnya konsentrasi ion kalium dalam sel
neuron tinggi dan konsentrasi natrium rendah, sedang di luar sel neuron terdapat
keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar
sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran
dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran, diperlukan energi
dan bantuan enzim NA-K ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh perubahan
konsentrasi ion di ruang ekstraseluler, rangsangan yang datang mendadak misalnya
mekanisme, kimiawi, atau aliran listrik dari sekitarnya, dan perubahan patofisiologi
dari membran karena penyakit atau keturunan. Pada keadaan demam, kenaikan suhu
1°C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10% - 15% dan kebutuhan

6
oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari
seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Oleh karena itu
kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan
dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat
terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh
sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan
terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung lama biasanya disertai apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadi hiposemia, hiperkapnia, dan asidosis laktat yang disebabkan oleh
metabolisme anerobik, hipotensi, artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur
dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktivitas otot dan
mengakibatkan metabolisme otak meningkat. Akibat lainnya terjadi gangguan
peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas
kapiler dan timbul edema otak yang mngakibatkan kerusakan sel neuron otak.
Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang
yang berlangsung lama dapat menjadi matang di kemudian hari sehingga terjadi
serangan epilepsi spontan, karena itu kejang demam yang berlangsung lama dapat
menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsy (Judha & Rahil,
2011).

7
F. Pathway

Infeksi bakteri, Rangsangan mekanik dan


vius, dan parasit biokimia. Gangguan
keseimbangan cairan dan
Reaksi inflamasi elektrolit

Proses demam
Perubahan konsentrasi ion
Kelainan neurologis
di ruang ekstraseluler
perinatal/prenatal

Ketidakseimbangan Perubahan difusi Na+


potensial membran ATP dan K+
ASE
Perubahan beda potensial
Pelepasan muatan listrik membrane sel neuron
semakin meluas ke
seluruh sel maupun
membrane sel sekitarnya
dengan bantuan
neurotransmitter Kejang

< 15 menit (KDS) > 15 menit (KDK)

Kesadaran Kontraksi otot meningkat Perubahan suplai darah ke


menurun otak

Metabolisme meningkat Risiko kerusakan sel


Refleks menelan neuron otak
menurun
Risiko ketidakefektifan
perfusi jaringan otak
Risiko aspirasi
Suhu tubuh makin
meningkat
Gangguan saraf otonom
Ketidakefektifan
termoregulasi tubuh
Gangguan Ventilasi Spontan

8
G. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang untuk kasus kejang demam meliputi :
1. Darah
a. Glukosa darah: hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200
mg/dL)
b. BUN-SC : peningkatan BUN-SC mempunyai potensi kejang dan merupakan
indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
c. Elektrolit : Kalium, natrium. Ketidakseimbangan elektrolit merupakan
predisposisi kejang. Kadar Kalium normal adalah 3.80-5.00 meq/dL,
sementara kadar Natrium normal adalah 135-144 meq/dL.
2. Fungsi Lumbal. Yaitu menganalisa Cairan cerebo spinal untuk mendeteksi
tekanan abnormal dari CCS, tanda infeksi, pendarahan, dan penyebab kejang
3. X Ray : Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
4. Tansiluminasi : Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih
terbaik (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk
transiluminasi kepala
5. EEG : Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh
untuk mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal.
6. CT-Scan : Untuk mengidentifikasi lesi cerebral infark hematoma, cerebral
oedema, trauma, abses, tumor dengan atau tanpa kontras.

H. Penatalaksanaan Medis
1. Saat terjadi Kejang Demam
Menurut Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), menyatakan bahwa
penatalaksanaan yang dilakukan saat pasien dirumah sakit antara lain :
a. Saat timbul kejang maka pasien diberikan diazepam intravena secara
perlahan dengan panduan dosis untuk berat badan yang kurang dari 10 kg
dosisnya 0.5 – 0.75 mg/kg BB, di atas 20 kg dosisnya 0.5 mg/kg BB. Dosis
rata-rata yang diberikan adalah 0.3 mg/kg BB / kali pemberian dengan
maksimal dosis pemberian 5 mg pada anak kurang dari 5 tahun dan maksimal
10 mg pada anak yang berumur lebih dari 5 tahun. Pemberian tidak boleh
melebihi 50 mg persuntikan. Setelah pemberian pertama diberikan masih
timbul kejang, 15 menit kemudian dapat diberikan injeksi diazepam secara
intravena dengan dosis yang sama. Apabila masih kejang maka ditunggu 15

9
menit lagi kemudian diberikan injeksi diazepam ketiga dengan dosis yang
sama secara intramuskuler.
b. Pembebasan jalan napas dengan cara kepala dalam posisi hiperekstensi
miring, pakaian dilonggarkan, dan pengisapan lendir. Bila tidak membaik
dapat dilakukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi.
c. Pemberian oksigen, untuk membantu kecukupan perfusi jaringan.
d. Pemberian cairan intravena untuk mencukupi kebutuhan dan memudahkan
dalam pemberian terapi intravena. Dalam pemberian cairan intravena
pemantauan intake dan output cairan selama 24 jam perlu dilakukan, karena
pada penderita yang beresiko terjadinya peningkatan tekanan intrakranial
kelebihan cairan dapat memperberat penurunan kesadaran pasien. Selain itu
pada pasien dengan peningkatan intraklanial juga pemberian cairan yang
mengandung natrium perlu dihindari.
e. Pemberian kompres hangat untuk membantu suhu tubuh dengan metode
konduksi yaitu perpindahan panas dari derajat tinggi (suhu tubuh) ke benda
yang mempunyai derajat yang lebih rendah (kain kompres). Kompres
diletakkan pada jaringan penghantar panas yang banyak seperti kelenjar
limfe di ketiak, leher, lipatan paha, serta area pembuluh darah yang besar
seperti di leher. Tindakan ini dapat dikombinasikan dengan pemberian
antipiretik seperti prometazon 4-6 mg/kg BB/hari (terbagi dalam 3 kali
pemberian).
f. Apabila terjadi peningkatan tekanan intrakranial maka perlu diberikan obat-
obatan untuk mengurang edema otak sampai keadaan membaik. Posisi kepala
hiperekstensi tetapi lebih tinggi dari anggota tubuh yang lain dengan cara
menaikan tempat tidur bagian kepala lebih tinggi kurang kebih 15° (posisi
tubuh pada garis lurus)
g. Untuk pengobatan rumatan setelah pasien terbebas dari kejang pasca
pemberian diazepam, maka perlu diberikan obat fenobarbital dengan dosis
awal 30 mg pada neonatus, 50 mg pada anak usia 1 bulan-1 tahun, 75 mg
pada anak usia 1 tahun keatas dengan teknik pemberian intramuskuler.
Setelah itu diberikan obat rumatan fenobarbital dengan dosis pertama 8-10
mg/kg BB /hari (terbagi dalam 2 kali pemberian) hari berikutnya 4-5 mg/kg
BB/hari yang terbagi dalam 2 kali pemberian.

10
h. Pengobatan penyebab.
Karena yang menjadi penyebab timbulnya kejang adalah kenaikan suhu
tubuh akibat infeksi seperti di telinga, saluran pernapasan, tonsil maka
pemeriksaan seperti angka leukosit, foto rongent, pemeriksaan penunjang
lain untuk mengetahui jenis mikroorganisme yang menjadi penyebab infeksi
sangat perlu dilakukan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memilih jenis
antibiotik yang cocok diberikan pada pasien anak dengan kejang demam.
2. Setelah Kejang Demam berhenti
Bila kejang berhenti dan tidak berlanjut, pengobatan cukup dilanjutkan
dengan pengobatan intermitten yang diberikan pada anak demam untuk
mencegah terjadinya kejang demam. Obat yang diberikan berupa :
a. Antipiretik
Paracetamol atau asetaminofen 10-15 mg/kgBB diberikan 4 kali atau tiap 6
jam. Berikan dosis rendah dan pertimbangkan efek samping berupa
hiperhidrosis. Ibuprofen 10 mg/kgBB diberikan 3 kali (tiap 8 jam).
b. Antikonvulsan
Berikan diazepam oral dosis 0.3-0.5 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat demam
untuk menurunkan resiko berulangnya kejang atau diazepam rectal dosis 0.5
mg/kgBB sebanyak 3 kali per hari.

I. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat dari kejang demam anak antara lain :
1. Kejang Demam Berulang.
Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih
dari satu episode demam. Beberapa hal yang merupakan faktor risiko
berulangnya kejang demam yaitu :
a. Usia anak < 15 bulan pada saat kejang demam pertama
b. Riwayat kejang demam dalam keluarga
c. Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam
d. Riwayat demam yang sering
e. Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
2. Kerusakan Neuron Otak.
Kejang yang berlangsung lama (> 15 menit) dapat menyebabkan
gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan

11
permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan
neuron otak.
3. Retardasi Mental
Terjadi akibat kerusakan otak yang parah dan tidak mendapatkan
pengobatan yang adekuat.
4. Epilepsi
Terjadi karena kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah
mendapat serangan kejang yang berlangsung lama. Ada 3 faktor risiko yang
menyebabkan kejang demam menjadi epilepsi dikemudian hari, yaitu :
a. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung
b. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam
pertama
c. Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
5. Hemiparesis
Yaitu kelumpuhan atau kelemahan otot-otot lengan, tungkai serta wajah
pada salah satu sisi tubuh. Biasanya terjadi pada penderita yang mengalami
kejang lama (kejang demam kompleks).

I. KONSEP DASAR TEORI EPILEPSI


A. Definisi
Epilepsi atau yang lebih sering disebut ayan atau sawan adalah gangguan
system saraf pusat yang disebabkan karena letusan pelepasan muatan lstrik sel saraf
secara berulang-ulang, dengan gejala penurunan kesadaran, gangguan motoric,
sensorik, dan mental, dengan atau tanpa kejang-kejang (Ramali, 2005).
Menurut Harsono (2007), Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat
(SSP) yang dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attack, spell) yang
bersifat spontan dan berkala.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa epilepsi adalah
lepasnya muatan listrik yang berlebihan dan abnormal dari sel-sel saraf otak yang
bersifat spontan dan berkala ditandai dengan kejang kronik dengan serangan yang
berulang.

12
B. Etiologi
Menurut Piogama (2009), penyebab terjadinya epilepsi antara lain :
1. Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga saat ini belum diketahui penyebabnya. Tidak
ditemukan kelainan pada jaringan otak, diduga bahwa terdapat kelainan atau
gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel – sel saraf pada area jaringan otak
yang abnormal.
2. Epilepsi Sekunder (Simtomatik)
Adalah epilepsy yang diketahui penyebabnya atau akibat adaya kelainan
pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena bawaan sejak lahir atau
adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada
masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum
kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi,
fenilketonuria, defisiensi vitamin B6), faktor – faktor toksik, ensefalitis, anoksia,
gangguan sirkulasi, dan neoplasma.

C. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu:
1. Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau
satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya masih baik.
a. Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, fenomena
halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial
sederhana, kesadaran penderita masih baik.
b. Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana,
tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme.
2. Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak atau
kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya menurun.
a. Kejang Absans

13
Hilangnya kesadaran sesaat (beberapa detik) dan mendadak disertai amnesia.
Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau halusinasi,
sehingga sering tidak terdeteksi.
b. Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan,
leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.
c. Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat.
Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
d. Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat dan
total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata mengalami
deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase
klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas
fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan
peningkatan denyut jantung.
e. Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang
yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f. Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami
jatuh akibat hilangnya keseimbangan.
Tipe kejang Ciri khas
Kejang parsial
Parsial sederhana Adanya gejala motorik, somatosensorik, sensorik,
otonom, atau kejiwaan. Kesadaran normal.
Parsial kompleks Adanya gejala motorik, somatosensorik, sensorik,
otonom, atau kejiwaan. Adanya penurunan kesadaran.

Kejang umum
Tonik-klonik Kekakuan tonik yang diikuti oleh sentakan ekstremitas
yang sinkron. Dapat disertai inkontinensia. Diikuti
dengan kebingungan pasca kejang.

14
Absans Hilangnya kesadaran (biasanya <10 detik) dengan
terhentinya aktivitas yang sedang berlangsung.
Dapat disertai gerakan otomatis, seperti mengedip. Pola
EEG menunjukkan gambaran paku-ombak (spike- and-
wave).

Mioklonik Adanya satu atau banyak sentakan otot. Kesadaran


normal. Biasanya bilateral dan simetris.
Atonik Hilangnya tonus otot yang singkat.
Tonik Kontraksi otot yang berkepanjangan.
Klonik Pergantian sentakan dan relaksasi ekstremitas secara
berulang-ulang.
Sumber: (Miller, 2009)

D. Klasifikasi
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan klasifikasi
sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor tipe bangkitan
(umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia dan situasi yang
berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi
berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram.
1. Klasifikasi epilepsi berdasarkan bangkitan :
a. Bangkitan parsial
1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a) Dengan gejala motorik
b) Dengan gejala sensorik
c) Dengan gejala otonomik
d) Dengan gejala psikis
2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a) Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
- Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
- Dengan automatisme
b) Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
- Dengan gangguan kesadaran saja
- Dengan automatisme

15
b. Bangkitan Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi)
1) Bangkitan lena
Lena (absence), sering disebut petitmal. Serangan terjadi secara tiba-tiba, tanpa di dahului
aura. Kesadaran hilang selama beberapa detik, ditandai dengan terhentinya percakapan
untuk sesaat, pandangan kosong, atau mata berkedip dengan cepat. Hampir selalu pada
anak-anak.
a) Bangkitan mioklonik
Serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang singkat dan tiba-tiba, bisa simetris dan
asimetris, sinkronis atau asinkronis. Tidak terjadi hilang kesadaran selama serangan.
b) Bangkitan tonik
Serangan ini terdiri atas tonus otot yang tiba-tiba meningkat dari otot ekstremitas,
sehingga terbentuk sejumlah sikap yang khas. Biasanya kesadaran hilang hanya beberapa
menit, terjadi pada anak 1-7 tahun.
c) Bangkitan atonik
Serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh. Keadaan ini bisa di menifestasikan
oleh kepala yang terangguk-angguk, lutut lemas, atau kehilangan total dari tonus otot dan
pasien bisa jatuh serta mendapatkan luka-luka.
d) Bangkitan klonik
Serangan dimulai dengan kehilangan kesadaran yang disebebkan oleh hipotonia yang tiba-
tiba atau spasme tonik yng singkat. Keadaan ini diikuti sentakan bilateral yang lamanya 1
menit samapai beberapa menit yang sering asimetris dan bisa predominasi pada satu
anggota tubuh. Seranagan ini bisa bervariasi lamanya, seringnya dan bagian dari sentakan
ini satu saat ke satu saat lain.
e) Bangkitan tonik-klonik
Merupakan jenis serangan klasik epilepsi serangan ini ditandai oleh suatu sensasi
penglihatan atau pendengaran selama beberapa saat yang diikuti oleh kehilangan
kesadaran secara cepat.

2. Klasifikasi epilepsi berdasarkan sindroma


a. Symptomatic
1) Subklasifikasi dalam kelompok ini ditentukan berdasarkan lokasi anatomi yang
diperkirakan berdasarkan riwayat klinis, tipe kejang predominan, EEG interiktal dan iktal,
gambaran neuroimejing.

16
2) Kejang parsial sederhana, kompleks atau kejang umum sekunder berasal dari lobus frontal,
parietal, temporal, oksipital, fokus multipel atau fokus tidak diketahui.
3) Localization related tetapi tidak pasti simtomatik atau idiopatik (Octaviana, 2008)

E. Patofisiologi
Sistem saraf merupakan communication network (jaringan komunikasi), otak
berkomunikasi dengan organ-organ tubuh lain melalui sel-sel saraf (neuron). Pada kondisi
normal, impuls saraf dari otak secara elektrik dibawa neurotransmitter seperti GABBA
(gamma aminobutric acid glutamate) melalui sel-sel saraf ke organ tubuh lainnya.
Faktor-faktor penyebab epilepsi di atas mengganggu sistem ini sehingga menyebabkan
ketidakseimbangan aliran listrik pada sel saraf dan menimbulkan kejang yang merupakan
salah satu ciri epilepsi (Harsono, 2007)
Bangkitan epilepsi berasal dari sekelompok sel neuron yang abnormal di otak yang
melepas muatan secara berlebihan dan hipersinkron. Sekelompok sel ini yang disebut fokus
epileptik. Lepas muatan ini kemudian menyebar melalui jalur-jalur fisiologis anatomis dan
melibatkan daerah sekitarnya. Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di alam otak
lebih dominan dari pada proses inhibisi (hambatan). Seperti kita ketahui bersama bahwa
aktivitas neuron di atur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstra seluler dan di dalam intra
seluler dan oleh gerakan masuk ion-ion menerobos membrane neuron. Pada kejadian
epilepsy, ion-ion tersebut tidak terkoordinasi dengan baik, sehingga dapat timbul loncatan
muatan. Akibat loncatan neuron yang tidak terkoordinasi dengan baik, sekelompok neuron
akan mengalami abnormal depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan
potensial aksi cepat dan berulang-ulang.
Cetusan listrik yang abnormal ini kemudian mengajak neuron-neuron sekitarnya
sehingga meninbulkan serangkaian gerakan yang melibatkan otot dan menimbulkan kejang.
Spasme otot terjadi hampir pada semua bagian termasuk otot mulut sehingga penderita
mengalami ancaman permukaan lidah. Kelainan sebagian besar dari neuron otak yang
diakibatkan gangguan listrik juga mengakibatkan penurunan kesadaran tiba-tiba sehingga
berisiko cidera karena benturan benda sekitar atau terkena benda yang berbahaya seperti api,
listrik, atau benda lain (Riyadi, 2009)

17
F. Pathway
Idiopatik, herediter, trauma kelahiran, infeksi perinatal,
meningitis

Susunan Saraf Pusat terganggu

Ketidakseimbangan aliran listrik pada


sel saraf

Epilepsi

Aktivitas kejang

Peningkatan frekuensi
Kesadaran
pernapasan Penurunan aliran darah
menurun
ke jaringan cerebral

Penurunan kemampuan Ketidakefektifan


Penurunan suplai O2 ke
otot menelan pola nafas
jaringan cerebral

Risiko Penumpukan
Hipoksia
aspirasi secret di mulut

Risiko Ketidakefektifan
Ketidakefektifan
perfusi jaringan otak
bersihan jalan nafas

(Riyadi, 2009; Harsono, 2007; Nanda, 2012)

18
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengukur aktivitas listrik di dalam otak. Adanya
kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak,
sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya
kelainan genetik atau metabolik. Gambaran EEG pasien epilepsi menunjukkan gambaran
epileptiform, misalnya gelombang tajam (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksismal.
2. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan CT csan atau MRI dikakukan untuk mengetahui adanya tumor atau kanker
otak, stroke, jaringan parut, dan kerusakan karena cedera kepala
3. Fungsii Lumbal
Adalah pemeriksaan cairan serebrospinal untuk mengetahui apakah terjadi infeksi otak
atau tidak, misalnya meningitis

H. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :
1. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Pastikan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi baik
1-5 menit Diazepam 0.3 mg/kg IV, maks 10 mg
0.5 - 0.75 mg/kg PR
Midazolam 0.2 mg/kg IM
Kejang belum berhenti dalam 5 - 10 menit, ulang dengan dosis dan cara sama
10 menit Diazepam 0.3 mg/kg IV, maks 10 mg
0,5 – 0.75 mg/kg PR
Midazolam 0.2 mg/kg IM
15 menit Fenitoin 20 mg/kg IV maks 1 gram
IV drip 20 menit dalam 50 ml NaCl (infus 1
mg/kg/menit)
35 menit Fenobarbital 20 mg/kg IV, bolus 5-10 menit infus 1
mg/kg/menit) hati-hati depresi pernapasan
Bila masih kejang setelah 10 menit pemberian fenobarbital, terapi sebagai
status epileptikus refrakter (bangkitan kejang tetap ada setelah mendapat dua

19
atau tiga antikonvulsan awal dengan dosis adekuat)
45-60 menit Midazolam IV *bolus 0.2 mg/kg dilanjutkan drip 0.02 – 0.4
infuse mg/kg/jam
Pertimbangkan tambahan fenobarbital 10-15
mg/kg
Bila tidak kejang selama 24 jam, tukar
midazolam 1 ug/menit setiap 15 menit.
(Yazid,2006)

2. Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas dari
serangan epilepsinya. Apabila kejang terjadi terus menerus maka kerusakan sel-sel otak
akan semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita.
Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini dan
seagresif mungkin. Pengobatan epilepsi dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan
sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan obat-obatan
sampai pasien tersebut 2 tahun bebas kejang. Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu
(Abdul, 2010) :
a. Terapi medikamentosa
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita epilepsi yang
baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan di Indonesia
adalah obat golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproat. Obat-obat
tersebut harus diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi secara
efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE harus tetap
diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping yang berat maupun tanda-tanda
keracunan obat. Prinsip pemberian obat dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan
dosis terendah yang dapat mengatasi kejang (Abdul, 2010).
Berikut daftar OAE yang umum digunakan dan indikasinya
Tipe kejang Lini pertama Lini kedua
Kejang parsial
Parsial sederhana, Carbamazepine Acetazolamide
Parsial kompleks, Lamotrigine Clonazepam
Umum sekunder Levetiracetam Gabapentin

20
Oxcarbazepine Phenobarbitone
Topiramate Phenytoin
Valproate
Kejang umum
Tonik-klonik, Carbamazepine Acetazolamide
Klonik Lamotrigine Levetiracetam
Topiramate Phenobarbitone
Valproate Phenytoin
Absans Ethosuximide Acetazolamide
Lamotrigine Clonazepam
Valproate
Absans atipikal, Valproate Acetazolamide
Atonik, Clonazepam
Tonik Lamotrigine
Phenytoin
Topiramate
Mioklonik Valproate Acetazolamide
Clonazepam
Lamotrigine
Levetiracetam

Phenobarbitone
Piracetam
Sumber: (Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010)

b. Terapi bedah epilepsi


Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang menjadi
fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan. Diindikasikan terutama
untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan. Berikut ini merupakan jenis
bedah epilepsi berdasarkan letak fokus infeksi (Heinz, 2006) :
1) Lobektomi temporal
2) Eksisi korteks ekstratemporal
3) Hemisferektomi
4) Callostomi

21
c. Terapi nutrisi
Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat yang kurang
dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai dapat mengurangi toksisitas
dari obat. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada anak penderita epilepsi.
Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik dalam menghambat kejang masih belum
diketahui secara pasti, tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan
mengontrol terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak prasekolah karena anak-
anak mendapat pengawasan yang lebih ketat dari orang tua di mana efektivitas diet
berkaitan dengan derajat kepatuhan. Kebutuhan makanan yang diberikan adalah
makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat lemak terhadap kombinasi karbohidrat dan
protein adalah 4:1. Kebutuhan kalori harian diperkirakan sebesar 75 – 80 kkal/kg. Untuk
pengendalian kejang yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan obat antiepilepsi
(Rudolph, 2007).

I. KOMPLIKASI
Komplikasi epilepsi yang merupakan kelainan neurologis mencakup tiga hal berikut:
1. Gangguan psikiatrik, prevalensi gangguan psikiatri meningkat pada pasien epilepsi, seperti
gangguan mood, gangguan kecemasan, atau attention deficit hyperactivity
disorder (ADHD)
2. Gangguan kognitif, pasien epilepsi mengalami abnormalitas kognitif dibanding orang
normal pada umur yang sama. Pasien epilepsi sering ditemukan mengalami kurang prestasi
akademik (tinggal kelas, harus mendapatkan jam pelajaran tambahan)
3. Gangguan perilaku dan adaptasi sosial, pasien epilepsi dapat mengalami gangguan dalam
bersosialisasi dan membina hubungan antar individu (Lin,2016)
Salah satu komplikasi epilepsi yang berbahaya adalah kematian akibat sudden
unexpected death in epilepsy (SUDEP) yaitu kematian akibat serangan epilepsi yang terjadi
pada saat tidur dengan posisi yang dapat menghambat jalan napas. Insidensinya
diperkirakan 1.2 per 1.000 penderita epilepsi dan paling sering terjadi pada pasien dewasa
muda (Devinsky,2016)

22
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Survey Primer
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert., D’Souza., &
Pletz, 2009)
a. A : Airway (Jalan Nafas)
Kaji adanya sumbatan total ataupun sebagian dan gangguan servikal, ada tidaknya
sumbatan jalan nafas, distress pernafasan, atau ada tidaknya secret.
Pada fase iktal (kejang), biasanya ditemukan klien mengatupkan giginya sehingga
menghalangi jalan napas, klien menggigit lidah, mulut berbusa (pada epilepsi), dan pada
fase post iktal (setelah kejang), biasanya ditemukan perlukaan pada lidah dan gusi akibat
gigitan tersebut. Lidah dapat seketika tergigit, dan atau berbalik arah lalu menyumbat
saluran pernapasan.
b. B : Breathing (Pola Nafas)
Kaji ada tidaknya pernafasan, adekuatnya pernafasan, frekuensi nafas, pergerakan
dinding dada, dan suara pernafasan.
Pada fase iktal, pernapasan klien dapat menurun/cepat, peningkatan sekresi mukus, dan
kulit tampak pucat bahkan sianosis. Pada fase post iktal, klien dapat mengalami apneu
apabila kejang berlangsung lama (> 15 menit), Na meningkat, kebutuhan O2 dan energi
meningkat untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan
terjadinya asidosis.
c. C : Circulation
Kaji ada tidaknya denyut nadi, kemungkinan syok, adanya perdarahan eksternal, denyut
nadi, kekuatan dan kecepatan nadi, warna dan kelembaban kulit, tanda – tanda
perdarahan eksternal, serta tanda – tanda jejas atau trauma.
d. D : Disability
Kaji kondisi neuromuscular pasien, tingkat kesadaran (GCS), keadaan ekstremitas,
kemampuan motorik dan sensorik. Klien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis
serangan atau karakteristik dari epilepsi yang diderita. Biasanya pasien merasa bingung,
dan tidak teringat kejadian saat kejang
2. Survey Sekunder
a. Identitas klien
Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, alamat, tanggal masuk rumah
sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.

23
b. Keluhan utama
Klien biasanya masuk dengan kejang dan disertai penurunan kesadaran
c. Riwayat penyakit
Kaji riwayat penyakit pasien, antara lain kapan klien mulai mengalami serangan, pada
usia berapa mengalami serangan, frekuansi serangan, ada faktor presipitasi seperti suhu
yang tinggi. Apakah pernah menderita sakit berat yang disertai hilangnya kesadaran,
kejang, cedera otak, operasi otak, dll
d. Riwayat kejang
Kaji mengenai frekuensi kejang, gambaran kejang, adanya tanda – tanda awal sebelum
kejang, adanya kehilangan kesadaran atau pingsan, adanya kehilangan kesadaran sesaat
atau lena.
e. Pemeriksaan fisik
Lakukan pemeriksaan fisik head to toe dengan menggunakan teknik IAPP (Inspeksi,
Auskultasi, Palpasi, dan Perkusi) untuk mengetahui adanya kelainan atau jejas sebagai
akibat dari timbulnya kejang.

B. Diagnosa Keperawatan Kegawatdaruratan


1. Risiko Ketidakefektifan perfusi jaringan otak
2. Ketidakefektifakan bersihan jalan nafas
3. Risiko aspirasi
4. Gangguan ventilasi spontan
5. Ketidakefektifan pola nafas
6. Ketidakefektifan termoregulasi tubuh

24
C. Intervensi
Tujuan dan
Diagnosa
No Kriteria Hasil Intervensi (NIC)
Keperawatan
(NOC)
1 Risiko Setelah dilakukan Manajemen Edema Serebral
ketidakefektifan tindakan □ Monitor adanya kebingungan,
perfusi jaringan keperawatan selama perubahan pikiran, keluhan
otak dibuktikan ... x ... jam pusing,pingsan
penyakit diharapkan tidak □ Monitor status neurolgi dengan ketat
neurologis terjadi peningkatan dan bandingkan dengan nilai normal
tekanan intracranial □ Monitor tanda-tanda vital
dengan Kriteria □ Monitor karakteristik cairan
Hasil : serebrospinal : warna, kejernihan,
Perfusi Jaringan : konsistensi
Serebral □ Monitor TIK dan CPP
□ Tekanan darah □ Monitor status pernapasan : frekwensi,
sistolik dan irama, kedalaman pernapasan
diastolic normal □ Berikan anti kejang sesuai kebutuhan
□ MAP dalam □ Hindari fleksi leher, atau fleksi ekstrem
batas normal pada lutut/panggul
□ Sakit kepala □ Posisikan tinggi kepala tempat tidur 30
menurun atau derajat atau lebih
hilang □ Hindari cairan IV hipotonik
□ Tidak gelisah □ Monitor nilai-nilai laboratorium :
□ Tidak osmolalitas serum dan urin, natrium,
mengalami kalium
muntah □ Lakukan latihan ROM pasif
□ Tidak
mengalami Monitor Tekanan Intrakranial (TIK)
penurunan □ Berikan informasi kepada pasien dan
kesadaran keluarga/orang penting lainnya

25
□ Tidak demam □ Monitor kualitas dan karakteristik
gelombang TIK
□ Monitor tekanan aliran darah otak
□ Monitor status neurologis
□ Monitor suhu dan jumlah WBC
□ Periksa pasien terkait ada tidaknya
gejala kaku kuduk
□ Letakkan kepala dan leher pasien dalam
posisi netral, hindari fleksi pinggang
yang berlebihan.
□ Sesuaikan kepala tempat tidur untuk
mengoptimalkan perfusi serebral
□ Berikan agen farmakologis untuk
mempertahankan TIK dalam jangkuan
tertentu

26
III. KASUS KEGAWAT DARURATAN PEDIATRIK : KEJANG DAN EPILEPSI
Pasien An. A (3 tahun) datang ke IGD diantar oleh ibunya dalam kondisi sadarkan diri
dengan keluhan mengalami kejang 1x. Ibu pasien mengatakan seluruh badan pasien kaku dengan
tangan dan kaki bergerak – gerak sendiri secara berulang, kedua mata mendelik ke atas, lamanya
± 10 menit. Sebelum kejang, kesadaran pasien dikatakan baik. Namun setelah kejang, pasien
tidak mau merespon dan terkadang hanya menangis. Ibu pasien mengatakan An. A baru pertama
kali mengalami kejang. Keluhan kejang didahului dengan panas badan yang awalnya mendadak
tinggi terus menerus sejak 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit.
1. Pengkajian
Tanggal masuk : 13 September 2017
Ruang : IGD RSUP Sanglah
Nomor Register : 0005
Diagnosa Medis : Kejang Demam Sederhana + Obs. Febris H-2
a. Identitas Klien
Nama : An. A
Jenis Kelamin : Laki - laki
Usia : 3 tahun
Agama : Hindu
Pendidikan :-
Suku : Bali
Bahasa yang digunakan : Bali
Alamat rumah : Jalan Pulau Moyo XV, gang Telkom I, no.2A, Pedungan,
Denpasar
Sumber biaya : Pribadi
Sumber informasi : Keluarga pasien
b. Pengkajian Primer
Tingkat Kesadaran : Apatis
1) Airway
Tingkat kesadaran apatis, upaya nafas ada, tidak ada sumbatan jalan nafas, bunyi
nafas vesikuler.
Dx Kep : –

27
Intervensi / Implementasi : –
Evaluasi : –
2) Breathing
RR 36 x/menit, pergerakan dada simetris, tidak ada retraksi otot bantu nafas, tidak
ada kelainan dinding toraks, bunyi nafas vesikuler, hembusan nafas ada.
Dx Kep : –
Intervensi / Implementasi : –
Evaluasi : –
3) Circulation
Tidak ada perdarahan internal maupun eksternal, CRT < 2 detik, nadi brachialis
teraba 124 x/menit, akral perifer hangat.
Dx Kep : –
Intervensi / Implementasi : –
Evaluasi : –
4) Dissability
Tingkat kesadaran apatis, GCS = E4VxM6, reflex fisiologis +, reflex patologis
(babinski) -,
Dx Kep : Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
Intervensi / Implementasi :
- Beri O2 nasal kanul 3 L/m
- Beri posisi head up
- Beri Trazep 2 mg/rectal
- Pasang infuse RL 10 tpm
Evaluasi :
- Terpasang O2 nasal kanul 3 L/m
- Posisi pasien head up
- Trazep 2 mg berhasil masuk
- Terpasang infuse RL 8 tpm
5) Exposure
Suhu aksila 39.2oC, kulit kemerahan dan teraba panas
Dx Kep : Hipertermia

28
Intervensi / Implementasi :
- Injeksi antrain 100 mg/IV dan dexamethason 1.5 mg/IV
Evaluasi :
- Antrain 100 mg dan dexamethason 1.6 mg berhasil masuk
- Suhu aksila 38.6oC

c. Pengkajian Sekunder
1) Riwayat Kesehatan
a) Keluhan Utama
Ibu An. A mengatakan pasien mengalami kejang sebanyak 1 kali
b) Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUP Sanglah diantar oleh ibunya pada tanggal 13
September 2018 pukul 19.25 wita dengan keluhan mengalami kejang 1x. Ibu
pasien mengatakan seluruh badan pasien kaku dengan tangan dan kaki bergerak
– gerak sendiri secara berulang, kedua mata mendelik ke atas, lamanya ± 10
menit. Sebelum kejang, kesadaran pasien dikatakan baik. Namun setelah kejang,
pasien tidak mau merespon dan terkadang hanya menangis. Ibu pasien
mengatakan An. A baru pertama kali mengalami kejang. Keluhan kejang
didahului dengan panas badan yang awalnya mendadak tinggi terus menerus
sejak 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit.
c) Kronologis Keluhan
Dua hari SMRS, ibu pasien mengatakan anak mengalami demam yang tinggi
secara terus menerus. Pasien sudah diajak berobat ke puskesmas dan telah
mendapatkan sanmol sirup, namun demam pasien tidak kunjung turun. Sebelum
terjadi kejang, pasien semakin rewel.
2) Riwayat Kesehatan Masa Lalu
a) Riwayat Kehamilan
Kunjungan ANC teratur ke bidan, ibu tidak mengkonsumsi obat-obatan selama
masa kehamilan, penyulit kehamilan tidak ada.
b) Riwayat Kelahiran

29
Anak lahir cukup bulan di RS, lahir normal, langsung menangis, tidak terdapat
kelainan atau cacat bawaan, BB lahir = 3500 gram, PB lahir 50 cm.
c) Riwayat Makanan
- ASI sejak usia 0 – 6 bulan
- MP-ASI sejak usia 6 bulan
Kesan : Makanan sesuai usia
d) Riwayat Imunisasi
Saat
lahir Hepatitis B-1, polio-0
I
bulan Hepatitis B-2
2
bulan BCG, DPT-1, polio-1
4
bulan DPT-2, polio-2
6 DPT-3, polio-3, Hepatitis
bulan B-3
9
bulan Campak
Kesan : Imunisasi dasar lengkap
e) Riwayat Tumbuh Kembang
- Bisa tengkurap usia 3 bulan, bisa mengoceh usia 6 bulan
- Merangkak, suka menggenggam benda pada usia 7 bulan
- Bisa duduk usia 8 bulan
- Berjalan dengan bantuan usia 12 bulan
Kesan : tumbuh kembang sesuai usia
f) Riwayat Alergi
Tidak ada alergi obat, makanan, minuman, maupun cuaca
3) Pengkajian Fisik
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Apatis

30
Tanda Vital
a) Suhu : 38.6°C
b) Nadi : 124 x/menit
c) Tek. Darah : Tidak terkaji
d) RR : 36 x/menit
Status Gizi
a) Tinggi Badan : 89 cm
b) Berat badan : 15 kg
c) IMT : 18.94 (normal)
STATUS GENERALIS
Kepala
a) Bentuk : Normocephal
b) Rambut : Hitam, tersebar merata
c) Mata : Konjungtiva anemis (-/-), skelra ikterik (-/-)
d) Hidung : Konka hiperemis (-/-), keluar sekret (-/-)
e) Telinga : Keluar sekret (-/-)
f) Mulut : Pharynk hiperemis (-), bibir anemis (-/-), bibir sianosis (-/-)
Leher
a) Kelenjar tiroid : Pembesaran (-)
b) Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thorax
a) Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi sela iga (-)
b) Palpasi : Vocal fremitus kiri dan kanan sama
c) Perkusi : Sonor di kedua lapang paru, batas paru-hepar ICS 5
d) Auskultasi : Bunyi napas wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Jantung
a) Inspeksi : Ictus cordis terlihat
b) Palpasi : Ictus cordis teraba
c) Perkusi : Jantung dalam batas normal
d) Aukultasi : Bunyi jantung 1&2 murni, tunggal, reguler, murmur (-), gallop
(-)

31
Abdomen
a) Inspeksi : Dinding perut simetris, distensi (-), massa (-), bekas operasi (-),
b) Auskultasi : Bising usus 10 x/menit
c) Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak teraba pembesaran
Extremitas
a) Atas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-), sianosis (-), kekuatan
motorik
5 / 5, sensibilitas : normal, refleks fisiologis : (+), refleks
patologis : (-)
b) Bawah : Akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-), sianosis (-), kekuatan
motorik
5 / 5, sensibilitas : normal, refleks fisiologis : (+), refleks
patologis : (-)
4) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium 13 September 2018
Lab Darah Nilai Rujukan
Hb 10,6 g% 11.7 – 15.5 g%
WBC 23.000/cmm 3.600 – 11.000 / cmm
PCV 30,4% 35 – 47%
Lymfosit 34.6% 25 – 40%
Monocyt 9.1% 4 – 10%
Granulosit 56.3% 43 – 76%
140.000 – 500.000
Trombosit 451.000 / cmm
cmm

32
2. Analisa Data

DATA ETILOGI MASALAH


DS : Demam Risiko ketidakefektifan
Ibu pasien mengatakan pasien perfusi jaringan otak
sempat mengalami kejang 1 Aktivitas kejang
kali dengan durasi ± 10 menit
Penurunan aliran darah ke
DO : jaringan otak
Kesadaran pasien apatis (GCS
: E4VxM6) Penurunan suplai O2 ke jaringan
otak

Hipoksia jaingan otak

Risiko ketidakefektifan perfusi


jaringan otak
DS : Infeksi virus, bakteri, dan parasit Hipertermia
Ibu pasien mengatakan pasien
mengalami demam sejak 2 hari Reaksi inflamasi
yang lalu
Demam
DO :
- Suhu aksila 38.6oC Hipertermia
- Kulit kemerahan
- Kulit teraba panas
- WBC 23.000/cmm (tinggi)

33
3. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Tujuan dan Kriteria


No Intervensi (NIC)
Keperawatan Hasil (NOC)
1 Risiko Setelah dilakukan tindakan Manajemen Edema Serebral
ketidakefektifan keperawatan selama ... x ... jam, □ Monitor adanya kebingungan, perubahan pikiran,
perfusi jaringan diharapkan tidak terjadi keluhan pusing, pingsan
otak yang peningkatan tekanan intracranial □ Monitor status neurolgi dengan ketat dan bandingkan
dibuktikan oleh dengan Kriteria Hasil : dengan nilai normal
Perfusi Jaringan : Serebral □ Monitor tanda-tanda vital
□ Tidak gelisah □ Monitor TIK dan CPP
□ Tidak mengalami muntah □ Monitor status pernapasan : frekwensi, irama,
□ Tidak mengalami penurunan kedalaman pernapasan
kesadaran □ Berikan anti kejang sesuai kebutuhan
□ Suhu tubuh menurun □ Hindari fleksi leher, atau fleksi ekstrem pada
□ Nadi dalam batas normal (80 - lutut/panggul
150 x/menit) □ Posisikan tinggi kepala tempat tidur 30 derajat atau
lebih
□ Beri oksigen sesuai indikasi
□ Hindari cairan IV hipotonik
□ Monitor nilai-nilai laboratorium : osmolalitas serum
dan urin, natrium, kalium
□ Monitor suhu dan jumlah WBC

34
□ Periksa pasien terkait ada tidaknya gejala kaku kuduk
2 Hipertermia b.d Setelah dilakukan tindakan Fever Treatment
penyakit keperawatan selama .... x .. jam, □ Pantau suhu dan tanda-tanda vital lainnya
diharapkan tidak terjadi □ Monitor warna kulit dan suhu
hipertermia dengan kriteria hasil: □ Monitor asupan dan keluaran, sadari perubahan
Thermoregulation kehilangan cairan yang tak dirasakan
□ Suhu tubuh dalam rentang □ Beri obat atau cairan IV (misalnya, antipiretik, agen
normal (36.5oC – 37.5oC) antibakteri, dan agen anti menggigil )
□ Denyut nadi dalam rentang □ Tutup pasien dengan selimut atau pakaian ringan,
normal (80 – 150 x/menit) tergantung pada fase demam (yaitu : memberikan
□ Respirasi dalam batas normal selimut hangat untuk fase dingin ; menyediakan
(24 – 40 x/menit) pakaian atau linen tempat tidur ringan untuk demam
□ Warna kulit normal dan fase bergejolak /flush)
□ Jumlah sel darah putih normal □ Dorong konsumsi cairan
dalam rentang normal (3.600 – □ Pantau komplikasi-komplikasi yang berhubungan
11.000 / cmm) dengan demam serta tanda dan gejala kondisi
penyebab demam (misalnya, kejang, penurunan tingkat
kesadaran, ketidakseimbangan asam basa, dan
perubahan abnormalitas sel)
□ Monitor hasil laboratorium yang sesuai (leukosit,
hemoglobin)

35
4. Implementasi Keperawatan
No.
Tgl / jam Implementasi Evaluasi
DX
1,2 13 September Mengkaji keluhan dan S : Pasien dikatakan mengalami kejang
2018 TTV 1x, demam terus menerus sejak 2 hari
19.25 wita yang lalu
O:
- RR : 36 x/menit
- N : 124 x/menit
- S : 39.2oC
- Kulit kemerahan
- Pasien apatis

1 19.27 wita Memberi posisi head up S : -


dan terapi oksigen nasal O :
kanul 3 L/m - Posisi head up 30o
- Terpasang Oksigen nasal kanul 3 L/m

1 19.29 wita Memberikan anti kejang S : -


(Trazep 2 mg) per rectal O:
- Obat berhasil masuk
- Pasien menangis

2 19.32 wita Memberi kompres hangat S : -


pada aksila dan dahi O : Pasien kooperatif
1 19.35 wita Memasang infuse RL 8 S :
tpm dan mengambil O :
sampel darah untuk cek - Terpasang infuse RL 8 tpm
DL - WBC : 23.000 / cmm (tinggi)
- Hb : 10.6 g% (rendah)

2 19.40 wita Injeks antipiretik(Antrain S : -


100 mg) dan antibiotic O : Antrain 100 mg dan dexamethason

36
(dexamethason 1.5 mg) 1.5 mg berhasil masuk
1,2 19.55 wita Mengobservasi tanda – S : -
tanda vital, tingkat O :
kesadaran, dan ada - RR : 36 x/menit
tidaknya kaku kuduk - N : 124 x/menit
- S : 38.6oC
- Kulit kemerahan
- Pasien apatis
- Tidak ada kaku kuduk

2 20.00 wita Memberikan antibiotik S :-


(cefxon 350 mg/IV) O : Obat berhasil masuk
2 20.25 wita Mengobservasi TTV S:-
O:
- RR : 32 x/menit
- N : 128 x/menit
- S : 38.5oC
- Kulit kemerahan

2 20.55 wita Mengobservasi TTV S:-


O:
- RR : 32 x/menit
- N : 124 x/menit
- S : 38.4oC
- Kulit kemerahan

3 21.25 wita Mengobservasi TTV S:-


O:
- RR : 36 x/menit
- N : 132 x/menit
- S : 38.4oC

37
5. Evaluasi
No.
Tanggal / Jam Evauasi TTD
DX
1 13 September S : Ibu pasien mengatakan pasien tidak mengalami
2018 kejang lagi, tidak muntah
21.25 wita O:
- Pasien apatis
- Suhu tubuh menurun (38.4oC)
- Nasi normal (132 x/menit)
A : Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
P : Lanjutkan terapi, MRS
2 13 September S : Ibu pasien mengatakan demamnya sudah agak
2018 menurun
21.25 wita O:
- Suhu tubuh menurun (38.4oC)
- Nasi normal (132 x/menit)
- Respirasi normal (36 x/menit)
- Kulit kemerahan
A : Hipertermia
P : Lanjutkan terapi, MRS

38
CONTOH KASUS KEGAWATDARURATAN EPILEPSI PADA PEDIATRIK
Seorang anak Z berusia 4 tahun datang bersama ibunya ke IGD sanglah dengan keluhan
ibu An. Z mengeluhkan anaknya kejang berulang sebanyak 2 kali, lamanya ± >10 menit ketika di
rumah. Ibu mengatakan anaknya kejang dengan menghentak-hentakan tangan dan kaki dengan
mata mendelik ke atas 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Setelah kejang pasien merasa lemas,
kemudian sampai ke IGD kejang berhenti dan langsung demam tinggi. Anak mempunyai riwayat
epilepsi dari umur 1 tahun 3 bulan dan masih pengobatan epilepsi sampai sekarang. Umur 9
bulan kejang sudah mulai timbul dan sering berulang setiap kali demam maupun tidak demam.
Ibu mengatakan kejang pada kali ini berbeda dengan kejang sebelumnya karena lama serangan
kejangnya >10 menit dan berulang sebanyak 2x. Saat ini anak demam sejak 2 hari yang lalu
smrs.

1. Pengkajian
Tanggal masuk : 1 November 2017
Ruang : IGD RSUP Sanglah
Nomor Register : 0020
Diagnosa Medis : Epilepsi
a. Identitas Klien
Nama : An.Z
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 4 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : -
Suku : Bali
Bahasa yang digunakan : Indonesia
Alamat rumah : Desa Peguyangan Kaja, Denpasar Utara
Sumber biaya : Pribadi
Sumber informasi : Klien, keluarga dan catatan medis

39
b. Pengkajian Gawat Darurat
Tingkat Kesadaran :
Pasien datang ke IGD dengan kondisi compos mentis
1) Pengkajian Primer
a) Airway : mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai control
servikal.
(1) Bunyi paru vesikuler (+/+), ronkhi basah halus (+/+), wheezing (-/-)
Dx : -
Tindakan : -
Evaluasi : -
b) Breathing : mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan agar
oksigenasi adekuat.
(1) RR 36 x/menit
(2) Terdengar bunyi napas ronkhi basah halus (+/+), tidak ada retraksi
dinding dada, tidak ada kelainan dinding toraks, hembusan nafas ada
Dx : Ketidakefektifan pola nafas b.d gangguan neurologis (kejang) d.d
pernafasan Tachipnue dan RR : 36x/menit

Tindakan :
Oxygen Therapy
1. Pertahankan jalan nafas yang paten
2. Monitor respirasi dan status O2
3. Pertahankan posisi pasien
4. Monitor volume aliran oksigen dan jenis canul yang digunakan
Evaluasi :
1. Respirasi 32 x/menit
2. Tidak terdapat penggunaan otot bantu napas

c) Circulation : mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol perdarahan.


- Inspeksi : Ictus cordis terlihat

40
- Palpasi : Ictus cordis teraba di linea midsternal sinistra
intercostal 5midclavicularis sinistra. Denyut nadi 100x/menit
- Perkusi : Jantung dalam batas normal
- Aukultasi : Bunyi jantung 1&2 murni, tunggal, reguler,
murmur (-), gallop (-)
CRT <2 detik
Dx : -
Tindakan : -
Evaluasi :-
d) Dissability : mengecek status neurologis.
(1)Anak datang ke IGD bersama ibunya dengan kondisi compos mentis
(2)Reaksi pupil (+/+)
(3)GCS = E3 M5 V4 (12)
Dx : Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
Tindakan :
- Beri O2 nasal kanul 2 l/m
- Injeksi diazepam 1.5 mg
- Beri posisi head up
Evaluasi :
- Pasien tidak muntah
- Pasien tidak mengalami penurunan kesadaran

e) Exposure :kondisi pasien stabil sehingga tidak ada luka ataupun hal mendesak
lainnya.

2) Pengkajian Sekunder
Riwayat Keperawatan
a. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Pasien kejang berulang sebanyak 2 kali selama ± >10 menit

41
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Ibu mengatakan anaknya kejang dengan menghentak-hentakan tangan dan kaki
dengan mata mendelik ke atas 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Setelah kejang
pasien merasa lemas, kemudian sampai ke IGD kejang berhenti dan langsung
demam tinggi.
Pasien mengalami kejang seperti ini awalnya karena imunisasi DPT3 umur 3
bulan yang vaksinnya menyebabkan demam. Semenjak dari situ ketika pasien
demam pasti disertai dengan kejang. Pada saat umur 3 bulan pasien disarankan
untuk EEG tetapi orang tua pasien belum mau setelah 9 bulan baru pasien
dilakukan pemeriksaan EEG dan dikatakan hasilnya ada kelainana EEG di parsial
kanan yang menunjukkan benar adanya riwayat epilepsi.
Ibu mengatakan kejang pada kali ini berbeda dengan kejang sebelumnya karena
lama serangan kejangnya >10 menit dan berulang sebanyak 2x. Saat ini anak
demam sejak 2 hari yang lalu smrs.
3) Kronologis Keluhan
Dua hari SMRS, ibu pasien mengatakan anaknya demam. Selama dua hari itu
demam tidak kunjung menurun, puncaknya tadi pagi, 2 jam sebelum SMRS anak
mengalami kejang berulang sebanyak 2 kali dengan lama serangan > 10 menit.
Saat di IGD kejang berhenti dan langsung demam tinggi.
4) Faktor Pencetus
Sejak dua hari sebelum masuk rumah sakit anak mengalami demam, anak
mempunyai riwayat epilepsi dari umur 1 tahun 3 bulan dan masih pengobatan
epilepsi sampai sekarang. Saat umur 9 bulan kejang sudah mulai timbul dan
sering berulang setiap kali demam maupun tidak demam

b. Riwayat Kesehatan Masa Lalu


1) Riwayat Kehamilan
Kunjungan ANC teratur ke bidan, Ibu tidak mengkonsumsi obat-obatan selama
masa kehamilan, penyulit kehamilan tidak ada.
2) Riwayat Kelahiran

42
Anak lahir dengan usia kehamilan 38 minggu, lahir normal, ditolong bidan,
langsung menangis, tidak terdapat kelainan atau cacat bawaan, BB lahir= 2800
gram, PB lahir 48cm, lingkar kepala ibu tidak ingat.
3) Riwayat Makanan
- ASI sejak usia 0 – 6 bulan
- Susu formula sejak usia 3 bulan
- MP-ASI sejak usia 6 - 10 bulan
- Makanan dewasa sejak usia makanan dewasa
- Kesan : Anak mendapat asi eksklusif, makanan sesuai usia anak
4) Riwayat Imunisasi :

Saat Hepatitis B-1, polio-0


lahir
I Hepatitis B-2
bulan
2 BCG, DPT-1, polio-1
bulan
4 DPT-2, polio-2
bulan
6 DPT-3, polio-3, Hepatitis B-3
bulan
9 Campak
bulan
Kesan : Imunisasi dasar lengkap
5) Riwayat Tumbuh Kembang :
- Bisa tengkurap usia 5 bulan
- Tumbuh gigi usia 9 bulan
- Bisa duduk usia 10 bulan
- Bisa bicara usia 1 tahun 5 bulan
- Bisa berdiri usia 12 bulan
- Berjalan dengan bantuan usia 13 bulan
Kesan : tumbuh kembang sesuai usia

43
6) Riwayat Alergi :
- Pasien tidak mempunyai riwayat alergi

3) Pengkajian Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tanda Vital
e) Suhu : 38 °C
f) Nadi : 100x/menit
g) Tek. Darah : mmHg
h) RR : 36x/menit
Status Gizi
 Tinggi Badan : 100 cm
 Berat badan : 19 kg
 BB/TB : 19 (IMT normal)
STATUS GENERALIS
Kepala
g) Bentuk : Normocephal
h) Rambut : Hitam dan tidak rontok
i) Mata : Konjungtiva anemis (-/-), skelra ikterik (-/-)
j) Hidung : Konka hiperemis (-/-), keluar sekret (-/-)
k) Telinga : Keluar sekret (-/-)
l) Mulut : Pharynk hiperemis (-), bibir anemis (-/-), bibir sianosis (-/-),
mukosa bibir kering
Leher
 Kelenjar tiroid :Pembesaran (-)
 Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thorax
 Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi sela iga (-)
 Palpasi : Vocal fremitus kiri dan kanan sama
 Perkusi : Sonor dikedua lapang paru, batas paru-hepar ICS 5

44
 Auskultasi : Bunyi napas wheezing (-/-) , ronkhi (+/+)
Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba di linea midsternal sinistra intercostal
5midclavicularis sinistra
 Perkusi : Jantung dalam batas normal
 Aukultasi : Bunyi jantung 1&2 murni, tunggal, reguler, murmur (-),
gallop (-)

Abdomen
 Inspeksi : Dinding perut simetris, distensi (-), massa (-), bekas operasi (-),
 Auskultasi : Bising usus (+), 8 x/menit
 Palpasi :
Epigastrium : Nyeri tekan (-)
Hati : Tidak teraba pembesaran
Limpa : Tidak teraba pembesaran
Ginjal : Balotement (-), nyeri ketok (-)
 Perkusi : Timpani pada keempat kuadran abdomen
Extremitas
c) Superior : Akral hangat, RCT<2 detik, edema (-), sianosis (-), kekuatan
motorik : 5 / 5, sensibilitas : normal, refleks fisiologis : normal, refleks patologis
: negatif
d) Inferior : Akral hangat, RCT<2 detik, edema (-), sianosis (-), kekuatan
motorik : 5 / 5, sensibilitas : normal, refleks fisiologis : normal, refleks patologis
: negative
(4) Pemeriksaan neurologis : GCS = E3 M5 V4 (12)
Patologis Burdzinski II (-)
Kaku kuduk (-) Oppenheim (-)
FisiologisBabinski (-) Fisiologis
Burdzinski I (-) Patella (+)

45
Biseps (+)
Achiles (+)
trisep (+)

46
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium 1 November 2017

47
2. Analisa Data
DATA ETILOGI MASALAH
Ds : Idiopatik, herediter, trauma Ketidakefektifan pola nafas b.d
- Ibu mengatakan anak kelahiran, infeksi perinatal, gangguan neurologis (kejang) d.d
kejang berulang meningitis pernafasan tachipneu RR 36x/menit

Do :
SSP terganggu
- Anak tampak sesak
nafas
Ketidakseimbangan aliran
- RR 36x/menit
listrik pada sel saraf
- Terdengar bunyi napas
ronkhi basah halus
Epilepsi
(+/+)
- Jika anak berbicara,
Aktivitas kejang
kata-katanya terputus-
putus akibat sesak
Peningkatan frekuensi
yang dialaminya
pernapasan
menyelesaikan kalimat

Ketidakefektifan pola nafas

Ds : Idiopatik, herediter, trauma Risiko ketidakefektifan perfusi


- Ibu mengatakan anak kelahiran, infeksi perinatal, jaringan otak ditandai dengan
mengalami kejang meningitis penyakit neurologis
berulang sebanyak 2
kali dengan lama SSP terganggu
serangan >10 menit di
rumah Ketidakseimbangan aliran
listrik pada sel saraf
Do :

48
- Anak datang ke IGD Epilepsi
bersama ibunya
dengan kondisi Aktivitas kejang
compos mentis
- Reaksi pupil (+/+) Penurunan aliran darah ke
- GCS = E3 M5 V4 (12) jaringan serebral
- Reflek Fisiologis : Penurunan suplai O2 ke
Patella (+) jaringan serebral
Biseps (+) Hipoksia
Achiles (+)
trisep (+) Risiko ketidakefektifan
- perfusi jaringan otak

3. Intervensi Keperawatan
Tujuan dan Kriteria
Intervensi
No Diagnosa Keperawatan Hasil
(NIC)
(NOC)
1 Ketidakefektifan pola nafas b.d Setelah dilakukan NIC
gangguan neurologis (kejang) d.d tindakan keperawatan Oxygen Therapy
pernafasan tachipneu RR ..x.. jam diharapkan pola 1. Bersihkan mulut,
36x/menit nafas pasien teratur hidung dan secret
dengan kriteria : trakea
Batasan Karakteristik : NOC : 2. Pertahankan jalan
1. Penurunan kapasitas vital Respiratory status : nafas yang paten
2. Penurunan tekanan ekspirasi Ventilation 3. Siapkan peralatan
3. Penurunan tekanan inspirasi 1. Respirasi dalam batas oksigenasi
4. Penurunan ventilasi semenit normal (dewasa: 20- 4. Monitor aliran

49
5. Pernafasan cuping hidung 30x/menit) oksigen
6. Pernafasan ekskursi dada 2. Irama pernafasan teratur 5. Monitor respirasi
7. Pola nafas abnormal (mis., irama, 3. Kedalaman pernafasan dan status O2
frekuensi, kedalaman) normal 6. Pertahankan posisi
8. Takipnea 4. Suara perkusi dada pasien
normal (sonor) 7. Monitor volume
Faktor yang berhubungan 5. Retraksi otot dada aliran oksigen dan
1. Gangguan neurologis (missal 6. Tidak terdapat jenis canul yang
elektroensefalogram positif, orthopnea digunakan.
trauma kepala, gangguan kejang) 7. Taktil fremitus normal 8. Monitor keefektifan
antara dada kiri dan terapi oksigen yang
dada kanan telah diberikan
8. Ekspansi dada simetris 9. Observasi adanya
9. Tidak terdapat tanda tanda
akumulasi sputum hipoventilasi
10. Tidak terdapat 10. Monitor tingkat
penggunaan otot bantu kecemasan pasien
napas yang kemungkinan
diberikan terapi O2
2 Risiko ketidakefektifan perfusi Setelah dilakukan NIC
jaringan otak dibuktikan dengan tindakan keperawatan Monitor Tekanan
penyakit neurologis selama ... x ... jam Intrakranial (TIK)
diharapkan tidak terjadi 1. Berikan informasi
Faktor risiko : peningkatan tekanan kepada pasien dan
1. Penyakit neurologis intracranial dengan keluarga/orang penting
kriteria hasil : lainnya
NOC: 2. Rekam pembacaan
Perfusi Jaringan : tekanan TIK
Serebral 3. Monitor kualitas dan
1. Tidak gelisah karakteristik
2. Tidak mengalami gelombang TIK

50
muntah 4. Monitor status
3. Tidak mengalami neurologis
penurunan kesadaran 5. Monitor suhu dan
4. Tidak demam jumlah WBC
5. Tidak mengalami agitasi 6. Monitor pasien TIK
dan reaksi perawatan
neurologis serta
rangsang lingkungan
7. Periksa pasien terkait
ada tidaknya gejala
kaku kuduk
8. Monitor intake dan
output
9. Sesuaikan kepala
tempat tidur untuk
mengoptimalkan
perfusi serebral

4. Implementasi Keperawatan
No Tgl/jam Implementasi Evaluasi
Dx
1, 2, - Mengkaji auskultasi bunyi nafas S:-
- Memantau frekuensi pernafasan O:
- Meninggikan kepala dari tempat RR: 30x/menit
tidu HR: 100x/menit
Suhu : 37,8oC
Posisi kepala pasien sudah head
up
1,2 - Pertahankan jalan nafas yang S :
paten O:
- Monitor aliran oksigen RR: 30x/menit

51
- Observasi adanya tanda tanda HR: 90x/menit
hipoventilasi WBC : 6,32
- Monitor status neurologis Suhu : 37,8oC
- Monitor suhu dan jumlah Status neurologis fisiologis
WBC normal
- Kolaborasi pemberian proris Obat masuk, tidak ada reaksi
chewbel 150 mg alergi

1 - Mengkaji auskultasi bunyi napas. S:-


- Monitor suhu O:
Suhu : 36,7 oC
Terdapat suara tambahan ronkhi
basah halus

52
5. Evaluasi
No Hari/tanggal Evaluasi TTD

1 S : Pasien mengatakan
lemas
O : Pasien tampak
lemas, keadaan umum
composmentis, retraksi
otot ada (-), suara napas
tambahan (-), napas
cuping hidung (-)
Suhu : 36,7 oC
Nadi : 90x/menit
RR : 30x/menit
A:
- Ketidakefektifan pola napas
- Risiko ketidakefektifan
perfusi jaringan otak
P : Pertahankan kondisi
pasien
Lanjutkan terapi

53
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Kejang demam adalah perubahan potensial listrik cerebral yang berlebihan akibat kenaikan
suhu dimana suhu rectal diatas 38°C sehingga mengakibatkan renjatan kejang yang biasanya
terjadi pada anak dengan usia 3 bulan sampai 5 tahun.Kejang demam dibagi menjadi 2 golongan.
Terdapat perbedaan kecil dalam penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya
demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran rekaman otak, dan lainnya .
Kejang demam sederhana (simple febrile seizure) dan kejang demam kompleks (complex febrile
seizure).
Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain adalah demam, demam
setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari mikroorganisme, respon alergik atau
keadaan imun yang abnormal akibat infeksi, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Pemberian asuhan keperawatan gawat darurat sistem persyarafan terutama kejang demam
dan epilepsy yang terjadi pada pasien anak selalu mengunakan metode survey primer sebelum
dilanjutkan ke secondary survey karena penanganan kedua penyakit ini jika terjadi bangkitan
maka penanganannya harus diprioritaskan paling utama karena sangat mengancam jiwa pasien.

B. SARAN
Diharapkan perawat mampu memberikan asuhan keperawatan yang tepat dan benar
sehingga klien dengan ensefalopati dengue bisa segera ditangani dan diberikan perawatan yang
tepat. Perawat juga diharuskan bekerja secara profesional sehingga meningkatkan pelayanan
untuk membantu kilen dengan KEJANG DAN EPILEPSI.

54
DAFTAR PUSTAKA
Dadiyanto DW, Muryawan MH, Soetadji A. 2011. Penatalaksanaan Kejang. Semarang: Balai
Penerbit UNDIP.
Dewanto, George, et al. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Harsono. 2007. Epilepsi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Heinz GW. 2006. Epilepsy Surgery : Current Role and Future Development. Jakarta : EGC
IDAI. 2009. Pedoman Pelayanan Medis. hal: 253. Jakarta: IDAI.
Judha M & Rahil H.N. 2011 Sistem Persarafan Dalam Asuhan Keperawatan. Yogyakarta:
Gosyen Publishing.
Lumbantobing, SM. 2004. Neurogeriatri. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Miller, Laura C. 2009. Epilepsy. In: Savitz, Sean I. and Ronthal, Michael (Ed.). Neurology
Review for Psychiatrists. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 106-125.
Ramali, A. 2005. Kamus Kedokteran. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Riyadi, Sujono & Sukarmin. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi 1. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. 2007. Gangguan Kejang Pada Bayi Dan Anak.
Jakarta: EGC.

55

Вам также может понравиться