Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
BAB I
PENDAHULUAN
Rasa sakit adalah suatu sensasi tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh
adanya jejas yang merusak, dimana sensasi ini diteruskan oleh persarafan khusus
menuju ke sistim saraf pusat untuk diinterpretasikan sebagai rasa sakit.
Rasa sakit dalam beberapa hal dapat dipandang sebagai suatu elemen yang
amat dibutuhkan, karena dapat berfungsi sebagai peringatan akan adanya bahaya.
Rasa sakit ini timbul apabila terjadi perubahan lingkungan yang menyebabkan jejas
pada jaringan sehingga karenanya dapat disebut sebagai suatu mekanisme
perlindungan tubuh.
Di dalam praktek kedokteran gigi rasa sakit ini tidak dapat dipandang sebagai
sesuatu yang menguntungkan, melainkan justru merupakan suatu masalah yang harus
ditangani.
5. Metode psikosomatik
2. Gangguan fisiologis yang kecil, karena itu cocok untuk penderita dengan
resiko tinggi
3. Angka morbiditas rendah
Pada saat sel saraf menerima suatu rangsangan maka terjadi perubahan
permiabilitas membran sel saraf terhadap ion sodium sehingga terjadilah
peningkatan difusi ion-ion sodium kedalam sel yang diikuti dengan difusi ion
potasium ke luar sel. Keaaan ini disebut juga dengan depolarisasi. Apabila
rangsang yang ada mencapai/melebihi nilai ambang saraf maka deporalisasi yang
terjadi menjadi self-generating sehingga depolarisasi tersebut diteruskan dari satu
node ke node berikutnya disepanjang serat saraf yang bersangkutan. Dengan
demikian terjadilah penghantaran impuls sampai ke susunan saraf pusat.
Cairan anestesi lokal dapat memblokir sensasi rasa sakit dengan jalan
menghambat penghantaran impuls pada serat saraf perifer. Hal ini dapat
berlangsung karena cairan anestesi lokal menyebabkan penurunan permiabilitas
sel saraf terhadap ion sodium. Pada saat serat saraf menerima suatu rangsangan
maka tidak terjadi influks ion sodium ke dalam sel saraf sehingga dengan
demikian baik depolarisasi maupun konduksi (penghantaran) impuls ke susunan
saraf pusat tidak terjadi.
Macam-macam Obat Anestesi Lokal
Obat anestesi lokal yang ada dapat dibedakan menjadi dua golongan besar
yakni yang berasal dari golongan Ester dan golongan Anilida/Amida. Adapun
penggolongan obat-obat anestesi lokal adalah sebagai berikut :
A. Golongan Ester
B. Golongan Amida
Pada saat ini obat anestesi lokal golongan ester sudah sangat jarang
dipakai semenjak ditemukannya obat-obatan sejenis dari golongan amida, yang
dipandang memiliki beberapa kelebihan dibanding golongan ester, antara lain :
lebih poten, tidak menimbulkan masalah toksisitas yang besar, dan tidak
menyebabkan reaksi alergi. Pada saat ini obat anestesi golongan ester yang masih
diproduksi adalah kombinasi procaine dan propoxycaine.
Obat-obat anestesi lokal golongan amida yang sering dipakai saat ini
adalah : lidocaine, mepivacaine, prilocaine, dan bupivacaine. Lidocaine dengan
konsentrasi 2% merupakan obat anestesi lokal yang paling banyak dipakai di
bidang kedokteran gigi. Mengingat efek vasolidasi dari obat ini maka untuk
meningkatkan efektivitasnya biasanya lidocaine digabungkan dengan
vasokonstriktor (adrenalin 1 : 100.000). Mepivacaine, mempunyai efek vasolidasi
yang lebih kecil dibandingkan dengan lidocaine, sehingga dapat digunakan tanpa
vasokonstriktor. Oleh karena itu obat ini cocok untuk penderita yang
kontraindikasi terhadap adrenalin. Dosis umum yang dipakai adalah larutan
mepivaine 2% dengan vasokonstriktor levonordefrin 1 : 20.000. Untuk prosedur
yang singkat dapat dipakai mepivacaine tanpa vasokonstriktor dengan dosis
larutan 3%. Prilocaine merupakan jenis obat anestesi lokal yang terbaru. Obat ini
mempunyai potensi yang hampir sama dengan lidocaine, namun toksisitasnya
lebih rendah dan mempunyai lama kerja yang lebih panjang dibandingkan dengan
lidocaine. Prilocaine 4% bisa digunakan dengan vasokontriktor yang lebih ringan
daripada adrenalin (biasanya dicampur dengan felypressin 0,03 IU/ml), dengan
adrenalin konsentrasi rendah (1:200.000) atau tanpa vasokonstriktor sama sekali,
sehingga obat anestesi ini cocok untuk penderita yang kontraindikasi terhadap
adrenalin.
Suatu obat anestesi lokal secara ideal harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
ideal tersebut di atas, khususnya dalam hal lama kerja obat. Demikian pula halnya
dengan toksisitas sistemik, karena toksisitas suatu obat anestesi berbanding lurus
dengan potensinya. Semakin poten suatu obat akan semakin tinggi pula
toksisitasnya.
Pemakaian obat anestesi lokal tidak boleh melebihi dosis yang dapat
ditolerir oleh tubuh. Toksisitas obat dapat terjadi pada pemakaian larutan anestesi
lokal yang melebihi dosis maksimal. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
toksisitas obat anestesi lokal yaitu :
1. Jenis obat anestesi lokal; baik sifat toksik inheren obat anestesi lokal maupun
efek vasodilatasinya.
2. Konsentrasi obat anestesi lokal. Semakin tinggi konsentrasinya semakin
banyak jumlah obat yang masuk ke dalam sirkulasi darah.
3. Injeksi intravaskuler.
sukar untuk menentukan dengan pasti besarnya dosis toksik obat anestesi lokal.
Namun demikian perlu adanya suatu pedoman yang dapat dipakai, yakni dosis
toksik obat akan tergantung sekali pada apakah digunakan dengan vasokontriktor
atau tidak.
Hypodermic Syringe
xxx
Gambar 1. Gambar skematis suatu hypodermic syringe yang terdiri dari bagian-
bagian : barrel, needle, plunger, dan handle.
Syringe B.D. Luer-Lok sudah jarang dipakai. Syringe jenis ini sering
digunakan pada injeksi jaringan yang dalam dan dapat dipakai untuk aspirasi.
Syringe Luer-Lok dan tipe yang disposale diisi dengan cairan anestesi yang
diambil dari ampoule (suatu vial berleher panjang yang berisi larutan anestesi),
sedangkan syringe logam menggunakan sarana cartridge.
Syringe dari logam dahulu hanya dipakai untuk teknik infiltrasi lokal,
karena syringe jenis ini tidak dapat digunakan untuk aspirasi. Untuk
meningkatkan kemampuannya agar dapat digunakan pada teknik blok para
produsen menambahkan sejenis kait pada ujung batang plunger yang erhubungan
dengan stopper cartrige, sehingga syringe ini dapat digunakan aspirasi. Dengan
adanya tipe yang mempunyai kemampuan aspirasi ini maka jenis yang non-
aspirating tidak dianjurkan untuk dipakai lagi.
Jet injector adalah suatu jenis syringe yang tidak menggunakan jarum
sama sekali. Dengan membebaskan pegas yang telah diaktivasi sebelumnya
sejumlah 0,05-0,2 ml larutan anestesi akan ditekan ke luar melalui suatu celah
kecil masuk ke dalam jaringan. Penggunaannya terbatas hanya pada gigi-gigi
anterior dan mukosa mulut. Cocok untuk pasien yang menolak pemakaian jarum
injeksi.
xxx
Gambar 2. Beberapa macam bentuk metal syringe (diambil dari Jastak J.T. &
Yagiela, J.A., 1981)
xxxxx
Gambar 3. Jet injector, suatu syringe tanpa jarum (diambil dari Jastak J.T. &
Yagiela, J.A., 1981)
Jarum Injeksi (Needle)
3. Sterilitas terjamin
Pada saat ini pemakaian jarum disposale (satu kali pakai) sudah
merupakan suatu standar umum. Pemakaian jarum lebih dari satu penderita
(reusable) sebaiknya dihindarikan oleh karena :
1. Jarum mudah mengalami deviasi sehingga tempat injeksi bisa melenceng dari
sasaran yang dituju.
2. Jarum lebih mudah menembus pembuluh darah kecil
3. Aspirasi relatif lebih sukar dilakukan karena lumen jarum yang kecil
Cartridge
Cartridge adalah suatu tabung kaca steril yang berisi larutan anestesi lokal.
Tabung ini digunakan dengan syringe metal. Pada saat syringe dipasang,
diafragma pada salah satu ujung cartridge ditembus oleh salah satu ujung jarum
suntik. Sementara stopper karet yang terletak pada ujung yang lain dari cartridge
ditekan dengan handel melalui batang pengisap (plunger) untuk mengeluarkan
cairan anestesi lokal dari dalam cartridge.
Cartridge anestesi lokal biasanya tersedia dalam erbagai uuran yakni : 1,8
ml, 2,0 ml, dan 2,2 ml. Keterangan tentang isi larutan anestesi lokal yang ada di
dalam cartrige ditunjukkan dengan label yang tertulis pada tabung kaca cartridge.
Perlu diingat bahwa label ini harus diperiksa dengan teliti terlebih dahulu sebelum
pemakaiannya untuk memastikan bahwa anda telah memilih obat anestesi yang
benar.
xxx
1. Merek dagang
2. Volume larutan
Contoh :
PEHACAIN® 2 ML
Lidocaine HCl 2%
Persiapan Penderita
Pada umumnya penderita akan merasa takut atau ngeri untuk diinjeksi,
apalagi pada injeksi intra oral. Namun ada beberapa cara untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya keadaan yang tidak diinginkan akibat dari rasa takut yang
berlebihan itu. Beberapa cara di bawah ini dapat dilakukan.
4. Pada keadaan tertentu dapat diberikan obat sedatif, mis : inhalasi nitrous
oxide dan oksigen, diazepam.
Persiapan Jaringan
1. Pemberian anestesi topikal untuk mengurangi rasa sakit pada saat penetrasi
jarum.
2. Mengoleskan cairan antiseptik pada daerah tempat insersi jarum
3. Membersihkan permukaan jaringan dari saliva, sisa makanan, atau sisa cairan
anestesi topikal.
Teknik Injeksi
Nerve Block
Larutan anestesi lokal disuntikkan pada atau disekitar batang saraf utama,
sehingga mampu menganestesi daerah yang luas yang mendapat inervasi dari
percabangan saraf utama tersebut. Teknik ini sering digunakan di rongga mulut
khususnya di rahang bawah. Kerugian dari teknik ini adalah bahwa biasanya
pembuluh darah letaknya berdekatan dengan batang saraf, maka kemungkinan
terjadi penetrasi pembuluh darah cukup besar. Contoh : inferior alveolar nerve
block.
Field Block
Lokal infiltrasi
Topikal anesthesia
Submucosal injection
Paraperiosteal injection
Jarum diinsersikan sampai mendekati atau menyentuh periosteum, dan
setelah diinjeksikan larutan anestesi mengadakan difusi menembus periosteum
dan porositas tulang alveolar.
Intraosseous injection
Gambar 5. Klasifikasi teknik anestesi lokal yang digunakan pada anestesi intra
oral. Garis terputus-putus mewakili daerah anestesi yang dihasilkan
pada teknik regional (nerve block and field block) sedangkan garis
kontinyu menunjukkan darah anestesia yang dihasilkan pada teknik
infiltrasi lokal dan anestesia topikal. (diambil dari Jastak, J.T., &
Yagiela J.A., 1981).
Interseptal injection
Intraperiodontal injection
Pappilary Injection
Teknik ini sebenarnya termasuk teknik submukosa yang dilakukan pada
papila interdental yang melekat dengan periosteum. Teknik ini diindikasikan
terutama pada gingivectomy, yang memerlukan baik efek anestesi maupun efek
hemostatis dari obat anestesi.
1. Saraf yang teranestesi : cabang terminal atau ujung-ujung saraf (free nerve
endings).
2. Area yang teranestesi : hanya pada tempat dimana larutan anestesi lokal
diinfiltrasikan.
3. Pedoman anatomis : tidak ada pedoman khusus karena larutan anestesi
diinfiltrasikan di daerah yang diinginkan.
4. Indikasi : teknik ini diindikasikan bila yang akan dianestesi hanya sebatas
mukosa dan jaringan ikat di bawahnya, misalnya pada insisi mukosa.
5. Teknik : jarum diinsersikan di bawah mikosa ke dalam jaringan ikat yang
akan dianestesi kemudian larutan anestesi dideponir dengan perlahan-lahan.
6. Simptom : tidak ada simptom subyektif.
2. Area yang teranestesi : gigi rahang atas yang bersangkutan beserta dengan
ligamen periodontal, tulang alveolar dan periosteum, dan mukosa gingiva
bagian labial/bukal.
3. Pedoman anatomis : tergantung dari area yang ingin dianestesi. Pedoman
yang umum dipakai adalah letak gigi dan akarnya serta periosteum dari
tulang alveolar yang bersangkutan.
4. Indikasi : teknik ini diindikasikan untuk anestesi satu gigi rahang atas atau
untuk suatu area terbatas di maksila.
5. Teknik
Prosedur anestesi di rahang atas meliputi teknik blok satu atau beberapa
cabang saraf perifer dari Nervus Maksilaris yang merupakan divisi kedua dari
Nervus Trigeminus (saraf kranial ke-5). Teknik yang sering dipakai untuk
anestesi gigi-gigi rahang atas beserta jaringan penyangganya adalah injeksi
paraperiosteal, dimana larutan anestesi dideponir di sekitar periosteum tulang
alveolaris. Oleh karena tulang maksila ralatif porous dan mempunyai lapisan
korteks yang tipis maka cairan anestesi dapat berdifusi ke dalam tulang dan
menganestesi saraf-saraf terminal yang menginervasi gigi-gigi rahang atas dan
jaringan penyangganya. Injeksi paraperiosteal dapat digolongkan sebagai field
block karena beberapa struktur anatomis seperti : papilla interdental dan pulpa
gigi ikut teranestesi meskipun tidak terkena cairan anestesi secara langsung.
xxx
Gambar 6. Inervasi gigi-gigi rahang atas oleh nervus alveolaris superior (diambil
dari Jastak, J.T., & Yagiela, J.A., 1981)
xxx
2. Area yang teranestesi : gigi insisif sentral, lateral, dan kaninus beserta
ligamen periodontal, tulang alveolar dan mukosa gingiva labial.
3. Pedoman anatomis : mucolaial fold dan apeks gigi-gigi anterior rahang atas.
5. Teknik
Insersi jarum dilakukan paa mucolabial fol sedikit lebih ke mesial dari gigi
kaninus. Jarum diinsersikan sedalam beberapa milimeter sampai ujungnya
menyentuh permukaan tulang alveolar yang menutupi apeks akar gigi dan
deponir sebanyak 1,5 ml larutan anestesi.
2. Area yang teranestesi : gigi premolar pertama dan kedua, dan akar mesio
bukal dari molar pertama beserta periodontal ligamen, tulang alveolar dan
periosteum bagian bukal, dan mukosa gingiva bukal dari gigi-gigi yang
bersangkutan.
3. Pedoman anatomis : mucobuccal fold dan apeks gigi premolar kedua rahang
atas.
4. Indikasi : pencabutan gigi-gigi premolar rahang atas
5. Teknik.
Insersi jarum pada mucobuccal fold pada gigi premolar kedua rahang atas dan
diarahkan pada apeks gigi tersebut, setelah jarum menyentuh tulang deponir
larutan anestesi sebanyak 1,5 ml.
2. Area yang teranestesi : gigi-gigi molar rahang atas kecuali akar mesiobukal
molar pertama, perocessus alveolaris dan periosteumnya, dan mukosa gingiva
pada regio tersebut.
3. Pedoman anatomis : mucobuccal fold, processus zygomaticus, gigi molar
kedua dan ketiga rahang atas.
4. Indikasi : prosedur pembedahan yang melibatkan gigi-gigi molar rahang atas.
5. Teknik
Hematoma dalam hal ini lebih sering disebabkan karena laserasi dari arteri
alveolaris superior posterior, mengingat bahwa arteri ini letaknya sangat
berdekatan dengan saraf dan tidak selalu dapat dihindarkan dengan teknik
anestesi yang benar sekalipun. Karena itu teknik tidak dianjurkan selama
injeksi paraperiosteal masih dapat dilakukan.
Untuk melaksanakan teknik ini kita perlu mengetahui letak dari foramen
infraorbitalis dari mana keluar n. infraorbitalis yang akan dianestesi.
Foramen infraorbitalis terletak pada garis khayal yang melewati pupil mata,
infraorbital notch, dan permukaan bukal gigi premolar kedua rahang atas.
Dalam arah vertikal letak foramen infraorbitalis ini dapat ditentukan dengan
melakukan palpasi dengan jari telunjuk pada infraorbital depression yaitu
suatu cekungan yang letaknya sekitar 5 – 10 mm di bawah infraorbital notch.
Sementara jari telunjuk tetap pada tempatnya, bibir atas ditarik dengan ibu
jari. Insersi dilakukan pada vestibulum sekitar 5 mm lateral dari premolar
kedua dimana arah jarum sejajar dengan garis yang menghubungkan aspek
medial pupil dan foramen infraorbitalis. l Jarum dimasukkan perlahan-lahan
melewati fossa canina sampai ujung jarum menyentuh foramen (kedalaman
rata-rata insersi jarum sekitar 1,5 cm). Deponir cairan anestesi sekitar 1,0 ml
secara perlahan, sementara jari telunjuk tetap menekan pada infraorital
depression untuk membantu aliran larutan anestesi ke dalam kanalis
infraorbitalis.
6. Simptom : rasa kebas pada mukosa bibir atas, pelupuk mata bagian bawah,
pipi, dan sebagian hidung.
xxx
Gambar 8. Hubungan linier antara pupil mata, sutura sygomaticomaxilaris,
foramen infraorbitalis, dan gigi premolar kedua (diambil dari Jastak
J.T., & Yogiela, J.A., 1981)
xxx
Gambar 9. Teknik anestesia lokal pada papila incisiva dan faramen palatinus
anterior (diambil dari Longmore, R.B. & McRae, D.A., 1985).
Jarum diinsersikan pada batas lateral pipilla insisivus sedalam kurang lebih
0,5 cm sampai jarum menyentuh tulang, kemudian diponasikan cairan
anestesi sekitar 0,25 ml secara perlahan.
1. Saraf yang teranestesi : nervus palatinus anterior yang keluar dari foramen
palatinus majus.
2. Area yang teranestesi : mukoperiosteum dan mukosa palatal duapertiga
bagian posterior palatum durum mulai pertengahan kaninus atas sampai ke
batas posterior palatum durum.
3. Pedoman anatomis : molar kedua dan ketiga rahang atas, gingiva marginalis
bagian palatal dari molar kedua dan ketiga, garis median pelatum.
4. Indikasi ; untuk tindakan operatif yang melibatkan mukosa palatal gigi-gigi
posterior rahang atas (mis : pencabutan gigi premolar atau molar rahang atas).
5. Teknik
6. Simptom : rasa kebas pada palatum bagian posterior bila terkena lidah.
xx
Gambar 10. Inervasi sensoris pada mandibula dan tempat-tempat utama dari nerve
block di rahang bawah (daerah yang diarsir) (diambil dari Yastak,
J.T., & Yagiela, J.A., 1981)
Anestesi lokal di rahang bawah dapat dilakukan dengan teknik-teknik
sebagai berikut :
2. Area yang teranestesi : mukosa dan mucopriosteum pada area yang dianestesi
3. Pedoman anatomis : tak ada pedoman khusus karena cairan anestesi langsung
disuntikkan pada mukosa dan mucoperiosteum pada tempat yang diinginkan.
4. Indikasi : untuk anestesi pada daerah terbatas dari mukosa (pada operasi
jaringan lunak).
5. Teknik : digunakan teknis injeksi submukosa
2. Area yang teranestesi : semua area yang diinervasi oleh cabang-cabang saraf
terminal yang teranestesi.
3. Pedoman anatomis : gigi-gigi yang bersangkutan, daerah apikal gigi-gigi
tersebut, dan periosteum tulang alveolar.
4. Indikasi : terbatas pada enam gigi anterior rahang bawah.
4. Indikasi :
5. Teknik
Indirect Technique
Direct Technique
a. Sebagai persiapan ramus dipegang dengan ujung jari telunjuk berada pada
batas posterior ramus, sedangkan ibu jari berada pada pterygomandibular
space.
b. Ibu jari kemudian menarik pipi penderita ke lateral sampai ujung ibu jari
menyentuh coronoid notch.
c. Syringe diarahkan paralael dengan bidang oklusal atau setinggi garis
khayal yang melewati pertengahan ujung ibu jari, kemudian dari arah
kontralateral regio premolar jarum diinsersikan pada suatu tempat diantara
pterygomandibular raphe dan tendon profundus musculus temporalis
(lihat lampiran).
d. Insersi jarum diteruskan dengan perlahan melalui pterygomandibular space
sampai ujung jarum menyentuh ramus pada kedalaman 1,5 sampai 2,0 cm.
e. Jarum ditarik sedikit dan dilakukan injeksi larutan anestesi sebanyak 1,0
sampai 1,5 ml dengan perlahan.
6. Simptom : perasaan kebas pada bibir bawah, kulit dagu, dan separoh ujung
lidah bila n. lingualis ikut teranestesi.
2. Area yang teranestesi : dua pertiga bagian anterior dari lidah dan mukosa
dasar mulut, mukosa dan mukoperiosteum sisi lingual sampai linea mediana.
3. Pedoman anatomis : sama dengan apa yang digunakan pada teknik inferior
alveolar nerve block.
4. Indikasi untuk prosedur operasi yang melibatkan dua pertiga anterior lidah,
mukosa dasar mulut dan mukosa mandibula sisi lingual.
5. Teknik : sama dengan teknik pada inferior alveolar nerve block.
Insersikan jarum pada mukosa bukal sebelah lateral dan distal dari molar
ketiga rahang bawah setinggi bidang oklusal.
2. Area yang teranastesi : bibir bawah dan mukosa labial fold di sebelah anterior
dari foramen mentalis.
3. Pedoman anatomis : premolar rahang bawah, karena foramen mentalis
biasanya terletak pada apeks dan sebelah anterior dari gigi tersebut.
4. Indikasi : untuk operasi pada bibir bawah, atau membran mukosa labial fold
sebelah anterior dari foramen mentalis.
5. Teknik.
Pipi penderita ditarik ke sisi bukal kemudian jarum diinsersikan pada mukosa
labial fold di sekitar apeks gigi premolar kedua. Deponir obat anestesi
sebanyak 0,5 sampai 1 ml.
6. Simptom : rasa kebas pada bibir bawah pada sisi yang dianestesi.
G. Incisive nerve block
3. Pedoman anatomis : sama dengan yang digunakan pada teknik mental nerve
block
Teknik ini sama dengan teknik pada mental nerve block, perbedaannya
adalah bahwa pada teknik ini ujung jarum harus diinjeksikan tepat ke dalam
foramen mentalis untuk menganestesi langsung pada nervus incisivus. Dalam
hal ini dengan sendirinya nervus mentalis akan teranestesi pula.
2. Area yang teranestesi : semua area yang diinervasi oleh ketiga saraf tersebut
di atas.
3. Pedoman anatomis : intertragic notch, sudut mulut, batas anterior ramus
mandibula, tendon profundus musculus temporalis.
4. Indikasi : apabila teknik blok pada n. alveolaris inferior tidak berhasil.
5. Teknik.
6. Simptom : sama dengan simptom yang terjadi pada inferior alveolar nerve
block, lingual nerve block dan buccal nerve block sekaligus.
Variasi Anatomis
Variasi letak saraf sering terjadi pada mandibula. Contoh : lingula yang
biasanya terletak 5 – 10 m di atas bidang oklusi atau setinggi coronoid notch,
pada beberapa individu bisa terletak pada atau sedikit di bawah bidang oklusi. Hal
ini dapat menyebabkan kegagalan teknik inferior alveolar nerve block.
Injeksi Intravaskuler
Injeksi cairan anestesi ke dalam pembuluh darah disamping menyebabkan
kegagalan anestesi lokal juga akan menimbulkan efek sistemik dengan segala
akibatnya. Hal ini sering terjadi pada anestesi nervus infraorbitalis, mentalis,
superior posterior, dan maxillaris. Untuk mencegah terjadinya injeksi
intravaskuler perlu dilakukan aspirasi setiap kali kita akan melakukan injeksi
cairan anestesi.
Inervasi oleh Saraf Tambahan
Inervasi oleh saraf tambahan sering terjadi pada mandibula sehingga dapat
menyebabkan efek anestesi yang tidak penuh/dalam meskipun telah dilakukan
anestesi yang memadai. Pada individu-individu tertentu dapat terjadi inervasi
tambahan di bawah ini :
Pembelokan Jarum
Cairan anestesi lokal tidak dapat bekerja dengan baik pada daerah yang
mengalami keradangan. Beberapa alasan yang mendasari fenomena ini telah
dijelaskan pada bab terdahulu.
Sebab-sebab lain
3. Penderita yang resisten terhadap segala macam obat termasuk obat anestesi
lokal
BAB V
PENANGANANNYA
Gejala awal reaksi toksisitas karena overdosis adalah stimulasi sistim saraf
pusat. Tanda-tanda yang tampak mulai dari yang ringan seperti : penderita bicara
lebih banyak, gelisah, pusing, tinnitus, pandangan kabur, nausea, denyut nadi dan
tekanan darah meningkat. Pada keadaan lanjut ( dimana asorpsi obat sudah
semakin meningkat) akan timbul manifestasi pre-konvulsi antara lain : nystagmus,
fasikulasi otot, tremor pada pelupuk mata, rahang dan ekstremitas pada keadaan
yang lebih berat dapat terjadi konvulsi dengan gejala tonic-clonic seizure.
Keadaan ini kemudian diikuti dengan gejala depresi sistim susunan saraf pusat
yang ditandai dengan turunnya tekanan darah, denyut nadi cepat dan lemah,
kadang-kadang terjadi bradikardi, apnea, dan hilangnya kesadaran penderita. Pada
dosis yang fatal dapat terjadi kematian karena kegagalan pernafasan.
Reaksi toksik yang terjadi bervariasi mulai dari beberapa menit sampai
lebih dari satu jam. Biasanya semakin lambat timbulnya reaksi, semakin ringan
reaksi yang akan terjadi. Reaksi toksik yang disebabkan karena overdosis obat
biasanya berlangsung cukup lama; konsentrasi puncak dalam darah tercapai
dalam waktu 15-60 menit. Sedangkan reaksi toksik yang terjadi karena injeksi
intravaskuler timbulnya relatif cepat (1 sampai 2 menit) dan pada umumnya
berlangsung dalam waktu yang tidak terlalu lama (tidak lebih dari 30 menit).
Untuk mencegah terjadinya reaksi toksik beberapa hal di bawah ini perlu
diperhatikan yaitu :
Reaksi Alergi
1. Tempatkan penderita pada posisi supine dengan posisi tungkai setinggi kepala
Rasa sakit selama atau setelah tindakan anestesi lokal adalah hal yang
wajar, terutama bila operator kurang hati-hati didalam melakukan teknik yang
benar. Namun rasa sakit juga bisa disebabkan karena infeksi pada tempat insersi
jarum.
Infeksi
Setiap kali kita melakukan injeksi intra oral sejumlah mikroorganisme
akan terbawa masuk ke dalam jaringan. Namun karena mekanisme pertahanan
tuuh yang sedemikian baik di rongga mulut maka cukup jarang dijumpai
terjadinya asus infeksi setelah insersi jarum. Disamping itu sterilitas jarum dan
larutan anestesi yang terjamin dan pemakaian alat injeksi yang disposable
merupakan faktor yang mendukung fenomena tersebut.
Infeksi pasca anestesi lokal dapat terjadi oleh karena ;
Apabila terjadi biasanya infeksi yang timbul bersifat ringan dan setempat, serta
dapat sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan.
Meskipun sekarang hal ini jarang terjadi, patahnya jarum akan sangat
mengganggu dan membuat ngeri penerita. Kepatahan biasanya terjadi pada
pangkal (hub) dari jarum. Oleh karena itu sangat tidak dianjurkan untuk
menginsersikan keseluruhan jarum sampai pada pangkalnya. Untuk
menghindarkan hal ini perhatikan hal-hal berikut :
4. Jangan mensteril ulang jarum habis pakai, karena akan menyebabkan jarum
mudah patah
5. Jangan menginsersikan jarum terlalu jauh ke dalam jaringan; sisakan
sedikitnya sepertiga panjang jarum di luar jaringan
6. Jangan mengejutkan penderita dengan insersi jarum yang tiba-tiba tanpa
sepengetahuan penderita.
Anestesia Berkepanjangan
Anestesia yang berkepanjangan biasanya bukan karena pengaruh obat
anestesianya, melainkan oleh trauma jarum suntik. Penyebab yang paling
mungkin adalah terjadinya kerusakan pada serat saraf oleh karena tusukan jarum
pada tkenik inferior alveolar nerve block. Hal ini dapat juga disebabkan karena
terjadinya perdarahan pada selaput pembungkus serat saraf sehingga
menimbulkan tekanan dan anestesia. Anestesia yang terjadi berkepanjangan
karena absorpsi perdarahan memakan waktu cukup lama mengingat sirkulasi
darah yang minim di daerah tersebut.
Hematoma
Hematoma adalah salah satu komplikasi yang sering terjadi pada teknik
anestesi lokal, biasanya terjadi setelah penyuntikan block pada nervus alveolaris
superior posterior dan nervus infraoritalis.
Insersi jarum yang terlalu dapat dapat mengenai kapsul kelenjar parotis
dan menyebabkan anestesia pada nervus facialis (saraf kranial ke-7). Akibatnya
dapat terjadi paralisa hemifacialis dan hilangnya reflek menutup dari kelopak
mata yang bersifat sementara.
Insersi jarum secara tak sengaja pada areri carotis interna, atau penyearan
larutan anestesi pada lateral pharyngeal space dapat menyebabkan blokade saraf
simpatis yang melayani kepala. Manifestasinya berupa : ptosis kelopak mata
bagian atas, vasodilatasi konjungtiva dan kepala bagian kiri, penyumbatan rongga
hidung, dan konstriksi pupil. Bila terjadi juga blokade pada nervus laryngeus
recurrens dapat menyebabkan suara serak dan perasaan tercekik.
xxxxxxxxxx
Gambar 12. Aliran larutan anestesi yang dapat mengakibatkan kebutaan sementara
atau paralisa saraf motoris dari mata. (diambil dari Jastak, J.T., &
Yagiela, J.A., 1981)
1. Status kardiovaskuler
3. Defisiensi metabolik
4. Kehamilan
5. Ketidakseimbangan endokrin
6. Manifestasi alergi
7. Kelainan hematologik
1. Status kardiovaskuler
Tabel 2. Data tentang pemakaian adrenalin pada penderita normal dan penderita
jantung : kaitan antara konsentrasi obat dengan dosis maksimal dan
jumlah cartridge yang boleh digunakan. (diambil dari Requa-Clark, B.S.
& Holroy, S.V., 1995)
3. Defisiensi metabolik
4. Kehamilan
Pada prinsipnya perawatan elektif pada penderita hamil sebaiknya ditunda
setelah masa persalinan. Pada keadaan tertentu perawatan giginya tidak dapat
ditunda dan memerlukan prosedur anestesi lokal. Dalam hal ini obat-obatan
anestesi lokal bukan kontra indikasi. Yang perlu diperhatikan adalah kondisi fisik
dan mental penderita pada saat akan menerima perawatan giginya, dan
persetujuan dari dokter kandungan yang merawatnya mengenai rencana tindakan
bedah (mis : pencabutan) yang akan kita lakukan pada penderita yang
bersangkutan.
5. Ketidakseimbangan endokrin
7. Kelainan hematologik
Dunn, M.J., and Schulze M.B. The Anatomical Basis of Dental Hygiene. 2nd ed.
Jastak, J.T., and Yagiela, J.A. Regional Anesthesia of The Oral Cavity. The C.V.
Longmore, R.B., Mc. Rae, D.A. Clinical Anatomy for Dentistry. Churchill
Livingstone. Edinburgh London Melbourne New York, 1985.
Peterson, L.J., Ellis III, E., Hupp, J.R., Tucker, M.R. Contemporary Oral and
Maxillofacial Surgery. 2nd ed. Mosby Year-Book Inc. St. Louis, 1993.
Divisi Maksilaris (V2) dan cabang-cabang utamanya (diambil dari Jastak, J.T. &
Yagiela, J.A., 1981)
Nervus Nasopalatinus (cabang dari nervus pterygopalatinus)
Inervasi Palatum durum oleh nervus nasopalatinus dan nervus palatinus majus
(diambil dari Jastak, J.T. & Yagiela, J.A., 1981)
Divisi Mandibularis (V3) dan cabang-cabang utamanya (diambil dari Jastak, J.T. &
Yagiela, J.A., 1981)