Вы находитесь на странице: 1из 94

LAPORAN KOASISTENSI DIAGNOSTIK LABORATORIK

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


GELOMBANG XII KELOMPOK H

TOXOCARIOSIS PADA ANJING LOKAL


(NOMOR PROTOKOL 886/KO-PPDH/03/IV/2018)

Oleh:
WAHID DANANG PRANATHA, S.KH
1309006141

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Mahasiswa Pendidikan Profesi
Dokter Hewan (PPDH), Koasistensi Diagnostik Laboratorik yang berjudul
“Toxocariosis pada Anjing Lokal”. Penulis menyadari bahwa kegiatan ini dapat
terlaksana dengan baik dan tepat waktu berkat bantuan dari berbagai pihak. Untuk
itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar – besarnya kepada:
1. Dr. drh. I Nengah Kerta Besung, M.Si. selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Hewan, Universitas Udayana.

2. Prof. Dr. drh. Ida Bagus Komang Ardana, M. Kes., sebagai Kepala
Laboratorium Patologi Klinik Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana.

3. Prof. Dr. drh. Gusti Ayu Yuniati Kencana, M.P sebagai Kepala
Laboratorium Virolologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Udayana.

4. Prof. Dr. drh. I. G. N. Kade Mahardika sebagai Kepala UPT Laboratorium


Biomedik Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

5. drh. Ida Bagus Made Oka, M.Kes sebagai Kepala Laboratorium


Parasitologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana.

6. drh. I Gusti Ketut Suarjana, M.P sebagai Kepala Laboratorium


Mikrobiologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana.

7. Teman – teman kelompok 11H dan semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan laporan ini.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
saran dan kritik sangat diharapkan guna menyempurnakan laporan ini.

Denpasar, April 2018

Penulis

2
ii

3
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI .....................................................................................................iii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................iv
LAMPIRAN .................................................................................................. v
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .....................................................................................1
1.2 Tujuan Pemeriksaan ............................................................................2
1.3 Manfaat Pemeriksaan ..........................................................................2
BAB II. MATERI DAN METODE ............................................................. 3
2.1 Materi ...................................................................................................3
2.2 Metode .................................................................................................3
2.2.1 Pemeriksaan Epidemiologi .........................................................3
2.2.2 Pemeriksaan Klinis .....................................................................3
2.3 Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik ........................................3
2.3.1 Pemeriksaan Darah ......................................................................3
2.4 Pemeriksaan feses ................................................................................6
2.5 Pemeriksaan Laboratorium Mikrobiologi ...........................................8
2.5.1 Kultur Pada Media Nutrient Agar ...............................................8
2.5.2 Isolasi pada Media EMBA ....................................................... 8
2.5.3 Pewarnaan Gram .........................................................................8
2.5.4 Uji Katalase dan Oksidase...........................................................9
2.5.5 Uji Biokimia ................................................................................9
BAB III. HASIL PEMERIKSAAN ............................................................ 11
3.1 Signalment ......................................................................................... 11
3.2 Riwayat Kasus ................................................................................... 11
3.3 Gejala Klinis ...................................................................................... 12
3.4 Epidemiologi ...................................................................................... 12
3.5 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik ............................ 12
4
3.6 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Parasitologi .................................. 14
BAB IV. PEMBAHASAN ........................................................................... 19
4.1 Pembahasan ....................................................................................... 19
4.2 Diagnosis ........................................................................................... 22
4.3 Pencegahan dan Penanganan ............................................................. 22
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 23
5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 23
5.2 Saran ................................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 24

iv

5
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tahapan Pemeriksaan Sampel di Laboratorium............................... 11


Tabel 3.1 Hasil pemeriksaan darah rutin dan deferensial leukosit ................... 12
Tabel 3.2 Hasil pemeriksaan fases anjing kasus secara makroskopis .............. 13
Tabel 3.3 Hasil pemeriksaan fases anjing kasus secara mikroskopis ............... 14
Tabel 3.4 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Bakteriologi ................................ 15

6
v

7
DAFTAR GAMBAR

Tabel 3.1 Hasil Pemeriksaan Deferensial Leukosit ......................................... 13


Tabel 3.2 Feses Anjing yang Mengalami Diare ............................................... 12
Tabel 3.2 Hasil Pemeriksaan Ulas Darah ......................................................... 14

8
vi

9
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bali merupakan salah satu Propinsi di Indonesia yang memiliki tempat wisata
yang sangat terkenal dikalangan wisatawan dalam dan luar negeri. Tingkat
kepadatan penduduk di Bali sekitar 4.246.000 jiwa (BPS Provinsi Bali, 2017).
Denpasar adalah ibukota Propinsi Bali yang menjadi salah satu kota tujuan
pariwisata, industri serta pendidikan. Akibatnya kepadatan pendudukpun tak
terhindarkan. Kepadatan penduduk disertai tidak adanya halangan secara budaya
dalam memelihara anjing merupakan tempat yang cocok bagi anjing untuk tinggal
dan berkembang biak, karena mudahnya memperoleh makanan. Menurut laporan
dari yayasan Yudistira (LSM yang bergerak dalam pengendaliaan populasi anjing
di Bali) rasio populasi anjing dengan manusia yaitu 1:5,8 (Krisna Dewi, 2012).

Anjing adalah binatang yang setia, jujur, dan mudah untuk dijadikan teman
(Budiana, 2006). Kehadiran anjing mampu mengurangi stres, meningkatkan
kehidupan sosial dan menjadi kebanggaan bagi pemiliknya (Yusuf dan Purba,
2008). Bogdanoski, 2010 mengatakan pemeliharaan hewan kesayangan di kota-
kota besar semakin meningkat pada kurun waktu terakhir. Dengan meningkatnya
populasi anjing di Bali, maka risiko penyebaran penyakit tentunya juga akan
meningkat. Salah satu jenis penyakit yang paling sering terjadi pada anjing adalah
helminthiasis.
Kebanyakan parasit internal pada anjing adalah cacing dan organisme
uniseluler yang berada di dalam usus anjing. Jenis cacing yang umum adalah
ascaridida, Ancylostoma, Trichuris dan cestoda (Yusuf dan Purba, 2008). Ascariasis
merupakan penyakit terpenting dari penyakit cacingan oleh golongan ascaridida.
Ascaridida yang paling banyak mengakibatkan kerugian pada anjing adalah
Toxocara canis. Ascaridida lainnya, meskipun dapat menginfeksi anjing dan
kucing, yaitu Toxascaris leonina tidak begitu mengganggu dibandingkan Toxocara
canis (Subronto, 2006).
Toxocariasis adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh infeksi cacing
nematoda dari Famili Ascaridae, Genus Toxocara. Terdapat tiga spesies Toxocara

10
1

11
yang sangat penting yaitu Toxocara canis menyerang anak anjing dan anjing
dewasa, T. Cati menyerang anak kucing dan kucing dewasa, dan T. vitulorum
menyerang anak sapi dan anak kerbau serta induknya. Anak-anak anjing, kucing,
sapi dan kerbau maupun induk-induknya, masing-masing merupakan induk semang
bagi ketiga spesies tersebut. Toxocariasis pada induk jantan lebih sering terjadi
daripada induk betina karena pada induk betina yang terinfeksi, larva kedua (L2)
tidak berkembang menjadi L3 tetapi akan mengalami dormansi dan tetap tinggal di
dalam jaringan. Larva ketiga akan berkembang pada saat induk betina bunting, dan
pada masa menjelang kelahiran akan terjadi transplacental infection atau
transmamary infection (Estuningsih, 2015). Toxocara canis merupakan ascaridida
yang umum pada anjing. Ini merupakan salah satu parasit yang penting pada hewan
tersebut, dan terutama sangat penting pada anak anjing. Infeksi kongenital dari
Toxocara canis merupakan hal yang biasa terjadi pada anak anjing (Levine, 1994).

1.2 Tujuan Pemeriksaan


Pemeriksaan ini dilakukan dengan tujuan untuk mendiagnosa penyakit dan
menemukan agen penyebab penyakit. Dengan menggunakan data riwayat penyakit
hewan, data pemeriksaan hewan, uji laboratorium patologi klinik dan uji
laboratorium parasitologi dapat mendiagnosa penyakit dan mengetahui agen
penyebabnya. Serta dapat menjadi pembelajaran mengenai pencegahan,
pengobatan, dan pemberantasan agen penyakit sehingga tidak terjadi pada hewan
lainnya.

1.3 Manfaat Pemeriksaan


Manfaat yang didapat dari pemeriksaan ini yaitu mampu mendiagnosa
penyakit parasit melalui data riwayat penyakit hewan, pemeriksaan patologi klinik
serta melakukan uji laboratorium parasitology untuk menentukan agen penyakit.

12
2

13
BAB II
MATERI DAN METODE

2.1 Materi
Sampel yang dipergunakan dalam pemeriksaan laboratorium meliputi darah,
feses, dan swab rectal.
Tabel 2.1 Tahapan Pemeriksaan Sampel di Laboratorium

No Laboratorium Sampel
1 Patologi Klinik Darah dan feses
2 Parasitologi Feses
3 Bakteriologi Swab rectal

2.2 Metode
2.2.1 Pemeriksaan Epidemiologi
Epidemiologi dari suatu penyakit melibatkan interaksi dari hospes, agen, dan
lingkungan. Dalam pengumpulan data, metode yang digunakan adalah dengan cara
pendekatan dengan pemilik untuk mengetahui anamnesa dan epidemiologi dari
riwayat kasus serta melakukan pengamatan dan pemeriksaan langsung ke lokasi
tempat hewan kasus.
2.2.2 Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis dilakukan dengan mengamati gejala yang terlihat pada
anjing kasus. Gejala klinis penyakit yang teramati pada anjing lokal kasus
digunakan untuk menentukan spesimen atau sampel yang akan diambil untuk
pemeriksaan lebih lanjut di laboratorium.

2.3 Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik


Spesimen yang diperiksa pada Laboratorium Patologi Klinik berupa darah,
dan feses.

2.3.1 Pemeriksaan Darah


1. Pemeriksaan Hematologi Rutin
Darah diambil melalui intra vena pada vena chepalica menggunakan spuit 3
ml. Pada anjing kasus diambil 3 ml darah kemudian dimasukan kedalam tabung

14
3

15
berisi antikoagulan (Tabung EDTA). Setelah itu darah disimpan dalam coolbox
hingga sampai di laboratorium untuk dilakukannya pemeriksaan hematologi rutin.
a. Penentuan Kadar Haemoglobin
Tabung hemometer diisi dengan larutan HCL 0,1 N sampai tanda 2 gram %.
Kemudian darah pada tabung EDTA dihisap dengan pipet Sahli sampai 20 ammo.
Bagian luar pipet dibersihkan dengan kertas tissue dengan catatan darah dalam pipet
jangan sampai terhisap. Setelah itu masukan darah kedalam tabung hemometer
yang berisi larutan HCL 0,1 N tanpa menimbulkan gelembung udara. Sebelum
dikeluarkan, pipet dibilas dengan menghisap dan meniup HCL yang ada dalam
tabung berberapa kali. Bagian luar pipet juga harus dibilas dengan berberapa tetes
aquadest kemudian tunggu hingga 10 menit untuk pembentukan asam hematin
(95%). Asam hematin ini diencerkan dengan aquadest tetes demi tetes lalu diaduk
sampai warnanya sama dengan warna coklat pada gelas standard. Minikus dari
larutan dibaca dalam sekala gram %.
b. Penghitungan Total Eritrosit (Hemositometer)
Pemeriksaan terhadap total eritrosit dilakukan setelah pengambilan sampel
darah yang telah dicampur dengan antikoagulan. Darah disedot menggunakan pipet
eritrosit sebanyak 0,5 kemudian ditambahkan larutan Reagen Hayem sampai tanda
10,1. Kedua ujung pipet tersebut dipegang menggunakan jari tengah dan ibu jari,
kemudian pipet diputar-putar pada sumbu panjangnya dengan membentuk angka
delapan agar Reagen Hayem tercampur dengan baik (homogen). Larutan reagen
yang terdapat di ujung bagian dalam pipet eritrosit yang tidak mengandung darah
dikeluarkan sebanyak tiga tetes, larutan yang telah tercampur dimasukan kedalam
plat kamar hitung dengan menempatkan ujung pipet eritrosit pada tepi gelas
penutup. Akibat gaya kapiler maka larutan yang telah tercampur akan mengalir
masuk diantara gelas penutup dengan kamar hitung. Kamar hitung yang sudah
berisi larutan darah diletakkan dibawah mikroskop dengan penghitungan dilakukan
dengan obyektif 45X.
Penghitungan jumlah sel darah yang terdapat pada bidang yang ditengah
dengan luas masing-masing 1/25 mm2. Sel yang menyinggung garis batas sebelah
kiri dan sebelah bawah tidak dihitung. Setelah hasil didapat, maka dilakukan

16
4

17
kalkulasi sebagai berikut: N= jumlah eritrosit pada 5 bidang X 10.000 (Dharmawan
et al., 2006).
c. Penghitungan Total Leukosit
Pemeriksaan terhadap total leukosit dilakukan setelah pengambilan sampel
darah dengan cara darah sampel yang telah dicampur dengan antikoagulan. Darah
disedot menggunakan pipet leukosit sebanyak 0,5 kemudian ditambahkan larutan
Reagen Turk sampai tanda 11 pada pipet leukosit sehingga terjadi pengenceran
sebanyak 20 kali. Kedua ujung pipet leukosit tersebut dipegang menggunakan jari
tengah dan ibu jari, pipet leukosit diputar-putar pada sumbu panjangnya dengan
membentuk angka delapan agar reagen Turk tercampur dengan baik (homogen).
Larutan Reagen yang terdapat di ujung bagian dalam pipet leukosit yang tidak
tercampur lalu dikeluarkan sebanyak tiga tetes, larutan yang telah tercampur
dimasukan kedalam plat kamar hitung dengan menempatkan ujung pipet leukosit
pada tepi gelas penutup. Karena gaya kapiler maka larutan yang telah tercampur
akan mengalir masuk diantara gelas penutup dengan kamar hitung. Penghitungan
dilakukan terhadap leukosit yang terdapat pada bidang persegi W menggunakan
mikroskop dengan pembesaran objek 10 kali dan dilakukan kalkulasi sebagai
berikut, misalnya jumlah leukosit yang didapatkan pada empat bidang persegi W
adalah N, dan volume keempat bidang persegi tersebut 4 x 0,1 mm3. Pengenceran
dilakukan 20 kali, maka jumlah leukosit per mm3 adalah (1:0,4) X 20 = 50 N
(Jumlah leukosit yang didapat pada empat bidang persegi) (Dharmawan et al.,
2006).
d. Penentuan Nilai Hematokrit
Darah dengan antikoagulan dimasukkan ke dalam pipet mikrohematokrit
sekitar 6/7 bagian pipet. Tutup ujung masuknya darah dengan penutup khusus.
Letakkan pipet mikrohematokrit pada centrifuge mikrohematokrit yang mempunyai
kecepatan tinggi. Centrifuge dengan kecepatan 10.000 sampa 13.000 rpm selama 5
menit. Bacalah nilai Hematokrit pada alat baca khusus (microhematocrit reader).
e. Penentuan Indeks Eritrosit
a) Mean Corpuscular Volume (MCV)
Penentuan MCV didapat dari rumus :
MCV = (PCV / Eritrosit) × 10

18
5

19
b) Mean Corpusculas Haemoglobin (MCH)
Penentuan MCH didapat dari rumus :
MCH = (Hb / Eritrosit) × 10
c) Mean Corpuscular Haemoglobin Consentration (MCHC)
Penentuan MCHC didapat dari rumus :
MCHC = (Hb / PCV) × 100
f. Pemeriksaan Ulas Darah
Pemeriksaan ulas darah dilakukan dengan meneteskan darah pada salah satu
ujung objek gelas yang kemudian menempelkan ujung objek gelas yang lain sampai
darah memenuhi permukaan ujung objek gelas yang membentuk sudut 30-45°.
Selanjutnya menggeserkan objek gelas dengan cepat sehingga darah akan merata di
atas objek gelas dengan lapisan yang tipis. Ulasan darah tersebur dikeringkan
diudara dan selanjutnya difiksasi dengan methanol selama 5 menit. Ulasan darah
kemudian di warnai dengan giemza 30% selama 30 menit dan dicuci dengan air
yang mengalir. Setelah preparat ulas darah dikeringkan, preparat dapat diamati
dengan mikroskop pada pembesaran 1000X menggunakan minyak emersi.
Pada ulasan darah dapat dihitung diferensial leukosit dengan cara menghitung
setiap 100 sel leukosit yang ditemukan, kemudian didifferensiasikan kedalam
kelompok limfosit, monosit, netrofil, eosinofil dan basofil. Hasil yang diperoleh
merupakan jumlah persentase dan kemudian data tersebut dianalisis.

2. Pemeriksaan Feses
Pemeriksaan feses dilakukan secara langsung untuk mengetahui warna,
konsistensi, bau, dan ada tidaknya benda asing.
2.4 Pemeriksaan Laboratorium Parasitologi

1) Pemeriksaan Feses Kualitatif


a. Metode Natif
Pemeriksaan dengan metode natif dilakukan dengan cara mengambil feses
sebesar pentolan korek api dan diletakkan di atas objek gelas dan ditetesi
dengan aquades hingga homogen. Selanjutnya serat kasar dibuang dan objek
gelas ditutup dengan cover glass kemudian diamati di bawah mikroskop.

20
6

21
b. Metode Sedimentasi
Pemeriksaan dengan metode sedimentasi dilakukan dengan cara
mengambil feses sebesar biji kemiri (± 3 mg) dicampur dengan air sebanyak 30
ml dan diaduk hingga homogen. Campuran disaring dan ditampung dengan
tabung sentrifugasi sampai skala ¾ volume tabung (skala 10 ml). Selanjutnya
disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 1500 rpm. Selanjutnya cairan
supernatan dibuang dan sedimen diaduk dan diambil sedikit lalu letakkan pada
objek gelas. Tutup objek gelas dengan cover glass dan lakukan pengamatan
dibawah mikroskop.
c. Metode Apung
Pemeriksaan dilakukan dengan mengambil feses kurang lebih 3 gram
(sebesar biji kemiri), dimasukkan ke dalam gelas beker, ditambahkan dengan
aquades 30 ml, diaduk hingga homogen. Kemudian larutan disaring,
dimasukkan ke dalam tabung sentrifus sampai ¾ tabung, sentrifuse dilakukan
dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit. Setelah itu supernatannya dibuang
dan tambahkan NaCl jenuh sampai volumenya ¾ tabung dan kembali diaduk
hingga homogen. Tabung disentrifuse kembali dengan kecepatan 1500 rpm
selama 5 menit. Kemudian tabung diletakkan pada rak tabung secara tegak
lurus, tambahkan larutan NaCl jenuh dengan cara diteteskan menggunakan
pipet sampai permukaan menjadi cembung dan dibiarkan selama 3 menit. Gelas
penutup ditempelkan di atas permukaan cairan yang cembung dengan hati-hati,
kemudian tempelkan pada gelas objek dan diperiksa dibawah mikroskop.
2) Kuantitatif (McMaster)
Pemeriksaan metode Mac Master dilakukan dengan menimbang feses
hingga 3 gram lalu meletakannya di gelas ukur, menambahkan larutan
pengapung (60 ml) sedikit demi sedikit bersamaan dengan mengaduk hingga
homogen, kemudian menyaring hingga bagian feses yang besar tersaring.
Meletakan filtratnya pada gelas beker lain. Selanjutnya, mengaduk filtrat
dengan alat pengaduk magnetik, setelah itu mengambil cairan dengan pipet
pasteur dan memasukkannya ke dalam kamar hitung Mc. Master (kanan dan

22
7

23
kiri). Memeriksa dengan mikroskop pembesaran obyektif 10X. Telur dihitung
dengan cara :

Volume Larutan Jumlah rata – rata telur yang ditemukan

EPG = X
Berat Tinja Volume Kamar hitung

2.5 Pemeriksaan Laboratorium Mikrobiologi


2.5.1 Kultur Pada Media Nutrient Agar
Spesimen yang berasal dari swab rectal disimpan pada media Transport.
Swab di goreskan sedikit pada tepi media kemudian dengan ose yang steril dan
langsung digoreskan pada permukaan media. Hal-hal yang perlu diperhatikan
adalah media yang digunakan harus steril, permukaan media harus sudah kering.
Setelah melakukan pemupukan media tersebut diinkubasikan pada suhu 37ºC
selama 24 jam. Setelah 24 jam dilakukan, identifikasi koloni yang tumbuh pada
media tersebut, meliputi bentuk, warna, dan diameter koloni.

2.5.2 Isolasi Pada Media EMBA


Bakteri yang tumbuh pada media Nutrient Agar diambil menggunakan ossa
steril dingin kemudian diusapkan dengan teknik streak line. Media biakan yang
sudah di pupuk diinkubasikan dalam pada suhu 37º C selama 24 jam. Tujuan isolasi
bakteri pada media EMBA adalah untuk mengetahui, jenis gram dari bakteri. Media
EMBA merupakan media selektif untuk menumbuhkan bakteri gram negatif.

2.5.3 Pewarnaan Gram


Koloni pada media Nutrient Agar diambil dengan ossa steril dan dioleskan
pada objek glass ditetesi aquades kemudian diratakan pada permukaan objek glass
dan difiksasi dengan api bunsen. Setelah difiksasi, olesan tersebut ditetesi larutan
Crystal Violet dan didiamkan selama 2 menit. Kemudian dicuci dengan air
mengalir. Tahap selanjutnya ditetesi dengan lodine dan didiamkan selama 2 menit.
Lalu dicuci dengan air mengalir. Setelah itu ditetesi dengan alkohol 95% selama 30
detik dan dicuci dengan air mengalir. Tahap yang terakhir adalah pewamaan dengan
Safranin dengan cara diteteskan dan didiamkan selama 30 detik, kemudian dicuci

24
8

25
dengan air mengalir. Setelah kering, teteskan minyak emersi secukupnya lalu
diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 100x. Bakteri Gram positif akan
berwama ungu karena menyerap zat warna Crystal Violet sedangkan bakteri Gram
negative akan berwarna merah karena menyerap zat warna Safranin.

2.5.4 Uji Katalase dan Oksidase


a) Uji Katalase
Uji katalase dilakukan dengan cara mengambil koloni yang dicurigai pada
media selektif dengan needle steril dan dioleskan pada objek glass kemudian
ditetesi H2O2, 3%. Kemudian homogenkan. Amati ada tidaknya gelembung gas
yang dihasilkan bakteri yang bereaksi dengan H2O2, 3%.

b) Uji oksidase
Uji oksidase dilakukan dengan cara mengusapkan koloni kuman pada
kertas oksidase, kemudian amati perubahan warna yang terjadi bila hasil positif
ditandai dengan perubahan warna kertas oksidase berwama ungu.

2.5.5 Uji Biokimia (Indole, Metile Red, Voges Parskeur, dan Citrat) IMVC
1. Penanaman pada Media Triple Sugar Iron Agar (TSIA)
Penanaman kuman pada media TSIA untuk mengetahui ada tidaknya
kemampuan bakteri untuk memfermentasi karbohidrat, produksi H2S dan gas.
Penanaman kuman pada media TSIA dilakukan dengan cara koloni kuman
diambil dari media EMBA menggunakan needle steril kemudian ditusukkan
pada bagian tegak dari media lalu digoreskan pada bagian miring media,
selanjutnya media tersebut diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 37º C.
Fermentasi karbohidrat ditandai adanya perubahan warna pada media TSIA dari
merah menjadi kuning. Produksi H2S ditandai dengan perubahan warna media
menjadi hitam. Adanya gas dapat diamati dengan adanya gelembung gas dan
keretakan pada media atau media menjadi terangkat keatas.

2. Penanaman pada Media sulfid Indol Motility (SIM)


Penanaman pada media sulfid Indol Motility (SIM) untuk mengetahui sifat
kuman dalam memproduksi H2S, Indol dan untuk mengetahui pergerakan
kuman (motilitas). Penanaman kuman pada media SIM dilakukan dengan cara

26
9

27
mengambil koloni kuman dan media TSIA menggunakan needle steril
kemudian ditusukkan pada bagian tegak dari medium, selanjutnya media
tersebut dinkubasikan selama 24 jam pada suhu 37º C. Produksi H2S ditandai
dengan media berwama hitam, produksi indol dapat dilihat setelah ditetesi
dengan reagen Erlich/Kovac’s sebanyak 3-5 tetes kedalam media. Bila indol
positif akan terbentuk cicin merah pada permukaan media sedangkan apabila
motil, maka akan lerlibat kuman tumbuh tidak hanya disekitar tempat tusukan.

3. Penanaman pada Media Methyl Red Voges Proskauer (MRVP)


Penanaman pada media Methyl Red Voges Proskauer (MRVP) untuk
mengetahui sifat kuman dalam memproduksi asam tunggal atau campuran dan
acetil metil karbinol. Uji dilakukan dengan cara mengambil koloni dengan ossa
steril kemudian dicelupkan pada media. Media diinkubasikan dengan suhu 37o
C selama 24 jam. Setelah inkubasi, media dibagi menjadi 2 tabung, tabung
pertama ditetesi dengan reagen MR dan tabung kedua ditetesi dengan reagen
VP. Hasil positif ditandai dengan adanya warna merah pada media.

4. Penanaman pada Media Simmon Citrat Agar (SCA)


Penanaman pada media Simmon Citrat Agar (SCA) untuk mengetahui
sifat kuman dalam menggunakan sitrat sebagai sumber karbon atau tidak.
Koloni kuman diambil menggunakan ossa steril kemudian diusapkan pada
permukaan medium mulai dari pangkal sampai ke ujung yang sama pada media
SCA. Kemudian diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 37o C. Hasil positif
ditandai dengan perubahan warna media dari hijau menjadi biru.

5. Uji Gula-gula
Uji gula-gula meliputi laktosa menggunakan media berbentuk cair dengan
tabung durham didalamnya. Uji ini dilakukan untuk mengetahui adanya
fermentasi gula. Dilakukan dengan cara mengambil koloni pada media biakan
dengan ossa steril kemudian dicelupkan pada masing-masing media. Media
diinkubasikan pada suhu 37o C selama 24 jam. Hasil positif apabila media
berubah warna sedangkan adanya produksi gas dapat diamati apabila tabung
durham berisi gelembung gas atau terangkat keatas.

28
10

29
BAB III
HASIL PEMERIKSAAN

3.1 Signalment
Nama Pemilik : Jeje
Alamat : Jl. Waturenggong Gang Badik No 17, Denpasar Selatan
Nama Hewan : Biona
Ras : Anjing Lokal
Jenis Kelamin : Betina
Warna : Coklat
Umur : 1,5 Bulan
Berat Badan : 1,3 kg

3.2 Riwayat Kasus


Tanggal pemeriksaan: 03 April 2018
Pemilik anjing bernama Jeje yang bealamat di Jalan Waturenggong Gang
Badik No 17, Denpasar Selatan. Anjing kasus merupakan anjing yang ditemukan
sekitar 2 minggu yang lalu disekitar jalan menuju TPA Suwung, saat ditemukan
kondisi anjing terlihat lemas dan bagian abdomen membesar. Setelah dipelihara
anjing kasus menunjukan gejala lain yaitu penurunan nafsu makan, mukosa mulut
tampak pucat, terdapat kotoran mata, dan diare yang sempat disertai darah. Selama
dipelihara anjing kasus belum pernah dilakukan vaksinasi, belum pernah diberi
obat cacing, namun telah diberikan terapi suportif berupa air gula. Sistem
pemeliharaan anjing saat ini dikandangkan dan diberi makan dog food serta air
minum dari sumur. Berikut hasil pemeriksaan fisik “Biona”:
 Keadaan umum : Kondisi tubuh lemas, ekspresi muka lesu.
 Frequensi nafas : 32x/ menit
 Pulsus : 60x/ menit
 Temperatur : 37,6 °C
 Kulit dan rambut : Turgor lambat, warna rambut kusam, rambut kasar dan
tidak rontok.
 Selaput lendir : Konjungtiva pucat, CRT≥2, cermin hidung basah.
 Pencernaan : Inspeksi anus bersih, palpasi abdomen tidak ada rasa

30
11

31
sakit.
 Syaraf : Refleks pupil dan palpebra baik
 Anggota gerak : Dapat berdiri dan berjalan dengan normal.
 Berat badan : 1,3 kg

3.3 Gejala Klinis


Gejala klinis yang teramati yaitu lemas, mata terdapat kotoran, mukosa
mulut pucat rambut kusam dan kasar, bagian abdomen membesar, dan sempat
diare disertai darah.

3.4 Epidemiologi
a. Hospes
Anjing yang digunakan dalam kasus adalah anjing lokal berjenis
kelamin betina dan berumur 1,5 bulan.
b. Agen
Berdasarkan anamnesis yang di dapatkan dari pemilik, anjing kasus
belum divaksinasi dan belum diberikan obat cacing.
c. Lingkungan
Lokasi pada saat di temukan anjing kasus milik jeje yaitu di sekitar
daerah TPA Suwung. Kondisi lingkungan setelah dipelihara saudari jeje
yang beralamat di Jalan Waturenggong Gang Badik No 17, Denpasar
Selatan selalu dijaga kebersihanya.

3.5 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik


Pemeriksaan di laboratorium patologi klinik meliputi pemeriksaan,
pemeriksaan darah rutin, penghitungan deferensial leukosit dan feses.

Tabel 3.1 Hasil pemeriksaan darah rutin dan deferensial leukosit


Hematologi Rutin Hasil Nilai Rujukan Satuan Keterangan
PCV 29,0 37– 55 % Rendah
HB 7,5 12– 18 g/dl Rendah
RBC 4,3 5,5– 8,5 106/mm3 Rendah
3
WBC 14,8 6– 17 10 /μl Normal
MCV 67,4 60– 77 Fl Normal
MCH 17,4 19,5– 24,5 Pg Rendah
MCHC 13,3 32– 36 g/dl Rendah
Neutrofil 64 60– 70 % Normal

32
12

33
Limfosit 16 12 – 30 % Normal
Monosit 3 3– 10 % Normal
Eosinofil 17 2- 10 % Tinggi
Basofil 0 0– 1 % Normal

Gambar 3.1 Hasil Pemeriksaan Deferensial Leukosit.


A) Limfosit, B) Eosinofil.

Keterangan:
 Interpretasi : Anemia Normositik Hipokromik, Eosinofilia
 Indikasi : Perdarahan dan kurangnya pembentukan darah, infeksi parasit

Tabel 3.2 Hasil pemeriksaan fases anjing kasus secara makroskopis


No Uji Hasil
1 Warna Cokelat kehitaman
2 Bau Anyir
3 Konsistensi Cair
4 Benda asing -

Gambar 3.2 fases anjing kasus yang mengalami diare

34
13

35
3.6 Hasil Pemeriksaan laboratorium Parasitologi
1. Hasil Pemeriksaan Parasit Darah
Hasil pemeriksaan parasit darah anjing kasus pada ulas darah tidak
di temukan adanya parasit darah/negatif (-).

Gambar 3.3 Hasil pemeriksaan ulas


darah 2. Hasil Pemeriksaan Fases
Hasil pemeriksaan mikroskopis fases anjing kasus di dapatkan telur cacing
Toxocara Canis, dan Ancylostoma Caninum EPG masing-masing yaitu 21.700 dan
100.
Tabel 3.3 Hasil pemeriksaan fases anjing kasus secara mikroskopis
No Metode Metode Natif Metode Sedimen Metode Apung
Pemeriksan
1 Toxocara
Canis
EPG =
21.700
Kanan = 106
Kiri = 111

2 Ancylostoma
Caninum
EPG = 100
Kanan = 1
Kiri =

36
14

37
3. Hasil Isolasi dan Identifikasi Hewan Kasus

Tabel 3.4 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Bakteriologi

Gambar Keterangan
Pertumbuhan pada media NA:

Koloni tumbuh dengan bentuk


bulat, berwarna putih susu atau
keabuan, mengkilap, tepi rata,
permukaan cembung dan diameter
bervariasi dari ±1-4 mm

Pertumbuhan pada Media


EMBA:

Koloni yang tumbuh pada


media berwarna hijau methalik,
koloni sedang, cembung dan tepi
rata.

Pewarnaan Gram
Hasil pewarnaan gram bakteri
menunjukkan bakteri gram negative,
sel bakteri tunggal, bentuk batang
serta berwarna merah

Test Primer

38
15

39
Hasil uji katalase positif (+)
ditandai dengan terbentuknya
gelembung gas.

Hasil uji oksidase negatif (-)


ditandai dengan tidak terjadi
perubahan warna pada kertas
oksidase.

Test Sekunder
Media Triple Sugar Iron Agar
(TSIA)
a. Bidang miring acid slant (+),
A diatandai dengan adanya
perubahan dari warna merah
menjadi kuning.
b. Bidang tegak acid butt (+),
ditandai dengan adanya
B
perubahan warna merah
menjadi kekuningan
C c. Gas (+), ditandai dengan media
terangkat

Media Sulfit Indol Motility (SIM)


a. Indol (+) ditandai dengan
terbentuknya cincin merah di
permukaan media setelah
ditetesi reagen kovach
b. Motilitas (+) ditandai dengan
A lokasi penusukan kabur/ada
pergerakan kuman
B c. Sulfida (-) ditandai dengan
dasar media berwarna jernih
atau tidak terdapat H2S
C

40
16

41
Media MRVP
a. MR (Metyl Red) (+) ditandai
dengan perubahan warna
media menjadi merah setelah
ditetesi reagen MR.
b. VP (Voger Proskauer) (-)
ditandai dengan tidak terjadi
perubahan warna setelah
ditetesi reagen VP.

Media Simon Citrat Agar (SCA)

a. SCA (-) ditandai dengan tidak


terjadi perubahan warna pada
media

Uji Gula-gula
Laktosa

a. Laktosa (+) ditandai dengan


media berubah warna menjadi
kuning
b. Gas (+) ditandai dengan A terbentuknya
gas/gelembung
pada tabung durham.

42
17

43
Glukosa

a. Glukosa (+) ditandai dengan


media berubah warna menjadi
kuning
b. Gas (+) ditandai dengan A
terbentuknya gas/gelembung
pada tabung durham.

Berdasarkan bentuk, warna, tepian ukuran koloni yang tumbuh pada media
Nutrient Agar dan EMBA serta pewarnaan gram, test primer dan test sekunder
dapat di simpulkan bahwa koloni bakteri yang tumbuh adalah Esherichia coli.

44
18

45
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan
Kejadian suatu penyakit dapat melibatkan tiga faktor utama yaitu, faktor agen
penyakit, hospes, dan lingkungan. Begitu juga pada infeksi parasit dapat di
pengaruhi oleh tiga faktor utama, antara lain faktor parasit (terutama cara
penyebaran atau siklus hidup, viabilitas atau daya tahan hidup, pathogenesis dan
imunogenesis), faktor hospes (terutama spesies, umur, ras, jenis kelamin, status
imun dan status gizi), serta faktor lingkungan terutama musim dan keadaan
geografis (Guna et al., 2014).
Berdasrakan pemeriksaan pada anjing kasus dengan nomor protokol 886/KO-
PPDH/03/IV/2018, teramati gejala klinis yang tampak yaitu lemas, penurunan
nafsu makan, bagian abdomen membesar, diare, rambut kusam dan kasar. Sejalan
dengan Ardana dan Putra (2008) gejala-gejala dari hewan yang terinfeksi cacing
antara lain, badan lemas dan rambut kusam serta kasar. Agna (2009) mengatakan
perut pada anjing muda yang terinfeksi Toxocara canis jelas memperlihatkan
pembesaran dan tampak mengantung. Infeksi berlanjut diikuti dengan anemia, diare
dan badanya menjadi kurus yang akhirnya menyebabkan kematian. Menurut
Kertawirawan (2014), adanya parasit di dalam tubuh ternak tidak harus diikuti oleh
perubahan yang sifatnya klinis. Gejala terserangnya parasit akan terjadi tergantung
dari jenis parasit, kondisi induk semang, organ yang dipengaruhi, jumlah parasit,
iklim dan umur hewan.
Soulsby (1982) dalam Fatmawati (2015), menyatakan bahwa pada umumnya
diagnosa toxocariasis yang dilakukan adalah berdasarkan gejala klinis yang
ditunjukan dan ditemukan telur pada feses. Diagnosa dengan cara pemeriksaan
feses adalah yang paling sering dilakukan, dapat juga diikuti dengan pemeriksaan
patologi klinik, untuk mendapatkan diagnosis definitif maka perlu dilakukan uji
lanjutan berupa uji laboratorium. Pemeriksaan pada laboratorium patologi klinik
menggunakan sampel darah dan fases. Hasil pemeriksaan darah didapatkan anjing
kasus mengalami anemia normositik hipokromik, eosinofilia. Hal ini
mengindikasikan anjing kasus mengalami perdarahan dan kurangnya pembentukan

46
darah, infeksi parasit. Anemia dapat disebabkan akibat penurunan jumlah
hemoglobin, eritrosit atau keduanya dalam sirkulasi darah. Eosinofilia adalah
peningkatan jumlah eosinofil yang beredar dan tampak pada kondisi
hipersensitivitas misalnya karna parasite dan alergi (Darmawan, 2006).
Hasil pemeriksaan fases secara makroskopis, fases berwarna cokelat
kehitaman, konsistensi cair yang menandakan anjing mengalami diare akibat
gangguan pada saluran cerna (Longo et al., 2011). Gangguan pada saluran cerna
dapat disebabkan oleh banyak agen seperti parasit, bakteri atupun virus. Sehingga,
diagnosis penyakit yang dialami anjing kasus dilakukan pengujian lebih lanjut
untuk mendapatkan diagnosis definitif dengan menemukan agen penyebab sakit.
Pemeriksaan fases pada laboratorium parasitologi meliputi pemeriksaan dengan
metode natif atau langsung, konsentrasi yang terdiri dari sedimen dan apung. Hasil
pemeriksaan ditemukan telur cacing Toxocara canis dan Ancylostoma caninum.
Hasil penghitungan total telur per gram (TTPG) dengan menggunakan metode Mc
Master didapatkan jumlah telur Toxocara canis 21.700 dan Ancylostoma caninum
100. Jumlah TTPG dapat dipakai sebagai penduga berat atau ringannya derajat
infestasi. Infestasi ringan memiliki jumlah TTPG 50-500, infestasi sedang memiliki
TTPG 500-2000 dan infestasi berat memiliki jumlah TTPG lebih dari 2000.
(Kusumamihardja 1992 dalam Iriani 2015). Berdasarkan acuan tersebut telur cacing
Toxocara canis pada anjing kasus tergolong infeksi berat sedangkan Ancylostoma
caninum termasuk infeksi ringan.
Toxocariosis adalah suatu penyakit akibat infeksi cacing Toxocara canis.
Cacing ini umumnya menginfeksi anjing muda. Cacing Toxocara canis hidup di
usus halus anjing dan dapat menghasilkan lebih dari 200.000 telur per hari
(Subronto, 2006). Siklus hidup toxocara canis terdiri atas infeksi langsung, infeksi
intra uterus, infeksi trans-mammaria, infeksi pasca-induk melahirkan dan infeksi
melalui hospes paratenik (Subronto, 2006).
Telur infektif Toxocara canis yang mengandung larva stadium kedua dapat
menginfeksi anak anjing sampai umur 4 minggu secara langsung. Di dalam usus
anak anjing telur infektif Toxocara canis akan segera menetas dan menghasilkan
larva stadium kedua, yang selanjutnya bermigrasi ke hati dalam waktu 2 hari dan
berubah menjadi larva stadium ketiga. Setelah itu, larva tersebut akan bermigrasi

47
ke paru-paru yang memerlukan waktu 3-6 hari. Di paru-paru larva akan bermigrasi
menuju alveoli, bronchiole, bronchi dan selanjutnya menuju trachea. Setelah di
trachea, larva akan pindah ke pharynx, yang selanjutnya menuju ke esophagus,
lambung, dan larva akan berubah bentuk (moulting) menjadi cacing dewasa.
Periode prepaten Toxocara canis pada anak anjing sampai umur 3 bulan adalah 4
sampai 5 minggu.
Sedangkan pada infeksi intra uteri terjadi pada anjing betina yang berumur
lebih dari 1 sampai 3 bulan, jika menelan telur cacing infektif, larva stadium kedua
akan berdiam di dalam jaringan somatic dan tetap bersifat infektif sampai 1 tahun
lamanya. Saat anjing tersebut bunting, larva yang infektif akan termobilisasi 2
minggu sebelum ia melahirkan. Larva infektif akan menembus plasenta dan
selanjutnya mencapai fetus. Pada saat dilahirkan anak anjing tersebut telah
terinfeksi oleh larva stadium ketiga di dalam paru-parunya. Dalam waktu 1 minggu
larva berkembang menjadi stadium keempat, berukuran 4 sampai 7 mm. Larva
stadium keempat tersebut juga ditemukan di usus anak anjing pada umur 3 hari.
Dalam waktu 2 sampai 3 minggu larva stadium keempat berkembang menjadi
stadium kelima atau sebagai cacing muda yang berukuran sampai 7 cm di usus
halus. Pada saat anjing berumur 19 sampai 23 hari, dalam feses-nya telah ditemukan
telur cacing. Periode prepaten minimum pada infeksi intra-uterus adalah 19 sampai
23 hari.
Infeksi Toxocara canis juga dapat melalui trans-mammaria. Larva infektif
telah dapat diisolasi dari air susu yang dikeluarkan pada laktasi hari ke-22, yang
berarti infeksi lewat air susu dimungkinkan. Meskipun hal tersebut dimungkinkan,
infeksi trans-mammaria sangat jarang terjadi pada anak anjing yang sedang
menyusui.
Infeksi cacing dapat juga melalui hospes paratenik yang terjadi bila anjing
memakan karkas binatang pengerat (rodentia) misalnya tikus yang mengandung
larva dorman di dalam jaringan tubuhnya. Binatang lain misalnya cacing tanah
(lumbricits), kecoa, unggas, bahkan domba dapat pula bertindak sebagai hospes
paratenik bagi Toxocara canis. Larva dorman tersebut dapat langsung berkembang
di dalam usus anjing tanpa harus melalui migrasi di dalam tubuh anjing. Periode
prepaten infeksi dengan cara ini berlangsung selama 4 minggu.

48
Dalam usus halus, cacing dewasa mengambil nutrisi dari hospes definitifnya
dengan menyebabkan luka pada dinding usus dan mengambil nutrisi dari sirkulasi.
Berdasarkan siklus hidupnya, larva menyebabkan penyakit dengan fase migrasi
yang meninggalkan lesi pada organ dan jaringan yang dilalui. Keparahannya
bergantung kepada jumlah, baik pada cacing dewasa maupun larva (Agna, 2009).
Telur cacing lain yang ditemukan pada pemeriksaan mikroskopis feses anjing
kasus adalah Ancylostoma caninum dengan infestasi telur ringan yaitu 100 TTPG.
Daur hidup Ancilostoma sp. bersifat langsung, tanpa hospes antara. Cacing dewasa
hidup dari menghisap darah diusus halus. Cacing mengait mukosa usus dengan
lokasi yang berpindah-pindah, sehingga meninggalkan luka-luka dengan
perdarahan yang berlangsung lama, hal ini disebabkan karna cacing menghasilkan
toksin anti koagulan darah pada luka. Cacing betina akan menghasilkan telur dalam
jumlah besar, bahkan seekor cacing diperkirakan mampu bertelur sebanyak 10-
30.000 telur per hari (Tjahajati et al, 2005).

4.2 Diagnosis
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, anjing kasus dengan
nomor protokol 886/KO-PPDH/03/IV/2018 menderita Toxocariosis yang
disebabkan oleh Toxocara canis.

4.3 Pencegahan dan Penanganan


Pencegahan terhadap penyakit helminthiasis dapat dilakukan dengan cara
menjaga kebersihan lingkungan, menjaga nutrisi dan manajemen pemeliharaan
serta memberikan obat cacing secara rutin. Pemberian obat cacing untuk menangani
infestasi nematoda saluran cerna diantaranya seperti piperazin, pyrantel pamoat,
levamisol, dan tiabendazol. Obat cacing bersprektum luas juga dapat digunakan
seperti, albendazol dan ivermectin.

22
49
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
Hasil pemeriksaan anjing kasus dengan nomor protokol 886/KO-
PPDH/03/IV/2018 yaitu anjing kasus menderita Toxocariosis yang disebabkan oleh
Toxocara canis.
5.2 Saran
Disarankan kepada pemilik hewan kasus agar selalu menjaga kebersihan
kandang, sistem pemeliharan dan nutrisi serta pemberian obat cacing secara rutin
guna pegendalian helminthiasis.

50
23

51
DAFTAR PUSTAKA

Agna. 2009. Toxocariasis pada kucing. (online), (http://dr-


agna.livejournal.com/3275.html. Diakses pada tanggal 10 April 2018).

Ardana IB, Putra DKH. 2008. Ternak Babi: Manajemen Reproduksi, Produksi, dan
Penyakit. Cetakan pertama. Udayana University Press; Denpasar.

Badan Pusat Statistik Bali. kependudukan.


https://bali.bps.go.id/statictable/2018/02/15/35/beberapa-karakteristik-
penduduk-menurut-kabupaten-kota-di-bali-hasil-sensus-penduduk-2017-
.html Bali: Badan Pusat Statistik Bali. Diakses 5 April 2018.

Bogdanoski T. 2010. Toward An Animals Friendly Family Law: Recognising The


Welfare Of Family Law’s Forgotten Family Members. Griffith Law Rev.
19(2) pp:197-237.

Budiana NS. 2006. Anjing. Cet 4. Jakarta (ID) : Penebar Swadaya . 188 hlm.

Dharmawan NS. 2002. Pengantar Patologi Klinik Veterriner Hematologi Klinik.


Cetakan kedua. Universitas Udayana; Jimbaran.

Estuningsih SE. 2005. Toxocariasis pada Hewan dan Bahayanya pada Manusia.
Wartazoa Journal. (on line), Vol. 15 No. 3: 136-142, (http://bbalitvet.
litbang.deptan. go.id/ind/attachments/152_14.pdf. Diakses pada tanggal 21
Januari 2014).

Fatmawati D. 2014. Identifikasi Toxocara canis pada Anak Anjing di Makassar Pet
Clinic. (Skripsi). Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.

Guna INW, Suratma NA, Damriyasa IM. 2014. Infeksi Cacing Nematoda pada
Usus Halus Babi di Lembah Baliem dan Pegunungan Arfak Papua. Buletin
Veteriner Udayana. 6(2): 129-134.

Irinani N. 2015. Identifikasi Cacing Nematoda pada Saluran Pencernaan Babi di


Makassar. (Skripsi). Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar.

Kertawirawan API. 2014. Identifikasi Kasus Penyakit Gastrointestinal Sapi Bali


Dengan Pola Budidaya Tradisional pada Agroekosistem Lahan Kering Desa
Musi Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng. Buletin Teknologi dan
Informasi Pertanian, Vol.12 No. 36

52
24

53
Krisna Dewi NMR. 2012. Faktor risiko kejadian kasusu gigitan anjing di Kabupaten
Tabanan. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Levine N. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Yogyakarta : UGM Press.

Longo, D. et al., 2011. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th ed. New
York, NY: McGraw-Hill.
Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domesticated
Animals. New York and London : academica press.
Subronto. 2006. Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

Tjahajati I, Purnamaningsih H, Mulyani TG, Yuriandi. 2006. Kasus


Ankilostomiasis pada Pasien Anjing di Klinik Penyakit Dalam, Rumah
Sakit Hewan FKH-UGM Selama Tahun 2005. J. Sain Vet. Vol 24 No. 1

Yusuf S, Purba FZ. 2008. Semua Tentang Anjing. Yogyakarta: Media Pressindo.
(on line). (http://books.google.co.id/books?id=oM9TNJzfQaIC&printsec=
frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false. Diakses pada tanggal 28 Januari
2014).

54
25

55
LAMPIRAN

56
57
58
Hospes : Anjing
JenisKelamin : Betina
Umur : ± 1,5 bulan
Ras : Lokal

 CARA PEMELIHARAAN
Lantai Kandang Pembersihan Kandang
Tanah Semen Setiap hari 2 hari sekali
Dikandangkan  
Diikat
Dilepas

 JUMLAH HEWAN DALAM 1 KANDANG : 1 Ekor


 MAKANAN YANG DIBERIKAN : Dog food
 PENGOBATAN YANG DIBERIKAN :-
 GEJALA KLINIS : Anjing tampak lemas, mata terlihat ada kotoran, mukosa mulut pucat, nafsu makan
menurun, bagian abdomen membesar, rambut kusam, disertai diare
 PATOLOGI ANATOMIS :-
 HASIL PEMERIKSAAN

PEMERIKSAAN KWALITATIF PEMERIKSAAN KWANTITATIF


KONSENTRASI STOOL McMASTER
LANGSUNG
SEDIMENTASI APUNG
Toxocara Canis
EPG = 21.700
Kanan = 106
Kiri = 111

59
Ancylostoma Caninum
EPG = 100
Kanan = 1
Kiri =

 DIAGNOSA : Positif terinfeksi endoparasit yaitu Toxocara canis dan ancylostoma caninum
Denpasar, 11 April 2018
Pembimbing

Dr. Drh. I Made Dwinata, M.Kes


NIP. 196206061989031003

60
LABORATORIUM PARASITOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman Denpasar 80232 Telp/Fax (0361) 701808;223791

IDENTIFIKASI PARASIT NON KASUS

No Kasus Metode Pemeriksaan

Natif Sedimen Apung

1. Anjing
Negatif

Toxocara canis
 Menurut Thienpont et al., (1986) Bentuk telur bulat (spherical)
dan beberapa oval dengan dinding tebal. Isi berwarna hitam
kecoklatan (granul).
2.

Negatif Negatif
Ayam

Capilaria sp.
 Telur berbentuk seperti lemon (lemon shaped) memiliki dinding
tebal, halus, bergranul. (Thienpont et al., 1986).
3. Negatif

Sapi

Toxocara vitulorum
a. Bentuknya seperti bulat
b. Dinding tebal dan dilapisi selaput albumin

61
c. Ukuran 69-95 µm x 60-77µm
d. Bergranul dan Tidak bersegmen (Thienpont et al., 1986)
Trichuris ovis
a. Telur berbentuk seperti lemon (lemon shaped)
b. Ukuran sekitar 70 µm (70-80 µm) x 30-42 µm
c. Dinding tebal, memiliki operkulum
d. Bergranul, tidak memiliki blastomer (Thienpont et al., 1986)
4. Babi Negatif

Trichuris Suis
 Bentuk telur seperti tempayan
 Berdinding tebal berwarna kecoklatan
 Ukuran telur 50-80 x 29-42 mikron
 Pada kedua ujungnya terdapat penonjolan
 Dinding terdiri dari 2 lapis, bagian dalam jernih dan luar
kecoklatan.
(Natadisastra dan Agoes, 2005)
5 Kuda Negatif Negatif

Dictyocaulus arnfieldi
a. Berbentuk elips
b. Berdinding tipis
c. Terdapat larva pada isi telur
d. Ukuran panjang x lebar ± 80-100µm x 50-60 µm (Thienpont et
al., 1986).
6 Kucing Negatif Negatif

Toxocara cati
a. Biasanya telur berbentuk hampir bulat terkadang oval
b. Berdinding tebal, permukaan halus dan berbintik-bintik
c. Telur berwarna coklat gelap hingga hitam, granul memenuhi isi
telur, granul berwarna coklat kekuningan

62
IDENTIFIKASI HELMINTH

No. Kasus Identifikasi


1. Ascaridia galli
(Nematoda)

B
A

1. Memiliki 3 bibir besar (A)


2. Ujung Posterior terdapat pulva (betina), sementara
pada cacing jantan ujung posteriornya melingkar atau
melengkung kearah ventral dengan sebuah spikula (B)

(Sumber : Craig, et al., 1970)


2. Fasciola gigantica
(Trematoda)

1. Bentuk pipih seperti daun


2. Tidak bersegmen
3. Memiliki oral sucker (A)
4. Ventral sucker (B)
5. Glands vitelline (C)

(Sumber : Urquhart, et al., 1987)

63
3. Raillietina sp.
(Cestoda)

1. Memiiki ukuran kepala yang besar


2. Memiliki 4 sucker dengan kait penghisap (A)
3. Tubuh bersegmen (B)

(Sumber : Taylor, et al., 2007)

64
IDENTIFIKASI ARTHROPODA

N Kasus Metode Pemeriksaan


O Gambar Identifikasi
1 Caplak Rhipichepalus
sp

(Pictorial keys
2 Arthropds,
Reptiles, Birds
and Mammals
1 of public health
3 Significance;
Ticks: Key to
4 Genera in the
4
United States
hal 26 by Harry
D. Pratt)

Keterangan :
1. Segmen terakhir pada kaki depan mengecil
2. Kapitulum berada pada bagian anterior, teramati
adanya skutum
3. Basis Kapitulum berkembang kesamping, mata
pada skutum teramati pada bagian lateral.
4. Coxa bagian depan memiliki lekuk yang dalam,
festoons teramati, lekuk anal

2 Pinjal Ctenocephalide
1 s canis

(Pictorial keys
Arthropds,
Reptiles, Birds
and Mammals
of public health
2
Significance;
Fleas: Key to
Some Common
Species in the
United States
hal 169 by
Harry D. Pratt)

65
4

Keterangan :
1. Genal dan pronatal comb teramati.
2. Genal comb bejumlah lebih dari lima dan mata
teramati
3. Genal comb mengarah horizontal dengan spina
runcing.
4. Panjang kepala kurang dari dua kali lipat tinggi
kepala pinjal.
5. Spina I Genal comb lebih pendek dari spina II
3 Tungau I I. Demodex
canis
II. Demodex
injai

Mites :
Diversity of
Three Species
of the Genus
Demodex
(Acari,
Demodecidae)
Parasitizing
Dogs in Poland
Keterangan : By Joanna N.
1. Gnanthosoma Izdabeska &
2. Podosoma Slawomira
3. Opisthosoma Fryderyk
4. “Ephimeral Plate”
5. Kaki tungau. Terdapat 3 pasang kaki
6. Vulva

66
Keterangan :
1. Gnanthosoma
2. Podosoma
3. Opisthosoma
4. Kaki tungau. Terdapat 3 pasang kaki

4 Kutu Lipeurus
caponis

(Mallophaga:
Pictorial Key to
Some Common
Species On
Chickens hal
:93 by Harold
George Scoot &
Chester J.
Stojanovich)

Keterangan :
1. Merupakan kutu yang ditemukan pada unggas (kutu
pada bulu ayam)
2. Antena bersegmen 5
3. Memiliki kepala yang lebih panjang dari lebarnya
4. Abdomen memiliki bentuk yang ramping

67
5 Lalat Musca
domestica

(Domestic
Flies: Pictorial
Key to
Common
Species in
Southern U.S.
hal 121 by H. R.
Dodge)

Keterangan :
1. Thorak dan abdomen berwarna coklat-hitam pucat
2. Vena ke 4 pada sayap menyudut
3. Terdapat 4 garis berwarna gelap pada thorak

68
6 Nyamuk Culex sp.

(Mosquitoes:
Pictorial Key to
Some Common
Adult (Female)
of Western
United States
hal 151 by
Harry D. Pratt
and Chester J.
Stojanovich)

Keterangan
1. Palpus lebih pendek dari proboscis
2. Proboscis ramping dan tidak melengkung
3. Abdomen memiliki bercak dengan warna cerah,
tidak nampak bulu-bulu halus.
4. venasi marginal kedua pada sayap memiliki
panjang yang sama dengan petiole.
5. Abdomen tumpul.
6. Bagian dasar subcosta tidak memiliki bristle
7. Garis-garis sayap tipis dan berwarna gelap
8. Antena tidak lebih panjang dari proboscis

69
Denpasar, 12 April 2018

Mengetahui

Dosen Pembimbing Mahasiswa

Dr. Drh. I Made Dwinata, M. Kes Wahid Danang Pranatha, S.Kh


NIP. 19620606 198903 1 003 NIM. 1309006141

70
LABORATORIUM MIKROBIOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman Denpasar 80232 Telp/Fax (0361)701808;223791

LAPORAN LABORATORIUM BAKTERIOLOGI

DATA SPESIMEN
No. Protokol : 886/KO-PPDH/07/IV/2018 Pemeriksa : Wahid Danang Pranatha, S.Kh
Tgl sampel : 07 November 2017 NIM : 1309006141
Spesimen : Swab Rectum Paraf Dosen Piket :

DATA PENUNJANG

Nama Pemilik : Jeje Lokasi: Jl. Waturenggong Gg. Badik No 17


Jenis/Ras : Anjing/Lokal Sex : Betina
Jumlah : 1 ekor Umur : 1,5 bulan
Keterangan :
Saudari Jeje merupakan pemilik anjing kasus. Anjing kasus merupakan anjing
yang ditemukan sekitar 2 minggu yang lalu disekitar jalan menuju TPA Suwung, saat
ditemukan kondisi anjing terlihat lemas dan ada pembengkakan abdomen. Setelah
dipelihara anjing kasus menunjukan gejala lain yaitu penurunan nafsu makan dan diare
yang sempat disertai darah. Selama dipelihara anjing kasus belum pernah dilakukan
vaksinasi, belum pernah diberi obat cacing, namun telah diberikan terapi suportif berupa
air gula. Sistem pemeliharaan anjing saat ini dikandangkan dan diberi makan dog food
serta air minum dari sumur.

DATA HASIL ISOLASI DAN IDENTIFIKASI


Pertumbuhan pada media NA: Pertumbuhan pada Media EMBA:
Koloni tumbuh dengan bentuk bulat, Koloni yang tumbuh pada media berwarna
berwarna putih susu atau keabuan, hijau methalik, koloni sedang, cembung dan
mengkilap, tepi rata, permukaan cembung tepi rata.
dan diameter bervariasi dari ±1-4 mm Pewarnaan Gram:
Hasil pewarnaan gram bakteri menunjukkan
bakteri gram negative, sel bakteri tunggal,
bentuk batang serta berwarna merah
PRIMARY TEST
Katalase + Adanya aktivitas enzim katalase yang
memecah H2O2 menjadi H2O
Oksidase - Tidak memiliki aktivitas oksidase
SECONDARY TEST

71
TSIA: - Acid slant + Mampu memfermentasi laktosa dan
sukrosa
- Acid butt + Mampu memfermentasi glukosa
- Gas + Mampu membentuk gas
SIM: - Indol + Bakteri memiliki enzim tripanose yang
dapat menghidrolisis asam amino jenis
tiptofan yang memiliki gugus samping indol
sehingga indol akan bereaksi dengan reagen
uji dan membentuk indol berwarna merah
- Motilitas + Tempat tusukan terlihat kabur
- H2S - Media tidak berubah warna hitam
MRVP: - MR + Media berwarna merah setelah ditetesi
reagen
- VP - Media tidak berubah warna setelah ditetesi
reagen
SCA - Tidak menggunakan citrate sebagai sumber
karbon
UJI GULA-GULA
- Laktosa + Media berubah warna menjadi kuning
dan ada gelembung gas pada tabung
durham
- Glukosa + Media berubah warna menjadi kuning
dan ada gelembung gas pada tabung
durham
Diagnosa Escherichia coli (E.coli)

72
HASIL ISOLASI DAN IDENTIFIKASI HEWAN KASUS

Gambar Keterangan

Pertumbuhan pada media NA:

Koloni tumbuh dengan bentuk bulat,


berwarna putih susu atau keabuan, mengkilap,
tepi rata, permukaan cembung dan diameter
bervariasi dari ±1-4 mm

Pertumbuhan pada Media EMBA:

Koloni yang tumbuh pada media


berwarna hijau methalik, koloni sedang,
cembung dan tepi rata.

Pewarnaan Gram
Hasil pewarnaan gram bakteri
menunjukkan bakteri gram negative, sel
bakteri tunggal, bentuk batang serta berwarna
merah

Test Primer

73
Hasil uji katalase positif (+) ditandai
dengan terbentuknya gelembung gas

Hasil uji oksidase negatif (-) ditandai


dengan tidak terjadi perubahan warna pada
kertas oksidase.

Test Sekunder
Media Triple Sugar Iron Agar (TSIA)
A a. Bidang miring acid slant (+), diatandai
dengan adanya perubahan dari warna
merah menjadi kuning.
b. Bidang tegak acid butt (+), ditandai
B dengan adanya perubahan warna merah
menjadi kekuningan
c. Gas (+), ditandai dengan media terangkat
C

Media Sulfit Indol Motility (SIM)


a. Indol (+) ditandai dengan terbentuknya
cincin merah di permukaan media setelah
ditetesi reagen kovach
b. Motilitas (+) ditandai dengan lokasi
penusukan kabur/ada pergerakan kuman
A c. Sulfida (-) ditandai dengan dasar media
berwarna jernih atau tidak terdapat H2S
B

Media MRVP

74
a. MR (Metyl Red) (+) ditandai dengan
perubahan warna media menjadi merah
setelah ditetesi reagen MR.
b. VP (Voger Proskauer) (-) ditandai
dengan tidak terjadi perubahan warna
setelah ditetesi reagen VP.

Media Simon Citrat Agar (SCA)

a. SCA (-) ditandai dengan tidak terjadi


perubahan warna pada media

Uji Gula-gula
Laktosa

a. Laktosa (+) ditandai dengan media


berubah warna menjadi kuning
b. Gas (+) ditandai dengan terbentuknya
gas/gelembung pada tabung durham.
A

75
Glukosa

a. Glukosa (+) ditandai dengan media


berubah warna menjadi kuning
b. Gas (+) ditandai dengan terbentuknya
gas/gelembung pada tabung durham.
A

Berdasarkan bentuk, warna, tepid an ukuran koloni yang tumbuh pada media Nutrient
Agar dan EMBA serta pewarnaan gram, test primer dan test sekunder dapat di simpulkan
bahwa koloni bakteri yang tumbuh adalah Esherichia coli.

Denpasar, 9 April 2018

Dosen Pembimbing Mahasiswa

Drh. I Gusti Ketut Suarjana, MP Wahid Danang Pranatha, S.KH


NIP. 19601111 198803 1 001 NIM. 1309006141

76
LABORATORIUM MIKROBIOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman Denpasar 80232 Telp/Fax (0361)701808;223791

Pemeriksaan Laboratorium Virologi

Materi: Spesimen yang digunakan yaitu: Proventrikulus, Hati, dan Usus

Metode pemeriksaan yaitu :


1. Pembuatan inokulum
2. Penanaman inokulum pada TAB
3. Pemanenan cairan allantois
4. Uji Rapid HA
5. Uji Hemaglutinasi (HA)
6. Uji Hambatan Hemaglutinasi (HI)
1. Pembuatan Inokulum
Spesimen yang berasa dari organ di potong kecil-kecil menggunakan
gunting kemudian dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf lalu di hancurkan
menggunakan stik. Organ yang telah hancur ditambahkan NaCl lalu di
sentfrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama 10-15 menit, buang
supernatan dari endapannya masukkan ke tabung eppendorf kemudian
Inokulasi ditambahkan antibiotika penisilin dan streptomisin masing-masing
sebanyak 0,1ml untuk menghambat pertumbuhan bakteri dalam suspense
tersebut. Selanjutnya di eramkan pada suhu 370C selama 30 menit
2. Penanaman Inokulum pada Telur Ayam Bertunas(TAB)
Inokulasi dilakukan pada telur ayam bertunas berumur 10 hari. Telur
ayam bertunas terlebih dahulu dilakukan candling menggunakan teropong
untuk mengetahui keadaan embrio dan batas dari daerah kantung udara.
Batas kantong udara dan embrio ditandai, kemudian dilakukan penusukan
dengan bor telur pada cangkang di daerah atas dari garis perbatasan antara
kantung udara dan embrio. Disuntikkan inoculum pada lubang bekas tusukan
ke dalam ruang allantois dengan spuit 1 ml sebanyak 0,2 ml ada setiap telur.
Tutup lubang dengan kuteks dan berikan label dan diinkubasikan pada suhu
370C. Pengamatan dilakukan setiap hari sampai embrio mati segera

77
dilakukan pemanenan. Pada pengujian kali ini dilakukan pemanenan pada
hari ke-3 pasca inokulasi
3. Pemanenan Cairan Alantois
Telur ayam bertunas di keluarkan dari inkubator lalu dilakukan candling,
sebelum dilakukan pemanenan telur dimasukkan ke dalam lemari pendingin
untuk mengurangi perdarahan saat melakukan pembukaan cangkang, Buka
dan potong dengan gunting cangkang telur di daerah kantong udara lalu isap
cairan allantois menggunakan mikropipet dan ditampung pada tabung
eppendorf, kemudian disentrifuges. Supernatannya diambil lalu di masukkan
ke tabung eppendorf yang baru kemudian disimpan untuk uji serologis.
4. Uji Hemaglutinasi Cepat (HA)
Uji rapid HA dilakukan dengan menambahkan 0,025 ml pada sumuran
mikroplate, lalu ditambahkan antigen virus sebanyak 0,025 ml dan 0,05 ml
suspensi sel darah merah 1% lalu diayak selama 30 detik. Selanjutnya
diinkubasikan pada suhu kamar selama 1 jam lalu amati setiap 15 menit
reaksi hemaglutinasi. Reaksi positif ditandai dengan tidak terjadi
pengendapan pada dasar sumuran yang menunjukkan bahwa sel darah
diaglutinasi oleh virus.
5. Uji Mikrotiter Hemaglutinasi (HA)
Uji ini dilakukan untuk mendeteksi keberadaan virus dan mengetahui
titer virus pada pengenceran tertinggi. Uji hemaglutinasi dilakukan dengan
cara penambahan 0.025 PBS pada setiap sumuran mikroplet, kemudian
ditambahkan antigen virus pada sumuran 1 dan 2 sebanyak 0.025 ml.
Selanjutnya di lakukan pengenceran seri kelipatan 2 menggunakan pipet
mikro mulai dari sumuran 2 sampai 11 lalu ditambahkan PBS kembali ke
setiap sumuran sebanyak 0,025 kemudian diayak selama 30 detik.
Inkubasikan selama 1 jam amati setiap 15 menit reaki hemaglutinasi terjadi.
Reaksi positif menunjukkan tidk terjadinya pengendapan di dasar sumuran
yang mengindikasikan bahwa virus mengaglutinasi sel darah merah.
Pembacaan dilakukan dengan cara memiringkan plat mikri 450 dan pennetuan
titer HA dilihat dari pengenceran antigen tertinggi yang masih dapat
mengaglutinasi sel darah merah.

78
6. Uji Hambatan Hemaglutinasi Cepat (HI)
Sebelum dilakukan uji HI, antigen yang di uji dengan uji HA harus
memiliki titer 4 unit HA. Setelah itu, uji rapid HI dilakukan dengan
menambahkan PBS sebanyak 0,025 ml pada lubang sumuran 1-4, kemudian
ditambahkan 4 unit HA sebanyak 0,025 ml pada lubang sumuran 1-3,
sedangkan lubang sumuran ke 4 ditambahkan 0,025 ml PBS. Serum New
Castle Disease ditambahkan pada lubang sumuran pertama dan serum Avian
Influenza ditambahkan kedua masing masing lubang sumuran sebanyak 0.025
ml. Selanjunya diayak 30 detik diinkubasikan selama 30 menit. Setelahnya,
dilkukan penambahan suspense sel darah merah 1% sebanyak 0,05 ml,
diayak selama 30 detik. Diinkubasikan selama 1 jam lalu amati setiap 15
menit perubahan yang terjadi.

Reaksi positif ditandai dengan terjadinya pengendapan di dasar sumuran


mengindikasikan antigen viru telah mengikat antibody yang berasal dari
serum sehingga sl darah merah bebas mengendap. Pembacaan hasil uji rapid
dilakukan jika pada lubang keempatyang berfungsi sebagai control sel darah
merah sudah terlihat endapat eritrosit.

Lampiran Gambar
Hasil Panen TAB

Ket : Embrio mati pada hari ke 3 pasca inokulasi

79
Hasil Uji Rapid Hemaglutinasi (HA)

Ket: Hasil Positif Menghemaglutinasi Sel Darah Merah Kontrol


Negatif (Kontrol Sel Darah Merah)

Hasil Uji Mikrotiter Hemaglutinasi (HA)

Ket: (+) Kontrol positif

Titer uji HA 26
(-) Kontrol sel darah merah

Hasil Uji Rapid HambatanHemaglutinasi (HI)

Ket: Terjadi hambatan hemaglutinasi pada sumur yang diisi serum

AI terjadi hambatan hemaglutinasi pada sumur yang diisi

Serum ND Kontrol antigen dengan sel darah merah

Kontrolsel darah merah

80
Pengujian Laboratorium Virologi PCR (Polimerasi Chain Reaction)
Materi: Spesimen yang digunakan adalah jantung dan kerokan usus.

Metode: Metode yang digunakan pada laboratorium virologi adalah isolasi DNA
virus (QIAGEN), uji RT-PCR dan elektroforesis.
1. Isolasi DNA Virus (Qiagen)
25 gr jaringan dimasukkan ke dalam tube ukuran 1,5 ml. Kemudian
tambahkan buffer ATL sebanyak 180 µl lalu dihomogenkan. Kemudian
tambahkan 20 µl proteinase K lalu vortek hingga tercampur baik. Kemudian
heating pada suhu 56o C selama 1-3 jam. Vortek selama 15 detik, kemudian
tambahkan 200 µl buffer AL dan divortek hingga tercampur baik.
Tambahkan 200 µl ethanol (96-100%) lalu di vortek hingga tercampur baik.
Ambil sampel kemudian dimasukkan ke dalam DNeasy Mini Spin Column
(mini spin column yang berada dalam tabung ukuran 2 ml yang sudah
disediakan). Kemudian di sentrifuge dengan kecepatan 8000 rpm selama 1
menit. Buanglah bagian bawah dan tabung bagian bawah, sedangkan mini
spin column (dengan membrane) digunakan kembali. Letakkan DNeasy Mini
Spin Column dalam tabung baru ukuran 2 ml yang baru (sudah disediakan
dalam KIT).

Kemudian tambahkan 500 µl buffer AW1, lalu sentrifuge dengan


kecepatan 8000 rpm Selama 1 menit. Buanglah cairan bagian bawah dan
tabung bagian bawah, sedangkan mini spin column (dengan membrane)
digunakan kembali. Letakkan DNeasy Mini Spin Column dalam tabung
ukuran 2 ml yang baru lalu tambahkan 500 µl buffer AW2, lalu sentrifuge
dengan kecepatan 8000 rpm dalam waktu 1 menit. Buanglah cairan bagian
bawah dan tabung bagian bawah, sedangkan mini spin column (dengan
membrane) digunakan kembali. Letakkan DNeasy Mini Spin Column dalam
tabung ukuran 1,5 ml atau 2 ml yang baru (tidak disediakan dalam KIT).
Tambahkan 200 µl buffer AE (Langsung ke DNeasy membrane).

Lalu inkubasikan pada suhu ruangan selama 1 menit. Sentrifuge dengan


kecepatan 8000 rpm selama 1 menit. Ulangi sentifuge dengan kecepatan
8000 rpm selama 1 menit untuk hasil yang optimal. Liquid dalam tabung siap

81
digunakan. Simpan dalam freezer.

2. Uji Polymerase Chain Reaction (PCR) pada Canine Parvovirus


Untuk peneguhan diagnosa penyakit dari anjing kasus, maka dilakukan
pemeriksaan laboratorium virologi melalui PCR. Polymerase Chain Reaction
(PCR) adalah teknik memperbanyak DNA secara in-vitro. Teknik ini
mensintesis dan mengamplifikasi bagian DNA yang diinginkan peneliti atau
diagnostian saja (Mahardika et al., 2015). Komponen- komponen yang
diperlukan pada proses PCR adalah templat DNA, sepasang primer, dNTPs
(deoxynukleotide triphosphates), buffer PCR, MgCl2, dan enzyme
polymerase DNA (Handoyo, 2000).

Tabung effendorf ukuran 200 µL disiapkan dan masing-masing diberi


tanda dan nomor sesuai spesimen uji. Dimasukkan Rmix 15 µL,
HMFORM1,8 µL, VPRM1,8µL, SS 0.75 µL dan AQB 7,65 µL dalam satu
tabung effendorf. Kemudian larutan tersebut diisikan ke setiap tabung
effendorf dan ditambahkan 1 µL DNA sampel pada setiap tabung sesuai
tanda dan nomor spesimen. Pada satu tabung kontrol negatif hanya
ditambahkan dengan 1 µL AQB dan tabung lainnya ditambahkan 1 µL
sampel Parvo sebagai kontrol positif.

Kemudian campuran itu dimasukkan ke dalam mesin Thermocycler yang


telah diprogram dengan kondisi: 1) 95o C selama 7 menit ; 2) 94o C selama 45
detik ; 3) 55o C selama 45 detik ; 4) 72o C selama 1 menit, siklus kemudian
diulang dari tahapan ke-2 sampai tahapan ke-4 sebanyak 39 kali ; 6) 72o C
selama 5 menit dan 7) 22o C selama-lamanya.

3. Elektroforesis
Elektroforesis digunakan untuk mengetahui panjang produk basa dari gen
yang diuji.
a. Proses elektroforesis diawali dengan pembuatan gel 1 % yaitu :
- 0,5gram agarose powder
- Tambahkan 50 ml TAE (Tris Acelat EDTA)
- Didihkan sambil diaduk sesekali sampai bubuk mencair dan agak
mengental

82
- Tambahkan 4 µl EtBr (Etidium Bromida)
- Cetak dalam cetakan sisir yang telah disiapkan sebelumnya.
- Setelah mengeras angkat kemudian taruh pada mesin elektroforesis
b. Persiapan produk PCR untuk elektroforesis :
- Sepuluh sampai tiga puluh persen produk PCR ditambahkan
sebanyak 1 µl loading dye (Bromphenol-blue dan Cyline Cyanol)
dimasukkan ke dalam setiap sumur pada gel Catatan : sumur
pertama pada gel dimasukkan DNA Ladder dan sumur selanjutnya
baru dimasukkan sampel yang akan dielektroforesis.
- Running dengan cara mesin elektroforesis deprogram dalam
tegangan 100 volt selama 30 menit.
- Setelah itu diangkat dan visualisasi DNA dilakukan dengan
vansluminator ultraviolet
(UV), kemudian pita yang terlihat diamati dan dicocokkan dengan
kontrol positif.
- Hasilnya didokumentasikan dengan kamera
Hasil Elektroforesis

1 2 3 4

Keterangan :
1. Marker / DNA Ladder
2. Spesimen dengan nomor protokol 851/KO-
PPDH/22/III/2018, nomor virolologi 60/Vir/FKH/2018
3. Kontrol negatif
4. Kontrol positif

83
Prof.Dr.Drh. Gusti Ayu Yuniati Kencana, MP

84
LAMPIRAN LAPORAN KASUS
No Kasus Patologi Patologi Diagnosa Diangnosa
Gejala Klinis Epidemiologi
Protokol Anatomi Klinik Sementara Defenitif
886/KO- Lemas, mata Hospes : Anjing yang - Anemia Perdarahan dan Toxocariosis
PPDH/03/VI/2018 terdapat kotoran, digunakan dalam kasus normositik kurangnya
hipokromik, pembentukan
mukosa mulut adalah anjing lokal berjenis eusinofilia darah, infeksi
pucat rambut kelamin betina dan berumur parasit
kusam dan kasar, 1,5 bulan.
bagian abdomen Agen : Berdasarkan
membesar, dan anamnesis yang di dapatkan
sempat diare dari pemilik, anjing kasus
disertai darah. belum divaksinasi dan belum
diberikan obat cacing.
Lingkungan : Lokasi pada
saat di temukan anjing kasus
milik jeje yaitu di sekitar
daerah TPA Suwung.
Kondisi lingkungan setelah
dipelihara saudari jeje yang
beralamat di Jalan
Waturenggong Gang Badik

85
No 17, Denpasar Selatan
selalu dijaga kebersihanya.
887/KO- Lemas, nafsu Hospes : Kucing milik - Anemia Mengalami Infeksi
PPDH/19/III/2018 makan menurun, saudari Yasmin merupakan mikrositik defisiensi zat besi Toxocara cati.
raambut kusam, pemberian kawanya saat hipokromik
bagian abdomen berumur 1,5 tahun dan
membesar, dan dipelihara hingga sekarang.
diare Kucing diberimakan cat food
dan diberi minum dari
sumur.
Agen : Kucing Yasmin
belum pernah diberi obat
cacing dan vaksin. Menurut
keterangan pemilik nafsu
makan kucing menurun
disertai diare yang
ditemukan cacing dan darah
Lingkungan : Cara
pemeliharaaan dilepasliarkan
dilingkungan rumah. Dengan
kondisi lingkungan yang
kotor
888/KO- Alopesia di Hospes : Menurut pemilik - Anemia Perdarahan dan Demodexosis
PPDH/20/III/2018 seluruh tubuh, anjing pernah mengalami mikrositik infeksi kronis
bagian epidermis sakit pada umur satu bulan normokromik,
terdapat kropeng, setalah itu sakit kulit kambuh monositosis
anjing terlihat kembali bulan februari

86
lemas, kulit hingga saat ini.
mengalami
Agen : pernah dilakukan
hiperemi
skin sceping test dan
ditemukan demodex.
Lingkungan : Alamat
hewan kasus berada di jalan
graha udayana dimana
tingkat kelembaban lebih
tinggi karan letak
geografisnya bukit dan
lembah sehingga
memungkinkan hewan
menjadi stress dan terkena
demodex
889/KO- Susah bernafas, Hospes : Pak wayan surya Perdarahan Leukopenia, Deplesi sumsum Collibacillosis
PPDH/23/III/2018 terdapat leleran memiliki 40 ekor babi muda. pada otak, neutropenia tulang, infeksi
dihidung, mulut Babi yang menimbulkan paru paru monositosis bakteri bersifat
berbusa gejala sakit sekitar 10 ekor meangalami kronis
dan jumlah yang mati 1 ekor. nekrosis,
penumpukan
Agen : babi belum pernah
cairan di
diberi vaksin dan diberi obat
bagian
cacing
abdomen,
Lingkungan : Cara distensi usus
pemeliharaan babi dan lambung,
dikandangkan beratapkan terdapat fibrin
asbes, dan beralaskan lantai pada jantung,
yang disemen. Babi hati dan ginjal

87
dikandangkan dengan blok 9-
12 ekor babi. Pemberian
pakan dilakukan 2 kali sehari
pagi dan sore, pakan yang
diberi berupa limbah dari
restoran dan diberi minum
dari sumur bor. Lingkungan
pemeliharaan sangat dekat
dengan TPA suwung
sehingga kebersihan kandang
sangat kurang terjaga
890/KO- Demam, lemas Hospes : Anjing kasus - Leukositosis, Dehdrasi dan Helmintiasis
PPDH/26/III/2018 eusinofilia
dan turgor kulit mengalami berjenis kelamin adanya infestasi
betina umur 3 tahun. dari parasit
lambat
Agen : status vaksinasi
belum divaksin dan belum
diberi obat cacing
Lingkungan : Berdasarkan
informasi pemilik kucing
dilepas liarkan disekitar
rumah,
851/KO- Lemas, Tidak Jumlah hewan yang Perdarahan Anemia Canine Canine
PPDH/22/III/2018 aktif, Lesu, tidak dipelihara hanya 1 ekor pada jantung, normositik Parvovirus (CPV) Parvovirus
nafsu makan, dirumahnya. Dipelihara Perdarahan hipokromik, (CPV)
muntah, dan diare dengan cara diliarkan. paru-paru, leukositosis,
yang bercampur Anjing sakit 3 hari dan neutropenia,
darah dengan bau kemudian mati. Jumlah Perdarahan limfositosis,
busuk. anjing diwilayah tersebut monositosis,

88
tidak diketahui dengan pasti. pada hati eusinopenia
Sebagian besar tetangganya
disekitar rumah juga Perdarahan
memelihara anjing, namun Saluran
belum termasuk anjing yang pencernaan
dilepas liarkan.
856/KO- Ayam Bulu kusam, nafsu makan Hospes: Perdarahan Polisitemia, Infeksi Bakteri
PPDH/03/IV/2018 Broiler/Betina/ 27 turun, ayam lemas, susah Ayam broiler pada paru. Leukositosis, kronis.
hari berdiri, diare (dengan warna dengan total perdarahan Neutropenia,
kekuningan), pembesaran populasi 4000 disertai Limfositosis
bagian abdomen ekor. 145 ekor pembengkakan
mengalami pada jantung.
gejala yang Adanya fibrin
sama (sejak pada
satu minggu). pericardium.
22 ekor mati. Perdarahan dan
pembengkakan
Agen:
hati dan ginjal.
Dicurigai
Distensi pada
Bakteri.
abdomen,
Karena Ayam
perdarahan
sudah
disepanjang
divaksin pada
saluran cerna.
umur 1 hari
Otak
DOC (ND dan
mengalami
AI) dan 14
perdarahan
hari (IBD).
CFR rendah
Lingkungan:

89
Dikandangkan
(open house).
Alas
menggunakan
sekam.
Temuan pada
tempat pakan
dan minum
terdapat
droplet feses.
Sekam
lembab, bau
dan kotor.
861/KO- Babi terlihat lesu, Babi Landrace milik Adanya Mikrositik, Infeksi Bakteri Kolibacillosis
PPDH/14/III/2018 tidak mampu peternakan ibu wayan yang distensi pada Hipokromik,
berdiri, tidak aktif berlokasi di jalan hayam usus, adanya Leukositosis,
bergerak, tidak wuruk, berumur 2 bulan fibrin Neutrofillia,
nafsu makan, dengan berat ± 15 kg, babi diberbagai Limfositopenia
dehidrasi, diare sakit sejak ± 5 hari, belum organ, otak
kekuningan pernah divaksin dan sudah mengalami
pernah diberikan obat cacing. perdarahan,
Selama sakit babi belum apex jantung
pernah dilakukan tumpul dan
penanganan dengan terdapat fibrin
pemberian obat-obatan. pada
pericardium
jantung,
terdapat fibrin
pada hati dan
usus

90
hemoragi.
866/KO- Lemas,BuluKusa Hewan yang dipelihara Ibu Ditemukan Anemia Helminthiosis Helmhinthiosis
PPDH/26/III/2018 m, tidak mau Made Yuliani sebanyak 25 cacing normositik
makan, kurus Ekor dengan sistem Ascarridia galli normokromik,
pemeliharaan dilepas liar dan Railllietina eusinofilia
dipekarangan rumah. Ayam pada usus halus
belum pernah diberikan obat
Terjadi
cacing dan di vaksinasi
hemaragi fokal
pada lumen di
usus halus

871/KO- Anorexia, lemas, Hewan merupakan ayam Perdarahan Anemia Avian influenza Avian influenza
PPDH/20/III/2018 tertunduk lesu, milik Ibu I Wayan Sunarti pada normositik dan newcastle
terdapat eksudat dengan total keseluruhan proventrikulus hiperkromik, disease
pada mata, dan sebanyak 53 ekor. , Perdarahan limfositosis
mengalami diare. Seluruhnya belum divaksin pada paru-
sama sekali. Sistem paru,
pemeliharaan yang Pendarahan
diterapkan pemilik adalah pada trakea,
dengan cara dilepas liarkan Pendarahan
bagi ayam indukan dan pada usus
dikandangkan bagi ayam halus sampai
anakan. Pada waktu yang usus besar.
sama terdapat kejadian
serupa ayam sakit dengan
gejala serupa dan ayam mati
dengan cepat, pemilik ayam
yang mati tersebut
merupakan tetangga Bu

91
Sunarti
876/KO- Diare, Kurus, Pemilik memelihara anak - Anemia infeksi parasit Trichuriosis
PPDH/04/IV/2018 Rambut kusam babinya dengan cara normositik
dan berdiri, Tidak hipokromik,
nafsu makan dikandangkan dengan yang eosinofilia,
seumurannya. Jumlah babi
yang dipelihara sebanyak 12
ekor yang terdiri dari 3 ekor
indukan dan 9 anakan.
Jumlah babi yang
menunjukkan gejala sakit
hanya 1 ekor. Babi sudah di
vaksin namun belum pernah
diberikan obat cacing.
Lingkungan peternakan babi
kotor dan lembab. Babi
dipelihara dalam lantai
semen. Pakan yang
diberikan sehari-hari yaitu
sisa rumah tangga, dan air
yang diberikan berasal dari
air sumur.

92
881/KO- Lemas, leher Hewan merupakan ayam Phetekie pada Anemia Avian influenza Avian influenza
PPDH/14/III/2018 ayam terpuntir, milik bapak Komang Arya Proventrikulu normositik dan newcastle
tidak dapat dengan total keseluruhan s, Pendarahan normokromik, disease
berdiri, dan susah sebanyak 12 ekor. pada paru- limfositosis
bernafas Seluruhnya belum divaksin paru,
sama sekali. Ayam dilepas Pendarahan
liarkan di pekarangan rumah. pada hati,
mencari makan sendiri, Pendarahan
kadang diberi jagung dan pada trakea,
diberi minum air PDAM. Pendarahan
Disekitar rumah bapak pada usus
Komang Aarya terdapat halus sampai
sungai kecil. usus besar.
S891/KO- Nafsu makan Hospes: Pemilik memiliki Distensi usus, Anemia Kolibacilosis Kolibacilosis
PPDH/14/III/2018 berkurang, lemas, 90 ekor babi dan 3 ekor pendarahan normositik
dehidrasi, dan diantaranya sakit dan dua sepanjang normokromik,
diare diantaranya sudah kritis. usus, Neutrofilia,
pendarahan Limfopenia
Agen: Babi sudah pernah pada organ
diberikan vaksin dan belum Eosinopenia
hati, paru-
pernah diberikan obat cacing. aru,hati,
Semenjak sakit belum diberi jantung, dan
pengobatan apapun. otak

Lingkungan: Sistem
pemeliharaannya
dikandangkan dengan
beralaskan semen dan

93
beratap seng, dan kondisi
lingkungan dalam kandang
maupun disekitar kandang
terlihat kotor/kurangnya
sanitasi.

94

Вам также может понравиться