Вы находитесь на странице: 1из 51

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi adalah istilah yang diturunkan dari dua kata Yunani yaitu “an” dan
“esthesia” dan bersama-sama berarti “hilangnya rasa atau hilangnya sensasi”. Secara
umum berarti menghilangkan rasa sakit pada seluruh tubuh secara sentral disertai
hilangnya kesadaran secara reversible. Perbedaannya dengan anestesi regional adalah
anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri tanpa kehilangan kesadaran.1,2
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang memberikan pelayanan medis
terhadap pasien dalam hal-hal pemberian anestesia dan analgesia, menjaga keselamatan
pasien yang menjalani pembedahan atau tindakan medis lainnya, bantuan resusitasi pasien
gawat, mengelola unit perawatan terapi intensif, memberi pelayanan terapi inhalasi dan
penanggulangan nyeri membandel serta berperan aktif mengelola kedokteran gawat darurat
serta tidak lepas juga dari pelayanan sedasi.3
Anestesi regional adalah tindakan analgesia yang dilakukan dengan cara
menyuntikkan obat anestetika lokal pada lokasi serat saraf yang menginervasi regio
tertentu, yang menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer.
Jenis anestesi reginla yaitu blok saraf tepi, blok pleksus brachialis, blok spinal sub
arakhnoid. Blok epidural dab blok regional intravena.3
Subarakhnoid blok (SAB) adalah blok regional yang dilakukan dengan jalan
menyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang sub arakhnoid melalui tindakan pungsi
lumbal. Indikasi dari anestesi blok sub arakhnoid antara lain pembedahan pada daerah
abdominal bawah dan inguinal, anorektal dan genitalia eksterna serta ekstremitas inferior.
Subarakhnoid blok lebih efektif dan aman dibandingkan dengan anestesi umum.3,4
Anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat
berbagai keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik
yang minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah respon
stress secara lebih sempurna. Namun demikian bukan berarti bahwa tindakan anestesi lokal
tidak ada bahayanya. Hasil yang baik akan dicapai apabila selain persiapan yang optimal
seperti halnya anestesi umum juga disertai pengetahuan tentang farmakologi obat anestesi
lokal.5

1
Histerektomi pada mioma uteri adalah pengangkatan uterus yang umumnya
merupakan tindakan terpilih. Tindakan ini terbaik untuk wanita berumur lebih dari 40
tahun dan tidak menghendaki anak lagi atau tumor yang lebih besar dari kehamilan 12
minggu disertai adanya gangguan penekanan atau tumor yang cepat membesar.
Histerektomi total umumnya dilakukan dengan alasan mencegah akan timbulnya
karsinoma serviks uteri.6
Salpingo ooforektomi adalah pengangkatan ovarium serta tuba fallopi. Salping
ooforektomi unilateral diindikasikan kepada pasien yang mempunyai ovarium yang tidak
dapat dipertahankan lagi, misalnya ruptur pada kehamilan ektopik yang dimana keadaan
hemostatis tidak dapat dipertahankan jika tidak dilakukan pengangkatan ovarium dan tuba
fallopi, abses tubaovarium yang tidak berespon terhadap antibiotik, massa ovarium jinak
yang tidak terdapat jaringan normal yang layak dipertahankan. Salpingo ooforektomi
bilateral dapat dilakukan pada tiga kondisi yaitu, histerektomi pada kondisi jinak,
profilaksis pada wanita dengan peningkatan resiko terjadinya keganasan, atau keganasan.7

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Mioma Uteri


2.1.1 Definisi
Mioma uteri merupakan tumor jinak yang struktur utamanya adalah otot polos
rahim. Mioma uteri merupakan jenis tumor yang paling sering. Disangka bahwa 20
dari wanita berumur 35 tahun menderita mioma uteri walaupun tidak disertai gejala-
gejala. 8,9
Mioma uteri tidak pernah terjadi setelah menopause, bahkan yang telah
adapun biasanya mengecil bila mendekati masa menopause. Bila mioma uteri
bertambah besar pada masa postmenopuse, harus dipikirkan kemungkinan
terjadinya degenerasi maligna (sarcoma). Mioma uteri sering juga disebut dengan
fibroid walaupun asalnya dari jaringan otot. Dapat bersifat tunggal atau ganda, dan
mencapai ukuran besar (100 pon). Konsistensi keras, dengan batas kapsul yang
jelas, sehingga dapat dilepaskan dari sekitarnya. Penampangnya berbentuk “whorl
like trabeculation” yang khas seperti konde.9
Etiologi pasti belum diketahui, tetapi terdapat korelasi antara pertumbuhan
tumor dengan peningkatan reseptor estrogen-progesteron pada jaringan mioma uteri,
serta adanya faktor predisposisi yang bersifat herediter dan faktor hormon
pertumbuhan serta Human Placental Lactogen. Faktor yang diduga berperan untuk
inisiasi pada perubahan genetik pada mioma uteri adalah abnormalitas intrinsik pada
miometrium, peningkatan reseptor estrogen secara kongenital pada miometrium,
perubahan hormonal, atau respon kepada kecederaan iskemik ketika haid. Setelah
terjadinya mioma uteri, perubahan-perubahan genetik ini akan dipengaruhi oleh
promoter (hormon) dan efektor (growth factors).10

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mioma uteri:11

a. Estrogen
Mioma uteri kaya akan reseptor estrogen. Meyer dan De Snoo mengajukan
teori Cell nest atau teori genitoblast, teori ini menyatakan bahwa untuk
terjadinya mioma uteri harus terdapat dua komponen penting yaitu: sel nest
(sel muda yang terangsang) dan estrogen (perangsang sel nest secara terus

3
menerus). Percobaan Lipschutz yang memberikan estrogen kepada kelinci
percobaan ternyata menimbulkan tumor fibromatosa baik pada permukaan
maupun pada tempat lain dalam abdomen. Hormon estrogen dapat diperoleh
melalui penggunaan alat kontrasepsi yang bersifat hormonal (Pil KB,
Suntikan KB, dan Susuk KB). Peranan estrogen didukung dengan adanya
kecenderungan dari tumor ini menjadi stabil dan menyusut setelah menopause
dan lebih sering terjadi pada pasien yang nullipara.

b. Progesteron
Reseptor progesteron terdapat di miometrium dan mioma sepanjang siklus
menstruasi dan kehamilan. Progesteron merupakan antagonis natural dari
estrogen. Progesteron menghambat pertumbuhan tumor dengan dua cara
yaitu: mengaktifkan 17 - Beta hidroxydesidrogenase dan menurunkan jumlah
reseptor estrogen pada tumor.

Dalam Jeffcoates Principles of Gynecology, ada beberapa faktor yang diduga


kuat sebagai faktor predisposisi terjadinya mioma uteri, yaitu :11

a. Umur
Proporsi mioma meningkat pada usia 35-45 tahun. Penelitian Chao-Ru
Chen (2001) di New York menemukan wanita kulit putih umur 40-44
tahun beresiko 6,3 kali menderita mioma uteri dibandingkan umur < 30
tahun (OR =6,3; 95% CI:3,5-11,6). Sedangkan pada wanita kulit hitam
umur 40-44 tahun beresiko 27,5 kali untuk menderita mioma uteri jika
dibandingkan umur < 30 tahun (OR=27,5; 95% CI:5,6-83,6).

b. Paritas
Lebih sering terjadi pada nullipara atau pada wanita yang relative infertile,
tetapi sampai saat ini belum diketahui apakah infertilitas menyebabkan
mioma uteri atau sebaliknya mioma uteri yang menyebabkan infertilitas,
atau apakah keadaan ini saling mempengaruhi. Penelitian Okezie di
Nigeria terhadap 190 kasus mioma uteri, 128 (67,3%) adalah nullipara.
Penelitian yang dilakukan di Nigeria terhadap wanita dengan usia rata
44,9 tahun, 40,8 % nullipara dan 35% melahirkan 1-2 kali. Demikian juga
dengan hasil penelitian Buttrum memperoleh dari 1.698 kasus mioma
uteri, 27% diantaranya infertile dan 31% melahirkan 1-2 kali.

4
c. Faktor Ras dan Genetik
Pada wanita tertentu, khususnya wanita berkulit hitam, angka kejadian
mioma uteri lebih tinggi. Penelitian Baird di Amerika yang dilakukan
terhadap wanita kulit hitam dan wanita kulit putih menemukan bahwa
wanita kulit hitam beresiko 2,9 kali menderita mioma uteri (OR=2,9;
95%CI:2,5-3,4).21 Terlepas dari faktor ras, kejadian mioma juga tinggi
pada wanita dengan riwayat keluarga ada yang menderita mioma uteri.

d. Obesitas
Obesitas juga berperan dalam terjadinya mioma uteri. Hal ini mungkin
berhubungan dengan konversi hormon androgen menjadi estrogen oleh
enzim aromatase di jaringan lemak). Hasilnya terjadi peningkatan jumlah
estrogen tubuh, dimana hal ini dapat menerangkan hubungannya dengan
peningkatan prevalensi dan pertumbuhan mioma uteri.
e. Kehamilan
Angka kejadian mioma uteri bervariasi dari hasil penelitian yang pernah
dilakukan ditemukan sebesar 0,3%-7,2% selama kehamilan. Kehamilan
dapat mempengaruhi mioma uteri karena tingginya kadar estrogen dalam
kehamilan dan bertambahnya vaskularisasi ke uterus. Kedua keadaan ini ada
kemungkinan dapat mempercepat pembesaran mioma uteri. Kehamilan
dapat juga mengurangi resiko mioma karena pada kehamilan hormon
progesteron lebih dominan.

2.1.2 Klasifikasi9

Lokasi Sarang mioma di uterus dapat berasal dari servik uteri dan selebihnya
adalah dari korpus uteri. Serviks lebih jarang tetapi bila mencapai ukuran besar
dapat menekan kandung kencing, menyebabkan gangguan miksi. Berdasarkan posisi
myoma terhadap lapisan-lapisan uterus, dapat dibagi dalam 3 jenis.
a. Myoma submukosa : 5%
Tumbuhnya tepat dibawah endometrium. Paling sering menyebabkan
perdarahan yang banyak, sehingga memerlukan hysterektomi, walaupun ukurang
kecil adanya myoma submucosa dapat dirasakan sebagai suatu “curet bump”.
(Benjolan waktu kuret).

5
Kemungkinan terjadinya degenerasi sarcoma juga lebih besar pada jenis
ini.Sering mempunyai ytangkai yang panjang sehingga menonjol melalui serviks
atau vagina, disebut myoma myoma submucosa bertangkai yang dapat
menimbulkan “Myomgeburi”; sering mengalami nekrose atau ulcerasi.
b. Intersisial atau intamural
Terletak pada myometrium.Kalau besar atau multiple dapat menyebabkan
pembesaran uterus dan berbonjol-bonjol.
c. Subserosa atau subperitoneal
Letaknya dibawah tunica serosa. Kadang-kadang vena yang ada dipermukaan
pecah dan menyebabkan perdarahan intraabdominal.Kadang-kadang myoma
subserosa timbul di antara dua ligamen latum, merupakan myoma
intraligamenter, yang dapat menekan ureter dan arteri iliaka. Ada kalanya tumor
ini mendapat vaskularisasi yang lebih banyak dari omentum sehingga lambat
laun terlepas dari uterus, disebut sebagai parasitic myoma. Myoma subserosa
yang bertangkai dapat mengalami torsi.

2.1.3 Patofisiologi
Mioma uteri mulai tumbuh sebagai bibit yang kecil di dalam miometrium dan
lambat laun membesar karena pertumbuhan itu miometrium terdesak menyusun
semacam pseudekapsula atau simpai semu yang mengelilingi tumor di dalam uterus
mungkin terdapat satu mioma, akan tetapi mioma biasanya banyak. Jika ada satu
mioma yang tumbuh intramural dalam korpus uteri maka korpus ini tampak bundar
dan konstipasi padat. Bila terletak pada dinding depan uterus, uterus mioma dapat
menonjol ke depan sehingga menekan dan mendorong kandung kencing ke atas
sehingga sering menimbulkan keluhan miksi Tetapi masalah akan timbul jika terjadi:
berkurangnya pemberian darah pada mioma uteri yang menyebabkan tumor
membesar, sehingga menimbulkan rasa nyeri dan mual. Selain itu masalah dapat
timbul lagi jika terjadi perdarahan abnormal pada uterus yang berlebihan sehingga
terjadi anemia. Anemia ini bisa mengakibatkan kelemahan fisik, kondisi tubuh
lemah, sehingga kebutuhan perawatan diri tidak dapat terpenuhi. Selain itu dengan
perdarahan yang banyak bisa mengakibatkan seseorang mengalami kekurangan
volume cairan.12

6
2.1.4 Manifestasi Klinis9
Adanya myoma tidak selalu memberikan gejala. Gejala yang mungkin timbul yaitu :
a. Tumor massa, di perut bawah.
Sering kali penderita pergi ke dokter oleh karena adanya gejala ini.
b. Perdarahan
Biasanya dalam bentuk menorraghi. Yang sering menyebabkan gejala
perdarahan ialah jenis submucosa sebagai akibat pecanya pembuluh-pembuluh
darah.Perdarahan oleh myoma dapat menimbulkan anemia yang berat. Myoma
intamural juga dapat menyebabkan perdarahan, oleh karena ada gangguan
kontaksi otot uterus. Jenis subserosa tidak menyebabkan perdarahan yang
abnormal harus diingat akan kemungkinan yang lain yang timbul bersamaan
dengan myoma yaitu :
- Adeno karsinoma
- Polip
- Faktor fungsional
c. Nyeri
Gejala ini tidak khas untuk myoma, walaupun sering terjadi.Keluhan yang sering
diutarakan adalah rasa berat dan dysmenorrhoe. Timulnya rasa nyeri dan sakit
pada myoma mungkin disebabkan gangguan peredaran darah yang disertai
nekrose setempat, atau disebabkan proses radang dengan perlekatan ke omentum
usus. Kadang-kadang pula rasa sakit disebabkan torsi pada myoma subserosa.
Dalam hal ini sifatnya akut disertai enek dan muntah-muntah. Pada myoma yang
sangat besar, rasa nyeri dapat di sebabkan karena tekanan terhadap urat syaraf,
dan menjalar ke pinggang dan tungkai bawah.
d. Akibat tekanan
Bila menekan kandung kencing, akan menimbulkan kerentanan kandung
kencing (bladder irritability), pollakisuria dan dysuria. Bila uretra tertekan bisa
timbul retention urinae. Bila berlarut-larut dapat menyebabkan
hydrouteronephrosis.Tekanan pada rectum tidak begitu besar, kadang-kadang
menyebabkan konstpasi dan kadang-kadang sakit pada waktu defekasi.Tumor
dalam cavum douglasi dapat menyebabkan retention urinae.Kalau besar sekali
mungkin ada gangguan pencernaan. Kalau terjadi tekanan pada vena cava
inferior akan terjadi oedema dari tungkai bawah.

7
Selain itu terdapat perubahan sekunder yang terjadi, diantaranya:11
1. Atrofi
Tanda-tanda dan gejala berkurang dan menghilang karena ukuran mioma uteri
berkurang saat menopause atau setelah kehamilan.
2. Degenerasi Hialin
Perubahan ini sering terutama pada penderita usia lanjut disebabkan karena
kurangnya suplai darah. Jaringan fibrous berubah menjadi hialin dan serabut
otot menhilang. Mioma kehilangan struktur aslinya menjadi homogen. Dapat
meliputi sebagian besar atau hanya sebagian kecil daripadanya seolah-olah
memisahkan satu kelompok serabut otot dari kelompok lainnya.
3. Degenerasi Kistik
Dapat meliputi daerah kecil maupun luas, dimana sebagian dari mioma menjadi
cair, sehingga terbentuk ruangan-ruangan yang tidak teratur berisi agar-agar,
dapat juga terjadi pembengkakan yang luas dan bendungan limfe sehingga
menyerupai limfangioma. Dengan konsistensi yang lunak tumor ini sukar
dibedakan dari kista ovarium atau suatu kehamilan.
4. Degenerasi Membatu ( Calsireus Degeneration )
Terutama terjadi pada wanita usia lanjut oleh karena adanya gangguan dalam
sirkulasi. Dengan adanya pengendapan garam kapur pada sarang mioma maka
mioma menjadi keras dan memberikan bayangan pada foto rontgen.
5. Degenerasi Merah
Perubahan ini terjadi pada kehamilan dan nifas. Patogenesis: Diperkirakan
karena suatu nekrosis subakut sebagai gangguan vaskulerisasi. Pada
pembelahan dapat dilihat sarang mioma seperti daging mentah berwarna merah
disebabkan pigmen hemosiderin dan hemofusin. Degenerasi merah tampak
khas apabila terjadi pada kehamilan muda disertai emesis, haus, sedikit demam,
kesakitan, tumor pada uterus membesar dan nyeri pada perabaan. Penampilan
klinik ini seperti pada putaran yangkai tumor ovarium atau mioma bertangkai.
6. Degenerasi Lemak
Jarang terjadi, merupakan kelanjutan degenerasi hialin. Pada mioma yang
sudah lama dapat terbentuk degenerasi lemak. Di permukaan irisannya
berwarna kuning homogen dan serabut ototnya berisi titik lemak dan dapat
ditunjukkan dengn pengecatan khusus untuk lemak.

8
2.1.5 Diagnosis6

1. Anamnesis
Dalam anamnesis dicari keluhan utama serta gejala klinis mioma lainnya,
faktor risiko serta kemungkinan komplikasi yang terjadi. Biasanya teraba
massa menonjol keluar dari jalan lahir yang dirasakan bertambah panjang serta
adanya riwayat pervaginam terutama pada wanita usia 40-an. Kadang juga
dikeluhkan perdarahan kontak.
2. Pemeriksaan Fisik
Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemriksaan bimanual rutin uterus.
Diagnosis mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur uterus oleh
satu atau lebih massa yang licin, tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa
massa seperti ini adalah bagian dari uterus.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Temuan Laboratorium
Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini disebabkan
perdarahan uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat besi. Kadang-
kadang mioma menghasilkan eritropoetin yang pada beberapa kasus
menyebabkan polisitemia. Adanya hubungan antara polisitemia dengan
penyakit ginjal diduga akibat penekanan mioma terhadap ureter yang
menyebabkan peninggian tekanan balik ureter dan kemudian menginduksi
pembentukan eritropoietin ginjal.
b. Imaging
Pemeriksaan dengan USG (ultrasonografi) transabdominal dan transvaginal
bermanfaat dalam menetapkan adanya mioma uteri. Ultrasonografi
transvaginal terutama bermanfaat pada uterus yang kecil. Uterus atau massa
yang paling besar baik di observasi melalui ultrasonografi intraabdominal.
Mioma uteri secara khas menghasilkan gambaran ultrasonografi yang
mendemonstrasikan irreguleritas kontur maupun pembesaran uterus.
histeroskopi digunakan untuk melihat adanya mioma uteri submokosa, jika
mioma kecil dan bertangkai. Mioma tersebut sekaligus dapat diangkat. MRI
(Magnetic Resonance Imaging) sangat akurat dalam menggambarkan
jumlah, ukuran, dan likasi mioma tetapi jarang diperlukan.

9
Pada MRI, mioma tampak sebagai massa gelap berbatas tegas dan dapat
dibedakan dari miometrium normal. MRI dapat mendeteksi lesi sekecil 3
mm yang dapat dilokalisasi dengan jelas, termasuk mioma.

5.1.6 Penatalaksanaan6

1. Konservatif
Penderita dengan mioma kecil dan tanpa gejala tidak memerlukan pengobatan,
tetapi harus diawasi perkembangan tumornya. Jika mioma lebih besar dari
kehamilan 10-12 munggu, tumor yang berkembang cepat, terjadi torsi pada
tangkai, perlu diambil tindakan operasi.
2. Medikamentosa
Terapi yang dapat memperkecil volume atau menghentikan pertumbuhan
mioma uteri secara menetap belum tersedia pada saat ini. Terapi
medikamentosa masih merupakan terapi tambahan atau terapi pengganti
sementara dari operatif. Preparat yang selalu digunakan untuk terapi
medikamentosa adalah analog GnRHa (Gonadotropin Realising Hormon
Agonis), progesteron, danazol, gestrinon, tamoksifen, goserelin,
antiprostaglandin, agen-agen lain seperti gossypol dan amantadine.
3. Operatif
Pengobatan operatif meliputi miomektomi, histerektomi dan embolisasi arteri
uterus.
a. Miomektomi, adalah pengambilan sarang mioma saja tanpa
pengangkatan uterus. Tindakan ini dapat dikerjakan misalnya pada
mioma mioma submukosa pada mioma geburt dengan cara ekstirpasi
lewat vagina.
b. Histerektomi, adalah pengangkatan uterus, yang umumnya tindakan
terpilih. Histerektomi total umumnya dilakukan dengan alasan mencegah
akan timbulnya karsinoma servisis uteri.
c. Embolisasi arteri uterus (Uterin Artery Embolization / UAE), adalah
injeksi arteri uterina dengan butiran polyvinyl alkohol melalui kateter
yang nantinya akan menghambat aliran darah ke mioma dan
menyebabkan nekrosis.

10
Nyeri setelah UAE lebih ringan daripada setelah pembedahan mioma dan
pada UAE tidak dilakukan insisi serta waktu penyembuhannya yang
cepat.
4. Radiasi dengan radioterapi
Radioterapi dilakukan untuk menghentikan perdarahan yang terjadi pada
beberapa kasus.

5.1.7 Komplikasi6
Komplikasi merupakan suatu kondisi yang mempersulit atau reaksi negative
yang terjadi pada penderita akibat mioma uteri.
1. Degenerasi Ganas
Mioma uteri yang menjadi Leimiosarkoma ditemukan hanya 0,32 – 0,6 %
dari seluruh mioma, serta merupakan 50 – 75 % dari seluruh sarkoma
uterus. Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histology
uterus yang telah diangkat. Kecurigaan akan keganasan uterus apabila
mioma uteri cepat membesar dan apabila terjadi pembesaran sarang
mioma dalam menopause.
2. Torsi (Putaran Tangkai)
Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul gangguan
sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan demikian terjadilah
syndrome abdomen akut. Jika torsi terjadi perlahan-lahan gangguan akut
tidak terjadi. Hal ini hendaknya dibedakan dengan suatu keadaan dimana
terdapat banyak sarang mioma dalam rongga peritoneum. Sarang mioma
dapat mengalami nekrosis dan infeksi yang diperkirakan karena gangguan
sirkulasi darah padanya. Misalnya terjadi pada mioma yang menyebabkan
perdarahan berupa metroragia disertai leukore dan gangguan-gangguan
yang disebabkan oleh infeksi dari uterus sendiri.

11
2.2 Kista Ovarium
2.2.1 Definisi
Kista ovarium adalah tumor ovarium yang bersifat neoplastik dan non
neoplastik. Kista ovarium terdapat disekitar 18% yang sudah
postmenopause. Sebagian besar kista yang ditemukan merupakan kista
jinak, dan 10% sisanya adalah kista yang mengarah ke keganasan. Kista
ovarium fungsional umumnya terjadi pada usia produktif dan relatif jarang
pada wanita postmenopause. Secara umum, tidak ada persebaran umur yang
spesifik mengenai usia terjadinya kista ovarium.13,14

2.2.2 Klasifikasi

Klasifikasi tumor ovarii, sampai sekarang belum ada yang benar-benar


memuaskan, baik pembagian secara klinis maupun secara patologis anatomis.
Novak mengusulkan suatu klasifikasi yang walaupun diakuinya tidak sempurna
betul, tapi kiranya dapat dipertanggungjawabkan. Disamping itu klasifikasi ini
sifatnya sederhana. Klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tumor ovarii yang benigna9


A. Kistik
1. Non neoplastik
a. Kista folikel
b. Kista korpus lutein
c. Kista teka-lutein
d. Kista inklusi germinal
e. Kista endometrium
2. Neoplastik
a. Kistadenoma ovarii musinosum
b. Kistadenoma ovarii serosum
c. Kista dermoid
B. Solid
a. Fibroma, leiomioma, fibroadenoma, papiloma, angioma,
limfangioma
b. Tumor Brenner
c. Tumor sisi aderenal (makulinovo-blastoma)

12
Kista Ovarium Non-Neoplastik

a. Tumor Akibat Radang

Tumor ini biasanya disebabkan oleh proses infeksi yang terjadi pada
adneksa. Tumor ini cukup jarang. Proses pembentukan tumor ini didahului oleh
masuknya bakteri kedalam uterus yang berlanjut ke bagian salfing dan menuju ke
adneksa. Kemudian terjadilah infeksi dan terjadi proses imunologis sehingga
terbentuk abses.13

b. Kista Folikel
Kista ini berasal dari folikel de graff yang tidak sampai berovulasi, namun
tumbuh terus menjadi kista folikel, atau dari beberapa folikel primer yang setelah
bertumbuh di bawah pengaruh estrogen tidak mengalami proses atresia yang
lazim, melainkan membesar menjadi kista.bisa di dapati satu kista atau beberapa
dan besarnya biasanya berdiameter 1-1 ½cm.Dalam menangani tumor ovarium
timbul persoalan apakah tumor yang dihadapi itu neoplasma atau kista folikel.
Umumnya jika diameter tumor tidak lebih dari 5 cm, dapat di tunggu dahulu
karena kista folikel dalam 2 bulan akan hilang sendiri.13,15

Kista folikuler secara tipikal kecil dan timbul dari folikel yang tidak sampai
saat menopause, sekresinya akan terlalu banyak mengandung estrogen sebagai
respon terhadap hipersekresi FSH (folikel stimulating hormon) dan LH
(luteinizing hormone) normalnya ditemui saat menopause berdiameter 1 -10 cm
(folikel normal berukuran limit 2,5 cm); berasal dari folikel ovarium yang gagal
mengalami involusi atau gagal meresorpsi cairan. Dapat multipel dan bilateral.
Biasanya asimtomatik.13

c. Kista Korpus Lutein

Dalam keadaan normal korpus luteum lambat laun mengecil dan menjadi
korpus albikans. Kadang-kadang korpus luteum akan mempertahankan diri
(korpus luteum persisten); perdarahan yang terjadi di dalamnya akan
menyebabkan kista, berisi cairan berwarna merah coklat karena darah tua.Pada
pembelahan ovarium kista korpus luteum memberi gambaran yang khas.

13
Dinding kista terdiri atas lapisan berwarna kuning, terdiri atas sel-sel
luteum yang berasal dari sel-sel teka. Penanganan kista luteum ini menunggu
sampai kista hilang sendiri. Dalam hal ini dilakukan operasi atas dugaan
kehamilan ektopik terganggu,kista korpus luteum diangkat tanpa mengorbankan
ovarium.13,15

d. Kista Teka Lutein

Kista biasanya bilateral dan sebesar tinju. Pada pemeriksaan mikroskopik


terlihat luteinisasi sel-sel teka.Tumbuhnya kista ini ialah akibat pengaruh hormone
koriogonadrotropin yang berlebihan.Kista granulosa lutein yang terjadi di dalam
korpus luteum indung telur yang fungsional dan membesar bukan karena tumor,
disebabkan oleh penimbunan darah yang berlebihan saat fase pendarahan dari
siklus menstruasi. Kista teka-lutein biasanya berisi cairan bening, berwarna
seperti jerami; biasanya berhubungan dengan tipe lain dari growth indung telur,
serta terapi hormon.13,15

e. Kista Inklusi Germinal

Terjadi karena invaginasi dan isolasi bagian-bagian terkecil dari epitel


germinativum pada permukaan ovarium. Biasanya terjadi pada wanita usia lanjut
dan besarnya jarang melebihi 1 cm. Kista terletak di bawah permukaan ovarium,
dindingnya terdiri atas satu lapisan epitel kubik atau torak rendah, dan isinya
cairan jernih dan serous.13,15

f. Kista Endometrium

Kista ini endometriosis yang berlokasi di ovarium. Akibat proliferasi dari


sel yang mirip dinding endometrium, umumnya berisi darah yang merupakan
hasil peluruhan dinding saat menstruasi.13

14
Kista Ovarium Neoplastik

1. Kistik:

a. Kistadenoma Ovarii Serosum13

Kistadenoma serosum mencakup sekitar 15-25% dari keseluruhan


tumor jinak ovarium. Usia penderita berkisar antara 20-50 tahun. Pda 12-50%
kasus, kista ini terjadi pada kedua ovarium (bilateral). Ukuran kista berkisar
antara 5-15 cm dan ukuran ini lebih kecil dari rata-rata ukuran kistadenoma
musinosum. Kista berisi cairan serosa, jernih kekuningan. Proliferasi fokal pada
dinding kista menyebabkan proyeksi papilomatosa ke tengah kista yang dapat
bertransformasi menjadi kistadeno fibroma. Proyeksi papilomatosa ini harus
diperhatikan secara seksama dalam upaya membedakan dengan proliferasi
atipik.

Kista denoma serosum ditemukan pada usia 20-30 tahun digolongkan


sebagai neoplasma potensi rendah untuk transformasi ganas dan hal ini
bertolak belakang dengan penderita pada usia peri atau pascamenopause yang
memiliki potensi anaplastik yang tinggi. Seperti dengan sebagian besar tumor
epitelial ovarium, tidak dijumpai gejala klinik khusus yang dapat menjadi
petanda kista denoma serosum.

Pada sebagian besar kasus, tumor ini ditemukan secara kebetulan saat
dilakukan pemeriksaan rutin. Pada kondisi tertentu, penderita akan
mengeluhkan rasa tidak nyaman dalam pelvis, pembesaran perut, dan gejala
ascites. Pengobatan terpilih untuk kistadenoma serosum adalah tindakan
pembedahan (eksisi) dengan eksplorasi menyeluruh pada organ intrapelvik dan
abdomen.
Untuk itu, jenis insisi yang dipilih adalah mediana karena dapat
memberikan cukup akses untuk tindakan eksplorasi. Sebaiknya, dilakukan
pemeriksaan PA selama operasi sebagai antisipasi terhadap kemungkinan
adanya keganasan.

15
b. Kistadenoma Ovarii Musinosum

Kistadenoma ovarii musinosum mencakup 16-30% dari total tumor


jinak ovarium dan 85% diantaranya adalah jinak. Tumor ini bilateral pada 5-7
kasus. Tumor ini pada umumnya adalah multiokuler dan lokulus bilateral yang
berisi cairan musinosum tampak berwarna kebiruan di dalam kapsul yang
dinding-dindingnya tegang. Dinding tumor dari epitel kolumner tinggi dengan
inti sel berwarna gelap terletak dibagian basal. Dinding kistadenoma
musinosum ini, pada 50% kasus mirip dengan struktur epitel endoserviks dan
50% lagi mirip dengan struktur epitel kolon dimana cairan musinosum di
dalam lokulus kista mengandung sel-sel goblet. Perlu untuk memilih sampel
pemeriksaan PA dari beberapa tempat karena sebaran area-area dengan
gambaran jinak, potensi ganas, atau ganas adalah sangat variatif.

Tumor musin ini merupakan tumor dengan ukuran terbesar dari tumor
dalam tubuh manusia. Terdapat 15 laporan yang menyebutkan berat tumor
diatas 70 kg (150 lbs). Sebagai konsekuensi, semakin besar ukuran tumor
diovarium, semakin besar pula kemungkinan diagnosanya adalah kistadenoma
ovarii musinosum. Tumor ini juga asimptomatik dan sebagian besar pasien
hanya merasakan pertambah berat badan atau rasa penuh di perut. Pada kondisi
tertentu, perempuan pascamenopause dengan tumor ini dapat mengalami
hiperplasia atau perdarahan pervaginam karena stroma sel tumor nemgalami
proses luteinisasi sehingga dapat mengasilkan hormon (terutama estrogen).
Bila hal ini terjadi pada perempuan hamil, maka dapat terjadi pertumbuhan
rambut yang berlebihan (virilisasi) pada penderita.Cairan musin dari kistoma
ini dapat mengalir ke kavum pelvik atau abdomen melalui stroma ovarium
sehingga terjadi akumulasi cairan musin intreperitoneal dan hal ini dikenal
sebagai pseudomiksoma peritonii. Hal yang serupa, dapat pula disebabkan oleh
kistadenoma pada apendiks.13

c. Kista Dermoid

Tumor ini merupakan 10% dan seluruh neoplasma ovarium yang kistik,
dan paling sering ditemukan pada wanita yang masih muda.

16
25% dari semua kista dermoid bilateral, lazimnya dijumpai pada masa
reproduksi walaupun dapat ditemukan pada anak kecil. Tumor ini dapat
mencapai ukuran sangat besar, sehingga beratnya mencapai beberapa
kilogram.

Kista ini tumbuh akibat proses yang kurang sempurna saat pembentukan
lapisan embrional. Lapisan ektoderm yang saat dewasa akan menjadi sel sel
folikel rambut, tulang, serta gigi secara tidak sempurna tumbuh di sekitar
ovarium. Kista ini tidak mempunyai ciri yang khas. Dinding kista kelihatan
putih keabuan dan agak tipis. Konsistensi tumor sebagian kistik kenyal, di
bagian lain padat. Dapat ditemukan kulit, rambut kelenjer sebasea, gigi
(ektodermal), tulang rawan, serat otot jaringan ikat (mesodemal) dan mukosa
traktus gasttrointotinelis, epitel saluran kista terdapat produk kelenjer sebasea
berupa massa lembek seperti lemak, bercampur dengan rambut
Pada kista dermoid dapat terjadi torsio tangkai dengan gejala nyeri mendadak di
perut bagian bawah. Ada kemungkinan terjadinya sobekan dinding kista dengan
akibat pengeluaran isi kista dalam rongga peritoneum.Perubahan keganasan
dari kista sangat jarang, hanya 1,5% dari semua kista dermoid dan biasanya
pada wanita lewat menopause.13,15

2. Solid
a. Fibroma
Ttumor ini tidak jarang ditemukan. Dapat berupa benjolan kecil pada
permukaan atas dalam jaringan ovarium sendiri, atau dapat pula mempunyai
ukuran yang besar sekali, sehingga mengisi seluruh cavum abdominalis.
Biasanya unilateral. Pada tumor besar biasanya sudah tidak ditemuakan
jaringan parenkim yang normal. Tumor ini keras, tetapi pada beberapa tempat
sering ditemukan ruangan-ruangan sebagai hasil degenerasi kistik. Permukaan
dapat putih, atau putih kuning yang homogen dan bertrabekel.9
b. Tumor Brenner
Tumor Brenner termasuk jarang ditemukan dan umumnya ditemukan pada
perempuan usia lanjut (50 tahun). pernah ditemukan tumor Brenner seberat 10
kg (Averbach) dan semula diduga sebagai fibroma. Tumor ini tumbuh bilateran
pada 10% kasus.9

17
2.2.3 Etiologi

Penyebab terjadinya kista ovarium yaitu terjadinya gangguan


pembentukan hormon pada hipotalamus, hipofise, atau ovarium itu sendiri.
Kista ovarium timbul dari folikel yang tidak berfungsi selama siklus
menstruasi.16

2.2.4 Patofisiologi
Setiap hari, ovarium normal akan membentuk beberapa kista kecil
yang disebut Folikel de Graff. Pada pertengahan siklus, folikel dominan
dengan diameter lebih dari 2.8 cm akan melepaskan oosit mature. Folikel
yang ruptur akan menjadi korpus luteum, yang pada saat matang memiliki
struktur 1,5 – 2 cm dengan kista ditengah-tengah. Bila tidak terjadi fertilisasi
pada oosit, korpus luteum akan mengalami fibrosis dan pengerutan secara
progresif. Namun bila terjadi fertilisasi, korpus luteum mula-mula akan
membesar kemudian secara gradual akan mengecil selama kehamilan.13, 17
Kista ovari yang berasal dari proses ovulasi normal disebut kista
fungsional dan selalu jinak. Kista dapat berupa folikular dan luteal yang
kadang-kadang disebut kista theca-lutein. Kista tersebut dapat distimulasi
oleh gonadotropin, termasuk FSH dan HCG.13
Kista fungsional multiple dapat terbentuk karena stimulasi
gonadotropin atau sensitivitas terhadap gonadotropin yang berlebih. Pada
neoplasia tropoblastik gestasional (hydatidiform mole dan choriocarcinoma)
dan kadang-kadang pada kehamilan multiple dengan diabetes, hcg
menyebabkan kondisi yang disebut hiperreaktif lutein. Pasien dalam terapi
infertilitas, induksi ovulasi dengan menggunakan gonadotropin (FSH dan
LH) atau terkadang clomiphene citrate, dapat menyebabkan sindrom
hiperstimulasi ovari, terutama bila disertai dengan pemberian HCG.13
Kista neoplasia dapat tumbuh dari proliferasi sel yang berlebih dan tidak
terkontrol dalam ovarium serta dapat bersifat ganas atau jinak. Neoplasia
yang ganas dapat berasal dari semua jenis sel dan jaringan ovarium. Sejauh
ini, keganasan paling sering berasal dari epitel permukaan (mesotelium) dan
sebagian besar lesi kistik parsial. Jenis kista jinak yang serupa dengan
keganasan ini adalah kistadenoma serosa dan mucinous.

18
Tumor ovari ganas yang lain dapat terdiri dari area kistik, termasuk
jenis ini adalah tumor sel granulosa dari sex cord sel dan germ cel tumor dari
germ sel primordial. Teratoma berasal dari tumor germ sel yang berisi elemen
dari 3 lapisan germinal embrional; ektodermal, endodermal, dan
mesodermal.Endometrioma adalah kista berisi darah dari endometrium
ektopik. Pada sindroma ovari pilokistik, ovarium biasanya terdiri folikel-
folikel dengan multipel kistik berdiameter 2-5 mm, seperti terlihat dalam
sonogram.13

2.2.5 Diagnosis
Diagnosis kista ovarium dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisik. Namun
biasanya sangat sulit untuk menemukan kista melalui pemeriksaan fisik. Maka
kemudian dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis kista ovarium.
Pemeriksaan yang umum digunakan adalah :
1. Ultrasonografi (USG)
Alat peraba (transducer) digunakan untuk memastikan keberadaan kista,
membantu mengenali lokasinya dan menentukan apakah isi kista cairan atau
padat. Kista berisi cairan cenderung lebih jinak, kista berisi material padat
memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.14,17
Dari gambaran USG dapat terlihat:
a. Akan terlihat sebagai struktur kistik yang bulat (kadang-kadang oval)
dan terlihat sangat echolucent dengan dinding yang tipis/tegas/licin, dan
di tepi belakang kista nampak bayangan echo yang lebih putih dari
dinding depannya.
b. Kista ini dapat bersifat unillokuler (tidak bersepta) atau multilokuler
(bersepta-septa).
c. Kadang-kadang terlihat bintik-bintik echo yang halus-halus (internal
echoes) di dalam kista yang berasal dari elemen-elemen darah di dalam
kista.
2. Pemeriksaan Lab
Pemeriksaan lab dapat berguna sebagai screening maupun diagnosis apakah
tumor tersebut bersifat jinak atau ganas. Berikut pemeriksaan yang umum
dilakukan untuk mendiagnosis kista ovarium.

19
 Pemeriksaan Beta-HCG Pemeriksaan ini digunakan untuk
screening awal apakah wanita tersebut hamil atau tidak. Pemeriksaan
ini dapat menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik.
 Pemeriksaan Darah Lengkap Untuk sebuah penyakit keganasan,
dapat diperkirakan melalui LED. Parameter lain seperti leukosit, HB,
HT juga dapat membantu pemeriksa menilai keadaan pasien.
 Urinalisis Urinalisis penting untuk mencari apakah ada kemungkinan
lain, baik batu saluran kemih, atau infeksi dan untuk menyingkirkan
diagnosis banding.
 Pemeriksaan Tumor Marker Tumor marker spesifik pada
keganasan ovarium adalah CA125. CEA juga dapat diperiksa, namun
CEA kurang spesifik karena marker ini juga mewakili keganasan
kolorektal, uterus dan ovarium.

3. Pemeriksaan Patologi Anatomi


Merupakan pemeriksaan untuk memastikan tingkat keganasan dari tumor
ovarium. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan bersama dengan proses operasi,
kemudian sampel difiksasi dan diperiksa dibawah mikroskop.17

2.2.6 Penatalaksanaan
1. Observasi dan Manajemen Gejala
Jika kista tidak menimbulkan gejala, maka cukup dimonitor (dipantau)
selama 1-2 bulan, karena kista fungsional akan menghilang dengan sendirinya
setelah satu atau dua siklus haid. Tindakan ini diambil jika tidak curiga ganas.
Apabila terdapat nyeri, maka dapat diberikan obat-obatan simptomatik seperti
penghilang nyeri NSAID.13,14
2. Operasi
Jika kista membesar, maka dilakukan tindakan pembedahan, yakni
dilakukan pengambilan kista dengan tindakan laparoskopi atau laparotomi.
Biasanya kista yang ganastumbuh dengan cepat dan pasien mengalami
penurunan berat badan yang signifikan. Akan tetapi kepastian suatu kista itu
bersifat jinak atau ganas jika telah dilakukan pemeriksaan Patologi Anatomi
setelah dilakukan pengangkatan kista itu sendiri melalui operasi.

20
Indikasi umum operasi pada tumor ovarium melalu screening USG
umumnya dilakukan apabila besar tumor melebihi 5cm baik dengan gejala
maupun tanpa gejala. Hal tersebut diikuti dengan pemeriksaan patologi anatomi
untuk memastikan keganasan sel dari tumor tersebut. 17

2.2.7 Prognosis

Prognosis dari kista jinak sangat baik. Kista jinak tersebut dapat tumbuh di
jaringan sisa ovarium atau di ovarium kontralateral. Apabila sujdah dilakukan
operasi, angka kejadian kista berulang cukup kecil yaitu 13%. Kematian
disebabkan karena karsinoma ovari ganas berhubungan dengan stadium saat
terdiagnosis pertama kali dan pasien dengan keganasan ini sering ditemukan
sudah dalam stadium akhir. Angka harapan hidup dalam 5 tahun rata-rata 41.6%.
Tumor sel granuloma memiliki angka bertahan hidup 82% sedangkan karsinoma
sel skuamosa yang berasal dari kista dermoid berkaitan dengan prognosis yang
buruk. 13,17

21
2.3 Histerektomi
2.3.1 Histerektomi
Histerektomi adalah pengangkatan uterus yang umumnya merupakan
tindakan terpilih. 6

Secara garis besar, adapun indikasi dilakukannya tindakan histerektomi


adalah untuk mengobati keluhan seperti: nyeri, pendarahan, dan ataupun
keduanya. Berdasarkan perkiraan, leiomioma, prolapsus organ panggul dan
endometriosis adalah indikasi yang paling sering dilakukan, sebanyak 70%
dari semua tindakan histerektomi. Sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya, usia memegang peranan penting dalam hubungannya dengan
tindakan histerektomi. Pada usia reproduksi, mioma uterus, dan iregularitas
dari menstruasi adalah indikasi terbanyak. Di usia post menopause, prolapsus
organ panggul, premalignansi dan malignansi tumor adalah indikasi
terbanyak.18

Tindakan ini terbaik untuk wanita berumur lebih dari 40 tahun dan tidak
menghendaki anak lagi atau tumor yang lebih besar dari kehamilan 12
minggu disertai adanya gangguan penekanan atau tumor yang cepat
membesar. Histerektomi dapat dilaksanakan perabdomen atau pervaginum.
Adanya prolapsus uteri akan mempermudah prosedur pembedahan.
Histerektomi total umumnya dilakukan dengan alasan mencegah akan
timbulnya karsinoma serviks uteri. Histeroktomi supra vaginal hanya
dilakukan apabila terdapat kesukaran teknis dalam mengangkat uterus
keseluruhan.16

Indikasi Histerektomi :18

• Leiomioma : untuk mioma yang memiliki gejala, histerektomi akan


memberikan solusi tehadap menorargia dan gejala penekanan yang
diakibatkan oleh pembesaran rahim.
• Perdarahan uterus abnormal : lesi endometrium harus disingkirkan dan
pengobatan alternatif harus dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama.
• Endometriosis : histerektomi sering diindikasikan karena adanya gejala
yang berat dengan kegagalan terapi dengan pengpbatan dan fertilitas
tidak lagi diinginkan.

22
• Relaksasi Pelvic : pembedahan dengan histerektomi pervaginam
menjadi indikasi yang bagus.
• Nyeri Panggul : pendekatan multidisiplin sangat direkomendasikan,
sebab sangat sedikit evindense dari histerektomi yang dianggap dapat
mengobati dismenorea atau penyakit panggul yang lainnya (II-C)

Penyakit pre-invasive :

b. Histerektomi diindikasikan terhadap hiperplasia endometrium dengan


atipia .
c. Intraepitelial neoplasia servikal tidak merupakan indikasi untuk
histerektomi.
d. Simpel histerektomi sebagai pengobatan pilihan terhadap
adenokarsinoma serviks insitu ketika penyakit invasive telah
disingkirkan.

Penyakit Invasive:

• Histerektomi telah diterima sebagai pengobatan ataupun prosedur


staging untuk karsinoma endometrium. dapat berperan sebagai staging
ataupun pengobatan terhadap karsinoma serviks, epitel ovarium dan
tuba falopi.
Kondisi Akut :

• Histerektomi diindikasikan sebagai pengobatan terhadap perdarahan post


partum yang tidak tertangani setelah pemberian medikamentosa
dilakukan.
• Abses Tubo Ovarium yang telah ruptur atau tidak respon dengan
pemberian antibiotik dapat diterapi dengan histerektomi dengan bilateral
salphingo-oophorektomi pada beberapa kasus.
• Histerektomi diperlukan pada kasus menorargia yang akut sebagai
pertimbangan lain dengan terapi medikamentosa.

23
2.4 Salpingo Ooforektomi
2.4.1 Definisi

Oophorectomy adalah operasi pengangkatan ovarium atau indung telur.


Operasi juga disebut ovariektomi, namun istilah ini telah digunakan secara
tradisional dalam penelitian ilmu dasar yang menggambarkan operasi pengangkatan
indung telur pada hewan laboratorium. Pengangkatan indung telur pada wanita
adalah sama dengan biologis pengebirian pada laki-laki, namun pengebirian istilah
hanya sesekali digunakan dalam literatur medis untuk merujuk ooforektomi pada
manusia. Dalam ilmu kedokteran hewan, penghapusan lengkap dari indung telur,
saluran telur, rahim tanduk, dan rahim disebut spaying dan merupakan bentuk
sterilisasi.
Ooforektomi parsial adalah istilah kadang-kadang digunakan untuk
menggambarkan berbagai macam operasi seperti penghapusan kista ovarium atau
reseksi bagian dari ovarium. Operasi semacam ini adalah mempertahankan
kesuburan meskipun kerusakan ovarium mungkin relatif sering terjadi. Sebagian
besar risiko jangka panjang dan konsekuensi dari ooforektomi tidak atau hanya
sebagian hadir dengan ooforektomi parsial.
Penghapusan ovarium bersama-sama dengan tuba fallopi disebut salpingo-
ooforektomi unilateral atau salpingo-ooforektomi (USO). Ketika kedua ovarium
dan kedua saluran telur yang dihapus, bilateral salpingo-ooforektomi istilah (BSO)
digunakan. Ooforektomi dan salpingo-ooforektomi bukan bentuk umum dari alat
kontrasepsi pada manusia, lebih biasa adalah ligasi tuba, di mana saluran telur
tersumbat tetapi ovarium tetap utuh. Dalam banyak kasus, operasi pengangkatan
indung telur dilakukan bersamaan dengan histerektomi. Nama medis formal untuk
menghilangkan seluruh sistem reproduksi wanita (ovarium, saluran telur, rahim)
adalah "Histerektomi perut Total dengan Bilateral salpingo-ooforektomi (TAH-
BSO), istilah yang lebih kasual untuk seperti operasi adalah" ovariohysterectomy
"The. istilah "histerektomi" sering digunakan untuk merujuk pada penghapusan dari
setiap bagian dari sistem reproduksi wanita, termasuk hanya ovarium, namun,
definisi yang benar "histerektomi" adalah pengangkatan rahim (dari hystera ὑστέρα
Yunani "rahim" dan εκτομία ektomia "yang memotong keluar dari") tanpa
pengangkatan indung telur atau saluran telur.

24
2.4.2 Indikasi

Sebuah bilateral salpingo-ooforektomi adalah operasi di mana


ovarium seorang wanita baik itu diangkat, bersama dengan saluran tuba.
Operasi ini digunakan terutama untuk mengobati kanker ginekologi seperti
ovarium, tuba, dan kanker rahim, meskipun digunakan dalam pengobatan
beberapa kondisi ginekologi lainnya juga.
Kista, endometriosis, tumor jinak , peradangan, dll, dan lebih jarang
bersamaan dengan histerektomi (61%). Indikasi khusus termasuk beberapa
kelompok wanita dengan risiko substansial peningkatan kanker ovarium,
seperti tinggi pembawa risiko BRCA mutasi dan wanita dengan
endometriosis yang juga menderita kista ovarium sering.

Teknik Operasi
Tergantung pada ahli bedah, bilateral salpingo-ooforektomi dapat dilakukan
laproscopically, atau sebagai operasi terbuka. Dalam kedua kasus, pasien diberikan
anestesi umum untuk prosedur ini, dan sayatan dibuat di perut bagian bawah
setelah sterilisasi daerah. Dokter bedah harus berhati-hati untuk menghapus setiap
bagian dari ovarium dan tuba, terutama dalam kasus kanker, dan kemudian sayatan
akan ditutup dan pasien akan dipindahkan ke pemulihan.

2.4.2 Komplikasi.
Salah satu konsekuensi utama dari operasi salpingo-ooforektomi bilateral
adalah bahwa wanita subur juga menghentikan memproduksi berbagai hormon,
yang memicu timbulnya menopause.

2.4.3 Pemulihan pasca operasi


Pemulihan dari operasi histerektomi biasanya berlangsung dua hingga enam
minggu. Selama masa pemulihan, pasien dianjurkan untuk tidak banyak bergerak
yang dapat memperlambat penyembuhan bekas luka operasi. Dari segi makanan,
disarankan untuk menghindari makanan yang menimbulkan gas seperti kacang
buncis, kacang panjang, brokoli, kubis dan makanan yang terlalu pedas. Seperti
setelah operasi lainnya, makan makanan yang kaya protein dan meminum cukup air
akan membantu proses pemulihan.

25
2.5 Anestesi Regional
2.5.1 Definisi
Anestesi regional adalah tindakan analgesia yang dilakukan dengan cara
menyuntikkan obat anestetika lokal pada lokasi serat saraf yang menginervasi
regio tertentu, yang menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang
bersifat temporer. Jenis anestesi reginla yaitu blok saraf tepi, blok pleksus
brachialis, blok spinal sub arakhnoid. Blok epidural dab blok regional intravena.3
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal
atau blok subaraknoid disebut juga sebagai analgesi atau blok spinal intradural
atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat
analgesik lokal ke dalam ruang subaraknoid di daerah antara vertebra L2-L3
(obat lebih mudah menyebar ke kranial) atau L3-L4 atau L4-L5 (obat lebih
cenderung berkumpul di kaudal). Jarum spinal hanya dapat diinsersikan di bawah
lumbal 2 dan di atas vertebra sakralis. Batas atas ini dikarenakan adanya ujung
medula spinalis dan batas bawah dikarenakan penyatuan vertebra sakralis yang
tidak memungkinkan dilakukan insersi. Untuk mencapai cairan serebrospinal,
maka jarum suntik akan menembus kulis  subkutis  Lig. Supraspinosum 
Lig. Interspinosum  Lig. Flavum  ruang epidural  durameter  ruang
subarachnoid.2

2.5.2 Indikasi dan Kontraindikasi2,20,21


Indikasi :
Indikasi: anestesi spinal dapat digunakan pada hampir semua operasi abdomen
bagian bawah (histerektomi dan salpingo ooforektomi), anorektal dan genitalia
eksterna dan ekstremitas inferior. Anestesi ini memberi relaksasi yang baik,
tetapi lama anestesi didapat dengan lidokain hanya sekitar 90 menit.

26
Kontraindikasi Absolut Kontraindikasi Relatif
 Pasien menolak  Infeksi sistemik (sepsis, bakteremia)
 Infeksi pada tempat suntikan  Infeksi sekitar tempat suntikan
 Hipovolemia berat  Kelainan neurologis
 Koagulopati atau mendapat terapi  Kelainan psikis
antikoagulan  Bedah lama
 Tekanan intrakranial meninggi  Penyakit jantung
 Fasilitas resusitasi minim  Hipovolemia ringan
 Kurang pengalaman atau / tanpa  Nyeri punggung kronis
didampingi konsultan anestesi

2.5.3 Keuntungan dan Kerugian2


Keuntungan anestesi regional adalah penderita tetap sadar, sehingga refleks
jalan napas tetap terpelihara.Muntah dan aspirasi bukan kondisi membahayakan pada
anestesi regional. Obat anestetik regional seperti bupivakain tidak terlalu toksik
untuk janin. Waktu prosedur analgesia spinal lebih singkat, relatif mudah, efek
analgesia lebih nyata (kualitas blok motorik dan sensorik yang baik), mula kerja
danmasa pulih yang cepat.Pada anestesi spinal ibu tetap sadar sehingga bisa melihat
bayinya tepat setelah lahir.
Kerugian pada anestesi spinal adalah hipotensi lebih cepat terjadi dan berat,
penderita takut, operasi belum selesai, obat habis, perlu waktu lebih lama, tidak
selalu 100% berhasil, tidak bisa untuk lokasi tertentu, bisa timbul intoksikasi, mual
dan muntah, lama kerja terbatas (operasi belum selesai, masa kerja obat habis).

2.5.4 Persiapan dan Peralatan Analgesia Spinal20


Persiapan analgesia spinal:
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada
anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan
kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk
sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan
hal-hal di bawah ini:

27
 Informed consent (izin dari pasien)
Tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal.
 Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung.
 Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, trombosit, PT (prothrombine time) dan APTT (activated partial
thromboplastine time).

Peralatan analgesia spinal:


 Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri denyut dan EKG.
 Peralatan resusitasi/anestesi umum
 Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, quinckebacock) atau
jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point whitecare).

2.5.5 Premedikasi22
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan
dari premedikasi antara lain:
 Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
 Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam.
 Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam.
 Memberikan analgesia, misal pethidin.
 Mencegah muntah, misal : domperidol, metoklopropamid.
 Memperlancar induksi, misal : pethidin.
 Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin.
 Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfat atropin.
 Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfat atropin
Premedikasi diberikan berdasarkan atas keadaan psikis dan fisiologis pasien
yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka
pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu mempertimbangkan
umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat
anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat

28
tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi,
macam operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan.21
Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan sebagai obat
premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini:
 Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin.
 Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.
 Antikolinergik, misal atropin dan hiosin.
 Antihistamin, misal prometazine.
 Antasida, misal gelusil.
 H2 reseptor antagonis, misal simetidine

2.5.6 ProsedurAnestesi Spinal21,23


Pada tindakan premedikasi sekitar 15-30 menit sebelum anestesi lakukan
observasi tanda vital. Setelah tindakan antisepsis kulit daerah punggung pasien dan
memakai sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan menyuntikkan jarum
lumbal (biasanya no 25 atau 27) pada bidang median setinggi vertebra L3-4 atau L4-
5. Jarum lumbal akan menembus berturut-turut beberapa ligamen, sampai akhirnya
menembus duramater- subarachnoid. Setelah stilet dicabut, cairan serebro spinal
akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal kedalam
ruang subarachnoid tersebut. Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik Pin
prick test, menggunakan jarum halus atau kapas. Daerah pungsi ditutup dengan kasa
dan plester, kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi.
Pembagian tingkat anestesi spinal:
 Sadle back anestesi, yang kena pengaruhnya adalah daerah lumbal bawah
dan segmen sakrum.
 Spinal rendah, daerah yang mengalami anestesi adalah daerah umbilikus/ Th
X di sini termasuk daerah thoraks bawah, lumbal dan sakral.
 Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI) di sini termasuk thoraks
bawah, lumbal dan sakral.
 Spinal tinggi, mulai garis sejajar papilla mammae, disini termasuk daerah
thoraks segmen Th4-Th12, lumbal dan sakral.
 Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang lebih
tinggi.

29
2.5.7 Penatalaksanaan23
1. Pemberian oksigen
Apabila terjadi hipoventilasi baik oleh obat–obat narkotik, anestesi
umum maupun lokal, maka akan mudah terjadi hipoksemia yang berat.
Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini, yaitu :
 Turunnya kemampuan paru-paru untuk menyimpan O2
 Naiknya konsumsi oksigen
 Airway closure
 Turunnya cardiac output pada posisi supine
Pemberian oksigen terhadap pasien sangat bermanfaat karena:
 Memperbaiki keadaan asam-basa bayi yang dilahirkan
 Dapat memperbaiki pasien dan bayi pada saat episode hipotensi
 Sebagai preoksigenasi kalau anestesi umum diperlukan

2. Terapi cairan
Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk mencukupi kebutuhan cairan,
elektrolit dan darah yang hilang selama operasi. Selain itu jugaa untuk
tindakan emergency pemberian obat. Pemberian cairan operasi dibagi :
a) Pre operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga
seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain.
Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml/ kgBB/
jamatau 40-50 cc/KgBB/ hari. Bila terjadi dehidrasi ringan 2% BB,
sedang 5% BB, berat 7% BB. Setiap kenaikan suhu 1 0Celcius
kebutuhan cairan bertambah 10 – 15 %.
b) Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan
cairan pada dewasa untuk operasi :
• Ringan = 4 ml / kgBB / jam
• Sedang = 6 ml / kgBB / jam
• Berat = 8 ml / kg BB / jam

30
Bila terjadi perdarahan selama operasi, dimana perdarahan kurang
dari 10% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid
sebanyak 2-4 kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan
lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma /
koloid/ dekstran sama dengan jumlah perdarahan.
c) Setelah operasi
Pemberian Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan
defisit cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

2.5.8 Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan paska operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu
ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar
merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih
memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien paska operasi
atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi
atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan.
Untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.
Bromage Scoring System
Kriteria Skor
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tak mampu ekstensi tungkai 1
Tak mampu fleksi lutut 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3

Bromage skor ≤ 2 boleh pindah ke ruang perawatan

2.5.8 Agen Anestesi Blok Subarachnoid


Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 270C ialah sebesar 1.003
- 1.008. Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobarik,
sedangkan anestetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut
hiperbarik, sebaliknya anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari CSS

31
disebut hipobarik. Anestetik lokal yang sering dipakai adalah jenis hiperbarik
yang diperoleh dengan mencampur anestetik lokal dengan dekstrosa, hal ini
membuat obat anestesi tersebut menjadi lebih berat dan lebih pekat.Hiperbarik
digunakan khusus untuk blok subarachnoid.
Dua jenis golongan obat anestesi lokal yaitu: ester (cocain, procain,
chloroprocain, tetracain) dan amide (dibucain, lidocain, mepivacain, prilocain,
bupivacain, etidocain, ropivacain).Masing-masing mempunyai sifat yang
berbeda. Hidrolisa golongan ester berjalan cepat sehingga daya kerjanya
singkat, sedangkan hidrolisa golongan amide berjalan lebih lambat dan
memiliki waktu paruh 1,6 - 8 jam. Obat dengan durasi kerja paling panjang dan
potensi tinggi adalah obat bupivacain. Obat anestesi spinal yang sering
dipergunakan ialah bupivakain 0,5% dalam dekstrosa 8,25% dengan dosis 10-
20 mg.Mula kerja bupivakain lambat dibanding lidokain, tetapi lama kerja bisa
sampai 8 jam. Bupivakain sering digunakan karena ikatan dengan protein
plasma lebih besar, sehingga dengan pemberian dalam jumlah kecil
pengaruhnya terhadap bayi sangat kecil sekali (reaksi toksik dan transfer
melalui plasenta jarang dijumpai).

2.5.9 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ketinggian Blok Analgesia Spinal


 Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
 Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
 Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas
daerah analgetik
 Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang
tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan ialah 3 detik untuk 1 ml
larutan.
 Manuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal
dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
 Tempat pungsi: pengaruhnya besar, obat hiperbarik pada L4-L5
cenderung berkumpul ke kaudal (saddle block), obat hiperbarik pada
pungsi L2-L3 atau L3-L4 cenderung menyebar ke kranial.
 Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik.

32
 Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapatkan
batas analgesia yang lebih tinggi.
 Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin
besar dosis yang diperlukan (berat badan tidak berpengaruh terhadap
dosis obat)
 Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan
analgetik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah
dengan posisi pasien.
 Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor,
motoris dan hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin
mungkin terjadi.

Tempat Operasi Level Blok


Ekstremitas Bawah T-12
Panggul T-10
Vagina, Uterus T-10
Vesica urinaria, Prostat T-10
Testis, Ovarium T-8
Intraabdomen bagian bawah T-6
Bagian intraabdomen lain T-4

2.5.10 Komplikasi anastesi spinal


Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi saat tindakan dan
komplikasi pasca tindakan.
Komplikasi tindakan:
 Hipotensi
Mekanisme utama penyebab hipotensi setelah anestesi spinal adalah
blok simpatis yang menyebabkan dilatasi arteri dan vena. Dilatasi arteri
menyebabkan penurunan tahanan perifer total dan tekanan darah sistolik
sampai 30%. Dilatasi vena dapat menyebabkan hipotensi yang berat sebagai
akibat penurunan aliran balik vena dan curah jantung. Tetapi sebetulnya hal
ini tidak boleh terjadi karena ketika terjadi hipotensi, perfusi organ menjadi
tidak adekuat sehingga oksigenasinya tidak adekuat.Dikatakan hipotensi

33
jika terjadi penurunan tekanan darah sistolik, biasanya 90 atau 100 mmhg,
atau penurunan prosentase 20% atau 30% dari biasanya.
Dan lamanya perubahan bervariasi dari 3 sampai 10 menit. Oleh karena
itu kejadian hipotensi harus dicegah.
Ada beberapa cara untuk mencegah atau mengatasi hipotensi akibat
spinal anestesi adalah dengan pemberian cairan pre-operasi yaitu Ringer
Laktat dan/atau obat vasopressor salah satunya dengan pemberian efedrin.
Efedrin merupakan vasopresor pilihan yang digunakan pada anestesi
obstetric sebagai obat yang diberikan untuk mencegah hipotensi akibat
anestesi spinal. Efedrin adalah obat sintetik non katekolamin yang
mempunyai aksi langsung yang menstimuli reseptor β1, β2, α1 adrenergik
dan aksi tak langsung dengan melepaskan nor-epinefrin endogen.
Efedrin akan menyebabkan peningkatan cardiac output, denyut jantung
dan tekanan darah sistolik maupun diastolik. Menurunkan aliran darah
splanikus dan ginjal tetapi meningkatkan aliran darah ke otak dan otot.
Pemberian efedrin dapat secara subkutan, intra muskuler, bolus intravena,
dan infus kontinyu dan pada praktek sehari-hari, efedrin diberikan secara
bolus IV 5-10 mg bila terjadi hipotensi akibat anestesi spinal.
 Bradikardia
Perubahan frekuensi denyut nadi merupakan salah satu tanda vital pada
anestesi spinal. Frekuensi denyut nadi yang tidak stabil dapat menyebabkan
bradikardi apabila terdapat penurunan frekuensi denyut nadi yang
berlebihan. Karena itu pemilihan obat anestesi spinal merupakan hal yang
penting mengingat adanya efek-efek yang ditimbulkan. Apabila terjadi
penurunan tekanan darah dan frekuesi denyut nadi yang berlebihan dapat
digunakan efedrin yang berfungsi berdasarkan reseptor adrenergik yang
menghasilkan respon simpatis. Oleh karena efedrin dapat menyebabkan
vasokonstriksi perifer, sehingga pada penggunaan klinis efedrin
meningkatkan tekanan darah dan frekuensi denyut nadi. Bradikardi dapat
terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok sampai T-2.
 Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas.
 Mual-muntah, nyeri tempat suntikan, nyeri punggung, nyeri kepala karena
kebocoran likuor, retensio urine dan meningitis.
34
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. M. K
Umur : 45 tahun/24-04-1973
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Padang Bulan
Tanggal Pemeriksaan : 05 September 2018
No RM : 45 33 38

3.2 Anamnesa
3.2.1. Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan utama terasa benjolan pada perut sejak ± 5 bulan
SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien rujukan dari RS Merauke dengan keluhan utama terasa benjolan di perut
sejak ±5 bulan yll. Benjolan awalnya kecil namun makin lama makin
membesar. Pasien sering merasa nyeri dan kemeng pada perutnya namun hal
tersebut tidak mengganggu aktifitas. Pasien juga mengeluhkan menstruasi yang
lebih banyak dan lebih lama sejak 3 bulan yll. Lama menstruasi hingga ±14
hari dimana 1 hari pasien dapat mengganti pembalut hingga ±4-5 kali. Darah
yang keluar bergumpal-gumpal. Keluhan menstruasi disertai rasa nyeri selama
menstruasi. Riwayat keputihan (-), gatal (-), BAK (+) normal, BAB (+) 2 hari
sekali, mual (-), sesak (-).

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat diabetes melitus : disangkal
- Riwayat Penyakit kardiovaskular : disangkal
- Riwayat Penyakit Pernapasan : disangkal
- Riwayat operasi sebelumnya : Sectio saecarea (2008)
- Riwayat Anestesi : ada

35
Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat diabetes mellitus : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat jantung : disangkal
- Riwyata hipertensi : disangkal

Riwayat Alergi
- Riwayat alergi makanan : disangkal
- Riwayat alergi minuman : disangkal
- Riwayat alergi obat : disangkal

Riwayat sosial-ekonomi
Pendidikan: SMP, Pekerjaan: IRT

Riwayat Obstetri :
1. Riwayat Kehamilan: P4A0
No Jenis Persalinan Penolong BB Jenis Usia Hidup/
Kelamin Mati
1. Spontan Bidan 3000 Laki-laki 22 tahun Hidup
2. Spontan Bidan 2900 Laki-laki 17 tahun Hidup
3. Spontan Bidan 3300 Laki-Laki 13 tahun Hidup
4. Sectio Sesarea Dokter 3500 Perempuan 10 tahun Hidup

2. Riwayat Menstruasi:
Menarche: 12 Tahun Siklus Haid: Teratur, 28-30 hari
Lama haid: ±4 Hari Ganti pembalut: 3-4x/hari
Gejala Penyerta : Dismenore (-)

3. Riwayat Penggunaan Kontrasepsi Sebelum Hamil


KB Implant

36
3.3 Pemeriksaan Fisik
3.3.1 Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tinggi Badan : 155 cm
Berat Badan : 62 Kg

Tanda-tanda Vital
 Tekanan darah : 120/70 mmHg
 Nadi : 91 x/menit
 Respirasi : 20 x/menit
 Suhu badan : 36.50C
Kepala : Mata : Conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-
Pupil: bulat, isokor, diameter ODS: 3 mm,
Refleks cahaya (+/+)
Hidung : Deformitas (-), sekret (-), perdarahan (-).
Telinga : Deformitas (-), sekret (-), perdarahan (-).
Mulut : Deformitas (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks : Paru
Inspeksi : Gerak dinding dada simetris, retraksi dinding dada (-),
jejas (-)
Palpasi : Vocal fremitus dextra = sinistra
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), suara rhonki (-/-), suara
wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Pinggang : ICS III linea parasternals sinistra
Batas kiri : ICS V 2 cm ke medial linea
midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS V linea parasternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Inspeksi : Tampak cembung
Palpasi : Massa (+), nyeri tekan perut kanan dan kiri bawah (+)
Nyeri tekan Mcburney (-), psoas sign (-), rovsing sign
(-).
Perkusi : Tymphani.
Auskultasi : Bising usus (+), 2-4 kali/menit.
Genitalia : Dalam batas normal
Ekstremitas : Akral teraba hangat, kering dan merah, Capillary Refill Time< 2”,
Edema tidak ada, kekuatan otot di ekstremitas superior et inferior: 5

37
3.4 Status Ginekologi

Abdomen :
 Inspeksi : Tidak ada tanda-tanda peradangan, bekas operasi (+).
 Palpasi : Teraba massa padat, kenyal, permukaan licin, mobile pada perut bagian
bawah, nyeri tekan (+).

Pemeriksaan Inspekulo :
Porsio ukuran normal, tampak licin, erosi (-), fluksus (-), livide (-), Ø OUE (-), fluor
albus (-), perdarahan aktif (-), peradangan (-).

Pemeriksaan Dalam (VT) :


 Dinding vagina normal, massa (-)
 Porsio licin, Ø (-), nyeri goyang porsio (-)
 Adneksa Parametrium dan Cavum Douglass dextra et sinistra dbn

3.5 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium (28 Agustus 2018)
Jenis Pemeriksaan Darah Lengkap Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 11,3 11,0 – 14,7 g/dL
Leukosit 10,72 3,37 – 8,38 10ˆ3/ul
Platelet 272 140 – 400 10ˆ3/ul
DDR Negatif
Jenis Pemeriksaan Kimia Darah Nilai Rujukan
GDS 92 74 – 109
Gula Darah PP 227 64 – 140
SGOT 32,8 <40
SGPT 41,1 <40
Koagulasi Nilai Rujukan
Masa Perdarahan 2’00 1’0 – 5’0
Masa Pembekuan 7’00 5’0 – 15’0

Pemeriksaan Laboratorium (29 Agustus 2018)


Jenis Pemeriksaan Kimia Hasil Interpretasi
Darah
Glukosa Darah Puasa 86 74 - 109
Glukosa 2 PP 106 65 - 140

38
3.6 Konsultasi Terkait
Konsultasi Bagian Penyakit Dalam :
29 Agustus 2018 :
 Laboratorium normal
 Tidak terdapat tanda dan gejala DM
 Saran : Fit untuk operasi dengan Cardiac Risk Index kelas 1.

Konsultasi Bagian Jantung :


30 Agustus 2018 :
 Evaluasi cardiak : keluhan DM (-), Hipertensi disangkal
 EKG : SR 80x/menit
 Kesimpulan : Saat ini pasien dengan Cardiac Risk Index kelas 1.

Konsultasi Bagian Anestesi


30 Agustus 2018, advice:
 Inform consent dan SIO
 Puasa 8 jam pre operasi
 Siap Whole Blood 2 bag
 Jam 6 pagi :
- Ukur Tanda-tanda vital
- Pasang IVFD RL 20tetes/menit Makro

3.7 Penentuan PS ASA / Status Anestesi


PS. ASA : PS ASA II

3.8 Persiapan Anestesi


Hari/Tanggal : Selasa, 04 September 2018
Persiapan Operasi : Inform consent (+), SIO (+), puasa (+)
Makan/Minum : 8 jam sebelum operasi
Terakhir
BB/TB : 62 Kg/155 cm
TTV di Ruang Operasi : Tekanan darah:120/70 mmHg; nadi: 91 x/m, reguler, kuat
angkat, terisi penuh; respirasi: 20x / menit; suhu
badan:36,5oC
SpO2 : 99%
Diagnosa Pra Bedah : Mioma Uteri + Kista Ovarium Bilateral

39
B1 : Airway:
Look : Jalan napas bebas, terpasang O2 nasal 2-3
lpm, Mallampati Score: I
Feel : Terasa hembusan nafas pasien di pipi
pemeriksa.
Listen : Suara Napas tidak terdengar
Breathing:
Inspeksi : Gerak dinding dada simetris, retraksi sela
iga (-), frekuensi napas: 20 kali/menit
Palpasi : Vocal fremitus dextra = sinistra.
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), suara rhonki (-
/-),
suara wheezing (-/-).
Perfusi : Akral: teraba hangat, kering, warna:
merah muda, Capillary Refill Time< 2”,
B2 : TD:120/70 mmHg, Nadi: 91 x/m, reguler,
kuat angkat, terisi penuh
Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi :
Batas atas : ICS II linea parasternalis
sinistra
Pinggang : ICS III linea parasternalis
sinistra
Batas kiri : ICS V 2 cm ke medial linea
midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS V linea parasternalis
dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II, regular, murmur (-),
gallop (-)
B3 : : Compos Mentis, GCS:E4V5M6 = 15,
Kesadaran Riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-),
Nyeri kepala (-), pandangan kabur (-),
Pupil: bulat, isokor, ϴ ODS 3 mm,
refleks cahaya (+/+)
B4 : Terpasang kateter, produksi urin (+) , warna kuning jernih.
B5 : Inspeksi : Tampak Cembung
Palpasi : Massa (+), nyeri tekan daerah inguinal
dextra dan sinistra (+)

Auskultasi : Bising usus (+), 2-4 kali/menit


B6 : Akral teraba hangat, kering dan merah, Capillary Refill
Time< 2”, Edema tidak ada, kekuatan otot di ekstremitas
superior et inferior: 5

40
3.9 Laporan Durante Operasi
a. Laporan Anestesi
Ahli Anestesiologi : dr. D W, Sp.An, M.kes
Ahli Bedah : dr. Y B, Sp.OG
Jenis Pembedahan : Histerektomi + Salpingo ooferoctomi bilateral
Lama Operasi : 08.30 – 10.50 WIT (160 menit)
Jenis Anestesi : Anestesi Regional - Anestesi Blok Subarachnoid
Anestesi dengan : Bupivakain HCL 0,5%
Teknik Anestesi :  Pasien duduk tegak di meja operasi dan
kepala menunduk
 Dilakukan desinfeksi di daerah lumbal
dengan betadine lalu alkohol
 Iidentifikasi vertebra lumbal 3-4, kemudian
jarum spinocain No. 27 ditusukkan diantara
L3-L4.
 Cairan serebrospinal (+), darah (-),
kemudian dilakukan blok subarachnoid
(injeksi Bupivakain HCL 0,5% 15 mg),
kemudian pasien dibaringkan.
Pernafasan : Spontan respirasi dengan O2 nasal 2-3 liter per
menit
Posisi : Supine
Infus : Pada tangan kanan terpasang IV line abocath 18 G
dengan cairan Ringer Laktat.
Penyulit Pembedahan : (-)
Obat yang digunakan
Premedikasi : Skin test Cefazoline (08.00)
Eritema (-), Pruritus (-), Indurasi (-)
Induksi dan : Bupivakain HCL 0,5%
Maintenance
Medikasi Durante : - Cefazoline 2 g
Operasi - Bupivacain 0,5%
- Ranitidin 50 mg
- Ondansentron 4 mg
- Antrain 1 gr
- Midazolam 2.5 mg
- Ketamin 10 mg
- Fentanyl 2.5 mg
- Metamizole 1 g
Tanda-tanda vital pada : TD: 140/100 mmHg, Nadi :82x/m, reguler, kuat
akhir pembedahan angkat, Suhu badan: 36,5oC , Frekuensi napas: 18
x/m, SpO2: 99%

41
b. Observasi Durante Op:
Diagram 1. Diagram Observasi Tekanan Darah dan Nadi Durante Operasi
160

140

120

100

80 Sistolik
Diastolik
60
Nadi
40

20

3.10 Terapi Cairan


Cairan yang Dibutuhkan Aktual
Pre Operasi BB: 62 Kg Input:
RL: 1000 cc
- Kebutuhan cairan harian:
40-50 cc / KgBB / hari
= 40 cc x 62 Kg = 2480 cc / hari Output:
50 cc x 62 Kg = 3100 cc / hari DC Urin (+), produksi
50 cc
- Kebutuhan cairan harian: IWL: 930 cc/24 jam
2480cc – 3100cc/ hari

- Kebutuhan cairan per jam:


2480 cc : 24 jam = 103 cc / jam
3100 cc : 24 jam = 130 cc / jam

Kebutuhan cairan per jam:


103 – 130cc/ jam.

- Kebutuhan cairan untuk pengganti puasa


8 jam:
08 jam x 103 cc = 824 cc
08 jam x 130 cc = 1.040 cc
824 – 1.040 cc / 8 jam
Durante - Kebutuhan cairan durante operasi 2 jam 20
Operasi menit (160 menit) : Input:
RL: 500 cc
- Maintanmance Gelafusal 500 cc
Kebutuhan cairan per jam 103-130 cc

42
20
Untuk 20 menit = 60x 103 – 130 cc/jam
Output:
= 34 - 43 cc /20 menit.
DC Urin (+), produksi
100 cc
2 Jam 20 menit = (34 – 43 cc) + (206 – 260)
IWL: 930 cc
= 240 – 303 cc
Perdarahan: ± 400 cc
- Replacement
EBV = 65 cc / KgBB
= 65 x 62 Kg = 4.030 cc

𝑬𝑩𝑳 = 𝑉𝑜𝑙. 𝑃𝑒𝑟𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ𝑎𝑛⁄


𝐸𝐵𝑉x 100%
= 480 𝑐𝑐⁄4030 𝑐𝑐 cc x 100%
= 11.9 %

- Lama operasi: 160 menit  prediksi cairan


yang hilang selama operasi dihitung dari:
Jenis operasi x KgBB =
(6 cc/KgBB/jam) x 62 Kg x 1 jam
=372 cc/jam
20
= 60 x 372 = 124 cc / 20 menit
2 Jam 20 menit = 372 + 124
= 496 cc
- Total kebutuhan cairan durante operasi:
= (240- 303cc) + 480 cc + 496 cc
= 1.216 – 1.279 cc
Balance Cairan: Input - Ouput Selama Pre Operasi hingga Durante Operasi:
- Input:
 Pre Operasi (Ringer Laktat 1000 cc) + Durante Operasi (Ringer
Laktat 500 cc + Gelafusal 500 cc)

- Output:
 Pre Operasi (IWL 310 cc + Urin 50 cc) + Durante Operasi
(Perdarahan 480 cc + IWL 90,3 cc + Urin 100 cc)
= 2.000 cc – 1.030 cc = +970 cc
Post Operasi Kebutuhan cairan harian :
40-50 cc/KgBB/hari x BB (Kg)
= 40 cc x 62 Kg = 2480 cc / hari
50 cc x 62 Kg = 3100 cc / hari

3.11 Instruksi Post Operatif


 IVFD RL 20 tetes/menit Makro
 Inj.Vitamin C 1x1 amp (iv)
 Inj. Ketorolac 2x1 amp (iv)
 Inj. Ranitidin 2x1 amp (iv)

43
3.12 Follow Up Post Operatif
Hari, tanggal Follow Up
Kamis S Nyeri di daerah bekas operasi
06/09/2018 O Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
B1 : Bebas, napas spontan, tidak terpasang O2
Suara napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-, RR: 20 x/m.
B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill Time < 2 detik,
Nadi 89x/m, kuat angkat, regular
BJ: I-II murni regular, murmur (-), galop (-).
B3 : Pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm, pigsan (-),kejang (-)
B4 : DC (+), produksi urin(+), warna kuning jernih.
B5 : Abdomen supel, datar , BU (+) normal
Uterus (-), kontraksi (-)
B6 : Fraktur (-), edema (-), motorik aktif

Post histerektomi dan salpingooveroctomi bilateral


IVFD RL 20tetes/menit Makro
A  Inj. Ceftriaxone 2x1 gram (iv)
 Inj. ketorolac 2x1 amp (iv)
P
 Inj. Ranitidin 2x1 amp (iv)

Jumat
07/09/2018
S Nyeri di daerah bekas operasi
O Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
B1 : Bebas, napas spontan, tidak terpasang O2
Suara napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-, RR: 22 x/m.
B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill Time < 2 detik,
Nadi 78x/m, kuat angkat, regular, BJ: I-II murni regular, murmur (-),
galop (-).
B3 : Pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm, pigsan (-),kejang (-)
B4 : DC (-), BAK(+)
B5 : Abdomen supel, datar , BU (+) normal
Uterus (-)kontraksi (-)
B6 : Fraktur (-), edema (-), motorik aktif

Post histerektomi dan salpingooveroctomi bilateral

A IVFD RL 20tetes/menit Makro


 Inj. Ceftriaxone 2x1 gram (iv)
P  Inj. ketorolac 3x1 amp (iv)
 Inj. Ranitidin 2x1 amp (iv)

Sabtu S Nyeri di daerah bekas operasi (ↆ)


08/09/2018 O Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis

44
B1 : Bebas, napas spontan, tidak terpasang O2
Suara napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-, RR: 22 x/m.
B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill Time < 2 detik,
Nadi 70x/m, kuat angkat, regular
BJ: I-II murni regular, murmur (-), galop (-).
B3 : Pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm, pigsan (-),kejang (-)
B4 : DC (-), BAK(+)
B5 : Abdomen supel, datar , BU (+) normal
B6 : Fraktur (-), edema (-), motorik aktif

Post histerektomi dan salpingooveroctomi bilateral


A
Aff Infus
Sulfat ferosus 1 x 1 tab
P
Cefixime 2 x 1 tab mg
Asam mefenamat 3 x 1 tab
Vitamin C 1 x 1 tab
Pasien boleh pulang

45
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, seorang wanita 45 tahun dengan diagnosis mioma uteri dan
kista ovarium bilateral dan menjalani operasi histerektomi dan salpingo ooforektomi
dengan indikasi mioma uteri dan kista ovarium bilateral. Diagnosis ditegakan dengan
anamnesa dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis, pasien menjelaskan bahwa pasien sudah
merasakan adanya benjolan di perut sejak 5 bulan yll. .Dari pemeriksaan fisik, ditemukan
massa abdomen bawah regio inguinalis dextra dan sinistra sera regio pubis.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah darah lengkap, dan kimia darah
dan koagulasi. Hasil pemeriksaan darah di dapatkan Hb pasein 11.3 gr/dL, yang
menunjukan pasien mengalami anemia ringan. Anemia sendiri didefinisikan sebagai
berkurangnya 1 atau lebih parameter sel darah merah: konsentrasi hemoglobin, hematokrit
dan jumlah sel darah merah. Anemia pada pasien dapat disebabkan oleh perdarahan akibat
mioma uteri. Anemia dapat terjadi akibat perdarahan abnormal uterus yang menjadi
manisfestasi klinis utama dari mioma. Jika terjadi kronis maka dapat mengakibatkan
anemia defisiensi besi. Bagaimanapun, transpor oksigen tidak terganggu oleh anemia
relatif ini, karena tubuh akan memberikan kompensasi dengan cara meningkatkan curah
jantung, peningkatan PaO2, dan denyut jantung. Sementara peran anestesi penting untuk
memastikan bahwa organ menerima oksigen yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme selama prosedur bedah berlangsung. Penentu transport oksigen termasuk
diantaranya ialah pertukaran gas di paru, afinitas Hb-O2, konsentrasi total Hb, dan cardiac
output. Seluruhnya bekerja dalam satu sistem dan menyediakan kapasitas oksigen yang
adekuat. Apabila ada penurunan pada satu komponen di atas, maka menyebakan
komponen lain terpengaruh. Dari komponen tersebut, hemoglobin merupakan komponen
yang dapat dimanipulasi sehingga dapat meningkatkan transport oksigen.
Pada kasus ini, operasi dilakukan dengan anestesi spinal (SAB). Pasien tidak
mempunyai riwayat penyakit asma, alergi, dan tidak adanya upper respiratory infection.
Pasien berpuasa sekitar 8 jam sebelum pembedahan. Regurgitasi isi lambung merupakan
risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.

46
Pada kasus ini, klasifikasi status penderita digolongkan dalam PS ASA II, karena
pasien merupakan pasien ginekologi dengan co-morbid anemia ringan. Indikasi
operasi pasien adalah mioma uteri dan kista ovarium bilateral.
Medikasi prabedah pada pasien ini adalah cairan Ringer Laktat 1000 cc.
Pemberian cairan RL 1000 cc secara intravena sebelum anestesi spinal dapat
menurunkan insidensi hipotensi. Pembedahan dengan anestesi memerlukan puasa,
sehingga terapi cairan parenteral diperlukan untuk mengganti kebutuhan rutin saat
pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan pindah ke
ruang ketiga.
Pada kasus diatas penggunaan jenis anastesi yang digunakan adalah regional
anestesi dengan Sub Arachnoid Blok (SAB). Anestesi spinal lebih dipilih pada kasus
ini karena daerah yang akan dioperasi adalah daerah abdomen bagian bawah .
Keuntungan dalam anestesi sub arachnoid blok adalah onsetnya cepat, obat anestesi
yang digunakan lebih sedikit dengan masa pulih yang cepat, relatif mudah,
sederhana, dan kualitas blok motorik dan sensorik yang baik pada SAB. Selain itu
pada anastesi spinal, ibu tetap sadar sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya
aspirasi.Anestesi SAB juga memberikan banyak manfaat dan kemudahan pada
operasi seksio sesarea, termasuk berkurangnya angka morbiditas dan mortalitas pada
maternal dibandingkan dengan anestesi umum karena tingginya risiko komplikasi
jalan nafas pada anestesi umum.
Obat anestesi yang digunakan pada pasien ini adalan Bupivacaine 0,5%.
Bupivacaine sering digunakan untuk injeksi spinal pada tulang belakang untuk
anestesi total bagian pinggul kebawah. Efek bupivacaine untuk anestesi spinal dapat
mencapai 8 jam.Efek blokade motorik pada otot perut menjadikan obat ini sesuai
untuk digunakan pada operasi-operasi perut yang berlangsung sekitar 45 - 60 menit.
Lama blokade motorik ini tidak melebih durasi analgesiknya. Bupivacaine bekerja
dengan cara berikatan secara intaselular dengan natrium dan memblok influk natrium
kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi.Pada umumnya, wanita
hamil memerlukan dosis anestesi spinal yang lebih kecil dibandingkan wanita yang
tidak hamil.
Dosis Bupivacaine spinal yang baik digunakan pada operasi laparatomi antara
4,5 mg hingga 15 mg. Pemberian Bupivacaine dari dosis 10 mg diturunkan menjadi
7,5 mg menurunkan insidensi mual 57% dan muntah 70%. Angka kejadian hipotensi
juga menurun bersamaan dengan efek pada saluran pencernaan.

47
Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah, denyut nadi serta
pernapasan selalu dimonitor. Pada pasien ini juga diberikan ranitidin, ondansentron.
Ranitidin merupakan golongan obat antihistamin reseptor 2 (AH2). Mekanisme kerja
ranitidin adalah menghambat reseptor histamin 2 secara selektif dan reversibel
sehingga dapat menghambat sekresi cairan lambung. Ranitidin mengurangi volume
dan kadar ion hidrogen dai sel parietal akan menurun sejalan dengan penurunan
volume cairan lambung. Ondansetron suatu antagonis reseptor 5HT3 yang bekerja
secara selektif dan kompetitif dalam mencegah maupun mengatasi mual dan
muntah.Pemberian obat-obat ini untuk mencegah mual serta muntah yang dapat
terjadi pada anestesi spinal.
Selain penentuan pemilihan anestesi pada pasien ini, juga dipertimbangkan
mengenai terapi cairan selama masa perioperatif.Terapi cairan sendiri merupakan
tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-batas fisiologis
dengan cairan infus kristaloid atau kolid secara intravena.

48
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Pada pemeriksaan fisik pasien termasuk dalam PS ASA II, yaitu ginekologi
dengan co-morbid anemia ringan tanpa adanya kelainan sistemik berat lainya.
2. Anemia ringan pada pasien merupakan anemia fisiologis akibat hemodilusi
selama kehamilan dan masih dapat dikompensasi oleh tubuh.
3. Teknik anestesi yang baik pada pasien dinilai sudah tepat dengan
mempertimbangkan keselamatan dan kenyamanan pasien.
4. Agen anestesi yang digunakan adalah Bupivacain 0.5 %, obat ini bekerja dengan
cara berikatan secara intraselular dengan natrium dan memblok influks natrium
kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi.
5. Terapi cairan pre-operasi dan durante operasi di nilai sudah tepat sesuai dengan
kebutuhan cairan pasien.

5.2 Saran
Penatalaksanaan anestesi perlu dilakukan dengan baik mulai dari persiapan pre
anestesi, tindakan anestesi hingga observasi post operasi, terutama menyangkut
resusitasi cairan yang akan sangat mempengaruhi kestabilan hemodinamik
perioperative dan penting untuk memperhatikan vital sign ketika pemberian obat-
obatan anestesi, sehingga bila pasien tidak stabil dapat segera diperbaiki.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Soenarjo, dkk. 2010. Anestesiologi. Semarang. Bagian Anestesiologi dan Terapi


Intensif Fakultas Kedokteran Undip/RSUP Dr. Kariadi Semarang.
2. Muhiman M, Thaib R, Dahlan S, Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif FKUI.
3. SMF Anestesiologi & reanimasi, terapi intensif. 2016. Panduan Pelayanan
Anestesi. Jayapura. Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura.
4. Varaday S. Subarachnoid spinal block. (Diunduh 22-09-2018),
https://emedicine.medscape.com/article/2000841-overview.
5. Samodro R, Sutiyono D, Satoto H. 2011. Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal.
Semarang. Jurnal Anestesi Indonesia.
6. Universitas Sumatera Utara. Mioma Uteri. (Diunduh 22-09-2018).
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/51101/Chapter%20II.pdf?se
quence=4&isAllowed=y
7. Ward S. Salpingo-Oophorectomy.https://emedicine.medscape.com/article/1894587-
overview. Last updated Feb 2018. Accessed on September 23, 2018
8. Anwar, M. 2011. Ilmu Kandungan Edisi Ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
9. Unpad Bagian Obstetri dan Ginekologi FK Unpad. 2010. Ginekologi. Bandung:
Elstar Offset.
10. Parker, W. H., 2007. Etiology, Symptomatology, and Diagnosis of Uterine
Myomas Volume 87. Departement of Obstetrics and Gynecology UCLA School
Medicine : California : American Society for Reproductive Medicine. 725-733.
11. Universitas Sumatera Utara. Karakteristik Penderita Mioma. Diunduh 22-09-2018.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/25190/?sequence=4.
12. Universitas Muhammadiyah Semarang. Mioma Uteri. (Diunduh 22-09-2018).
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/105/jtptunimus-gdl-ariastuti0-5245-1-babi.pdf
13. Wiknjosastro H. 2005. Ilmu Kandungan. 3rd ed. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
14. Grabosch S. Ovarian Cyst. https://emedicine.medscape.com/article/255865-
overview#a3. Last Update Jan 18, 2017. Accessed on September 23, 2018
15. Mansjoer, Arif dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius. 2000.

50
16. Wiknjosastro H. Buku Ilmu Kandungan Edisi 2., editor: Saifuddin A.B,dkk.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.1999: 13-14
17. Schorge et al. William’s Gynecology [Digital E-Book] Gynecologic Oncology
Section. Ovarian Tumors and Cancer. McGraw-Hills.2008
18. Universitas Sumatera Utara. Histerektomi. Diunduh 23-09-2018.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/41564/Chapter%20II.pdf?se
quence=4
19. Mangku Gde, dkk. 2010. Buku Ajar Anestesia dan Reanimasi. Jakarta; Indeks
20. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR, Petunjuk Praktis Anestesiologi: Edisi
Kedua. 2002. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI
21. Soenarto dkk, 2012. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: Departement Anestesiologi
dan Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
22. Wirjoatmodjo, Karjafi. 2000. Anestesiologi dan Reanimasi modul dasar Untuk
Pendidikan S1 kedokteran. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional
23. Universitas Sumatera Utara. Anastesi Spinal. (Diunduh 17-04-2018),
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/38949/4/Chapter%20II.pdf.

51

Вам также может понравиться