Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Luka robek (vulnus laceratum) sering disertai luka lecet (excoriasis), yakni luka atau
rusaknya jaringan kulit luar, akibat benturan dengan benda keras, seperti aspal jalan,
bebatuan atau benda kasar lainnya. Sementara luka tusuk (vulnus functum), yakni luka yang
disebabkan benda tajam seperti pisau, paku dan sebagainya. Biasanya pada luka tusuk, darah
tidak keluar (keluar sedikit) kecuali benda penusuknya dicabut. Luka tusuk sangat berbahaya
bila mengenai organ vital seperti paru, jantung, ginjal maupu abdomen.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi bentuk luka tusuk, salah satunya adalah
reaksi korban saat ditusuk atau saat pisau keluar, hal tersebut dapat menyebabkan lukanya
menjadi tidak begitu khas. Atau manipulasi yang dilakukan pada saat penusukan juga akan
mempengaruhi.
Beberapa pola luka yang dapat ditemukan :
1. Tusukan masuk, yang kemudian dikeluarkan sebagian, dan kemudian ditusukkan kembali
melalui saluran yang berbeda. Pada keadaan tersebut luka tidak sesuai dengan gambaran
biasanya dan lebih dari satu saluran dapat ditemui pada jaringan yang lebih dalam maupun
pada organ .
2. Tusukan masuk kemudian dikeluarkan dengan mengarahkan ke salah satu sudut, sehingga
luka yang terbentuk lebih lebar dan memberikan luka pada permukaan kulit seperti ekor.
3. Tusukan masuk kemuadian saat masih di dalam ditusukkan ke arah lain, sehingga saluran
luka menjadi lebih luas. Luka luar yang terlihat juga lebih luas dibandingkan dengan lebar
senjata yang digunakan.
4. Tusukan masuk yang kemudian dikeluarkan dengan mengggunakan titik terdalam sebagai
landasan, sehingga saluran luka sempit pada titik terdalam dan terlebar pada bagian
superfisial. Sehingga luka luar lebih besar dibandingkan lebar senjata yang digunakan.
5. Tusukan diputar saat masuk, keluar, maupun keduanya. Sudut luka berbentuk ireguler dan
besar.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui pengertian, penyebab,
tanda dan gejala serta penanganan kegawat daruratan pada Luka Tusuk Abdomen.
BAB II
PEMBAHASAN
I. KERANGKA KONSEP
A. Pengertian Luka Tusuk Abdomen
Luka tusuk merupakan bagian dari trauma tajam yang mana luka tusuk masuk ke dalam
jaringan tubuh dengan luka sayatan yang sering sangat kecil pada kulit, misalnya luka tusuk
pisau. Berat ringannya luka tusuk tergantung dari dua faktor yaitu :
1. Lokasi anatomi injury
2. Kekuatan tusukan, perlu dipertimbangkan panjangnya benda yang digunakan untuk
menusuk dan arah tusukan.
Jika abdomen mengalami luka tusuk, usus yang menempati sebagian besar rongga
abdomen akan sangat rentan untuk mengalami trauma penetrasi. Secara umum organ-organ
padat berespon terhadap trauma dengan perdarahan. Sedangkan organ berongga bila pecah
mengeluarkan isinya dalam hal ini bila usus pecah akan mengeluarkan isinya ke dalam
rongga peritoneal sehingga akan mengakibatkan peradangan atau infeksi.
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus
serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001). Trauma perut merupakan
luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa tembusnya dinding perut dimana
pada penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan
laparatomi (FKUI, 1995).
C. Patofisiologi
Tusukan/tembakan ; pukulan,benturan,ledakan,deselerasi,kompresi atau sabuk pengaman
(set-belt)-Traumaabdomen- :
a. Trauma tumpul abdomen
1. Kehilangandarah.
2. Memar/jejas pada dinding perut.
3. Kerusakan organ-organ.
4. Nyeri
5. Iritasi cairan usus
b. Trauma tembus abdomen
1. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
2. Respon stres simpatis
3. Perdarahan dan pembekuan darah
4. Kontaminasi bakteri
5. Kematian sel
c. 1 & 2 menyebabkan :
1. Kerusakan integritas kulit
2. Syok dan perdarahan
3. Kerusakan pertukaran gas
4. Risiko tinggi terhadap infeksi
5. Nyeri akut (FKUI, 1995).
E. Komplikasi
1. Segera : hemoragi, syok, dan cedera.
2. Lambat : infeksi (Smeltzer, 2001).
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada usus besar ; kuldosentesi,
kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan kateterisasi, adanya darah menunjukkan
adanya lesi pada saluran kencing.
2. Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine.
3. Radiologik : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi.
4. IVP/sistogram : hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap trauma saluran kencing.
5. Parasentesis perut : tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang diragukan
adanya kelainan dalam rongga perut atau trauma tumpul perut yang disertai dengan trauma
kepala yang berat, dilakukan dengan menggunakan jarum pungsi no 18 atau 20 yang
ditusukkan melalui dinding perut didaerah kuadran bawah atau digaris tengah dibawah pusat
dengan menggosokkan buli-buli terlebih dahulu.
6. Lavase peritoneal : pungsi dan aspirasi/bilasan rongga perut dengan memasukkan cairan
garam fisiologis melalui kanula yang dimasukkan kedalam rongga peritonium (FKUI, 1995).
G. Penatalaksanaan
1. Pemasangan NGT untuk pengosongan isi lambung dan mencegah aspirasi.
2. Menilai urin yang keluar (perdarahan).
3. Pembedahan/laparatomi (untuk trauma tembus dan trauma tumpul jika terjadi rangsangan
peritoneal : syok ; bising usus tidak terdengar ; prolaps visera melalui luka tusuk ; darah
dalam lambung, buli-buli, rektum ; udara bebas intraperitoneal ; lavase peritoneal positif ;
cairan bebas dalam rongga perut) (FKUI, 1995).
f. Neurosensori.
1. Data Subyektif : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo
2. Data Obyektif : Perubahan kesadaran bisa sampai koma,perubahan status
mental,Kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
h. Pernafasan
1. Data Subyektif : Perubahan pola nafas.
i. Keamanan
1. Data Subyektif : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan.
2. Data Obyektif : Dislokasi gangg kognitif.Gangguan rentang gerak.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada pasien dengan trauma abdomen (Wilkinson, 2006) adalah :
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk.
2. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit.
3. Nyeri akut berhubungan dengan trauma/diskontinuitas jaringan.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, terapi pembatasan
aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
3. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat
akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti
kerusakan awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan samapai berat dengan
akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.
a. Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
b. Kriteria Hasil :
1. Nyeri berkurang atau hilang
2. Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi :
a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
b. Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
c. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri
d. Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
e. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesic
R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk memblok
stimulasi nyeri.
4. Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaaan seorang individu yang tidak cukup mempunyai
energi fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan atau aktivitas
sehari-hari yang diinginkan.
a. Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
b. Kriteria hasil :
1. perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
2. pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
3. Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
Intervensi dan Implementasi :
a. Rencanakan periode istirahat yang cukup.
R/ mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan untuk
aktivitas seperlunya secar optimal.
b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan
menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/ mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
R/ menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.
5. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakkan fisik
yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
a. Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
b. Kriteria hasil :
1. penampilan yang seimbang..
2. melakukan pergerakkan dan perpindahan.
3. mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat Bantu.
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan
pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
b. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidak
mampuan ataukah ketidakmauan.
c. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
d. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
e. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan
mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.
D. Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan trauma abdomen adalah :
1. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
2. Infeksi tidak terjadi / terkontrol.
3. Nyeri dapat berkurang atau hilang.
4. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
5. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optima