Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
ANALISIS KASUS
Tn. CKBS, 40 tahun, penderita datang dengan keluhan utama kelemahan sisi
tubuh sebelah kiri. Sejak ± 1 hari SMRS saat sedang aktivitas tiba – tiba penderita
mengalami kelemahan pada sisi tubuh kiri, saat serangan sakit kepala (+), muntah
(+), kejang (-), penurunan kesadaran (-), mulut mengot (+) ke kanan, bicara pelo (+).
Riwayat hipertensi (+) sejak 2-3 tahun yang lalu , tidak kontrol teratur. Riwayat DM
(-), riwayat stroke (-). Penderita mengalami penyakit seperti ini untuk pertama
kalinya.
Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan tampak sakit sedang dengan
kesadaran compos mentis (GCS 15), tekanan darah 150/90 mmHg, nadi 88x/menit,
pernapasan 20x/menit, suhu 36,80C. Pada pemeriksaan neurologi, ditemukan plica
nasolabialis kiri datar dan sudut mulut kiri tertinggal pada pemeriksaan nervus
craniales VII (N. Facialis), serta didapatkan juga adanya disartria pada pemeriksaan
nervus craniales XII (N. Hypoglossus). Selain itu, pada pemeriksaan motorik, pada
ekstremitas sinistra terdapatnya gerakan kurang aktif, kekuatan 3, tonus meningkat,
dan refleks fisiologis pada lengan dan tungkai kiri juga meningkat. Sedangkan pada
ekstremitas bagian dekstra masih dalam batas normal. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan penurunan hemoglobin dan pada hasil CT Scan kepala
kesan terdapat perdarahan intraparenkim di basal ganglia dekstra.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan keluhan/gejala
berupa defisit neurologis tubuh bagian kiri, disatria, plica nasolabialis kiri datar, serta
sudut mulut kiri tertinggal disertai faktor risiko terjadinya stroke pada penderita yaitu
usia tua dan hipertensi tak terkontrol. Kemudian dilakukan pemeriksaan penunjang
berupa CT scan untuk memperkuat diagnosa, didapatkan perdarahan intraparenkim
di bangsal ganglia kanan. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang,
pasien ini didiagnosa “hemiparese sinistra tipe spastik dengan parese N. VII dan XII
sinistra tipe sentral e.c stroke hemorragik”.
Berdasarkan tipe stroke, penderita dapat dikategorikan sebagai stroke
hemoragik dengan faktor risiko usia tua, hipertensi tidak terkontrol, penderita juga
ditemukan adanya manifestasi berupa kelumpuhan anggota gerak dan kelumpuhan
wajah sebelah kiri,disatria, disertai mual muntah dan nyeri kepala hebat.
Penderita hemiparese aktivitas sehari-harinya telah berkurang yang
disebabkan oleh kelumpuhan separuh badan, untuk ini penderita kesulitan melakukan
activity daily living (ADL). Keadaan ini akan mengubah pola keserasian hidup dari
penderita dan keluarga penderita, karena penderita akan banyak tergantung pada
orang lain.
Program rehabilitasi pada penderita hemiparese sangat penting. Beberapa
program rehabilitasi medik pada penderita hemiparese telah dikemukakan oleh
berbagai penemunya, masing-masing dengan dasar teori yang berbeda yaitu ada dua
bagian:
1. Rehabilitasi kompensatori
Suatu program latihan rehabilitasi dimana pengobatan/latihannya
lebih ditekankan kepada pengambilan alih fungsi anggota yang lumpuh oleh
anggota gerak yang sehat.Latihan ini berfungsi untuk penguatan otot-otot dan
mempertahankan luas gerak sendi pada sisi yang lumpuh. Kelemahan sistem
ini adalah mengabaikan potensi-potensi yang ada pada sisi yang lumpuh serta
spastisitas menjadi lebih kuat disebabkan “reaksi ikutan” yang ditimbulkan
oleh sisi unilateral yang sehat.
2. Rehabilitasi developmental
Yaitu rehabilitasi pengembangan yang memusatkan perhatian kepada
perkembangan potensi fungsional di sisi yang lumpuh sejak dini dan masa
akut. Dengan cara Neuromuskular Facilitation Exercise, misalnya metode
Bobath, Rood dan Proprioseptive Neuromuscular Facilitation. Pada
penderita dengan hemiparese timbul refleks postural abnormal (reflek
primitif) yang menyebabkan timbulnya koordinasi dan tonus yang abnormal,
hilangnya keseimbangan pada sisi yang lumpuh, timbulnya gangguan motorik
yang menghambat gerakan, timbulnya spastisitas otot dan hilangnya gerakan
bebas.
Program rehabilitasi medik penderita hemiparese sebaiknya dimulai sedini
mungkin. Latihan ini adalah berupa latihan aktif pasif, latihan sendi dan positioning,
bridging dan rolling. Tujuan dari latihan ini adalah mencegah spastisitas terutama
posisi pasien yaitu posisi antispastik. Penanganan mutakhir spastisitas meliputi
perawatan yang baik dan modalitas fisik. Modalitas fisik terdiri dari latihan
terapeutik, terapi dingin, terapi panas, stimulasi listrik, bio feedback, vibrasi,
peregangan yang dipertahankan, traksi, tekanan, inverse, goyangan ringan,
penyangga berat badan, mobilitas sendi, massage, laser, akupuntur, splinting, dan
casting.
Program rehabilitasi medik pada penderita ini meliputi fisioterapi yakni sinar
infra red (IRR). Infra Red Radiation (IRR) dilakukan karena terapi panas memiliki
efek fisiologis berupa memperbaiki sirkulasi arteri dan vena, meningkatkan
metabolisme, memperbaiki nutrisi jaringan, mengurangi spasme otot, menghilangkan
rasa sakit, meningkatkan difusi jaringan, meningkatkan ekstensibilitas tendon,
mengurangi aktifitas aferen fusimotor serta meningkatkan elastisitas jaringan yang
mana semua efek tersebut baik untuk pemulihan pada pasien ini. IRR dilakukan agar
terjadi perbaikan aliran darah ke perifer (otot) serta dapat mencetuskan stimulasi
listrik. Kemudian dilakukan terapi latihan berupa ROM exercise aktif dan pasif
strengthening exercise otot yang lemah, tujuannya adalah agar gerakan pada
persendian baik secara aktif, mengurangi spastisitas sehingga memungkinkan
gerakan yang normal, dan memperkuat otot yang lemah serta latihan Bobath untuk
melatih postural yang normal dan keseimbangan. Penderita juga diberikan terapi
okupasi berupa ADL exercise yaitu latihan keseimbangan yang dimulai dengan
keseimbangan saat duduk, berdiri, dan saat berjalan. Saat pasien sudah dapat berjalan
dengan seimbang, penderita diperkenalkan dengan program ADL, seperti latihan
mobilisasi (latihan berpindah tempat dari tempat tidur menuju ke kursi), latihan
fungsi tangan untuk gerakan motorik halus dan koordinasi (latihan tata cara makan,
memakai baju, dll), terapi wicara diberikan untuk mengatasi distaria dengan melatih
artikulasi penderita dalam mengucapkan kata-kata. Pemberian edukasi pada
penderita juga diperlukan yaitu dengan memberikan edukasi dan bimbingan kepada
penderita untuk berobat dan berlatih secara teratur, memberikan edukasi dan evaluasi
terhadap lingkungan rumah agar sesuai dengan keamaan pasien saat ini untuk
membantu pasien menjalani aktivitas sehari-hari. Terapi medikamentosa yang
diberikan sesuai dengan perawatan di Bagian Neurologi yaitu Citicholin 2x500 mg
(PO), Omeprazole 1x200mg (PO), Amlodipin 1x10 mg (PO), Candesartan 1x8mg
(PO), Neurodex 1x1tab (PO).
Untuk evaluasi dari perkembangan klinis dan fungsional digunakan indeks
Barthel. Indeks ini akan dinilai tiap minggu ataupun tiap bulan sehingga diharapkan
perkembangan klinis dan fungsional dari pasien dapat dipantau secara kuantitatif.
Hasil indeks Barthel pada pasien ini adalah 55, yaitu ketergantungan sedang. Untuk
itu, diharapkan setelah terapi dilaksanakan, skor dari indeks Barthel penderita dapat
meningkat.