Вы находитесь на странице: 1из 4

Apa Saja Bisa Jatuh dari Langit

Karya Rifat Khan

Randuse paham betul, seseorang jika sudah menikah musti memiliki pekerjaan. Randuse
sudah memikirkan hal itu sejak jauh-jauh hari sebelum memutuskan menikah dengan Rasidah.
Randuse sering bermimpi tentang pekerjaan yang santai; memiliki toko besar, duduk di bangku kasir,
dan melihat karyawan mengangkut barang atau melayani pembeli. Itu pula sebabnya Randuse sering
beli togel Singapura berharap tembus empat angka ratusan lembar, namun selalu angka yang jatuh
jauh dari dugaan.

Rasidah sekarang sedang mengandung empat bulan, dan Randuse sama sekali sedang tak
punya penghasilan. Pernah seorang tetangganya yang bernama Sirin mengajaknya bekerja sebagai
tukang parkir di depan minimarket. Randuse menolak. Ia tak bisa membayangkan tubuhnya akan
terserang sinar matahari dari pagi sampai siang. Kulitnya akan gosong bahkan melepuh, dan pasti
ketampanannya akan susut. Randuse tak bisa membayangkan itu. Juga tawaran Kurnia Efendi,
teman SMA-nya yang pernah mengajaknya ikut ke Malaysia sebagai buruh sawit. Randuse ogah. Ia
tak kuat mengangkat beban yang berat, yang nanti juga akan membuatnya sering sakit di masa tua.
Tawaran Kurnia Efendi ia tolak mentah-mentah saat itu.

***

Pagi yang sedikit kuning, daun-daun jatuh di tepi jalan. Di warung Ibu Sadnah, Randuse
duduk termenung. Ia bersandar pada kursi kayu. Di meja, berbagai gorengan tersaji. Ada bakwan,
tahu isi, pisang goreng, dan lain sebagainya. Ibu Sadnah memandang Randuse dengan tatapan
hampa. Randuse melongo, lalu mengedipkan mata. "Kopi hitam, Bu!"

Bu Sadnah segera membuat segelas kopi hitam. Randuse masih bersandar. Kali ini
tatapannya kosong seperti menerawang jauh. Randuse teringat Rasidah. Ia juga memikirkan jika
Rasidah melahirkan, buat beli popok, beli susu, entah pakai apa nantinya. Randuse tak bisa
membayangkan itu. Apalagi, kemarin sore uang yang tersisa dua puluh ribu di dompet dipakai beli
togel dan selalu meleset.

Bu Sadnah meletakkan segelas kopi panas di depan Randuse. Perempuan paruh baya itu
melenguh dan mengembuskan napas lumayan panjang. Randuse tak menggubris. Malahan ia
kemudian merenung sembari menyesali segala takdir hidupnya. Sejak kecil hidup Randuse
memprihatinkan. Pada waktu bayi, Randuse ditemukan di bak sampah oleh seorang pemulung. Tak
ada yang tahu siapa bapak dan ibunya. Ia besar dan tumbuh dalam kemiskinan. Maka, setiap orang
yang bertanya, "Siapa Bapakmu?" atau, "Siapa Ibumu?" Randuse akan menjawab, "Tak ada, aku
jatuh dari langit di malam yang bersih saat Tuhan sedang tersenyum."

Biasanya yang bertanya akan geleng-geleng, lalu menggariskan telunjuk pada dahinya
sebagai tanda mereka menganggap Randuse gila. Hanya Rasidah dan Ibu Sadnah yang
memperlakukan Randuse dengan ramah. Termasuk, memberinya utang segelas kopi di pagi ini.
"Belum ada kerjaan ya?" Bu Sadnah tiba-tiba bertanya diakhiri dengan memberi senyum pada
Randuse.

"Belum ada. Kerjaan semuanya berat. Tak ada yang santai dan upah gede," Randuse menjawab
sembari menyeruput kopi tadi. Ibu Sadnah geleng-geleng.

***

Di rumah, Rasidah merengek. "Beras habis, Mas mau masak apa kita malam ini?" Suara
Rasidah seperti bunyi seng yang terkena rintik hujan sore itu. Otak Randuse membeku. Ia merasakan
syarafnya seperti putus sejenak mendengar rengekan Rasidah. Ia memilih bersandar pada kursi kayu
di ruang tengah. Memilih mengembuskan napas yang alangkah panjang.

"Jawab dong Mas," kembali Rasidah merengek. Suaranya masih seperti bunyi seng yang terkena
rintik hujan.

Randuse memilih diam. Sesaat ia beranjak. Mondar-mandir tak keruan. Sementara, Rasidah
duduk syahdu di pojok kamar. Randuse memilih keluar, dan ia terperangah. Di depan pintu,
sekarung beras ia temukan. Ia tersenyum girang. Ia mengangkut sekarung beras itu, dan tersenyum
sumringah pada Rasidah.

"Beras dari mana ini?" tanya Rasidah.

"Jangan tanya dari mana. Ini beras jatuh dari langit. Dikirim Tuhan. Bukankah segala sesuatu bisa
saja jatuh dari langit? Termasuk aku. Aku tak punya bapak. Tak punya ibu. Aku jatuh dari langit,"
jawab Randuse pasti. Sejak itu, Rasidah pun yakin Tuhan tak akan diam melihat hambanya yang
kesusahan.

"Sekarang kamu masak beras ini. Aku akan metik bayam di pekarangan. Kita bisa makan malam ini,"
Randuse mengatakan itu sambil bergegas keluar memetik bayam. Rasidah tersenyum.

***

Malam hari yang berwarna coklat keunguan, sehabis makan malam dengan bayam lodeh,
Rasidah angkat bicara, "Mas, besok Rasidah pengen makan ayam. Entah kenapa pengen banget
Mas."

Di telinga Randuse, suara Rasidah selalu saja terdengar seperti bunyi seng yang terkena
rintik hujan. Randuse memilih tak menjawab, dan mengembuskan napas yang lumayan panjang.

"Apakah ayam juga bisa jatuh dari langit, Mas?" kembali Rasidah bertanya sembari merapikan piring
yang kotor sehabis makan tadi.

Randuse hanya mengangguk. Keringat menetes dari keningnya. Di luar, gemuruh


menggelegar. Hujan tampak akan turun. Tapi, Randuse merasakan badannya sangat gerah, entah
sebab apa.

Besok paginya, saat membuka pintu, dua panggang ayam ia temukan persis di depan pintu.
Randuse tersenyum, dan mengambil panggang ayam itu. Rasidah dibangunkan. Aroma ayam itu
mengepung penciuman Rasidah. Rasidah tersenyum tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Ayam ini jatuh dari langit ya, Mas?"

Randuse hanya mengangguk. "Tuhan Maha Baik," syukur Rasidah dalam hati. Tapi, saat
setengah mengunyah ayam tadi, tiba-tiba Rasidah ngomong, "Jika ayam ini jatuh dari langit,
diturunkan Tuhan, siapa yang membantu Tuhan memanggangnya hingga enak begini?"

Mendengar pertanyaan Rasidah, sesaat Randuse melongo. Kemudian ia mencoba menjawab,


"Bukankah Tuhan Maha Segala...."

"Tapi, kan nggak ada yang bilang Tuhan Maha Memanggang Ayam," sanggah Rasidah. Randuse
memilih diam, dan mengembuskan napas panjang.

"Tapi, tak apa. Ayam ini enak," tambah Rasidah beberapa saat. Satu panggang ayam sudah habis
dilahapnya. Pagi tampak semakin bersih, langit menjadi biru, seekor anjing terdengar
menggonggong di kejauhan. Rasidah semakin lahap untuk menuntaskan satu panggang lagi.

***

Setiap hari, Rasidah selalu punya keinginan. Apa yang diinginkan itu pasti Randuse temukan
di depan pintu. Segalanya memang jatuh dari langit, pikir Randuse. Rasidah pernah ingin gelang
emas, pernah ingin makan semangka, pernah ingin punya baju kaos bertuliskan "The Beatles",
pernah juga ingin minum es cendol. Semuanya terpenuhi. Rumah tangga mereka tampak bahagia.
Randuse jarang termenung. Ia lebih sering tersenyum.

Kemarin sore, Rasidah menyampaikan keinginannya punya kucing rusia. Mendengar itu,
Randuse geleng-geleng. "Semoga tangan Tuhan sampai ke Rusia, dan mengambil seekor kucing
untuk kita." Jawaban Randuse menenangkan hati Rasidah, dan malamnya Rasidah memberi jatah
lebih di atas ranjang.

Paginya, seekor kucing mengeong di depan rumah. Randuse berlari membuka pintu diikuti
oleh Rasidah. Kucing rusia dengan bulu indah sudah ada di depan pintu. Rasidah tersenyum, dan
menggendong kucing itu. Rasidah membelainya dengan manja, dan segera memandikannya. Raut
bahagia terpancar dari wajah perempuan hamil itu.

Randuse menyempatkan diri mampir di warung Ibu Sadnah. Ibu Sadnah memandangnya
dengan dalam. "Kamu punya dukun ya? Aku dengar, istrimu punya gelang emas, juga punya kucing
yang harganya jutaan?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Ibu Sadnah. Randuse tak menyangka berita
itu dengan cepat tersebar.

"Segalanya pemberian Tuhan. Segalanya bisa saja jatuh dari langit. Jatuh dengan cepat melebihi
kecepatan cahaya jika Tuhan berkehendak," Randuse menjawab dengan bijak. Ibu Sadnah geleng-
geleng. Tiba-tiba tetangganya yang bernama Sirin datang.

"Bang, mau ikutan parkir? Aku butuh rekan kerja," Sirin bicara cepat.

Randuse menjawab, "Tidak."

"Kenapa, Bang? Sebentar lagi istri Abang melahirkan, Abang butuh pekerjaan," Sirin bicara lagi.
"Tuhan yang akan membantuku," jawab Randuse dengan santai. Sirin geleng-geleng, dan menggaris
telunjuknya di dahinya sendiri. Kemudian Sirin ke Ibu Sadnah memesan segelas teh dingin. Randuse
memandangnya dengan santai.

***

Jelang melahirkan, Rasidah memiliki banyak keinginan. Ia ingin popok yang banyak. Ia ingin
pakaian bayi yang lucu, ingin bantal bergambar boneka, ingin bak mandi untuk anaknya nanti. Ia juga
ingin gendongan bayi. Semuanya terwujud. Semua keinginan itu jatuh dari langit, dan Randuse
tinggal mengambilnya di depan pintu rumah.

Hari kelahiran anak mereka diperkirakan dua atau tiga hari lagi. Malam itu, hujan turun
deras. Rumah Randuse bocor di mana-mana. Rasidah mengeluh. Ia menyiapkan beberapa biji ember
untuk menampung air hujan yang jatuh akibat bocor.

"Mas, kali ini ada keinginan terbesarku. Aku ingin punya rumah yang gede, rumah yang bagus, agar
anak kita nanti nyaman."

Randuse tersentak mendengar Rasidah. Apa mungkin sebuah rumah dijatuhkan dari langit?
Randuse tak sabar menunggu datangnya pagi, dan segera ingin membuka pintu. Ia tak sabar ingin
melihat sebuah rumah yang besar. Ia memutuskan tidur lebih awal agar bisa bangun lebih pagi.

***

Pagi yang berwarna ungu, bunga-bunga mekar di halaman. Randuse membuka mata, dan
langsung bergegas berjalan untuk membuka pintu. Tangannya bergetar saat menarik pintu rumah. Ia
merasakan udara begitu hangat. Tak ada apa-apa di depan pintu. Ia menengadah ke langit. Langit
tiba-tiba gelap. Kemudian sebuah cahaya maha terang menerpa wajahnya. Ia melihat langit terbuka.
Sebuah lubang raksasa terlihat. Kemudian sebuah benda yang amat besar seperti keluar dari lubang
itu.

Randuse tersenyum. Ia yakin benda itu adalah sebuah rumah yang diinginkan Rasidah.
Benda besar itu jatuh perlahan dan terus mendekat. Randuse merasakan panas yang bukan
kepalang. Panas yang seribu kali lipat lebih panas dari api mana pun di bumi. Ia merasakan wajahnya
terbakar. Randuse berteriak kesakitan. Sembari takut ia mencoba berlari untuk menghindari benda
yang jatuh tadi. Benda itu adalah gumpalan api raksasa yang amat panas. Namun, sejauh apa pun
berlari, gumpalan api itu teramat besar dan tetap saja bisa menimpanya dan akan membakar
badannya habis tak bersisa.

Sumber: https://hot.detik.com/art/d-4171736/apa-saja-bisa-jatuh-dari-langit

Вам также может понравиться