Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
Berdasarkan data dari negara-negara maju, trauma kepala merupakan 26% dari jumlah jenis
kecelakaan yang mengakibatkan seseorang tidak bisa bekerja selama lebih dari satu hari
hingga jangka yang panjang. Sekitar 33% kecelakaan yang berakhir pada kematian
disebabkan oleh trauma kapitis.
Di Indonesia, menurut Depkes RI tahun 2007, cedera kepala menempati urutan ke-7 dari 10
penyakit utama penyebab kematian terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit dengan
CFR 2,94% dan pada tahun 2008 menempati urutan ke-6 dengan CFR 2,99%. Sedangkan di
Amerika, setiap tahun tercatat sekitar 52.000 penduduk meninggal karena trauma kepala (20
orang per 100.000 populasi). Insidensi pasien dengan cedera kepala berat (GCS kurang dari
8) mencapai 100 per 100.000 populasi.
Trauma kapitis merupakan keadaan gawat darurat sehingga perlu segera ditangani. Trauma
timbul akibat adanya gaya mekanik yang secara langsung menghantam kepala. Akibatnya
dapat terjadi fraktur tulang tengkorak, kontusio serebri, laserasi serebri, dan perdarahan
intrakranial seperti subdural hematom, epidural hematom, atau intraserebral hematom.
Trauma kapitis ini dapat menimbulkan terjadinya kelainan neurologi pada saat awal kejadian,
timbulnya kecacatan di kemudian hari atau bahkan pada kasus yang berat dapat menimbulkan
kematian.
1
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.3 TUJUAN
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
3
Gambar2.1. Hematoma Subdural
B. ETIOLOGI
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural.
Hematoma subdural akut dapat terjadi pada:
• Trauma kapitis
• Koagulopati atau penggunaan obat antikoagulan (warfarin, heparin, hemophilia,
kelainan hepar, trombositopeni)
• Perdarahan intracranial nontrauma yang disebabkan oleh aneurismaserebral,
malfromasi arterivena, atau tumor (meningioma atau metastase dural)
• Pascaoperasi (craniotomy, CSF hunting)
• Hipotensi intracranial (setelah lumbar fungsi, anesthesia epidural spinal,
lumboperitoneal shunt)
• Child abuse atau shaken baby sybdrome
• Spontan atau tidak diketahui
Hematoma subdural kronik dapat disebabkan oleh :
• Trauma kepala yang relatif ringan atau pada orang tua dengan serebral atrofi
• Hematoma subdural akut dengan atau tanpa intervensi operasi
• Spontan atau idiopatik
• Faktor resiko terjadinya hematoma subdural kronik yaitu penggunaan alkohol
kronis, epilepsi, koagulopati, kista arachnoid, terapi antikoagulan (termasuk
4
aspirin), penyakit kardiovaskular (hipertensi, arteriosklerosis), trombositopenia,
dan diabetes mellitus.
Pada pasien yang lebih muda, alcoholism, trombositopenia, kelainan pembekuan, dan
terapi antikoagulan oral lebih banyak ditemui. Kista arachnoid lebih banyak ditemukan pada
pasien hematoma subdural kronik pada pasien usia dibawah 40 tahun. Pada pasien yang lebih
tua, penyakit kardiovaskular dan hipertensi arteri lebih banyak ditemukan, 16% pasien
dengan hematoma subdural kronik dalam terapi aspirin.
C. KLASIFIKASI
Hematoma subdural dapat terjadi akut, subakut, atau kronik. Bergantung pada ukuran
pembuluh yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada.
Hematoma Subdural akut dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi
kontusio atau laserasi. Biasanya pasien dalam keadaan koma dan tanda klinis sama dengan
hematoma epidural. Tekanan darah meningkat dengan frekuensi nadi lambat dan pernafasan
cepat sesuai dengan peningkatan hematoma yang cepat.
Hematoma subdural subakut adalah sekuela kontusion sedikit berat dan dicurigai
pada pasien yang gagal untuk meningkatkan kesadaran setelah trauma kepala .Tanda dan
gejala sama seperti pada hematoma subdural akut.
Angka kematian untuk pasien hematoma subdural akut dan subakut tinggi karena
sering dihubungkan dengan kerusakan otak.
Jika pasien dapat dipindahkan dengan cepat ke rumah sakit, kraniotomi segera
dilakukan untuk membuka dura, yang memungkinkan evakuasi bekuan subdural padat. Hasil
yang baik bergantung pada control TIK dan pemantauan cermat terhadap fungsi pernapasan .
Hematoma subdural kronik tampaknya dapat terjadi karena cedera kepala minor
dan terlihat lebih sering pada lansia. Lansia cenderung mengalami cedera kepala tipe ini
sekunder akibat atrofi otak, yang diperkirakan akibat proses penuaan. Tampaknya cedera
5
kepala minor dapat mengakibatkan dampak yang cukup untuk mengesit otak secara abnormal
dengan skuela negative. Waktu diantara cedera dan awitan gejala mungkin lama
(mis.beberapa bulan). Sehingga akibat actual mungkin terlupkan. Gejala dapat tampak
beberapa minggu setelah cedera minor.
Hematoma subdural kronik menyerupai kondisi lain dan mungkin dianggap stroke.
Perdarahan sedikit menyebar dan terdapat kompresi isi intracranial. Darah di dalam otak
mengalami perubahan karakter dalam 2-4 hari, menjadi lebih kental dan lebih gelap. Dalam
beberapa minggu, bekuan mengalami pemecahan dan memiliki warna dan konsistensi seperti
minyak mobil. Ahkirnya, terjadi kalsifikasi atau osifikasi bekuan. Otak beradaptasi pada
infasi benda asing ini, dan tanda serta gejala klinis pasien berfluktuasi. Mungkin terdapat
sakit kepala hebat, yang cenderung timbul dan hilang ; tanda neourologik fokal yang
bergantian, perubahan kepribadian; penyimpangan mental; dan kejang fokal. Sayangnya ,
pasien mungkin di anggap neourotik atau psikotik bila penyebab gejala tidak ditemukan.
Tindakan terhadap hematoma subdural kronikt erdiri dari evakuasi bedah bekuan
dengan pengisap atau irigasi terhadap area tersebut. Prosedur ini dapat dilakukan melalui
lubang burr ganda, atau kraniotomi dapat dilakukan untuk lesi massa subdural yang cukup
besar yang tidak dapat dilakukan melalui lubang burr.
D. PATOFISIOLOGI
Perdarahan terjadi antara duramater dan araknoid. Perdarahan dapat terjadi akibat
robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan
sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoid. Karena otak dikelilingi
cairan serebrospinal yang dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir,
berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada
tempat dimana mereka menembus duramater. Perdarahan yang besar akan menimbulkan
gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.
Kebanyakan perdarahan subdural terjadi pada konveksitas otak daerah parietal. Sebagian
kecil terdapat di fossa posterior dan pada fisura interhemisferik serta tentorium atau diantara
lobus temporal dan dasar tengkorak. Perdarahan subdural akut pada fisura interhemisferik
pernah dilaporkan, disebabkan oleh ruptur vena-vena yang berjalan diantara hemisfer bagian
medial dan falks, juga pernah dilaporkan disebabkan oleh lesi traumatik dari arteri perikalosal
karena cedera kepala. Perdarahan subdural interhemisferik akan memberikan gejala klasik
6
monoparesis pada tungkai bawah. Pada anak-anak kecil perdarahan subdural di fisura
interhemisferik posterior dan tentorium sering ditemukan karena goncangan yang hebat pada
tubuh anak (shaken baby syndrome).
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh
jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik
cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena
tekanan intracranial yang berangsur meningkat.
Perdarahan subdural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena jembatan
dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun
hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan
terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan
terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Karena perdarahan yang
timbul berlangsung perlahan, maka lucid interval juga lebih lama dibandingkan perdarahan
epidural, berkisar dari beberapa jam sampai beberapa hari. Pada perdarahan subdural yang
kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya
menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.
Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting,
karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam
penambahan volume dari perdarahan subdural kronik.
Secara umum, gejala yang nampak pada subdural hematom seperti pada tingkat yang
ringan (sakit kepala) sampai penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran hematom subdural
tidak begitu hebat seperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada efek massa atau lesi
lainnya. Gejala yang timbul tidak khas dan merupakan manisfestasi dari peninggian tekanan
intrakranial seperti: sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat
kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya, kadang kala
dengan riwayat trauma yang tidak jelas, sering diduga tumor otak.
Nyeri kepala
7
Penurunan kesadaran
Komplikasi pernapasan
F. PENATALAKSANAAN
- Tindakan terhadap peningkatan TIK. Pada saat otak yang rusak membengkak atau
terjadi penumpukan darah yang cepat, terjadi peningkatan TIK dan memerlukan
tindakan segera. TIK dipantau dengan ketat dan, bila meningkat, keadaan ini diatasi
dengan mempertahankan oksigenisasi adekuat, pemberian mannitol, yang mengurangi
edema serebral dengan dehidrasi osmotik; hiperventilasi; penggunaan steroid;
peningkatan kepala tempat tidur; dan kemungkinan intervensi bedah neuro.
Pembedahaan diperlukan untuk evakuasi bekuan darah, dan jahitan terhadap laserasi
kulit kepala berat. Alat untuk memantau TIK dapat dipasang selama pembedahaan
atau dengan teknik aseptik ditempat tidur. Pasien dirawat di unit perawatan intensif
dimana ada perawatan ahli keperawatan dengan medis.
- Tindakan Pendukung Lain. Tindakan juga mencakup dukungan ventilasi,
pencegahan kejang, dan pemeliharaan cairan, elektrolit, dan keseimbangan nutrisi.
Pasien cedera kepala hebat yang koma diintubasi dan diventilasi mekanis untuk
mengontrol dan melindungi jalan napas. Hiperventilasi terkontrol juga mencakup
hipokapnia, yang mencegah vasodilatasi, menurunkan aliran darah serebral,
menurunkan volume darah serebral, dan kemudian menurunkan TIK.
Karena kejang umum terjadi setelah cedera kepala dan dapat menyebabkan
kerusakan otak sekunder karena hipoksia, terapi antikolvulsan dapat dimulai.
Bila pasien sangat teragitasi, klorprozamin dapat diberikan untuk menenangkan
pasien tanpa menurunkan tingkat kesadaran. Selang nasogatrik dapat dipasang, bila
motilitas lambung menurun dan peristaltik terbalik dikaitkan dengan cedera kepala,
dengan membuat regurgitasi umum pada beberapa jam pertama.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
8
Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin, elektrolit, profil
hemostasis/koagulasi.
b. Foto tengkorak
Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk memperkirakan adanya SDH.
Fraktur tengkorak sering dipakai untuk meramalkan kemungkinan adanya perdarahan
intrakranial tetapi tidak ada hubungan yang konsisten antara fraktur tengkorak dan
SDH. Bahkan fraktur sering didapatkan kontralateral terhadap SDH.
c. CT-Scan
Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila dicurigai terdapat suatu lesi
pasca-trauma, karena prosesnya cepat, mampu melihat seluruh jaringan otak dan
secara akurat membedakan sifat dan keberadaan lesi intra-aksial dan ekstra-aksial.
Perdarahan subdural akut pada CT-scan kepala (non kontras) tampak sebagai suatu massa
hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit sepanjang bagian dalam (inner table)
tengkorak dan paling banyak terdapat pada konveksitas otak di daerah parietal. Terdapat
dalam jumlah yang lebih sedikit di daerah bagian atas tentorium serebelli. Subdural hematom
berbentuk cekung dan terbatasi oleh garis sutura. Jarang sekali, subdural hematom berbentuk
lensa seperti epidural hematom dan biasanya unilateral.
Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan gambaran tulang
tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT window width. Pergeseran garis
tengah (midline shift) akan tampak pada perdarahan subdural yang sedang atau besar
volumenya. Bila tidak ada midline shift harus dicurigai adanya massa kontralateral dan bila
midline shift hebat harus dicurigai adanya edema serebral yang mendasarinya.
Perdarahan subdural jarang berada di fossa posterior karena serebelum relatif tidak bergerak
sehingga merupakan proteksi terhadap ’bridging veins’ yang terdapat disana. Perdarahan
9
subdural yang terletak diantara kedua hemisfer menyebabkan gambaran falks serebri menebal
dan tidak beraturan dan sering berhubungan dengan child abused.
Di dalam fase subakut perdarahan subdural menjadi isodens terhadap jaringan otak sehingga
lebih sulit dilihat pada gambaran CT. Oleh karena itu pemeriksaan CT dengan kontras atau
MRI sering dipergunakan pada kasus perdarahan subdural dalam waktu 48 – 72 jam setelah
trauma kapitis. Pada gambaran T1-weighted MRI lesi subakut akan tampak hiperdens. Pada
pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal akan tampak jelas dipermukaan otak dan
membatasi subdural hematoma dan jaringan otak.
Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat mudah dilihat pada gambaran CT
tanpa kontras. Sekitar 20% subdural hematom kronik bersifat bilateral dan dapat mencegah
terjadi pergeseran garis tengah. Seringkali, hematoma subdural kronis muncul sebagai lesi
heterogen padat yang mengindikasikan terjadinya perdarahan berulang dengan tingkat cairan
antara komponen akut (hiperdens) dan kronis (hipodens)
10
H. KOMPLIKASI
Edema serebral dan Herniasi. Edema serebral adalah penyebab paling umum dari
peningkatan tekanan intrakranial pada pasien yang mendapat cedera kepala, puncak
pembengkakan yang mengikuti cedera kepala terjadi kira-kira 72 jam setelah cedera. Tekanan
intrakranial meningkat karena ketidakmampuan tengkorak utuh utnuk membesar meskipun
peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan dari trauma. Sebagai akibat dari
edema dan peningkatan TIK, tekanan disebarkan pada jaringan otak dan struktur internal otak
yang kaku . bergantuk pada tempat pembengkakan, perubahan posisi ke bawah atau lateral
otak (herniasi) melalui atau terhadap struktur kaku yang terjad menimbulkan iskemia, infark,
kerusakan otak ireversibel, dan kematian.
A. PENGKAJIAN
11
PATHWAY HEMATOMA SUBDURAL
Hematoma
subdural
Robeknya vena
jembatan dan vena halus
Penumpukan
sputum dijalan
napas
Ketidakefektifan
bersihan jalan
napas
B. Diagnosa keperawatan
1. Tidak efektifnya pola nafas sehubungan dengan depresi pada pusat nafas di otak
2. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas sehubungan dengan penumpukan sputum
3. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan udem otak
C. Intervensi keperawatan
1. Tidak efektifnya pola nafas sehubungan dengan depresi pada pusat nafas di otak
Tujuan :
mempertaankan pola nafas yang efektif melalui ventilator
kriteria evalusi:
1. Penggunaan otot bantu nafas tidak ada
2. Sianosis tidak ada
3. Tanda-tanda hipoksia tidak ada
4. Gas darah dalam batas normal
intervensi Rasional
1. Cek pemasangan tube 1. untuk memberikan ventilasi yang
adekuat dalam pemberian tidal
volume
2. Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi
2. pada fase ekspirasi biasanya 2x lebih
13
panjang sebagai konpensasi
terperangkapnya udara terhadap
gangguan pertukaran gas
3. Perhatikan kelembapan dan suhu
pasien 3. keadaan dehidrasi dapat
mengeringkan sekresi/cairan paru
sehingga menjadi kental dan
4. Cek selang ventilator setiap 15 menit meningkatkan resiko infeksi
4. adanya obstruksi dapat menimbulkan
tidak adekuatnya pengaliran volume
dan menimbulkan penyebaran udara
5. Siapkan ambu bag tetap berada di yang tidak adekuat
dekat pasien 5. membantu memberikan ventilasi
yang adekuat bila ada gangguan pada
ventilator
Tujuan :
Mempertahankan jalan nafas dan mencegah aspirasi
Kriteria Evalusi:
1. Suara nafas bersih
2. Tidak terdapat secret
3. Sianosis tidak ada
intervensi Rasional
1. Kaji dengan ketat tiap 15 menit, 1. obstruksi dapat disebabkan
kelancaran jalan nafas pengumpulan sputum, perdarahan,
bronchospasme atau masalah terdapat
tube
2. Evaluasi pergerakan dada dan 2. Pergerakan yang simetris dan suara
auskultasi dada tiap 1 jam. nafas yang bersih indikasi
pemasangan tube yang tepat dan tidak
adanya penumpukan sputum
Tujuan ;
14
Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran motorik
Kriteria hasil:
1. Tanda-tanda vital stabil
2. Tidak ada peningkatan intracranial
Intervensi Rasional
1. Monitor dan catat status neurologis 1. Reflex membuka mata menentukan
dengan menggunakan metode GCS. pemulihan tingkat kesadaran, respon
motorik menentukan kemampuan
berespon terhadap stimulasi eksternal
dan indikasi keadaan kesadaran yang
baik, reaksi pupil digerakan oleh saraf
kranial oculus motorius dan untuk
menentukan reflex batang otak
3. Pertahankan posisi kepala yang 3. Perubahan kepala pada satu sisi dapat
sejajar dan tidak menekan menimbulkan penekanan pada vena
jugularis dan menghambat aliran
darah otak, dan dapat meningkatkan
tekanan intracranial
4. Observasi kejang dan lindungi pasien 4. Kejang terjadi akibat iritasi otak,
dari cedera akibat kejang hipoksia, dan kejang dapat
meningkatkan tekanan intracranial
15
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk akut
yang hebat, baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai akibat
dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada
jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat
pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup.
16
• Perdarahan intracranial nontrauma yang disebabkan oleh aneurismaserebral,
malfromasi arterivena, atau tumor (meningioma atau metastase dural)
• Pascaoperasi (craniotomy, CSF hunting)
• Hipotensi intracranial (setelah lumbar fungsi, anesthesia epidural spinal,
lumboperitoneal shunt)
• Child abuse atau shaken baby sybdrome
• Spontan atau tidak diketahui
Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien dengan hematoma subdural:
1. Tidak efektifnya pola nafas sehubungan dengan depresi pada pusat nafas di otak
2. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas sehubungan dengan penumpukan sputum
3. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan udem otak
17