Вы находитесь на странице: 1из 4

1.

Memperhatikan dampak lingkungan, bahan bakar mobil dan pelumas mendapat perhatian
untuk dicari yang terbarukan dan ramah lingkungan. Saat ini biolubricant minyak nabati
merupakan yang terbarukan dan biodegradable. Studi ini menyajikan potensi biolubricant
minyak sawit dan sifat-sifat biolubricant yang dibahas. Secara bersamaan, proses esterifikasi
dan transesterifikasi dilakukan sebagai tahap pertama. Dan tahap kedua, ester dan
transesterifikasi ini diterapkan dengan etilen glikol untuk menghasilkan biolubrikan. Katalis,
2% H2SO4 digunakan dengan 0,6% reaktan untuk metoksida. Proses pembuatan produk
biolubricant dibandingkan dengan tiga jenis (A, B dan C) produk: tipe A; proses esterifikasi
diperlukan untuk mengurangi kandungan asam lemak bebas pada suhu 130 oC dengan H2SO4
dan oktanol sebagai katalis homogen, tipe B; kombinasi proses esterikasi dan tranesterifikasi
dengan reaktan metanol menggunakan katalis H2SO4 pada 60-65 oC, dan tipe C; reaktor batch
dari proses esterikasi dan tranesterifikasi dengan reaktan metanol menggunakan katalis H2SO4
dan KOH, masing-masing. Percobaan dilakukan dalam sistem reaktor batch pada tekanan
ambient dalam suhu ruangan. Sifat pelumas utama produk biolubricant yang dianalisa seperti
viskositas kinetik, indeks viskositas, pour point, flash point dan stabilitas termal2.

Material
Palm oil (Oleen Co.,Ltd), analytical-grade reagents of ethylene glycol (Quality Reagent
Chemical Product), Asam sulfat 98 wt% (RCI Labscan), methanol (Merck KGaA), n-Octanol
(LOBAL Chemie) and Kalium hidroksida 98 wt% (RCI Labscan).

Experimen dan Prosedur


Metode yang digunakan untuk produksi biolubricant melibatkan dua tahap utama yaitu proses
esterifikasi dan transesterifikasi, tahap pertama menghasilkan ester minyak dan tahap kedua
ester ditransesterifikasikan dengan etilen glikol menghasilkan biolubricant. Jumlah katalis
yang digunakan 2% untuk H2SO4 dan 0,6% reaktan untuk katalis metoksida. Experimen ini
menggunakan 3 jenis tahapan yaitu Tipe A: digunakan proses esterifikasi untuk mengurangi
kadar asam lemak bebas pada suhu (130 oC) melalui H2SO4 dan oktanol sebagai katalis
homogen; Tipe B: kombinasi esterikasi dan proses tranesterifikasi dengan reaktan metanol
digunakan dengan katalis H2SO4 pada 60-65 oC; Tipe C: sistem batch dari proses esterikasi dan
tranesterifikasi dengan reaktan methanol dan katalis H2SO4 dan KOH, masing-masing. Produk
dari tahap awal dilakukan untuk menghasilkan biolubricant melalui proses transesterifikasi
dengan ethylene glycol menggunakan katalis metoksida. Keseluruhan percobaan dilakukan
dalam sistem reaktor batch pada suatu tekanan ambien. Distilat kelapa sawit yang sebagai
reaktan dalam hal ini disiapkan dengan pemanasan hingga 100 °C dan diaduk menggunakan
pengaduk magnet selama 30 menit untuk menyingkirkan air.

Metode analisa
Metode American Society for Testing and Materials (ASTM) digunakan untuk mempelajari
fisikokimia sifat minyak sawit dan biolubricant. Viskositas kinematic dari biolubricant
ditentukan menurut ASTM D 445 (ASTM Standards, 1995), yang merupakan karakteristik
penting minyak pelumas apa pun, yang mengukur ketahanan cairan mengalir di bawah gravitasi
pada suhu yang pasti. Viskositasnya dan indeks viskositas dihitung menggunakan metode
ASTM D 445-97 dan ASTM D 2270-93, masing-masing. Pour point biolubricant diukur
menggunakan prosedur tes berdasarkan ASTM D 97. Penentuan flash point dijalankan sesuai
dengan prosedur ASTM D 56-79.

Hasil dan pembahasan


Berikut adalah spesifikasi standar untuk pelumas.
 Karakteristik warna alkil ester

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu yang digunakan dalam menghilangkan


alkohol mempengaruhi pada warna ASTM dari alkil ester yang bergantung pada titik
didih alkohol, tetapi berat molekul dan struktur molekul alkohol tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap warna ASTM dari alkil ester. Warna-warna alkil
ester hampir gelap karena suhu dalam menghilangkan alkohol lebih dari 130 ° C dimana
warna ester alkil akan menjadi gelap. Hasil pada Tabel 2 menunjukkan bahwa warna
ASTM dari alkil ester yang dihasilkan.

 Flash point
Semakin tinggi jumlah karbon, semakin tinggi flash point. Nilai flash point yang tingg
menunjukkan bahwa ester yang dihasilkan memiliki potensi tinggi untuk produksi
pelumas (Arbain dan Salimon, 2011). Titik nyala substansi bervariasi sesuai dengan
tingkat viskositas kinematik; zat viskositas kinematik yang lebih tinggi cenderung titik
nyala lebih tinggi. Pengaruh berat molekul dan struktur molekul alkohol pada titik nyala
dan titik tuang alkil ester diilustrasikan pada Tabel 3. Titik tuang zat adalah suhu
terendah yang akan menuangkan aliran ketika didinginkan tanpa gangguan dalam
kondisi yang ditentukan.
 Kinematik viskositas dan index viskositas
Viskositas kinematik adalah sifat fisik yang paling penting dari pelumas base oil
(Sharma et al., 2008). Ini adalah indeks untuk menganalisis resistensi internal dalam
gerakan oli pelumas. Viskositas kinematic dapat berubah karena pengaruh suhu.
Pengaruh berat molekul dan struktur molekul alkohol pada viskositas kinematik pada
40 ° C dan 100 ° C dari alkil ester diberikan. Indeks viskositas adalah bilangan arbitrary
yang menunjukkan pengaruh perubahan suhu pada viskositas kinematik dari alkil ester.
Indeks viskositas tinggi menandakan perubahan viskositas kinematik yang relatif kecil
dengan suhu. Indeks viskositas dari alkil ester ditunjukkan pada Tabel 4. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kinerja viskositas cocok untuk produksi biolubricant.

Semua biolubricant dapat dilihat memenuhi keseluruhan ISO grade requirement.


Bahkan viskositas biolubricant jauh lebih tinggi dari standart yang ditentukan.

Kesimpulan
Biolubricant dari minyak sawit memenuthi persyaratan kinerja pelumas industry tertentu.
Sehingga biolubricant ini berpotensi sebagai pelumas terbarukan dan ramah lingkungan.

Вам также может понравиться