Вы находитесь на странице: 1из 5

A.

Hak Asasi Manusia


Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai bagian dari keilmuan humaniora, hingga saat
inimenjadi perhatian sejumlah penelt, baik dalam skala nasional regional maupun
internasional, untuk terus dikaji,diteliti dan dikembangkan sebagai bagian keilmuan yang
mampu memanusiakan manusia secara holistik, tanpa cela. Bahkan jika diperhatikan secar
seksama dalam konsepsi penelitian terkait Hak Asasi Manusia (HAM) cukup beragam
pendekatan keilmuan yang digunakan, seperti; hukum, pendidikan, social, agama, ekonomi
dan budaya. Dari proses dan pendekatan yang digunakan,seharusnya hasil penelitian yang
dilakukan hasil penelitian yang dilakukan juga mampu menawarkan konsepsi idealdalam
rancangan proses penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung, agar benar-benar mampu
mencetak out-come pendidikan yang lebih humanis.
Mengingat potensi yang dimilikai bangsa ini yang multi-kultur, multo-ras,multi-
agama, dan multi-bahasabagipenulis memang merupakan sebuah karunia, bahkan menjadi
sebuah harta yang tak ternilai dari tuhan untuk dijaga dan di bangun dengan nilai-nilai
kemanusiaan dengan mengacu pada nilai-nilaikemanusiaan dengan mengacu pada nilai-nilai
kemanusiaan dengan mengacu pada nilai-nilai kemanusiaan Bhinneka Tunggal Ika. Potensi
budaya dan kearifan lokal yang sangat tak terhingga bisa jadi menjadi hal yang positif atau
negatif,tergantung pada bagaimana potensi yang tak terhingga tersebu, seharusnya menjadi
bahan perhatian model pendidikan yang mampu menjaga, melindungi dan membangun
setiap individu-individu dari masyarakat, sehingga mampu mengantarkan bangsa ini sebagai
Negara yang sesuai denganyang dicita-citakan secara konstitusional.
Perancangan sistem pendidikan yang direalisasikan dalam pendidikan indonesia,
cukup banyak menghasilkan sejumlah tindakan kekeran daloam pendidikan (Violance In
Education) serta berujung pada kriminalitas,intimidasi, dan bullying dalam proses
pendidikan. Jika diperhatikan masalah ini muncul bukanlah disebabkan oleh system
rancangan yuridis yang berlaku, akan tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh pengaruh
kurikulum, kesadaran dan kemampuan tenaga pendidikan, kurangnya pembinaan
pemerntah, dan ketidaktahuan masyarakat dalam memahami hak-hakmendasar yng melekat
pada setiap manusia.
Sebagaimana diungkapkanoleh M NarfiahIbnor dalam laporandi jurnal koperatis
pada tahun 2009 yang menyebut bahwa:
Namun demikian, proses dan tata kehidupan politik yang yelah berjalan dalam usia
relatif dini nampaknya belum memberikan dampak yang mengembirakan dan
menunjukkan tanda-tanda yang meyakinkan (Convincing Signs). Karena masih
ditemukan beberapa tindakan kontra-produktif dan destruktif seperti tindaka
pelanggaran HAM,kecendrunga tindakan yang mengarah pada “destabilisasi”,
kecenderungan tindakan demokrasi, tindakkekerasan, rendahnya penegak hukum
bagi para pelaku pelanggaran HAM, penyalahgunaankekerasan, masih maraknya
tindak korupsi, tingginya pertentangan antara legislatif dengan yudikatif dalam
kerangka otonomi daerah dan sebagainya.1

11 M Nafiah Ibnor, Nilai-Nilai Demokrasi dan HAM dalam Sistem Pendidikan Indonesia, Ittihad Jurnal Koperatis
Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No. 11 April 2009, pp 2.
Hal ini tentunya memerlukan sejumlah grand desain, terkait tawaran konsepsi dalam
membangun rancangan sistem pendidikan yang dilakukan agar mengedepankan Hak Asasi Manusia
(HAM) sebagai sebuah jawaban dan bentuk kebutuhan yang mendasar (Need Assesment ). Mengapa
bisa demikian? Hal ini tentunya di karenakan selama ini terdapat masalah penting, serta perlu di
garis bawahi dan menjadi perhatian bersama terkait pola kehidupan berbangsa dan bernegaradenga
n nilai-nilai kemanusiaan. Memang benar, masalah tersebut adalah dikarenakan kurangnya
kesadaran akan memahami hakikat manusia secara utuh, bukan disebabkan oleh system yang salah.
Karena seperti dikemukakan oleh Shigemasa Kimikazu dalam Second International Conference
Southeast Asia Human Right and Network (SEAHRN) di Jakarta;

To speak of ”human rights” in the Associationof Sountheast Asian Nations (ASEAN).is no


longer a taboo. Looking back at its history over the past 30 years, there have certainly been
critical phases in advancing the main streming in ASEAN. 2 They first look place in the1986
EDSA “people’srevolution” in the philippines; then were triggered by the asian financial crisis
swept over ASEAN countries in the late 1990s that resulted in the ending of the 32-year
suharto regime and the mushrooming of various pro-active civilsociety organization (CSOs) in
indonesia. The latest phase saw the adoptionand ratificationof the ASEAN Charter. Few doubt
that following the ratification of the ASEAN Charter, an ASEAN human rights body,stipulated
in article 14 of the charter, that subsequently materialized in the ASEAN intergovermental
commission on human rights (AICHR) in 2009 is exemplary of these moment. 3

Untuk itu, perancangan system pendidikan yang berlandasan pada nilai-nilai kemanusiaan,
menjadibagian sangatpentinguntuk dilakukan,guna meningkatkan kualits kehidupan manusia sebagai
makhluk social danmakhluk berpendidikan. Sebab, berbicara terkait sejumlah isu mengenai Hak
Asasi Manusia (HAM), akan sangat erat kaitannya dengan perkembangan kehidupan manusia secara
global. Agar dapat dijalankan sebuah konsepsi, perlu dirancang sistem pendidikan indonesia yang
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) pendidikan indonesia, pemikiran dari James A. BRENE
dan Michael W. Apple dapat menjadi rujukan yang cukup tepat, untuk indonesia sebab sebagaimana
pernyataan bahwa:

Pendidikan demokrasi tiada lain adalah mengimplementasikan pola-pola demokratis dalam


pengelolaan pendidikan, secara umum mencakup dua aspek, yakni struktur organisasi dan
prosedur kerja dalam merancang kurikulum yang bisa mengantarkan pribadi indonesia
memiliki berbagai pengalaman tentang praktik-praktik demokrasi. Dengan kata lain
pendidikan yang dikelola dengan memungkinkannya praktik-praktik demokratis itu
terlaksana.4

Agar dapat melaksanakan sebuah sistem pendidikan yang berbasis pada hak asasi manusia
maka diperlukan tenaga pendidik yang profesional. Sebab dalam proses
penyyelenggaraanpendidikan akan berhubungan erat kaitannya dengan pendidik, lembaga

2 Amitav Acharya, “southeast Asia’a Democratic Moment”Asian Survey, Vol XXXIX No. 3, May/June 1999, pp
418 - 32
3 Shigemasa Kimikasu, Longue Duree of Confidence Building in Southeast Asia: ASEAN ,Civil Society and Human
Rights, Paper Secound International Conference Southest Asia Human Right And Network (SEAHRN),Jakarta,p1

4 Apple, Michael W., and James A. Beane, The Case of Democratic School, ASCD, Alexandria, Virginia, 1995, p 9.
pendidikan, kebijakan pemerintah dan dukungan masyaraka. Bahkan lebih tegas nya lagi kebutuhan
terhadap kualitas pendidik menjadi hal yang krusial untuk bisa menjalankan pendidikan berbasis Hak
Asasi Manusia, sebagaimana diungkapkan oleh Zein sebagai berikut:

Pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada
jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pengakuan kedudukan Guru sebagai tenaga profesional adalah terkait mengenai pekerjaan
atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan
yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau
norma tertentuserta memerlukan pendidikan profesi. Hal ini dilakukan pemerintah agar para
guru diberbagai daerah ditanah ar dapat bekerja secara profesional dilakukan dengan cara
mengumpulkan berbagai berkas secara prufesional dilakukan pemerintah agar para guru di
berbagai daerah d tanah ar dapat bekerja secara profesional dilakukan dengan cara
mengumpulkan berbagai berkas portopolio yang terdiri bukti-bukti prestasi, hasil kinerja dan
berbagai hal yang terkait dengan kiprah guru tersebut. 5

Hal ini sebagimana dgambarkan oleh Budi seorang peneliti dari pusat penelitian dan
pengembangan hak-hak ekonomi social dan budaya. 6 Mengemukakan bahwa Guru Profesional
dibentuk adalah untuk, sebagai berikut:

1. Menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2. Meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan,
3. Meningkatkan martabat guru,
4. Meningkatkan profesionalitasi kebijakan publik yang dikemukakan oleh George C. Edward III
(a) komunikasi, (b) sumber daya, (c) disposisi, (d) struktur birokrasi. 7

Jika dirumuskan lagi terhadap pendidikan hak asasi manusia yang lebih mengarah pada
persepsi penyelenggaraan pendidikan yang sesuai dengan amat dari undang-undang sistem
pendidikan nasional no. 20 tahun 2003, maka akan didapatkan bahwa sebenarnya proses pendidikan
yang bermutu. Adapun untuk konsepsi pendidikan bermutu, penulis mengadopsi pada konsepsi
ebagai berikut:

Pendidikan bermutu adalah investasi bukan hanya bagi individutertapi juga bagi masyarakat.
Pendidikan bermutu merupakan investasi masa depan bangsa dalam membentuk
warganegara seutuhnya yang terdidik, cerdas, dan merupakan aset yang menetukan eksitensi
serta kemajuan bangsa dalam berbagai dimensi kehidupan. Sehingga disimpulkan bahwa
kualitas pendidikan baik disekolah umu maupun di madrasah dapat dicapai melalu adanya
program sertifikasi termasuk perbedaan yang berarti antar hasil belajar yang dicapai sekolah
umum maupun sekolah unggulan.8

Jika kualitas pendidikan telah bermutu mak peran pemerintah untuk menjalankan
pendidikan berbass karakter dapat dilaksanakan. Terutama yang berkaitan dengan program

5 Zein, HM, 2010, Kiat Sukses Mengikuti Sertifikasi Guru, (Malang:Cakrawala Media Publisher), pp 27.
6 Budi, Evaluasi Pelaksanan Sertifikasi Guru Sekolah Umum dan Guru Sekolah Madrasah, Jurnal Hak
Asasi Manusia, Juli 2012,pp 17-24
7 Ibid, pp 21.
8 Ibid, pp 28.
pendidikan hak asasi manusia sebagai bagianyang berkaitan dengan program pendidikan hak asasi
manusia sebagai bagian yang integral dalam merancang system pendikan humanis, demokratis, dan
religious. Dengan demikian, maka perancangan system pendidikan berbasis hak asasi manusia sangat
diperlukan guna lebih meningkatkan dan menjaga harkat martabat manusia itu sendiri yang
dilaksanakan melalui lingkungan buatan atau lembaga pendidikan sebagai pelaku program untuk
mengedepankan nilai-nilai hak asasi manusia sebagi ruh dalam sistem pendidikan yang
dilaksanakannya.

B. GENDER DAN KESETARAAN GENDER


Istilah gender seringkali dimaknai sebagai jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat
biologis. Gender berbeda dengan jenis kelamin. Walupun jenis kelamin laki-laki sering berkaitan erat
dengan Gender Maskulin dan jenis kelaminperempuan berhubungan dengan gender feminim, kaitan
antara jenis kelamin ini bukanlah merupakan korelasi yang absolut.
Dalam Women’s studies encyclopedia gender didefinisikansebagai “the distinction inroles,
behaviors, and mental and emotional characteristics between females and males developed by a
society.9 Mansour Fakihjuga menyatakn hal yang serupa, bahwa gender adalah perbedaan perilaku
antara laki-laki dan perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural. 10 Sedangkan
BadriyahFayumi, mendefinisikan gender dengan lebh detail yaitu seperangkat sikap, peran, tanggung
jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan (femintas dan
maskulinitas) akibat benturan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuhdan
dibesarkan.11
sikap dan perilaku perempuan dan laki-laki atau feminitas dan maskulinitas merupakanhasil
belajar seseorang melalui proses sosialisasi yang panjang di lingkungan masyarakat, tempat ia
tumbuh dan dibesarkan. Feminitas dan maskulinitas nukanlah hal yang kodrati dan dapat berubah
dariwaktuke waktu dan tempat ke tempat lain. 12
Dengan demikian, berdasarkan definisi-definis dan pengertian tersebut dapat dikatakan
bahwa gender adalah suatu konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki
dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat diubah sesuai dengan perubahan zaman.
Karena gender dibangun berdasarkan konstruksi sosial, gender bukanlah sesuatu yang tetapdan telah
ada secara alamiah, melainkan dibentuk oleh masyarakat.
Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpatispasi
dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, social budaya, pendidikan dan pertahanan dan
keamanan,serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Dengan kata lain
penyetaraan gender tersebut dijalankan secara pro-porsional.
Kesetaraan gender juga termasukpenghapusan dikriminasi dan ketidakadilan struktual, baik
terhadap laki-laki maupun perempuan.13 Jadi,kesetaraan gender basisnya adalah keadilan yang
bersifat universal. Adil maknanya adalah membenarkan keadaan seseirang sesuatu yang menjadi
haknya.

9 HelenTierney (ed), Woman’s Studies Encyclopedia, (New York:Peter Bedrick Book, 1991), p 153
10 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Tranformas Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, halaman 71-72
11 Lihat dalam Badriyah Fayumi, dkk, Keadilan dan Kesetaraan Gender (Perspektif Islam), (Jakarta:Departemen
Agama RI, 2001), Halaman xii.
12 Ibid. Halaman xiii
13 Lihat dalam http://www,asmakmalaikat.com/go/artikel/gender/gender2.htm
Gerakan penyetaraan gender sudah ada sejak zaman islam muncul karena pada zaman pra-
islam terjadi pelecehan terhadap wanita. Bahkan, ada suatu masa yang secara sadis berupaya un 14tuk
melenyapkan setiap bayi yang dilahirkan dengan jenis kelamin perempuan. Perbedaan Gender
sesungguhnya merupakan hal yang biasa atau suatu kewajaran sepanjang gender sesungguhnya
merupakan hal yang biasa atau suatu kewajaran sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan gender.
Namun, kontruksi sosial suatu masyarakat tidak selamanya sesuai dengan nilai rasa salah satu
pemangku gender. Isu-isu gender kemudian memunculkan berbagai pemaikiran tentang adanya bias
gender. Di ndonesia, wacana bias gender tersebut bahkan berguling menjadi konsumsi publik dan
menyangkut upaya perubahan-perubahan sosial politik dan budaya masyarat.

14

Вам также может понравиться