Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
ini. Hal ini terjadi untuk menjawab kebutuhan pengembangan daerah, terutama daerah terpencil
tapi wilayahnya luas dan perbatasan. Pada zaman orde baru, jumlah provinsi di Indonesia
adalah 27, saat itu Timor Timur masih menjadi provinsi termuda. Tetapi setelah reformasi
berjalan, Timor Timur menjadi negara sendiri dan berganti nama menjadi Timor Leste.
Walaupun demikian, provinsi di Indonesia bukannya berkurang, tetapi malah bertambah
menjadi 34 provinsi karena terjadinya beberapa pemekaran di beberapa wilayah.
Provinsi baru hasil pemekeran adalah:
Provinsi Kalimantan Utara
Provinsi Kepulauan Riau
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Provinsi Banten
Provinsi Gorontalo
Provinsi Sulawesi Barat
Provinsi Maluku Utara
Provinsi Papua Barat
Perkawinan adalah sesuatu yang sangat sakral di dalam budaya masyarakat Aceh sebab
hal ini berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan. Perkawinan mempunyai nuansa tersendiri
dan sangat dihormati oleh masyarakat. Upacara perkawinan pada masyarakat Aceh merupakan
serangkaian aktivitas yang terdiri dari beberapa tahap, mulai dari pemilihan jodoh (suami/istri),
pertunangan dan hingga upacara peresmian perkawinan.
Suatu kebiasaan bagi masyarakat Aceh, sebelum pesta perkawinan dilangsungkan,
terlebih dahulu tiga hari tiga malam diadakan upacara meugaca atau boh gaca (berinai) bagi
pengantin laki-laki dan pengantin perempuan di rumahnya masing-masing. Tampak kedua
belah tangan dan kaki pengantin dihiasi dengan inai. Selama upacara meugaca/boh gaca pada
malamnya diadakan malam pertunjukan kesenian seperti tari rabana, hikayat, pho, silat, dan
meuhaba atau kaba (cerita dongeng). Tapi adat ini ada sebahagian daerah di aceh yang tidak
lagi melaksanakannya.
Pada puncak acara peresmian perkawinan, maka diadakan acara pernikahan. Acara ini
dilakukan oleh kadli yang telah mendapat wakilah (kuasa) dari ayah dara baro (Pengantin
Wanita). Qadli didampingi oleh dua orang saksi di samping majelis lainnya yang dianggap juga
sebagai saksi. Kemudian jinamai (mahar) diperlihatkan kepada majelis dan selanjutnya kadli
membaca do’a (khutbah) nikah serta lafadz akad nikah, dengan fasih yang diikuti oleh linto
baro (pengantin Pria) dengan fasih pula. Apabila lafadz sudah dianggap sempurna, kadli
mengangguk minta persetujuan kedua saksi tadi. Bila saksi belum menyetujui, maka linto harus
mengulangi lagi lafadz nikah tersebut dengan sempurna.
Setelah selesai acara nikah, linto baro dibimbing ke pelaminan persandingan, di mana
dara baro telah terlebih dahulu duduk menunggu. Sementara itu dara baro bangkit dari
pelaminan untuk menyembah suaminya. Penyembahan suami ini disebut dengan seumah teuot
linto. Setelah dara baro seumah teuot linto, maka linto baro memberikan sejumlah uang kepada
dara baro yang disebut dengan peng seumemah (uang sembah).
Selama acara persandingan ini, kedua mempelai dibimbing oleh seorang nek peungajo.
Biasanya yang menjadi peungajo adalah seorang wanita tua. Kemudian kedua mempelai itu
diberikan makan dalam sebuah pingan meututop (piring adat) yang indah dan besar bentuknya.
Selanjutnya, kedua mempelai tadi di peusunteng (disuntingi) oleh sanak keluarga kedua belah
pihak yang kemudian diikuti oleh para jiran (tetangga). Keluarga pihak linto baro menyuntingi
(peusijuk/menepung tawari) dara baro dan keluarga pihak dara baro menyuntingi pula linto
baro. Tiap-tiap orang yang menyuntingi selain menepung tawari dan melekatkan pulut kuning
di telinga temanten, juga memberikan sejumlah uang yang disebut teumentuk. Acara
peusunteng ini lazimnya didahului oleh ibu linto baro, yang kemudian disusul oleh orang lain
secara bergantian.
Apabila acara peusunteng sudah selesai, maka rombongan linto baro minta ijin untuk
pulang ke rumahnya. Linto baro turut pula dibawa pulang. Ada kalanya pula linto baro tidak
dibawa pulang, ia tidur di rumah dara baro, tetapi pada pagi-pagi benar linto baro harus sudah
meninggalkan rumah dara baro. Karena malu menurut adat, bila seorang linto baro masih di
rumah dara baro sampai siang.
b. Upacara Peutron Tanoh (Turun Tanah)
Upacara turun tanah (peutron tanoh) diadakan setelah bayi berumur tujuh hari atau 2
tahun. Dalam jangka waktu yang cukup untuk mempersiapkannya, lebih-lebih anak pertama
yang sering diadakan upacara cukup besar, dengan memotong kerbau atau lembu. Pada upacara
ini bayi digendong oleh seseorang yang terpandang, baik perangai dan budi pekertinya. Orang
yang menggendong memakai pakaian yang bagus-bagus. Waktu turun dari tangga ditundungi
dengan sehelai kain yang dipegang oleh empat orang pada setiap sisi kain itu. Di atas kain
tersebut dibelah kelapa agar bayi tadi tidak takut terhadap suara petir. Belahan kelapa dilempar
dan sebelah lagi dilempar kepada wali karong. Salah seorang keluarga dengan bergegas
menyapu tanah dan yang lain menampi beras bila bayi itu perempuan, sedangkan bila bayi itu
laki-laki salah seorang keluarga tersebut mencangkul tanah, mencencang batang pisang atau
batang tebu. Kemudian sejenak bayi itu dijejakkan di atas tanah dan akhirnya dibawa
berkeliling rumah atau mesjid sampai bayi itu dibawa pulang kembali ke rumah.
c. Tradisi Makan dan Minum
Makanan pokok masyarakat Aceh adalah nasi. Perbedaan yang cukup menyolok di
dalam tradisi makan dan minum masyarakat Aceh dengan masyarakat lain di Indonesia adalah
pada lauk-pauknya. Lauk-pauk yang biasa dimakan oleh masyarakat Aceh sangat spesifik dan
bercitra rasa seperti masakan India. Lauk-pauk utama masyarakat Aceh dapat berupa ikan,
daging (kambing/sapi). Di antara makanan khas Aceh adalah gulai kambing (Kari Kambing),
sie reboih, keumamah, eungkot paya (ikan Paya), mie Aceh, dan Martabak.
Sedangkan dalam tradisi minum pada masyarakat Aceh adalah kopi. Oleh karena itu,
tidak mengherankan apabila pada pagi hari kita melihat warung-warung di Aceh penuh sesak
orang yang sedang menikmati makan pagi dengan nasi gurih, ketan/pulut, ditemani secangkir
kopi atau pada siang hari sambil bercengkrama dengan teman sejawat makan nasi dengan kari
kambing, dan sebagainya.
d. Senjata Khas Adat Masyarakat Aceh
Senjata khas Adat masyarakat aceh yang sampai dengan saat ini masih digunakan oleh
masyarakat Aceh adalah Rencong atau Rincong. Rencong atau Rincong adalah senjata pusaka
bagi rakyat Aceh dan merupakan simbol keberanian,keperkasaan,pertahanan diri dan
kepahlawanan aceh dari abad ke abad.
Rencong telah dikenal pada awal Islam Kesultanan di abad ke-13. Di jaman Kerajaan
Aceh Darussalam rencong ini tidak pernah lepas dari hampir setiap pinggang ( selalu diselipkan
dipinggang depan ) rakyat Aceh yang rata-rata punya keberanian luar biasa baik pria maupun
wanita karena rencong ini bagi orang Aceh ibarat tentara dengan bedilnya yang merupakan
simbol keberanian, kebesaran, ketinggian martabat dan keperkasaan orang Aceh sehingga
orang-orang portugis atau portugal harus berpikir panjang untuk mendekati orang Aceh.
e. Rumah Adat Masyarakata Aceh
Rumah Aceh atau Rumoh Aceh dalam bahasa Aceh adalah rumah adat Aceh yang
berbentuk rumah panggung dengan denah rumah berupa persegi panjang dan diposisikan dari
timur ke barat agar tidak sulit menentukan arah kiblat sedangkan tampak depan menghadap
utara-selatan. Salah satu ciri khas rumoh Aceh ini adalah tiang-tiang penopang rumah yang
sangat tinggi, yaitu sekitar 2,5-3 meter. Luas bangunannya pun minimal 200 m2 dengan
ketinggian dasar lantai hingga atap mencapai 8 m. Walaupun memiliki ukuran yang besar salah
satu kehebatan rumoh aceh ini adalah pembangunannya yang hanya menggunakan tali ijuk,
pasak serta baji dengan material utamanya kayu, papan dan daun rumbia untuk atapnya. Namun
hingga hari ini rumah aceh ini masih berdiri tegak setelah dibangun lebih dari 200 tahun.
Pada awalnya, Linto Baro sebagai pakaian adat yang digunakan oleh pria dewasa saat
menghadirir upacara adat atau upacara pemerintahan. Pakaian adat Linto Baro terdiri dari
Meukasah yang merupakan baju atasan, Siluweu merupakan celana panjang, Ijo Korong yang
merupakan kain sarung, Rencong yaitu senjata khas yang merupakan senjata tradisional Aceh,
dan Meukeutop yaitu penutup kepala.
Meukasah
Meukasah merupakan baju tenun yang terbuat dari kain sutra. Biasanya, baju meukasah
memiliki warna dasar hitam. Pemilihan warna dasar hitam ini bukan tanpa alasan. Menurut
kepercayaan masyarakat Aceh, warna hitam merupakan lambang dari kebesaran.
Baju Meukasah dipercaya sebagai lambang kebesaran masyarakat Aceh. Dalam baju meukasah
dapat pula ditemukan sulaman emas yang hampir sama dengan baju khas masyarakat China.
Sulaman emas ini biasanya terdapat di kerah meukasah. Hal ini disebut-sebut karena terjadinya
akulturasi budaya melayu dengan budaya China yang dibawa oleh para pedagang dan pelaut
yang melewati Aceh kala itu.
Sileuweu
Sileuweu merupakan bawahan yang digunakan untuk menutupi bagian bawah tubuh untuk
laki-laki berupa celana panjang. Warna celana sileuweu ini juga berwarna gelap, senada dengan
atasan baju meukasah. Celana siluweu ini terbuat dari kain katun yang merupakan ciri khas
pakaian adat Melayu.
Celana panjang ini, selain sileuweu juga memiliki nama sebutan lain yaitu Celana Cekak
Musang. Aksesoris lain yang ditambahkan adalah sarung yang disebut dengan ija lamgugap,
ija krong, atau ija sangket. Kain ini merupakan kain songket yang terbuat dari sutra. Cara
penggunaan sarung ini adalah dengan cara mengaikatkannya ke pinggang dengan panjang
selutut atau kira-kira 10 cm di atas lutut.
Meukeutop atau Tutup Kepala
Tutup kepala atau yang biasa disebut kopyah menambah kuatnya pengaruh budaya Islam di
tanah Aceh. Kopiah yang biasa disebut dengan meukeutop ini merupakan penutup kepala yang
berbentuk kopiah lonjong ke atas. Selain itu, meukeutop ini dilengkapi dengan lilitan tangkulok
yang merupakan lilitan yang terbuat dari tenan kain sutra dengan hiasan bintang berbentuk
persegi 8 yang terbuat dari emas atau kuningan.
Rencong
Setiap daerah atau adat yang lain tentunya memiliki senjata tradisional yang menjadi senjata
khas daerah mereka. Tidak terkecuali di Aceh. Tentunya tidak lengkap jika pakaian adat tidak
disandingkan dengan senjata tradisional khas daerah. Rencong merupakan senjata khas Aceh
yang diselipkan di bagian pinggang pria dengan memperlihatkan bagian gagang senjata.
Daro Baro merupakan sebutan untuk pakaian pengantin wanita di Aceh. Jika pakaian pengantin
laki-laki cenderung berwarna gelap, maka berbeda dengan pakaian adat untuk penganti wanita
yang cenderung memiliki warna yang lebih cerah.
Tetap menampilkan kesan Islami, pilihan warna yang biasanya digunakan untuk pakaian
pengantin perempuan adalah merah, kuning, ungu ataupun hijau. Baju adat Aceh untuk
pengantin perempuan terdiri dari baju kurung, celana cekak musang, penutup kepala dan juga
perhiasan lainnya.
Baju Kurung
Tetap memegang teguh kebudayaan yang Islami, baju adat Aceh untuk perempuan bagian atas
adalah baju kurung. Baju kurung yang digunakan pun tentunya yang berlengan panjang. Selain
itu, baju kurung yang digunakan cenderung longgar agar menutupi seluruh tubuh wanita dan
tidak memperlihatkan lekuk tubuh dan aurat. Baju kurung khas Aceh ini sekilas merupakan
bentuk akulturasi dari budaya Arab, Melayu dan Tionghoa. Hal ini dapat dilihat dari motif
kerah baju kurung yang sama dengan motif baju China.
Celana Cekak Musang
Celana cekak musang memang dapat digunakan oleh pria maupun wanita. Penggunaannya pun
tidak beda jauh dengan cara penggunaan celana cekak musang pada laki-laki. Celana cekak
musang dilengkapi dengan sarung dengan panjang selutut. Biasanya, celana cekak musang
sering digunakan saat penampilan tari saman yang merupakan tarian khas Aceh.
Penutup Kepala
Sebagai hasil akulturasi budaya Arab dan Melayu, maka tidak heran jika pengantin wanita
dituntut untuk sebisa mungkin untuk menutupi seluruh anggota tubuhnya dari ujung kepala
hingga kaki. Pengantin perempuan Aceh biasanya menutup kepalanya dengan menggunakan
kerudung yang dihiasi dengan patham dhoi. Patham dhoi merupakan hiasan yang terbuat dari
bunga-bunga sungguhan yang masih segar.
Perhiasan
Selain bermahkota kerudung yang dihiasi bunga-bunga segar, bagian tubuh lain pengantin
wanita juga dihiasi dengan berbaga macam perhiasan. Mulai dari patham dhoe perhiasan yang
diletakkan pada dahi yang berbentuk mahkota yang terbuat dari emas 24 karat ditambah dengan
5 butir serkonia putih, beratnya mencapai 160 gram hingga gleueng goki yaitu gelang kaki
yang terbuat dari tembaga yang berl
apiskan perak.
6. Rumah Adat di Provinsi Aceh
Rumah adat Aceh (bahasa Aceh: Rumoh Aceh) adalah rumah adat dari suku Aceh.
Rumah ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagan utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian
utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi
tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh
dapu (rumah dapur). Atap rumah berfungsi sebagai tempat penyimpanan pusaka keluarga.
Bagi suku bangsa Aceh, segala sesuatu yang akan mereka lakukan, selalu berlandaskan
kitab adat. Kitab adat tersebut, dikenal dengan Meukeuta Alam. Salah satu isi di dalam terdapat
tentang pendirian rumah. Di dalam kitab adat menyebutkan: ”Tiap tiap rakyat mendirikan
rumah atau masjid atau balai-balai atau meunasah pada tiap-tiap tihang di atas puting dibawah
para hendaklah dipakai kain merah dan putih sedikit”. Kain merah putih yang dibuat khusus di
saat memulai pekerjaan itu dililitkan di atas tiang utama yang di sebut tamèh raja dan tamèh
putroë”. karenanya terlihat bahwa Suku Aceh bukanlah suatu suku yang melupakan apa yang
telah diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Dalam kitab tersebut juga dipaparkan bahwa; dalam Rumoh Aceh, bagian rumah dan
pekarangannya menjadi milik anak-anak perempuan atau ibunya. Menurut adat Aceh, rumah
dan pekarangannya tidak boleh di pra-é, atau dibelokkan dari hukum waris. Jika seorang suami
meninggal dunia, maka Rumoh Aceh itu menjadi milik anak-anak perempuan atau menjadi
milik isterinya bila mereka tidak mempunyai anak perempuan.Untuk itu, dalam Rumah Adat
Aceh, istrilah yang dinamakan peurumoh, atau jiak diartikan dalam bahasa Indonesia adalah
orang yang memiliki rumah.
7. Tarian Di Provinsi Aceh
a. Tari Saman
tari saman
Tari Saman, tarian tradisional ini dulunya adalah tarian etnis Suku Gayo, dimana ras tersebut
sebagai ras tertua di pesisir Aceh saat masa itu.
Tari Laweut
Tarian tradisional selanjutnya adalah tari laweut, kata ‘laweut’ berasal dari shalawat atau pujian
pada Nabi Muhammad SAW. Tarian ini berasal dari Kab. Pidie, Aceh. Dulunya tarian ini
disebut tari seudati.
d. Tari Bines
Tari Bines
Tarian ini berasal dari Kabupaten Gayo Lues. Biasanya ditarikan oleh sekelompok perempuan.
e. Tari Didong
tari didong
Menurut Wikipedia, Didong adalah kesenian yang menyatukan beberapa unsur seperti tari,
vokal dan sastra.
f. Rapai Geleng
rapai geleng
Tarian ini awalnya berasal dari Manggeng, salah satu daerah di Aceh Selatan. Dikembangkan
oleh seorang anonim. Biasanya tarian ini dibawakan oleh laki-laki.
Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Sepertinya kalimat tersebut memang
tepat untuk menunjukkan identitas suatu tempat dengan ciri khas dan karakter masing-masing,
baik dari aspek adat, sosial, ekonomi dan lingkungan.
Seperti halnya dengan mayoritas masyarakat kabupaten Nagan Raya setiap
menyelenggarakan hajatan sunat maupun perkawinan tidak lengkap rasanya bila tidak
dimeriahkan dengan seni lokal Seukat dan Rapai yang sudah diminati sejak puluhan tahun lalu.
Seukat, sebuah seni tari adat lokal yang dimainkan oleh sekelompok gadis-gadis
setempat dengan pakaian khas Aceh ala Cut Nyak Dhien. Biasanya, seni tari lokal ini
dimainkan oleh lebih dari tujuh orang dengan posisi duduk sejajar dan dipandu oleh seorang
pelantun lagu atau disebut Syech.
Dalam memainkan Seukat, lantunan lagu Syech menjadi pengiring sekaligus menjadi
pengatur gerakan tim Seukat dalam mengekspresikan seluruh gerakan selama di atas penggung
yang ditonton masyarakat.
Selain seni Seukat, duet seni lain yang juga dipentaskan dalam satu malam secara
bergantian ada pula Rapai, karena sepertinya tidak lengkap pentas seni tradisional rakyat di
Nagan Raya jika kedua seni tersebut tidak dipentaskan berbarengan.
Tak jauh berbeda dengan seni tari Seukat, Rapai juga dimainkan oleh satu tim dengan
jumlah personil lebih dari lima orang dengan pakaian seragam khas pemain Rapai. Selain
Rapai, dalam seni Rapai juga dilantunkan lagu-lagu sebagai pengiring dalam menabuh Rapai.
Untuk pementasan, kedua seni tari tradisional ini dipentaskan selepas Isya. Secara terus
menerus seni tari ini dipentaskan hingga menjelang Subuh, keduanya mengambil waktu
bergantian, namun kedua lagunya biasanya saling ada keterkaitan.
Bagi masyarakat gampong setempat yang menyelenggarakan pentas seni tersebut
maupun gampong sekitar, mulai dari orang tua, muda-mudi, anak-anak berhamburan keluar
untuk menyaksikan seni tari tradisional rakyat tersebut, ada juga yang hanya sekedar
nongkrong untuk mengisi malam.
Selain itu, bagi masyarakat, kedua pentas seni tersebut menjadi simbol sekaligus
pengikat masyarakat dalam kehidupan sosial mereka. Dari beberapa penuturan masyarakat
yang dituakan, seni tari ini sudah dimainkan sejak puluhan tahun lalu, dan secara turun temurun
terus dipelihara agar tetap hidup dalam masyarakat Nagan Raya.
Namun beberapa tahun belakangan ini, patut disayangkan kedua pentas seni tersebut
sepertinya mulai kurang diminati karena pengaruh seni modern yang tidak mengakar pada
kearifan lokal, sehingga secara perlahan seni tradisional terkikis dan terancam hilang dalam
kehidupan masyarakat.
Sebagai contoh, untuk seni tari Seukat sampai saat ini masih mengandalkan gadis-gadis
setempat dalam memainkannya, sementara untuk Rapai harus didatangkan dari kabupaten
tetangga Aceh Barat Daya, dan ini butuh perhatian serius masyarakat dan pemerintah setempat
untuk menjamin kelangsungan satu seni tari yang masih tersisa.
B. Provinsi Sumatera Utara
1. Suku Di Provinsi Sumatera Utara
Adapun tata cara adat Batak dalam pernikahan yang disebut dengan adat na gok, yaitu
pernikahan orang Batak secara normal berdasarkan ketentuan adat terdahulu seperti tahap-
tahap berikut ini:
1. Mangaririt
Sekarang ini ada yang melaksanakan acara paulak une dan maningkir tangga langsung
setelah acara adat ditempat acara adat dilakukan, yang mereka namakan “Ulaon Sadari”.
2. Mangalehon Tanda
Mangalehon tanda maknanya mengasih tanda apabila laki-laki telah menemukan
perempuan sebagai calon istrinya, kemudian keduanya saling memberikan tanda.
Laki-laki biasanya mengasih uang kepada perempuan sedangkan perempuan menyerahkan
kain sarung kepada laki-laki, setelah itu maka laki-laki dan perempuan tersebut telah terikat
satu sama lain.
Laki-laki lalu memberitahukan hal tersebut kepada orang tuanya, orang tua laki-laki
akan menyuruh prantara atau domu-domu yang telah mengikat janji dengan putrinya.
3. Marhori-hori Dinding atau Marhusip
Marhusip artinya berbisik, tetapi arti dalam tulisan ini yaitu pembicaran yang bersifat
tertutup atau bisa juga disebut pembicaraan atau perundingan antara utusan keluarga calon
pengantin laki-laki dengan wakil pihak orang tua calon pengantin perempuan, mengenai mas
kawin yang harus di siapkan oleh pihak laki-laki yang akan diberikan kepada pihak perempuan.
Hasil-hasil pembicaraan marhusip belum perlu diketahui oleh umum karena untuk menjaga
adanya kemungkinan kegagalan dalam mencapai kata sepakat.
Marhusip biasanya dilaksanakan di rumah perempuan. Domu-domu calon pengantin laki-laki
akan menerangkan tujuan kedatangan mereka pada keluarga calon pengantin perempuan.
4. Martumpol
Martumpol bagi orang Batak Toba bisa disebut juga sebagai acara pertunangan tetapi
secara harafiah martupol merupakan acara kedua pengantin di hadapan pengurus jemaat gereja
diikat dalam janji untuk melangsungkan pernikahan.
Upacara adat ini diikuti oleh orang tua kedua calon pengantin dan keluarga mereka
beserta para undangan yang biasanya diadakan di dalam gereja, karena yang mengadakan acara
martumpol ini kebanyakan adalah masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen.
5. Marhata Sinamot
Marhata sinamot biasanya diselenggarakan setelah selesai membagikan jambar.
Marhata sinamot adalah membicarakan berapa jumlah sinamot dari pihak laki-laki, hewan apa
yang di sembelih, berapa banyak ulos, berapa banyak undangan dan dimana dilaksanakan
upacara pernikahan tersebut.
Adat marhata sinamot bisa juga dianggap sebagai perkenalan resmi antara orang tua
laki-laki dengan orang tua perempuan. Mas kawin yang diserahkan pihak laki-laki biasanya
berupa uang sesuai jumlah mas kawin tersebut di tentukan lewat tawar-menawar.
6. Martonggo Raja atau Maria Raja
Martonggo raja merupakan suatu kegiatan pra upacara adat yang bersifat seremonial
yang mutlak diselenggarakan oleh penyelenggara yang bertujuan untuk mempersiapkan
kepentingan pesta yang bersifat teknis dan non teknis.
Pada adat ini biasanya dihadiri oleh teman satu kampung, dongan tubu (saudara).
Pihak hasuhuton (tuan rumah) memohon izin kepada masyarakat sekitar terutama dongan
sahuta (teman sekampung) untuk membantu mempersiapkan dan menggunakan fasilitas
umum pada upacara adat yang sudah direncanakan.
7. Manjalo Pasu-pasu Parbagason (Pemberkatan Pernikahan)
Pemberkatan pernikahan kedua pengantin dilaksanakan di Gereja oleh Pendeta. Setelah
pemberkatan pernikahan selesai, maka kedua penagntin telah sah menjadi suami istri menurut
gereja.
Setelah pemberkatan dari Gereja selesai, lalu kedua belah pihak pulang ke rumah untuk
mengadakan upacara adat Batak dimana acara ini dihadiri oleh seluruh undangan dari pihak
laki-laki dan perempuan.
8. Ulaon Unjuk (Pesta Adat)
Setelah selesai pemberkatan dari Gereja, kedua pengantin juga menerima pemberkatan
dari adat yaitu dari seluruh keluarga khususnya kedua orang tua. Dalam upacara adat inilah
disampaikan doa-doa untuk kedua pengantin yang diwakili dengan pemberian ulos.
Selanjutnya dilaksanakan pembagian jambar (jatah) berupa daging dan juga uang yaitu:
Jambar yang dibagi-bagikan untuk pihak perempuan adalah jambar juhut (daging) dan
jambar tuhor ni boru (uang) dibagi sesuai peraturan.
Jambar yang dibagi-bagikan untuk pihak pria adalah dengke (baca : dekke/ ikan mas
arsik) dan ulos yang dibagi sesuai peraturan. Pesta Adat Unjuk ini diakhiri dengan
membawa pulang pengantin ke rumah paranak.
9. Mangihut Di Ampang atau Dialap Jual
Dialap Jual artinya jika pesta pernikahan diselenggarakan di rumah pengantin
perempuan, maka dilaksanakanlah acara membawa penagntin perempuan ke tempat mempelai
laki-laki.
10. Ditaruhon Jual
Jika pesta pernikahan diselenggarakan di rumah pengantin laki-laki, maka penagntin
perempuan dibolehkan pulang ke tempat orang tuanya untuk kemudian diantar lagi oleh para
namboru-nya ke tempat namboru-nya.
Dalam hal ini paranak wajib mengasih upa manaru (upah mengantar), sedang dalam dialap
jual upa manaru tidak diberlakukan.
11. Paulak Une
Adat ini dimasukkan sebagai langkah untuk kedua belah pihak bebas saling kunjung
mengunjungi setelah beberapa hari berselang upacara pernikahan yang biasanya dilaksanakan
seminggu setelah upacara pernikahan.
Pihak pengantin laki-laki dan kerabatnya, bersama pengantin mengunjungi rumah pihak orang
tua pengantin perempuan. Kesempatan inilah pihak perempuan mengetahui bahwa putrinnya
betah tinggal di rumah mertuanya.
12. Manjae
Setelah beberapa lama pengantin laki-laki dan perempuan menjalani hidup berumah
tangga (kalau laki-laki tersebut bukan anak bungsu), maka ia akan dipajae, yaitu dipisah rumah
(tempat tinggal) dan mata pencarian. Biasanya kalau anak paling bungsu mewarisi rumah orang
tuanya.
13. Maningkir Tangga
Setelah pengantin manjae atau tinggal di rumah mereka. Orang tua beserta keluarga
pengantin datang untuk mengunjungi rumah mereka dan diadakan makan bersama.
Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi
mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu).
Orang Batak khusunya kaum laki-laki diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal
nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini
diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.
Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan
partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga
hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan
adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak
boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.
Rumah adat Bolon yang ada di provinsi Sumatera Utara ini biasanya disebut Rumah
Balai Batak Toba, dan telah diakui oleh Nasional sebagai perwakilan rumah adat Sumatera
Utara. Dilihat dari bentuknya, rumah adat ini berbentuk persegi panjang, termasuk kategori
rumah panggung. Dan hampir keseluruhannya bangunannya terbuat dari bahan alam.
Rumah panggung ini umumnya dihuni oleh 4-6 keluarga yang hidup bersama-sama.
Tujuan rumah panggung adat bolon di buat supaya memiliki kolong rumah. Kolong rumah
tersebut digunakan sebagai kandang hewan pemeliharaan masyarakat Batak, seperti babi,
ayam, dan kambing.
b. Rumah Adat Karo
Rumah adat Karo ini biasanya disebut sebagai rumah adat Siwaluh Jabu. Siwaluh Jabu
sendiri memiliki makna sebuah rumah yang dihuni oleh delapan keluarga. Masing-masing
keluarga mempunyai peran tersendiri didalam rumah tersebut.
Penempatan keluarga-keluarga dalam rumah Karo ditentukan oleh adat Karo. Secara
umum, rumah adat ini terdiri atas Jabu Jahe (hilir) dan Jabu Julu (hulu). Jabu Jahe juga dibagi
menjadi dua bagian, yakni Jabu ujung kayu dan Jabu rumah sendipar ujung kayu.
Biasanya rumah adat ini terdiri dari delapan ruangan dan dihuni delapan keluarga.
Sementara dalam rumah adat karo hanya terdapat empat dapur. Masing-masing jabu dibagi
menjadi dua, sehingga terbentuk beberapa jabu-jabu. Anatara lain, sedapuren bena kayu,
sedapuren ujung kayu, sedapuren lepar bena kayu, dan jabu sadapuren lepar ujung kayu.
c. Rumah Adat Pakpak
Rumah adat Pakpak/Dairi memiliki bentuk yang khas. Rumah tradisional ini dibuat dari
bahan kayu serta atapnya dari bahan ijuk. Bentuk desainnya, selain sebagai wujud seni budaya
Pakpak, juga bagian-bagian rumah adat Pakpak mempunyai arti sendiri. Selanjutnya, Rumah
adat Pakpak disebut Jerro.
Rumah adat ini sama halnya dengan rumah adat lainnya di Sumatera Utara (Sumut).
Yang pada umumnya menggunakan tangga dan tiang penyangga.
d. Rumah Adat Mandailing
Rumah adat Nias dinamai Omo Hada, bentuk rumah adat ini adalah panggung
tradisional orang Nias. Selain itu, juga terdapat rumah adat Nias dengan desain yang berbeda,
yaitu Omo Sebua.
Omo Sebua ini merupakan rumah tempat kediaman para kepala negeri (Tuhenori),
kepala desa (Salawa), atau kaum bangsawan. Rumah adat ini dibangun diatas tiang-tiang kayu
nibung yang tinggi dan besar, serta beralaskan Rumbia. Bentuk denahnya ada yang bulat telu,
ini di daerah Nias Utara, Timur, dan Barat. Sedangkan ada pula yang persegi panjang yaitu
didaerah Nias Tengah dan Selatan.
Bangunan rumah adat ini tidak berpondasi yang tertanam ke dalam tanah. Dan sambungan
antara kerangkanya tidak memakai paku, sehingga tahan goyangan gempa.
g. Rumah Adat Angkola
Angkola merupakan etnis yang berdiri sendiri, meskipun banyak orang yang
menyamakan dengan mandailing. Rumah adat ini juga dinamai Bagas Godang seperti rumah
adat Mandailing. Tetapi, terdapat beberapa perbedaan diantara keduanya.
Rumah adat Angkola yang ada di Sumut, atapnya menggunakan bahan dari ijuk dan dinding
serta lantainya dari papan. Keistimewaan rumah adat ini terletak pada warna dominan yaitu,
hitam.
h. Rumah Adat Simalungun
Simalungan adalah etnis yang berada di Kabupaten Simalungun dan Kota Pematang
Siantar, rumah adat ini dinamai Rumah Bolon. Rumah adat ini mempunyai perbedaan dengan
lainnya, bentuk atapnya yang unik didesign berbentuk limas.
i. Rumah Balai Batak Toba
Rumah Balai Batak Toba merupakan rumah adat dari daerah Sumatera Utara (Sumut).
Sudah disingguh diatasm rumah ini terbagi atas dua bagian yaitu jabu parsakitan dan jabu
bolon.
Berdasarkan fungsi, Jabu parsakitan adalah tempat penyimpanan barang. Tempat ini
juga terkadang dipakai sebagai tempat untuk pembicaraan terkait dengan hal-hal adat.
Sedangkan Jabu bolon adalah rumah keluarga besar. Rumah ini tidak memiliki sekat atau
kamar sehingga keluarga tinggal dan tidur bersama. Rumah Balai Batak Toba juga dikenal
sebagai Rumah Bolon.
Berdasarkan sejarahnya, rumah bolon didirikan oleh Raja Tuan Rahalim. Beliau
dikenal perkasa dan memiliki 24 istri. Namun, yang tinggal di istana hanya puang bolon
(permaisuri) dan 11 orang nasi puang (selir) serta anaknya sebanyak 46 orang. Sisanya, yang
12 orang lagi tinggal dikampung-kampung yang berada satu wilayah kerajaannya.
Waktu bergulir, raja terakhir yang menempati Rumah Bolon adalah Tuan Mogang Purba,
dimana usai Kemerdekaan RI pada tahun 1947 berakhir pula kedaulatan raja dengan
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lalu, pada tahun 1961, pewaris Rumah Bolon menyerahkan rumah Bolon beserta
perangkatnya kepada Pemerintah Daerah Sumatera Utara, dalam hal ini Pemerintahan
Kabupaten Simalungun.
Masyarakat Batak menilai, rumah ini tampak seperti seekor kerbau yang sedang berdiri.
Pembangunan rumah adat suku Batak ini dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat
Batak. Rumah ini berbentuk seperti rumah panggung yang disangga oleh beberapa tiang
penyangga.Tiang penyangga rumah biasanya terbuat dari kayu.
Rumah Balai Batak Toba mempunyai bahan dasar dari kayu. Menurut kepercayaan masyarakat
Batak, rumah ini terbagi ke dalam tiga bagian yang mencerminkan dunia atau dimensi yang
berbeda-beda.
Bagian pertama yaitu atap rumah yang diyakini mencerminkan dunia para dewa.
Bagian kedua yaitu lantai rumah yang diyakini mencerminkan dunia manusia.
Bagian yang ketiga adalah bagian bawah rumah atau kolong rumah yang mencerminkan
dunia kematian.
2. Sarune Bolon.
c.
Sarune Bolon adalah alat musik traidisional asal Tapanuli yang terbuat dari kayu,
tanduk kerbau dan kayu arung sebagai "ipit-ipit" atau sumber suara. Sarune Bolon
dimainkan dengan cara ditiup. Alat musik ini berfungsi sebagai pembawa melodi dan
lagu dalam Gondang Batak.
3. Hapetan.
Alat musik tradisional Hapetan ini mirip dengan alat musik kecapi, yaitu berdawai dan
dimainkan dengan cara dipetik. Hapetan juga disebut Hasapi atau Kucapi.
4. Taganing.
Alat musik ini berfungsi sebagai pembawa melodi yang sifatnya lebih ritmis
meningkahi (menjahit) permainan dari Sarune (melodi utama) pada ensambel gondang
sabangun. Alat musik ini dimainkan oleh satu atau dua orang dengan cara dipukul
dengan menggunakan palupalu (stik).
5. Garantung.
Garantung adalah salah satu alat musik Batak Toba, yang merupakan pembawa melodi.
Alat musik ini terbuat dari kayu ingol dan dosi serta memiliki lima bilah nada. Ada hal
yang unik mengenai nama alat musik ini, karena ternyata di Kalimantan Tengah,
Garantung juga merupakan nama alat musik tradisional. Namun bedanya, di Toba
Garantung adalah alat musik pukul yang terbuat dari kayu, sementara di Kalimantan
Tengah Garantung merupakan alat musik tradisional sejenis gong.
Butet