Вы находитесь на странице: 1из 46

Provinsi di Indonesia terus berkembang, sejak di proklamasikan pada tahun 1945 hingga saat

ini. Hal ini terjadi untuk menjawab kebutuhan pengembangan daerah, terutama daerah terpencil
tapi wilayahnya luas dan perbatasan. Pada zaman orde baru, jumlah provinsi di Indonesia
adalah 27, saat itu Timor Timur masih menjadi provinsi termuda. Tetapi setelah reformasi
berjalan, Timor Timur menjadi negara sendiri dan berganti nama menjadi Timor Leste.
Walaupun demikian, provinsi di Indonesia bukannya berkurang, tetapi malah bertambah
menjadi 34 provinsi karena terjadinya beberapa pemekaran di beberapa wilayah.
Provinsi baru hasil pemekeran adalah:
Provinsi Kalimantan Utara
Provinsi Kepulauan Riau
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Provinsi Banten
Provinsi Gorontalo
Provinsi Sulawesi Barat
Provinsi Maluku Utara
Provinsi Papua Barat

ADAPUN DAFTAR NAMA 34 PROVINSI DI INDONESIA SERTA IBUKOTANYA


ADALAH SEBAGAI BERIKUT:
A. Provinsi naggroe Aceh Darussalam
1. Suku-suku di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam
Provinsi Aceh terletak di ujung utara pulau Sumatera dan lokasinya paling barat di
Indonesia. Ibu kotanya adalah Banda Aceh. Dahulu kesultanan Aceh adalah negara terkaya,
terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka. Di provinsi Aceh juga terdapat 12 jenis suku
yang menempatinya. Ke 12 suku tersebut adalah;
a. Suku Aceh
Suku ini mendiami ujung utara Sumatra dan menganut agama Islam. Mereka
menggunakan bahasa Aceh yang masih berkerabat dengan bahasa Mon Khmer (wilayah
Champa). Bahasa Aceh merupakan bagian dari bahasa Melayu-Polynesia barat, cabang dari
keluarga bahasa Austronesia. Suku Aceh merupakan suku di Indonesia yang pertama memeluk
Islam dan mendirikan kerajaan Islam. Masyarakat Aceh mayoritas bekerja sebagai petani,
pekerja tambang, dan nelayan.
b. Suku Aneuk Jamee
Secara harfiah, istilah Aneuk Jamee berasal dari Bahasa Aceh yang berarti “anak tamu”.
Suku ini tersebar di sepanjang pesisir barat dan selatan Aceh. Bahasa yang digunakan bahasa
Aneuk Jamee, masih merupakan dialek dari bahasa Minangkabau. Namun, Bahasa Aneuk
Jamee hanya dituturkan di kalangan orang-orang tua saja dan saat ini umumnya mereka lebih
menggunakan Bahasa Aceh sebagai bahasa pergaulan sehari-hari.
c. Suku Alas
Suku ini bermukim di Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh yang biasa juga
disebut Tanah Alas. Agama yang dianut adalah agama islam. Bahasa yang digunakan adalah
bahasa Alas. Asal kata “alas” dalam bahasa Alas berarti “tikar”. Hal ini ada kaitannya dengan
keadaan daerah itu yang membentang datar seperti tikar di sela-sela Bukit Barisan. Daerah
Tanah Alas dilalui banyak sungai, salah satu di antaranya adalah Lawe Alas (Sungai Alas).
d. Suku Batak Pakpak
Suku Pakpak tersebar di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara dan Aceh, yakni
di Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan( Sumatera
Utara), Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Sabulusalam. Suku bangsa Pakpak kemungkinan
besar berasal dari keturunan tentara kerajaan Chola di India yang menyerang kerajaan
Sriwijaya pada abad 11 Masehi
Suku ini terdiri atas 5 subsuku, yang dalam istilah setempat disebut dengan istilah
Pakpak Silima suak yang terdiri dari :
Pakpak Klasen (Kab. Humbang Hasundutan Sumut)
Pakpak Simsim (Kab. Pakpak Bharat-sumut)
Pakpak Boang (Kab. Singkil dan kota Sabulusalam-Aceh)
Pakpak Pegagan (Kab. Dairi-sumut)
Pakpak Keppas (Kab. Dairi sumut)
Suku bangsa Pakpak mendiami bagian Utara, Barat Laut Danau Toba hingga perbatasan
Sumatra Utara dengan provinsi Aceh (selatan).
e. Suku Devayan
Suku Devayan mendiami Pulau Simeulue, juga di kecamatan Teupah Barat, Simeulue
Timur, Simeulue Tengah, Teupah Selatan dan Teluk Dalam.
f. Suku Gayo
Suku Gayo mendiami dataran tinggi Gayo di Aceh. Mayoritas suku ini terdapat di
kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan 3 kecamatan di Aceh Timur, yaitu
kecamatan Serbe Jadi, Peunaron dan Simpang Jernih. Selain itu suku Gayo juga mendiami
beberapa desa di kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Tenggara.
Agama yang dianut Suku Gayo adalah agama Islam dan mereka dikenal taat dalam agamanya.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Gayo.
g. Suku Haloban
Suku Haloban terdapat di kabupaten Aceh Singkil, tepatnya di kecamatan Pulau
Banyak. Di kecamatan Pulau Banyak terdapat 7 desa dengan ibukota kecamatan terletak di
desa Pulau Balai.
h. Suku Kluet
Suku Kluet mendiami beberapa kecamatan di kabupaten Aceh Selatan, yaitu kecamatan
Kluet Utara, Kluet Selatan, Kluet Tengah, dan Kluet Timur.
i. Suku Lekon
Suku Lekon terdapat di kecamatan Alafan, Simeulue di provinsi Aceh dan terdapat di
desa Lafakha dan dan Langi.
j. Suku Singkil
Suku Singkil terdapat di kabupaten Aceh Singkil daratan dan kota Subulussalam di
propinsi Aceh. Namun, kedudukan suku Singkil sampai saat ini masih diperdebatkan, apakah
suku ini termasuk dalam suku Pakpak suak Boang atau berdiri sebagai satu suku yang tersendiri
terpisah dari suku Pakpak.
k. Suku Sigulai
Suku Sigulai mendiami Pulau Simeulue bagian utara dan terdapat di kecamatan
Simeulue Barat, Alafan dan Salang.
l. Suku Tamiang
Suku Tamiang mendiami kabupaten Aceh Tamiang, termaksud suku melayu dan lebih
sering disebut Melayu Tamiang. Suku ini mempunyai kesamaan dialek dan bahasa dengan
masyarakat Melayu yang tinggal di kabupaten Langkat, Sumatera Utara serta berbeda dengan
masyarakat Aceh. Meski demikian suku ini telah sekian abad menjadi bagian dari Aceh.
Kebudayaan suku ini juga sama dengan masyarakat Melayu pesisir timur Sumatera lainnya.
2. Adat Istiadat Di Provinsi Aceh
a. Upacara Perkawinan

Perkawinan adalah sesuatu yang sangat sakral di dalam budaya masyarakat Aceh sebab
hal ini berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan. Perkawinan mempunyai nuansa tersendiri
dan sangat dihormati oleh masyarakat. Upacara perkawinan pada masyarakat Aceh merupakan
serangkaian aktivitas yang terdiri dari beberapa tahap, mulai dari pemilihan jodoh (suami/istri),
pertunangan dan hingga upacara peresmian perkawinan.
Suatu kebiasaan bagi masyarakat Aceh, sebelum pesta perkawinan dilangsungkan,
terlebih dahulu tiga hari tiga malam diadakan upacara meugaca atau boh gaca (berinai) bagi
pengantin laki-laki dan pengantin perempuan di rumahnya masing-masing. Tampak kedua
belah tangan dan kaki pengantin dihiasi dengan inai. Selama upacara meugaca/boh gaca pada
malamnya diadakan malam pertunjukan kesenian seperti tari rabana, hikayat, pho, silat, dan
meuhaba atau kaba (cerita dongeng). Tapi adat ini ada sebahagian daerah di aceh yang tidak
lagi melaksanakannya.
Pada puncak acara peresmian perkawinan, maka diadakan acara pernikahan. Acara ini
dilakukan oleh kadli yang telah mendapat wakilah (kuasa) dari ayah dara baro (Pengantin
Wanita). Qadli didampingi oleh dua orang saksi di samping majelis lainnya yang dianggap juga
sebagai saksi. Kemudian jinamai (mahar) diperlihatkan kepada majelis dan selanjutnya kadli
membaca do’a (khutbah) nikah serta lafadz akad nikah, dengan fasih yang diikuti oleh linto
baro (pengantin Pria) dengan fasih pula. Apabila lafadz sudah dianggap sempurna, kadli
mengangguk minta persetujuan kedua saksi tadi. Bila saksi belum menyetujui, maka linto harus
mengulangi lagi lafadz nikah tersebut dengan sempurna.
Setelah selesai acara nikah, linto baro dibimbing ke pelaminan persandingan, di mana
dara baro telah terlebih dahulu duduk menunggu. Sementara itu dara baro bangkit dari
pelaminan untuk menyembah suaminya. Penyembahan suami ini disebut dengan seumah teuot
linto. Setelah dara baro seumah teuot linto, maka linto baro memberikan sejumlah uang kepada
dara baro yang disebut dengan peng seumemah (uang sembah).
Selama acara persandingan ini, kedua mempelai dibimbing oleh seorang nek peungajo.
Biasanya yang menjadi peungajo adalah seorang wanita tua. Kemudian kedua mempelai itu
diberikan makan dalam sebuah pingan meututop (piring adat) yang indah dan besar bentuknya.
Selanjutnya, kedua mempelai tadi di peusunteng (disuntingi) oleh sanak keluarga kedua belah
pihak yang kemudian diikuti oleh para jiran (tetangga). Keluarga pihak linto baro menyuntingi
(peusijuk/menepung tawari) dara baro dan keluarga pihak dara baro menyuntingi pula linto
baro. Tiap-tiap orang yang menyuntingi selain menepung tawari dan melekatkan pulut kuning
di telinga temanten, juga memberikan sejumlah uang yang disebut teumentuk. Acara
peusunteng ini lazimnya didahului oleh ibu linto baro, yang kemudian disusul oleh orang lain
secara bergantian.
Apabila acara peusunteng sudah selesai, maka rombongan linto baro minta ijin untuk
pulang ke rumahnya. Linto baro turut pula dibawa pulang. Ada kalanya pula linto baro tidak
dibawa pulang, ia tidur di rumah dara baro, tetapi pada pagi-pagi benar linto baro harus sudah
meninggalkan rumah dara baro. Karena malu menurut adat, bila seorang linto baro masih di
rumah dara baro sampai siang.
b. Upacara Peutron Tanoh (Turun Tanah)

Upacara turun tanah (peutron tanoh) diadakan setelah bayi berumur tujuh hari atau 2
tahun. Dalam jangka waktu yang cukup untuk mempersiapkannya, lebih-lebih anak pertama
yang sering diadakan upacara cukup besar, dengan memotong kerbau atau lembu. Pada upacara
ini bayi digendong oleh seseorang yang terpandang, baik perangai dan budi pekertinya. Orang
yang menggendong memakai pakaian yang bagus-bagus. Waktu turun dari tangga ditundungi
dengan sehelai kain yang dipegang oleh empat orang pada setiap sisi kain itu. Di atas kain
tersebut dibelah kelapa agar bayi tadi tidak takut terhadap suara petir. Belahan kelapa dilempar
dan sebelah lagi dilempar kepada wali karong. Salah seorang keluarga dengan bergegas
menyapu tanah dan yang lain menampi beras bila bayi itu perempuan, sedangkan bila bayi itu
laki-laki salah seorang keluarga tersebut mencangkul tanah, mencencang batang pisang atau
batang tebu. Kemudian sejenak bayi itu dijejakkan di atas tanah dan akhirnya dibawa
berkeliling rumah atau mesjid sampai bayi itu dibawa pulang kembali ke rumah.
c. Tradisi Makan dan Minum

Makanan pokok masyarakat Aceh adalah nasi. Perbedaan yang cukup menyolok di
dalam tradisi makan dan minum masyarakat Aceh dengan masyarakat lain di Indonesia adalah
pada lauk-pauknya. Lauk-pauk yang biasa dimakan oleh masyarakat Aceh sangat spesifik dan
bercitra rasa seperti masakan India. Lauk-pauk utama masyarakat Aceh dapat berupa ikan,
daging (kambing/sapi). Di antara makanan khas Aceh adalah gulai kambing (Kari Kambing),
sie reboih, keumamah, eungkot paya (ikan Paya), mie Aceh, dan Martabak.
Sedangkan dalam tradisi minum pada masyarakat Aceh adalah kopi. Oleh karena itu,
tidak mengherankan apabila pada pagi hari kita melihat warung-warung di Aceh penuh sesak
orang yang sedang menikmati makan pagi dengan nasi gurih, ketan/pulut, ditemani secangkir
kopi atau pada siang hari sambil bercengkrama dengan teman sejawat makan nasi dengan kari
kambing, dan sebagainya.
d. Senjata Khas Adat Masyarakat Aceh
Senjata khas Adat masyarakat aceh yang sampai dengan saat ini masih digunakan oleh
masyarakat Aceh adalah Rencong atau Rincong. Rencong atau Rincong adalah senjata pusaka
bagi rakyat Aceh dan merupakan simbol keberanian,keperkasaan,pertahanan diri dan
kepahlawanan aceh dari abad ke abad.
Rencong telah dikenal pada awal Islam Kesultanan di abad ke-13. Di jaman Kerajaan
Aceh Darussalam rencong ini tidak pernah lepas dari hampir setiap pinggang ( selalu diselipkan
dipinggang depan ) rakyat Aceh yang rata-rata punya keberanian luar biasa baik pria maupun
wanita karena rencong ini bagi orang Aceh ibarat tentara dengan bedilnya yang merupakan
simbol keberanian, kebesaran, ketinggian martabat dan keperkasaan orang Aceh sehingga
orang-orang portugis atau portugal harus berpikir panjang untuk mendekati orang Aceh.
e. Rumah Adat Masyarakata Aceh

Rumah Aceh atau Rumoh Aceh dalam bahasa Aceh adalah rumah adat Aceh yang
berbentuk rumah panggung dengan denah rumah berupa persegi panjang dan diposisikan dari
timur ke barat agar tidak sulit menentukan arah kiblat sedangkan tampak depan menghadap
utara-selatan. Salah satu ciri khas rumoh Aceh ini adalah tiang-tiang penopang rumah yang
sangat tinggi, yaitu sekitar 2,5-3 meter. Luas bangunannya pun minimal 200 m2 dengan
ketinggian dasar lantai hingga atap mencapai 8 m. Walaupun memiliki ukuran yang besar salah
satu kehebatan rumoh aceh ini adalah pembangunannya yang hanya menggunakan tali ijuk,
pasak serta baji dengan material utamanya kayu, papan dan daun rumbia untuk atapnya. Namun
hingga hari ini rumah aceh ini masih berdiri tegak setelah dibangun lebih dari 200 tahun.

3. Sistem Kekerabatan Suku Di Provinsi Aceh

a. Kekerabatan Melalui Adat Istiadat


Kekerabatan melalui adat istiadat dapat dilihat dalam berbagai upacara yang dilakukan
oleh masyarakat aceh singkil. Contohnya upacara pernikahan, dalam upacara tersebut terdapat
lambang keakraban yaitu Tudung Saji Tutup Dulang yang merupakan rakitan kain 16 lembar
dan 16 warna yang dikenal dengan istilah sahokh 16. Sahokh 16 melambangkan kekerabatan
yang diwariskan oleh raja raja si 16 yaitu terdiri dari 8 kerajaan simpang kiri dan juga terdiri
dari 8 kerajaan simpang kanan. Dan selain itu juga, kekerabatan dapat dirasakan pada saat pesta
pernikahan atau sunat rasul, keakrabatan yang bersifat langsung antar keluarga yamg dimulai
dari rapat famili,pembagian tugas kerja, dan yang paling mencolok ialah saat memberi upah,
hadiah, kado (oleh oleh) umtuk yang bekerja yang disebut dengan istilah “menjatoh/
temettok’’.
b. Kekerabatan Melalui Tutur Bahasa
Kekerabatan juga dapat dilihat dari tutur bahasa misal pengunaan kata sapaan yang
berbeda beda terutama pada penggunaan kata sapaan seperti sapaan terhadap abang , kakak,
saudara laki laki ayah, saudara perempuan ayah, saudara laki laki ibu dan saudara perempuan
ibu yang biasanya dibedakan berdasarkan urutan kelahiran.
Umumnya kata kata yang digunakan oleh masyarakat singkil bisa langsung diketahui
sasaran maksud tujuan dan tidak bersifat umum.
c. Kekerabatan Melalui Sosial Budaya
Sosial budaya juga merupakan sebuah alat untuk menjalin kekerabatan yang sering
dilakukan oleh masyarakat Aceh singkil, contoh dapat dilihat pada kegiatan pada saat
mendirikan rumah, menanam padi, atau dengan kata lain alang gegoh, mendayung sampan atau
dengan kata lain khentoktoh, yang lebih uniknya dalam proses mendayung sampan
mempunyai arti tersendiri yaitu : ketika laki laki duduk di depan dan perempuan dibelakang
hal ini dapat diartikan bahwa perempuan dan laki laki tersebut bukan muhrim, dan sebaliknya
apabila perempuan di depan dan laki laki di belakang hal ini bertanda bahwa mereka memliki
ikatan kekeluargaan atau ikatan pernikahan (Muhrim).
Selain itu juga dapat dilihat dari kegiatan sunatan rasul yang banyak mengandung
upacara upacara yang bersifat sosial seperti adanya saling membantu antara satu dengan yang
lainnya, hal ini dapat kita lihat saat upacara sunatan. Pada upacara tersebut seorang paman
harus memberikan uang tunai minimal Rp. 1.000.000.00, dan apabila ia tidak mampu
memberikan jumlah uang yang diberikan maka keluarga penyelenggara mengupayakan agar
paman tersebut dapat memberikan sejumlah uang tanpa diketahui oleh publik.
Pada penyelenggaraan pesta pernikahan dan upacara kematian lazimnya para tetangga
dan sanak saudara memberikan bantuan berupa beras dan bahan pangan lainnya. Sanak saudara
memberikan minimal 1 karung beras dan bahan seperti ayam, kelapa, dan lain lain. Sedangkan
tetangga hanya memberikan bantuan sesuai keadaan ekonomi masing masing.
Hal yang bersifat sosial lainnya dapat juga dilihat pada acara temetok atau pemberian
kado pada upacara pernikahan dan sunatan rasul. Kado yang berupa barang dan uang yang
telah diberikan oleh para tamu akan dibacakan jumlah beserta nama pemberinya, begitu juga
sebaliknya keluarga penyelenggara upacara memberikan dengan jumlah yang sama kepada
pemberi kado.
d. Kekerabatan Melalui Keagamaan
Nuansa keagamaan juga terasa kentara pada acara khatam al-quran dan kuliah agama
pada upacara perkawinan dan sunah rasul. Seorang gadis yang akan berumahtangga wajib
hukumnya mengkhatam alquran pada hari kedua upacara perkawinan. Kemudian pada hari
ketiga dilakukannya kuliah agama oleh guru mengaji didaerah tersebut. Nuansa keagamaan
juga terasa disetiap kegiatan upacara baik itu berupa acara sosial, kebudayaan dan lain lain
sebagainya. Masyarakat Aceh Singkil sendiri juga mempunyai hubungan kekerabatan dengan
bangsa Arab, ini bisa kita buktikan dengan adanya nama Said, Syarifah dan masakan khas Arab
yang telah disesuaikan dengan lidah orang Aceh Singkil. Masyarakat Aceh Singkil juga
terbiasa mengadakan pembacaan Yasiin setiap hari jum’at siang secara besama sama sehingga
dapat menambah keakraban dan mempererat silaturrahmi antar warga.

4. Bahasa Daerah di Provinsi Aceh


Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki beberapa bahasa daerah :
1. Bahasa Aceh pemakainya 70 %
2. Bahasa Gayo
3. Bahasa Alas
4. Bahasa Tamiang
5. Bahasa Aneuk Jamee
6. Bahasa Kluet
7. Bahasa Singkil
8. Bahasa Haloban
9. Bahasa Simeulue
5. Pakaian Adat Pengantin Aceh

a. Pakaian Adat Pengantin Aceh untuk Laki-laki


Pakaian adat nanggroe aceh darussalam yang digunakan oleh laki-lakai disebut dengan Linto
Baro. Pakaian adat Linto Baro diperkirakan telah ada di Aceh sejak zaman kerajaan Perlak dan
Samudera Pasai yang merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia.

Pada awalnya, Linto Baro sebagai pakaian adat yang digunakan oleh pria dewasa saat
menghadirir upacara adat atau upacara pemerintahan. Pakaian adat Linto Baro terdiri dari
Meukasah yang merupakan baju atasan, Siluweu merupakan celana panjang, Ijo Korong yang
merupakan kain sarung, Rencong yaitu senjata khas yang merupakan senjata tradisional Aceh,
dan Meukeutop yaitu penutup kepala.

 Meukasah
Meukasah merupakan baju tenun yang terbuat dari kain sutra. Biasanya, baju meukasah
memiliki warna dasar hitam. Pemilihan warna dasar hitam ini bukan tanpa alasan. Menurut
kepercayaan masyarakat Aceh, warna hitam merupakan lambang dari kebesaran.
Baju Meukasah dipercaya sebagai lambang kebesaran masyarakat Aceh. Dalam baju meukasah
dapat pula ditemukan sulaman emas yang hampir sama dengan baju khas masyarakat China.
Sulaman emas ini biasanya terdapat di kerah meukasah. Hal ini disebut-sebut karena terjadinya
akulturasi budaya melayu dengan budaya China yang dibawa oleh para pedagang dan pelaut
yang melewati Aceh kala itu.
 Sileuweu
Sileuweu merupakan bawahan yang digunakan untuk menutupi bagian bawah tubuh untuk
laki-laki berupa celana panjang. Warna celana sileuweu ini juga berwarna gelap, senada dengan
atasan baju meukasah. Celana siluweu ini terbuat dari kain katun yang merupakan ciri khas
pakaian adat Melayu.
Celana panjang ini, selain sileuweu juga memiliki nama sebutan lain yaitu Celana Cekak
Musang. Aksesoris lain yang ditambahkan adalah sarung yang disebut dengan ija lamgugap,
ija krong, atau ija sangket. Kain ini merupakan kain songket yang terbuat dari sutra. Cara
penggunaan sarung ini adalah dengan cara mengaikatkannya ke pinggang dengan panjang
selutut atau kira-kira 10 cm di atas lutut.
 Meukeutop atau Tutup Kepala
Tutup kepala atau yang biasa disebut kopyah menambah kuatnya pengaruh budaya Islam di
tanah Aceh. Kopiah yang biasa disebut dengan meukeutop ini merupakan penutup kepala yang
berbentuk kopiah lonjong ke atas. Selain itu, meukeutop ini dilengkapi dengan lilitan tangkulok
yang merupakan lilitan yang terbuat dari tenan kain sutra dengan hiasan bintang berbentuk
persegi 8 yang terbuat dari emas atau kuningan.
 Rencong
Setiap daerah atau adat yang lain tentunya memiliki senjata tradisional yang menjadi senjata
khas daerah mereka. Tidak terkecuali di Aceh. Tentunya tidak lengkap jika pakaian adat tidak
disandingkan dengan senjata tradisional khas daerah. Rencong merupakan senjata khas Aceh
yang diselipkan di bagian pinggang pria dengan memperlihatkan bagian gagang senjata.

b. Pakaian Adat Pegantin Aceh untuk Wanita

Daro Baro merupakan sebutan untuk pakaian pengantin wanita di Aceh. Jika pakaian pengantin
laki-laki cenderung berwarna gelap, maka berbeda dengan pakaian adat untuk penganti wanita
yang cenderung memiliki warna yang lebih cerah.

Tetap menampilkan kesan Islami, pilihan warna yang biasanya digunakan untuk pakaian
pengantin perempuan adalah merah, kuning, ungu ataupun hijau. Baju adat Aceh untuk
pengantin perempuan terdiri dari baju kurung, celana cekak musang, penutup kepala dan juga
perhiasan lainnya.
 Baju Kurung
Tetap memegang teguh kebudayaan yang Islami, baju adat Aceh untuk perempuan bagian atas
adalah baju kurung. Baju kurung yang digunakan pun tentunya yang berlengan panjang. Selain
itu, baju kurung yang digunakan cenderung longgar agar menutupi seluruh tubuh wanita dan
tidak memperlihatkan lekuk tubuh dan aurat. Baju kurung khas Aceh ini sekilas merupakan
bentuk akulturasi dari budaya Arab, Melayu dan Tionghoa. Hal ini dapat dilihat dari motif
kerah baju kurung yang sama dengan motif baju China.
 Celana Cekak Musang
Celana cekak musang memang dapat digunakan oleh pria maupun wanita. Penggunaannya pun
tidak beda jauh dengan cara penggunaan celana cekak musang pada laki-laki. Celana cekak
musang dilengkapi dengan sarung dengan panjang selutut. Biasanya, celana cekak musang
sering digunakan saat penampilan tari saman yang merupakan tarian khas Aceh.
 Penutup Kepala
Sebagai hasil akulturasi budaya Arab dan Melayu, maka tidak heran jika pengantin wanita
dituntut untuk sebisa mungkin untuk menutupi seluruh anggota tubuhnya dari ujung kepala
hingga kaki. Pengantin perempuan Aceh biasanya menutup kepalanya dengan menggunakan
kerudung yang dihiasi dengan patham dhoi. Patham dhoi merupakan hiasan yang terbuat dari
bunga-bunga sungguhan yang masih segar.
 Perhiasan
Selain bermahkota kerudung yang dihiasi bunga-bunga segar, bagian tubuh lain pengantin
wanita juga dihiasi dengan berbaga macam perhiasan. Mulai dari patham dhoe perhiasan yang
diletakkan pada dahi yang berbentuk mahkota yang terbuat dari emas 24 karat ditambah dengan
5 butir serkonia putih, beratnya mencapai 160 gram hingga gleueng goki yaitu gelang kaki
yang terbuat dari tembaga yang berl

apiskan perak.
6. Rumah Adat di Provinsi Aceh

Rumah adat Aceh (bahasa Aceh: Rumoh Aceh) adalah rumah adat dari suku Aceh.
Rumah ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagan utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian
utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi
tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh
dapu (rumah dapur). Atap rumah berfungsi sebagai tempat penyimpanan pusaka keluarga.
Bagi suku bangsa Aceh, segala sesuatu yang akan mereka lakukan, selalu berlandaskan
kitab adat. Kitab adat tersebut, dikenal dengan Meukeuta Alam. Salah satu isi di dalam terdapat
tentang pendirian rumah. Di dalam kitab adat menyebutkan: ”Tiap tiap rakyat mendirikan
rumah atau masjid atau balai-balai atau meunasah pada tiap-tiap tihang di atas puting dibawah
para hendaklah dipakai kain merah dan putih sedikit”. Kain merah putih yang dibuat khusus di
saat memulai pekerjaan itu dililitkan di atas tiang utama yang di sebut tamèh raja dan tamèh
putroë”. karenanya terlihat bahwa Suku Aceh bukanlah suatu suku yang melupakan apa yang
telah diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Dalam kitab tersebut juga dipaparkan bahwa; dalam Rumoh Aceh, bagian rumah dan
pekarangannya menjadi milik anak-anak perempuan atau ibunya. Menurut adat Aceh, rumah
dan pekarangannya tidak boleh di pra-é, atau dibelokkan dari hukum waris. Jika seorang suami
meninggal dunia, maka Rumoh Aceh itu menjadi milik anak-anak perempuan atau menjadi
milik isterinya bila mereka tidak mempunyai anak perempuan.Untuk itu, dalam Rumah Adat
Aceh, istrilah yang dinamakan peurumoh, atau jiak diartikan dalam bahasa Indonesia adalah
orang yang memiliki rumah.
7. Tarian Di Provinsi Aceh
a. Tari Saman

tari saman
Tari Saman, tarian tradisional ini dulunya adalah tarian etnis Suku Gayo, dimana ras tersebut
sebagai ras tertua di pesisir Aceh saat masa itu.

b. Tari Laweut Aceh

Tari Laweut
Tarian tradisional selanjutnya adalah tari laweut, kata ‘laweut’ berasal dari shalawat atau pujian
pada Nabi Muhammad SAW. Tarian ini berasal dari Kab. Pidie, Aceh. Dulunya tarian ini
disebut tari seudati.

c. Tari Tarek Pukat


Tari Tarek Pukat
Tari ini sangat unik karena menggambarkan akitifitas nelayan yang akan menangkap ikan.

d. Tari Bines

Tari Bines
Tarian ini berasal dari Kabupaten Gayo Lues. Biasanya ditarikan oleh sekelompok perempuan.

e. Tari Didong

tari didong
Menurut Wikipedia, Didong adalah kesenian yang menyatukan beberapa unsur seperti tari,
vokal dan sastra.

f. Rapai Geleng
rapai geleng
Tarian ini awalnya berasal dari Manggeng, salah satu daerah di Aceh Selatan. Dikembangkan
oleh seorang anonim. Biasanya tarian ini dibawakan oleh laki-laki.

g. Tari Ula ula lembing

tari ula ula lembing


Kesan pertama ketika saya mendengarkan lagu latar tarian ini, saya seperti mendengarkan lagu
Arab.

h. Tari Ratoh Duek Aceh

Tari Ratoh Doek


Kata ratoh diambil dari bahasa Arab yang artinya Rateb, dan kata ‘duek’ berasal dari bahasa
Aceh sendiri yang artinya duduk. Tarian ini pun kadang disebut dengan ratoh jaroe.

8. Lagu Daerah Aceh


Bungong Jeumpa

Bungong jeumpa, bungong jeumpa meugah di aceh …


Bungong teuleubeh-teuleubeh indah lagoina
Bungong jeumpa, bungong jeumpa meugah di aceh …
Bungong teuleubeh-teuleubeh indah lagoina
Puteh kuneng , meujampu mirah
Bungong si ulah indah lagoina
Puteh kuneng , meujampu mirah
Bungong si ulah indah lagoina

Lam sinar buleun, lam sinar buleun angen peu ayon ..


Duroh meususon , meususon yang mala mala
Mangat that mubee , meunyo tatem com
Leumpah that harom si bungong jeuma
Mangat that mubee , meunyo tatem com
Leumpah that harom si bungong jeumpa

9. Ciri Khas Daerah Aceh

Seukat Dan Rapai, Identitas Masyarakat Nagan Raya

Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Sepertinya kalimat tersebut memang
tepat untuk menunjukkan identitas suatu tempat dengan ciri khas dan karakter masing-masing,
baik dari aspek adat, sosial, ekonomi dan lingkungan.
Seperti halnya dengan mayoritas masyarakat kabupaten Nagan Raya setiap
menyelenggarakan hajatan sunat maupun perkawinan tidak lengkap rasanya bila tidak
dimeriahkan dengan seni lokal Seukat dan Rapai yang sudah diminati sejak puluhan tahun lalu.
Seukat, sebuah seni tari adat lokal yang dimainkan oleh sekelompok gadis-gadis
setempat dengan pakaian khas Aceh ala Cut Nyak Dhien. Biasanya, seni tari lokal ini
dimainkan oleh lebih dari tujuh orang dengan posisi duduk sejajar dan dipandu oleh seorang
pelantun lagu atau disebut Syech.
Dalam memainkan Seukat, lantunan lagu Syech menjadi pengiring sekaligus menjadi
pengatur gerakan tim Seukat dalam mengekspresikan seluruh gerakan selama di atas penggung
yang ditonton masyarakat.
Selain seni Seukat, duet seni lain yang juga dipentaskan dalam satu malam secara
bergantian ada pula Rapai, karena sepertinya tidak lengkap pentas seni tradisional rakyat di
Nagan Raya jika kedua seni tersebut tidak dipentaskan berbarengan.
Tak jauh berbeda dengan seni tari Seukat, Rapai juga dimainkan oleh satu tim dengan
jumlah personil lebih dari lima orang dengan pakaian seragam khas pemain Rapai. Selain
Rapai, dalam seni Rapai juga dilantunkan lagu-lagu sebagai pengiring dalam menabuh Rapai.
Untuk pementasan, kedua seni tari tradisional ini dipentaskan selepas Isya. Secara terus
menerus seni tari ini dipentaskan hingga menjelang Subuh, keduanya mengambil waktu
bergantian, namun kedua lagunya biasanya saling ada keterkaitan.
Bagi masyarakat gampong setempat yang menyelenggarakan pentas seni tersebut
maupun gampong sekitar, mulai dari orang tua, muda-mudi, anak-anak berhamburan keluar
untuk menyaksikan seni tari tradisional rakyat tersebut, ada juga yang hanya sekedar
nongkrong untuk mengisi malam.
Selain itu, bagi masyarakat, kedua pentas seni tersebut menjadi simbol sekaligus
pengikat masyarakat dalam kehidupan sosial mereka. Dari beberapa penuturan masyarakat
yang dituakan, seni tari ini sudah dimainkan sejak puluhan tahun lalu, dan secara turun temurun
terus dipelihara agar tetap hidup dalam masyarakat Nagan Raya.
Namun beberapa tahun belakangan ini, patut disayangkan kedua pentas seni tersebut
sepertinya mulai kurang diminati karena pengaruh seni modern yang tidak mengakar pada
kearifan lokal, sehingga secara perlahan seni tradisional terkikis dan terancam hilang dalam
kehidupan masyarakat.
Sebagai contoh, untuk seni tari Seukat sampai saat ini masih mengandalkan gadis-gadis
setempat dalam memainkannya, sementara untuk Rapai harus didatangkan dari kabupaten
tetangga Aceh Barat Daya, dan ini butuh perhatian serius masyarakat dan pemerintah setempat
untuk menjamin kelangsungan satu seni tari yang masih tersisa.
B. Provinsi Sumatera Utara
1. Suku Di Provinsi Sumatera Utara

a. Suku Batang Angkola


Nama Angkola itu sendiri merupakan nama yang diambil dari nama sungai batang
Angkola atau batang sungai. Nama ini diberi oleh Rajendra Kola penguasa pada saat itu. Suku
Batak Angkola dikenal beberapa marga, yakni Hasibuan, Rambe, Siregar, Harahap, Daulay,
Ritonga, Hutashut, dan Tanjung.
b. Suku Batak Karo
Orang karo atau Batak karo adalah salah satu sub-suku bangsa Batak. Mereka mendiami
Dataran Tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu dan sebagian daerah Dairi. Wilayah mereka
sekarang termasuk bagian dari Kabupaten Karo. Jumlah populasinya sekitar 300.000 jiwa
mendiami daerah seluas kira-kira 5.000 kilometer persegi. Menurut sensus tahun 1930 orang
Karo berjumlah sekitar 120.000 jiwa, pada sensus tahun 1963 menjadi sekitar 154.000 jiwa
dan pada tahun 1972 berjumlah sekitar 370.000 jiwa. Sekarang diperkiraan hampir satu juta
jiwa, termasuk orang Karo yang tersebar di berbagai daerah.
c. Suku Batak Mandailing
Nama Mandailing diambil dari kata Mandala dan Holing yang merupakan sebuah
wilayah Kerajaan Kalinga yang berdiri sebelum kerajaan sriwijaya. Suku Mandailing ini
sendiri mendiami beberapa daerah di Sumatera Utara, yakni, Mandailing Natal, Padang Lawas
Utara, Padang Lawas, Labuhanbatu, Tapanuli Selatan, Labuhanbatu Selatan, Labuhanbatu
Utara, Batubara, dan di Asahan.
d. Suku Batak Pakpak
Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan, Tapanuli Tengah, dan
Kabupaten Dairi merupakan sebagian besar wilayah yang ditinggali oleh Suku Batak Pakpak.
Sementara itu asal usul suku ini dipercaya berasal dari Kerajaan Chola di India yang pernah
menyerang Kerajaan Sriwijaya pada abad 11 M.
e. Suku Batak Simalungun
Orang Simalungun atau Batak Simalungun adalah suku bangsa Batak. Mereka mendiami
daerah Simalungun yang sekarang menjadi bagian dari Kabupaten Simalungun, dan sebagian
lagi di Kotamadya Pematangsiantar. Jumlah populasinya sekitar 891.000 jiwa.

f. Suku Batak Toba


Orang Toba atau Batak Toba berdiam di daerah sekitar Danau Toba, Pulau Samosir,
Dataran Tinggi Toba, Silindung, Sekitar Barus dan Sibolga sampai ke daerah pegunungan
Bukit Barisan antara Pahae dan Habinsaran di Sumatera Utara. Daerah tersebut sekarang
termasuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Utara. Jumlah populasinya sekarang sekitar
700.000 jiwa. Sebagian dari mereka banyak yang merantau ke berbagai daerah lain di
Indonesia.
g. Suku Melayu Langkat
Orang Melayu ini mendiami daerah sepanjang pesisir timur pulau Sumatera, mulai dari
daerah Langkat di utara sampai ke Labuhan Batu di selatan. Dari daerah pantai sampai ke
perbukitan dekat kaki Pegunungan Bukit Barisan. Mereka bermukim di sekitar Kotamadya
Medan, Binjai, Tebingtinggi dan Tanjung Balai. Sebagian lagi di Kabupaten Deli Serdang,
Langkat, Asahan dan Labuhan Batu, di Provinsi Sumatera Utara. Untuk membedakan diri
dengan kelompok suku bangsa melayu lain mereka lebih suka menyebut kelompoknya sebagai
orang Melayu Deli atau Melayu Langkat. Jumlah populasinya sukar dihitung dengan pasti,
hanya diperkirakan berjumlah sekitar 1,5 juta jiwa lebih. Di daerah-daerah tersebut pemukiman
mereka berbaur dengan suku-suku bangsa lain, seperti dengan orang Toba, Karo, Simalungun,
Mandailing, Nias, Minangkabau, Aceh, Jawa dan lain-lain.
h. Suku Nias
Suku bangsa Nias mendiami Pulau Nias yang terletak di sebelah barat Pulau Sumatera.
Bersama dengan beberapa pulau kecil di sekitarnya daerah ini sekarang termasuk ke dalam
wilayah Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera Utara. Penduduk asli pulau itu menamakan diri
mereka Ono Niha, artinya "anak manusia", dan menyebut pulau mereka Tano Niha, artinya
"tanah manusia". Populasi suku bangsa ini diperkirakan berjumlah sekitar 480.000 jiwa.
Sedangkan yang lain adalah para pendatang, seperti orang Batak, Aceh, Minangkabau dan
Cina.

2. Adat Istiadat di Sumatera Utara


Tata Cara Upacara Pernikahan Adat Batak Toba

Adapun tata cara adat Batak dalam pernikahan yang disebut dengan adat na gok, yaitu
pernikahan orang Batak secara normal berdasarkan ketentuan adat terdahulu seperti tahap-
tahap berikut ini:
1. Mangaririt
Sekarang ini ada yang melaksanakan acara paulak une dan maningkir tangga langsung
setelah acara adat ditempat acara adat dilakukan, yang mereka namakan “Ulaon Sadari”.
2. Mangalehon Tanda
Mangalehon tanda maknanya mengasih tanda apabila laki-laki telah menemukan
perempuan sebagai calon istrinya, kemudian keduanya saling memberikan tanda.
Laki-laki biasanya mengasih uang kepada perempuan sedangkan perempuan menyerahkan
kain sarung kepada laki-laki, setelah itu maka laki-laki dan perempuan tersebut telah terikat
satu sama lain.
Laki-laki lalu memberitahukan hal tersebut kepada orang tuanya, orang tua laki-laki
akan menyuruh prantara atau domu-domu yang telah mengikat janji dengan putrinya.
3. Marhori-hori Dinding atau Marhusip
Marhusip artinya berbisik, tetapi arti dalam tulisan ini yaitu pembicaran yang bersifat
tertutup atau bisa juga disebut pembicaraan atau perundingan antara utusan keluarga calon
pengantin laki-laki dengan wakil pihak orang tua calon pengantin perempuan, mengenai mas
kawin yang harus di siapkan oleh pihak laki-laki yang akan diberikan kepada pihak perempuan.
Hasil-hasil pembicaraan marhusip belum perlu diketahui oleh umum karena untuk menjaga
adanya kemungkinan kegagalan dalam mencapai kata sepakat.
Marhusip biasanya dilaksanakan di rumah perempuan. Domu-domu calon pengantin laki-laki
akan menerangkan tujuan kedatangan mereka pada keluarga calon pengantin perempuan.
4. Martumpol
Martumpol bagi orang Batak Toba bisa disebut juga sebagai acara pertunangan tetapi
secara harafiah martupol merupakan acara kedua pengantin di hadapan pengurus jemaat gereja
diikat dalam janji untuk melangsungkan pernikahan.
Upacara adat ini diikuti oleh orang tua kedua calon pengantin dan keluarga mereka
beserta para undangan yang biasanya diadakan di dalam gereja, karena yang mengadakan acara
martumpol ini kebanyakan adalah masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen.
5. Marhata Sinamot
Marhata sinamot biasanya diselenggarakan setelah selesai membagikan jambar.
Marhata sinamot adalah membicarakan berapa jumlah sinamot dari pihak laki-laki, hewan apa
yang di sembelih, berapa banyak ulos, berapa banyak undangan dan dimana dilaksanakan
upacara pernikahan tersebut.
Adat marhata sinamot bisa juga dianggap sebagai perkenalan resmi antara orang tua
laki-laki dengan orang tua perempuan. Mas kawin yang diserahkan pihak laki-laki biasanya
berupa uang sesuai jumlah mas kawin tersebut di tentukan lewat tawar-menawar.
6. Martonggo Raja atau Maria Raja
Martonggo raja merupakan suatu kegiatan pra upacara adat yang bersifat seremonial
yang mutlak diselenggarakan oleh penyelenggara yang bertujuan untuk mempersiapkan
kepentingan pesta yang bersifat teknis dan non teknis.
Pada adat ini biasanya dihadiri oleh teman satu kampung, dongan tubu (saudara).
Pihak hasuhuton (tuan rumah) memohon izin kepada masyarakat sekitar terutama dongan
sahuta (teman sekampung) untuk membantu mempersiapkan dan menggunakan fasilitas
umum pada upacara adat yang sudah direncanakan.
7. Manjalo Pasu-pasu Parbagason (Pemberkatan Pernikahan)
Pemberkatan pernikahan kedua pengantin dilaksanakan di Gereja oleh Pendeta. Setelah
pemberkatan pernikahan selesai, maka kedua penagntin telah sah menjadi suami istri menurut
gereja.
Setelah pemberkatan dari Gereja selesai, lalu kedua belah pihak pulang ke rumah untuk
mengadakan upacara adat Batak dimana acara ini dihadiri oleh seluruh undangan dari pihak
laki-laki dan perempuan.
8. Ulaon Unjuk (Pesta Adat)
Setelah selesai pemberkatan dari Gereja, kedua pengantin juga menerima pemberkatan
dari adat yaitu dari seluruh keluarga khususnya kedua orang tua. Dalam upacara adat inilah
disampaikan doa-doa untuk kedua pengantin yang diwakili dengan pemberian ulos.
Selanjutnya dilaksanakan pembagian jambar (jatah) berupa daging dan juga uang yaitu:
 Jambar yang dibagi-bagikan untuk pihak perempuan adalah jambar juhut (daging) dan
jambar tuhor ni boru (uang) dibagi sesuai peraturan.
 Jambar yang dibagi-bagikan untuk pihak pria adalah dengke (baca : dekke/ ikan mas
arsik) dan ulos yang dibagi sesuai peraturan. Pesta Adat Unjuk ini diakhiri dengan
membawa pulang pengantin ke rumah paranak.
9. Mangihut Di Ampang atau Dialap Jual
Dialap Jual artinya jika pesta pernikahan diselenggarakan di rumah pengantin
perempuan, maka dilaksanakanlah acara membawa penagntin perempuan ke tempat mempelai
laki-laki.
10. Ditaruhon Jual
Jika pesta pernikahan diselenggarakan di rumah pengantin laki-laki, maka penagntin
perempuan dibolehkan pulang ke tempat orang tuanya untuk kemudian diantar lagi oleh para
namboru-nya ke tempat namboru-nya.
Dalam hal ini paranak wajib mengasih upa manaru (upah mengantar), sedang dalam dialap
jual upa manaru tidak diberlakukan.
11. Paulak Une
Adat ini dimasukkan sebagai langkah untuk kedua belah pihak bebas saling kunjung
mengunjungi setelah beberapa hari berselang upacara pernikahan yang biasanya dilaksanakan
seminggu setelah upacara pernikahan.
Pihak pengantin laki-laki dan kerabatnya, bersama pengantin mengunjungi rumah pihak orang
tua pengantin perempuan. Kesempatan inilah pihak perempuan mengetahui bahwa putrinnya
betah tinggal di rumah mertuanya.
12. Manjae
Setelah beberapa lama pengantin laki-laki dan perempuan menjalani hidup berumah
tangga (kalau laki-laki tersebut bukan anak bungsu), maka ia akan dipajae, yaitu dipisah rumah
(tempat tinggal) dan mata pencarian. Biasanya kalau anak paling bungsu mewarisi rumah orang
tuanya.
13. Maningkir Tangga
Setelah pengantin manjae atau tinggal di rumah mereka. Orang tua beserta keluarga
pengantin datang untuk mengunjungi rumah mereka dan diadakan makan bersama.

3. Sistem Kekerabatan di Sumatera Utara


Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup.
Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi)
dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai
dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan
berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena
perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam
marga, Marga menjadi identitas orang batak dalam masyarakat dan adat. Marga diturunkan
dari ayah kepada anak-anaknya.Menurut adat orang batak setiap orang harus mengenal
silsilah/tarombo marganya sendiri (marga dan nomor urut dari silsilah marga tersebut), selain
itu ia juga wajib mempelajari silsilah marga istrinya. Karena prinsipnya semua orang yang
semarga dengan istrinya adalah hula-hula/semarga dengan istri, supaya ia tahu dan memahami
di mana kedudukanya.Adalah hal yang memalukan jika menyalahi ketentuan adat, seperti
memerintah hula-hula mengerjakan sesuatu yang harus dikerjakan borunyaMarga turun-
temurun dari oppu/kakek kepada ama/bapak, kepada anak, kepada pahompu/cucu, kepada
nini/cicit dst misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs Marga lainnya.
Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali
disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar
daerah.

Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi
mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu).
Orang Batak khusunya kaum laki-laki diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal
nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini
diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.
Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan
partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga
hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan
adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak
boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.

4. Bahasa Di Sumatera Utara


Pada dasarnya, bahasa yang dipergunakan secara luas adalah bahasa Indonesia. Suku
Melayu Deli mayoritas menuturkan bahasa Indonesia karena kedekatan bahasa Melayu dengan
bahasa Indonesia. Pesisir timur seperi wilayah Serdang Bedagai, Pangkalan Dodek, Batubara,
Asahan, dan Tanjung Balai, memakai Bahasa Melayu Dialek "O" begitu juga di Labuhan Batu
dengan sedikit perbedaan ragam. Di kabupaten Langkat masih menggunakan bahasa Melayu
Dialek "E" yang sering juga disebut bahasa Maya-maya. Masih banyak keturunan Jawa
Kontrak (Jadel - Jawa Deli) yang menuturkan bahasa Jawa.
Di kawasan perkotaan, suku Tionghoa lazim menuturkan bahasa Hokkian selain bahasa
Indonesia. Di pegunungan, suku Batak menuturkan bahasa Batak yang terbagi atas empat logat
(Silindung-Samosir-Humbang-Toba). Bahasa Nias dituturkan di Kepulauan Nias oleh suku
Nias. Sedangkan orang-orang Pesisir Barat, seperti dan Mandailing Natal menggunakan
Bahasa Minangkabau. Bahasa Sibolga / Baikko dituturkan dikota Sibolga, Kabupaten Tapanuli
Tengah,
Berikut daftar Bahasa yang ada di Provinsi Sumatera Utara :
a. Angkola
b. Dairi
c. Karo
d. Lubu
e. Mandailing
f. Medan
g. Melayu Deli
h. Melayu Langkat
i. Melayu Pesisir (Maye-maye)
j. Nias
k. Padang Lawas
l. Pakpak
m. Simalungun
n. Toba

5. Pakaian Adat di Sumatera Utara


a. Pakaian Adat Suku Batak Toba
Suku Batak Toba merupakan salah satu suku di Sumatera Utara yang tinggal di area
sekitar Danau Toba. Pakaian adat sumatera utara batak toba sehari-harinya merupakan kain
tenun atau yang lebih dikenal dengan Ulos. Kain Ulos memang merupakan kain yang sering
sekali dijadikan ciri khas suku Batak. Bahkan, Ulos menjadi sebuah identitas dari nama pakaian
adat Sumatera Utara secara nasional. Umumnya, kain Ulos dibuat khusus dengan cara ditenun
menggunakan alat tradisional dan benang sutra. Warna benang untuk membuat Ulos pun
biasanya tak jauh dari warna hitam, putih, merah, perak, dan emas.

Gambar Pakaian Adat Suku Batak Toba


Pakaian adat sumatera utara ulos tak hanya digunakan di upacara adat saja tetapi juga
dalam kehidupan sehari-hari. Ulos yang dipakai laki-lai disebut dengan hande-hande untuk
pakaian bagian atasnya. Sedangkan, untuk bagian bawah dinamakan singkot. Selain itu, ternya
Ulos juga ada yang digunakan untuk menutupi kepala yang disebut juga bulang-bulang, detar,
atau tali-tali. Untuk jenis Ulos sendiri sebenarnya ada bermacam-macam.
Jika dilihat dari coraknya, Ulos terbagi menjadi Ulos Bintang Maratur, Ulos Antakantak,
Ulos Padang Ursa, Ulos Lobo-lobo dan lain-lainnya. Setiap jenis Ulos mempunyai filosofi
yang berbeda. Pada acara adat, orang Batak biasanya menggunakan ulas dengan
menjadikannya selempang atau selendang. Mereka biasanya menggunakan Ulos Ragihotang,
Sadum, Jugjaragidup, dan Runjat.
b. Pakaian Adat Suku Mandailing
Selain Suku Batak, di Sumatera Utara juga terdapat Suku Mandailing yang umumnya
tinggal di daerah Tapanuli Selatan, Mandailing, dan Padang Lawas. Untuk pakaian adat Suku
Mandailing sebenarnya hampir mirip dengan pakian Batak Toba. Mereka menggunakan Ulos
yang dipadukan dengan aksesoris lain. Saat upacara pernikahan, wanita Mandailing biasanya
menggunakan bulang di keningnya. Bulang umumnya terbuat dari bahan dasar emas, namun
saat ini banyak orang yang membuat bulang dari emas sepuhan atau bahkan logam. Bulang
dalam adat Mandailing memiliki arti sebagai lambang kemuliaan. Tak hanya itu, bulang
ternyata juga menjadi simbol struktur kemasyarakatan.

Gambar Pakaian Adat Suku Mandailing


Jika wanita menggunakan bulang, pengantin pria biasanya menggunakan penutup
kepala yang bentuknya khas sekali milik suku Mandailing. Penutup kepala pakaian adat
sumatera utara disebut Ampu. Pada zaman dahulu, Ampu ini digunakan oleh para raja
Mandailing dan Angkola. Warna hitam pada Ampu memiliki fungsi magis, sedangkan untuk
warna emasnya adalah simbol kebesaran.
c. Pakaian Adat Suku Nias
Pada dasarnya, Pulau Nias letaknya terpisah di Barat Pulau Sumatera. Jika dilihat
sekilas, memang adat masyarakat Nias terlihat berbeda dengan adat Batak. Seperti halnya
pakaian adat, pakaian adat Sumatera Utara masyarakat ini biasanya dominan dengan warna
kuning dan emas. Kaum pria niasanya mengenakan atasas yang diseut baru yang terbuat dari
kulit kayu. Baru merupakan baju yang memiliki bentuk seperti rompi. Berbeda dengan rompi
pada umumnya, baru biasanya tidak memiliki kancing dan hanya berwarna hitam atau coklat.
Untuk memberikan ciri khas, Baru diberi ornament berwarna kuning, hitam dan juga merah.

Gambar Pakaian Adat Suku Nias


Untuk pakaian adat wanita nias biasanya terdiri dari selembar kain yang terbuat dari
kulit kayu atau blacu hitam. Pakaian tersebut biasanya diberikan aksesoris tambahan berupa
gelang yang dibuat dari kuningan. Gelang ini dinamakan Aja kola dan beratnya bisa sampai
satu kilogram. Selain itu, untuk mempercantik penampilan, mereka umumnya juga
menggunakan anting logam yang besar yang disebut saro delinga. Sedangkan, laki-laki Nias
biasanya menggunakan kalabubu atau kalung kuningan sebagai penghias. Tatanan rambut
untuk wanita nias biasanya merupakan sanggul yang dibuat tanpa disasak terlebih dahulu.
Setelah itu, sanggul akan dihias dengan sebuah mahkota
d. Pakaian Adat Suku Simalungun
Sama halnya dengan suku Sumatera Utara lainnya, suku Simalungun juga umumnya
tinggal di daerah Simalungun. Tak hanya itu, pakaian adat sumatera utara simalungun juga
mengenakan Ulos, namun mereka biasanya menyebutnya dengan nama Hiou.
Gambar Pakaian Adat Suku Simalungun
Ulos biasanya digunakan bersamaan dengan aksesoris yang lain seperti Gotong dan
Bulang. Selain itu, pakaian adat Simalungun juga menggunakan Suri-suri atau kain samping
untuk pelengkapnya.
e. Pakaian Adat Suku Pakpak
Suku Pakpak merupakan suku yang tinggal di daerah Pakpak Barat dan Dairi. Suku ini
mempunyai pakaian adat yaitu kain Oles. Kain Oles ini merupakan kain tentun khas suku
Pakpak.

Gambar Pakaian Adat Suku Pakpak


Sebagai pelengkapnya, Oles digunakan bersamaan dengan aksesoris seperti kalung
emas yang bertahtahkan permata.
f. Pakaian Adat Suku Melayu
Suku Melayu umumnya tinggal di area Kota Tebing Tinggi, Langkat, Batu Bara,
Medan, Binjai, Deli Serdang, dan Bedagai. Sekilas pakaian adat suku Melayu Sumatera Utara
mirip sekali dengan suku Melayu di Riau. Mereka menggunakan baju kurung serta songket
yang dililit ke pinggang. Pada wanita, baju kurung biasa terbuat dari sutra atau brukat yang
disematkan peniti emas. Sebagai pelengkap, mereka biasanya juga menggunakan kalung yang
memiliki corak rantai serati, mentimun, sekar sukun, tanggang, dan lainnya.

Gambar Pakaian Adat Suku Melayu


Sedangkan, kaum pria Melayu biasanya menggunakan penutup kepala. Ada dua jenis
penutup kepala yaitu tengkulok dan destar. Tengkulok umumnya terbuat dai songket,
sedangkan destar terbuat dai bahan dasar rotan dan dibalut dengan kain beludru. Tengkulok
merupakan simbol kegagahan dan kebesaran pria Melayu. Pada pria sebenarnya juga
menggunakan hiasan rantai. Tak hanya itu, lengas atas mereka akan menggenakan kilat bahu
serta sidat sebagai simbol keteguhan hati.
g. Pakaian Adat Suku Karo
Pakaian adat sumatera utara karo sebenarnya hampir sama dengan pakaian adat
Sumatera Utara yang lainnya. Mereka umumnya menggunakan kain yang terbuat dari pintalan
kapas atau yang disebut juga dengan Uis Gara. Kain ini digunakan untuk menutupi tubuh
mereka saat beraktivitas sehari-hari. Kain Uis Gara sendiri memiliki makna yaitu kain merah.
Awalnya, kain ini dibuat dengan cara menenun dengan menggunakan benang merah.

Gambar Pakaian Adat Suku Karo


Untuk membuat Kain Uis Gara terlihat lebih berciri khas, kain dipadukan dengan warna
lainnya yaitu hitam atau putih. Tak hanya itu, mereka juga menggunakan benang warna lainnya
seperti perak dan emas untuk membuat motif pada kain.

6. Rumah Adat di Sumatera Utara


a. Rumah Adat Bolon

Rumah adat Bolon yang ada di provinsi Sumatera Utara ini biasanya disebut Rumah
Balai Batak Toba, dan telah diakui oleh Nasional sebagai perwakilan rumah adat Sumatera
Utara. Dilihat dari bentuknya, rumah adat ini berbentuk persegi panjang, termasuk kategori
rumah panggung. Dan hampir keseluruhannya bangunannya terbuat dari bahan alam.
Rumah panggung ini umumnya dihuni oleh 4-6 keluarga yang hidup bersama-sama.
Tujuan rumah panggung adat bolon di buat supaya memiliki kolong rumah. Kolong rumah
tersebut digunakan sebagai kandang hewan pemeliharaan masyarakat Batak, seperti babi,
ayam, dan kambing.
b. Rumah Adat Karo

Rumah adat Karo ini biasanya disebut sebagai rumah adat Siwaluh Jabu. Siwaluh Jabu
sendiri memiliki makna sebuah rumah yang dihuni oleh delapan keluarga. Masing-masing
keluarga mempunyai peran tersendiri didalam rumah tersebut.
Penempatan keluarga-keluarga dalam rumah Karo ditentukan oleh adat Karo. Secara
umum, rumah adat ini terdiri atas Jabu Jahe (hilir) dan Jabu Julu (hulu). Jabu Jahe juga dibagi
menjadi dua bagian, yakni Jabu ujung kayu dan Jabu rumah sendipar ujung kayu.
Biasanya rumah adat ini terdiri dari delapan ruangan dan dihuni delapan keluarga.
Sementara dalam rumah adat karo hanya terdapat empat dapur. Masing-masing jabu dibagi
menjadi dua, sehingga terbentuk beberapa jabu-jabu. Anatara lain, sedapuren bena kayu,
sedapuren ujung kayu, sedapuren lepar bena kayu, dan jabu sadapuren lepar ujung kayu.
c. Rumah Adat Pakpak
Rumah adat Pakpak/Dairi memiliki bentuk yang khas. Rumah tradisional ini dibuat dari
bahan kayu serta atapnya dari bahan ijuk. Bentuk desainnya, selain sebagai wujud seni budaya
Pakpak, juga bagian-bagian rumah adat Pakpak mempunyai arti sendiri. Selanjutnya, Rumah
adat Pakpak disebut Jerro.
Rumah adat ini sama halnya dengan rumah adat lainnya di Sumatera Utara (Sumut).
Yang pada umumnya menggunakan tangga dan tiang penyangga.
d. Rumah Adat Mandailing

Suku Mandailing berada di wilayah Provinsi Sumatera Utara (Sumut), berbatasan


dengan Provinsi Riau. Daerah Mandailing dikenal mempunyai destinasi wisata alam yang
memukau. Budaya kearifan lokal yang begitu erat dipegang oleh penduduk setempat.
Bagi Anda yang ingin melihat Rumah Adat Mandailing, Anda dapat melihatnya di kabupaten
Mandailing Natal (Madina). Kabupaten ini bagian dari wilayah Kabupaten Padang Lawas dan
Kabupaten Tapanuli Selatan. Rumah adat ini biasanya disebut juga Bagas Godang. Yang
mempunyai arti Bagas dalam bahasa Mandailing berarti rumah sedangkan godang berarti
banyak.
e. Rumah Adat Melayu
Di Sumatera Utara, adat Melayu bisa anda temui di Kota Medan, Kabupaten Deli
Serdang, Kabupaten Langkat, Kabupaten Batu Bara, Kabupaten Labuhan dan Kabupaten
Serdang Begadai (Sergei) dan Tebing Tinggi.
Suku Melayu ini mempunyai andil yang sangat penting dalam Medan sebagai Kota
terbesar ketiga di Indonesia. Rumah Adat Melayu Deli identik dengan warna kuning dan hijau,
serta dinding dan lantainya terbuat dari papan. Sedangkan atapnya menggunakan ijuk.
f. Rumah Adat Nias

Rumah adat Nias dinamai Omo Hada, bentuk rumah adat ini adalah panggung
tradisional orang Nias. Selain itu, juga terdapat rumah adat Nias dengan desain yang berbeda,
yaitu Omo Sebua.
Omo Sebua ini merupakan rumah tempat kediaman para kepala negeri (Tuhenori),
kepala desa (Salawa), atau kaum bangsawan. Rumah adat ini dibangun diatas tiang-tiang kayu
nibung yang tinggi dan besar, serta beralaskan Rumbia. Bentuk denahnya ada yang bulat telu,
ini di daerah Nias Utara, Timur, dan Barat. Sedangkan ada pula yang persegi panjang yaitu
didaerah Nias Tengah dan Selatan.
Bangunan rumah adat ini tidak berpondasi yang tertanam ke dalam tanah. Dan sambungan
antara kerangkanya tidak memakai paku, sehingga tahan goyangan gempa.
g. Rumah Adat Angkola

Angkola merupakan etnis yang berdiri sendiri, meskipun banyak orang yang
menyamakan dengan mandailing. Rumah adat ini juga dinamai Bagas Godang seperti rumah
adat Mandailing. Tetapi, terdapat beberapa perbedaan diantara keduanya.
Rumah adat Angkola yang ada di Sumut, atapnya menggunakan bahan dari ijuk dan dinding
serta lantainya dari papan. Keistimewaan rumah adat ini terletak pada warna dominan yaitu,
hitam.
h. Rumah Adat Simalungun
Simalungan adalah etnis yang berada di Kabupaten Simalungun dan Kota Pematang
Siantar, rumah adat ini dinamai Rumah Bolon. Rumah adat ini mempunyai perbedaan dengan
lainnya, bentuk atapnya yang unik didesign berbentuk limas.
i. Rumah Balai Batak Toba

Rumah Balai Batak Toba merupakan rumah adat dari daerah Sumatera Utara (Sumut).
Sudah disingguh diatasm rumah ini terbagi atas dua bagian yaitu jabu parsakitan dan jabu
bolon.
Berdasarkan fungsi, Jabu parsakitan adalah tempat penyimpanan barang. Tempat ini
juga terkadang dipakai sebagai tempat untuk pembicaraan terkait dengan hal-hal adat.
Sedangkan Jabu bolon adalah rumah keluarga besar. Rumah ini tidak memiliki sekat atau
kamar sehingga keluarga tinggal dan tidur bersama. Rumah Balai Batak Toba juga dikenal
sebagai Rumah Bolon.
Berdasarkan sejarahnya, rumah bolon didirikan oleh Raja Tuan Rahalim. Beliau
dikenal perkasa dan memiliki 24 istri. Namun, yang tinggal di istana hanya puang bolon
(permaisuri) dan 11 orang nasi puang (selir) serta anaknya sebanyak 46 orang. Sisanya, yang
12 orang lagi tinggal dikampung-kampung yang berada satu wilayah kerajaannya.
Waktu bergulir, raja terakhir yang menempati Rumah Bolon adalah Tuan Mogang Purba,
dimana usai Kemerdekaan RI pada tahun 1947 berakhir pula kedaulatan raja dengan
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lalu, pada tahun 1961, pewaris Rumah Bolon menyerahkan rumah Bolon beserta
perangkatnya kepada Pemerintah Daerah Sumatera Utara, dalam hal ini Pemerintahan
Kabupaten Simalungun.
Masyarakat Batak menilai, rumah ini tampak seperti seekor kerbau yang sedang berdiri.
Pembangunan rumah adat suku Batak ini dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat
Batak. Rumah ini berbentuk seperti rumah panggung yang disangga oleh beberapa tiang
penyangga.Tiang penyangga rumah biasanya terbuat dari kayu.
Rumah Balai Batak Toba mempunyai bahan dasar dari kayu. Menurut kepercayaan masyarakat
Batak, rumah ini terbagi ke dalam tiga bagian yang mencerminkan dunia atau dimensi yang
berbeda-beda.
 Bagian pertama yaitu atap rumah yang diyakini mencerminkan dunia para dewa.
 Bagian kedua yaitu lantai rumah yang diyakini mencerminkan dunia manusia.
 Bagian yang ketiga adalah bagian bawah rumah atau kolong rumah yang mencerminkan
dunia kematian.

7. Tarian dan Alat Musik Tradisional di Sumatera Utara


a. Tarian Adat Sumatera Utara
- Tari Serampang Dua Belas
- Tari Tor Tor
- Tari Terang Bulan (Karo)
- Tari Maena (Nias
- Tari Pesta Gembira
- Tari Karo Lima Serangkai
- Tari Kuala Deli Tanjung Katung Medan
- Tari Dembas Simenguda Tapanuli
- Tari Kemuliaan Man Dibata Karo
- Tari Bolo-Bolo Karo
- Tari Begu Deleng Sumatera Utara
- Tari Ngari-ngari Karo.
b. Alat Musik Tradisional Sumatera Utara
1. Gonrang.
Gonrang berasal dari bahasa Simalungun yang berarti Gendang. Gonrang hampir sama
dengan gendang di kebudayaan Jawa. Alat tradisional ini banyak ditemui di Kabupaten
Simalungun.

2. Sarune Bolon.

c.
Sarune Bolon adalah alat musik traidisional asal Tapanuli yang terbuat dari kayu,
tanduk kerbau dan kayu arung sebagai "ipit-ipit" atau sumber suara. Sarune Bolon
dimainkan dengan cara ditiup. Alat musik ini berfungsi sebagai pembawa melodi dan
lagu dalam Gondang Batak.
3. Hapetan.

Alat musik tradisional Hapetan ini mirip dengan alat musik kecapi, yaitu berdawai dan
dimainkan dengan cara dipetik. Hapetan juga disebut Hasapi atau Kucapi.
4. Taganing.
Alat musik ini berfungsi sebagai pembawa melodi yang sifatnya lebih ritmis
meningkahi (menjahit) permainan dari Sarune (melodi utama) pada ensambel gondang
sabangun. Alat musik ini dimainkan oleh satu atau dua orang dengan cara dipukul
dengan menggunakan palupalu (stik).
5. Garantung.

Garantung adalah salah satu alat musik Batak Toba, yang merupakan pembawa melodi.
Alat musik ini terbuat dari kayu ingol dan dosi serta memiliki lima bilah nada. Ada hal
yang unik mengenai nama alat musik ini, karena ternyata di Kalimantan Tengah,
Garantung juga merupakan nama alat musik tradisional. Namun bedanya, di Toba
Garantung adalah alat musik pukul yang terbuat dari kayu, sementara di Kalimantan
Tengah Garantung merupakan alat musik tradisional sejenis gong.

8. Lagu Daerah Sumatera Utara


Provinsi yang beribukota di Medan ini merupakan salah satu provinsi Indonesia yang
kaya akan budaya dan seni adat-nya. Secara geografis Sumatera Utara berbatasan dengan Aceh
dan memiliki pulau yang berjumlah 419. Sedangkan pusat pemerintahannya berada di Kota
Medan. Sumatera Utara memiliki danau terluas di Indonesia yaitu Danau Toba. Penduduk
sekitar Danau Toba dan pulau Samosir menggantungkan hidupnya terhadap danau ini.
Dari segi seni dan buadaya, Sumatera Utara memiliki seni musik, arsitektur, tarian, dan
kerajinan dengan ciri khas tersendiri. Namun kali ini kita akan membahas tentang lagu adat
atau lagu daerah milik Provinsi Sumatera Utara. Berikut adalah salah satu lagu daerah
Sumatera Utara dan liriknya.

Butet

Butet dipangungsian do apangmu ale butet


Damargurilla damardarurat ale butet
Damargurilla damardarurat ale butet
I doge doge doge (hi) dai doge (hi) doge (hi) doge
I doge doge doge (hi) dai doge (hi) doge (hi) doge

Butet sotung ngolngolan ro hamuna ale butet


Pai ma tona manang surat ale butet
Pai ma tona manang surat ale butet
I doge doge doge (hi) dai doge (hi) doge (hi) doge
I doge doge doge (hi) dai doge (hi) doge (hi) doge

Butet tibo do mulak au apangmu ale butet


Masunta ingkon saut do talu ale butet
Masunta ingkon saut do talu ale butet
I doge doge doge (hi) dai doge (hi) doge (hi) doge
I doge doge doge (hi) dai doge (hi) doge (hi) doge

Butet haru patibu ma magodang ale butet


Asa adong da palang merah ale butet
Da palang merah ni negara ale butet
I doge doge doge (hi) dai doge (hi) doge (hi) doge
I doge doge doge (hi) dai doge (hi) doge (hi) doge
9. Ciri Khas Sumatera Utara
Sumatera utara memiliki ciri khas tersendiri, misalnya dari cara berbicara yang terlihat
lebih tegas.
Sumatera utara juga memiliki ciri khas di bidang Seni Hias Seperti Singa-singa, hiasan
yang terdapat pada tiap-tiap rumah orang Batak Toba. Dimaksudkan sebagai penolak bala dan
penjaga keselamatan pemiliknya. Orang Batak karo menggunakan hiasan Reret (cicak)

C. Provinsi Sumatera Barat


1. Suku-suku di Sumatera Barat
Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi yang ditinggali oleh masyarakat etnis
tradisional yang berasal dari Suku Minangkabau atau Minang. Masyarakat Minang tersebar di
wilayah Sumatera Barat, daerah-daerah di daratan Riau, di bagian utara Bengkulu, di bagian
barat Jambi, wilayah pantai barat Sumatera Utara, di wilayah-wilayah sekitar barat daya Aceh,
dan juga di beberapa wilayah Malaysia.
Berikut daftar suku yang ada di provinsi sumatera barat
a. Suku Minangkabau
- Suku Sakai
- Suku Talang Mamak
- Suku Kerinci
- Suku Kubu
b. Suku Melayu
c. Suku Mentawai

2. Adat Istiadat di Sumatera Utara


a. Adat nan sabana adat.
 Adat nan sabana Adat, adalah ketentuan hukum, sifat yang terdapat pada alam benda,
flora dan fauna, maupun manusia sebagai ciptaan-Nya (Sunatullah). Adat nan sabana
Adat ini adalah sebagai SUMBER hukum Adat Minangkabau dalam menata masyarakat
dalam segala hal. Dimana ketentuan alam tersebut adalah aksioma tidak bisa dibantah
kebenarannya. Sebagai contoh dari benda Api dan Air, ketentuannya membakar dan
membasahkan. Dia akan tetap abadi sampai hari kiamat dengan sifat tersebut, kecuali
Allah sebagai sang penciptanya menentukan lain (merobahnya).
 Alam sebagai ciptaan-Nya bagi nenek moyang orang Minangkabau yakni Datuak
perpatiah nan sabatang dan datuak ketumanggungan diamati, dipelajari dan dipedomani
dan dijadikan guru untuk mengambil iktibar seperti yang disebutkan dalam pepatah-
petitih Adat : Panakiak pisau sirawik, ambiak galah batang lintabuang,
silodang ambiakkan niru, nan satitiak jadikan lawik, nan sakapa jadikan gunuang, Alam
Takambang Jadi Guru.
b. Adat nan diadatkan oleh nenek-moyang.
 Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya diatas yakni dengan meneliti,
mempedomani, mempelajari alam sekitarnya oleh nenek-moyang orang Minangkabau,
maka disusunlah ketentuan-ketentuan alam dengan segala fenomena-fenomenanya
menjadi pepatah-petitih, mamang, bidal, pantun dan gurindam Adat dengan mengambil
perbandingan dari ketentuan alam tersebut, kemudian dijadikan menjadi kaidah-kaidah
sosial untuk menyusun masyarakat dalam segala bidang seperti : ekonomi, sosial budaya,
hukum, politik, keamanan, pertahanan dan sebagainya.
 Karena pepatah-petitih tersebut dicontoh dari ketentuan alam sesuai dengan
fenomenanya masing-masing, maka kaidah-kaidah tersebut sesuai dengan sumbernya
tidak boleh dirobah-robah walau dengan musyawarah mufakat sekalipun. Justru kedua
jenis Adat pada huruf a dan b karena tidak boleh dirobah-robah disebut dalam pepatah:
Adat nan tak lakang dek paneh, tak lapuak dek hujan, dianjak tak layua, dibubuik tak
mati, dibasuah bahabih aia, dikikih bahabih basi. Artinya adalah Kebenaran dari hukum
alam tersebut . Selama Allah SWT, sebagai sang pencipta ketentuan alam tersebut tidak
menentukaan lain, maka ketentuan alam tersebut tetap tak berobah.
contoh pepatah :lawik barombak, gunuang bakabuik, lurah baraia, api mambaka,
aia mambasahkan,batuang babuku, karambia bamato, batuang tumbuah dibukunyo,
karambia tumbuah dimatonyo .
c. Adat Teradat
 Adat teradat adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh penghulu-penghulu Adat dalam
suatu nagari, peraturan guna untuk melaksanakan pokok-pokok hukum yang telah
dituangkan oleh nenek moyang (Dt. Perpatiah Nan Sabatang dan Dt. Ketumanggungan)
dalam pepatah-petitih Adat. Bagaimana sebaiknya penetapan aturan-aturan pokok
tersebut dalam kehidupan sehari-hari dan tidak bertentangan dengan aturan-aturan pokok
yang telah kita warisi secara turun-temurun dari nenek-moyang dahulunya. Sebagai
contoh kita kemukakan beberapapepatah-petitih, mamang, bidal, Adat yang telah
diadatkan oleh nenek moyang tersebut diatas seperti : Abih sandiang dek Bageso, Abih
miyang dek bagisiah. Artinya nenek-moyang melalui pepatah ini melarang sekali-kali
jangan bergaul bebas antara dua jenis yang berbeda sebelum nikah (setelah Islam) atau
kawin (sebelum Islam)..
 Begitupun peresmian SAKO(gelar pusaka) kaum atau penghulu, ada nagari yang
memotong kerbau, ada banteng, ada kambing, ada dengan membayar uang adat kenagari
yang bersangkutan. Semuanya adalah aturan pelaksanaan dari peresmian satu gelar
pusaka kaum (Sako) yang diambil keputusannya melalui musyawarah mufakat. dan lain
sebagainya.
d. Adat Istiadat
 Adat Istiadat adalah peraturan-peraturan yang juga dibuat oleh penghulu-penghulu
disuatu nagari melalui musyawarah mufakat sehubungan dengan sehubungan dengan
KESUKAAN anak nagari seperti kesenian, olah raga, pencak silat randai, talempong,
pakaian laki-laki, pakaian wanita, barang-barang bawaan kerumah mempelai, begitupun
helat jamu meresmikan S a k o itu tadi. Begitu pula Marawa, ubur-ubur, tanggo, gabah-
gabah, pelamina dan sebagainya yang berbeda-beda disetiap nagari. Juga berlaku pepatah
yang berbunyi :
o Lain lubuak lain ikannyo, lain padang lain balalangnyo,
o lain nagari lain adatnyo (Istiadatnya) .
 Adat teradat adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh penghulu-penghulu Adat dalam
suatu nagari, peraturan guna untuk melaksanakan pokok-pokok hukum yang telah
dituangkan oleh nenek moyang (Dt. Perpatiah Nan Sabatang dan Dt. Ketumanggungan)
dalam pepatah-petitih Adat. Bagaimana sebaiknya penetapan aturan-aturan pokok
tersebut dalam kehidupan sehari-hari dan tidak bertentangan dengan aturan-aturan pokok
yang telah kita warisi secara turun-temurun dari nenek-moyang dahulunya.

3. Sistem Kekerabatan di Sumatera Barat


Salah satu budaya masyarakat Minangkabau yang sangat terkenal adalah sistem
kekerabatannya yang ditarik dari garis ibu atau lebih dikenal dengan matrilineal. Sistem
matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang
terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seorang anak laki-laki dan perempuan
merupakan klen dari perkauman ibu. Ayah tidak dapat memasukkan anaknya ke dalam klan-
nya sebagaimana yang berlaku dalam sistem patrilineal. Oleh karena itu, waris dan pusaka
diturunkan menurut garis ibu pula. Ciri-ciri masyarakat matrilineal:
- Keturunan dihitung menurut garis ibu
- Suku terbentuk menurut garis ibu
- Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami)
- Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku
- Kekuasaan di dalam suku, menurut teori, terletak di tangan “ibu”, tetapi jarang sekali
dipergunakan, sedangkan yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya
- Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya
- Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dan dari saudara laki-
laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.
Sistem kekerabatan ini tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang.
Bahkan selalu disempurnakan sejalan dengan usaha menyempurnakan sistem adatnya.
Terutama dalam mekanisme penerapannya di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu
peranan seorang penghulu ataupun ninik mamak dalam kaitan bermamak berkemanakan
sangatlah penting. Bahkan peranan penghulu dan ninik mamak itu boleh dikatakan sebagai
faktor penentu dan juga sebagai indikator, apakah mekanisme sistem matrilineal itu berjalan
dengan semestinya atau tidak. Jadi keberadaan sistem ini tidak hanya terletak pada kedudukan
dan peranan kaum perempuan saja, tetapi punya hubungan yang sangat kuat dengan institusi
ninik mamaknya di dalam sebuah kaum, suku atau klan.

Peranan Laki-laki dan Perempuan di Masyarakat Minangkabau


Pada dasarnya sistem matrilineal bukanlah untuk mengangkat atau memperkuat
peranan perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan untuk menjaga, melindungi harta pusaka
suatu kaum dari kepunahan, baik rumah gadang, tanah pusaka dan sawah ladang. Bahkan
dengan adanya hukum faraidh dalam pembagian harta menurut Islam, harta pusaka kaum tetap
dilindungi dengan istilah “pusako tinggi”, sedangkan harta yang boleh dibagi dimasukkan
sebagai “pusako randah”.
Harta pusaka yang dalam terminologi Minangkabau disebut harato jo pusako. Harato
adalah sesuatu milik kaum yang tampak secara material seperti sawah, ladang, rumah gadang,
ternak dan sebagainya. Pusako adalah sesuatu milik kaum yang diwarisi turun temurun baik
yang tampak maupun yang tidak tampak. Oleh karena itu di Minangkabau dikenal pula dua
kata kembar yang artinya sangat jauh berbeda; sako dan pusako.
- Sako
Sako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang tidak
berbentuk material, seperti gelar penghulu, kebesaran kaum, tuah dan penghormatan yang
diberikan masyarakat kepadanya. Sako merupakan hak bagi laki-laki di dalam kaumnya. Gelar
demikian tidak dapat diberikan kepada perempuan walau dalam keadaan apapun juga.
Pengaturan pewarisan gelar itu tertakluk kepada sistem kelarasan yang dianut suku atau kaum
itu. Jika mereka menganut sistim kelarasan Koto Piliang, maka sistem pewarisan sakonya
berdasarkan; patah tumbuah. Artinya, gelar berikutnya harus diberikan kepada kemenakan
langsung dari si penghulu yang memegang gelar itu. Gelar demikian tidak dapat diwariskan
kepada orang lain dengan alasan papun juga. Jika tidak ada laki-laki yang akan mewarisi, gelar
itu digantuang atau dilipek atau disimpan sampai nanti kaum itu mempunyai laki-laki pewaris.
Jika mereka menganut sistem kelarasan Bodi Caniago, maka sistem pewarisan sakonya
berdasarkan; hilang baganti. Artinya, jika seorang penghulu pemegang gelar kebesaran itu
meninggal, dia dapat diwariskan kepada lelaki di dalam kaum berdasarkan kesepakatan
bersama anggota kaum itu. Pergantian demikian disebut secara adatnya gadang balega.
- Pusako
Pusako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang
berbentuk material, seperti sawah, ladang, rumah gadang dan lainnya. Pusako dimanfaatkan
oleh perempuan di dalam kaumnya. Hasil sawah, ladang menjadi bekal hidup perempuan
dengan anak-anaknya. Rumah gadang menjadi tempat tinggalnya. Laki-laki berhak mengatur
tetapi tidak berhak untuk memiliki. Karena itu di Minangkabau kata hak milik bukanlah
merupakan kata kembar, tetapi dua kata yang satu sama lain artinya tetapi berada dalam
konteks yang sama. Hak dan milik. Laki-laki punya hak terhadap pusako kaum, tetapi dia
bukan pemilik pusako kaumnya.
Dalam pengaturan pewarisan pusako, semua harta yang akan diwariskan harus
ditentukan dulu kedudukannya. Kedudukan harta pusaka itu terbagi dalam;
o Pusako tinggi.
Harta pusaka kaum yang diwariskan secara turun temurun berdasarkan garis ibu.
Pusaka tinggi hanya boleh digadaikan bila keadaan sangat mendesak sekali hanya untuk tiga
hal saja; pertama, gadih gadang indak balaki, kedua, maik tabujua tangah rumah, ketiga,
rumah gadang katirisan. Selain dari ketiga hal di atas harta pusaka tidak boleh digadaikan
apalagi dijual.
o Pusako randah.
Harta pusaka yang didapat selama perkawinan antara suami dan istri. Pusaka ini disebut
juga harta bawaan, artinya modal dasarnya berasal dari masing-masing kaum. Pusako randah
diwariskan kepada anak, istri dan saudara laki-laki berdasarkan hukum faraidh, atau hukum
Islam.
Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara dan
penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau tempat
penyimpanan. Itulah sebabnya barangkali, dalam penentuan peraturan dan perundang-
undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan menerima bersih tentang hak dan
kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan sebelumnya oleh pihak ninik mamak.
Perempuan menerima hak dan kewajibannya tanpa harus melalui sebuah prosedur
apalagi bantahan. Hal ini disebabkan hak dan kewajiban perempuan itu begitu dapat menjamin
keselamatan hidup mereka dalam kondisi bagaimanapun juga. Semua harta pusaka menjadi
milik perempuan, sedangkan laki-laki diberi hak untuk mengatur dan mempertahankannya.
Perempuan tidak perlu berperan aktif seperti ninik mamak. Perempuan Minangkabau yang
memahami konstelasi seperti ini tidak memerlukan lagi atau menuntut lagi suatu prosedur lain
atas hak-haknya. Mereka tidak memerlukan emansipasi lagi, mereka tidak perlu dengan
perjuangan gender, karena sistem matrilineal telah menyediakan apa yang sesungguhnya
diperlukan perempuan. Para ninik mamak telah membuatkan suatu “aturan permainan” antara
laki-laki dan perempuan dengan hak dan kewajiban yang berimbang antar sesamanya.

Вам также может понравиться