Вы находитесь на странице: 1из 28

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN


PADA CEDERA SERVIKAL

Disusun oleh :
1. Ningsih (1614301028)
2. Addinatul Muqtadiroh (1614301029)
3. Dandy Putra Surya (1614301030)
4. Feby Dwi Jayanti (1614301031)
5. Fictor Yusman Agung (1614301032)
6. Nadhya Ayuningtyas (1614301033)
7. Rani Devika Sari (1614301034)
8. M Gigih Bangsawan (1614301035)
9. Siti Saodah (1614301036)
10. Indira Ariyani (1614301037)
11. Novi Rahmawati (1614301038)
12. Agitha Nanda Nurmala (1614301039)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNGKARANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI D.IV KEPERAWATAN TANJUNG KARANG
T.A 2018/2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia yang Allah berikan sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Makalah ini disusun dalam rangka pembelajaran
mata kuliah Keperawatan Kegawatdaruratan dengan submateri makalah “Asuhan
Keperawatan Kegawatdaruratan Pada Cidera Servikal”

Dalam penyusunan makalah ini kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk
mengumpulkan kajian pustaka yang diperlukan dalam penyusunan makalah ini. Penyusun
juga menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan serta kelemahan dalam
menyusun makalah ini karena ilmu pengetahuan yang kami miliki belum maksimal.

Semoga dengan makalah yang kami buat ini dapat menambah pengetahuan dan pemahaman
kita semua tentang Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Pada Cidera Servikal. Kami
sebagai penyusun mengharapkan kritik dan saran yang dapat membantu kami.

Bandar Lampung, September 2018

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .......................................................................................................... ii
Daftar Isi ................................................................................................................... iii
BAB I Pendahuluan ................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang . ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah. ......................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan. ........................................................................................... 2

BAB II Tinjauan Pustaka ........................................................................................... 3


2.1 Anatomi ......................................................................................................... 3
2.2 Definisi Cidera Servikal. ................................................................................ 6
2.3 Klasifikasi Cidera Servikal ……………………………………………… ... 7
2.4 Etiologi ........................................................................................................... 10
2.5 Manifestasi Klinis .......................................................................................... 10
2.6 Patofisiologis ................................................................................................. 11
2.7 Penatalaksanaan ............................................................................................. 13
2.8 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................. 16
2.9 Komplikasi .................................................................................................... 17
2.10 Konsep Asuhan Keperawatan ...................................................................... 18

BAB III Penutup ........................................................................................................ 24


3.1 Kesimpulan ................................................................................................... 24
3.2 Saran ............................................................................................................. 24

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 25

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera servikal merupakan penyebab yang paling sering dari kecacatan dan kelemahan
setelah trauma. Tulang servikalis terdiri dari 7 tulang yaitu C1 atau atlas, C2 atau axis, C3,
C4, C5, C6 dan C7. Benturan keras atau benda tajam yang mengenai tulang servikal ini tidak
hanya akan merusak struktur tulang saja namun dapat menyebakan cedera pada medulla
spinalis apabila benturan yang disebabkan ini sampai pada bagian posterior tulang servikal.
Struktur tulang servikal yang rusak dapat menyebabkan pergerakan kepala menjadi
terganggu. Sedangkan apabila mengenai serabut saraf spinal dapat menghambat impuls
sensorik dan motorik tubuh.

Kecelakaan merupakan penyebab kematian ke empat, setelah penyakit jantung, kanker dan
stroke, tercatat ±50 meningkat per 100.000 populasi tiap tahun, 3% penyebab kematian ini
karena trauma langsung medulla pinalis, 2% karena multiple trauma. Insidensi trauma pada
laki- laki 5 kali lebih besar dari perempuan. Ducker dan Perrot melaporkan 40% spinal cord
injury disebabkan kecelakaan lalu lintas, 20% jatuh, 40% luka tembak, sport, kecelakaan
kerja. Lokasi fraktur atau fraktur dislokasi cervical paling sering pada C2 diikuti dengan C5
dan C6 terutama pada usia decade 3.

Trauma pada servikal C1 dan C2 dapat menyebakan dislokasi atlanto-servikalis sehingga


kepala tidak dapat melalakukan gerakan mengangguk dan apabila menembus ligamentum
posterior dan mencederai medulla spinalis maka pusat ventilasi otonom akan terganggu.
Cedera pada C3-C5 menyebabkan gangguan pada otot pernapasan dan cedera pada C4-C7
mengakibatkan kelemahan pada ekstremitas (qudriplegia).

Karena sangat pentingnya peranan tulang servikalis pada fungsional tubuh manusia maka
evaluasi dan pengobatan pada cedera servikal memerlukan pendekatan yang terintegrasi.
Diagnosa dini, prevervasi fungsi spinal cord dan pemeliharaan aligment dan stabilitas
merupakan kunci keberhasilan manajemen. Penanganan rehabilitas spinal cord dan kemajuan

1
perkembangan multidisipliner tim trauma dan perkembangan metode modern dari fusi
servikal dan stabilitas merupakan hal penting harus dikenal masyarakat. Oleh karena itu,
perawat sebagai tenaga kesehatan harus mampu menguasai dan memmahami pengetahuan
tentang asuhan keperawatan dan tindakan-tindakan yang dilakukan pada pasien dengan
cedera servikalis. Sehingga pada tatanan praktiknya, perawat mampu mengaplikasikan teori
dengan baik dan terampil.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Anatomi servikal?
2. Apa definisi Cidera Servikal ?
3. Apa saja Klasifikasi Cidera Servikal ?
4. Bagaimana Etiologi dari Cidera Servikal ?
5. Apa Saja Manifestasi Klinis Cidera Servikal ?
6. Bagaimana Patofisiologi Cidera servikal ?
7. Bagaimana Penatalaksanaan Cidera Servikal ?
8. Pemeriksaan Penunjang Apa saja yang dapat dilakukan pada Cidera Servikal?
9. Komplikasi yang dapat terjadi akibat Cidera servikal?
10. Bagaimana Asuhan Keperawatan KegawatDaruratan Pada Cidera Servial?

1.3 Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui Anatomi servikal
2. Mahasiswa mengetahui definisi Cidera Servikal
3. Mahasiswa mengetahui Klasifikasi Cidera Servikal
4. Mahasiswa mengetahui Etiologi dari Cidera Servikal
5. Mahasiswa mengetahui Manifestasi Klinis Cidera Servikal
6. Mahasiswa mengetahui Patofisiologi Cidera servikal
7. Mahasiswa mengetahui Penatalaksanaan Cidera Servikal
8. Mahasiswa mengetahui Pemeriksaan Penunjang yang dapat dilakukan pada Cidera
Servikal
9. Mahasiswa mengetahui Komplikasi yang dapat terjadi akibat Cidera servikal
10. Mahasiwa Mengetahui Asuhan Keperawatan KegawatDaruratan Pada Cidera Servial?

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Anatomi
Vertebra dimulai dari cranium sampai pada apex coccigeus, membentuk skeleton dari
leher, punggung dan bagian utama dari skeleton (tulang cranium, costa dan sternum).
Fungsi vertebra yaitu melindungi medulla spinalis dan serabut syaraf, menyokong berat
badan dan berperan dalam perubahan posisi tubuh. Vertebra pada orang dewasa terdiri dari
33 vertebra dengan pembagian 5 regio yaitu 7 cervical, 12 thoracal, 5 lumbal, 5 sacral, 4
coccigeal.

Atlas (C1) adalah vertebra servikalis pertama dari tulang belakang. Atlas bersama dengan
Axis (C2) membentuk sendi yang menghubungkan tengkorak dan tulang belakang dan
khusus untuk memungkinkan berbagai gerakan yang lebih besar. C1 dan C2 bertanggung
jawab atas gerakan mengangguk dan rotasi kepala. Atlas tidak memiliki tubuh. Terdiri dari
anterior dan posterior sebuah lengkungan dan dua massa lateral. Tampak seperti dua
cincin. Dua massa lateral pada kedua sisi lateral menyediakan sebagian besar massa tulang
atlas. Foramina melintang terletak pada aspek lateral. Axis terdiri dari tonjolan tulang besar
dan parsaticularis memisahkan unggulan dari proses artikularis inferior. Prosesus yang
mirip gigi (ondontoid) atau sarang adalah struktur 2 sampai 3 cm corticocancellous
panjang dengan pinggang menyempit dan ujung menebal. Kortikal berasal dari arah rostral
(kearah kepala) dari tubuh vertebra.

3
Gambar Atlas dan Axis
Trauma tulang dapat mengenai jaringan lunak berupa ligament, discus dan faset, tulang
belakang dan medulla spinalis. Adapun beberapa ligamen yang terdapat pada tulang
servikal antara lain adalah :
1. ligamen'ta fla'va : serangkaian pita dari jaringan elastis kuning melekat dan
memperluas antara bagian ventral lamina dari dua tulang yang berdekatan, dari sumbu
ke sacrum.. Namanya Latin untuk "ligamen kuning," dan ini terdiri dari elastis jaringan
ikat membantu mempertahankan postur tubuh ketika seseorang sedang duduk atau
berdiri tegak. Terletak posterior tubuh vertebra, tetapi anterior proses spinosus dari
tulang belakang, yang merupakan tulang Prongs memancing ke bawah dari belakang
setiap tulang belakang, yang flava ligamenta membentuk dua sejajar, bersatu garis
vertikal dalam kanalis vertebralis. Hal ini juga mencakup dari C2, vertebra servikalis
kedua, semua cara untuk S1 dari sacrum , tulang ditumpuk pada dasar tulang belakang
di panggul. Pada ujung atas, setiap flavum ligamentum menempel pada bagian bawah
lamina dari vertebra di atasnya. lamina ini adalah proyeksi horizontal pasangan tulang
yang membentuk dua jembatan mencakup ruang antara pedikel di kedua sisi tubuh
vertebral dan proses spinosus belakangnya. Mereka memperpanjang dari pedikel, setiap
proses yang kurus menonjol ke belakang dari kedua sisi dari tubuh vertebra, dan sudut
terhadap garis tengah tulang belakang, menggabungkan di tengah. Dalam
melakukannya, mereka membentuk melebar "V" yang mengelilingi aspek posterior
kanal tulang belakang .

4
Gambar Spinal Ligament-ligamentum Flavum
2. Ligamentum nuchae adalah, padat bilaminar septum, segitiga intermuskularis
fibroelastic garis tengah. Ia meluas dari tonjolan oksipital eksternal ke punggung C7
dan menempel pada bagian median dari puncak occipital eksternal, tuberkulum
posterior C1 dan aspek medial duri terpecah dua belah leher rahim, ligamen terbentuk
terutama dari lampiran aponeurotic dari otot leher rahim yang berdekatan dan yg
terletak di bawah. Dari dangkal sampai dalam, otot-otot ini adalah trapezius, genjang
kecil, capitus splenius, dan serratus posterior superior. Juga anatomi, dan mungkin
penting secara klinis, ligamen telah ditemukan memiliki lampiran berserat langsung
dengan dura tulang belakang antara tengkuk dan C1,

3. Zygapophyseal adalah sendi sinovial sendi-sendi paling dasar dalam tubuh manusia.
Gabungan sinovial ditandai dengan memiliki kapsul sendi, cairan-cairan sinovial sendi
kapsul untuk melumasi bagian dalam sendi, dan tulang rawan pada permukaan sendi di
tengah atas dan bawah permukaan yang berdekatan dari setiap tulang belakang untuk
memungkinkan tingkat gerakan meluncur.

Gambar. Anterior dan posterior cervical ligament

4. Atlantoaxial ligamentum posterior adalah tipis, membran luas melekat, di atas, untuk
batas bawah lengkung posterior atlas , bawah, ke tepi atas dari lamina dari sumbu .

5
5. Atlantoaxial ligamentum anterior adalah membran yang kuat, untuk batas bawah
lengkung anterior dari atlas, bawah, ke depan tubuh sumbu . Hal ini diperkuat di garis
tengah dengan kabel bulat, yang menghubungkan tuberkulum pada lengkung anterior dari
atlas ke tubuh dari sumbu, dan merupakan kelanjutan ke atas dari ligamentum longitudinal
anterior .

6. Ligamentum longitudinal posterior terletak dalam kanalis vertebralis, dan membentang


sepanjang permukaan posterior tulang belakang tubuh, dari tubuh sumbu, di mana ia terus-
menerus dengan tectoria membrana, untuk sakrum. ligamentum ini lebih sempit di badan
vertebra dan lebih luas pada ruang disk intervertebralis. Hal ini sangat penting dalam
memahami kondisi patologis tertentu tulang belakang seperti lokasi khas untuk herniasi
cakram tulang belakang.

7. Ligamentum transversal dari atlas adalah kuat, band tebal, yang lengkungan di cincin dari
atlas , dan mempertahankan proses yg mirip gigi di kontak dengan lengkung anterior.
Ligamentum transversal membagi cincin dari atlas menjadi dua bagian yang tidak setara: ini,
posterior dan lebih besar berfungsi untuk transmisi dari medula spinalis dan membran dan
saraf aksesori.

2.2 Definisi
 Menurut FKUI (2000), fraktur adalah rusaknya dan terputusnya kontinuitas tulang,
sedangkan menurut Boenges, ME., Moorhouse, MF dan Geissler, AC (2000) fraktur
adalah pemisahan atau patahnya tulang.
 Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis
akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb
( Sjamsuhidayat, 1997).
 Cedera tulang belakang servikal atas adalah fraktura atau dislokasi yang mengenai basis
oksiput hingga C2.

6
2.3 Klasifikasi
Tingkat cedera didefinisikan oleh ASIA menurut Penurunan Skala (dimodifikasi dari
klasifikasi Frankel), dengan menggunakan kategori berikut:
 A - Lengkap: Tidak ada fungsi motorik dan sensorik yang dipertahankan dalam
segmen sacral S4-S5.
 B - lengkap: Fungsi sensori dipertahankan di bawah tingkat neurologis dan meluas
melalui segmen sakral S4-S5.
 C - lengkap: Fungsi motorik dipertahankan di bawah tingkat neurologis, dan
sebagian besar otot kunci di bawah tingkat otot neurologis memiliki nilai kurang dari
3.
 D - lengkap: fungsi motorik dipertahankan di bawah tingkat neurologis, dan sebagian
besar otot kunci di bawah level neurologis telah kelas otot lebih besar dari atau sama
dengan 3.
 E - Normal: Fungsi sensorik dan motorik yang normal.

Cedera servikal dapat digolongkan menjadi :


a. Cedera fleksi
Fraktur kompresi : disebabkan karena fleksi yang tiba-tiba.
Fraktur fleksi – teardrop : melibatkan seluruh columna ruang interspinosus melebar dan
dapat menyebabkan cedera medulla spinalis.
Subluksasi anterior : kompleks ligamentum superior mengalami ruptur sedangkan
ligamentum anterior tetap utuh.
Dislokasi faset bilateral : disebabkan fleksi yang berlebihan
Fraktur karena dorongan : terjadi karena fleksi leher yang tiba-tiba selain itu bisa juga
terjadi karena fraktur langsung di prosesus spinosus, trauma oksipital, tarikan yang sangat
kuat di ligamentum supraspinosus.

b. Cedera Fleksi-rotasi
Dislokasi faset unilateral : terjadi saat fleksi bersamaan dengan rotasi sehingga
ligamentum dan kapsul teregang maksimal. Dislokasi kedepan pada vertebra di atas
dengan atau tanpa di sertai kerusakan tulang.

7
Dislokasi antlantoaxial : terjadi karena hiperekstensi, terjadi pergeseran sendi antara C1
dan C2 dan biasanya fatal. Cedera ini dapat menyebabkan rheumatoid arthritis.

c. Cedera ekstensi
Fraktur menggantung : terjadi pada C2 yang disebabkan karena hiperekstensi dan
kompresi yang tiba-tiba.
Ekstensi ‘teardrop’ : hiperekstensi mendadak dan terjadi akibat tarikan oleh ligamentum
longitudinal.

d. Cedera compresi axial


Fraktur jefferson : terjadi pada C1 dan disebabkan karena kompresi yang sangat hebat.
Kerusakan terjadi di arkus anterior dan posterior.
Fraktur remuk vertebra : penekanan corpus vertebra secara langsung dan tulang menjadi
hancur. Fragmen tulang masuk ke kanalis spinalis kemudian menekan medulla spinalis
sehingga terjadi gangguan saraf parsial
Fraktur atlas :
 Tipe I dan II : fraktur stabil karena terjadi pada arkus anterior dan posterior.
 Tipe III : terjadi pada lateral C1
 Tipe IV : sering disebut sebagai fraktur jefferson

Karena anatomi dan catu vaskuler kord spinal yang unik, berbagai sindroma tidak lengkap
dapat dijumpai pada cedera kord spinal servikal. Pada sindroma ini, fungsi sensori dan
motor tertentu terganggu atau hilang, namun lainnya tetap utuh.
1. Sindroma kord sentral
Paling sering dijumpai setelah suatu cedera hiperekstensi servikal. Karena sebab
tertentu seperti keadaan mekanik dan catu vaskuler dari kord, bagian sentral dapat
mengalami kontusi walau bagian lateral hanya mengalami cedera ringan. Khas pasien
mengeluh disestesi rasa terbakar yang berat pada lengan, mungkin karena kerusakan
serabut spinotalamik, mungkin saat ia menyilang komisura anterior. Pemeriksaan
fisik menunjukkan kelemahan lengan, dengan utuhnya kekuatan ekstremitas bawah.
Sebagai tambahan, sensasi nyeri dan suhu hilang dalam distribusi seperti tanjung.

8
Semua lesi yang menyebabkan cedera primer terhadap kord spinal sentral dapat
menimbulkan gambaran defisit serupa, seperti siringo- mielia, tomor kord spinal
intrinsik, dan hidromielia. Sindroma ini secara jarang dapat terjadi pada kord spinal
bawah (konus medularis).

2. Sindroma arteria spinal anterior


Terjadi karena arteria ini mencatu substansi kelabu dan putih bagian ventrolateral dan
posterolateral kord spinal. Kerusakan arteria ini berakibat sindroma klinis paralisis bi-
lateral dan hilangnya sensasi nyeri serta suhu dibawah tingkat cedera, namun sensasi
posisi dan vibrasi (fungsi kolom posterior) utuh. Lesi arteria ini bisa karena cedera
tulang belakang, neoplasma yang terletak anterior (biasanya metastasis) dan cedera
aortik.

3. Sindroma Brown-Sequard
Pada bentuk yang murni, menunjukkan akibat dari hemiseksi kord spinal. Defisit
neurologis berupa hilangnya fungsi motor ipsilateral, sensasi vibrasi dan posisi.
Sebagai tambahan, sensasi nyeri serta suhu kontralateral hilang. Luka tembus dan
peluru dapat menimbulkan sindroma Brown-Sequard 'lengkap', namun manifestasi
tak lengkap sindroma ini tampak dengan berbagai ragam pada lesi lain, termasuk
trauma dan neoplasma.

4. Sindroma kolom posterior


Terjadi bila kolom posterior rusak secara selektif, berakibat hilangnya sensasi vibrasi
dan proprioseptif bilateral dibawah lesi. Temuan ini tersering dijumpai sekunder
terhadap kelainan sistemik (neurosifilis), namun secara jarang dijumpai setelah
trauma kord spinal.

9
2.4 Etiologi
Penyebab trauma tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas (44%), kecelakaan olah
raga(22%),terjatuh dari ketinggian(24%), kecelakaan kerja. Lewis (2000) berpendapat
bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun mempunyai cukup kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan tekanan. Fraktur dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu:
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang dapat berupa
pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran ataupenarikan. Bila tekanan kekuatan
langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan
ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur lunak juga pasti akan ikut rusak.
Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit
diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif disertai
kerusakan jaringan lunak yang luas.

b. Fraktur akibat kelelahan atau tekanan


Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain akibat tekanan
berulang-ulang. Keadaan ini paling sering dikemukakan pada tibia, fibula atau matatarsal
terutama pada atlet, penari atau calon tentara yang berjalan baris-berbaris dalam jarak
jauh.

c. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang


Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak (misalnya
oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh.

2.5 Manifestasi klinis


Lewis (2006) menyampaikan manifestasi klinik adalah sebagai berikut:
a. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya spasme otot,
tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
b. Bengkak/edama

10
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah
fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
c. Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan
sekitarnya.
d. Spasme otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
e. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
f. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot. paralysis dapat
terjadi karena kerusakan syaraf.
g. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya tidak
terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.
h. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang digerakkan.
i. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan pergerakan
otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan menyebabkan tulang
kehilangan bentuk normalnya.
j. Shock hipovolemik
Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.

2.6 Patofisiologi
Penyebab tersering terjadinya cedera tulang belakang cervical adalah kecelakaan mobil,
kecelakaan motor, jatuh, cedera olah raga, dan luka akibat tembakan atau pisau. Menurut
mekanisme terjadinya cidera, cidera servikal di bagi atas fleksi, fleksi rotasi, ekstensi,
kompresi aksial. Cidera cervical atas adalah fraktura atau dislokasi yang mengenai Basis
Occiput-C2. Cidera tulang belakang cervical bawah termasuk fraktura dan dislokasi ruas
tulang belakang C3-C7. Ruas tulang belakang C5 adalah yang tersering mengalami fraktur.

11
C1 hanya berupa cincin tulang yang terdiri atas arcus anterior yang tebal dan arcus posterior
yang tipis, serta masa lateralis pada masing-masing sisinya. Tulang ini berartikulasi dengan
kondilus occipitalis membentuk articulatio atlanto-occipitalis, tempat berlangsungnya
gerakan mengangguk. Dibawah, tulang ini beratikulasi dengan C2, membentuk articulasio
atlanto-axialis, tempat berlangsungnya gerakan memutar kepala. Ketika cidera terjadi
fraktur tunggal atau multiple pada cincin C1 dan dislokasi atlanto-occipitalis sehingga
menyebabkan ketidakmampuan menggerakkan kepala dan kerusakan pada batang otak.
Cedera pada C1 dan C2 menyebabkan ventilasi spontan tidak efektif.

Pada C3-C5 dapat terjadi kerusakan nervus frenikus sehingga dapat terjadi hilangnya
inervasi otot pernafasan aksesori dan otot interkostal yang dapat menyebabkan komplience
paru menurun. Pada C4-C7 dapat terjadi kerusakan tulang sehingga terjadi penjepitan
medula spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi osteosif/material diskus
dari anterior yang bisa menyebabkan nekrosis dan menstimulasi pelepasan mediator kimia
yang menyebabkan kerusakan myelin dan akson, sehingga terjadi gangguan sensorik
motorik. Lesi pada C5-C7 dapat mempengaruhi intercostal, parasternal, scalenus, otot2
abdominal. Intak pada diafragma, otot trapezius, dan sebagian pectoralis mayor.

Cedera pada tulang servikal dapat menimbulkan lesi atau cedera pada medulla spinalis yang
dapat terjadi beberapa menit setelah adanya benturang keras mengenai medulla spinalis. Saat
ini, secara histologis medulla spinalis masih normal. Dalam waktu 24-48 jam kemudian
terjadi nekrosis fokal dan inflamasi. Pada waktu cedera terjadi disrupsi mekanik akson dan
neuron. Ini disebut cedera neural primer. Disamping itu juga terjadi perubahan fisiologis dan
patologis progresif akibat cedera neural sekunder.

Beberapa saat setelah terjadi kecelakaan atau trauma pada servikal maka akan terjadi
kerusakan secara struktural yang mengakibatkan gangguan pada saraf spinal dan pembuluh
darah disekitarnya yang akan menghambat suplai O2 ke medulla spinalis atau akan terjadi
ischemik pada jaringan tersebut. Karena terjadi ischemik pada jaringan tersebut, dalam
beberapa menit atau jam kemudian akan ada pelepasan vasoactive agent dan cellular enzym
yang menyebabkan konstriksi kapiler pada pusat substansi abu-abu medula spinalis. Ini

12
merupakan permulaan dari cedera neural sekunder pada cedera medula spinalis. Selanjutnya
adalah peningkatan level Ca pada intraselular yang mengakibatkan kerusakan pada endotel
pembuluh darah yang dalam beberapa jam kemudian dapat menimbulakan aneurisma dan
ruptur pada pembuluh darah di medula spinal. Peningkatan potasium pada ekstraseluler yang
mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada sel (Conduction Block). Hipoxia akan
merangsang pelepasan katekolamin sehingga terjadi perdarahan dan nekrosis pada sel. Di
tingkat selular, adanya kerusakan mitokondria akibat defisit suplai O2 dapat merangsang
pelepasan superoksid (radikal bebas), disertai terjadinya ketidakseimbangan elektrolit, dan
pelepasan mediator inflamasi dapat mengakibatkan terjadinya kematian sel (apoptosis)
dengan manifestasi sel mengkerut dan kromatin nuclear yang padat.

2.7 Penatalaksanaan
Semua penderita koban kecelakaan yang memperlihatkan gejala adanya kerusakan pada
tulang belakang, seperti nyeri leher, nyeri punggung, kelemahan anggota gerak atau
perubahan sensitivitas harus dirawat seperti merawat pasien kerusakan tulang belakang
akibat cedera sampai dibuktikan bahwa tidak ada kerusakan tersebut.

13
Setelah diagnosis ditegakkan, di samping kemungkinan pemeriksaan cedera lain yang
menyertai, misalnya trauma kepala atau trauma toraks, maka pengelolaan patah tulang
belakang tanpa gangguan neurologik bergantung pada stabilitasnya. Pada tipe yang stabil
atau tidak stabil temporer, dilakukan imobilisasi dengan gips atau alat penguat. Pada patah
tulang belakang dengan gangguan neurologik komplit, tindakan pembedahan terutama
ditujukan untuk stabilisasi patah tulangnya untuk memudahkan perawatan atau untuk dapat
dilakukan mobilisasi dini. Mobilisasi dini merupakan syarat penting sehingga penyulit yang
timbul pada kelumpuhan akibat cedera tulang belakang seperti infeksi saluran nafas, infeksi
saluran kencing atau dekubitus dapat dicegah. Pembedahan juga dilakukan dengan tujuan
dekompresi yaitu melakukan reposisi untuk menghilangkan penyebab yang menekan medula
spinalis, dengan harapan dapat mengembalikan fungsi medula spinalis yang terganggu
akibat penekanan tersebut. Dekompresi paling baik dilaksanakan dalam waktu enam jam
pascatrauma untuk mencegah kerusakan medula spinalis yang permanen. Tidak boleh
dilakukan dekompresi dengan cara laminektomi, karena akan menambah instabilitas tulang
belakang.

Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pada usaha mencegah
terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder, yaitu dengan dilakukannya
imobilisasi di tempat kejadian dengan memanfaatkan alas yang keras.

Pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan tandu atau sarana apapun
yang beralas keras. Hal ini dilakukan pada semua penderita yang patut dicurigai berdasarkan
jenis kecelakaan, penderita yang merasa nyeri di daerah tulang belakang, lebih-lebih lagi
bila terdapat kelemahan pada ekstremitas yang disertai mati rasa. Selain itu harus selalu
diperhatikan jalan napas dan sirkulasi.

Bila dicurigai cedera di daerah servikal, harus diusahakan agar kepala tidak menunduk dan
tetap di tengah dengan menggunakan bantal kecil atau gulungan kain untuk menyangga
leher pada saat pengangkutan.

14
Setelah semua langkah tersebut di atas dipenuhi, barulah dilakukan pemeriksaan fisik dan
neurologik yang lebih cermat. Pemeriksaan penunjang seperti radiologik dapat dilakukan.
Pada umumnya terjadi paralisis usus selama dua sampai enam hari akibat hematom
retroperitoneal sehingga memerlukan pemasangan pipa lambung. Pemasangan kateter tetap
pada fase awal bertujuan mencegah terjadi pengembangan kandung kemih yang berlebihan,
yang lumpuh akibat syok spinal. Selain itu pemasangan kateter juga berguna untuk
memantau produksi urin, serta mencegah terjadinya dekubitus karena menjamin kulit tetap
kering.

Terapi pada cidera medula spinalis terutama ditujukanuntuk meningkatkan dan


memperhatikan dan mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Pasien dengan cidera
medula spinalis komplet hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medula
spinalis komplet yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72jam pertama, cenderung
menetap dan prognosisnya buruk. Cedera medula spinalis tidak komplet cenderung memiliki
prognosis yang lebih baik. Apabila funsi sensoris dibawah lesi masih ada, maka
kemungkinan untuk kembali berjalan adalah lebih dari 50%. Metilpredinsolon merupakan
terapi yang paling umum digunakan untuk cedera medula spinalis traumatika dan
direkomendasikan oleh national institute of health di amerika Serikat. Namun demikian
penggunaannya sebagai terapi utama cidera medula spinalis traumatik masih dikritisi banyak
pihak dan belum digunakan sebagai standart terapi.

Dalam chochrane library menunjukkan bahwa metilpredinsolon dosis tinggi merupakan satu
satunya terapi farmakologik yang terbukti efektif pada uji klinis tahap 3 sehingga dianjurkan
untuk digunakan sebagai terapi cedera medula spinalis traumatika. Tindakan rehabilitasi
medik meruoakan kunci utama dalam penanganan pasien cidera medula spinalis.fisioterapi,
terapi okupulasi dan blader training pada pasien ini dikerjakan seawal mungkin. Tujuan
utama fisioterapi adalah mempertahankan ROM (Range of Movement) dan kemampuan
mobilitas, dengan memperkuat fungsi otot-otot yang ada. Pasien dengan central cord
syndrome/CSS biasanya mengalami pemulihan kekuatan otot ekstremitas bawah yang baik
sehingga dapat berjalan dengan bantuan apapun ataupun tidak.

15
Terapi Okupasional terutama ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki fungsi
ektermitas atas, mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sdehari hari/ activiting of dayli
living (ADL). Pembentukan kontraktur harus dicegah seoptimal mungkin.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


 CT SCAN : Pemeriksaan ini dapat memberikan visualisasi yang baik komponen tulang
servikal dan sangat membantu bila ada fraktur akut. Akurasi Pemeriksaan CT berkisar
antara 72 -91 % dalam mendeteksi adanya herniasi diskus. Akurasi dapat mencapai 96
% bila mengkombinasikan CT dengan myelografi.
 MRI : Pemeriksaan ini sudah menjadi metode imaging pilihan untuk daerah servikal .
MRI dapat mendeteksi kelainan ligamen maupun diskus. Seluruh daerah medula
spinalis , radiks saraf dan tulang vertebra dapat divisualisasikan. Namun pada salah satu
penelitian didapatkan adanya abnormalitas berupa herniasi diskus pada sekitar 10 %
subjek tanpa keluhan , sehingga hasil pemeriksaan ini tetap harus dihubungkan dengan
riwayat perjalanan penyakit , keluhan maupun pemeriksaan klinis.
 Elektromiografi ( EMG) : Pemeriksaan EMG membantu mengetahui apakah suatu
gangguan bersifat neurogenik atau tidak, karena pasien dengan spasme otot, artritis juga
mempunyai gejala yang sama. Selain itu juga untuk menentukan level dari
iritasi/kompresi radiks, membedakan lesi radiks dan lesi saraf perifer, membedakan
adanya iritasi atau kompresi.

Metode untuk foto daerah cervical


1. Pada foto anteroposterior garis lateral harus utuh, dan prosesus spinosus dan bayangan
trakea harus berada pada garis tengah. Diperlukan foto dengan mulut terbuka untuk
memperlihatkan C1 dan C2 (untuk fraktur massa lateral dan odontoid).
2. Foto lateral harus mencakup ketujuh vertebra cervical dan T1, jika tidak cedera yang
rendah akar terlewatkan. Hitunglah vertebra kalau perlu, periksa ulang dengan sinar-X
sementara menerapkan traksi ke bawah pada lengan. Kurva lordotik harus diikuti dan
menelusuri empat garis sejajar yang dibentuk oleh bagian depan korpus vertebra, bagian
belakang badan vertebra. massa lateral dan dasar-dasar prosesus spinosus setiap
ketidakteraturan menunjukkan suatu fraktur atau pergeseran. Ruang interspinosa yang

16
terlalu lebar menunjukkan luksasi anterior. Trakea dapat tergeser oleh hematoma jaringan
lunak.
3. Jarak tiang odontoid dan bagian belakang arkus anterior pada atlas tidak boleh melebihi
4,5 mm ( anak-anak ) dan 3mm pada dewasa
4. Untuk menghindari terlewatnya adanya dislokasi tanpa fraktur diperlukan film lateral
pada posisi ekstensi dan fleksi.
5. Pergeseran korpus vertebra ke arah depan terhadap korpus vertebra dibawahnya dapat
berarti klinis yaitu dislokasi permukaan unilateral jika pergeseran yang kurang dari
setengah lebar korpus vertebra. Untuk hal ini diperlukan foto oblik untuk memperlihatkan
sisi yang terkena. Pergeseran yang lebih dari setengah lebar korpus vertebra tersbut
menunjukkan dislokasi bilateral.
6. Lesi yang tidak jelas perlu dilanjutkn pemeriksaan CT scan.

2.9 Komplikasi
1. Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang desending pada
medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan tonus vasomotor dan kehilangan
persarafan simpatis pada jantung sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah
visceral serta ekstremitas bawah maka terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya
terjadi hipotensi.
2. Syok spinal
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah terjadinya cedera
medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak seperti lesi komplit walaupun
tidak seluruh bagian rusak.
3. Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil dari cedera
yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal bawah atau torakal atas.
4. Hiperfleksia autonomic
Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut , keringat banyak, kongesti nasal,
bradikardi dan hipertensi

17
2.10 Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Pengkajian Primer
 Airway
Adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera servikal
sehingga mengganggu jalan napas.
 Breathing
Pernapasan dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan dinding
dada
 Circulation
Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg), bradikardi, kulit teraba
hangat dan kering, poikilotermi (ketidakmampuan mengatur suhu tubuh,
yang mana suhu tubuh bergantung pada suhu lingkungan
 Disability
Kaji Kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan bergerak,
kehilangan sensasi, dan kelemahan otot. Pemeriksaan neurologis singkat
yang dilakukan adalah menentukan tingkat kesadaran, pergerakan bola
mata dan reaksi pupil, fungsi motorik dan sensorik. Data ini diperlukan
untuk menilai perfusi otak.
 Exposure
Lepaskan baju atau penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cedera
yang mungkin ada. Biasanya akan terdapat deformitas tulang belakang.

2. Pengkajian Sekunder
a. Anamnesis
Anamnesis harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai
cedera yang mungkin diderita. Anamnesis meliputi :
 Identitas pasien
 Mekanisme cedera/riwayat cedera
Anamnesis juga harus meliputi anamnesis AMPLE. Riwayat AMPLE
didapatkan dari penderita, keluarga ataupun petugas pra- RS yaitu:

18
A : alergi
M : medikasi/ obat-obatan
P : penyakit sebelumnya yang diderita ( misalnya hipertensi, DM )
L : last meal ( terakhir makan jam berapa )
E : events, yaitu hal-hal yang bersangkitan dengan sebab dari cedera.

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi, auskultasi, palpasi dan perkusi. Pada
kasus cedera servikalis, pemeriksaan fisik berfokus pada :
 Leher
Terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera
 Dada
Pernapasan dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan
dinding dada, bradikardi, adanya desakan otot diafragma dan
interkosta akibat cedera spinal
 Pelvis dan Perineum
Kehilangan control dalam eliminasi urin dan feses, terjadinya
gangguan pada ereksi penis.
 Ekstrimitas
Terjadi paralisis, paraparesis, paraplegia atau
quadriparesis/quadriplegia
 Inspeksi Back / Posterior Surface
Kaji adanya spasme otot, kekakuan, dan deformitas pada tulang
belakang

B. Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi ditandai dengan
dispnea, terdapat otot bantu napas

19
2. Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penyumbatan aliran
darah ditandai dengan bradikardi, nadi teraba lemah, terdapat sianosis, akral
teraba dingin, CRT > 2 detik, turgor tidak elastis, kelemahan, AGD abnormaL
3. Nyeri akut berhubungan dengan gangguan neurologis

20
C. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan Rasional
Keperawatan
1 Pola napas Setelah diberikan tindakan 1. Pantau ketat tanda-tanda 1. Perubahan pola nafas dapat
tidak efektif keperawatan selama 2x15 menit, vital dan pertahankan mempengaruhi tanda-tanda
berhubungan diharapkan pola napas pasien ABC vital
dengan efektif dengan kriteria hasil : 2. Monitor usaha pernapasan 2. Pengembangan dada dan
hiperventilasi  Pasien melaporkan sesak napas pengembangan dada, penggunaan otot bantu
ditandai berkurang keteraturan pernapasan pernapasan mengindikasikan
dengan  Pernapasan teratur nafas bibir dan gangguan pola nafas
dispnea,terda  Takipnea tidak ada penggunaan otot bantu 3. Mempermudah ekspansi paru
pat otot bantu  Pengembangan dada simetris pernapasan 4. Stabilisasi tulang servikal
napas antara kanan dan kiri 3. Berikan posisi semifowler 5. Oksigen yang adekuat dapat

 Tanda vital dalam batas normal jika tidak ada kontra menghindari resiko

(nadi 60-100x/menit, RR 16-20 indikasi kerusakan jaringan

x/menit, tekanan darah 110- 4. Gunakan servikal collar,

140/60-90 mmHg, suhu 36,5- imobilisasi lateral kepala,

37,5 oC) meletakkan papan di

 Tidak ada penggunaan otot bawah tulang belakang

bantu napas 5. Berikan oksigen sesuai


indikasi

21
2 Perfusi Setelah dilakukan tindakan 1. Atur posisi kepala dan 1. Untuk mempertahankan ABC
jaringan keperawatan selama 3x5 menit leher untuk mendukung dan mencegah terjadi
perifer tidak diharapkan perfusi jaringan adekuat airway (jaw thrust). obstruksi jalan napas
efektif dengan kriteria hasil : Jangan memutar atau 2. Untuk menurunkan
berhubungan  Nadi teraba kuat menarik leher ke belakang keparahan dari poikilothermy
dengan  Tingkat kesadaran (hiperekstensi), 3. Meningkatkan aliran balik
penyumbatan composmentis mempertimbangkan vena ke jantung
aliran darah  Sianosis atau pucat tidak ada pemasangan intubasi 4. Stabilisasi tulang servikal
ditandai  Nadi Teraba lemah, terdapat nasofaring 5. Mencukupi kebutuhan
dengan sianosis 2. Atur suhu ruangan oksigen tubuh dan oksigen
bradikardi,  Akral teraba hangat 3. Tinggikan ekstremitas juga dapat menurunkan
nadi teraba  CRT < 2 detik bawah terjadinya sickling
lemah, 4. Gunakan servikal collar, 6. Perubahan tanda-tanda vital
 GCS 13-15
terdapat imobilisasi lateral kepala, seperti bradikardi akibat dari
 AGD normal
sianosis, meletakkan papan di kompensasi jantung terhadap
akral teraba bawah tulang belakang penurunan fungsi
dingin, CRT 5. Sediakan oksigen dengan hemoglobin
> 2 detik, nasal canul untuk 7. Menunjukkan adanya
turgor tidak mengatasi hipoksia ketidakadekuatan perfusi
elastis, 6. Ukur tanda-tanda vital jaringan
kelemahan, 7. Pantau adanya 8. Penurunan perfusi terutama
AGD ketidakadekuatan perfusi di otak dapat mengakibatkan

22
abnormal : Peningkatan rasa nyeri, penurunan tingkat kesadaran
kapilari refill 2 detik, kulit 9. Penurunan perfusi jaringan
dingin dan pucat dapat menimbulkan infark
8. Pantau GCS terhadap organ jaringan
9. Awasi pemeriksaan AGD

3 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji PQRST pasien 1. Pengkajian yang tepat dapat
berhubungan keperawatan selama 3 x 15 menit 2. Pantau tanda-tanda vital membantu dalam
dengan diharapkan nyeri pasien dapat 3. Berikan analgesic untuk memberikan intervensi yang
gangguan berkurang dengan kriteria hasil : menurunkan nyeri tepat
neurologis  Tanda-tanda vital dalam batas 4. Gunakan servikal collar, 2. Nyeri bersifat proinflamasi
normal (Nadi 60-100 imobilisasi lateral kepala, sehingga dapat
x/menit),(Suhu 36,5-37,5),( meletakkan papan di mempengaruhi tanda-tanda
Tekanan Darah 110-140/60-90 bawah tulang belakang vital.
mmHg),(RR 16-20 x/menit) 3. Analgetik dapat mengurangi
 Penurunan skala nyeri( skala 0- nyeri yang berat
10) (memberikan kenyamanan
pada pasien)
4. Stabilisasi tulang belakang
untuk mengurangi nyeri

23
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
 Fraktur adalah rusaknya dan terputusnya kontinuitas tulang. Fraktur dapat dapat
diakibatkan oleh beberapa hal yaitu: Fraktur akibat peristiwa trauma, fraktur akibat
peristiwa kelelahan atau tekanan, fraktur patologik karena kelemahan pada tulang.
 Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, edema, memar/ ekimosis, spasme otot, penurunan
sensasi, gangguan fungsi, mobilitas abnormal, krepitasi, defirmitas, shock hipovolemik.
 Klasifikasi trauma servikal berdasarkan mekanismenya yaitu: hiperfleksi, fleksi-rotasi,
hiperekstensi, ekstensi- rotasi, kompresi vertical. Klasifikasi berdasarkan derajat
kestabilan yaitu: stabil dan tidak stabil
 Setelah primery survey, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan eksternal, tahap
berikutnya adalah evaluasi radiografik tercakup di dalamnya, plain foto fluoroscopy,
polytomography CT-scan tanpa atau dengan myelography dan MRI.

3.2 Saran
Sebagai tenaga kesehatan professional, perawat hendaknya dapat memberikan asuhan
keperawatan keperawatan pada penderita cegera servikal untuk mencegah atau
meminimalkan komplikasi yang mungkin terjadi. Sehingga dapat diharapkan dapat terwujud
kesehatan pada klien cedera servikal secara optimal.

24
DAFTAR PUSTAKA

Adhim.2010. Diagnosis dan Penanganan Fraktur Servikal.http/www.fik-unipdu.web.id.


Diakses tanggal 26 September 2018
Dawodu, Segun.2008.Spinal Cord Injury.http://www.medscape.com.
Diakses tanggal 26 September 2018
Sika.2010.Asuhan Keperawatan dengan Pasien Fraktur Servikalis.
https://www.scribd.com/doc/131538860/Askep-Cedera-Servikal
Diakses tanggal 26 September 2018
https://www.scribd.com/document/353975788/laporan-Pendahuluan-Trauma-Servikal
Diakses tanggal 26 September 2018

25

Вам также может понравиться