Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah pembedahan. Anestesiologi
berkembang terus sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran. Secara harfiah anestesi
berarti ketiadaan rasa atau sensasi nyeri. Dalam arti yang lebih luas, anestesi berarti suatu
keadaan hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan. Pemberian anestesi dilakukan untuk
mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai hilangnya
pembedahan. Anestesi menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-“tidak, tanpa” dan aesthesos,
“persepsi, kemampuan untuk merasa”. Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan
rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum ialah suatu
keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi
obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum
terdiri atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel
dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi umum dapat
diberikan secara inhalasi dan secara. Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan
1
operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang,
misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang,
dan lain-lain2.
Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran,
dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama penggunaan anestesi
juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk meminimalisasi kegagalan
mandibula. Fraktur mandibula menempati urutan kedua dari fraktur daerah wajah, karena
merupakan tulang yang menonjol yang terletak di tepi dan posisinya di sepertiga bawah
wajah sehingga sering menjadi sasaran ruda paksa. Disamping itu merupakan tempat
fraktur mandibula dapat ditunjukkan dengan adanya rasa sakit, pembengkakan, nyeri tekan,
maloklusi, patahnya gigi, adanya gap, tidak ratanya gigi, tidak simetrisnya arkus dentalis,
atau hubungan yang ideal antara gigi bawah dan gigi rahang atas sebagai dasar pemikiran
dan diagnosis fraktur mandibula.1,2,4 Tujuan dari penatalaksanaan fraktur mandibula adalah
memperoleh reduksi anatomi dari garis fraktur, mendapatkan kembali oklusi sebelum
cedera, imobilisasi mandibula dalam periode tertentu untuk penyembuhan, menjaga nutrisi
yang adekuat, mencegah infeksi, malunion dan nonunion. Manajemen dari teknik yang
sering digunakan adalah mengikat gigi-gigi dengan arch bars dan elastic band untuk fiksasi
2
intermaksila untuk fraktur yang stabil. Dapat juga digunakan dengan kombinasi reduksi
terbuka dan interosseus wire atau plate yang rigid pada fraktur yang tidak stabil atau
sebagai konsep dasar penanganan fraktur mandibula dan tulang maksilofasial terutama
dalam diagnostik dan penatalaksanaannya. Pada prinsipnya ada dua cara penatalaksanaan
fraktur mandibula yaitu cara tertutup atau disebut juga perawatan konservatif dan cara
terbuka yang ditempuh dengan cara pembedahan. Pada teknik tertutup imobilisasi dan
reduksi fraktur dapat dicapai dengan peralatan fiksasi maksilomandibular. Pada prosedur
terbuka bagian yang mengalami fraktur dibuka dengan pembedahan dan segmen fraktur
direduksi serta difiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat atau plat yang disebut
dengan wire atau plate osteosynthesis. Kedua teknik ini tidak selalu dilakukan tersendiri
tetapi kadang-kadang diaplikasikan bersama atau disebut dengan prosedur kombinasi. Pada
sehingga daerah yang mengalami fraktur akan kembali atau mendekati posisi anatomis
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
b. Fraktur stress
Trauma yang berulang dan kronis pada tulang yang mengakibatkan tulang
menjadi lemah. Contohnya pada fraktur fibula pada olahragawan.
4
c. Fraktur patologis
Pada tulang telah terjadi proses patologis yang mengakibatkan tulang
tersebut rapuh dan lemah. Biasanya fraktur terjadi spontan.
5
Sedangkan klasifikasi fraktur mandibula, di antaranya:
Simfisis → fraktur terjadi pada insisivus tengah yang berjalan dari alveolar melalui
perbatasan inferior dari mandibula.4
Badan → Fraktur yang terjadi dari distal simfisis bertepatan dengan perbatasan alveolar
otot masseter.
Ramus mandibula → Dibatasi oleh aspek superior dari sudut dua saluran yang
membentuk puncak pada sigmoid.4
6
Gambar 3. Fraktur ramus mandibula dan parasimfisis mandibula kiri4
a. Fraktur kelas 1 : gigi terdapat di 2 sisi fraktur, penanganan pada fraktur kelas 1 ini
dapat melalui interdental wiring (memasang kawat pada gigi)
b. Fraktur kelas 2 : gigi hanya terdapat di salah satu fraktur
c. Fraktur kelas 3 : tidak terdapat gigi di kedua sisi fraktur, pada keadaan ini dilakukan
melalui open reduction, kemudian dipasangkan plate and screw, atau bisa juga
dengan cara intermaxillary fixation.
C. Diagnosis4,5
Diagnosis fraktur mandibula berdasarkan atas anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
1. Anamnesis
Pada kasus trauma, pemeriksaan penderita dengan kecurigaan fraktur mandibula
harus mengikuti kaidah ATLS, dimana terdiri dari pemeriksaan awal (primar survey)
yang meliputi pemeriksan airway, breathing, circulation dan disability. Pada penderita
trauma dengan fraktur mandibula harus diperhatikan adanya kemungkinan obstruksi jalan
nafas yang bisa diakibatkan karena fraktur mandibula itu sendiri ataupun akibat
perdarahan intraoral yang menyebabkan aspirasi darah dan bekuan darah.
7
Jika pasien stabil, perlu diketahui riwayat trauma. Mekanisme trauma
merupakan informasi yang penting sehingga dapat menggambarkan tipe fraktur yang
terjadi. Bila trauma ragu-ragu atau tidak ada maka kemungkian fraktur patologis tetap
perlu dipikirkan. Riwayat penderita harus dilengkapi apakah ada trauma daerah lain
(kepala, torak, abdomen, pelvis dll).
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Inspeksi dimulai dari ektraoral kemudian ke intraoral. Perhatikan adanya
deformitas. Pembengkakan preaurikular sering menunjukkan adanya fraktur
kondilus. Kulit di sekitar wajah dan leher perlu diperhatikan apakah hiperemis,
ekimosis, laserasi, atau hematom. Pada luka yang mengarah ke fraktur terbuka
harus diidentifikasi dan ditentukan menurut derajatnya menurut klasifikasi
Gustillo. Dilihat juga apakah terdapat gigi yang hilang. Perhatikan juga apakah
terdapat maloklusi.
b. Palpasi
Pada palpasi dievaluasi daerah TMJ dengan jari pada daerah TMJ dan
penderita disuruh buka-tutup mulut, menilai ada tidaknya nyeri, deformitas atau
dislokasi. Untuk memeriksa apakah ada fraktur mandibula dengan palpasi
dilakukan evaluasi false movement dengan kedua ibujari di intraoral, korpus
mandibula kanan dan kiri dipegang kemudian digerakkan keatas dan kebawah
secara berlawanan sambil diperhatikan disela gigi dan gusi yang dicurigai ada
frakturnya. Bila ada pergerakan yang tidak sinkron antara kanan dan kiri maka
false movement +.
8
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rontgen
Pada fraktur mandibula dapat dilakukan pemeriksaan penunjang foto Rontgen
untuk mengetahui pola fraktur yang terjadi. Timbulnya kecurigaan fraktur
mandibula tergantung dari jenis frakturnya, apakah cedera tunggal atau multipel.
Jika dicurigai cedera tunggal, pemeriksaan dapat dimulai dengan foto AP, Towne,
dan oblik.
b. CT Scan
CT scan dapat digunakan untuk mengidentifikasi fraktur kondilus kompleks,
terutama fraktur sagital atau dislokasi fossa glenoid. CT scan juga berguna pada
pasien dengan cedera serius, seperti luka tembak atau fraktur komunitif.
D. Penatalaksanaan2,4,5
Prinsip penanganan fraktur mandibula pada langkah awal bersifat kedaruratan
seperti jalan nafas (airway), pernafasan (breathing), sirkulasi darah termasuk penanganan
syok (circulaation), penaganan luka jaringan lunak dan imobilisasi sementara serta
evaluasi terhadap kemungkinan cedera otak. Tahap kedua adalah penanganan fraktur
secara definitif yaitu reduksi/reposisi fragmen fraktur (secara tertutup (close reduction)
dan secara terbuka (open reduction).
1. Reposisi tertutup
Adapun indikasi untuk reposisi tertutup di antaranya:
9
condylus dan 4-6 minggu pada daerah lain dari mandibula. Beberapa teknik fiksasi
intermaksila diantaranya:
Ivy loop
Penempatan Ivy loop menggunakan kawat 24-gauge antara 2 gigi yang stabil,
dengan penggunaan kawat yang lebih kecil untuk memberikan fiksasi
maxillomandibular (MMF) antara loop Ivy.
10
pada salah satu ujung rahang yang perlu direduksi sesuai dengan lengkungan rahang
sebelum dipasang fiksasi intermaksilaris
2. Reposisi terbuka
Indikasi reposisi terbuka di antaranya:
11
Gambar 7. Insisi retromandibular
Adapun material yang bisa digunakan pada reposisi terbuka diantaranya wire, wire
mesh, plat dan screw, dll.
Wiring (kawat)
Kawat dibuat seperti mata, kemudian mata tadi dipasang disekitar dua buah gigi atau
geraham dirahang atas ataupun bawah. Rahang bawah yang patah difiksasi pada
rahang atas melalui mata di kawat atas dan bawah. Jika perlu ikatan kawat ini
dipasang di berbagai tempat untuk memperoleh fiksasi yang kuat.
Plating
Pemasangan plat bertujuan untuk memberi tahanan pada daerah fraktur, sehingga
dapat menyatukan bagian fraktur dengan alveolus superior. Setelah plat tepasang,
maka tidak dibutuhkan lagi fiksasi maksila. Dengan catatan pemasangan screw pada
plat tidak dengan penekanan yang terlalu kuat. Karena dengan pemasangan screw
yang terlalu kuat akan mengkibatkan terjadinya kesulitan pada saat pelepasan, oleh
karena itu, pemasangan dengan teknik yang tidak terlalu menekan lebih dipilih dalam
pemasangan plat pada fraktur mandibula.
12
E. Komplikasi
Komplikasi setelah dilakukannya perbaikan pada fraktur mandibula umumnya
jarang terjadi. Komplikasi yang paling umum terjadi pada fraktur mandibula adalah infeksi
atau osteomyelitis, yang nantinya dapat menyebabkan berbagai kemungkinan komplikasi
lainnya. Tulang mandibula merupakan daerah yang paling sering mengalami gangguan
penyembuhan fraktur baik itu malunion ataupun non-union, hal ini akan memberi keluhan
berupa rasa sakit dan tidak nyaman (discomfort) yang berkepanjangan pada sendi
rahang (Temporo mandibular joint) oleh karena perubahan posisi dan ketidakstabilan antara
sendi rahang kiri dan kanan. Hal ini tidak hanya berdampak pada sendi tetapi otot-otot
pengunyahan dan otot sekitar wajah juga dapat memberikan respon nyeri (myofascial
pain) Terlebih jika pasien mengkompensasikan atau memaksakan mengunyah dalam
hubungan oklusi yang tidak normal. Kondisi inilah yang banyak dikeluhkan oleh
pasien patah rahang yang tidak dilakukan perbaikan atau penanganan secara adekuat.
Ada beberapa faktor risiko yang secara spesifik berhubungan dengan fraktur mandibula
dan berpotensi untuk menimbulkan terjadinya malunion ataupun non-union. Faktor
risiko yang paling besar adalah infeksi, kemudian aposisi yang kurang baik, kurangnya
imobilisasi segmen fraktur, adanya benda asing, tarikan otot yang tidak menguntungkan
pada segmen fraktur. Malunion yang berat pada mandibula akan mengakibatkan
asimetri wajah dan dapat juga disertai gangguan fungsi. Kelainan-kelainan ini dapat
diperbaiki dengan melakukan perencanaan osteotomi secara tepat untuk merekonstruksi
bentuk lengkung mandibula.
2.4.1 Definisi
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum ialah
suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi akibat
induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat
anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP
13
secara reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi
umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena. Obat anastesi umum yang
diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap) yang terpenting di
antaranya adalah N2O, halotan, enfluran, metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi
alkaloid lain dan molekul sejenis, dan beberapa obat khusus seperti ketamin.1
membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien
kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan
ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena
penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan hipertensi
sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan febris.
ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang
ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung
mengancam kehiduannya.
ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau
tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena
ruptura hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
14
Anastesi seimbang, suatu kombinasi obat-obatan, sering dipakai dalam anastesi
Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi atau eksitasi
kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil,
sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan
yang tidak menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah,
ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe
palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-
abdominal dan bola mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot
15
perut. Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke
tengah dan otot perut relaksasi. Stadium III dibagi dalam 4 plana:
Plana 1: Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan
bola mata yang tidak menurut kehendak pupil miosis, refleks cahaya ada,
lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada dan belum tercapai
midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks
Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,
lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum
tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).
Plana 4: Pernapasan tidat teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total,
pupil sangat midriasis; refleks cahaya hilang, refleks sfingter ani dan kelenjar air
mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat menurun).
paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran
16
kesadaran. Sulit untuk bicara; indra
induksi
induksi singkat.
ventilasi
Sifat anestesi umum yang ideal adalah: (1) bekerja cepat, induksi dan
pemilihan baik, (2) cepat mencapai anestesi yang dalam, (3) batas keamanan lebar; (4)
tidak bersifat toksis. Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang secara langsung
mencapai kadar yang tinggi di SSP (obat intravena) atau tekanan parsial yang tinggi di
17
SSP (obat ihalasi). Kecepatan induksi dan pemulihan bergantung pada kadar dan
pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan
bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan
a) Penilaian pra-bedah
1) Anamnesis
gatal, atau sesak napas pasca bedah sehingga dapat dirancang anestesi
18
2) Pemeriksaan fisik
umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi, dan
3) Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium dilakukan atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
leukosit, masa perdarahan, dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia
pasien di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
agar pasien dalam keadaan bugar. Sebaliknya pada operasi sito, penundaan
anestesi karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek
samping pembedahan.
19
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat sehingga aktivitas
rutin terbatas.
5) Masukan oral
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko
tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8
jam, anak kecil 4-6 jam, dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tidak berlemak
manis sampai 3 jam, dan untuk keperluan minum obat air putih dalam
b) Premedikasi
premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi dengan tujuan
20
1) Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
a. Kunjungan pre-anestesi.
c) Membuat amnesia.
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam, secara
darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat
diberikan secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Jika
21
atropin dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian secara perlahan-
1) Analgesik narkotik
2) Hipnotik
3) Sedatif
4) Antikolinergik
mg/kgBB
5) Neuroleptik
a. Induksi anestesi1,2,7
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar
22
dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuskuler, atau rektal. Setelah pasien
S: Scope - Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop pilih
bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup
terang.
T: Tube - Pipa trakea pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5
A: Airway - Pipa mulut faring (guedel, oro-tracheal airway) atau pipa hidung-faring
(naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar
T: Tape - Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I: Introducer - Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel)yang mudah
a. Induksi intravena
23
nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen.
aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intrakranial, dan diduga dapat
analgesik.
Kontra Indikasi:
nafas
4) Penyakit jantung
5) Penyakit hati
yang baik.
24
Propofol (diprivan, recofol)
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi
intravena total 4-12 mg/kg/jam, dan dosis sedasi untuk perawatan intensif
dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil. Mekanisme
kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui, tapi diperkirakan efek
Acid).
Ketamin (ketalar)
mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuskuler 3-10 mg.
25
Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), 5%
b. Induksi intramuskuler
intramuskuler dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
c. Induksi inhalasi
Berbentuk gas, tidak berwarna, bau manis, tidak iritasi, tidak terbakar,
dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%.
Bersifat anastetik lemah dan analgesi kuat sehingga sering digunakan untuk
digunakan tunggal, sering dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain
seperti halotan.
Halotan (fluotan)
pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2
26
> 4 ltr/mnt atau campuran N2O:O2 = 3:1. Aliran > 4 ltr/mnt. Kalau pasien
darah.
Enfluran
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif
disbanding halotan. Depresi sirkulasi lebih kuat dibanding halotan tetapi lebih
jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik
dibanding halotan.
aliran darah otak dan tekanan intrakranial dapat dikurangi dengan teknik
otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal sehingga
digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien
Desfluran (suprane)
27
seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas sehingga tidak
Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya
tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk
Obat anestesi diserap lewat mukosa rectum kedalam darah dan selanjutnya
terutama pada bayi-bayi dan anak kecil. Juga dipakai sebagai induksi narkose
Syaratnya adalah:
28
2.4.5. Komplikasi Anestesi dan Bahaya Anestesi2
tindakan anestesi sendiri dan atau kondisi pasien. Komplikasi segera dapat timbul pada
Komplikasi anestesi dapat berakhir dengan kematian atau tidak diduga walaupun
tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik. Secara umum komplikasi anestesi
1. Kerusakan Fisik
Kerusakan fisik yang dapat terjadi sebagai komplikasi anestesi antara lain:
a. Pembuluh Darah
b. Intubasi
Kerusakan sering terjadi pada bibir dan gusi akibat intubasi trachea oleh
orang yang tidak berpengalaman. Kerusakan gigi geligi akan terjadi lebih
serius jika disertai kemungkinan inhalasi fragmen yang diikuti oleh abses paru.
29
membentuk saluran di bawah mukosa hidung, intubasi hidung sering
memfraktura concha. Kerusakan pada struktur tonsila dan larynx (terutama pita
c. Saraf Superfisialis
paralisis dan kehilangan sensasi dalam tangan serta nervus radialis sewaktu ia
brachialis dapat dirusak dengan meregangnya di atas caput humeri, jika lengan
2. Pernapasan
Yang paling ditakuti oleh para pekerja anestesi adalah obstruksi saluran
pernapasan akut selama atau segera setelah induksi anestesi. Spasme Larynx
dan penahanan napas dapat sulit dibedakan serta dapat timbul sebagai respon
oleh uap anestesi iritan atau materi asing yang mencakup sekresi dan
kandungan asam lambung. Intubasi yang gagal dapat menjadi mimpi buruk,
30
bila mungkin terjadi aspirasi lambung, seperti pasien obstetri dan kedaruratan
yang tidak adekuat, depresi sentral dengan opioid dan zat anestesi, hambatan
batuk dan ventilasi alveolus yang tak adekuat sekunder terhadap nyeri luka
pemberian oksigen.2
3. Kardiovaskuler
tekanan darah systole kurang dari 70 mmHg atau turun lebih dari 25% dari
tidak adekuat, batuk, penyakit hipertensi yang tidak diterapi, dan ventilasi yang
31
4. Hati
virus Hepatitis A aktif dalam populasi umum mungkin jauh lebih lazim, yang
diperkirakan sekitar 100–400 per sejuta pada suatu waktu. Mungkin bahwa zat
5. Suhu tubuh
terutama dengan pemaparan vesera, bisa timbul hipotermi yang parah, yang
penyebab pada mulanya tidak berarti, tetapi jika bahaya tersebut tidak
diperhatikan sama sekali, atau tidak diatasi dengan baik, maka bencana dapat
terjadi. Bahaya lain mungkin tidak berbahaya tetapi merupakan sumber utama
32
a. Bahaya anestesi yang dapat mematikan
jantung yang saling terkait, pada kedua kasus kematian dapat disebabkan oleh
gangguan penyediaan oksigen otak dan /atau jantung baik primer (yang
terhentinya sirkulasi setelah henti jantung). Bahaya lain akibat anestesi yang dapat
mematikan karena anestesi adalah anafilaksis akut karena obat yang digunakan
Hipoksia atau anoksia terjadi selama anestesi akibat. Keadaan seperti ini
dapat terjadi pada semua titik mulai dari sumber penyediaan oksigen, mesin
anestesi, saluran pernapasan atas dan bawah, paru–paru, pembuluh darah utama
sampai kapiler, dan akhirnya sampai kepada pemindahan oksigen ke dan dalam
sel. Sebagian sel akan pulih dari hipoksia atau bahkan anoksia yang berlangsung
dalam beberapa menit, tetapi pada otak akan terjadi kerusakan yang irreversibel
setelah 4–6 menit kekurangan oksigen, demikian juga yang terjadi jika jantung
33
BAB III
LAPORAN KASUS
34
3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita sakit seperti pasien
- Riwayat Diabetes Mellitus : Disangkal
- Riwayat Asma : Disangkal
- Riwayat Jantung : Disangkal
- Riwyata Hipertensi : Disangkal
3.2.5 Riwayat Alergi
- Riwayat Alergi Makanan : Disangkal
- Riwayat Alergi Minuman : Disangkal
- Riwayat Alergi Obat : Disangkal
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum: tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tanda-tanda Vital
Nadi : 92x/menit
Respirasi : 21x/menit
Suhu badan : 36.70C
35
Jantung : BJ I & II murni regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Datar, bising usus (+) normal, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat, edema -/-/-/-, CRT < 2”.
Status neurologis
Nn. Cranialis : Tidak ada kelainan
Motorik : 5/5/5/5
Sensorik : Tidak ada kelaianan
Pemeriksaan Penunjang
36
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Satuan
Rujukan
(Kimia Darah)
Konsultasi Terkait
37
BB/TB : 80 Kg / 169 Cm
TTV di Ruang Nadi: 91x/m, reguler, kuat angkat, terisi penuh;
:
Operasi respirasi: 20x / menit; suhu badan:36,5 oC
SpO2 : 99%
Diagnosa Pra
Bedah : Fraktur mandibular segmental
Airway:
38
Bunyi jantung I-II, regular,
Auskultasi :
murmur(-), gallop (-)
Compos Mentis, GCS:E4V5M6 =
15,
Riwayat kejang (-), riwayat pingsan
(-),
B3 : Kesadaran :
Nyeri kepala (-), pandangan kabur
(-),
Pupil: bulat, isokor, ϴ ODS 3 mm,
refleks cahaya (+/+)
a) Laporan Anestesi
39
Anestesi dengan : Sevoflurance + O2
Premedikasi
Preoksigenasi ±5menit
Teknik Anestesi : Intubasi: dengan NTT cuff (+)
Induksi
Medikasi
Terkontrol
Pernafasan :
Posisi : Supine
Sedacum 5 mg
Premedikasi : Fentanyl 50 mg
Petidine 40 mg
- Recofol 50 mg
- Tramus 20 mg
- Recofol 150 mg
Medikasi Durante Operasi : - Dexamethasone 5 mg
- Ondansentron 4 mg
- Tramus 10 mg
- Ranitidin 50 mg
40
Perfusi: dingin, kering, merah
CRT<3”
Tanda-tanda vital pada akhir
: Nadi: 65x/m
pembedahan
RR: 22x/m
160
140
120
100
80
Nadi
60
40
20
0
12.4
12.5
12.1
12.2
12.3
13.1
13.2
13.3
13.4
13.5
14.1
14.2
14.3
14.4
14.5
13
12
14
15
(Waktu)
41
3.8 Terapi Cairan
Kebutuhan cairan untuk pengganti puasa 16
jam:
2133,28 cc - 2666,72 cc
42
Input:
Durante Kebutuhan cairan durante operasi 2 jam 15 menit
Operasi (135 menit) RL 1000 cc
Maintanance
Output:
Kebutuhan cairan per jam 133,33 cc – 166,67 cc /
jam IWL: 1200 CC
/ 24 jam
Untuk 15 menit = x 133,33 – 166,67cc/jam
Perdarahan: ±
= 33 cc – 41 cc/15 menit 30 cc
= 299,66 cc – 374,34 cc
Replacement
Estimated Blood Volume (EBV):
70xkgBb
= 70x80 = 5600 cc
10% = 560 cc
20% = 1120 cc
30 % = 1680 cc
= 480 cc /jam
= x 480
= 600 cc
43
Total Kebutuhan Cairan Durante Operasi :
= (299,66 cc – 374,34 cc) +
Balance Cairan: Input - Ouput Selama Pre Operasi hingga Durante Operasi:
Input: Pre Operasi (RL: 500 cc) + Durante Operasi (RL 1000 cc)
Output: Pre Operasi ( IWL 1200cc) + Durante Operasi (Perdarahan 30 cc )
= 1500 cc – 1230 cc
= +270 cc
40 cc x 80 kg = 3200 cc / hari
44
Nadi 89x/m, kuat angkat, regular
BJ: I-II murni regular, murmur (-), galop (-).
B3 : Pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm, pigsan (-),kejang (-)
B4 : DC (+), produksi urin(+), warna kuning jernih.
B5 : Abdomen supel, datar , BU (+) normal
Uterus (-), kontraksi (-)
B6 : Fraktur (-), edema (-), motorik aktif
45
Suara napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-, RR: 22 x/m.
B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill Time < 2 detik,
Nadi 70x/m, kuat angkat, regular
BJ: I-II murni regular, murmur (-), galop (-).
B3 : Pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm, pigsan (-),kejang (-)
B4 : DC (-), BAK(+)
B5 : Abdomen supel, datar , BU (+) normal
B6 : Fraktur (-), edema (-), motorik aktif
Aff Infus
P
Cefixime 2 x 100 mg (po)
Asam mefenamat 3 x 500 mg (po)
Ranitidine 2 x 50 mg (po)
Betadine kumur
Pasien boleh pulang
46
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki berusia 21 tahun , Pasien rujukan dari RSDH dengan diagnosa fraktur
mandibular segmental. Awalnya pasien mengalami kecelakan saat mengendarai motor dalam
keadaan dibawah pengaruh alcohol. Setelah mengalami kecelakaan pasien pingsan dan tidak
dapat mengingat detail saat kejadian terjadi. Pasien terbangun saat sudah dibawa oleh warga ke
RSDH. Mual (-), muntah (-). Riwayat penyakit dahulu seperti asma, alergi obat, DM, hipertensi,
penyakit jantung dan malaria disangkal. Riwayat penyakit turunan pada keluarga seperti asma,
alergi, DM dan hipertensi juga disangkal. Dari hasil pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan
bermakna yang dapat mengganggu proses anestesi, pasien digolongkan dalam kategori
Mallampati 1.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah darah lengkap, dan kimia darah. Hasil
pemeriksaan darah di dapatkan Hb pasein 10,8 gr/dL, yang menunjukan pasien mengalami
anemia ringan. Anemia sendiri didefinisikan sebagai berkurangnya 1 atau lebih parameter sel
darah merah: konsentrasi hemoglobin, hematokrit dan jumlah sel darah merah. Anemia pada
pasien dapat disebabkan oleh perdarahan akibat mioma uteri. Anemia dapat terjadi akibat
perdarahan abnormal uterus yang menjadi manisfestasi klinis utama dari mioma. Jika terjadi
kronis maka dapat mengakibatkan anemia defisiensi besi. Bagaimanapun, transpor oksigen tidak
terganggu oleh anemia relatif ini, karena tubuh akan memberikan kompensasi dengan cara
meningkatkan curah jantung, peningkatan PaO2, dan denyut jantung. Sementara peran anestesi
penting untuk memastikan bahwa organ menerima oksigen yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme selama prosedur bedah berlangsung. Penentu transport oksigen
termasuk diantaranya ialah pertukaran gas di paru, afinitas Hb-O2, konsentrasi total Hb, dan
cardiac output. Seluruhnya bekerja dalam satu sistem dan menyediakan kapasitas oksigen yang
adekuat. Apabila ada penurunan pada satu komponen di atas, maka menyebakan komponen lain
terpengaruh. Dari komponen tersebut, hemoglobin merupakan komponen yang dapat
dimanipulasi sehingga dapat meningkatkan transport oksigen.
Pada kasus ini, operasi dilakukan dengan general anestesi. Keuntungan general
anastesi adalah (1) bekerja cepat, induksi dan pemilihan baik, (2) cepat mencapai anestesi yang
dalam, (3) batas keamanan lebar; (4) tidak bersifat toksis. Pasien tidak mempunyai riwayat
47
penyakit asma, alergi, dan tidak adanya upper respiratory infection. Pasien berpuasa sekitar 8
jam sebelum pembedahan. Regurgitasi isi lambung merupakan risiko utama pada pasien-pasien
yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan
untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama
periode tertentu sebelum induksi anestesi.
Pada kasus ini, klasifikasi status penderita digolongkan dalam PS ASA II, karena pasien
merupakan pasien bedah dengan co-morbid anemia ringan. Indikasi operasi pasien adalah
Fraktur mandibular segmental.
Medikasi prabedah pada pasien ini adalah cairan Ringer Laktat 500 cc. Pemberian cairan
RL 500 cc secara intravena sebelum anestesi spinal dapat menurunkan insidensi hipotensi.
Pembedahan dengan anestesi memerlukan puasa, sehingga terapi cairan parenteral diperlukan
untuk mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi dan
mengganti cairan pindah ke ruang ketiga.
Pada kasus diatas penggunaan jenis anastesi yang digunakan adalah general anestesi
Pemilihan general anasthesia sebagai teknik anastesi pada pasien ini berdasarkan pertimbangan
bahwa pasien akan menjalani operasi pemasangan ORIF Plate IDW yang diperkirakan
membutuhkan waktu yang lama yang diperkirakan lebih dari 2 jam. Juga memungkinakan untuk
relaksasi otot dalam jangka waktu lama, memfasilitasi kontrol sempurna jalan napas, pernafasan
dan sirkulasi, mudah disesuaikan dengan prosedur operasi yang tidak diketahui luas dan
durasinya, serta bekerja cepat dan bersifat reversibel.
Dilakukan Preparation, dengan mempersiapkan obat-obat anastesi umum, pasien
diposisikan supine, Untuk Premedikasi, diberikan fentanyl 50 μg, sedacum 50 mg dan petidin 40
mg sebagai induksi analgesik awal, namun perlu dimonitor efek depresi nafas yang mungkin
terjadi. selanjutnya dilakukan preoxygenation, yaitu dengan cara memberi oksigen 100% via
NRBM (Non-rebreathing mask) dalam waktu 5 menit agar menggantikan nitrogen yang terdapat
dalam udara ruang pada functional residual capacity (FRC).
Setelah itu dilakukan paralysis with induction, yaitu dengan memberikan Recofol 50 mg
bolus secara titrasi. Mekanisme induksi general anastesi dengan propofol melibatkan fasilitasi
dari inhibisi neurotransmitter yang dimediasi oleh GABA. Pada general anestesi dibutuhkan
kadar obat anestesi yag adekuat yang bisa dicapai dengan cepat di otak dan perlu dipertahankan
kadarnya selama waktu yang dibutuhkan untuk operasi. Pada kasus ini maintenance anestesi
48
diberikan dengan anestesi inhalasi. Obat yang digunakan adalah sevoflurane. Monitoring juga
diperhatikan selama operasi meliputi frekuensi napas, heart rate, warna membran mukosa, pulse
oxymetry, saturasi dan tekanan darah. Pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen
pasien tidak pernah <96%, tekanan darah dalam batas normal.
Kegunaan klinis utama pelumpuh otot ialah sebagai adjuvan dalam anastesia untuk
mendapatkan relaksasi otot rangka sehingga manipulasi bedah lebih dapat dilakukan. Pada kasus
ini, muscle relaxan yang digunakan adalah Tramus 20 mg.Pada kasus ini, pemberian muscle
relaxan diulang setelah kurang lebih 35 menit setelah pemberian yang pertama karena operasi
masih dalam proses, sehingga intubasi tetap dipertahankan agar ventilasi terkontrol. Sebelum
ekstubasi, pada pasien dilihat orientasi, bernapas spontan, mampu mempertahankan airway, dan
tidak ada komplikasi operasi seperti perdarahan aktif.
Critical Point pada kasus: apa saja yang harus diperhatikan selama perioperatif ?
Problem Actual Potensial Antisipasi
List
B1 Airway bebas, Mallampati Aspirasi oleh sekresi O2 nasal atau
score: II ; gigi tanggal (-) saliva, masker sesuai
Breathing: thorax simetris, ikut ‘jatuhnya’pangkal saturasi O2, chin
gerak napas, RR:27x/m, lidah. lift, suction bila
palpasi: Vocal Fremitus D=S, perlu
perkusi: sonor, suara napas
vesikuler +/+, ronkhi-/-,
wheezing -/-
B2 Perfusi: hangat, kering, merah. Hipovolemik, Resusitasi
Capilary Refill Time < 2 detik, Overload, cairan,
BJ: I-II regular, murmur (-) Bradikardia, monitoring vital
gallop (-) Nadi : 131 x/m sign
49
B4 Tidak Terpasang DC, produksi Retensi urin Rehidrasi,
urin (+), warna kuning tua Monitoring
produksi urin
B5 cembung, supel , BU 2x/15 Risiko refluks Pemberian
Detik, regio epigastrium, gastroesofageal saat Ranitidin dan
hypocondriach dextra operasi. Ondansentron
sinistra;SGPT 12,6 SGOT;22,6
GDS : 91 mg/dl
B6 Akral hangat (+), edema (-), Posisikan pasien
fraktur (-), deformitas (-) dengan tepat
Selain penentuan pemilihan anestesi pada pasien ini, juga dipertimbangkan mengenai
terapi cairan selama masa perioperatif.Terapi cairan sendiri merupakan tindakan untuk
memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid
atau kolid secara intravena.
50
133,33 cc – 166,67 cc / jam
Kebutuhan cairan untuk pengganti puasa 16
jam:
2133,28 cc - 2666,72 cc
Input:
Durante Kebutuhan cairan durante operasi 2 jam 15 menit
Operasi (135 menit) RL 1000 cc
Maintanance
Output:
Kebutuhan cairan per jam 133,33 cc – 166,67 cc /
jam IWL: 1200 CC
/ 24 jam
Untuk 15 menit = x 133,33 – 166,67cc/jam
Perdarahan: ±
= 33 cc – 41 cc/15 menit 30 cc
= 299,66 cc – 374,34 cc
Replacement
Estimated Blood Volume (EBV):
70xkgBb
= 70x80 = 5600 cc
10% = 560 cc
20% = 1120 cc
30 % = 1680 cc
51
hilang selama operasi dihitung dari ;
= 480 cc /jam
= x 480
= 600 cc
Balance Cairan: Input - Ouput Selama Pre Operasi hingga Durante Operasi:
Input: Pre Operasi (RL: 500 cc) + Durante Operasi (RL 1000 cc)
Output: Pre Operasi ( IWL 1200cc) + Durante Operasi (Perdarahan 30 cc )
= 1500 cc – 1230 cc
= +270 cc
40 cc x 80 kg = 3200 cc / hari
52
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Pada pemeriksaan fisik pasien termasuk dalam PS ASA II, yaitu pasien bedah dengan
co-morbid anemia ringan tanpa adanya kelainan sistemik berat lainya.
2. Anemia ringan pada pasien merupakan anemia fisiologis akibat hemodilusi selama
kehamilan dan masih dapat dikompensasi oleh tubuh.
3. Teknik anestesi yang baik pada pasien dinilai sudah tepat dengan mempertimbangkan
keselamatan dan kenyamanan pasien.
4. Sevofluran dipilih sebagai obat anestesi karena hemodinamik yang tetap stabil selama
anestesi dan waktu pemulihan yang cepat
5. Critical point pada pasien adalah Aspirasi, jatuhnya pangkal lidah,
hypoksia,hipovolemik,bradikardi,penurunan kesadaran,retensi urin dan resiko refluks
gastroesofageal saat operasi.
6. Terapi cairan pre-operasi dan durante operasi di nilai sudah tepat sesuai dengan
kebutuhan cairan pasien.
5.2 Saran
Penatalaksanaan anestesi perlu dilakukan dengan baik mulai dari persiapan pre
anestesi, tindakan anestesi hingga observasi post operasi, terutama menyangkut resusitasi
cairan yang akan sangat mempengaruhi kestabilan hemodinamik perioperative dan penting
untuk memperhatikan vital sign ketika pemberian obat-obatan anestesi, sehingga bila
pasien tidak stabil dapat segera diperbaiki.
53