Вы находитесь на странице: 1из 11

Tugas Pengantar Ilmu Politik

PENGERTIAN KEWENANGAN POLITIK DAN


LEGITIMASI POLITIK

Josephine Fiona Ketaren

(100904090)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

2012
Kata Pengantar

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat kasih karuniaNya, penulis dapat
menyelesaikan makalah berjudul “Pengertian Kewenangan Politik dan Legitimasi Politik”.

Makalah ini ditujukan untuk pemenuhan tugas menjelang Ujian Tengah Semester yang
ditugaskan oleh Bapak Fuad Ginting, selaku dosen Pengantar Ilmu Politik.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada setiap pihak terkait yang telah mendukung penulis
dalam penyusunan makalah ini, dan juga kepada bapak dosen yang telah membimbing
penulis melalui pengajaran saat mata kuliah Pengantar Ilmu Politik berlangsung.

Dalam proses penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode kepustakaan, yakni
dengan referensi website-website yang membahas tentang kewenangan dan legitimasi politik
dan buku-buku Pengantar Ilmu Politik.

Tantangan dalam penyelesaian makalah ini adalah sulit mencari waktu yang tepat untuk dapat
fokus mengerjakan makalah ini dan juga keterbatasan referensi buku-buku yang dimiliki
penulis untuk menuntaskan penyelesaian makalah ini.

Masih banyak kekurangan yang terdapat di makalah, oleh karena itu, kritik dan saran sangat
diperlukan untuk memperkaya isi makalah ini.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat memperkaya pengetahuan pembaca, dan berguna
untuk kita semua. Terimakasih dan selamat membaca.

Medan, Oktober 2012

Penulis
BAB I Pendahuluan

I.1 Latar Belakang

Kewenangan politik dan legitimasi politik selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan
karena seseorang dapat memiliki kewenangan, dengan terlebih dahulu memiliki legitimasi
(keabsahan) dalam menentukan suatu kebijakan untuk kepentingan sebuah lembaga .

Kewenangan tentu berbeda dengan kekuasaan, sebab dalam suatu kewenangan ada
kaidah-kaidah yang mengikat setiap anggota lembaga untuk menciptakan keseimbangan pada
setiap komponen lembaga. Dalam hal ini Undang-Undang Dasar tahun 1945 dan Pancasila
sebagai pandangan hidup bangsa menjadi aturan pokok bagi setiap warga dan para pelaku
politik.

Kewenangan politik tidak selamanya dapat sejalan dengan keinginan masyarakat.


Sebab, menentukan sebuah kebijakan publik, berarti harus ada kesepakatan untuk
menentukan prioritas utama dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara pembuat
kebijakan dan masyarakat. Namun, kebijakan publik harus tetap dilakukan meskipun adanya
perselisihan pendapat ataupun konflik yang membuat kondisi politi menjadi kurang stabil.
Sehingga, dalam hal ini legitimasi politik berperan untuk memberi pengakuan bahwa setiap
kebijakan yang diputuskan adalah yang yang terbaik untuk kepentingan masyarakat di mana
kebijakan politik itu disahkan. Sehingga, bagaimana cara seseorang mendapatkan
kewenangan politik juga dapat mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap pembuat
kebijakan tersebut.

I. 2 Perumusan Masalah

1. Apa itu wewenang politik?


2. Apa perbedaan kewenangan dan kekuasaan?
3. Apa sajakah jenis-jenis wewenang?
4. Apa pengertian legitimasi politik?
5. Apa saja bentuk legitimasi politik menurut para ahli?
6. Apa saja jenis legitimasi?
Bab II Kewenangan dan Legitimasi

a. Wewenang
Menurut Miriam Budiardjo dalam Frans Magnis—Suseno (1994:54) otoritas atau
wewenang adalah ”kekuasaan yang dilembagakan”, yaitu kekuasaan yang tidak hanya
de facto menguasai, melainkan juga berhak untuk menguasai. Sedangkan, kekuasaan
menurut Max Weber adalah kemungkinan seorang pelaku mewujudkan keinginannya
di dalam suatu hubungan sosial yang ada termasuk dengan kekuatan atau tanpa
mengiraukan landasan yang menjadi pijakan kemungkinan itu.
Jadi, kewenangan politik adalah kekuasaan yang dimiliki
Menurut sosiolog, Max Weber (1864-1922) ada tiga macam wewenang, yakni:
1. Wewenang tradisional, yakni berdasarkan kepercayaan di antara anggota
masyarakat bahwa tradisi lama serta kedudukan kekuasaan yang dilandasi oleh
tradisi itu adalah wajar dan patut dihormati.
2. Wewenang karismatik, yakni berdasarkan kepercayaan anggota masyarakat pada
kesaktian dan kekuatan mistik atau religius seorang pemimpin. Misalnya Hitler
dan Mao Zedong sering dianggap sebagai pemimpin karismatik, sekalipun tentu
mereka juga memiliki unsur wewenang rasional-legal.
3. Wewenang rasional-legal, yakni berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum
rasional yang melandasi kedudukan seorang pemimpin. Maksudnya, aturan-aturan
mendasari tingkah laku sesorang, termasuk pemimpin.

b. Legitimasi
David Easton menyatakan bahwa keabsahan (legitimasi) adalah: “Keyakinan dari
pihak anggota (masyarakat) bahwa sudah wajar baginya untuk menerima baik dan menaati
penguasa dan memenuhi tuntutan-tuntutan dari rezim itu (The conviction on the part of the
member that it is right and proper for him to accept and obey the authorities and to abide by
the requirements of the regime). Dalam legitimasi kekuasaan bila seorang pimpinan
menduduki jabatan tertentu melalui pengangkatan diangkap absah, atau sesuai hukum.
Dilihat dari sudut penguasa, A.M. Lipset: “Legitimasi mencakup kemampuan untuk
membentuk dan mempertahankan kepercayaan bahwa lembaga-lembaga atau bentuk-bentuk
politik yang ada adalah yang paling wajar untuk masyarakat itu (Legitimacy includes the
capasity to produce and mantain a belief, that the existing political institutions or forms are
the most appropriate for the society).
Jika dalam suatu sistem politik terdapat konsensus mengenai dasar-dasar dan tujuan-tujuan
masyarakat, keabsahan dapat tumbuh dengan kukuh, sehingga unsur paksaan serta kekerasan
yang dipakai oleh setiap rezim dapat ditetapkan sampai minimum.

Bentuk-bentuk Legitimasi Kekuasaan Negara Menurut Para Ahli Filsuf

1. Niccolo Machiavelli
Saat Niccolo menulis pemikirannya tentang filsafat politik, ia menyaksikan terpecahnya
kekuasaan di Italia dengan muncul banyak negara-negara kota yang rapuh, sehingga dapat
dipahami bahwa ajarannya mengandung sinisme yang keras terhadap moralitas di dalam
kekuasaan. Ia sesungguhnya merindukan suatu keadaan dimana negara merupakan pusat
kekuasaan yang didukung sepenuhnya oleh rakyat banyak sehingga roda pemerintahan
berjalan lancar. Untuk itu pemimpin harus punya kekuatan dalam mempertahankan
kekuasaannya. Kaidah etika politik yang dianut oleh Machiavelli ialah bahwa apa yang baik
adalah sesuatu yang mampu menunjang kekuasaan negara. Namun Machiavelli bergerak
terlalu jauh ketika mengatakan bahwa tindakan yang jahat pun dapat dimaafkan oleh
masyarakat asal penguasa mencapai sukses. Tampak bahwa Niccolo ingin mengadakan
pemisahan yang tegas antara prinsip moral dan prinsip ketatanegaraan. Selain itu, ia tidak
memperhitungkan bagaimana sikap-sikap masyarakat terhadap legitimasi kekuasaan. Namun
demikian, ia telah berhasil menyuarakan penderitaan rakyat yang tercerai-berai karena intrik
politik yang berkepanjangan.

2. Jean-Jacques Rousseau
Ditinjau dari titik tolak ajaran yang dikemukakannya Rousseau termasuk pemikir utopis,
seperti Plato, yang berusaha menggambarkan negara ideal dengan tujuan mengajarkan
perbaikan cita-cita rakyat. Rousseau memandang ketertiban dihasilkan sebagai akibat dari
hak-hak yang sama. Rousseau berangkat dari asumsi bahwa pada dasarnya manusia itu baik.
Negara dibentuk karena adanya niat-niat baik untuk melestarikan kebebasan dan
kesejahteraan individu. Dia mengandaikan bahwa keinginan umum dan semua kesejahteraan
individu akan muncul bersamaan. Menurutnya segala bentuk kepentingan individu yang
menyimpang dari kepentingan umum adalah salah, karena justru orang harus melihat
kebebasan itu pada kesamaan yang terbentuk dalam komunitas. Rousseau terlalu idealis
dalam memandang manusia, ia lupa bahwa tidak setiap individu mempunyai iktikad baik
serta bersedia menyerahkan kebebasan individu demi kebaikan umum. Selain itu dia
mengatakan bahwa kepentingan publik kolektif senantiasa memperkuat kebebasan individu
sambil menguraikan bahwa setiap pribadi bukan sebagai kesatuan melainkan bagian dari
kesatuan yang disebut komunitas. Namun pada dasarnya Rousseau sangat mencintai
kesamaan dan ketenangan yang dijamin oleh negara melalui keutuhan masyarakat yang
organis.

3. Thomas Hobbes
Dasar dari ajaran Hobbes adalah tinjauan psikologi terhadap motivasi tindakan manusia.
Dia menemukan bahwa manusia selalu memiliki harapan dan keinginan yang terkadang licik
dan emosional. Semua itu akan berpengaruh apabila seorang manusia menggenggam
kekuasaan. Hobbes mengaitkan masalah tersebut dengan legitimasi kekuasaan politik.
Hobbes mengatakan bahwa untuk menertibkan tindakan manusia, negara harus membuat
supaya manusia itu takut dan perkakas utama yang harus digunakan adalah tatanan hukum.
Negara harus benar-benar kuat agar mampu memaksakan hukum melalui ancaman yang
paling ditakuti manusia, yaitu hukuman mati. Pembentukan undang-undang digariskan
dengan tujuan untuk mencegah anarki. Oleh karena itu, negara harus berkuasa jika tidak ingin
keropos karena banyaknya anarki.
Hobbes adalah orang pertama yang menyatakan paham positivisme hukum, bagi dia
hukum di atas segala-galanya. Namun Hobbes lupa bahwa tindakan manusia tidak hanya
ditentukan oleh emosi, karena manusia dikaruniai akal budi. Dan pendirian suatu negara juga
bukan hanya atas pertimbangan emosional tapi juga pemikiran rasional. Kesimpulan dari
Hobbes bahwa pembatasan konflik dilakukan melalui saran hukum,

4. Plato
Plato adalah pemikir yang pertama berbicara mengenai negara ideal. Dia bermaksud
membangun suatu masyarakat dimana orang banyak menyumbang kepada kemakmuran
komunitas tanpa adanya kekuasaan kolektif yang merusak.
Dalam model distribusi kekuasaan antara penguasa dan yang dikuasai, Plato
mengandaikan bahwa para penguasa memperoleh hak memakai kekuasaan untuk mencapai
kebaikan publik dari kecerdasan mereka. Oleh sebab itu, dengan merujuk pada sistem
monarki yang lazim pada waktu itu, Plato merumuskan bahwa pemerintahan akan adil jika
raja yang berkuasa adalah seorang yang bijaksana. Kebijaksanaan kebanyakan dimiliki oleh
seorang filsuf. Maka konsepsi tentang “filsuf raja” atau “raja filsuf” banyak disebut sebagai
inti dari teori Plato mengenai kekuasaan negara.selain itu Plato mengatakan bahwa kebaikan
publik akan tercapai jika setiap potensi individu terpenuhi.
Teori Plato memang masih mengandung banyak kelemahan karena adanya beberapa
pertanyaan mendasar yang belum terjawab. Jika dibandingkan dengan kondisi negara-negara
modern sekarang ini, model Plato terasa sangat utopis. Untuk menerima model ini kita perlu
menerima pemikiran bahwa kualitas dasar individu secara alamiah berbeda. Pemikiran Plato
sudah mampu menjadi peletak dasar sistem kenegaraan modern. Legitimasi negara tidak
harus selalu dikaitkan dengan hal-hal supernatural dan masalah-masalah sakral yang ada di
luar jangkauan pemikiran manusia.

5. Thomas Aquinas
Masalah keadilan diterjemahkan oleh pemikir ini ke dalam dua bentuk, yaitu pertama,
keadilan yang timbul dari transaksi-transaksi seperti pembelian penjualan yang sesuai dengan
asas-asas distribusi pasar, dan kedua, menyangkut pangkat bahwa keadilan yang wajar terjadi
bila seorang penguasa atau pemimpin memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi
haknya berdasarkan pangkat. Kemudian Thomas Aquinas membahas tentang hukum melalui
pembedaan jenis-jenis hukum menjadi tiga, yaitu:
a. Hukum Abadi (Lex Externa)
Kebenaran hukum ini ditunjang oleh kearifan Ilahi yang merupakan landasan dari
segala ciptaan. Manusia merupakan salah satu makhluk yang mencerminkan kebijaksanaan
Sang Pencipta. Makhluk itu ada, berbentuk/berkodrat sebagaimana yang dikehendakinya.
Oleh sebab itu, manusia sebagai makhluk yang berakal wajib memenuhi setiap kehendak
Tuhan dan mempertanggungjawabkannya.
b. Hukum Kodrat (Lex Naturalis)
Hukum ini dijadikan dasar dari semua tuntutan moral. Tampak dia bukan hanya
membuat pembahasan yang berkaitan dengan etika religius tanpa menjawab pertanyaan-
pertanyaan tentang mengapa Tuhan menghendaki keadilan. Menurut Aquinas, Tuhan
menghendaki agar manusia hidup sesuai kodratnya. Itu berarti bahwa manusia hidup
sedemikian rupa sehingga ia dapat berkembang, membangun dan menentukan identitasnya,
serta mencapai kebahagiaan.
c. Hukum Buatan Manusia (Lex Humana)
Hukum ini untuk mengatur tatanan sosial sesuai dengan nilai-nilai kebajikan dan
keadilan. Norma hukum berlaku karena adanya perjanjian antara penguasa dengan rakyatnya.
Di dalamnya tersirat rakyat akan taat pada penguasa, dan penguasa berjanji akan
mempergunakan kekuasaannya demi kepentingan masyarakat umum. Namun Aquinas
menekankan bahwa isi hukum buatan manusia hendaknya sesuai dengan hukum kodrat.
Kekuasaan harus memiliki legitimasi etis. Dia menegaskan bahwa hukum yang bertentangan
dengan hukum kodrat merupakan “penghancur hukum”. Untuk itu Aquinas menggolongkan
dua corak pemerintah, yaitu: pemerintahan berdasarkan kekuasaan (despotik), dan
pemerintahan yang sesuai dengan kodrat masyarakat sebagai individu yang bebas (politik).

Jenis-jenis legitimasi
Menurut Andrain dalam Ramlan Subakti (Memahami Ilmu Politik, 1999:97) berdasarkan
prinsip pengakuan dan dukungan masyarakat terhadap pemerintah maka legitimasi
dikelompokkan menjadi lima tipe yaitu :

1. Legitimasi tradisional; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada


pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut merupakan keturunan pemimpin
”berdarah biru” yang dipercaya harus memimpin masyarakat.
2. Legitimasi ideologi; masyarakat memberikan dukungan kepada pemimpin pemerintahan
karena pemimpin tersebut dianggap sebagai penafsir dan pelaksana ideologi. Ideologi
yang dimaksudkan tidak hanya yang doktriner seperti komunisme, tetapi juga yang
pragmatis seperti liberalisme dan ideologi pancasila.
3. Legitimasi kualitas pribadi; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada
pemerintah karena pemimpin tersebut memiliki kualitas pribadi berupa kharismatik
maupun penampilan pribadi dan prestasi cemerlang dalam bidang tertentu.
4. Legitimasi prosedural; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada
pemerintah karena pemimpin tersebut mendapat kewenangan menurut prosedur yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
5. Legitimasi instrumental; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada
pemerintah karena pemimpin tersebut menjanjikan atau menjamin kesejahteraan materiil
(instrumental) kepada masyarakat.

BAB III Kesimpulan dan Analistis


1. Wewenang adalah kekuasaan yang dilembagakan.
2. Kekuasaan adalah kemungkinan seorang pelaku mewujudkan keinginannya di dalam
suatu hubungan sosial yang ada termasuk dengan kekuatan atau tanpa mengiraukan
landasan yang menjadi pijakan kemungkinan itu.
3. Ada tiga jenis wewenang, yaitu:
a. Wewenang tradisional, yakni berdasarkan kepercayaan bahwa tradisi lama
serta kedudukan kekuasaan yang dilandasi oleh tradisi itu adalah wajar dan
patut dihormati.
b. Wewenang karismatik, yakni berdasarkan kepercayaan pada kesaktian dan
kekuatan mistik atau religius seorang pemimpin.
c. Wewenang rasional-legal, yakni berdasarkan kepercayaan pada tatanan
hukum rasional yang melandasi kedudukan seorang pemimpin, seperti aturan-
aturan mendasari tingkah laku sesorang, termasuk pemimpin.

4. Legitimasi adalah keyakinan dari pihak anggota (masyarakat) bahwa sudah wajar
baginya untuk menerima baik dan menaati penguasa dan memenuhi tuntutan-tuntutan
dari rezim itu.
5. Bentuk legitimasi kekuasaan menurut para filsuf yaitu:
a. Niccolo Machiavelli
Kaidah etika politik yang dianut oleh Machiavelli ialah bahwa apa yang baik
adalah sesuatu yang mampu menunjang kekuasaan negara.
b. Jean-Jacques Rousseau
1) Negara dibentuk karena adanya niat-niat baik untuk melestarikan
kebebasan dan kesejahteraan individu.
2) Kepentingan publik kolektif senantiasa memperkuat kebebasan
individu, sehingga setiap pribadi bukan sebagai kesatuan melainkan
bagian dari kesatuan yang disebut komunitas.
c. Thomas Hobbes

Pembentukan undang-undang digariskan dengan tujuan untuk mencegah


anarki.

d. Plato

1) Para penguasa memperoleh hak memakai kekuasaan untuk mencapai


kebaikan publik dari kecerdasan mereka.

2) Kebaikan publik akan tercapai jika setiap potensi individu terpenuhi.


e. Thomas Aquinas
1) Keadilan timbul dari asas-asas distribusi pasar
2) Keadilan yang wajar terjadi bila seorang penguasa atau pemimpin
memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya
berdasarkan pangkat.
Keadilan dipengaruhi oleh jenis hukum yang digunakan suatu negara, yaitu
1. Hukum Abadi (Lex Externa), yakni hukum ditunjang oleh
kearifan Ilahi yang merupakan landasan dari segala ciptaan.
2. Hukum Kodrat (Lex Naturalis), yakni yakni hukum adalah
landasan dari semua tuntutan moral.
3. Hukum Buatan Manusia (Lex Humana), yakni hukum berlaku
karena adanya perjanjian antara penguasa dengan rakyatnya
dan sesuai dengan nilai-nilai kebajikan dan keadilan.
6. Legitimasi terdiri dari lima jenis, yaitu
a. Legitimasi tradisional, yakni berdasarkan keturunan pemimpin ”berdarah
biru” yang dipercaya harus memimpin masyarakat.
b. Legitimasi ideologi, yakni berdasarkan anggapan bahwa pemimpin tersebut
adalah penafsir dan pelaksana ideologi
c. Legitimasi kualitas pribadi, yakni berdasarkan kualitas pribadi pemimpin,
seperti kharisma, penampilan pribadi dan prestasi pada bidang tertentu.
d. Legitimasi prosedural, yakni berdasarkan kewenangan menurut prosedur yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
e. Legitimasi instrumental, yakni berdasarkan jaminan kesejahteraan materill
(instrumental) yang diberikan pemimpin kepada masyarakat.

BAB IV Kritik dan Saran


1. Legitimasi wewenang sebaiknya selalu dilakukan berdasarkan ketentuan dasar dan
kepentingan publik.
DAFTAR PUSTAKA
Budiarjo, Miriam, Prof. DASAR-DASAR ILMU POLITIK. Gramedia Pustaka Utama:Jakarta.
2008. Edisi ketiga.
Syafiee, Kencana Inu. PENGANTAR ILMU POLITIK. Pustaka Reka Cipta: Bandung. 2009.
Cetakan Pertama.

http://okghiqowiy.blogspot.com/2012/04/pengertian-dan-pentingnya-wewenang.html
http://abdulfaroj.blogspot.com/2012/01/bab-7-wewenangdelegasidesentralisasi.html
www.slideshare.net/abd3llah/kekuasaan-dan-wewenang
http://rodlialramdhan.blogspot.com/2012/05/bentuk-bentuk-legitimasi-kekuasaan.html
http://Fabadiah.files.wordpress.com/bab-ii-legitimasi-kekuasaan.docx

Вам также может понравиться