Вы находитесь на странице: 1из 7

Materi Kuliah Toksikologi

PENDAHULUAN
Efek toksik dari zat-zat kimia dapat digolongkan dalam berbagai cara. Yang
paling sering, toksisitas diklasifikasikan berdasarkan efek pada : (1) organ target
(hati, paru-paru, ginjal, dll); (2) jenis respon (karsinogenik, dll.); (3) bahan toksik
(pestisida, logam, dll).
Efek akut adalah efek yang timbul segera setelah pemaparan singkat suatu
bahan kimia. Pemaparan akut dapat berupa pemaparan tunggal ataupun berulang
dalam waktu yang singkat (umumnya kurang dari 24 jam). Efek akut adalah efek
yang umumnya teramati dalam waktu bilangan jam hingga hari, namun dalam
beberapa kasus, dalam 2 minggu pertama. Pemaparan akut terhadap suatu zat yang
cepat terabsorbsi mungkin saja menimbulkan efek toksik yang segera, tetapi
pemaparan akut juga menghasilkan efek tunda. Tetapi efek kronik adalah efek yang
muncul hanya setelah pemaparan berulang-ulang terhadap suatu zat, dan berbagai
senyawa memerlukan waktu pemaparan kontinyu yang berbulan-bulan.

TOKSIKAN SISTEM SARAF

Pestisida
Senyawa organofosfat dan karbamat
Kedua jenis senyawa ini mengganggu fungsi sistem saraf. Efek toksik timbul
karena pengikatan dan penghambatan enzim asetilkolin esterase (AChE) yang
terdapat pada sinaps dalam sistem saraf pusat maupun otonom serta pada ujung saraf
otot lurik.
Secara normal, asetilkolin (ACh), yang merupakan suatu neurotransmiter,
dilepas dari prasinaps kemudian mengikat reseptor protein pada pascasinaps. Ikatan
ini menyebabkan pembukaan kanal ion dan depolarisasi membran pascasinaps. Bila
ACh dilepas oleh reseptor, maka ia terhidrolisis oleh AChE menjadi kolin dan asetat
(lihat gbr. 1) dan aktivitas perangsangannya terhenti. Jika AChE ini terhambat, maka
hidrolisis tersebut tidak terjadi dan ACh terakumulasi sehingga terjadi eksitasi saraf
berlebihan.
Pemaparan terhadap senyawa organofosfat menghasilkan spektrum efek klinis
yang luas yang menunjukkan perangsangan berlebih terhadap sistem kolinergik. Efek
ini timbul dalam 3 kategori, yaitu :
1. Penghambatan AChE pada persambungan saraf otot yang menimbulkan
kejang otot karena kontraksi otot berlebihan, kelelahan, dan kadang paralisis
(efek nikotinik). Otot-otot yang mengalami keracunan akut seperti ini terutama
adalah otot-otot pernapasan karena paralisis diafragma dan otot dada yang
dapat menyebabkan kegagalan pernapasan dan kematian.
2. Penghambatan sistem saraf otonom (reseptor muskarinik) yang
mengakibatkan nyeri lambung; diare; urinasi yang tidak disadari; peningkatan
sekresi sistem pernapasan, terisinya bronkiolus dengan cairan; spasme otot halus
1
dalam saluran pernapasan, menyebabkan penyempitan jalan napas; dan
penyempitan pupil (miosis) yang nyata.
3. Efek terhadap sistem saraf pusat (SSP) berupa tremor, bingung, bicara kabur,
kehilangan koordinasi, dan konvulsi pada pemaparan yang sangat tinggi.

Protein AChE
(Residu serin)

CH2
OH

O O
(CH3)3N(CH2)2OCCH3 (C2H5O)2POC6H4NO2
Asetilkolin Paraoxon
H2O H2O

Kolin + + HOC6H4NO2
CH2 CH2 p-nitrofenol
O CCH3 O P(OC2H5)2

O O

Enzim terasetilasi Enzim terfosforilasi

H2O
H2O
(cepat) (sangat "aging"
Asetat
lambat)
Dietil fosfat

CH2
CH2 OH
O P
OH OC2H5
O
AChE teregenerasi Penghambatan irreversibel

Gbr 1. Skema hidrolisis ACh dan paraokson oleh enzim AChE

Penghambatan AChE disebabkan oleh pestisida tersebut pada sisi aktif yang
pada keadaan normal akan ditempati oleh ACh. Jika senyawa organofosfat digunakan
sebagai senyawa P=S, seperti paration atau malation, maka mula-mula memerlukan
aktivasi metabolik menjadi analog P=O, yang disebut okson, agar memiliki aktivitas
antikolin esterase (anti-AChE). Reaksi aktivasi ini biasanya dikatalisis oleh sistem
sitokrom P450. Okson tersebut lalu terikat pada sisi aktif dan mengalami pemecahan
dan melepaskan alkohol atau tiol, dan menyisakan enzim terfosforilasi (Gbr. 1).

2
Inaktivasi enzim ini berlanjut hingga terjadinya hidrolisis enzim terfosforilasi itu.
Waktu yang diperlukan untuk reaktivasi enzim bebas bervariasi menurut senyawa
organofosfatnya mulai dari beberapa jam hingga beberapa hari. Pada beberapa
senyawa, seperti paraokson, akan terjadi reaksi tambahan yang disebut “aging”.
Reaksi ini menstabilkan enzim terfosforilasi sehingga enzim tersebut terhambat
secara irreversibel. Dalam hal ini, sintesis AChE yang baru diperlukan agar aktivitas
enzim tersebut kembali membaik.
Pestisida karbamat mirip dengan pestisida organofosfat yang juga berikatan
dengan sisi aktif dari AChE, membentuk enzim yang terkarbamilasi. Enzim
terkarbamilasi ini, berbeda dengan enzim terfosforilasi, cepat terhidrolisis dan
tereaktivasi. Tanda-tanda dan gejala-gejala keracunan karbamat adalah khas
penghambatan koline esterase, seperti pusing, mual dan muntah, keringat dingin,
penglihatan kabur, salivasi berlebihan, kelelahan, nyeri dada, miosis, dan konvulsi
pada kasus yang parah.

Piretrin dan Piretroid.


Serbuk dari kembang piretrum (Chrysanthemum) telah digunakan secara
komersial sebagai insektisida sejak akhir abad ke-19.
Atas dasar tanda-tanda toksisitas akut pada mamalia, piretroid sintetik dapat
dibedakan dalam 2 golongan. Piretroid jenis I menimbulkan tremor pada mencit dan
tikus yang mula-mula terlihat pada kaki, lalu menyebar ke seluruh tubuh. Suhu tubuh
meningkat drastis selama terjadinya tremor. Efek ini mirip dengan efek yang
ditimbulkan oleh DDT. Piretroid jenis II menibulkan salivasi berlebihan yang diikuti
dengan berkebangnya tremor seluruh tubuh.
Semua jenis piretroid mempengaruhi kanal natrium dalam membran saraf dan
berikatan dengan ikatan yang sangat kuat. Ikatan ini mengakibatkan perubahan
kinetika pembukaan kanal natrium yang menyebabkan hiperaktivitas sistem saraf.
Meskipun interaksi dengan kanal natrium merupakan sisi aksi utama dari piretroid,
namun ini bukanlah satu-satunya aksinya. Selain itu, beberapa piretroid berikatan
dengan kompleks reseptor asam gama-amino butirat (GABA) – kanal klorida dalam
SSP, dengan jenis II yang lebih kuat. Yang lainnya menghambat Ca2+, Mg2+-ATPase,
mengakibatkan peningkatan kadar kalsium intraseluler, peningkatan pelepasan
neurotransmiter, dan depolarisasi pascasinaps.

DDT
Meskipun pemaparan terhadap DDT atau turunannya dapat menyebabkan
respon toksik akut, namun sangat sedikit kematian yang dilaporkan. Setelah
termakan, efek dini yang timbul adalah parestesia pada lidah, bibir, dan wajah serta
gangguan fungsi motorik yang menyebabkan ataksia dan langkah yang tidak normal.
Gejala-gejala ini adalah khas yang diikuti dengan kantuk, pusing, muntah, sakit
kepala, dan kelelahan. Tremor, khususnya pada tangan, adalah gejala umum
keracunan DDT. Mula gejala bisa dalam waktu 30 menit setelah menelan dosis besar
atau bisa tertunda hingga 6 jam setelah dosis yang lebih kecil. Pemaparan kulit dan
inhalasi jarang dilaporkan menimbulkan efek neurotoksik yang bermakna.
Mekanisme efek toksik DDT berasal dari aksinya pada sistem saraf, mungkin
dengan cara memperlambat penutupan kanal natrium. Selain itu, DDT mempengaruhi
3
permeabilitas membran saraf terhadap ion kalium dan menghambat ATPase yang
berperan penting dalam repolarisasi saaf.

Toksikan Alami
Banyak senyawa kimia eksogen dapat mempengaruhi sisi ikatan presinaps
dan pascasinaps dari persambungan saraf otot, dan beberapa senyawa yang sangat
beracun memiliki aksi toksik berdasarkan kemampuannya mengganggu penghantaran
impuls saraf pada persambungan ini. Sejumlah toksikan yang terdapat secara alami
termasuk dalam kategori ini.

Tubokurarin
Berasal dari tumbuhan Chondrodendron tomentosuni, merupakan racun
mematikan dengan bekerja memblok secara irreversibel sisi reseptor ACh dari saraf
motorik tertentu. Kurare dan obat-obat yang serupa beraksi sebagai antagonis
kompetitif dari ACh pada membran pasca persambungan dari serabut otot,
mengurangi atau memblok aksi transmiter dari ACh. Senyawa ini digunakan secarar
farmakologik sebagai relaksan otot.

Toksin Botulinum
Merupakan neurotoksin yang labil pada panas, dihasilkan oleh
mikroorganisme Clostridium botulinum. Toksin ini berikatan ireversibel dengan
ujung akson sehingga mencegah pelepasan ACh. Botulisme, salah satu penyakit yang
disebabkan oleh bakteri pada makanan, terutama makanan kalengan yang
pengawetannya kurang sempurna, sehingga toksin ini dapat tumbuh di dalamnya.
Namun demikian, memasak makanan ini sebelum dimakan akan menghancurkan
toksin tersebut.

Tetrodotoksin
Merupakan toksin dari ikan puffer (Tetraodontidae). Senyawa ini memblok
secara selektif kanal natrium sepanjang sel saraf (akson), sehingga mencegah arus
natrium masuk tetapi tidak mempengaruhi arus kalsium keluar.

Batrakotoksin
Merupakan racun yang digunakan pada ujung anak panah dan ditemukan pada
kulit dari kodok Amerika Selatan Phyllobates aurotaenia. Aksi batrakotoksin
berlawanan dengan efek totrodotoksin terhadap kanal natrium.

INHIBITOR TRANSPOR ELEKTRON


Sistem transpor elektron terdiri dari serangkaian reaksi oksidasi reduksi
dengan tahap akhir reduksi oksigen (O2) menjadi air (H2O). Dalam proses tersebut
energi dalam bentuk ATP dihasilkan. Enzim yang terlibat dalam respirasi seluler
terdapat di dalam mitokondria. Karena peranan kritis dari respirasi seluler dan
produksi ATP, maka zat kimia yang menghambat atau menggagalkan respirasi bisa
menjadi toksikan akut ataupun kronik yang sangat kuat.
Sianida

4
Sianida adalah racun yang paling cepat bekerja di antara berbagai racun. Zat
ini cepat diabsorbsi melalui semua rute, termasuk kulit dan membran mukosa, serta
melalui inhalasi. Memakan sianida dalam jumlah yang sangat kecil saja sudah dapat
menyebabkan kematian dalam hitungan menit atau jam, bergantung pada rute
pemaparan. Inhalasi gas hidrogen sianida (HCN) menyebabkan kematian dalam
beberapa menit. Ahli kimia Karl Willem Scheele, penemu asam hidrosianat (asam
prussad), mati karena uapnya. Sianida adalah komponen umum dari racun tikus dan
hama lainnya, penyepuh perak dan logam, proses pemurnian bijih, larutan pencuci
foto, dan produk fumigasi. Sianida juga terdapat dalam biji-biji buah apel, persik,
prem, aprikot, ceri, dan almond dalam bentuk amigdalin, suatu glikosida sianogenik.
Sianida dapat lepas dari glukosida amigdalin melalui aksi ß-glukosidase, yang
terdapat dalam biji-bijian yang telah dihancurkan tersebut dan dalam mikroflora usus
mamalia.
Sumber lain yang potensial untuk keracunan sianida adalah obat natrium
nitroprusida, yang digunakan sebagai antihipertensi. Overdosis dari obat ini dapat
menyebabkan keracunan sianida. Sianida menimbulkan efek toksik dengan
mengganggu transpor elektron dalam rantai sitokrom mitokondria. Sistem ini terdiri
dari 3 macam enzim, yaitu sitokrom c, a, dan a3. Sitokrom a dan a3 merupakan bagian
dari kompleks multiprotein yang besar yang dikenal sebagai sitokrom oksidase (Gbr.
2). Sianida berkompleks dengan heme dari sitokrom terminal, sehingga mencegah
ikatan heme dengan oksigen. Akibat penghambatan oleh sianida ini, transfer elektron
ke oksigen molekuler terhambat dan menyebabkan kematian sel. Kematian karena
keracunan sianida disebabkan oleh penghentian pernapasan. Gejala-gejala yang
terjadi secara berentetan adalah salivasi, pusing, sakit kepala, palpitasi, sesak napas,
dan tidak sadar.

sit. c+3 sit. a+2 sit. a3+3 OH

HbO2

sit. c+2 sit. a+3 sit. a3+2 [O]

Deoksi Hb
HCN

NO2- CN-
HbO2 MetHb CNMetHb

CN-
S2O3= SCN- + SO3=
Rhodanese

Gbr. 2. Keracunan sianida dan pengobatannya

5
Secara khas, sianida memiliki rasa pahit dan membakar; selain itu, terdapat
bau almond. Namun diperkirakan bahwa 20 hingga 40 % populasi secara genetik
tidak mampu mendeteksi bau sianida. Pengobatan keracunan sianida yang dianjurkan
(gbr. 2) terdiri dari 3 tahap. Tahap pertama, pemberian amil nitrat melalui inhalasi.
Tahap kedua, pemberian intravena natrium nitrit. Zat-zat ini mengoksidasi besi heme
hemoglobin dari fero (+2) menjadi feri (+3); pada tahap ini terbentuk pigmen coklat
kehijauan hingga hitam yang dikenal sebagai methemoglobin. Ion feri dari
methemoglobin bergabung dengan sianida dari plasma, menyebabkan disosiasi
sianida yang terikat dengan sitokrom oksidase. Tahap ketiga, penyuntikan natrium
tiosulfat. Zat ini memberikan substrat bagi enzim rhodanase (tiosulfat sulfur
transferase) yang mengkatalisis konversi sianida menjadi tiosianat, yaitu bentuk
nontoksik dan segera diekskresi.

Inhibitor-inhibitor Lain
a. Azida, seperti sianida, menghambat sitokrom oksidase dan menghasilkan
kerusakan biokimiawi yang sama.
b. Hidrogen sulfida juga menghambat sitokrom oksidase in vitro dan
diperkirakan memiliki mode aksi yang sama dengan hidrogen sianida.
c. Karbon monooksida berikatan langsung dengan hemoglobin, membentuk
kompleks karboksihemoglobin yang stabil, sehingga mencegah asosiasi oksigen
molekuler dengan hemoglobin.

PENGGANGGU FOSFORILASI OKSIDATIF


Zat-zat pengganggu membiarkan transpor elektron berlangsung tetapi
mencegah fosforilasi ADP menjadi ATP. Pengganggu in vitro diketahui merangsang
laju asupan oksigen oleh mitokondria, sekalipun tanpa ADP atau ion fosfat
anorganik, serta menginduksi aktivitas ATPase, yang secara normal rendah dalam
mitokondria. Zat pengganggu yang pertama dikenal adalah herbisida 2,4-dinitrofenol.
Kebanyakan senyawa pengganggu bersifat lipofilik, asam lemah, biasanya
mengandung satu cincin aromatik. Zat-zat lain yang dikenal adalah fenol berhalogen,
nitrofenol, dikumarin, karbionil sianida fenilhidrazon, salisilanilida, atebrin
(antimalaria), dan arsenat (Gbr. 3).
Zat-zat pengganggu ini diperkirakan memecah atau menghilangkan muatan
bentuk energi tinggi atau zat antara yang dihasilkan melalui transpor elektron. Zat-zat
ini dapat mempersingkat arus proton dengan mengangkut proton langsung melalui
membran mitokondria, yang secara normal tidak permeabel. “Pengusikan” ini
meningkatkan konsumsi oksigen dan produksi panas. Pada manusia, hal ini
mengakibatkan hipertermia, dan gejala-gejalanya meliputi pernapasan cepat dan
denyut nadi kencang, kulit memerah, berkeringat, mual, dan koma. Gejala-gejala ini
berlangsung singkat, dengan kematian akibat hipertermia atau pemulihan biasanya
berlangsung dalam 24 hingga 48 jam.

6
NO2
O O O O

NO2
OH OH
OH

Dikumarol Dinitrofenol

Cl

F3CO NHN C(CN)2 Cl Cl

Cl Cl

Trifluorokarbonilsianida Cl
fenilhidrazon
Pentaklorofenol

Gbr. 3 Beberapa contoh senyawa yang mengganggu fosforilasi oksidatif

Вам также может понравиться