Вы находитесь на странице: 1из 62

USULAN PENELITIAN

PENGARUH TANGGUNG JAWAB MORAL, KESADARAN WAJIB


PAJAK, SANKSI PERPAJAKAN DAN KUALITAS PELAYANAN PADA
KEPATUHAN PELAPORAN WAJIB PAJAK BADAN DI KANTOR
PELAYANAN PAJAK (KPP) PRATAMA BADUNG UTARA

Usulan penelitian ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyusun
skripsi S1 Jurusan Akuntansi

Diajukan oleh :

Kelompok 9

I MADE YOGI PRADNYANA SUGITHA

1315351126

ANDRI GUNAWAN

1315351127

LUKI SETIAWAN DJAJADI

1315351135

PROGRAM EKSTENSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

i
Usulan penelitian ini telah diseminarkan dan disetujui oleh Dosen pembimbing

pada hari/tanggal: ......................... dan layak dilanjutkan menjadi skripsi,

Ketua/Sekretaris Jurusan Akuntansi Dosen Pembimbing

............................................ .....................................

NIP. NIP.

ii
A. Judul : Pengaruh Tanggung Jawab Moral, Kesadaran Wajib Pajak,

Sanksi Perpajakan dan Kualitas Pelayanan pada Kepatuhan

Pelaporan Wajib Pajak Badan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP)

Pratama Badung Utara.

B. Latar Belakang Masalah

Kepatuhan wajib pajak merupakan salah satu kunci untuk menjamin

keberhasilan pemerintah dalam menghimpun penerimaan pajak agar dapat

digunakan untuk menopang pembiayaan pembangunan. Menurut Torgler (2005)

salah satu masalah yang paling serius bagi para pembuat kebijakan ekonomi

adalah mendorong tingkat kepatuhan wajib pajak. Kepatuhan pajak (tax

compliance) sebagai indikator peran masyarakat dalam memenuhi kewajiban

perpajakan masih rendah (Simanjuntak, 2009). Isu kepatuhan menjadi penting

karena ketidakpatuhan secara bersamaan akan menimbulkan upaya penghindaran

pajak seperti tax evasion dan tax avoidance, yang mengakibatkan berkurangnya

penyetoran dana pajak ke kas negara (Agustini, 2008:4). Kepatuhan pajak yang

tidak meningkat akan mengancam upaya pemerintah untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat (Chau, 2009). Hal ini dikarenakan tingkat kepatuhan

pajak secara tidak langsung mempengaruhi ketersediaan pendapatan untuk belanja

(Jung,1999).

Kepatuhan pajak merupakan masalah klasik yang dihadapi di hampir

semua Negara yang menganut sistem perpajakan (Hutagaol, 2007). Pandangan

kebanyakan orang menilai pajak dari sisi aparatnya adalah sebagai “hantu” yang

1
ditakuti, bahkan orang cenderung enggan untuk berurusan dengan aparat pajak

(Soewarno, 2005:25). Disisi lain fiskus bertugas untuk melakukan berbagai upaya

demi pemasukan pajak yang lebih besar. Setiaji (2008:4) menyebutkan bahwa

reformasi perpajakan adalah perubahan mendasar di segala aspek perpajakan yang

memiliki tiga tujuan utama, yaitu tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi,

kepercayaan terhadap administrasi perpajakan yang tinggi, dan produktivitas

aparat perpajakan yang tinggi. Pada awal tahun 1984, sejak dimulainya tax reform

sistem perpajakan di Indonesia berubah dari official assessment system menjadi

self assessment system (Tarjo, 2005:101). Sistem self assessment diterapkan atas

dasar kepercayaan pihak otoritas pajak kepada wajib pajak (Rahayu, 2007).

Sistem self assessment menuntut adanya peran aktif dari masyarakat dalam

pemenuhan kewajiban perpajakannya. Sistem self assessment ini diharapkan

mampu membawa misi dan konsekuensi perubahan sikap (kesadaran) warga

masyarakat untuk membayar pajak secara sukarela (Harahap, 2004:43).

Tulang punggung self assessment system adalah kepatuhan memenuhi

kewajiban perpajakan secara sukarela (voluntary of compliance), dimana wajib

pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakan kemudian

secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajaknya tersebut.

Kamus Umum Bahasa Indoneasia menyatakan, kepatuhan adalah tunduk atau

patuh pada ajaran atau aturan. Jean (1983) dalam Somya, dkk. (2005) mengartikan

kepatuhan sebagai perbuatan atau kebiasaan untuk memenuhi; pemenuhan sebuah

perintah; larangan atau hukuman dan aturan yang ditentukan; tunduk pada

kekuasaan; sebagai kepatuhan pada seseorang atau kepada hukum. Kepatuhan

2
dalam perpajakan merupakan ketaatan, tunduk, dan patuh serta melaksanakan

ketentuan perpajakan. Wajib Pajak yang patuh adalah Wajib Pajak yang taat dan

memenuhi serta melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan perpajakan. Kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance) dapat

diidentifikasi dari kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri, kepatuhan

menyetorkan kembali Surat Pemberitahuan (SPT), kepatuhan dalam penghitungan

dan pembayaran pajak terutang, dan kepatuhan dalam pembayaran tunggakan.

Menurut James et al. (2004), pengertian kepatuhan pajak (tax compliance)

adalah wajib pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya

sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu diadakannya pemeriksaan,

investigasi seksama, peringatan, ancaman dan penerapan sanksi baik hukum

maupun administrasi. Kesediaan dalam memenuhi kewajiban perpajakan

diharapkan dapat meningkatkan penerimaaan Negara sehingga pembangunan

nasional dapat terus berlangsung. Upaya meningkatkan penerimaan pajak saat ini

ternyata masih dihadapkan pada belum optimalnya peran masyarakat dalam

memenuhi kewajibannya terhadap Negara. Di Indonesia pada tahun 2012, orang

pribadi yang seharusnya membayar pajak atau yang mempunyai penghasilan

diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebanyak 60 juta orang, tetapi

jumlah yang mendaftarkan dirinya sebagai wajib pajak hanya 20 juta orang dan

yang membayar pajaknya dan melapor Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak

Penghasilannya hanya 8,8 juta orang dengan rasio SPT sekitar 14,7 %. Sementara

badan usaha yang terdaftar sebanyak 5 juta, yang mau mendaftarkan dirinya

sebagai wajib pajak hanya 1,9 juta dan yang membayar pajak/melapor Surat

3
Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilannya hanya 520 ribu badan usaha dengan

rasio SPT sekitar 10,4 % (www.pajak.go.id). Ini berarti tingkat kepatuhan

pelaporan SPT di Indonesia masih rendah. Di Bali pada tahun 2012, terdapat 2,9

juta jiwa yang tercatat sebagai usia produktif (data BPS), dari jumlah tersebut

yang terdaftar hanya sebesar 369.000 wajib pajak orang pribadi dan yang

melaporkan SPT hanya 260.000 wajib pajak. Adapun untuk seluruh badan usaha

di Bali hanya terdaftar sekitar 228.000 wajib pajak badan dan yang melaporkan

SPT hanya sekitar 14.886 wajib pajak (www.bisnis.com). Artinya, tingkat

kepatuhan wajib pajak di Bali yang ditunjukkan dari penyampaian surat

pemberitahuan (SPT) baik perorangan maupun badan usaha dapat dikatakan

masih rendah.

Tabel 1.1 Tingkat Kepatuhan Pelaporan SPT Tahunan Wajib Pajak Badan
di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Badung Utara Tahun
2010-2012

Tahun
Uraian
2010 2011 2012

WP Badan
WP Terdaftar 3.269 3.710 4.190

WP Efektif 2.490 2.928 3.408

SPT Masuk 1.361 1.609 1.615

SPT Tidak Masuk 1.129 1.319 1.793

% Kepatuhan 55% 55% 47%

Sumber: Pusat Data dan Informasi KPP Pratama Badung Utara, 2013

4
Di KPP Pratama Badung Utara tingkat kepatuhan pelaporan SPT Tahunan

Wajib Pajak Badan dapat dilihat pada Tabel 1.1. Tingkat kepatuhan pelaporan di

KPP Pratama Badung Utara pada tahun 2012 mengalami penurunan menjadi 47%.

Pada tahun tersebut menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-

06/PJ/2012 tentang Target Rasio Kepatuhan Penyampaian Surat Pemberitahuan

Pada Tahun 2012 untuk KPP Pratama yang berada di Pulau Bali ditetapkan

sebesar 62,5%, ini berarti tingkat kepatuhan pelaporan atau penyampaian SPT

Wajib Pajak di KPP Pratama Badung Utara masih rendah. Pada tahun 2013,

tingkat kepatuhan pelaporan wajib pajak di seluruh Kantor Pelayanan Pajak

diharapkan meningkat. Menurut Surat Direktorat Potensi, Kepatuhan dan

Penerimaan Nomor: S-71/PJ.08/2012 perihal Target Rasio Kepatuhan

Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan PPh pada Tahun 2013, target rasio

kepatuhan penyampaian SPT Tahunan PPh yang ditetapkan minimal sebesar 65%.

Tinggi rendahnya kepatuhan Wajib Pajak dapat dipengaruhi oleh beberapa

faktor, salah satunya adalah Tanggung jawab moral. Song & Yarbrough dalam

Yadnyana (2010) menyatakan moral sebagai prilaku yang mengatur hubungan

Wajib Pajak sebagai warga negara dengan pemerintah. Aspek moral dalam bidang

perpajakan merupakan hal penting dalam meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.

Tanggung jawab moral atau kewajiban moral adalah prilaku individu yang

dimiliki oleh seseorang, namun kemungkinan tidak dimiliki oleh orang lain

(Handayani, 2009:05). Dalam hal ini yang dimaksud adalah Wajib Pajak seperti

misalnya etika, prinsip hidup, perasaan bersalah yang nantinya di kaitkan dengan

pemenuhan kewajiban perpajakan dalam hal untuk kepatuhan pelaporan Wajib

5
Pajak. Wajib Pajak yang memiliki tanggung jawab moral yang besar maka tingkat

penyelesaian dan pemenuhan kewajiban perpajakannya tinggi, sehingga dapat

melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) secara tepat waktu. Adanya tanggung

jawab moral maka akan mendorong seseorang untuk patuh dalam pelaporan

pajaknya (Rosito, 2010:7).

Tingkat kepatuhan wajib pajak juga dapat dipengaruhi oleh kesadaran

wajib pajak. Banyak masyarakat yang belum sadar atas kewajibannya sebagai

Wajib Pajak dan masih banyak upaya-upaya harus dilakukan agar pajak yang

mereka tanggung tidak terlalu besar (Tri Komala Sari dan Nashih, 2005:555).

Masyarakat harus sadar akan keberadaannya sebagai warga negara yang

senantiasa selalu menjunjung tinggi Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar

hukum penyelenggaraan negara (Suardika, 2009:13). Menurut Kamus Umum

Bahasa Indonesia, kesadaran adalah keadaan tahu, mengerti dan merasa.

Kesadaran untuk mematuhi ketentuan (hukum pajak) yang berlaku tentu

menyangkut apakah ketentuan tersebut telah diketahui, diakui, dihargai dan

ditaati. Kesadaran wajib pajak adalah suatu kondisi dimana Wajib Pajak

mengetahui, memahami, dan melaksanakan ketentuan perpajakan dengan benar

dan sukarela (Manik Asri, 2009). Kesadaran Wajib Pajak dapat dilihat dari

kesungguhan dan keinginan untuk memenuhi kewajiban pajaknya yang

ditunjukkan dalam pemahaman wajib pajak terhadap fungsi pajak dan

kesungguhan Wajib Pajak dalam membayar dan melaporkan pajaknya. Bila

seseorang hanya mengetahui berarti kesadaran hukumnya masih rendah. Idealnya

masyarakat harus terus diajak untuk mengetahui, mengakui, menghargai dan

6
mentaati ketentuan perpajakan yang berlaku untuk mewujudkan sadar dan peduli

pajak. Penelitan yang dilakukan oleh Nugroho (2006) menyatakan bahwa jika

kesadaran Wajib Pajak meningkat maka kepatuhan Wajib Pajak juga akan

meningkat.

Tinggi rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak juga dapat dipengaruhi

oleh faktor persepsi Wajib Pajak tentang sanksi perpajakan. Ali et al (2001)

menyatakan audit dan sanksi merupakan kebjakan yang efektif untuk mencegah

ketidakpatuhan. Di Indonesia, terdapat Undang-undang yang mengatur tentang

ketentuan umum dan tata cara perpajakan yaitu Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tahun 1983 tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan. Agar peraturan perpajakan tersebut dipatuhi,

maka harus ada sanksi perpajakan bagi siapa saja yang melanggarnya. Menurut

United States Government Accountability Office (2009), sanksi perpajakan

dimaksudkan untuk mendorong kepatuhan pelaporan pajak. Dalam rangka

memajukan keadilan dan efektivitas sistem pajak, sanksi harus cukup tegas untuk

mencegah ketidakpatuhan bagi pelanggarnya. Ketidakpatuhan Wajib Pajak yang

berusaha untuk menghindar dan menggelapkan pajak yang menjadi kewajibannya

inilah yang akan menimbulkan sanksi bagi Wajib Pajak yang diatur dalam

Undang-undang mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

Faktor lain yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah kualitas

pelayanan. Pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-

cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar tercipta

7
kepuasan dan keberhasilan (Boediono, 2003:60). Parasuraman, dkk (1985)

menyatakan kualitas pelayanan adalah perbandingan antara harapan yang

diinginkan oleh pelanggan dengan penilaian mereka terhadap suatu kinerja aktual

dari suatu penyedia layanan. Pemberian pelayanan yang sebaik mungkin

dipercaya dapat mendorong kepatuhan wajib pajak untuk melaksanakan

kewajiban perpajakannya. Peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan

diharapkan dapat meningkatkan kepuasan pada Wajib Pajak sebagai pelanggan

sehingga meningkatkan kepatuhan dalam bidang perpajakan (Supadmi,

2009:215). Berbagai otoritas pajak dunia memiliki tujuan utama yang hendak

dicapai yaitu peningkatan kepatuhan wajib pajak.

Berkaitan dengan proses peningkatan kualitas pelayanan, Direktorat

Jenderal Pajak telah menetapkan standar pelayanan dalam bentuk peraturan agar

terdapat keseragaman model pelayanan pada tiap-tiap instansinya. KPP Pratama

Badung Utara merupakan instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang

melakukan kegiatan pelayanan terhadap Wajib Pajak antara lain dengan

memberikan informasi prosedur dan peraturan kepada Wajib Pajak, pemberian

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena

Pajak (NPPKP), Penghapusan NPWP, penyediaan formulir perpajakan,

permohonan keberatan dan penyuluhan. KPP Pratama Badung Utara senantiasa

melakukan perbaikan kualitas pelayanan dengan tujuan agar meningkatnya

kepuasan dan kepatuhan Wajib Pajak. Djatmikowati (2009:4) mendefinisikan

peningkatan pelayanan merupakan suatu kegiatan atau menciptakan secara

sengaja dan terarah untuk memudahkan masyarakat. Upaya peningkatan kualitas

8
pelayanan di KPP Pratama Badung Utara dilakukan dengan cara peningkatan

kualitas dan kemampuan teknis pegawai dalam bidang perpajakan, perbaikan

infrastruktur gedung seperti perluasan Tempat Pelayanan Terpadu (TPT),

pembaharuan ruangan dari tiap seksi, penggunaan sistem informasi dan teknologi

untuk dapat memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi

kewajiban perpajakannya.

C. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka yang menjadi pokok

masalah di dalam penelitian ini adalah:

1) Bagaimana pengaruh tanggung jawab moral pada kepatuhan pelaporan

Wajib Pajak Badan di KPP Pratama Badung Utara?

2) Bagaimana pengaruh kesadaran wajib pajak pada kepatuhan pelaporan

Wajib Pajak Badan di KPP Pratama Badung Utara?

3) Bagaimana pengaruh sanksi perpajakan pada kepatuhan pelaporan Wajib

Pajak Badan di KPP Pratama Badung Utara?

4) Bagaimana pengaruh kualitas pelayanan pada kepatuhan pelaporan Wajib

Pajak Badan di KPP Pratama Badung Utara?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka yang menjadi tujuan dari penelitian

ini adalah :

1) Untuk mengetahui bagaimana pengaruh tanggung jawab moral pada

kepatuhan pelaporan Wajib Pajak Badan di KPP Pratama Badung Utara.

9
2) Untuk mengetahui bagaimana pengaruh kesadaran wajib pajak pada

kepatuhan pelaporan Wajib Pajak Badan di KPP Pratama Badung Utara.

3) Untuk mengetahui bagaimana pengaruh sanksi perpajakan pada kepatuhan

pelaporan Wajib Pajak Badan di KPP Pratama Badung Utara.

4) Untuk mengetahui bagaimana pengaruh kualitas pelayanan pada kepatuhan

pelaporan Wajib Pajak Badan di KPP Pratama Badung Utara.

E. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak

yang berkepentingan, meliputi.

1) Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti empiris tentang pengaruh

tanggung jawab moral, kesadaran Wajib Pajak, sanksi perpajakan dan kualitas

pelayanan pada kepatuhan pelaporan Wajib Pajak Badan di KPP Pratama

Badung Utara. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan memberikan

informasi dan wawasan yang lebih luas bagi mahasiswa serta dapat dijadikan

referensi bagi peneliti berikutnya.

2) Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan tambahan referensi

kepada aparat kantor pelayanan pajak untuk menelaah lebih lanjut mengenai

tanggung jawab moral, kesadaran wajib pajak, sanksi perpajakan dan kualitas

pelayanan yang dapat mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak Badan,

khususnya yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Badung Utara.

10
F. Kajian Pustaka dan Hipotesis Penelitian

F.1 Landasan Teori dan Konsep

F.1.1 Teori legitimasi

Ghozali dan Chariri (2007) mengungkapkan definisi teori legitimasi

sebagai suatu kondisi atau status, yang ada ketika suatu sistem nilai perusahaan

sejalan dengan sistem nilai dari sistem sosial yang lebih besar dimana perusahaan

merupakan bagiannya. Nilai dari system social yang terdapat di masyarakat terus

berubah-ubah seiring dengan berjalannya waktu. Sesuai dengan definisi dari teori

legitimasi, untuk mendapatkan legitimasi memerlukan proses yang sifatnya

berkesinambungan. Legitimasi didapatkan jika apa yang dijalankan oleh

perusahaan telah selaras dengan apa yang juga diinginkan oleh masyarakat. Jika

terjadi ketidakselarasan antara sistem nilai perusahaan dengan sistem nilai

masyarakat maka perusahaan akan kehilangan legitimasinya sehingga dapat

mengancam kelangsungan hidup perusahaan.

O’Donovan (2002) berpendapat legitimasi organisasi dapat dilihat sebagai

sesuatu yang diberikan masyarakat kepada perusahaan dan sesuatu yang

diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Legitimasi dapat dianggap

sebagai menyamakan persepsi atau asumsi bahwa tindakan yang dilakukan oleh

suatu entitas adalah merupakan tindakan yang diinginkan, pantas ataupun sesuai

dengan sistem norma, nilai, kepercayaan dan definisi yang dikembangkan secara

sosial (Suchman, 1995). Dalam posisi sebagai bagian dari masyarakat, operasi

perusahaan seringkali mempengaruhi masyarakat sekitarnya. Eksistensinya dapat

11
diterima sebagai anggota masyarakat, sebaliknya eksistensinya pun dapat terancam

bila perusahaan tidak menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku dalam

masyarakat tersebut atau bahkan merugikan anggota komunitas tersebut. Oleh

karena itu, perusahaan melalui manajemennya mencoba memperoleh kesesuaian

antara tindakan organisasi dan nilai-nilai dalam masyarakat umum dan publik yang

relevan.

Apabila dikaitkan dengan kepatuhan wajib pajak, teori legitimasi sangat

berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak. Teori legitimasi merupakan

suatu kondisi dimana suatu sistem nilai perusahaan sejalan dengan sistem nilai dari

sistem sosial yang lebih besar dimana perusahaan merupakan bagiannya. Dalam

hal kepatuhan wajib pajak atas pelaporan SPT Tahunan Wajib Pajak Badan, wajib

pajak harus mengikuti atau sejalan dengan suatu sistem dimana wajib pajak

merupakan bagian di dalamnya, yaitu kebijakan atas kewajiban perpajakan.

Dengan demikian, wajib pajak diharapkan dapat mengikuti kebijakan yang

dikeluarkan oleh pemerintah, yakni kewajiban perpajakan yang salah satunya

adalah patuh dalam melaporkan SPT Tahunan. Legitimasi merupakan manfaat atau

sumber daya potensial bagi wajib pajak untuk dapat bertahan hidup (going

concern), karena apabila wajib pajak patuh dan secara sukarela memenuhi

kewajiban perpajakannya maka wajib pajak akan menikmati dampaknya juga

yakni dalam hal pembangunan nasional.

F.1.2 Teori kepatuhan wajib pajak

Errad dan Feinstein menggunakan teori psikologi dalam kepatuhan Wajib

Pajak, yaitu rasa bersalah dan rasa malu, persepsi wajib pajak atas kewajaran dan

12
keadilan beban pajak yang mereka tanggung dan pengaruh kepuasan terhadap

pelayanan pemerintah (Devano, 2006:11). Rochmat Soemitro mengatakan secara

umum teori tentang kepatuhan dapat digolongkan dalam teori konsensus dan teori

paksaan (Antari, 2012:15). Bagi teori konsensus, dasar ketaatan terletak pada

penerimaan masyarakat terhadap sistem hukum. Dalam hal perpajakan yang terkait

dalam teori konsensus, dengan tanggung jawab moral dan kesadaran dari wajib

pajak akan pentingnya fungsi maupun manfaat dari pajak, maka akan tercipta suatu

penerimaan dari wajib pajak mengenai system perpajakan yang sesuai dengan

ketentuan yang berlaku. Menurut teori paksaan, orang mematuhi hukum karena

adanya unsur paksaan dari kekuasaan yang bersifat legal dari penguasa. Unsur

paksaan terdapat dalam sanksi perpajakan dimana jika wajib pajak tidak mematuhi

peraturan yang berlaku maka akan dikenakan sanksi perpajakan yang berupa

sanksi administrasi maupun sanksi pidana.

Kepuasan pelayanan yang diperoleh oleh wajib pajak akan berdampak pada

kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya (Supadmi,

2009). Kepuasan pelayanan dapat berarti petugas yang ramah, tidak lamban, tidak

berbelit-belit, tidak menunggu terlalu lama, kantor dan layanan yang nyaman,

fasilitas yang memadai, dan lain sebagainya yang menimbulkan kepuasan

tersendiri bagi wajib pajak yang nantimya berakibat pada tumbuhnya sikap patuh

dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

F.1.3 Pengertian Pajak

Menurut Smeets dalam Waluyo (2008:3) pajak adalah prestasi kepada

pemerintah yang terutang melalui norma umum dan yang dapat dipaksakan, tanpa

13
adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual,

dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2007

tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 mengenai

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak adalah kontribusi wajib kepada

Negara yang terutang oleh orang pribadi atau Badan yang bersifat memaksa

berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung

dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat.

Definisi atau pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro dalam

Mardiasmo (2009:1), pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan

Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal

(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk

membayar pengeluaran umum.

Unsur-unsur yang ada pada definisi pajak yaitu.

1) Iuran dari rakyat kepada Negara

Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang

(bukan barang).

2) Berdasarkan Undang-Undang

Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan

pelaksanaanya.

14
3) Tanpa jasa timbal atas kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat

ditunjuk, maksudnya dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya

kontraprestasi individual oleh Pemerintah.

4) Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara

Maksudnya pajak digunakan untuk pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat

bagi masyarakat luas.

F.1.4 Fungsi pajak

Menurut Mardiasmo (2009:1) terdapat dua fungsi pajak, yaitu fungsi

anggaran (budgetair) dan fungsi mengatur (regulered).

1) Fungsi penerimaan (Budgetair)

Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan

pengeluaran-pengeluaran pemerintah.

Contoh: dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam

negeri.

2) Fungsi mengatur (Regulered)

Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan

dibidang sosial dan ekonomi.

F.1.5 Sistem pemungutan pajak

Sistem pemungutan pajak merupakan suatu sistem yang mengatur pihak

yang berwenang dalam menentukan dan memungut jumlah besarnya pajak.

Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi 4 macam (Ilyas dan Burton,

2008:32) yaitu.

15
1) Official assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang

memberi wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan

besarnya pajak yang harus dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang.

Dengan sistem ini masyarakat (wajib pajak) bersifat pasif dan menunggu

dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus.

2) Semi self assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang

memberi wewenang pada fiskus dan wajib pajak untuk menentukan

besarnya pajak seseorang yang terutang. Dalam sistem ini setiap awal

tahun pajak wajib pajak menentukan sendiri besarnya pajak terutang untuk

tahun berjalan yang merupakan angsuran bagi wajib pajak yang harus

disetor sendiri. Baru kemudian pada akhir tahun pajak fiskus menentukan

besarnya utang pajak yang sesungguhnya berdasarkan data yang

dilaporkan oleh wajib pajak.

3) Self assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang

memberi wewenang penuh kepada wajib pajak untuk menghitung,

memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang

pajak. Dalam sistem ini wajib pajak yang aktif sedangkan fiskus tidak

turut campur dalam penentuan besarnya pajak yang terutama seseorang,

kecuali wajib pajak melanggar ketentuan yang berlaku.

4) Withholding system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi

wewenang pada pihak ketiga untuk memotong/memungut besaran pajak

yang terutama. Pihak ketiga yang telah ditemukan tersebut selanjutnya

menyetor dan melaporkannya kepada fiskus. Pada sistem ini fiskus dan

16
wajib pajak tidak aktif. Fiskus hanya bertugas mengawasi saja pelaksanaan

pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga.

Pemahaman terhadap Undang-Undang Perpajakan beserta pelaksanaan

prakteknya dalam rangka menyampaikan SPT adalah hal-hal yang penting dalam

pelaksanaan kewajiban Perpajakan secara benar. Pemahaman seperti ini akan

sangat membantu meminimalisir adanya kemungkinan pemeriksaan walaupun

tetap terjadi pemeriksaan, paling tidak Wajib Pajak tidak mengalami hal-hal yang

keliru dalam menghadapi pemeriksaan.

Menurut Suardika (2009:13), menyimpulkan bahwa sistem perpajakan

yang diberlakukan akan mempunyai pengaruh yang kondusif terhadap dunia

usaha jika harmonisasi jalinan hubungan antar Wajib Pajak selaku pembayar

pajak dan fiskus selaku pemungut pajak tercapai.

F.1.6 Pengertian wajib pajak badan

Wajib Pajak menurut pasal 1 ayat 2 UU KUP No. 28 tahun 2007 adalah

orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan

pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Berdasarkan pengertian

tersebut terdapat tiga jenis Wajib Pajak yaitu:

1) Wajib Pajak Badan,

2) Wajib Pajak Orang Pribadi, dan

3) Wajib Pajak Pemotong/Pemungut Pajak

Definisi Badan menurut pasal 1 ayat 3 UU KUP No. 28 Tahun 2007

adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang

17
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha, meliputi perseorangan

terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau

badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi,

koperasi, dana pensiun, persekutuan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial

politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk

kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Wajib Pajak Badan adalah sekumpulan orang/atau modal yang merupakan

kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha,

meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan

Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam

bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,

yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,

lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk

usaha tetap yang meliputi pembayar pajak, pemotong pajak dan pemungut pajak,

yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan.

F.1.7 Wajib pajak efektif dan non efektif

Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-26/PJ.2/1988

ditegaskan bahwa agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran yang dapat

menyulitkan administrasi maka perlu diberikan penegasan bahwa administrasi

pajak hanya mengenal istilah-istilah wajib pajak efektif dan wajib pajak non

efektif dengan pengertian sebagai berikut.

18
1) Wajib pajak Efektif adalah wajib pajak yang memenuhi kewajiban

perpajakannya berupa memenuhi kewajiban menyampaikan SPT Masa dan

atau SPT Tahunan sebagaimana mestinya.

2) Wajib pajak Non Efektif adalah wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban

perpajakannya berupa memenuhi kewajiban menyampaikan SPT Masa dan

atau SPT Tahunan. Sebagaimana telah ditegaskan dalam Surat Edaran

Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.09/1988, wajib pajak non efektif

adalah:

a) wajib pajak yang berturut-turut selama 2 tahun tidak memasukkan SPT

PPh.

b) wajib pajak yang sudah meninggal dunia/bubar, tetapi belum ada surat

keterangan resminya.

c) wajib pajak tidak ditemukan alamatnya, walaupun sudah diusahakan

pencariannya oleh dinas luar.

d) wajib pajak secara nyata tidak menunjukkan kegiatan usaha.

F.1.8 Surat pemberitahuan (SPT)

1) Pengertian Surat Pemberitahuan (SPT)

Surat pemberitahuan (SPT) merupakan dokumen yang menjadi alat kerja sama

antara Wajib Pajak dan administrasi pajak, memuat data-data yang diperlukan

untuk menetapkan secara tepat jumlah pajak terutang (Devano, 2006:150).

Pengertian Surat Pemberitahuan (SPT) dalam Pasal 1 butir 10 UU KUP

dijelaskan bahwa, “surat pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak

digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang

19
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan” (Devano,

2006:150).

2) Fungsi SPT

Devano (2006:150) mengatakan fungsi surat pemberitahuan (SPT) bagi Wajib

Pajak yaitu:

(1) Memberikan data dan angka yang relevan dengan perhitungan kena

pajak;

(2) Menentukan besarnya pajak yang harus dibayar;

(3) Melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan

sendiri dan atau melalui pemotongan, pemungutan pihak lain dalam satu

tahun pajak, atau bagian tahun pajak (Wajib Pajak penghasilan);

(4) Melaporkan pembayaran dari kegiatan pemotongan atau pemungutan

pajak orang pribadi atau badan lain (Wajib Pajak penghasilan); dan

(5) Melaporkan pembayaran pajak yang dipungut dalam hal ini adalah pajak

pertambahan nilai dan pajak atas penjualan barang mewah (PPN dan

PPnBM), bagi Pengusaha Kena Pajak.

3) Jenis SPT

Devano (2006:151) mengatakan jenis surat pemberitahuan (SPT) ada dua

macam, yaitu SPT masa dan SPT tahunan.

(1) SPT Masa adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk

melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak yang terutang dalam

masa pajak.

20
(2) SPT Tahunan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk

melaporkan perhitungan dan pembayaran terutang dalam satu tahun

pajak.

F.1.9 Tanggung jawab moral

Perilaku Wajib Pajak tidak hanya dipengaruhi oleh manfaat ekonomi tetapi

sangat didasarkan pada moral Wajib Pajak, etika dan norma-norma sosialnya

(Wenzel, 2005:504). Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan, moral adalah

integritas dan martabat pribadi yang dimiliki oleh manusia. Ajzen (2002) dalam

Agustini (2008:23) menyatakan bahwa secara umum tanggung jawab moral atau

kewajiban moral adalah moral individu yang dimiliki oleh seseorang, namun

kemungkinan tidak dimiliki oleh orang lain, seperti etika, prinsip hidup, dan

perasaan bersalah. Melaksanakan kewajiban perpajakan dengan sukarela dan

benar merupakan penerapan tanggung jawab moral secara khusus yang nantinya

dikaitkan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan untuk kepatuhan pelaporan

Wajib Pajak Badan. Konteks perpajakan menganut self assessment system dimana

menuntut adanya peran aktif dari masyarakat selaku Wajib Pajak untuk

menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri besarnya pajak

yang terutang sehingga dalam hal ini pemerintah memberikan sepenuhnya

kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung sendiri kewajibannya.

Tanggung jawab moral cenderung kepada niat Wajib Pajak untuk berperilaku

patuh. Perilaku Wajib Pajak tidak hanya dipengaruhi oleh manfaat ekonomi tetapi

sangat didasarkan pada moral Wajib Pajak, etika dan norma-norma sosialnya

(Wenzel, 2005:504)

21
Handayani (2009:15) menyatakan, tanggung jawab moral Wajib Pajak

dapat tercermin dari situasi di bawah ini.

1) Wajib Pajak memiliki rasa tanggung jawab dalam pembiayaan pemeliharaan

Negara;

2) Wajib Pajak merasa cemas jika tidak melaksanakan kewajiban pajak

sebagaimana mestinya;

3) Wajib Pajak memiliki perasaan bersalah jika melakukan penggelapan pajak;

4) Wajib Pajak menghitung, membayar, dan melaporkan pajak dengan sukarela;

5) Wajib Pajak menghitung, membayar, dan melaporkan pajak dengan benar.

F.1.10 Kesadaran wajib pajak

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kesadaran adalah keadaan tahu,

mengerti dan merasa. Kesadaran wajib pajak atas fungsi perpajakan sebagai

pembiayaan negara sangat diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak

(Jatmiko, 2006) Kesadaran untuk mematuhi ketentuan (hukum pajak) yang

berlaku tentu menyangkut faktor-faktor apakah ketentuan tersebut telah diketahui,

diakui, dihargai dan ditaati. Kesadaran wajib pajak adalah suatu kondisi dimana

wajib pajak mengetahui, memahami dan melaksanakan ketentuan perpajakan

dengan benar dan sukarela. Pengetahuan dan pemahaman tentang perpajakan

sangat penting karena dapat membantu wajib pajak dalam mematuhi aturan

perpajakan. Kemudian wajib pajak harus melaksanakan aturan itu dengan benar

dan sukarela. Jadi, kesadaran wajib pajak adalah suatu kondisi dimana wajib pajak

mengetahui, mengakui, menghargai dan menaati ketentuan perpajakan yang

22
berlaku serta memiliki kesungguhan dan keinginan untuk memenuhi kewajiban

pajaknya.

Wajib pajak dikatakan memiliki kesadaran apabila (Manik Asri, 2009).

1) Mengetahui adanya undang-undang dan ketentuan perpajakan.

2) Mengetahui fungsi pajak untuk pembiayaan negara.

3) Memahami bahwa kewajiban perpajakan harus dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku.

4) Memahami fungsi pajak untuk pembiayaan negara.

5) Menghitung, membayar, melaporkan pajak dengan suka rela.

6) Menghitung, membayar, melaporkan pajak dengan benar.

F.1.11 Sanksi perpajakan

Menurut Mardiasmo (2009:47) sanksi perpajakan merupakan jaminan

bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan)

akan dituruti/ditaati/dipatuhi, dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat

pencegah (preventif) agar Wajib Pajak tidak melanggar norma perpajakan. Dalam

Undang-Undang perpajakan dikenal dua macam sanksi perpajakan, yaitu sanksi

administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi merupakan pembayaran

kerugian negara, khususnya yang berupa denda, bunga, dan kenaikan. Sanksi

pidana merupakan sanksi berupa siksaan atau penderitaan sebagai suatu alat

terakhir atau benteng hukum yang digunakan fiskus agar norma perpajakan

dipatuhi. Sanksi perpajakan dikenakan kepada Wajib Pajak yang tidak patuh

dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

23
Menurut Yadnyana (2010:201) Pandangan tentang sanksi perpajakan

tersebut diukur dengan indikator sebagai berikut.

1) Pengenaan sanksi atas pelanggaran pajak dapat dinegosiasikan;

2) Sanksi pidana yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak cukup berat;

3) Pengenaan sanksi yang cukup berat merupakan salah satu sarana untuk

mendidik Wajib Pajak;

4) Sanksi harus dikenakan kepada pelanggarnya tanpa toleransi;

5) Sanksi administrasi yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak sangat ringan

F.1.12 Kualitas pelayanan

1) Pengertian pelayanan

Pengertian pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang lain

dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal

agar tercapainya kepuasan dan keberhasilan (Boediono, 2003:60), sedangkan yang

dimaksud dengan hakikat pelayanan umum adalah:

(1) Meningkatkan mutu dan produktivitas pelaksanaan tugas dan instansi

pemerintah di bidang pelayanan umum.

(2) Mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata laksana pelayanan

sehingga pelayanan umum dapat diselenggarakan secara lebih berdaya

guna dan berhasil guna (efisien dan efektif).

(3) Mendorong tumbuhnya kreativitas, prakarsa, dan peran serta masyarakat

dalam pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.

Pelayanan berkualitas adalah pelayanan yang dapat memberikan kepuasan

kepada pelanggan dan tetap dalam batas memenuhi standar pelayanan yang dapat

24
dipertanggungjawabkan serta harus dilakukan secara terus-menerus (Supadmi,

2009:217).

2) Kualitas pelayanan

Menurut The Amerika Society of Quality Control dalam Sumadi (2005),

kualitas adalah keseluruhan ciri-ciri dan karakteristik dari suatu produk atau jasa

menyangkut kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang telah

ditentukan. Supadmi (2009:217) mengatakan secara sederhana kualitas adalah

suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa manusia, proses,

dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pihak yang

menginginkannya. Dengan demikian, dikatakan kualitas adalah kondisi dinamis

yang menghasilkan:

(1) Produk yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan;

(2) Jasa yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan;

(3) Suatu proses yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan;

(4) Lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.

Dalam hal produk tersebut tidak memenuhi harapan pelanggan, berarti kurang

berkualitas. Demikian pula dengan jasa dari suatu instansi, selama tidak

memenuhi harapan pelanggan berarti jasa pelayanannya tidak berkualitas. Begitu

pula dengan proses pelayanan, dalam hal tidak memenuhi harapan pelanggan,

seperti berbelit-belit (tidak sederhana), berarti mutu pelayanan kurang.

Kualitas pelayanan merupakan suatu sikap atau pertimbangan global

tentang keuangan dari suatu pelayanan (Burhanudin, 2009). Menurut gap theory

yang diusulkan oleh Parasuraman,dkk (1985), bahwa kualitas pelayanan

25
merupakan perbandingan antara harapan yang diinginkan oleh pelanggan dengan

penilaian mereka terhadap kinerja aktual dari suatu penyediaan layanan. Agustini

(2008) menyatakan lima indikator yang dapat digunakan untuk mengevaluasi

kualitas jasa pelayanan sebagai berikut:

1) Bukti langsung (tangibles), yaitu meliputi fasilitas fisik, pegawai,

perlengkapan, dan komunikasi. Indikator yang digunakan adalah

kebersihan dan kerapian pakaian petugas, ruangan yang nyaman dan

fasilitas parkir yang memadai.

2) Keandalan (reliability), yaitu kemampuan para petugas pajak dalam

memberikan pelayanan yang menjanjikan dengan segera dan memuaskan.

Indikator seperti kemampuan petugas dalam memberikan informasi dan

menyelesaikan masalah yang dihadapi Wajib Pajak.

3) Daya tanggap (responsive), merupakan karakteristik kecocokan dalam

pelayanan manusia yaitu keinginan para petugas pajak untuk membantu

Wajib Pajak dan memberikan pelayanan dengan tanggap. Indikator yang

digunakan adalah kesediaan dan kecepatan petugas dalam membantu

menyelesaikan permasalahan yang dihadapi Wajib Pajak.

4) Jaminan (assurance), yaitu mencakup kemampuan, kesopanan, dan sifat

dapat dipercaya yang dimiliki oleh petugas pajak seperti bebas dari risiko,

bahaya atau keragu-raguan. Indikator yang digunakan yaitu sikap ramah

dan santun serta pengetahuan petugas KPP sehingga membuat Wajib Pajak

merasa nyaman dan bebas dari keragu-raguan.

26
5) Empati (emphaty), yaitu meliputi kemudahan petugas pajak dalam

melakukan komunikasi, hubungan verbal, perhatian pribadi, dan

memahami kebutuhan para pelanggan. Indikator yang digunakan adalah

komunikasi yang terjalin baik dengan Wajib Pajak dan pelayanan yang

sesuai dengan kebutuhan Wajib Pajak.

Dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan adalah suatu kondisi dinamis

yang berhubungan dengan produk, jasa, proses dan lingkungan yang memenuhi

atau melebihi harapan pihak yang menginginkannya, dapat diukur dengan lima

dimensi yaitu bukti langsung, keandalan, daya tanggap, jaminan dan empati.

F.1.13 Kepatuhan perpajakan

Harinurdin (2009) menyatakan Tax Compliance atau Kepatuhan pajak

dapat diartikan sebagai kondisi ideal wajib pajak yang memenuhi peraturan

perpajakan serta melaporkan penghasilannya secara akurat dan jujur. Kepatuhan

dalam perpajakan merupakan ketaatan, tunduk, dan patuh serta melaksanakan

ketentuan perpajakan. Santoso (2008) mengatakan bahwa kepatuhan perpajakan

dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua

kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.

Franzoni (1999) menyatakan kepatuhan atas pajak (tax compliance) adalah

melaporkan penghasilan sesuai dengan peraturan pajak, melaporkan Surat

Pemberitahuan (SPT) dengan tepat waktu dan membayar pajaknya dengan tepat

waktu. Kamus Umum Bahasa Indoneasia menyatakan, kepatuhan adalah tunduk

atau patuh pada ajaran atau aturan. Kepatuhan dalam perpajakan merupakan

ketaatan, tunduk, dan patuh serta melaksanakan ketentuan perpajakan. Wajib

27
Pajak yang patuh adalah Wajib Pajak yang taat dan memenuhi serta melaksanakan

kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.

Chaizi Nasucha dalam Devano (2006:111) mengatakan, kepatuhan Wajib Pajak

dapat didefinisikan dari:

1) Kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri;

2) Kepatuhan untuk menyetorkan kembali surat pemberitahuan;

3) Kepatuhan dalam perhitungan dan pembayaran pajak terutang; dan

4) Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan.

Nurmantu (2007) mengatakan bahwa kepatuhan perpajakan dapat

didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua

kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Terdapat dua macam

kepatuhan, yakni kepatuhan formal dan kepatuhan material.

1) Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi

kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang

Perpajakan.

2) Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara

substantif atau hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan,

yakni sesuai isi dan jiwa Undang-Undang Perpajakan. Kepatuhan material

dapat juga meliputi kepatuhan formal.

Handayani (2009:18) menyatakan, kepatuhan pemenuhan kewajiban

perpajakan tercermin dalam situasi, dimana.

1) Wajib Pajak mengisi formulir pajak dengan benar;

28
2) Wajib Pajak melakukan perhitungan jumlah pajak yang terutang dengan

benar;

3) Wajib Pajak melakukan pembayaran pajak tepat waktu;

4) Wajib Pajak melakukan pelaporan pajak tepat waktu;

5) Wajib Pajak tidak pernah menerima surat teguran.

F.1.14 Wajib pajak patuh

Wajib Pajak patuh adalah Wajib Pajak yang sadar pajak, paham hak dan

kewajiban perpajakannya, dan menerapkan peduli pajak, yaitu melaksanakan

kewajiban perpajakan dengan benar dan paham akan hak perpajakan (Devano,

2006:114). Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 554/MK.04/2000,

Wajib Pajak dimasukkan kategori Wajib Pajak patuh bila memenuhi kriteria

sebagai berikut.

1) Tepat waktu menyampaikan Surat Pemberitahuan untuk semua jenis pajak

dalam dua tahun terakhir.

2) Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak kecuali telah

mendapatkan izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.

3) Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang

perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir.

4) Dalam dua tahun terakhir menyelenggarakan pembukuan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 28 Undang-Undang KUP dan dalam hal terhadap Wajib

Pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir

untuk masing-masing jenis pajak yang terutang paling banyak dua persen.

29
5) Wajib Pajak yang laporan keuangannya untuk dua tahun diaudit oleh akuntan

publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian atau pendapat wajar dengan

pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba rugi fiskal.

F.1.15 Hubungan antara tanggung jawab moral dengan kepatuhan


pelaporan wajib pajak badan

Kepatuhan Wajib Pajak dalam kaitannya dengan tanggung jawab moral,

tidak terlepas dengan integritas. Integritas berarti bahwa perilaku seseorang

konsisten dengan nilai yang menyertainya, dan orang tersebut bersifat jujur, etis

dan dapat dipercaya. Integritas dapat diartikan sebagai kesehatan moral, kejujuran

yang terbebas dari pengaruh atau motif korupsi, dapat dipercaya dan disukai, serta

memiliki ketulusan.

Schermerhorn dalam Handayani (2009:20) mengatakan bahwa

responsibility merupakan kewajiban atau obligation untuk melaksanakan sesuatu

karena menerima penugasan. Terry dalam Handayani (2009:20) menjelaskan

responsibility merupakan kewajiban seseorang untuk menyelesaikan kegiatan

yang telah ditetapkan sampai ke tingkat yang paling baik sesuai kemampuan.

Berdasarkan pendapat kedua ahli tersebut terlihat bahwa responsibility sangat erat

kaitannya dengan tanggung jawab atau kewajiban atas suatu pekerjaan yang

dibebankan pada seseorang, maka yang bersangkutan memiliki kewajiban untuk

melaksanakan pekerjaan itu sampai selesai dengan hasil yang baik. Tingkat

kepatuhan pelaporan pajak akan menjadi lebih tinggi ketika Wajib Pajak memiliki

tanggung jawab moral yang lebih kuat (Ho, 2009:188).

30
F.1.16 Hubungan antara kesadaran wajib pajak dengan kepatuhan
pelaporan wajib pajak badan

Kesadaran akan kewajiban dan kepatuhan yang tinggi dari Wajib Pajak

dalam melaporkan pajaknya merupakan faktor penting dalam pelaksanaan sistem

self assessment (Priyantini, 2008:3). Kesadaran wajib pajak akan meningkat bila

dalam masyarakat muncul pandangan yang positif terhadap pajak (Suryadi, 2006).

Penilaian positif wajib pajak terhadap pelaksanaan fungsi negara oleh pemerintah

akan menggerakkan masyarakat untuk mematuhi kewajiban perpajakannya.

Kesadaran perpajakan masyarakat yang rendah seringkali menjadi salah satu

penyebab potensi pajak yang tidak dapat dijaring (Nugroho, 2006).

Kesadaran wajib pajak atas fungsi perpajakan sebagai pembiayaan negara

sangat diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi

kewajiban perpajakannya. Penelitian yang dilakukan oleh Manik Asri (2009)

menemukan bahwa kesadaran wajib pajak berpengaruh pada kepatuhan pelaporan

wajib pajak. Jika kesadaran wajib pajak meningkat maka kepatuhan wajib pajak

akan meningkat (Nugroho, 2006).

F.1.17 Hubungan antara sanksi perpajakan dengan kepatuhan pelaporan


wajib pajak badan
Undang-Undang perpajakan dan peraturan pelaksanaannya tidak

mencantumkan jenis penghargaan bagi Wajib Pajak yang patuh dalam

melaksanakan kewajiban perpajakannya. Walaupun tidak mendapatkan

penghargaan atas kepatuhannya dalam melaksanakan kewajiban perpajakan,

Wajib Pajak akan dikenakan sanksi apabila sengaja tidak memenuhi kewajiban

perpajakannya (Nugroho, 2006:5).

31
Doran (2009) mengatakan bahwa Wajib Pajak memenuhi kewajiban

perpajakan untuk menghindari sanksi pajak (seperti sanksi administrasi dan sanksi

pidana) dimana diperkirakan biaya yang dikeluarkan akibat sanksi tersebut lebih

besar dibandingkan kepatuhan untuk membayar pajak. Wajib Pajak akan

memenuhi kewajiban perpajakannya bila memandang bahwa sanksi perpajakan

akan lebih banyak merugikannya. Semakin banyak pelanggaran yang dilakukan

oleh Wajib Pajak maka semakin berat sanksi yang diterima (Nugroho, 2006:5).

Maka kepatuhan pelaporan akan sangat bergantung terhadap adanya sanksi

perpajakan ini, karena wajib pajak akan dikenakan sanksi apabila tidak

melaporkan pajaknya dengan benar dan tepat waktu. Penelitian yang dilakukan

oleh Hendarsyah (2009:61) menunjukkan bahwa persepsi Wajib Pajak tentang

sanksi perpajakan berpengaruh pada kepatuhan Wajib Pajak.

F.1.18 Hubungan antara Kualitas Pelayanan dengan Kepatuhan Pelaporan


Wajib Pajak Badan
Kepatuhan Wajib Pajak dapat ditingkatkan melalui peningkatan kualitas

pelayanan (Handayani, 2009:21). Pelayanan yang baik adalah pelayanan yang

dapat memberikan rasa puas bagi pelanggan yang dalam hal ini adalah Wajib

Pajak, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Pelayanan adalah

suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang

memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar terciptanya kepuasan dan

keberhasilan (Boediono, 2003:60). Kualitas pelayanan menurut Ussahawanichakit

(2008:3) merupakan perbandingan antara apa yang diharapkan oleh pelanggan

dengan apa yang diperolehnya. Pelayanan yang berkualitas adalah pelayanan yang

dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dan tetap dalam batas memenuhi

32
standar pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan serta harus dilakukan

secara terus-menerus (Supadmi, 2009:217). Kepuasan yang diperoleh oleh

pelanggan akan berdampak pada kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi

kewajiban perpajakannya.

Pelayanan kepada pelanggan dikatakan bermutu apabila memenuhi atau

melebihi harapan pelanggan atau semakin kecil kesenjangan antara pemenuhan

janji dengan harapan pelanggan adalah semakin mendekati ukuran bermutu.

Penyediaan jasa secara konsisten kepada pelanggan adalah pelayanan bermutu.

Pelayanan yang berkualitas harus dapat memberikan keamanan, kenyamanan,

kelancaran, dan kepastian hukum kepada pelanggan (Supadmi, 2009:219).

Apabila kualitas pelayanan meningkat maka akan berdampak pada kepatuhan

Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

F.1.19 Pembahasan hasil penelitian sebelumnya

Andreas (2007) meneliti tentang “Hubungan Kualitas Pelayanan terhadap

Kepatuhan Wajib Pajak Badan Pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Denpasar

Timur. Sampel yang digunakan sebanyak 100 Wajib Pajak Badan. Teknik analisis

data yang digunakan adalah teknik analisis korelasi product moment dan analisis

t-test. Hasil penelitian menunjukkan besarnya korelasi sebesar 0,637 yang berarti

adanya hubungan yang kuat dan positif antara kualitas pelayanan dengan

kepatuhan pelaporan Wajib Pajak Badan, dalam arti semakin baik kualitas

pelayanan maka semakin tinggi kepatuhan pelaporan Wajib Pajak Badan.

Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan variabel

kualitas pelayanan sebagai salah satu variabel bebas dan kepatuhan pelaporan

33
Wajib Pajak sebagai variabel terikat. Perbedaannya terletak pada adanya

penambahan variabel tanggung jawab moral, kesadaran wajib pajak dan sanksi

perpajakan sebagai variabel bebas, teknik analisis data yang digunakan, lokasi dan

tahun penelitian.

Purnomo (2008) meneliti pengaruh kesadaran wajib pajak, persepsi wajib

pajak tentang sanksi perpajakan dan hasrat membayar pajak terhadap kepatuhan

wajib pajak badan di KPP Gubeng Surabaya. Variabel yang diteliti yaitu

kesadaran wajib pajak, persepsi wajib pajak tentang sanksi, hasrat membayar

pajak dan kepatuhan wajib pajak. Teknik analisis yang digunakan yaitu regresi

linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan kesadaran wajib pajak, persepsi

wajib pajak tentang sanksi dan hasrat membayar pajak berpengaruh positif dan

signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Persamaan dengan penelitian ini yaitu

pada variabel bebas kesadaran wajib pajak, persepsi wajib pajak tentang sanksi,

dan variabel terikat kepatuhan wajib pajak. Perbedaan penelitian ini dengan

penelitian sebeumnya adalah tidak menggunakan variabel hasrat membayar pajak

namun menambahkan variabel tanggung jawab moral dan kualitas pelayanan

sebagai variabel bebas serta objek dan lokasi penelitian.

Priyantini (2008) meneliti ”Pengaruh Kualitas Pelayanan dan Biaya

Kepatuhan Pajak Terhadap Kepatuhan Pelaporan Wajib Pajak Badan Pada Kantor

Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Badung Utara”. Variabel yang digunakan dalam

penelitian ini adalah kualitas pelayanan dan biaya kepatuhan pajak. Lokasi yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Kantor Pelayanan Pajak Pratama Badung

Utara dengan teknik analisis regresi linear berganda. Hasil penelitian

34
menunjukkan bahwa kualitas pelayanan dan biaya kepatuhan pajak berpengaruh

signifikan terhadap kepatuhan pelaporan Wajib Pajak Badan pada Kantor

Pelayanan Pajak Pratama Badung Utara. Persamaan penelitian ini dengan

penelitian sebelumnya adalah sama-sama menggunakan variabel kualitas

pelayanan sebagai variabel bebas dan menggunakan kepatuhan pelaporan Wajib

Pajak sebagai variabel terikat, dan teknik analisis data yang akan digunakan, serta

lokasi penelitiannya. Sedangkan perbedaan penelitian ini terletak pada variabel

bebas (penambahan variabel tanggung jawab moral, kesadaran wajib pajak dan

sanksi perpajakan) dan tahun penelitian.

Handayani (2009) meneliti tentang ”Pengaruh Tanggung Jawab Moral dan

Kualitas Pelayanan Terhadap Kepatuhan Pelaporan Wajib Pajak Badan Pada

Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Denpasar Barat.” Variabel yang digunakan dalam

penelitian ini adalah tanggung jawab moral dan kualitas pelayanan. Teknik

analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linear

berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanggung jawab moral dan

kualitas pelayanan berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan pelaporan Wajib

Pajak Badan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah

terletak pada variabel yang diteliti, yaitu tanggung jawab moral dan kualitas

pelayanan sebagai variabel bebas dan menggunakan kepatuhan pelaporan Wajib

Pajak badan sebagai variabel terikat, serta teknik analisis data yang digunakan.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebeumnya adalah pada variabel bebas

(penambahan variabel kesadaran wajib pajak dan sanksi perpajakan) dan lokasi

serta tahun penelitiannya.

35
Hendarsyah (2009) meneliti tentang “Pengaruh Sosialisasi Perpajakan,

Kualitas Pelayanan Dan Sanksi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak

(Studi Kasus Pada KPP Pratama Mampang Prapatan Jakarta)”. Variabel yang

diteliti yaitu sosialisasi perpajakan, kualitas pelayanan, sanksi perpajakan dan

kepatuhan Wajib Pajak. Teknik analisis yang digunakan yaitu regresi linear

berganda. Hasil penelitian menunjukkan sosialisasi perpajakan, kualitas

pelayanan, dan sanksi perpajakan berpengaruh positif dan signifikan terhadap

kepatuhan Wajib Pajak. Persamaan dengan penelitian ini yaitu pada variabel

bebas kualitas pelayanan dan sanksi perpajakan dan variabel terikat kepatuhan

Wajib Pajak. Perbedaannya pada peneltian ini tidak menggunakan variabel

sosialisasi perpajakan namun menggunakan variabel tanggung jawab moral dan

kesadaran wajib pajak sebagai variable bebas dan objek serta lokasi penelitian.

Purnoto (2011) meneliti tentang “Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak,

Kewajiban Moral dan Biaya Kepatuhan Pajak pada Kepatuhan Pelaporan Wajib

Pajak Orang Pribadi di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Badung Utara”. Teknik

analisis data yang digunakan adalah teknik analisis regresi linear berganda. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa kewajiban moral dan kesadaran Wajib Pajak

berpengaruh positif pada kepatuhan pelaporan Wajib Pajak Orang Pribadi,

sedangkan biaya kepatuhan pajak berpengaruh negatif pada kepatuhan pelaporan

Wajib Pajak Orang Pribadi. Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama

menggunakan variabel kewajiban moral (tanggung jawab moral) dan kesadaran

wajib pajak sebagai variabel bebas dan kepatuhan pelaporan Wajib Pajak sebagai

variabel terikat serta teknik analisis data yang digunakan. Perbedaannya terletak

36
pada adanya penambahan variabel sanksi perpajakan dan kualitas pelayanan

sebagai variabel bebas dan tidak menggunakan variabel biaya kepatuhan pajak

serta perbedaan lainnya pada tahun penelitian.

Antari (2012) meneliti tentang “Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak,

Pemeriksaan Wajib Pajak, Sanksi Perpajakan dan Kualitas Pelayanan pada

Kepatuhan Pelaporan Wajib Pajak Orang Pribadi di Kantor Pelayanan Pajak

(KPP) Badung Utara”. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis

regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesadaran wajib

pajak, pemeriksaan pajak, sanksi perpajakan dan kualitas pelayanan berpengaruh

positif pada kepatuhan pelaporan Wajib Pajak Orang Pribadi. Persamaan dengan

penelitian ini adalah sama-sama menggunakan variabel kesadaran wajib pajak,

sanksi perpajakan, kualitas pelayanan sebagai variabel bebas dan kepatuhan

pelaporan Wajib Pajak sebagai variabel terikat serta teknik analisis data yang

digunakan. Perbedaannya pada penelitian ini tidak menggunakan variabel

pemeriksaan pajak namun menggunakan variabel tanggung jawab moral.

F.2 Hipotesis penelitian

Ajzen dalam Agustini (2008:23) mengatakan bahwa tanggung jawab moral

adalah moral individu yang dimiliki oleh seseorang, namun kemungkinan tidak

dimiliki oleh orang lain. Handayani (2009) mengatakan, kewajiban moral

(tanggung jawab moral) berpengaruh positif pada kepatuhan pelaporan Wajib

Pajak. Melaksanakan kewajiban perpajakan dengan sukarela dan benar merupakan

penerapan tanggung jawab moral secara khusus yang nantinya dikaitkan terhadap

pemenuhan kewajiban perpajakan untuk kepatuhan pelaporan Wajib Pajak Badan.

37
Dalam hal ini pemerintah memberikan sepenuhnya kepercayaan kepada Wajib

Pajak untuk menghitung sendiri kewajibannya. Tanggung jawab moral cenderung

kepada niat Wajib Pajak untuk berprilaku patuh. Berdasarkan hal tersebut, maka

hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah.

H1: Tanggung jawab moral berpengaruh positif pada kepatuhan pelaporan Wajib
Pajak Badan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Badung Utara.

Kesadaran wajib pajak adalah suatu kondisi dimana wajib pajak

mengetahui, memahami dan melaksanakan ketentuan perpajakan dengan benar

dan sukarela. Bila wajib pajak tidak mengetahui dan memahami aturan perpajakan

maka wajib pajak akan cenderung melakukan kesalahan dan dianggap tidak

memenuhi ketentuan. Semakin tinggi tingkat kesadaran wajib pajak maka

pemahaman, dan pelaksanaan kewajiban perpajakan semakin baik sehingga dapat

meningkatkan kepatuhan. Penelitian yang dilakukan oleh Manik Asri (2009)

menemukan bahwa kesadaran wajib pajak berpengaruh positif dan signifikan pada

kepatuhan pelaporan. Penelitian yang dilakukan oleh Muliari dan Setiawan (2011)

menemukan bahwa kesadaran berpengaruh positif dan signifikan pada kepatuhan

wajib pajak. Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang diajukan pada

penelitian ini adalah:

H2 : Kesadaran wajib pajak berpengaruh positif pada kepatuhan pelaporan wajib


pajak Badan di KPP Pratama Badung Utara.

Mardiasmo (2009:47) mengatakan bahwa sanksi perpajakan merupakan

jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (norma

perpajakan) akan dituruti/ditaati/dipatuhi, dengan kata lain sanksi perpajakan

merupakan alat pencegah (preventif) agar Wajib Pajak tidak melanggar norma

38
perpajakan. Walaupun tidak mendapatkan penghargaan atas kepatuhannya dalam

melaksanakan kewajiban perpajakan, Wajib Pajak akan dikenakan sanksi apabila

sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakannya. Wajib Pajak akan memenuhi

kewajiban perpajakannya bila memandang bahwa sanksi perpajakan akan lebih

banyak merugikannya. Semakin banyak pelanggaran yang dilakukan oleh Wajib

Pajak, maka semakin berat sanksi yang diterima. Santosa (2011) mengatakan

bahwa sanksi perpajakan berpengaruh positif pada kepatuhan pelaporan Wajib

Pajak. Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang diajukan pada penelitian ini

adalah.

H3: Sanksi perpajakan berpengaruh positif pada kepatuhan pelaporan Wajib


Pajak Badan di KPP Pratama Badung Utara.

Supadmi (2009:217) mengatakan bahwa secara sederhana kualitas adalah

suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa manusia, proses,

dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pihak yang

menginginkannya. Dalam hal produk tersebut tidak memenuhi harapan pelanggan,

berarti kurang berkualitas. Demikian pula dengan jasa dari suatu instansi, selama

tidak memenuhi harapan pelanggan berarti jasa pelayanannya tidak berkualitas.

Begitu pula dengan proses pelayanan, dalam hal tidak memenuhi harapan

pelanggan, seperti berbelit-belit (tidak sederhana), berarti mutu pelayanan kurang.

Antari (2012) menyatakan kualitas pelayanan berpengaruh positif pada kepatuhan

pelaporan Wajib Pajak Badan. Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang

diajukan pada penelitian ini adalah.

H4: Kualitas pelayanan KPP Pratama Badung Utara berpengaruh positif pada
kepatuhan pelaporan Wajib Pajak Badan di KPP Pratama Badung Utara.

39
G. Metode Penelitian

G.1 Desain Penelitian

Gambar 1.1 Desain Penelitian

Tanggung Jawab Moral (X1)

Kesadaran Wajib Pajak (X2)


Kepatuhan
Pelaporan Wajib
Sanksi Perpajakan (X3) Pajak Badan (Y)

Kualitas Pelayanan (X4)

Sumber: Hipotesis Penelitian Penulis, 2014

G.2 Lokasi atau Ruang Lingkup Wilayah Penelitian

Lokasi penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kantor

Pelayanan Pajak Pratama Badung Utara yang beralamat di Jalan Ahmad Yani No.

100 Denpasar.

G.3 Obyek Penelitian

Objek penelitian adalah fenomena atau masalah penelitian yang telah

diabstraksi menjadi suatu konsep atau variabel (Silalahi, 2009:191). Objek

penelitian dalam penelitian ini adalah tanggung jawab moral, kesadaran wajib

pajak, sanksi perpajakan dan kualitas pelayanan pada kepatuhan pelaporan Wajib

Pajak Badan yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Badung

Utara.

40
G.4 Identifikasi Variabel

Variabel yang dapat digunakan dalam penelitian ini antara lain:

1) Variabel terikat (dependent variable) adalah variabel yang dipengaruhi atau

menjadi akibat dari adanya variabel independen atau bebas (Sugiyono,

2009:59). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kepatuhan pelaporan

Wajib Pajak badan (Y).

2) Variabel bebas (independent variable) adalah variabel yang mempengaruhi

atau menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen atau

terikat (Sugiyono, 2009: 59). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah

tanggung jawab moral Wajib Pajak badan (X1), kesadaran Wajib Pajak (X2)

sanksi perpajakan (X3) dan kualitas pelayanan (X4).

G.5 Definisi Operasional Variabel

Dalam mendukung data yang akan diteliti, maka diperlukan suatu analisis

variabel yang akan digunakan dalam melakukan penelitian sesuai dengan

masalah-masalah yang ada. Adapun variabel-variabel yang diteliti dalam

penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut.

G.5.1 Tanggung Jawab Moral Wajib Pajak Badan (X1)

Ajzen (2002) dalam Agustini (2008:23) menyatakan bahwa secara umum

tanggung jawab moral atau kewajiban moral adalah moral individu yang dimiliki

oleh seseorang, namun kemungkinan tidak dimiliki oleh orang lain, seperti etika,

prinsip hidup, dan perasaan bersalah. Menurut Handayani (2009:15) tanggung

jawab moral wajib pajak dapat tercermin dari situasi sebagai berikut.

41
(1) Wajib Pajak memiliki rasa tanggung jawab dalam pembiayaan pemeliharaan

negara. Diukur dengan skala Likert 4 poin untuk 1 pernyataan.

(2) Wajib Pajak merasa cemas jika tidak melaksanakan kewajiban pajak

sebagaimana mestinya. Diukur dengan skala Likert 4 poin untuk 1 pernyataan.

(3) Wajib Pajak memiliki perasaan bersalah jika melakukan penggelapan pajak.

Diukur dengan skala Likert 4 poin untuk 1 pernyataan.

(4) Wajib Pajak melaporkan pajak dengan sukarela. Diukur dengan skala Likert 4

poin untuk 1 pernyataan.

(5) Wajib Pajak melaporkan pajak dengan benar. Diukur dengan skala Likert 4

poin untuk 1 pernyataan.

G.5.2 Kesadaran Wajib Pajak (X2)

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia kesadaran adalah keadaan tahu,

mengerti dan merasa. Kesadaran untuk mematuhi ketentuan (hukum pajak) yang

berlaku tentu menyangkut faktor-faktor apakah ketentuan tersebut telah diketahui,

diakui, dihargai dan ditaati. Menurut Manik Asri (2009), kesadaran wajib pajak

adalah suatu kondisi dimana wajib pajak mengetahui, memahami dan

melaksanakan ketentuan perpajakan dengan benar dan sukarela. Pengetahuan dan

pemahaman tentang perpajakan sangat penting karena dapat membantu wajib

pajak dalam mematuhi aturan perpajakan. Kemudian wajib pajak harus

melaksanakan aturan itu dengan benar dan sukarela. Jadi, kesadaran wajib pajak

adalah suatu kondisi dimana wajib pajak mengetahui, mengakui, menghargai dan

menaati ketentuan perpajakan yang berlaku serta memiliki kesungguhan dan

42
keinginan untuk memenuhi kewajiban pajaknya. Menurut Manik Asri (2009)

indikator yang digunakan untuk kesadaran wajib pajak adalah sebagai berikut:

(1) Mengetahui ketentuan perpajakan. Diukur dengan skala Likert 4 poin

untuk 2 pernyataan mengenai pengatahuan tentang undang-undang yang

mengatur ketentuan perpajakan serta pengetahuan mengenai fungsi pajak

untuk pembiayaan negara

(2) Memahami ketentuan perpajakan. Diukur dengan skala Likert 4 poin untuk

2 pernyataan mengenai pemahaman tentang kewajiban perpajakan harus

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta pemahaman

tentang fungsi pajak untuk pembiayaan negara.

(3) Melaksanakan ketentuan perpajakan dengan benar dan sukarela. Diukur

dengan skala likert 4 poin untuk 2 pernyataan pelaporan pajak dengan

benar dan sukarela.

G.5.3 Sanksi Perpajakan (X3)

Persepsi Wajib Pajak tentang sanksi perpajakan merupakan interpretasi

dan pandangan Wajib Pajak dengan adanya sanksi perpajakan. Sanksi perpajakan

yang dapat dikenakan kepada pelanggarnya berupa sanksi administrasi maupun

sanksi pidana. Menurut Yadnyana (2010:201) pandangan tentang sanksi

perpajakan tersebut diukur dengan indikator sebagai berikut.

(1) Pengenaan sanksi atas pelanggaran pajak dapat dinegosiasikan. Diukur dengan

skala Likert 4 poin untuk 1 pernyataan.

(2) Sanksi pidana yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak cukup berat.

Diukur dengan skala Likert 4 poin untuk 1 pernyataan.

43
(3) Pengenaan sanksi yang cukup berat merupakan salah satu sarana untuk

mendidik Wajib Pajak. Diukur dengan skala Likert 4 poin untuk 1 pernyataan.

(4) Sanksi pajak harus dikenakan kepada pelanggarnya tanpa toleransi. Diukur

dengan skala Likert 4 poin untuk 1 pernyataan.

(5) Sanksi administrasi yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak sangat ringan.

Diukur dengan skala Likert 4 poin untuk 1 pernyataan.

G.5.4 Kualitas Pelayanan (X4)

Parasuraman, dkk (1985) menyatakan kualitas pelayanan adalah

perbandingan antara harapan yang diinginkan oleh pelanggan dengan penilaian

mereka terhadap suatu kinerja aktual dari suatu penyedia layanan. Pemberian

pelayanan yang sebaik mungkin dipercaya dapat mendorong kepatuhan wajib

pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Agustini (2008) menyatakan

lima indikator yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitas jasa pelayanan

sebagai berikut.

(1) Bukti langsung (tangibles), yaitu meliputi fasilitas fisik, pegawai,

perlengkapan, dan komunikasi. Indikator yang digunakan adalah kebersihan

dan kerapian pakaian petugas, ruangan yang nyaman dan fasilitas parkir yang

memadai. Bukti langsung dengan skala likert 4 poin untuk 2 pernyataan.

(2) Keandalan (reliability), yaitu kemampuan para petugas pajak dalam

memberikan pelayanan yang menjanjikan dengan segera dan memuaskan.

Indikator seperti kemampuan petugas dalam memberikan informasi dan

menyelesaikan masalah yang dihadapi Wajib Pajak. Keandalan diukur dengan

skala likert 4 poin untuk 2 pernyataan.

44
(3) Daya tanggap (responsive), merupakan karakteristik kecocokan dalam

pelayanan manusia yaitu keinginan para petugas pajak untuk membantu Wajib

Pajak dan memberikan pelayanan dengan tanggap. Indikator yang digunakan

adalah kesediaan dan kecepatan petugas dalam membantu menyelesaikan

permasalahan yang dihadapi Wajib Pajak. Daya tanggap diukur dengan skala

likert 4 poin untuk 2 pernyataan.

(4) Jaminan (assurance), yaitu mencakup kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat

dipercaya yang dimiliki oleh petugas pajak seperti bebas dari risiko, bahaya

atau keragu-raguan. Indikator yang digunakan yaitu sikap ramah dan santun

serta pengetahuan petugas KPP sehingga membuat Wajib Pajak merasa

nyaman dan bebas dari keragu-raguan. Jaminan diukur dengan skala likert 4

poin untuk 2 pernyataan.

(5) Empati (emphaty), yaitu meliputi kemudahan petugas pajak dalam melakukan

komunikasi, hubungan verbal, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan

para pelanggan. Indikator yang digunakan adalah komunikasi yang terjalin

baik dengan Wajib Pajak dan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan Wajib

Pajak. Empati diukur dengan skala likert 4 poin untuk 2 pernyataan.

G.5.5 Kepatuhan Pelaporan Wajib Pajak Badan (Y)

Klepper dan Nagin (1989) mengatakan komponen kepatuhan wajib pajak

terdiri atas kepatuhan untuk mendaftarkan diri, kepatuhan untuk membayar

kewajiban pajak (tepat jumlah dan tepat waktu) dan kepatuhan untuk melaporkan

kewajiban pajak (tepat jumlah dan tepat waktu). Kepatuhan Perpajakan menurut

Handayani (2009) yaitu tindakan Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban

45
perpajakannya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku dalam suatu Negara. Kepatuhan pelaporan Wajib Pajak yang sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut diukur

dengan indikator sebagai berikut (Antari, 2012):

1) Wajib Pajak mengisi formulir SPT dengan lengkap dan jelas. Diukur

dengan skala likert 4 poin untuk 1 pernyataan.

2) Wajib Pajak melakukan penghitungan dengan benar. Diukur dengan skala

likert 4 poin untuk 1 pernyataan.

3) Wajib Pajak melakukan pembayaran tepat waktu. Diukur dengan skala

likert 4 poin untuk 1 pernyataan.

4) Wajib Pajak melakukan pelaporan tepat waktu. Diukur dengan skala likert

4 poin untuk 1 pernyataan.

5) Wajib Pajak tidak pernah menerima surat teguran. Diukur dengan skala

likert 4 poin untuk 1 pernyataan.

G.6 Jenis dan Sumber Data

G.6.1 Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Data kualitatif (Sugiyono, 2009:121) yaitu data yang berbentuk kata,

kalimat, skema dan gambar. Data kualitatif yang digunakan dalam

penelitian ini berupa gambaran umum, sejarah singkat, struktur organisai,

uraian tugas masing-masing bagian mengenai Kantor Pelayanan Pajak

Pratama Badung Utara.

46
2) Data kuantitatif, yaitu data yang berbentuk angka, atau data yang

berbentuk kualitatif yang diangkakan (Sugiyono, 2009:121). Data

kuantitatif dalam penelitian ini diperoleh dari data kualitatif yang

dikuantitatifkan dengan bantuan Skala Likert yang dimodifikasi serta

mengacu pada pengukuran variabel (variabel laten) yang digunakan, yaitu

tanggung jawab moral, kesadaran wajib pajak, sanksi perpajakan, kualitas

pelayanan dan kepatuhan pelaporan Wajib Pajak Badan.

G.6.2 Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Data primer yaitu sumber data yang langsung memberikan data kepada

pengumpul(Sugiyono, 2009:193), meliputi hasil wawancara dan hasil

pengisian kuesioner. Penelitian ini dalam pengolahan data menggunakan

data primer dengan mengedarkan daftar pernyataan (kuisioner) yang akan

diisi oleh responden. Jadi data primer dalm penelitian ini adalah jawaban

responden terhadap kuisioner mengenai tanggung jawab moral, kesadaran

Wajib Pajak, sanksi perpajakan, kualitas pelayanan dan kepatuhan

pelaporan Wajib Pajak Badan.

2) Data sekunder yaitu sumber yang tidak langsung memberikan data kepada

pengumpul data, misalnya lewat orang lain, lewat dokumen (Sugiyono,

2009:193). Data sekunder pada penelitian ini adalah data yang diperoleh

dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terkait mengenai tingkat kepatuhan

pelaporan Wajib Pajak Badan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama

Badung Utara.

47
G.7 Populasi, Sampel, dan Metode Penentuan Sampel

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009:115). Populasi

dalam penelitian ini adalah Wajib Pajak Badan efektif yang terdaftar pada Kantor

Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Badung Utara per 31 Desember 2012 yaitu

sejumlah 4.190 Wajib Pajak Badan.

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut (Sugiyono, 2009:116). Teknik penentuan sampel yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Aksidental Sampling, yaitu teknik

penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja secara kebetulan

bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang

yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data (Sugiyono, 2009:122).

Kriteria pemilihan sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Responden dalam penelitian ini adalah minimal staff di bidang accounting

atau perpajakan yang bekerja pada perusahaan (Wajib Pajak) tersebut.

2) Responden bekerja minimal dua tahun dan pernah mengisi SPT Tahunan

dan melaporkan kewajiban perpajakannya.

Berdasarkan kriteria tersebut, jumlah sampel yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sejumlah 98 Wajib Pajak Badan. Sampel seluruhnya didapat

berdasarkan perhitungan penentuan sampel dengan rumus Slovin dalam Umar

Husein (2008:78), yaitu.

48
N
n = ………………………………………………………..(1)
1 + Ne2

Keterangan :

n : jumlah anggota sampel

N : jumlah anggota populasi (jumlah Wajib Pajak badan efektif)

e : Nilai kritis (batas ketelitian, 0,1)

Perhitungan sampel :

4.190
n=
1 + 4.190(0,1)2
n= 97,66
n= 98 (dibulatkan)

G.8 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah.

1) Wawancara, yaitu pengumpulan dengan proses interaksi dan komunikasi

(Singarimbun, 2011:192). Data secara lisan dengan melakukan tanya

jawab dengan Wajib Pajak maupun fiskus mengenai hal-hal yang terkait

dengan kepatuhan Wajib Pajak.

2) Kuesioner, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada

responden untuk dijawab (Sugiyono, 2009:199)

3) Dokumentasi, merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu (Sugiyono,

2009:422). Data yang diperoleh dari hasil dokumentasi berupa tingkat

49
kepatuhan SPT Tahunan Wajib Pajak Badan di Kantor Pelayanan Pajak

Pratama Badung Utara.

G.9 Teknik Analisis Data

G.9.1 Analisis Regresi Linear Berganda

Untuk mengetahui pengaruh tanggung jawab moral, kesadaran wajib

pajak, sanksi perpajakan dan kualitas pelayanan pada kepatuhan pelaporan Wajib

Pajak Badan di KPP Pratama Badung Utara digunakan persamaan regresi linear

berganda untuk memecahkan rumusan masalah yang ada, yaitu untuk mengetahui

arah dan pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat.

Teknik analisis data yang digunakan dalam menganalisis data dalam

penelitian ini adalah regresi linear berganda yang diproses dengan menggunakan

komputer dengan program stastitical package for social science (SPSS).

Persamaan regresi linear berganda ditunjukkan sebagai berikut (Wirawan,

2002:308):

Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 ε ...................……………………. (5)

Keterangan:

Y: Kepatuhan Pelaporan Wajib Pajak Badan

α: Nilai intersep konstanta

β1-β4: Koefisien regresi variabel X1, X2, X3 dan X4

X1: Tanggung Jawab Moral

X2: Kesadaran Wajib Pajak

X3: Sanksi Perpajakan

X4: Kualitas Pelayanan

50
ε: Error atau variabel di luar model

Ketepatan fungsi regresi sampel dalam menaksir nilai aktual diukur dari

Goodness of Fit-nya. Goodness of Fit suatu model diukur dari nilai koefisien

determinasi, nilai statistik F, dan nilai statistik t (Ghozali, 2006:87). Goodness of

Fit suatu model terdiri atas:

1) Uji Koefisien Determinasi (R2)

Nilai koefisien determinasi menunjukkan seberapa jauh kemampuan variabel

independen dalam menerangkan variasi variabel dependen. Dalam

penghitungan statistik ini, nilai R² yang digunakan adalah adjusted R² karena

ini merupakan salah satu indikator untuk mengetahui pengaruh penambahan

satu variabel independen kedalam satu persamaan regresi. Nilai dari adjusted

R² benar-benar menunjukkan pengaruh variabel independen terhadap variabel

dependen. Koefisien determinasi atau kuadrat dari koefisien korelasi memiliki

nilai antara 0 sampai dengan 1 atau 0< R²<1. Koefisien determinasi sama

dengan satu berarti variabel independen berpengaruh secara sempurna

terhadap variabel dependen dan jika koefisien determinasi = 0 berarti variabel

independen tidak berpengaruh terhadap variabel dependen. (Ghozali, 2006:87)

2) Uji Kelayakan Model (Uji F)

Uji statistik F bertujuan untuk mengetahui kelayakan model regresi linear

berganda sebagai alat analisis yang menguji pengaruh variabel independen

terhadap variabel dependen. Bila nilai signifikansi annova < α = 0,05 maka

model ini layak atau fit.

51
3) Uji Hipotesis (Uji t)

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel

secara individual terhadap variabel terikat. Pengujian dilakukan dengan

bantuan program SPSS, yaitu dengan membandingkan tingkat signifikansi

variabel bebas dengan taraf signifikansinya sebesar α=5%. Apabila tingkat

signifikan variabel bebas kurang dari tingkat signifikansi α=5% maka dapat

dikatakan bahwa variabel bebas berpengaruh signifikan terhadap variabel

terikat (hipotesis diterima).

G.9.2 Uji Asumsi Klasik

1) Uji Normalitas

Ghozali (2006:147) menjelaskan bahwa uji normalitas bertujuan untuk

menguji apakah dalam model regresi yang dibuat berdistribusi normal atau

tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi residual yang

normal atau mendekati normal. Umumnya regresi dengan residual yang

berdistribusi normal diperoleh dari variabel bebas dan variabel terikat,

keduanya memiliki distribusi normal atau tidak. Dalam penelitian ini, untuk

menguji apakah distribusi data normal atau tidak dapat dilakukan dengan

menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov, yaitu dengan membandingkan

distribusi kumulatif relatif hasil observasi dengan distribusi kumulatif relatif

teorinya. Data populasi dikatakan berdistribusi normal jika nilai Asym Sig (2-

tailed) lebih besar dari 0,05.

52
2) Uji Multikolinearitas

Ghozali (2006:95) menyatakan bahwa uji multikolinearitas bertujuan untuk

menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel

bebas (independent). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi

antara variabel independen. Jika variabel independen lain berkorelasi, maka

variabel-variabel tidak ortogonal. Variabel ortogonal adalah variabel

independen yang nilai korelasi antar sesama variabel independen sama dengan

nol. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas di dalam model

regresi dapat dilihat dari (1) nilai tolerance dan lawannya (2) variance

inflation factor (VIF). Kedua ukuran ini menunjukkan setiap variabel

independen manakah yang dijelaskan oleh variabel independen lainnya.

Tolerance mengukur variabilitas variabel indenpenden yang terpilih yang

tidak dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Jadi nilai tolerance rendah

sama dengan nilai VIF tinggi (karena VIF = 1/tolerance). Nilai cut off yang

umum dipakai untuk menunjukkan adanya multikolinearitas adalah nilai

tolerance > 0,10 atau nilai VIF < 10.

3) Uji Heteroskedastisitas

Ghozali (2006:125) menjelaskan bahwa uji heteroskedastisitas bertujuan

menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari

residual satu pengamatan ke pengamatan lain. Jika variance dari residual satu

pengamatan ke pengamatan lain tetap maka disebut homoskedastisitas dan jika

berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah

homokedastisitas, atau tidak terjadi heteroskedastisitas. Pengujian

53
heteroskedastisitas dilakukan dengan uji glejser yakni dengan cara meregresi

nilai absolut residual dari model yang diestimasi terhadap variabel

independen. Kriterianya apabila output koefisien parameter untuk variabel

bebas tidak ada yang signifikan secara statistik, maka disimpulkan bahwa

model regresi tidak terdapat heteroskedastisitas. Uji ini dapat dianalisis

melalui uji glesjer dengan melihat tingkat signifikansi, jika tingkat signifikansi

berada di atas 0,05 maka model regresi ini bebas dari masalah

heteroskedastisitas.

4) Uji Autokorelasi

Pengujian ini dilakukan untuk mendeteksi adanya korelasi antara data pada

masa sebelumnya dengan data sesudahnya. Uji autokorelasi dapat dilakukan

dengan menggunakan uji Durbin-Watson terhadap variabel pengganggu pada

periode t. Model regresi yang baik adalah model regresi yang tidak

mengandung autokorelasi. Jika suatu model regresi mengandung autokorelasi

maka akan memberikan hasil prediksi yang menyimpang.

54
DAFTAR RUJUKAN

Agustini, I G. A. Pratama. 2008. Pengaruh Norma Subjektif, Kewajiban Moral,


dan Kualitas Pelayanan Terhadap Kepatuhan Pelaporan Wajib Pajak Badan
pada KPP Pratama Denpasar Barat (Studi Kasus Pada Perusahaan
Konstruksi di Kota Denpasar). Skripsi Sarjana Jurusan Akuntansi Fakultas
Ekonomi Universitas Udayana.
Ali et al. 2001. The Effect Of Tax rates and Enforcement Policies on Tax Payer
Compliance: A Study of Self-Employed Tax Payer. Atlantic Economic
journal, 29 (2): June
Andreas. 2007. Pengaruh Kualitas Pelayanan Pada Kepatuhan Wajib Pajak Badan
Pada Kantor Pelayanan Pajak Denpasar Timur. Skripsi Sarjana Jurusan
Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.
Antari, Ni Wayan Indah. 2012. Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak, Pemeriksaan Pajak,
Sanksi Perpajakan Dan Kualitas Pelayanan Pada Kepatuhan Pelaporan Wajib
Pajak Orang Pribadi Di KPP Pratama Badung Utara. Skripsi Sarjana Jurusan
Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.
Boediono. 2003. Pelayanan Prima Perpajakan. Jakarta:PT. Rineka Cipta.
Burhanudin. 2009. Service Quality Dimensions in Public Sector. Jurnal Ekonomi
Bisnis & Akuntansi Ventura, 12 (2):h:129-136.
Chau, Liung. 2009. A Critical Review of Fischer Tax Complience Model (A
Research Syntesis). Journal of Accounting and Taxation, 1(2):h:34-40.
Devano, Sony, Siti Kurnia Rahayu. 2006. Perpajakan Konsep, Teori, dan Isu.
Jakarta: Prenade Media Group.
Direktorat Jenderal Pajak. 1988. Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor :
SE-26/PJ.2/1988. Kriteria Wajib Pajak Efektif dan Non Efektif. Jakarta.
Direktorat Jenderal Pajak. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan. Jakarta: Penerbit Buku Berita Pajak.

Direktorat Jenderal Pajak. 2012. Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor :
SE-06/PJ/2012. Target Rasio Kepatuhan Penyampaian Surat
Pemberitahuan Pada Tahun 2012. Jakarta.
Direktorat Jenderal Pajak. 2012. Surat Direktorat Potensi, Kepatuhan, dan
Penerimaan Nomor : S-71/PJ.08/2012. Target Rasio Kepatuhan
Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pada Tahun 2013. Jakarta

55
Djatmikowati, Sri Hartini. 2009. Dimensi Rasionalitas Kualitas Pelayanan Publik
Guna Peningkatan Kepuasan Masyarakat di Era Otonomi Daerah. Telaah
Bisnis, X (1):h:43-60.
Doran, Michael. 2009. Tax Penalties and Tax Compliance, Harvard Journal on
Lagislation (www.ssrn.com), Vol.46:p:111-161.
Franzoni, Luigi Alberto. 1999. Tax evasion and tax compliance, Encyclopedia of
Law and Economics (www.ssrn.com), Vol. 4, pp. 51-94,
Mustikasari, Elia. 2007. Kajian Empiris Tentang Kepatuhan Wajib Pajak Badan di
Perusahaan Industri Pengolahan di Surabaya. Kumpulan Materi Simposium
Nasional Akuntansi X Makasar.
Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate dengan program SPSS.
Semarang: BP UNDIP.
Ghozali, I dan A. Chariri. 2007. Teori Akuntansi. Semarang: BP UNDIP
Handayani, Putu Ery Setiawan. 2011. Pengaruh Tanggung Jawab Moral dan
Kualitas Pelayanan Terhadap Kepatuhan Pelaporan Wajib Pajak Badan
Pada Kantor Pelayanan Pajak Denpasar Barat. Buletin Studi Ekonomi, 16
(1) : h:26-33, Denpasar: Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.
Harahap, Abdul Asri. 2004. Paradigma Baru Perpajakan Indonesia Perspektif
Ekonomi. Jakarta: Integritas Dinamika Press.
Harinudin, Edwin. 2009. Perilaku Kepatuhan Wajib Pajak Badan. Jurnal
Administrasi dan Organisasi, Vol. 16(2):h:96-104.
Hendarsyah, Deni. 2009. Pengaruh Sosialisasi Perpajakan, Kualitas Pelayanan
Dan Sanksi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak (Studi Kasus
Pada KPP Pratama Mampang Prapatan Jakarta). Skripsi Sarjana Jurusan
Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional Veteran.
Ho, Daniel. 2009. A Study of Hongkong Tax Compliance Ethics. Internasional
Business Research, 2 (4).
Husein, Umar. 2008. Desain Penelitian Akuntansi Keperilakuan. Jakarta:
Grafindo.
Hutagaol, Jhon. 2007. Strategi Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak. Jurnal
Akuntansi, Vol. 6 (2):h:186-193.
Ilyas B, Wirawan & Richard Burton. 2008. Hukum Pajak. Edisi ke 4. Jakarta.
Salemba Empat.

James, Simon, Clinton, Alley. 2004. Tax Compliance, Self Assessment and Tax
Administration. Journal Of finance And Management In Public Service.
Vol. 2, No. 2, p: 24-42

56
Jatmiko, A.N. 2006. Pengaruh Sikap Wajib Pajak pada Pelaksanaan Sanksi
Denda, Pelayanan Fiskus dan Kesadaran Perpajakan terhadap Kepatuhan
Wajib Pajak (Studi Empiris terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi di Kota
Semarang)”. Tesis Magister Akuntansi Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro.
Jung, Woon Oh. 1999. Taxpaper Disclousure and Penalty Laws. Seoul National
University. Oktober: 151-742
Klepper, Steven, Daniel Nagin. 1989. Tax Compliance and Perception Of the
Risks Of Detection and Criminal Prosecution. Law Society Review (2):
p:209-240

Manik Asri, Wuri. 2009. Pengaruh Kualitas Pelayanan, Biaya Kepatuhan Pajak
dan Kesadaran wajib pajak Pada Kepatuhan Pelaporan wajib pajak Badan
yang Terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya Denpasar. Skripsi Jurusan
Akuntansi Pada Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.

Mardiasmo. 2009. Perpajakan Edisi Revisi 2009. Yogyakarta: Andi.

Muliari, Ni Ketut & Setiawan, Putu Ery. (2011). Pengaruh Persepsi tentang Sanksi
Perpajakan dan Kesadaran Wajib Pajak pada Kepatuhan Pelaporan Wajib
Pajak Orang Pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Timur.
Audi Jurnal Akuntansi dan Bisnis, 6 (1); h:1-23
Nugroho, Agus. 2006. Pengaruh Sikap Wajib Pajak Pada Pelaksanaan Sanksi
Denda, Pelayanan Fiskus dan Kesadaran Perpajakan Terhadap Kepatuhan
Wajb Pajak (Studi Empiris Terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi di Kota
Semarang). Tesis Magister Akuntansi Program Pascasarjana Universitas
Diponogoro.
Nurmantu, Safri. 2007. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Pelayanan
Perpajakan. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi,
Vol.15, No. 1 (Januari)
O’Donovan, G, 2002, “Environmental Disclosure in the Annual Report,Extending
the Applicability and Predictive Power of Legitimacy Theory”, Accounting,
Auditing and Accountability Journal, Vol. 15, No. 3, h:344-371
Parasuraman, Zeithaml, Berry. 1985. A Conceptual Model of Service Quality Its
Implication Future Research. Journal of Marketing, 49:h:41-50.
Priyantini, Juana. 2008. Pengaruh Kualitas Pelayanan dan Biaya Kepatuhan Pajak
Terhadap Kepatuhan Pelaporan Wajib Pajak Badan pada Kantor Pelayanan
Pajak Pratama Badung Utara. Skripsi Sarjana Jurusan Akuntansi Fakultas
Ekonomi Universitas Udayana.

57
Purnoto, I Wayan Nonok. 2011. Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak, Kewajiban
Moral dan Biaya Kepatuhan Pajak pada Kepatuhan Pelaporan Wajib Pajak
Orang Pribadi di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Badung Utara. Skripsi
Sarjana Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.
Rahayu, Ning. 2007. Kebijakan Baru Direktorat Jenderal Pajak Dalam Pengajuan
Restitusi PPN dan Perencanaan Pajak untuk Menghadapainya. Jurnal
Umum Administrasi dan Organisai, Bisnis & Birokrasi, Vol.15, No. 1
(Januari).
Rosito, Nunung Cahyo. 2010. Analisis Pengaruh Kewajiban Moral, Tingkat
Penghasilan, dan Budaya Organisasi Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
Orang Pribadi Dalam Pemenuhan Kewajiban Pajak Penghasilan (Studi
Kasus di KPP Pratama Surakarta). Skripsi Sarjana Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah.
Santoso, Wahyu. 2008. Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai
Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak (Penelitian Terhadap Wajib
Pajak Badan Di Indonesia). Jurnal Keuangan Publik. Vol.5(1):h:85-137.
Somya, Mineati Lasmana, dkk. 2005. Pengaruh Penerapan Sistem Monitoring
Pelaporan Pembayaran Pajak ( MP3) terhadap Kepatuhan Wajib Pajak (
Studi Empiris pada Kantor Wilayah DJP Jawa Bagian Jawa Timur). Jurnal
Akuntansi dan Keuangan Indonesia. Vol.2, No. 1, h:130-158. Departemen
Akuntansi : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Suardika, I Made Sadha. 2009. Pengaruh Sistem Perpajakan yang Kondusif
Terhadap Dunia Usaha. Audi Jurnal Akuntansi dan Bisnis Vol.2 (2):h:68.
Denpasar: Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.
Santosa, Made Edy Septian. 2011. Pengaruh Kewajiban Moral, Kualitas Pelayanan
dan Sanksi Perpajakan Pada Kepatuhan Pelaporan Wajib Pajak Badan Koperasi
Di KPP Pratama Badung Utara. Skripsi Sarjana Jurusan Akuntansi Fakultas
Ekonomi Universitas Udayana.
Setiaji, Gunawan, Hidayat Amir. 2008. Evaluasi Kinerja Sistem Perpajakan
Indonesia. Jurnal Ekonomi Universitas Indonesia Esa Unggul.
Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Revika Aditama.
Simanjuntak, Timbul Hamonangan. 2009. Kepatuhan Pajak (Tax Complience)
dan Bagi Hasil Pajak dalam Perekonomian di Jawa Timur. JESP, 1 (2).
Singarimbun, Masri. 2011. Metode Penelitian Survai. Jakarta : LP3ES.
Soewarno, Guntoro. 12 Desember 2005. Mendirikan Bangsa dengan Reformasi
Pajak. Media Indonesia. Suplemen Khusus.
Suandy, Erly. 2011. Hukum Pajak Edisi ke 5. Jakarta: Salemba Empat.

58
Suchman, M. C. (1995). Managing legitimacy: Strategic and institutional
approaches. Academy of Management Review, 20(3), 571-610.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta
Sumadi. 2005. Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Wajib Pajak
(Studi pada Objek Pajak Penghasilan di KPP Yogyakarta Satu). Jurnal
Bisnis dan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia.
Supadmi, Ni Luh. 2009. Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak Melalui Kualitas
Pelayanan. Audi Jurnal Akuntansi dan Bisnis, 4 (2): h:214-219, Denpasar:
Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.
Suryadi. 2006. Model Hubungan Kausal Kesadaran, Pelayanan, Kepatuhan Wajib
Pajak dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja Penerimaan Pajak: Suatu Survei
di Wilayah Jawa Timur. Jurnal Keuangan Publik, Vol. 4 (1):h:105-121.
Tarjo, Sawarjuwono, T (2005). “Kepercayaan Wajib Pajak terhadap Fiskus,
Kesadaran Wajib Pajak terhadap Pentingnya Membayar Pajak, Rekayasa
Akuntansi, dan Kepatuhan Wajib Pajak”. Jurnal Manajemen, Akuntansi
dan Bisnis. Vol.3(2):h:119-136.
Torgler, B. (2005). Tax Morale and Direct Democracy. European Journal of Political
Economy, 21, h:525-531.

Tri Komala Sari, Puput, Moh. Nashih. 2005. Degree of Tax Payers Complience
and Tax Tarif: The Testing on The Impact of Income Types. Simposium
Nasional Akuntansi, VIII: h:554-564.
United States Government Accountability Office. 2009. Tax Administration: IRS
should evaluate penalties and develop a plan to focus its efforts. Report to
the Committee on Finance, U.S. Senate. June.
Ussahawanichakit, Phapruke. 2008. Effect of Organizational Learning Culture on
Service Quality and Performance of Thai Accounting Firms. International
Jurnal of Business Research.
Waluyo. 2008. Perpajakan Indonesia. Edisi 8. Jakarta: Selemba Empat.
Wenzel, M. 2005. Motivation or Rationalization? Casual Relation Between
Ethics, Norms and Tax Compliance. Journal Of Economics Psychology.
26(4). 491-208

Wirawan, Nata. 2002. Cara Mudah Memahami Statistik 2 (Statistik Inferensia).


Denpasar: Keraras Emas.

www.bisnis.com

www.pajak.go.id

59
Yadnyana, I Ketut. 2010. Pengaruh Moral dan Sikap Wajib Pajak Pada Kepatuhan
Wajib Pajak Koperasi di Kota Denpasar. Buletin Studi Ekonomi, 15
(1):h:75-81, Denpasar: Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.

60

Вам также может понравиться