Вы находитесь на странице: 1из 18

PERAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN KOTA YOGYAKARTA

SEBAGAI KOTA BUDAYA

Primus Aryunto
Urban Planer (Manajamen Pembangunan Kota),
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya, Indonesia
Email : ryanoyo@gmail.com

1. PENDAHULUAN
Kota merupakan salah satu tempat kehidupan manusia yang dapat dikatakan
paling kompleks, karena perkembangannya dipengaruhi oleh aktivitas pengguna
perkotaan yang menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan tuntutan
hidup. Setiap kota memiliki peran dan fungsi masing –masing. Peran kota
tersebut ditentukan oleh karakteristik fungsi kota yang diembannya, yaitu
aksesibilitas yang dipunyai terhadap wilayah pinggirannya (Rondinelli, 1978).
Pada masa kini kota-kota di Indonesia telah banyak mengalami perkembangan
dan perubahan yang sangat pesat. Pembangunan di berbagai sektor dan fungsi
baru untuk menunjang ragam aktivitas manusia terkadang tidak memperhatikan
bangunan-bangunan lama yang telah berdiri jauh sebelumnya. Pada
kenyataannya perubahan seperti ini, khususnya pada bangunan, kawasan
maupun objek budaya yang perlu dilestarikan menjadi rawan untuk hilang dan
hancur, dan dengan sendirinya akan digantikan dengan bangunan, kawasan
ataupun objek lainnya yang lebih bersifat komersial yang dapat merubah peran
dan fungsi utama yang diemban kota tersebut.
Dilema permasalahan perubahan peran dalam pembangunan bagi kawasan
kota yang dihadapi saat ini adalah membangun kota modern dengan
mempertahankan wawasan kota budaya yang masih mempunyai
kesinambungan dengan masa lalu. Konservasi/pelestarian yang dilakukan bukan
semata mengawetkan kawasan kota yang bersejarah, namun berfungsi sebagai
alat dalam mengolah transformasi melalui pemahaman tentang sejarah
perkotaan dan aspek-aspek dalam pelestarian yang dijadikan dasar dalam
merancang sebuah kota.
Yogyakarta sebagai kota yang mempunyai ciri khas dan keunikan, secara
khusus mempunyai struktur bermakna filosofis-simbolis, yaitu berdasarkan garis
imajiner yang diyakini membentuk garis lurus. Garis ini membentang dari arah
Utara – Selatan (Gunung Merapi – Tugu Pal Putih – Kraton Yogyakarta –
Panggung Krapyak – Laut Selatan) membentuk suatu jalur linear dan
menghubungkan beberapa simbol-simbol fisik yang mempunyai makna nilai
filosofis. Konsep filosofis kota ini (sumbu imajiner) telah dipikirkan, direncanakan
dan ditanamkan jauh sebelum terbentuknya Ngayogyakarta Hadiningrat tahun
1755 oleh seorang Raja I (pertama) Kraton Kasultanan Yogyakarta yaitu Sri
Sultan Hamengku Buwono I.
Pada perkembangan kota Yogyakarta pada saat ini, sumbu imajiner sudah
banyak mengalami perkembangan namun masih tetap mempertahankan
kelengkapan fisik, sarana, prasarana, estetik, etik, simbol, dan filosofis-religius
eksistensinya yang mempunyai keterkaitan dengan berbagai rancangan
sebagaimana fungsi dan maknanya. Nilai historis-kultural, filosofis, dan
arsitektural sumbu imajiner tersebut merupakan identitas yang mempunyai
karakter dan potensi. Keunikan pola tata ruang kota Yogyakarta yang memiliki
nilai historis seperti ini perlu dipertahankan agar tidak mengalami degradasi
seiring dengan berkembangnya pembangunan kota.
Sejak awal Yogyakarta telah memiliki daya tarik, selain sebagai bekas
ibukota kerajaan. Yogyakarta sempat menjadi ibukota Republik Indonesia pada
tahun 1946 – 1950. Kota ini menjadi pusat revolusi yang mempelopori
perubahan-perubahan sosial politik hingga menjalar ke seluruh Indonesia
(Soemardjan, 2009). Iklim pembaharu itu terus tumbuh seiring mewujudnya kota
ini sebagai kota pendidikan. Diawali dengan berdirinya Universitas Gadjah Mada
pada tahun 1949, puluhan perguruan tinggi didirikan di wilayah kota dan
sekitarnya. Kota Yogyakarta pun berkembang pesat dengan laju pertumbuhan
penduduk 1,9%. Pada tahun 2008, penduduk kota ini berjumlah 456.915 orang.
Dengan luas wilayah 32,50 km persegi, kepadatan penduduk kota ini mencapai
13.881 jiwa per km persegi (BPS Kota Yogyakarta, 2009).
Dua faktor utama yang menjadi dasar perkembangan kota Yogyakarta, yaitu
kraton dan pusat pendidikan, tampaknya tidak memacu perkembangan yang
pesat sebagaimana terjadi di kota-kota lain yang merupakan pusat bisnis seperti
Surabaya, Semarang, atau bahkan Solo atau bahkan dengan Jakarta. Mengacu
pada pendapat McGee (1982) dan mengasumsikan bahwa Yogyakarta termasuk
secondary city, maka ciri-ciri seperti kurang modern, dekat dengan daerah
pedesaan, infrastruktur yang terbatas, juga tampak di kota Yogyakarta. Kraton
bagi sebagian besar masyarakat Yogyakarta masih merupakan pusat kekuatan,
terutama yang berhubungan dengan kekuatan spiritual. Perencanaan kota
Yogyakarta didasarkan pada Keraton yaitu keserasian makna filosofis sumbu
imajiner yang merupakan garis lurus Krapyak–Kraton-Tugu, yang masing-masing
di antaranya berdiri bangunan-bangunan yang mempunyai arti dan makna
tentang proses kehidupan manusia, mulai dari lahir sampai mati. Penggal jalan
Tugu-Kraton (Jalan Mangkubumi – Malioboro - Ahmad Yani - Trikora) sebagai
jalur penghubung Kraton dan Tugu kini merupakan jalan yang sangat sibuk dan
padat. Pada penggal ini dominasi fungsi kawasan merupakan kawasan
perkantoran, jasa dan perdagangan. Terdapat banyak bangunan modern, serta
sebaran pariwisata. Berbeda dengan Penggal Kraton-Panggung Krapyak (Jalan
Gading – D.I Panjaitan) dimana fungsi kawasan merupakan pemukiman,
sehingga aktivitas di kawasan ini tidak terlalu padat.
Dari karakteristik perkembangan yang dominan dapat dilihat bahwa Kota
Yogyakarat memiliki fungsi dan peran ganda yaitu sebagai kota budaya dan juga
kota pendidikan. Ada beberapa fungsi lainnya seperti wisata dan jasa yang
berkembang seiring dengan pertumbuhan kota, namun fungsi-fungsi tambahan
ini lahir dari perkembangan dua fungsi utama tersebut. Hal ini dinilai positif
karena penggunaan berbagai fungsi dalam suatu kawasan dapat memberikan
keanekaragaman kegiatan dan suasana kehidupan yang meriah bagi
masyarakat serta memberikan ciri wajah lanskape kota (Heryanto, 2011).
Menurut Trancik (1986) dan Knox (1991), dominasi penggunaan fungsi kota
secara tunggal di kawasan tertentu akan menciptakan bentuk pengulangan dan
kesamaan suasana fisik dan visual, dan selanjutnya, keadaan ini akan
menciptakan bentuk kota yang bernuansa monoton dan membosankan serta
tidak menarik untuk dihuni.
Dalam Rencana Tata Ruang Kota Jogja tahun 2010 pasal 4 disebutkan
pembangunan kota diarahkan dengan visi, yaitu menjadikan Daerah Sebagai
Kota Pendidikan Berkualitas, Pariwisata Berbasis Budaya, dan Pusat Pelayanan
Jasa, yang Berwawasan Lingkungan. Dari visi yang dimiliki dapat diketahui juga
arah pengembangan Kota Jogja memiliki beberapa fungsi utama seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, yaitu fungsi budaya, fungsi pendidikan, fungsi
pariwisata dan fungsi jasa. Dalam penulisan makalah peran dan strategi
pembangunan kota Yogyakarta ini akan fokus menjelaskan fungsi dan peran
kota Jogja sebagai Kota Budaya, karena fungsi ini dianggap sebagai fungsi
utama dari Kota Jogja yang melahirkan fungsi-fungsi lainnya serta merupakan
poin utama yang memberikan keistimewaan dari keberadaan Yogyakarta itu
sendiri.

2. PEMBAHASAN

Peran suatu kota dapat dilihat dari fungsi yang diemban kota tersebut dan
digambarkan oleh karakteristik perkembangan yang ada. Menurut Gist, N.P &
Halbert, L.A (Hadi sabari 2005) mengemukakan enam jenis kelas kota atas
dasar fungsinya yaitu kota yang berfungsi sebagai pusat industry, kota yang
berfungsi sebagai pusat perdagangan, kota yang berfungsi sebagai pusat politik,
kota yang berfungsi sebagai pusat kebudayaan, kota yang berfungsi sebagai
pusat rekreasi atau kesehatan, dan yang terakhir adalah kota yang tidak
mempunyai fungsi tertentu yang menonjol. Dari penjelasan Gist & Halbert ini kota
yang berfungsi sebagai pusat kebudayaan, potensi kulturalnya kelihatan
menonjol dibanding dengan fungsi - fungsi lain yang ada. Dalam masa - masa
silam, peranan masjid - masjid di dunia Islam, gereja - gereja di dunia kristiani
serta pusat - pusat kerajaan memegang perananan yang sangat penting dalam
kehidupan bernegara. Hal ini yang menggambarkan potensi kultural dari suatu
Kota. Kota yang mempertahakan dan menonjolkan potensi kultural ini dapat
digolongkan sebagai Kota Budaya. Peran utama dari Kota budaya adalah
mempertahankan nilai kultural yang dimiliki dalam pembangunan yang ada,
sehingga arah pengembangan kota tetap terarah berdasarkan nilai-nilai budaya
dan historis yang dimiliki.

Peran Kota Yogyakarta Dalam Mempertahankan Nilai Kultural dan Historis


Mempelajari kota Yogyakarta berarti juga harus mempelajari budayanya,
sebab Jogja merupakan salah satu kota yang masih memiliki ciri khas selama
bertahun-tahun, dan hal itu biasa sulit ditemukan di tempat lain. Pada tahun 1994
Kota Yogyakarta telah tergabung dalam Liga Kota-Kota Bersejarah Dunia (The
League of Historical Cities) bersama kota-kota bersejarah dunia lain, seperti
Kyoto, Amsterdam, Dublin, Vienna, Roma, Barcelona, Jerusalem, Accra,
Kathmandu, hingga Lahore, dan Hanoi. Hal ini menunjukan bahwa perannya
dalam mempertahankan nilai-nilai budaya dan histroris telah diakui dunia
internasional.
Ciri khas yang sulit terhapuskan dari Kota Jogja adalah kraton yang sejak
berdirinya merupakan pusat kota. Menurut Soemardjan (1985) kota Yogyakarta
secara garis besar dibagi menjadi empat wilayah, yaitu: lingkungan Sultan,
lingkungan famili Sultan, Jeron Benteng, dan lingkungan masyarakat umum
diluar benteng. Dua lingkungan yang pertama letaknya di dalam kraton.
Masyarakat Jeron Benteng letaknya diluar Kraton tetapi masih di dalam benteng
yang batasnya, yaitu benteng, sampai saat ini masih ada. Analisis Soemardjan
tampaknya mengacu pada concentric zone theory dari Burgess (dalam Rahardjo,
1983) yang menyatakan bahwa perkembangan suatu kota akan mengikuti pola
lingkungan konsentrik. Perbedaan antara keduanya memang ada. Diantaranya
adalah pusat perkembangan kota menurut Burgess adalah pusat perdagangan,
sedangkan menurut Soemardjan adalah kraton. Atau secara lebih luas lagi,
perbedaan tersebut terutama pada dasar pembagian daerah menurut fungsinya.
Burgess lebih menekankan pembedaan wilayah berdasarkan fungsi bisnis,
sedangkan Soemardjan lebih menekankan pada fungsi kekuasaan tradisional.
Namun dari kedua pendapat ini menggambarkan bagaimana keistimewaan
Jogjakarta dalam memaknai pembagian ruang wilayah sebagai wujud upaya
mempertahankan nilai budayanya.
Salah satu dasar dalam penentuan obyek keistimewaan adalah ketentuan
dalam UU Nomor 26/2007, yaitu struktur dan pemanfaatan ruang kota. Secara
garis besar, tata ruang kota yang akan dinilai keistimewaannya dari aspek
budaya dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 1.
Komponen Struktur Ruang & Pola Ruang kota sebagai penanda Keistimewaan.
Unsur Penanda/Komponen Uraian
Struktur Ruang  Poros Tugu – Kraton – Sumbu Tugu – Kraton – Panggung krapayak
Panggung Krapyak. dengan bangunan catur sagotra adalah
 Bangunan catur sagotra. penanda utama kota Yogya, karena
 Loji Gede, loji kebon, merupakan representasi konsep budaya
gereja. memayu hayuning bawono. Di sumbu
tersebut juga berlokasi bangunan bangunan
simbol kekuasaan Belanda, yaitu Loji
Unsur Penanda/Komponen Uraian
Kebon (rumah residen) dan loji Gede
(beteng vredenburg). Simbol kuasa Raja dan
Kolonial menjadi satu, terintegrasi sebagai
inti kota.
- Bangunan catur sagotra. Kedua komponen kota tersebut membentuk
- Masjid Pathok Negoro. konsep Mandala dan integrasi budaya Hindu
– Budha dengan Islam. Konsep Pusat –
Pinggiran, keblat papat limo pancer
merupakan salah satu penciri struktur kota
Yogya.
Konfigurasi sumbu simetri dan Jika penanda struktur tersebut disatukan,
mandala. mencirikan struktur geometris memusat,
yang menjadi ciri ciri kota kerajaan di
Eropa.
Pola Ruang - Kawasan kampung prajurit. Konfigurasi kawasan kawasan tersebut
- Kawasan Jeron Beteng. membentuk ciri kota militer, karena
- Kawasan Pathok Negoro konfigurasi tersebut menggambarkan
strtategi pertahanan yang tersembunyi.
Konfigurasi pola ruang tersebut juga
merepresentasikan gelar Sultan.
- Kawasan Malioboro Kawasan Malioboro merupakan pusat kota
- Kawasan Kampus UGM lama padat dengan penanda budaya dan
sejarah. Berkembang sebagai kawasan
wisata utama kota, menjadi ikon budaya.
Bulaksumur merupakan pusat kota baru, ada
dipinggiran utara kota. Menjadi ikon
pendidikan di Indonesia.
Sumber : Suryanto, 2015

Konsep kebudayaan yang mewujud dalam keruangan kota antara lain konsep
Memayu Hayuning Bawono, Manunggaling Kawulo Gusti, Sangkan Paraning
Dumadi dan Pathok Negoro. Kemudian sikap hidup yang mengakar dan
tercermin dalam konsep sawiji–gregetsengguh–oramingkuh. Perwujudan konsep-
konsep tersebut dalam tata ruang kota dapat dilihatdalam tabel dan gambar
berikut:
Tabel 2
Perwujudan Konsep Budaya Dalam Tata Ruang Kota Jogja
Konsep Budaya Wujud Dalam Ruang Kota Evaluasi
Memayu Hayuning Catur Gotro Tunggal atau Catur gotro tunggal adalah konsep
Bawono Catursagotro, Jalinan 4 Ikon kosmologi jawa, yaitu harmoni mikro dan
kotaYogya: Kraton – Masjid makro kosmos. Kraton sebagai pemimpin,
Gede – PasarGede – Alun- masjid sebagai agama, pasar sebagai
alun. kegiatan ekonomi dan alun-alun
merefleksikan budaya. Pola kepemimpinan
yang mengacu pada religi, ekonomi dan
budaya merupakan cerminan dari konsep
memayu hayuning bawono, yang saat ini
dikenal sebagai konsep pembangunan yang
Konsep Budaya Wujud Dalam Ruang Kota Evaluasi
berkelanjutan (HB X, 2012)
Manunggaling MonumenTugu – Kraton – Tugu Golong-gilig, Kraton dan Panggung
Kawulo Gusti Panggung Krapyak dan Krapyak yang disatukanoleh poros utara-
sumbu pengikatnya. Tugu selatan, menggambarkan bersatunya
Golog – Gilig. pemimpin dan rakyat (Darmosugito, 1956).
Dalam kehidupan seharihari konsep ini
mewujud dalam pola hidup gotong royong,
Sangkan Paraning Poros Tugu – Kraton – Konsep ini merupakan salah satu patron
Dumadi Panggung Krapyak. umum dalam budaya jawa, simbiosis dari
ajaran Hindu-Budha dan Islam .Yang
khusus dan tidak ada duanya adalah upaya
mewujudkan konsep yang intangible
menjadi tangible. Upaya tersebut berupa
memberi nama jalan, menenam jenis
tanaman tertentu serta melaksanakan
seremonial
tertentu . (Yuwono, 2010).
Sawiji – greget – Konfigurasi ruang: beteng Sawiji, greget, sengguh ora mingkuh
sengguh ora kraton dan kampung- adalah sifat ksatria Mataram. Konfigurasi
mingkuh kampung prajurit yang ruang kawasan Jeron Beteng dan kampung
berada dibelakangnya, prajurit menggambarkan prinsip tersebut.
membentuk pola gelar perang Kedudukan Kraton, yang
tradisional tertentu. merepresentasikan Sultan sebagai Senopati
Ing Ngalogo (diujung gelar, bukan didalam
). Sultan sebagai panglima harus berada
didepan, memimpin dan memberi contoh,
seperti sifat P. Mangkubumi (Ricklefs,
2002).
Sumber : Suryanto, 2015

Struktur dan pola ruang yang terbentuk oleh komponen-komponen ruang


yang merupakan simbolisasi konsep-konsep budaya tersebut, mengarah pada
tipe tertentu dari citra kota, yaitu citra monumental dan pertahanan. Penyatuan
kedua konsep tersebut, banyak ditemui di India (durga atau skandhavara) dan
Eropa (bastides). Di Indonesia, kota benteng sekaligus monumental adalah kota-
kota pantai, yang memang disiapkan untuk menghadapi musuh dari luar (Banten,
Batavia, Makasar). Kota pedalaman yang dibangun dengan konsep tersebut
hanya Yogyakarta.
Penanda lain yang menguatkan Yogya dibangun atas dasar konsep sosio
kultural dan religi adalah keberadaan Masjid Pathok Negoro. Masjid tersebut
berada di empat penjuru pinggiran Kutho Negoro ( Mlangi, Ploso Kuning,
Babadan dan Dongkelan). Sebutan dan lokasi 4 masjid tersebut secara eksplisit
mendudukkan fungsi dari agama Islam, sebagai sandaran kekuatan Negara.
Pathok bukan hanya batas, tetapi tonggak pengikat supaya bangunan kuat
berdiri. Masjid pathok negoro sebagai keblat papat dan masjid Gede Kauman
sebagai pancer nya. Struktur tersebut hanya ada di Yogya, tidak ditemui di kota-
kota lain di Indonesia.
Warisan budaya yang mewujud sebagai komponen ruang kota penanda
keistimewaan adalah yang berhubungan dengan konsep-konsep budaya yang
“ditempelkan” pada ruang kota. Konsep kota yang monumental dan militeristik
dibungkus dengan konsep budaya Jawa yang adi luhung. Konsep budaya
tersebut adalah Memayu Hayuning Bawono, Catur Sagotra, Sangkan paraning
dumadi dan Golong – Gilig, Sawiji – greget – sengguh ora mingkuh. Komponen
ruang kota yang merupakan wujud konsep budaya tersebut adalah Sumbu Tugu
– Kraton – Panggung Krapyak, Kawasan Malioboro, Kawasan Njeron Beteng.
Analisis Hermeneutik (Ricoeour, 1981) memperkirakan bahwa penempelan
konsep-konsep budaya dalam wujud komponen ruang kota yang monumental
tersebut bertujuan :
 Menunjukkan Kesultanan Yogyakarta adalah Kesultanan yang besar,
tidak kalah dibanding kesunanan Surakarta yang lebih tua, sebagai
sesama penguasa di Jawa.
 Membangkitkan kebanggaan dan kepercayaan masyarakat terhadap
kemampuan Sultan dalam memimpin Negara Yogyakarta.
 Kebanggaan tersebut dibutuhkan untuk menangkal pengaruh Belanda
yang semakin kuat.

Dari pemaknaan struktur ruang, pola ruang maupun wujud tata ruang secara
keseluruhan dapat dilihat nilai-nilai kultural dan historis dimiliki oleh Yogyakarta.
Nilai kultur dan historis ini menggambarkan peran yang dimiliki Kota Yogyakarta
sebagai intepratsi dari fungsi Kota Budaya yang diembannya. Peran utama
dalam mempertahankan nilai-nilai ini tidak mudah untuk dilakukan, karena seiring
perkembangan zaman saat ini banyak nilai-nilai keistimewaan yang mulai
terkikis.Jika mengacu pada pendapat Lewis Mumford (1938) maupun Raymond
William (1975), diperkirakan bahwa terkikisnya nilai-nilai dan semangat
keistimewaan yang menjadi roh Yogya Istimewa adalah bagian dari proses
perubahan budaya yang terjadi di Yogyakarta. Semakin heterogennya penduduk
Yogya dan kuatnya pengaruh Globalisasi di satu sisi serta semakin berkurangnya
pemahaman terhadap konsep-konsep budaya lokal yang adi luhung, adalah
faktor-faktor yang potensial menggerus roh keistimewaan Yogyakarta.
Dibutuhkan pemaknaan kembali terhadap konsep-konsep budaya tersebut,
sebagaimana pernah dilakukan oleh HB IX dengan merangkum konsep-konsep
tersebut dalam konsep tahta untuk rakyat pada waktu beliau bertahta sebagai
Sultan Yogyakarta (Suryanto, 2015). Jika tidak ada upaya pemaknaan kembali
dalam bentuk strategi pembangunan, maka penanda keistimewaan tersebut
hanya akan bernilai sebagai peninggalan sejarah saja.
Strategi Pembangunan Kota Yogyakarta Dalam Mempertahankan Nilai
Kultural dan Historis
Pertumbuhan penduduk yang tinggi, dinamika migrasi yang pesat, dan
wilayah yang tidak cukup luas menjadikan Yogyakarta dan sekitarnya menjadi
wilayah yang potensial berubah dan rawan tidak lestari. Oleh karena itu
dibutuhkan strategi pembangunan yang tepat sehingga peran kota Yogyakarta
dalam mempertahankan nilai-nilai kultural dapat tetap terjaga. Stratergi
pembangunan yang dapat diterapkan di Kota Yogyakarta adalah sebagai berikut:
1. Memantapkan fungsi lindung melalui pemeliharaan dan pelestarian terhadap
kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan serta pencegahan dampak
negatif kegiatan manusia terhadapnya dengan pemberian sanksi yang tegas.
Dalam proses pembangunan yang terjadi sering mengakibatkan aset pusaka
yang dimiliki mejadi rusak, tergusur, atau berubah fungsi (lihat, Haryono,
1995). Perusakan dan kerusakan itu terjadi baik pada skala mikro, meso,
maupun makro. Ruang pada skala mikro adalah ruang-ruang dalam rumah
tinggal atau bangunan. Ruang skala meso dapat berupa daerah permukiman,
seperti kampung, desa, atau kelurahan. Ruang makro adalah yang memiliki
luasan terbesar dan dapat terdiri dari beberapa ruang meso, seperti sebuah
kawasan kota lama dan kawasan budaya (Haryadi, 1995). Proses perubahan
yang tidak diinginkan dari sudut pandang kelestarian pusaka itu terjadi secara
menerus dalam beragam tingkatan ruang tersebut, baik sebelum maupun
sesudah Yogyakarta tergabung dalam Liga Kota-Kota Bersejarah Dunia.
Pada skala mikro, misalnya, perubahan yang menimbulkan kerusakan
pusaka budaya terjadi pada kasus Senisono di kompleks Istana Negara Republik
Indonesia di Yogyakarta. Pemugaran dan pengambilalihan gedung yang pada
masa pendudukan Belanda merupakan Societeit de Vereeniging oleh Sekretariat
Negara pada awal tahun 1990-an itu menyebabkan ada perubahan teknis yang
melanggar kaidah pelestarian pusaka budaya (Prihantoro, 1998; Wijoyono,
2009). Gedung publik yang setelah masa pendudukan Jepang berganti nama
menjadi Balai Mataram, dan sempat digunakan sebagai tempat pelaksanaan
Kongres Pemuda Indonesia pertama pada November 1945, ini diubah atas
pesanan pemerintah pusat, sehingga tak banyak yang bisa dilakukan untuk
melindunginya. Pada saat itu belum ada peraturan khusus untuk melindungi
benda cagar budaya, selain Monumenten Ordonnantie Nomor 19 Tahun 1931
(Staatsblad Tahun 1931 Nomor 138) tinggalan pemerintah Hindia Belanda.
Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala – SPSP Yogyakarta (saat ini Balai
Pelestaraian Peninggalan Purbakala – BP3 Daerah Istimewa Yogyakarta)
mengaku sudah memberikan masukan teknis terhadap renovasi yang
berlangsung, tetapi dimentahkan dalam penerapannya.
Salah satu kasus pelanggaran pelestarian lingkungan pusaka pada skala
meso terjadi pada tahun 2002 ketika Pemerintah Kota Yogyakarta melakukan
proyek tamanisasi di beberapa ruang publik kota yang tidak mengindahkan
prinsip fungsi ruang dan keaslian. Pemerintah Kota Yogyakarta membangun pot-
pot raksasa di beberapa ruas boulevard di kawasan Kotabaru dan di kawasan
nol kilometer Kota Yogyakarta. Aktivis pelestarian memandang praktik itu tak
sesuai dengan prinsip desain taman kota yang tepat guna dan filosofi Kota
Yogyakarta. Pemerintah kota dianggap tak terbuka dalam hal perencanaan dan
perancangan ruang publik kota yang mencakup ruang pusaka yang memiliki nilai
ilmiah dan kebudayaan yang harus mendapatkan perlakukan khusus. Proyek
tamanisasi di kawasan nol kilometer yang menyesaki ruang trotoar sebagai
ruang terbuka publik itu disinyalir sebagai langkah halus pemerintah kota
menyingkirkan para pedagang kaki lima yang memenuhi ruang pusat kota. Para
pedagang itu mencoba menggaet keuntungan dari ribuan pelancong setiap
harinya di ruang strategis di pusat kota, di ujung kawasan perbelanjaan
Malioboro, tanpa izin (lihat data jumlah wisatawan di Kota Yogyakarta dalam
Bapeda, 2007; antara tahun 2001 – 2006 rata-rata dikunjungi sebanyak
1.414.604 wisatawan per tahun. Sebagian besar berkunjung ke kawasan
Malioboro, lebur bersama ribuan warga kota lain).
Proses pembangunan dan perubahan ruang pada skala makro dapat dilihat
dari kacamata saujana; sejauh mata memandang alam dan budaya dalam
kesatuan ruang dan waktu. Ada beberapa kawasan perkotaan yang terpengaruh
kelestariannya akibat pertumbuhan yang tak terkendali. Terletak sangat dekat
dengan pusat kota Yogyakarta, kawasan Jeron Beteng yang merupakan
kawasan inti Kraton Yogyakarta adalah satu contoh kawasan pusaka yang
terancam kelestariannya. Ruang yang semula digunakan sebagai kawasan
permukiman para abdi dalem Kraton Yogyakarta ini sejak masa revolusi
kemerdekaan Republik Indonesia telah berubah menjadi permukiman yang
terpadat di kota Yogyakarta. Wilayah ini tergabung dalam satu lingkup
Kecamatan Kraton. Wilayah seluas 1,40 km persegi ini dihuni oleh 22.520 jiwa
(104,45 Ha dari 1,40 km persegi itu digunakan untuk permukiman). Kecamatan
Kraton yang meliputi tiga wilayah kelurahan itu (Panembahan, Kadipaten,
Patehan) itu pun memiliki tingkat kepadatan penduduk tinggi, yakni 16.086 jiwa /
km2 (data tahun 2008 dalam BPS Kota Yogyakarta, 2009). Kompleks Kraton
Yogyakarta yang terletak di dalam kawasan ini tidak cukup terusik karena tidak
digunakan sebagai permukiman untuk umum. Namun, sebagain besar ruang
lainnya dalam kawasan ini yang terbuka digunakan sebagai permukiman
mendapatkan akibat perubahan yang sangat besar. Salah satunya adalah
kompleks pesanggrahan kesultanan yang dibangun pada masa Hamengku
Buwono I, yakni Taman Sari. Perubahan besar di sini terjadi karena telah tidak
difungsikan sebagai taman sejak akhir abad XIX dan banyak yang rusak akibat
gempabumi di periode yang sama. Pascarevolusi kemerdekaan, Taman Sari
menjadi tempat permukiman yang sangat padat dengan beragam aktivitas di
dalamnya, seperti pembuatan batik dan pasar hewan yang berpotensi limbah
dan polusi. Kompleks ini pun sempat masuk dalam daftar situs pusaka dunia
terancam (Endangered Heritage Sites) yang dikeluarkan oleh World Monument
Fund pada tahun 2004 (http://www.wmf.org/project/tamansari-water-castle; lihat,
Wijoyono, 2005).
Kawasan pusaka di kota Yogyakarta yang terancama oleh kerusakan dan
perubahan adalah Kotagede. Bekas pusat kerajaan Mataram Islam ini sudah
tidak digunakan kembali sebagai ibukota kerajaan sejak tahun 1648. Sultan
Agung saat itu telah memindahkan ibukota Mataram Islam ke Plered, tak jauh
dari Kotagede (Adrisijanti, 2000). Namun, dinamika Kotagede tak lantas mati,
tetap hidup karena ada Pasar Legi Kotagede yang menjadi pusat perdagangan di
Jawa Tengah selatan hingga berdirinya Kota Yogyakarta di tahun 1756 dengan
Pasar Beringharjo sebagai pasar utama. Perkembangan Kotagede sebagai pusat
perdagangan batik, emas, berlian, perak, dan beragam kerajinan lain di akhir
abad XIX hingga masa revolusi menjadikan kawasan ini tetap ramai dan padat
penduduk (lihat, Nakamura, 1983). Apalagi, Kotagede menjadi pusat kegiatan
dakwah Islam dengan adanya organisasi Muhammadiyah. Dinamika kawasan
yang cukup pesat di Kotagede menyebabkan perubahan yang besar. Perubahan
ini terjadi antara lain oleh tindakan pengubahan fungsi tinggalan fisik oleh
penduduk, kegiatan pemugaran oleh pemerintah, dan bencana alam. Pada kurun
waktu 2002 – 2005, terjadi proyek pemugaran besar-besaran pada kompleks
Masjid Gede Mataram dan makam kerajaan. Sayangnya, pemugaran ini
dilakukan tanpa memperhatikan prosedur pemugaran arkeologis yang benar,
sehingga banyak kerusakan terjadi di situs ini (Wijoyono, 2007). Ketidaktepatan
penanganan dalam pemugaran yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi
D.I. Yogyakarta ini juga dilakukan di beberapa titik situs lain di kawasan
Kotagede, seperti tembok baluwarti Bokong Semar dan tembok cepuri Bobolan
Raden Rangga. Kerusakan paling parah terjadi akibat gempabumi pada tanggal
27 Mei 2006 yang mengakibatkan kehancuran dalam skala luas. World
Monument Fund pun memasukkan kawasan Kotagede sebagai situs terancam
pada tahun 2008 (http://www.wmf.org/project/kotagede-heritage-district).
Melihat fakta empiri yang terjadi saat ini strategi utama yang harus diterapkan
adalah memantapkan penetapan fungsi lindung pada kawasan-kawasan
peninggalan budaya yang ada di Kota Yogyakarta ini baik dalam skala mikro,
meso maupun makro. Dari fakta yang ada kegiatan yang tidak melestarikan dan
memelihara peninggalan kawasan budaya yang ada tidak hanya dilakukan oleh
masyarakat dan pihak swasta, tetapi pemerintah kota juga terlibat di dalamnya.
Oleh karena itu dengan strategi pemantapan penetapan fungsi kawasan lindung
melalui pemeliharaan dan pelestarian serta pemberian sanksi tegas kepada
semua pihak yang melakukan upaya merusak diharapkan dapat menjaga peran
kota Jogja dalam mempertahankan nilai-nilai kultur dan historis yang ada.

2. Mengoptimalkan zonasi sebagai upaya pelestarian cagar budaya


Salah satu bentuk pelindungan kawasan budaya/cagar budaya adalah zonasi
atau pemintakatan. Dalam konteks penerapannya di Indonesia, pemintakatan
atau zonasi telah diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang
Cagar Budaya dan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1993tentang
pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang masih
tetap berlaku. Dalam ketentuan umum UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya disebutkan “Pelindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi
dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara Penyelamatan,
Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan Pemugaran Cagar Budaya”.
Sementara itu, zonasi dipahami sebagai penentuan batas-batas keruangan
SitusCagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan.
Dengan demikian, dalam pelaksanaan pelestarian zonasi merupakan tahapan
penting yang perlu dilakukan sebagai bentuk pelindungan terhadap cagar
budaya.
Zoning adalah suatu upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi dan
sekaligus mengatur peruntukan lahan, agar tidak terganggu oleh kepentingan
lain yang terjadi disekitarnya, yang oleh Callcott (1989) disebutkan bahwa zonasi
merupakan suatu cara atau teknik yang kuat dan fleksibel untuk mengontrol
pemanfaatan lahan pada masa datang (Callcott,1989:38). Pernyataan yang
dikemukaan oleh Callcott tersebut lebih di tekankan pada pengaturandan
pengontrolan pemanfaatan lahan untuk berbagai jenis kepentingan yang diatur
secara bersama. Sementara dalam zonasi cagar budaya tujuan utamanya
adalah menentukan wilayah situs serta mengatur atau mengendalikan setiap
kegiatan yang dapat dilakukan dalam setiap zona. Dengan demikian maka
zonasi cagar budaya yang dimaksud dalam hal ini, memiliki cakupan yang lebih
sempit dibanding dengan pengertian yang dikemukakan oleh Callcott, namun
memperlihatkan persaman antara satu dengan yang lainya, yaitu masing-masing
mengacu pada kepentingan pengendalian dan pemanfaatan lahan agar dapat
dipertahankan kelestarianya.
Pada prinsipnya, penetapan wilayah-wilayah zonasi ditetapkan dengan
mengacu pada nilai arkeologis dan keaslian lingkungan masa lalu yang
merupakan satu kesatuan pada masanya. Hal ini dibutuhkkan untuk
mempertahankan keaslian situs, baik yang berhubungan dengan keaslian bahan,
bentuk, tataletak dan teknik pengerjaannya (Anonim, 1992: 81). Bentuk dan jenis
zoning serta luas areal yang dibutuhkan, didasarkan pada berbagai
pertimbangan meliputi: (i) aspek sebaran temuan dan konteksnya; (ii) aspek
lingkungan sebagai pendukung keberadaan situs, baik lingkungan yangmemiliki
konteks masa lalu, maupun dukungan keserasian dan keselarasan antara
situsdan lingkungannya pada saat ini; (iii) aspek keamanan dan perlindungan
situs; dan (iv) aspek pemanfaatan situs.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa batas zona inti mengikuti batas situs
yang dasarkan pada temuan arkeologisnya, atau jika tidak dapat ditemukan
batas-batas sebarannya, dapat ditetapkansecara arbitrer berdasarkan kondisi
geografis dan artifisial dengan tetap mengacu pada aspek perlindungan dan
pemanfaatan (Said, 2000:133). Berikutnya pada penentuan batas zona
penyangga ditetapkan berdasakan sumber ancaman, luas dihitung berdasakan
jenis dan besar ancaman yang dihadapi dan disesuaikan dengan kondisi
keruangan yang memungkinkan. Sedangkan zona pengembangan ditetapkan
berdasarkan pertimbangan kemungkinan bentuk pengelolaan yang akan
dikembangkan atau berdasarkan pada perencanaan pengelolaan yangtelah ada
sekaligus mengatur standar pengelolaan ruang yang tidak mengganggu situs.
Penentuan batas-batas tersebut sangat bergantung pada kondisi-kondisi
tersebut di atas dan jenis sebaran cagar budaya yang nilainya tidak diragukan
lagi. Umumnya ancaman yang dihadapi adalah aktivitas manusia dan alam yang
sifatnya sangat kontekstual tergantung dimana cagar budaya tersebut berada.
Misalnya untuk cagar budaya yang berada dalam kawasan kota, seperti Keraton,
kampung-kampung tua maupun bangunan-bangunan kolonial di Kota Jogja,
ancaman terbesarnya adalah aktifitas pembangunan kota yang tidak
mengindahkan peraturan pelestarian cagar budaya. Oleh karena itu, penentuan
strategi zoning harus bersifat aplikatif dan diupayakan dapat mengakomodir
berbagai kepentingan.
Dalam Rencana Detail Tata Ruang Kota Jogjakarta telah ditetapkan bahwa
salah satu sub zona lindung yaitu zona suaka alam dan cagar budaya. Adapun
subzona cagar budaya yang dimaksud terdiri dari :
a. Cagar budaya bersejarah Kota Gede ditetapkan seluas lebih kurang 8
hektar di subBWP Purbayanuntuk kegiatanBangunan Cagar Budaya
untuk pemakaman;
b. Cagar budaya bersejarah Benteng Vanderburg ditetapkan seluas lebih
kurang 7,5 hektar di sub BWP Ngupasanuntuk kegiatanBangunan Cagar
Budaya dalam bentuk Benteng
c. Cagar budaya bersejarah Kompleks Gedung Agungditetapkan seluas
lebih kurang6 hektar di sub BWP Ngupasan untuk kegiatanBangunan
Cagar Budaya dengan fungsi sebagai Istana Kepresidenan Yogyakarta;
d. Cagar budaya bersejarah Masjid Agung Kauman ditetapkan seluas lebih
kurang 1,5 hektar di sub BWP Ngupasan.(dapat disebutkan lokasi
kelurahannya) untuk kegiatanBangunan Cagar Budaya sebagaitempat
peribadatan;
e. Cagar budaya bersejarah Kompleks Keraton Yogyakarta ditetapkan
seluas lebih kurang 28,5 hektar di sub BWP sebagian KelurahanKraton,
sebagian KelurahanPatehan dan sebagian KelurahanPanembahanuntuk
kegiatanBangunan Cagar Budaya sebagai Pusat Pemerintahan
Kasultanan Yogyakarta; dan
f. Cagar budaya bersejarahKompleks PuroPakualaman ditetapkan seluas
lebih kurang 4,5 hektar di sub BWP Purwokinanti untuk
kegiatanBangunan Cagar Budaya.

3. Pengembangan kawasan cagar budaya sebagai Heritage Tourism


Dalam pengembangannya kawasan cagar budaya sebagai Heritage Tourism
dapat mengadopsi zona pengembangan model Smith (1980) menjadi 3 zona
pengembangan kawasan yaitu:
a. Kawasan utama kegiatan wisata. Kawasan ini merupakan daya
tarik utama yaitu poros imajiner dalam hal ini Tugu Pal Putih –
Kraton Yogyakarta – Panggung Krapyak
b. Kawasan pendukung langsung kegiatan wisata. Kawasan ini
merupakan kawasan yang secara langsung mendukung
kegiatan wisata cagar budaya yang merupakan pusat dari
fasilitas pelayanan kegiatan pariwisata yang dibutuhkan oleh
masyarakat dan juga wisatawan seperti perdagangan jasa,
sarana akomodasi dan sarana pendukung wisata serta
berbagai sarana penunjang lainnya. Kawasan ini berada di
sekitar zona inti.
c. Kawasan pendukung tidak langsung kegiatan wisata. Kawasan ini
merupakan daerah yang masih terkena pengaruh atau
dampak dari adanya kegiatan wisata cagar Kompleks keraton,
baik yang berupa kegiatan perdagangan dan aktivitas
masyarakat maupun berupa daya tarik wisata lain yang
dijadikan sebgai pendukung selain berkunjung ke
kawasan cagar budaya.
3. KESIMPULAN

Peran suatu kota dapat dilihat dari fungsi yang diemban kota tersebut dan
digambarkan oleh karakteristik perkembangan yang ada. Dari karakteristik
perkembangan yang dominan dapat dilihat bahwa Kota Yogyakarat memiliki
fungsi dan peran ganda yaitu sebagai kota budaya dan juga kota pendidikan.
Ada beberapa fungsi lainnya seperti wisata dan jasa yang berkembang seiring
dengan pertumbuhan kota, namun fungsi-fungsi tambahan ini lahir dari
perkembangan dua fungsi utama tersebut. Dari beberapa fungsi yang diemban,
fungsi dan peran kota Jogja sebagai Kota Budaya dianggap sebagai fungsi
utama dari Kota Jogja karena melahirkan fungsi-fungsi lainnya serta merupakan
poin utama yang memberikan keistimewaan dari keberadaan Yogyakarta itu
sendiri.
Menurut Gist, N.P & Halbert, L.A (Hadi sabari 2005) mengemukakan
beberapa jenis kelas kota atas dasar fungsinya salah satunya adalah Kota
berfungsi sebagai pusat kebudayaan. Dari penjelasan ini kota yang berfungsi
sebagai pusat kebudayaan, potensi kulturalnya kelihatan menonjol dibanding
dengan fungsi lain yang ada. Dalam masa - masa silam, peranan masjid - masjid
di dunia Islam, gereja - gereja di dunia kristiani serta pusat - pusat kerajaan
memegang perananan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara. Hal ini
yang menggambarkan potensi kultural dari suatu Kota. Kota yang
mempertahakan dan menonjolkan potensi kultural ini dapat digolongkan sebagai
Kota Budaya. Peran utama dari Kota budaya adalah mempertahankan nilai
kultural yang dimiliki dalam pembangunan yang ada, sehingga arah
pengembangan kota tetap terarah berdasarkan nilai-nilai budaya dan historis
yang dimiliki dan Yogyakarta tergolong didalamnya. Mempelajari kota
Yogyakarta berarti juga harus mempelajari budayanya, sebab Jogja merupakan
salah satu kota yang masih memiliki ciri khas selama bertahun-tahun, dan hal itu
biasa sulit ditemukan di tempat lain.
Struktur dan pola ruang Kota Yogyakarta yang terbentuk oleh komponen-
komponen ruang yang merupakan simbolisasi konsep-konsep budaya tersebut,
mengarah pada tipe tertentu dari citra kota, yaitu citra monumental dan
pertahanan. Dari pemaknaan struktur ruang, pola ruang maupun wujud tata
ruang secara keseluruhan dapat dilihat nilai-nilai kultural dan historis dimiliki oleh
Yogyakarta. Nilai kultur dan historis ini menggambarkan peran yang dimiliki Kota
Yogyakarta sebagai intepratsi dari fungsi Kota Budaya yang diembannya. Peran
utama dalam mempertahankan nilai-nilai ini tidak mudah untuk dilakukan, karena
seiring perkembangan zaman saat ini banyak nilai-nilai keistimewaan yang mulai
terkikis, oleh karena itu dibutuhkan strategi yang tepat dalam menjaga
kelestarian yang ada. Strategi pembangunan yang dapat diterapkan adalah :
1. Memantapkan fungsi lindung melalui pemeliharaan dan pelestarian
terhadap kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan serta
pencegahan dampak negatif kegiatan manusia terhadapnya dengan
pemberian sanksi yang tegas.
2. Mengoptimalkan zonasi sebagai upaya pelestarian cagar budaya
3. Pengembangan kawasan cagar budaya sebagai Heritage Tourism
Daftar Pustaka

Damayanti, R dan Handinoto (2005) Kawasan “Pusat Kota” Dalam


Perkembangan Sejarah Perkotaan di Jawa, Dimensi Teknik Arsitektur
3(1).

Darmosugito (1956) Sejarah kota Yogyakarta, ” Kota Yogyakarta, 200 Tahun”,


Panitia Peringatan Kota Yogyakarta 200 Tahun.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1977) Sejarah Daerah Istimewa


Yogyakarta. Jakarta: Depdikbud.

K.P.H. Brotodiningrat (1978) Arti Kraton Yogyakarta. Yogyakarta, Museum Kraton


Yogyakarta.

Suryanto (2015) Keistimewaan Tata Ruang Kota Yogyakarta, Naskah Disertasi


JUTAP FT UGM, Yogyakarta.

Surjomihardjo, A (2008) Kota Yogyakarta Tempo Doeloe, Sejarah Sosial 1880 –


1930, Jakarta: Komunitas Bambu

Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Yogyakarta

Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2013 Tentang Rencana


Detail Tata Ruang Kota Yogyakarta Tahun 2013-2033

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=177506&val=4186&title=Ara
han%20Pengembangan%20Kawasan%20Cagar%20Budaya%20Singosari
%20Malang%20Sebagai%20Heritage%20Tourism

https://www.academia.edu/2923484/Mengoptimalkan_Zonasi_Sebagai_Upaya_P
elestarian_Cagar_Budaya

http://perencanaankota.blogspot.co.id/2014/11/pengertian-kota-fungsi-kota-
dan.html

https://elantowow.wordpress.com/2011/05/13/dinamika-pembangunan-kawasan-
di-yogyakarta-peluang-atau-ancaman/

https://ugm.ac.id/id/berita/10349keistimewaan.tata.ruang.kota.yogyakarta.makin.
ditinggalkan

https://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Istimewa_Yogyakarta

Вам также может понравиться