Вы находитесь на странице: 1из 45

Causes of higher symptomatic airway load in patients

with chronic rhinosinusitis

A. Pendahuluan
Prevalensi rhinosinusitis di Eropa Tengah sekitar 10,9 %. Pasien
rhinosinusitis dengan atau tanpa polip nasi adalah kelompok heterogen dengan
berbagai karakteristik, seperti adanya rhinitis alergi, inflamasi eosinofilik,
jamur, Staphylococcus aureus, dan bakteri pada biofilm state.
Penatalaksanaan rhinosinusitis kronik dengan medikamentosa atau
tindakan operatif adalah hal yang sulit, hal tersebut mungkin bisa disebabkan
karena terdapat bakteri pada biofilm state di rongga sinonasal. Bakteri
dibedakan menjadi dua bagian, satu bagian adalah bakteri yang
pertumbuhannya cepat (planktonic state) dan bagian lainnya adalah biofilm
state (bakteri tersusun dari kumpulan mikroba dan sering dikelilingi oleh
matriks polimer ekstraseluler). Di dalam biofilm state, bakteri saling
berinteraksi dengan proses quorum sensing. Interaksi tersebut diperantarai
oleh molekul-molekul, contohnya peptida. Bakteri pada biofilm state dapat
berubah material genetiknya, contohnya adalah menjadi bagian dari resistensi
antibiotik. Bakteri pada biofilm state biasanya heterogenik, terdiri dari strain
(sekelompok organisme anggota spesies, ditandai dengan kesamaan ciri-ciri
tertentu) bakteri atau jamur yang berbeda-beda.
Distribusi yang jelas mengenai bakteri pada biofilm state yang
terdapat pada rhinosinusitis kronik masih menjadi perdebatan, namun
ditemukan bahwa terdapat sekitar 15-100 % pasien rhinosinusitis kronik
dengan bakteri biofilm state. Ditemukan juga bahwa pasien rhinosinusitis
kronik dengan adanya polip nasi memiliki prevalensi bakteri biofilm state
lebih banyak daripada pasien rhinosinusitis kronik tanpa adanya polip nasi.
Selain itu juga terdapat, 56 % pasien dengan septum deviasi tanpa adanya
rhinosinusitis kronik dengan ditemukannya bakteri pada biofilm state.
Sehingga, pernyataan bahwa adanya hubungan rhinosinusitis kronik dengan
adanya bakteri pada biofilm state masih belum jelas.

1
Salah satu perbedaan yang jelas pada rhinosinusitis kronik adalah ada
atau tidak adanya polip nasi. Terdapat penelitian sebelumnya di Eropa, yaitu
ditemukan sekitar 77 % pasien dengan polip nasi ditandai dengan inflamasi
eosinofilik yang disebabkan oleh sel T helper 2. Alasan mengenai adanya
aktivasi sel T helper 2 masih belum diketahui, kemungkinan karena adanya
faktor intriksik dan ekstrinsik. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
polip nasi bisa menunjukkan derajat gejala dan efek post tindakan operatif.
Komponen eosinofil yang terdapat pada rhinosinusitis kronik dengan adanya
polip nasi, dapat ditemukan juga pada pasien dengan hipersensitivitas
eosinofil bronkial (contohnya asma dan rhinitis). Ditemukan juga bahwa
terdapat hubungan antara rhinosinusitis kronik dan asma, namun untuk
predisposisi yang lebih besar terkena asma pada rhinosinusitis kronik dengan
adanya polip nasi dibandingkan dengan rhinosinusitis kronik tanpa adanya
polip nasi masih belum diketahui. Namun, pasien dengan rhinosinusitis kronik
memiliki risiko yang lebih tinggi dapat menyebabkan asma bronkial.
Tujuan penelitian yang menggunakan metode penelitian kohort ini
adalah untuk mengetahui karakterisistik klinis subjek penelitian, prevalensi
bakteri biofilm state pada rhinosinusitis kronis, dan apakah bakteri biofilm state,
polip nasi, atau penyakit lain dapat menjadi prediktor gangguan pernapasan.

B. Metode Penelitian
Terdapat 87 subjek penelitian yang mendapat tindakan operatif pada
nasal dari tahun 2010 sampai 2012 di Rumah Sakit Akershus, Norwegia. Dari
87 subjek penelitian, menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and
Nasal Polyps (EPOS) 2007, terdapat 62 subjek penelitian dengan diagnosis
rhinosinusitis kronis dan melakukan tindakan operatif Functional Endoscopic
Sinus Surgery (FESS). Dari 87 subjek penelitian, terdapat 27 subjek penelitian
rhinosinusitis kronis tanpa adanya polip nasi, 35 subjek penelitian
rhinosinusitis kronis dengan adanya polip nasi, 25 subjek penelitian dengan
nasal stenosis yang disebabkan oleh septum deviasi (subjek penelitian tersebut
dilakukan tindakan operatif septoplasty). Dari 87 subjek penelitian ini,
terdapat 12 subjek penelitian (4 subjek penelitian rhinosinusitis kronis tanpa

2
adanya polip nasi, 5 subjek penelitian rhinosinusitis kronis dengan adanya
polip nasi, dan 3 subjek penelitian nasal stenosis yang disebabkan oleh septum
deviasi) tidak lengkap dalam mengisi kueosioner, sehingga subjek penelitian
tersebut dikeluarkan dari penelitian. Penelitian ini telah mendapat izin dari
Rumah Sakit Akershus dan Komite Etik Regional. Penelitian ini juga
menggunakan pedoman Deklarasi Helsinki.

C. Pengumpulan Data Penelitian


Pengumpulan data penelitian menggunakan rekam medis dengan
adanya data onset terkena rhinosinusitis kronik, pengobatan medis
sebelumnya (nasal atau steroid sistemik), riwayat merokok, asma, dan alergi.
Seluruh subjek penelitian telah melakukan CT Scan (Computed Tomography-
Scan), setelah itu dilakukan penilaian menurut Lund Mackay CT scoring
system (penilaian secara radiologi dalam menentukan derajat rhinosinusitis
kronik). Subjek penelitian dengan rhinosinusitis kronik dilakukan penilaian
kualitas hidup dan derajat keparahan penyakitnya dengan menggunakan EPOS
(European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps) 2007 yang
terdapat juga didalamnya mengenai VAS (Visual Analogue Score) dan
kuesioner SNOT-20 (Sino-Nasal Outcome Test-20).
Analisa statistik dilakukan dengan menggunakan SPSS (Statistical
Package for the Social Sciences) versi 23. Data dianalisis dengan
menggunakan uji hipotesis ANOVA (Analysis of Variance) untuk
membandingkan bakteri pada biofilm state, Lund Mackay CT scoring system,
SNOT-20 (Sino-Nasal Outcome Test-20) yang akan dibandingkan dengan
subjek penelitian rhinosinusitis kronik dengan adanya polip nasi, subjek
penelitian rhinosinusitis kronik tanpa adanya polip nasi, dan subjek penelitian
nasal stenosis yang disebabkan oleh septum deviasi (yang melakukan
septoplasty). Data dianalisis juga dengan menggunakan uji hipotesis Student’s
t-test, uji hipotesis ini digunakan untuk menilai apakah adanya perbedaan
signifikan VAS, LM CT Score, SNOT-20 pada subjek penelitian
rhinosinusitis kronik dengan adanya polip nasi dan subjek penelitian
rhinosinusitis kronik tanpa adanya polip nasi.

3
D. Hasil Penelitian
1. Tabel 1 (Nilai Mean VAS dan SNOT pada masing-masing kategori subjek
penelitian)
a. Terdapat 22 subjek penelitian dengan nasal stenosis yang disebabkan oleh
septum deviasi (yang melakukan septoplasty), 23 subjek penelitian
rhinosinusitis kronik tanpa adanya polip nasi, dan 30 subjek penelitian
rhinosinusitis kronik dengan adanya polip nasi.
b. Perlu diketahui
Data dianalisis dengan menggunakan uji hipotesis ANOVA (Analysis of
Variance) untuk membandingkan bakteri pada biofilm state, Lund Mackay
CT scoring system, SNOT-20 (Sino-Nasal Outcome Test-20) yang akan
dibandingkan dengan subjek penelitian rhinosinusitis kronik dengan
adanya polip nasi, subjek penelitian rhinosinusitis kronik tanpa adanya
polip nasi, dan subjek penelitian nasal stenosis yang disebabkan oleh
septum deviasi (yang melakukan septoplasty).
c. Perlu diketahui
Data dianalisis juga dengan menggunakan uji hipotesis Student’s t-test, uji
hipotesis ini digunakan untuk menilai apakah adanya perbedaan signifikan
VAS, LM CT Score, SNOT-20 pada subjek penelitian rhinosinusitis
kronik dengan adanya polip nasi dan subjek penelitian rhinosinusitis
kronik tanpa adanya polip nasi.
d. Durasi untuk mengobservasi (follow up) manifestasis klinis subjek
peneltian rhinosinusitis kronik tanpa adanya polip nasi adalah 99 bulan,
sedangkan durasi untuk mengobservasi (follow up) manifestasis klinis
subjek peneltian rhinosinusitis kronik tanpa adanya polip nasi adalah 55
bulan. Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan (p value 0,325) antara
durasi yang dibutuhkan untuk mengobservasi (follow up) manifestasi
klinis subjek peneltian rhinosinusitis kronik tanpa adanya polip nasi
dengan subjek penelitian rhinosinusitis kronik dengan adanya polip nasi.
e. Bisa dilihat dari nilai p value 0,034 (SNOT-20 dan p value ANOVA)
Subjek penelitian rhinosinusitis kronik dengan adanya polip nasi (43,6)
dan subjek penelitian rhinosinusitis kronik tanpa adanya polip nasi (39,8)

4
memiliki perbedaan nilai yang tinggi mengenai derajat keparahan
penyakitnya, jika dibandingkan dengan subjek penelitian nasal stenosis
yang disebabkan oleh septum deviasi (yang melakukan septoplasty) (29,9).
f. Bisa dilihat dari nilai p value 0,265 (VAS dengan Student’s t-test)
Tidak ada perbedaan yang signifikan mengenai derajat keparahan penyakit
antara subjek penelitian rhinosinusitis kronik dengan adanya polip nasi
(68,6) dan subjek penelitian rhinosinusitis kronik tanpa adanya polip nasi
(63).
g. Bisa dilihat dari nilai SNOT (subscore) dan p value Student’s t-test)
1) Rasa untuk menghembuskan sekret (karena hidung tersumbat)
Terdapat perbedaan yang signifikan (p value 0,001) mengenai rasa
untuk menghembuskan sekret (karena hidung tersumbat) antara subjek
penelitian rhinosinusitis kronik dengan adanya polip nasi (3,5) dan
subjek penelitian rhinosinusitis kronik tanpa adanya polip nasi (2,35).
2) Rinore (runny nose)
Terdapat perbedaan yang signifikan (p value 0,046) mengenai rinore
antara subjek penelitian rhinosinusitis kronik dengan adanya polip nasi
(2,93) dan subjek penelitian rhinosinusitis kronik tanpa adanya polip
nasi (2,17).
3) Batuk
Terdapat perbedaan yang signifikan (p value 0,011) mengenai batuk
antara subjek penelitian rhinosinusitis kronik dengan adanya polip nasi
(2,10) dan subjek penelitian rhinosinusitis kronik tanpa adanya polip
nasi (1,09).

2. Gambar 1 (Perbedaan Klinis antara subjek penelitian rhinosinusitis


kronik dengan adanya polip nasi dan subjek penelitian rhinosinusitis
kronik tanpa adanya polip nasi)
Manifestasi klinis, seperti rasa untuk menghembuskan sekret (karena hidung
tersumbat), bersin-bersin, rinore, batuk, post nasal drip, dan sekret yang
kental lebih sering terjadi pada subjek penelitian rhinosinusitis kronik dengan

5
adanya polip nasi dibandingkan dengan subjek penelitian rhinosinusitis kronik
tanpa adanya polip nasi.

3. Gambar 2 (Ilustrasi CT-Scan)


Terdapat hubungan yang kurang signifikan antara SNOT-20 dengan Lund
Mackay CT Score, contohnya pada ilustrasi subjek penelitian dengan Lund
Mackay CT Score = 20, SNOT-20 = 16, dan VAS = 52. Terdapat hubungan
yang kurang signifikan tersebut bisa diakibatkan oleh perkembangan
penyakit yang cepat, sehingga dapat membuat perbedaan dalam
mendiagnosis derajat keparahan rhinosinusitis dan polip nasi. (Lihat di
halaman 3 akhir dan 4 awal)

4. Lund Mackay CT Score dan Student’s t-test


Nilai mean Lund Mackay CT Score untuk kelompok rhinosinusitis adalah
10,29. Terdapat perbedaan yang signifikan (p value 0,001) mengenai Lund
Mackay CT Score antara subjek penelitian rhinosinusitis kronik dengan
adanya polip nasi (12,06) dan subjek penelitian rhinosinusitis kronik tanpa
adanya polip nasi (8,00). Polip nasi dapat meningkatkan ukuran nasal
karena adanya massa dan sekret mukopurulen yang stagnan dapat
meningkatkan Lund Mackay CT Score. (Lihat di halaman 3)

5. Bakteri pada biofilm state


Bakteri biofilm state yang terdapat pada subjek penelitian rhinosinusitis kronik
dengan adanya polip nasi sebanyak 97 %, bakteri biofilm state yang terdapat
pada subjek penelitian rhinosinusitis kronik tanpa adanya polip nasi sebanyak
81 %, dan bakteri biofilm state yang terdapat pada subjek penelitian nasal
stenosis yang disebabkan oleh septum deviasi (yang melakukan septoplasty)
sebanyak 56 %. Pada penelitian ini tidak dapat menunjukkan perbedaan
karakteristik klinis antara subjek penelitian yang terdapat bakteri
biofilm state gram positif dan bakteri biofilm state gram negatif. (Lihat
halaman 4)

6
6. Pada penelitian terdapat subjek penelitian rhinosinusitis + asma, yaitu sebesar
33,3 % dari 62 subjek penelitian.

E. Pembahasan
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa adanya bakteri biofilm
state dapat menyebabkan hasil yang buruk (prognosis yang buruk) setelah
dilakukannya tindakan operatif.
Penelitian yang dilakukan Li dkk menunjukkan bahwa terdapat
peningkatan nilai SNOT-20 dan peningkatan manifestasi klinis seperti rasa
untuk menghembuskan sekret (karena hidung tersumbat), batuk, dan post
nasal drip pada kelompok yang terdapat bakteri biofilm state, jika
dibandingkan dengan kelompok yang tidak terdapat bakteri biofilm state.
Penelitian yang dilakukan tahun 2014 oleh Hakansson dkk
menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 25 % under diagnosis dengan
mendiagnosis asma, bukan mendiagnosis rhinosinusitis. Under diagnosis
terjadi karena manifestasi klinis seperti sekret di hidung, post nasal drip,
dan batuk terdapat juga pada asma. Perlu diketahui bahwa pada
penelitian ini peneliti memasukkan data bahwa pasien tersebut terdapat
asma hanya melalui rekam medis (adanya riwayat asma dan pernah
mendapatkan pengobatan asma), namun tidak melakukan pemeriksaan
fisik serta pemeriksaan penunjang. Oleh karena itu, penelitian
selanjutnya diharapkan melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang
pada pasien dengan riwayat asma.

F. Kesimpulan
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa subjek penelitian
rhinosinusitis kronik dengan adanya polip nasi kemungkinan akan lebih sering
terjadi manifestasi klinis yang dapat mengakibatkan gangguan pernapasan
apabila dibandingkan dengan subjek penelitian rhinosinusitis tanpa adanya
polip nasi, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa subjek penelitian
rhinosinusitis tanpa adanya polip nasi akan lebih sering terkena manifestasi
klinis yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan. Kedua kelompok, akan

7
samasama memiliki kemungkinan terkena manifestasi klinis yang dapat
mengakibatkan gangguan pernapasan, namun kemungkinan yang lebih besar
terkena manifestasi klinis yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan
adalah kelompok rhinosinustis + polip nasi.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Rhinosinusitis
a. Definisi Rinosinusitis
Rinosinusitis adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai
dengan adanya dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung
tersumbat dan disertai dengan nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah dan atau
penurunan/ hilangnya penghidu.
dan salah satu dari
Temuan nasoendoskopi:
- Polip dan/ atau
- Sekret mukopurulen dari meatus medius dan/ atau
- Edema/bstruksi mukosa di meatus medius
dan/ atau
Gambaran CT Scan :
- Perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan/atau sinus
b. Derajat Keparahan Penyakit
Penyakit ini dapat dibagi menjadi ringan, sedang dan berat berdasarkan
VAS (Visual Analogue Scale) :
Ringan = vas 0-3
Sedang = vas 4-7
Berat = vas 8-10
Nilai VAS > 5 mempengaruhi kualitas hidup pasien
c. Klasifikasi Rhinusinusitus berdasarkan Onset
1) Rhinusinusitis Akut : < 12 minggu
2) Rhinusinusitis Kronik : > 12 minggu, termasuk rhinusinusitis
kronik eksaserbasi akut

9
d. Definisi Rinosinusitis Akut untuk Pelayanan Kesehatan Primer dan
Dokter Spesialis Non THT
1) Diagnosis berdasarkan gejala, sedangkan pemeriksaan radiologi (foto
polos sinus paranasal) tidak direkomendasikan.
2) Gejala kurang dari 12 minggu
3) Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung
tersumbat/obstruksi/kongesti atau pilek (post nasal drip anterior/
posterior) :
i. Nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
ii. Penurunan/ hilangnya penghidu
Catatan :
i. Dengan interval bebas gejala bila terjadi rekurensi
ii. Dengan adanya riwayat alergi, seperti bersin, sekret cair, hidung
gatal, dan mata gatal serta berair.
4) Common cold/ rinosinusitis viral akut didefinisikan sebagai :
Lamanya gejala < 10 hari
5) Rinosinusitis akut non viral didefinisikan sebagai :
- Lama sakit < 12 minggu.
- Perburukan gejala setelah 5 hari
- Gejala menetap setelah 10 hari

10
e. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Akut Pada Dewasa Untuk
Pelayanan Kesehatan Primer dan Dokter Spesialis Non THT

f. Definisi Rinosinusitis Kronik dengan atau tanpa Polip Nasi untuk


Pelayanan Kesehatan Primer dan Dokter Spesialis Non THT
Diagnosis
1) Gejala lebih dari 12 minggu
2) Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung
tersumbat/obstruksi/kongesti atau pilek (post nasal drip anterior/
posterior) :
i. Nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
ii. Penurunan/ hilangnya penghidu
Catatan :
i. Dengan adanya riwayat alergi, sekret cair, hidung gatal, mata gatal
dan berair, jika positif ada, seharusnya dilakukan pemeriksaan
alergi.

11
ii. Foto polos sinus paranasal/ tomografi komputer tidak
direkomendasikan
g. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik dengan atau tanpa
Polip Nasi Pada Dewasa Untuk Pelayanan Kesehatan Primer dan
Dokter Spesialis Non THT

Rinosinusitis kronis eksaserbasi akut harus diberikan pengobatan seperti


pengobatan rinosinusitis akut

12
h. Terapi Bedah Berbasis Bukti Untuk Rinosinusitis
Penelitian mengenai operasi sinus sangat sulit untuk digeneralisasi,
karena operasi diindikasikan pada pasien tertentu yang tidak memberikan
respon yang adekuat terhadap pengobatan medikamentosa. Terdapat
masalah khusus dalam melaksanakan studi operatif, karena operasi sangat
sulit untuk diprediksi atau distandarisasi, terutama pada penelitian
multisenter, dan tipe penatalaksanaan sulit dibuat membuta (blinding/
masking). Randomisasi kemungkinan berhadapan dengan masalah etik
kecuali kriteria inklusi dipersempit dan adalah sangat sulit untuk
memperoleh kelompok pasien homogen dengan prosedur terapi yang dapat
dibandingkan untuk menyingkirkan bias evaluasi hasil operasi sinus.
Meskipun demikian :
1) Pada rinosinusitis akut, operasi diindikasikan pada kasus yang berat
dan komplikasi yang berhubungan.
2) Lebih dari 100 kasus berseri (level IV) dengan hasil yang konsisten
bahwa pasien rinosinusitis kronis dengan dan tanpa polip mendapat
manfaat dari operasi sinus.
3) Komplikasi mayor terjadi pada kurang dari 1 % dan operasi revisi
dilaksanakan kira - kira 10 % dalam kurun waktu 3 tahun.
4) Pada sebagian besar kasus rinosinusitis kronis, pengobatan
medikamentosa yang adekuat sama efektifnya dengan operasi, jadi
operasi sinus seharusnya dicadangkan untuk pasien yang tidak
memberikan respon memuaskan terhadap pengobatan medikamentosa.
(level Ib)
5) Bedah sinus endoskopik fungsional lebih superior dibandingkan
prosedur konvensional termasuk polipektomi dan irigasi antrum (Level
Ib), tetapi superioritas terhadap antrostomi meatus inferior atau
sfenoetmoidektomi belum terbukti
6) Pada pasien rinosinusitis kronis yang belum pernah dioperasi, operasi
yang lebih luas tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
prosedur operasi yang terbatas (level Ib). Walaupun bukan berbasis
bukti, perluasan operasi biasanya disesuaikan terhadap perluasan

13
penyakit, yang merupakan pendekatan secara rasional. Pada bedah
sinus paranasal primer, direkomendasikan bedah secara konservatif.
7) Operasi sinus endonasal revisi hanya diindikasikan jika pengobatan
medikamentosa tidak efektif. Perbaikan gejala secara umum
diobservasi pada pasien dengan rinosinusitis kronis dengan dan tanpa
polip, walaupun perbaikannya kurang dibandingkan setelah operasi
primer. Angka komplikasi dan terutama resiko rekurensi penyakit
lebih tinggi dibandingkan operasi primer.

B. Rinitis
1. Rinitis Alergi
a. Definisi Rinitis Alergi
Rinitis Alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh
reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi
dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia
ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
b. Etiologi Rinitis alergi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan
predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan
herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis
alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada
anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda
tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa
alergen.
Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa
serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perennial (sepanjang tahun)
diantaranya tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu

14
Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus. Faktor
risiko untuk terpaparnya tungau biasanya karpet serta seprai tempat tidur,
suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi
merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur.
Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah
beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau
aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca.
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
1) Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan,
misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta
jamur.
2) Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.
3) Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
4) Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau
jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.
c. Klasifikasi Rinitis Alergi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu:
1) Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2) Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat
berlangsungnya. Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan
rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi
menjadi :
1) Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
2) Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih
dari 4 minggu.

15
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi
dibagi menjadi:
1) Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas
harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang
mengganggu.
2) Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut
diatas
d. Patofisiologi Rinitis Alergi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali
dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi
alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen
sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi
fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam
(fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48
jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi,
makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen
Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0).
Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2.
Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-
13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel
limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut

16
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila
mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua
rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama
histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators
antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien
C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin
(IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony
Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi
Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul
kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di
jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala
akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada
RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte
Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung
adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya
seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein
(EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO).
Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non

17
spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang
merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.
e. Gambaran Histologik Rinitis Alergi
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular
bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat
juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta
ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar
keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat
terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan
terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat
dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara
garis besar terdiri dari:
1) Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak
berhasil seluruhnya dihilangkan, dan reaksi berlanjut menjadi respon
sekunder.
2) Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang
mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau
humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi
pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah
ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi
respon tersier.
3) Respon tersier Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan
tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung
dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu
tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau
reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun, dan tipe 4 atau reaksi
tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan

18
jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis
alergi.
f. Manifestasi Klinis Rinitis Alergi
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin
berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada
pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process).
Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap
serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai
bersin patologis. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang
disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring
atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam
melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung
ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema
mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak.
disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema
kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic
shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis
media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal
termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan
limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara.
Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala,
masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post
nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah,
kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.

19
g. Diagnosis Rinitis Alergi
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1) Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya
serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang
encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama
atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien. Perlu ditanyakan
pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya,
identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter
sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap
pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat
ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala
seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata
gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata
merah serta berair maka dinyatakan positif.
2) Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan
allergic shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena
stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain
itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang
pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat
hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic
salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah,
berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer
dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip
hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu,
dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang
berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media.

20
3) Pemeriksaan Penunjang
a) In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau
meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio
imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila
tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya
selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih
bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau
ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan
sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetapi
berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil
dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika
basofil (> 5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan
jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
b) In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes
cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri
(Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan
dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang
bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab
juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui
Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang
dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi
dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas
lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge
Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang
selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis
makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu
ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.

21
h. Penatalaksanaan Rinitis Alergi
1) Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya
(avoidance) dan eliminasi.
2) Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan
preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama
pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa
kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan, yaitu golongan
antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif).
Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus
sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta
mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis
adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa
kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara
tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari
terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila
gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil
diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid
tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason,
mometasonfuroat, dan triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal
adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore,
karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor.
3) Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan
bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan
dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat.
4) Imunoterapi
Jenisnya desensitasi, hiposensitasi, dan netralisasi. Desensitasi dan
hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi

22
inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama, dan hasil pengobatan
lain belum memuaskan.
i. Komplikasi Rhinitis Alergi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah
1) Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous
glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih
eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet,
dan metaplasia skuamosa.
2) Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3) Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus
paranasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam
mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan
oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan
menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan
menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat
dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel
eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.

23
24
2. Rinitis Vasomotor
a. Definisi Rhinitis vasomotor
Rhinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang
didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal,
dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, beta bloker, aspirin,
klorpromazin, dan obat topikal hidung dekongestan).
Rhinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila adanya alergi atau
alergen spesifik tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang
sesuai (anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi Ig E spesifik serum).
Sinonim: rhinitis non alergi, vasomotor catarrh, vasomotor
rinorhea, nasal vasomotor instability, dan non-allergic perennial rhinitis.
b. Etiologi dan Patofisiologi Rhinitis vasomotor
Etiologi dan patofisiologi yang pasti belum diketahui. Beberapa
hipotesis telah dikemukakanntuk menerangkan patofisiologi rintis
vasomotor :
1) Neurogenik (disfungsi sistem otonom)
Serabut simpatis hidung berasal dari korda spinalis segmen Th
1-2, menginervasi terutama pembuluh darah mukosa dan sebagian
kelenjar. Serabut simmpatis melepaskan ko-transmiter noradrenalin
dan neuropeptida Y yang menyebabkan vasokontraksi dan penurunan
sekresi hidung. Tonus simpatis ini berfluktasi sepanjang hari yang
menyebabkan adanya peningkatan tahanan rongga hidung yang
bergantian setiap 2-4 jam. Keadaan ini disebut sebagai “siklus nasi”.
Dengan adanya siklus ini, seseorang akan mampu bernapas dengan
tetap normal melalui rongga hidung yang berubah-ubah luasnya.
Serabut saraf parasimpatis berasal nukleus salivatori superior
menuu ganglion sfenopalatina dan membentuk n.Vidianus, kemudian
menginervasi pembuluh darah dan terutama kelenjar eksokrin. Pada
rangsangan akan terjadi pelepasan ko-transmiter asetikolin dan
vasokatif intestinal peptida yang menyebabkan peningkatan sekresi
hidung dan vasodilatasi, sehingga terjadi kongesti hidung.

25
Bagaimana tepatnya saraf otonom ini bekerja belumlah
diketahui dengan pasti, tetapi mungkin hipotalamus bertindak
sebagai pusat penerima impuls eferen, termasuk rangsan emosional
dari pusat yang lebih tinggi. Dalam keadaan hidung normal,
persarafan simpatis lebih dominan. Rintis vasomotor diduga sebagai
akibat dari ketidak-seimbangan impuls saraf otonom di mukosa
hidung yang berupa bertambahnya aktivitas sistem parasimpatis.
2) Neuropeptida
Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan
oleh meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensoris serabut C di
hidung. Adanya rangsangan abnormal saraf sensoris ini akan diikuti
dengan peningkatan pelepasan neuropeptida seperi substance P dan
calcitonin gene-related protein yang menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskular dan sekresi kelenjar. Keadaan ini menerangkan
terjadinya peningkatan respon pada hiper-reaktifitas hidung.
3) Nitrik Oksida
Kadar nitrik oksida (NO) yang tinggi dan persisten di lapisan
epitel hidung dapat menyebabkan terjadinya kerusakan ata nekrosis
epitel, sehingga rangsangan non-spesifik berinteraksi langsung ke
lapisan sub-epitel. Akibatnya terjadi peningkatan reaktifitas trigeminal
dan recruitment refleks vaskular dan kelenjar mukosa hidung.
4) Trauma
Rinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang
dan trauma hidung melalui mekanisme neurogenik dan/atau
neuropeptida.
c. Gejala Klinis Rinitis Vasomotor
Pada rinitis vasomotor, gejala sering dicetuskan oleh berbagai
rangsangan non-spesifik, seperti asap atau rokok, bau yang menyengat,
parfum, minuman beralkohol, makanan pedas, udara dingin, pendinginan
dan pemanasan ruangan, perubahan kelembapan, perubahan suhu luar,
kelelahan dan stres/emosi. Pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak
dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut.

26
Kelainan ini mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi,
namun gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan
kanan, tergantung pada posisi pasien. Selain itu terdapat rinore yang
mukoid atau serosa, keluhan ini jarang diketahui dengan gejala mata.
Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh
karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga oleh
karena asap rokok dan sebagainya.
Berdasarkan gejala yang menonkol, kelanan ini dapat dibedakan
dalam 3 golongan, yaitu :
1) Golongan bersin (sneezers), gejala biasanya memberikan respon yang
baik dengan terapi antihistamin dan glukokortikostiroid topika
2) Golongan rinore (runners), gejala dapat diatasi dengan pemberian anti
kolinergik topikal
3) Golongan tersumbat (blockers), kongesti umumnya memberikan
respon yang baik dengan terapi glukokortikosteroid topikal dan
vasokonstriktor oral.
d. Diagnosis Rinitis Vasomotor
Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu
menyingkirkan adanya rinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal, dan akibat
obat. Dalam anamnesis dicari faktoryang mempengaruhi timbulnya gejala.
Pada pemeriksaan renoskopi anterior tampak gambaran yang khas
berupa edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau merah
tua, tetapi dapay pula pucat. Hal ini perlu dibedakan dengan rinitis alergi.
Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi). Pada
rongga hidung terdapat sekrret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada
golongan rinore sekret yang ditemukan ialah serosa dan banyak
jumlahnya.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan rinitis alergi. Kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret
hidung, akan tetapi dalam jumlah sedikit. Tes cukit kulit biasanya negatif,
kadar lgE spesifik tidak meningkat.

27
e. Penatalaksanaan Rinitis Vasomotor
Penatalaksanaan pada rinitis vasomotor bervariasi, tergantung pada faktor
penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar dibagi dalam :
1) Menghindari stimulus/faktor pencetus.
2) Pengobatan simtomis, dengan obat-obatan dekongestan oral, cuci
hidung dengan larutan garam fisiologis, kauterisasi konka hipertrofi
dengan larutan AgNO3 25 % atau triklor-asetat pekat. Dapat juga
diberikan kortikosteroid topikal 100-200 mikrograml. Dosis dapat
ditingkatkan sampai 400 mikrogram sehari. Hasilnya akan terlihat
setelah pemakaian paling sedikit selama 2 minggu. Saat ini terdapat
kortikosteroid topikal baru dalamlarutan aqua seperti flutikason
propionat dan mometason furoat dengan pemakain cukup satu kali
sehari dengan dosis 200 mcg. Pada kasus dengan rinore yang berat,
dapat ditambahkan antikolinergik dalam penelitian adalah terapi
desensitasi dengan obat capsaicin topikal yang mengandung lada.
3) Operasi, dengan cara bedah-beku, elektrokauter, atau konkotomi
parsial konka inferior.
4) Neurektomi n.vidianus, yaitu dengan melakukan pemotongan pada
n.vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil optimal.
Operasi ini tidaklah mudah, dapat menimbulkan komplikasi, seperti
sinusitis, diplopia, buta, gangguan lakrimasi, neuralgia atau anastesis
infraorbita daan palatum. Dapat juga dilakukan tindakan blocking
ganglion stenopalatina.
Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada
golongan rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan
rinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk
memastikan diagnosisnya.

28
3. Rinitis Medikamentosa
a. Definisi Rinitis Medikamentosa
Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa
gangguan respons normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian
vasokonstriktor topikal (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu
lama dan berlebihan, sehinggan menyebabkan sumbatan hidung yang
menetap. Dapat dikatakan bahwa hal ini disebabkan oleh pemakaian obat
yang berlebihan (drug abuse).
b. Patofisiologi Rinitis Medikamentosa
Mukosa hidung adalah organ yang sangat peka terhadap
rangsangan atau iritan, sehingga harus berhati-hati memakai topikal
vasokonstriktor. Obat topikal vasokonstriktor dari golongan
simpatomimetik akan menyebabkan siklus nasi terganggu dan akan
berfungsi normal kembali apabila pemakaian obat itu dihentikan.
Pemakaian topikal vasokonstirktor yang berulan dan dalam waktu
lama akan menyebabkan fase dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah
vasokonstriksi, sehingga timbul gejala obstruksi. Adanya gejala obstruksi
ini menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi memakai obat
tesebut. Pada keadaan ini ditemukan kadar agonis alfa-adrenergik yang
tinggi di mukosa hidung. Hal ini akan diikuti dengan penurunan
sensitivitas reseptor alfa-adrenergik di pembuluh darah sehingga terjadi
suatu toleransi. Aktivitas ddari tonus simpatis yang menyebabkan
vasokonstriksi (dekongesti mukosa hidung) menghilang. Akan terjadi
dilatasi dan kongesti jaringan mukosa hidung. Keadaan ini disebut juga
sebagai rebound congestion.
Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakaian obat
tetes hidung dalam waktu lama ialah : 1) silia rusak, 2) sel goblet berubah
ukurannya, 3) membran basall menebal, 4) pembuluh darah melebar, 5)
stroma tampak edema, 6) hipersekresi kelenjar mucus dan perubahan pH
sekret hidung, 7) lapisan sub-mukosa menebal, dan 8) lapisan periostium
menebal.

29
Oleh karena itu pemakaian obat vasokonstriktor sebaiknya tidak
lebih dari satu mingg, dan sebaiknya yang bersifat isotonik dengan sekret
hidung normal (pH antara 6, dan 6,5).
c. Gejala dan Tanda Rinitis Vasomotor
Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus menerus dan berair.
Pada pemeriksaan tampak edema/hipertrofi konka dengan sekret hiidung
yang berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka tidak
berkurang.
d. Penatalaksanaan Rinitis Vasomotor
1) Hentikan pemakain obat tetes atau semprot vasokonstriktor hidung.
2) Untuk mengatasi sumbata berulang (reboun congestion), dapat
diberikan kortikosteroid oral dosis tinggi jangka pendek dan dosis
diturunkan secara bertahap (tappering off) dengan menurunkan dosis
sebanyak 5 mg setiap hari, (misalnya hari 1: 40 mg, hari 2: 35 mg dan
seterusnya). Dapat juga dengan pemberian kortikosteroid topikal
selama minimal 2 minggu untuk mengembalikan proses fisiologik
mukosa hidung.
3) Obat dekongestan oral (biasanya mengandung pseudoefedrin).
Apabila dengan cara ini tidak ada perbaikan setelah 3 minggu,
pasien dirujuk ke dokter THT.

C. Sinusitis
1. Anatomi Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat
pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus
frontal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal
merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk
rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam
rongga hidung. Semua sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan bersilia
yang mengalami modifikasi dan mampu menghasilkan mukus serta sekret

30
yang disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinus terutamanya
berisi udara.
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa
rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan,
kecuali sinus frontal dan sinus sfenoid. Sinus maksila dan sinus etmoid telah
ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid
anterior pada anak yang berusia kurang lebih delapan tahun. Pneumatisasi
sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian
posterosuperior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar
maksimal pada usia antara 15-18 tahun.
a. Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus
maksila disebut juga antrum Highmore. Saat lahir, sinus maksila
bervolume 6-8 ml. Sinus ini kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah
permukaan fasial os maksila yang disebut fossa canina, dinding
posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya
adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar
orbita, dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum.
Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila
adalah:
1) Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas
yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan kadang-kadang
juga gigi taring dan gigi M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat
menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi rahang atas mudah naik
ke atas menyebabkan sinusitis.
2) Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
3) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus
melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari

31
sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi
pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan
selanjutnya menyebabkan sinusitis.

Gambar 1. Anatomi sinus maksila (Sumber: F.H Netter.2006. Paranasal Sinuses


: Atlas of Human Anatomy )

Batas-batas dinding Sinus Maksilaris:


a. Dinding Anterior : Permukaan Fasial Os Maksila (Fossa Kanina)
b. Dinding Posterior : Permukaan Infra-Temporal Maksila
c. Dinding Medial : Dinding Lateral Rongga Hidung
d. Dinding Superior : Dasar Orbita
e. Dinding Inferior : Prosesus Alveolaris Dan Palatum
Ostium sinus maksilaris berada di sebelah superior dinding medial
sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.
Sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid
anterior. Daerah ini dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari
infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus uncinatus,
resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan
ostiumnya dan ostium sinus maksila.

32
b. Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan
keempat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel
infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada
usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20
tahun.
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar
daripada lainya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah.
Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan
kurang lebih lima persen sinus frontalnya tidak berkembang.
Ukuran sinus frontal adalah mempunyai tinggi 2.8 cm , lebarnya 2.4
cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi
sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-
lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus.
Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa
serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke
daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di
resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.
c. Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling penting karena
dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang
dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian
posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cm dan
lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior.
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang
terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini
jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi
sinus etmoid anterior yang bermuara ke meatus media dan sinus etmoid
posterior bermuara ke di meatus superior. Sel-sel etmoid anterior biasanya
kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan
bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis),

33
sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan sedikit
jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis.
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit,
disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid
yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat
suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya
ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal
dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum
dapat menyebabkan sinusitis maksila.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan
lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat
tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang
sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.
d. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2.3 cm dan
lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus
berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan
menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus.
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa superior serebri
media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah
lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan di
sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah
pons.
e. Kompleks Ostio-Meatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung, yaitu di meatus
medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan
sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan
kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang
terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid, dan
sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.

34
f. Sistem Mukosiliar
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa
bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus, silia bergerak secara
teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti
jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.
Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran transpor
mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior
yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan
muara tuba eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior
bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-
superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-
nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung.
2. Fungsi Sinus Paranasal
Sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi
sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak
mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan
tulang muka.
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain
adalah:
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam
ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tipa kali bernapas,
sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam
sinus.
b. Sebagai penahan suhu (thermal insulator)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas,
melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-
ubah. Akan tetapi, kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak di
antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.

35
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat
tulang muka, akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang,
hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar satu persen dari berat
kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.
d. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi
sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai
resonansi yang efektif. Lagi pula tidak ada korelasi antara resonansi suara
dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
f. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya
kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif
untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi
kerana mukus ini keluar dari meatus media, tempat yang paling strategis.
3. Pemeriksaan Sinus Paranasal
Untuk mengetahui adanya kelainan pada sinus paranasal dilakukan inspeksi
dari luar, palpasi, rinoskopi anterior, rinoskopi posterior, transiluminasi,
pemeriksaan radiologic dan sinuskopi,
a. Inspeksi
Yang diperhatikan adalah adanya pembengkakan pada muka.
Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna
kemerah-merahan mungkin menunjukkan suatu sinusitis maksilaris akut.
Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin menunjukkan suatu sinusitis
frontalis akut.
Sinusitis etmoid akut jarang menyebabkan pembengkakan ke luar,
kecuali bila telah terbentuk abses.

36
b. Palpasi
Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya
sinusitis maksila. Pada sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus
frontal yaitu pada bagian medial atap orbita. Sinusitis etmoid
menyebabkan rasa nyeri tekan di daerah kantus medius.
c. Transiluminasi
Transiluminasi mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat
dipakai untuk memeriksa sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas
pemeriksaan radiologik tidak tersedia. Bila pada pemeriksaan
transiluminasi tampak gelap di daerah infraorbita, mungkin berarti antrum
terisi oleh pusatau mukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma di
dalam antrum.
Bila terdapat kista yang besar di dalam sinus maksila, akan tampak
terang pada pemeriksaan transiluminasi, sedangkan pada foto rontgen
tampak adanya perselubungan berbatas tegas di dalam sinus maksila.
Transiluminasi pada sinus frontal hasilnya lebih meragukan. Besar
dan bentuk kedua sinus ini seringkali tidak sama. Gambaran yang terang
berarti sinus berkembang dengan baik dan normal, sedangkan gambaran
yang gelap mungkin hanya menunjukkan sinus yang tidak berkembang.
d. Pemeriksaan Radiologik
Bila dicurigai adanya kelainan di sinus paranasal, maka dapat
dilakukan pemeriksaan radiologik. Posisi rutin yang dipakai ialah posisi
Waters, P-A dan lateral. Posisi Waters terutama untuk melihat adanya
kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi posterior anterior
untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal,
sphenoid dan etmoid.
Metode mutakhir yang lebih akurat untuk melihat kelainan sinus
paranasal adalah pemeriksaan CT-scan. Potongan CT Scan yang rutin
dipakai adalah koronal dan aksial. Indikasi utama CT Scan hidung dan
sinus paranasal adalah sinusitis kronik, trauma (fraktur frontobasal), dan
tumor.

37
e. Sinuskopi
Pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan endoskop.
Endoskop dimasukkan melalui lubang yang dibuat di meatus inferior atau
di fossa kanina. Dengan sinuskopi dapat dilihat keadaan di dalam sinus,
apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista,
bagaimana keadaan mukosa dan apakah ostiumnya terbuka.
4. Definisi Sinusitis
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut
rinosinusitis. Penyebab utamanya adalah selesma (common cold) yang
merupakan infeksi virus, yang selanjutnya diikuti oleh infeksi bakteri. Bila
mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai
semua sinus paranasal disebut pansinusitis.
5. Epidemiologi Sinusitis
Insiden kasus sinusitis di Amerika Serikat menunjukan 1 dari 7 orang
dewasa terkena sinusitis dengan lebih dari 30 juta penderita didiagnosa setiap
tahunnya. Pada tahun 2009 Global Reseacrh In Allergy menyebutkan insidens
sinusitis di Amerika pada tahun 1997 yaitu sekitar 14,7% atau 31 juta kasus
per tahun.
Menurut Depkes RI (2003) penyakit sinusitis menempati urutan ke 25
dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat
jalan di rumah sakit.. Prevalensi sinusitis di Indonesia cukup tinggi. Hasil 2
penelitian dari sub bagian Rinologi Departemen THT FKUI-RSCM, dari 496
pasien rawat jalan ditemukan 50 persen penderita sinusitis kronik. Angka
tersebut lebih besar dibandingkan data di negara-negara lain.
6. Etiologi Sinusitis
Beberapa etiologi dan faktor predisposisi rinosinusitis antara lain
ISPA akibat virus, bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal
pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti septum deviasi atau
hipertrofi konka, konka bulosa, konka media paradoksal, sumbatan kompleks
osteo-meatal (KOM), infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti
pada sindroma kartagener dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik.

38
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab
rinosinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan
sumbatan dan menyembuhkan rinosinusitisnya. Hipertofi adenoid dapat
didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara
dingin dan kering, serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama kelamaan dapat
menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.
7. Patofisiologi Sinusitis
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucocilliary clearance) di dalam kompleks
ostiomeatal (KOM). Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-
zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang
masuk bersama udara pernafasan.
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila
terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia
tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Sumbatan di ostium sinus dapat
diakibatkan edema yang terjadi sekunder karena adanya inflamasi traktus
respiratorius atas (hidung). Akibatnya, terjadi penurunan aerasi sinus,
penurunan tekanan O2 dalam sinus, hipooksigenasi dan akhirnya terjadi
vasodilatasi kapiler sebagai mekanisme kompensasi. Proses ini memicu
terjadinya transudasi. Sebagian cairan transudat akan masuk ke sub mukosa
sehingga menyebabkan edema, sebagian lagi menuju ekstra vaskuler,
menembus epitel hingga masuk ke rongga sinus. Akibatnya, akan terdapat
cairan transudat di rongga sinus yang mula-mula serous. Kondisi ini bisa
dianggap sebagai rinosinusitis non bakterial dan biasanya sembuh dalam
beberapa hari tanpa pengobatan.
Bila kondisi menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan
media yang baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi
purulen yang berwarna kuning kehijauan. Keadaan ini disebut sebagai
rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak
berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi
hipoksia dan bakteri anaerob berkembang.

39
Keadaan sinus yang hipooksigen juga dapat mengganggu gerakan silia
sehingga mekanisme klirens mukosiliar terganggu. Akibatnya cairan transudat
tidak dapat didrainase dan semakin tertimbun di dalam sinus. Keadaan ini
membuat pH sinus menjadi asam dan mendukung aktivitas multiplikasi
bakteri. Jika proses ini berlanjut, mukosa semakin bengkak dan menjadi siklus
yang terus berputar hingga perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi,
polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin
diperlukan tindakan operasi.
8. Klasifikasi dan mikrobiologi
Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut
dengan batas sampai 8 minggu dan kronik lebih dari 8 minggu.
Konsensus tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas sampai 4
minggu, sub akut antara 4 minggu sampai 3 bulan, dan kronik jika lebih dari 3
bulan.
Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan
lanjutan dari sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis
kronik adanya faktor predisposisi harus dicari dan diobati secara tuntas.
Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada
sinusitis akut adalah Streptococcus pneumonia (30-50%), Haemophylus
influenzae (20-40%), dan Moraxella catarrhalis (4%). Pada anak, M.
catarrhalis paling sering ditemukan (20%).
Pada sinusitis kronik, faktor predisposisi lebih berperan, tetapi
umumnya bakteri yang ada lebih condong ke arah bakteri gram negatif dan
anaerob.
9. Sinusitis Dentogen
Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis
kronis. Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang
atas, sehingga rongga sinus maksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis
dengan akar gigi. Bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi
rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal
mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan
limfe.

40
Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik
yang mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Untuk
mengobati sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan
pemberian antibiotik yang mencakup bakteri anaerob. Seringkali juga perlu
dilakukan irigasi sinus maksila.
10. Gejala Sinusitis
Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai
nyeri/rasa tekanan pada muka dan sekret purulen, yang seringkali turun ke
tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan
lesu.
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena
merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di
tempat lain (referred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri di
antara atau di belakang orbita menandakan sinusitis ethmoid, nyeri di dahi
atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sfenoid, nyeri
dirasakan di verteks, oksipital, belakang orbita, dan daerah mastoid. Pada
sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga.
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post nasal
drip yang menyebabkan batuk dan sesak napas pada anak.
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis.
Kadang-kadang hanya 1 atau 2 gejala-gejala di bawah ini yaitu sakit kepala
kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga
akibat sumbatan kronik muara tuba eustachius, gangguan ke paru seperti
bronkhitis (sino-bronkhitis), bronkhiektasis dan yang penting adalah serangan
asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan
dapat menyebabkan gastroenteritis.
11. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi anterior, dan
posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis
yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius
(pada sinusitis maksila, ethmoid anterior, dan frontal) atau di meatus superior

41
(pada sinusitis ethmoidalis posterior dan sfenoid). Pada rinosinusitis akut,
mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan
kemerahan pada kantus medius.
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT-Scan.
Foto polos posisi Waters, PA, lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi
sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat
perselubungan, air-fluid level, atau penebalan mukosa.
CT-Scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena
mampu menilai secara anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam
hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal
hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronis yang tidak
membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat
melakukan operasi sinus.
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram
atau gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang dilakukan karena sangat terbatas
kegunaannya.
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan
mengambil sekret dari meatus medius/superior, untuk mendapatkan antibiotik
yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi
sinus maksila.
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus
maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi
sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus
untuk terapi.
12. Penatalaksanaan
Tujuan terapi sinusitis ialah mempercepat penyembuhan, mencegah
komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi kronis. Prinsip pengobatan
ialah membuka sumbatan di kompleks osteo-meatal sehingga drainase dan
ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis
akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta
membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan

42
penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau
memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat
atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan
selama 10-14 hari walaupun gejala klinik sudah menghilang. Pada sinusitis
kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman gram negatif dan
anaerob.
Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika
diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga
hidung dengan NaCl atau diatermi. Antihistamin tidak rutin diberikan karena
sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada
alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus
maksila atau Proetz displacement juga merupakan terapi tambahan yang dapat
bermanfaat.
Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan
alergi yang berat.
13. Tindakan Operasi
Bedah sinus endoskopi fungsional (atau disebut FESS) merupakan
operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini
telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena
memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak
radikal. Indikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi
adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel, polip
ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.
14. Komplikasi
Komplikasi sinusitis yang berat biasanya terjadi pada sinusitis akut
atau pada sinusitis kronis dengan eksarsebasi akut, berupa komplikasi orbita
atau intrakranial.
Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan
dengan mata, yaitu sinus ethmoid, kemudian frontal dan maksila. Penyebaran
infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perikontinuitatum. Kelainan yang
dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses periosteal, abses
orbita, dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus.

43
Kelainan intrakranial dapat berupa meningitis, abses ekstradural
atau subdural, abses otak, dan trombosis sinus kavernosus.
Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis, berupa:
Osteomielitis dan abses periosteal. Paling sering timbul akibat sinusitis frontal
dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila
dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi.
Kelainan paru seperti bronkhitis kronik dan bronkiektasis. Adanya
kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sino-
bronkhitis. Selain itu, dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkhial
yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.
15. Sinusitis Jamur
Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu
keadaan yang tidak jarang ditemukan. Angka kejadiannya meningkat dengan
meningkatnya pemakaian antibiotik, kortikosteroid, obat-obat imunosupresan,
dan radioterapi. Kondisi yang merupakan predisposisi, seperti diabetes
melitus, neutropenia, penyakit AIDS, dan perawatan yang lama di rumah
sakit.
Jenis jamur yang paling sering menyebabkan infeksi sinus paranasal
adalah spesies Aspergillus dan Candida. Perlu diwaspadai adanya sinusitis
jamur pada kasus sebagai berikut : Sinusitis unilateral, yang sukar
disembuhkan dengan terapi antibiotik. Adanya gambaran kerusakan tulang
dinding sinus; atau bila ada membran berwarna putih keabu-abuan pada irigasi
antrum.
Para ahli membagi sinusitis jamur sebagi bentuk invasif dan non
invasif. Sinusitis jamur invasif terbagi menjadi invasif akut fulminan dan
invasif kronik indolen.
Sinusitis jamur invasi akut, ada invasi jamur ke jaringan dan vaskular.
Sering terjadi pada pasien diabetes yang tidak terkontrol dan pasien dengan
imunosupresi (leukimia atau neutropenia, pemakaian steroid lama, dan terapi
imunosupresan). Imunitas yang rendah dan invasi pembuluh darah
menyebabkan penyebaran jamur sangat cepat dan dapat merusak dinding
sinus, jaringan orbita, dan sinus kavernosus. Di cavum nasi, mukosa berwarna

44
biru kehitaman dan ada mukosa konka atau septum yang nekrotik. Sering
berakhir dengan kematian.
Sinusitis jamur invasif kronik biasanya terjadi pada pasien dengan
gangguan imunologik atau metabolik seperti diabetes. Bersifat kronis
progresif dan bisa juga menginvasi sampai ke orbita atau intrakranial, tetapi
gambaran klinisnya tidak sehebat bentuk fulminan karena perjalanan
penyakitnya lebih lambat. Gejalanya seperti sinusitis bakterial, tetapi sekresi
hidungnya kental dengan bercak-bercak kehitaman, yang bila dilihat dengan
mikroskop merupakan koloni jamur.
Sinusitis jamur non invasif, atau misetoma, merupakan kumpulan
jamur di dalam rongga sinus tanpa invasike dalam mukosa dan tidak
mendestruksi tulang. Sering mengenai sinus maksila. Gejala klinismenyerupai
sinusitis kronis berupa rinore purulen, post nasal drip, dan napas bau. Kadang-
kadang ada massa jamur juga di cavum nasi. Pada operasi bias ditemukan
materi jamur berwarna cokelat kehitaman dan kotor dengan atau tanpa pus di
dalam sinus.
Terapi untuk sinusitis jamur invasif adalah pembedahan, debridemen,
anti jamur sistemik dan pengobatan terhadap penyakit dasarnya. Obat standar
adalah amfoterisin B, bisa ditambah rifampisin atau flusitosin agar lebih
efektif. Pada misetoma hanya perlu terapi bedah untuk membersihkan massa
jamur, menjaga drainase, dan ventilasi sinus. Tidak diperlukan anti jamur
sistemik.

DAFTAR PUSTAKA

1.

45

Вам также может понравиться