Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Menurut Amir Syarifuddin hukum Allah SWT dapat ditemukan dalam al-Qur’an dengan tiga bentuk
penjelasan. Jelaskan secara berurutan tiga bentuk tersebut.
Hukum Allah dapat ditemukan dalam ibarat lafazh Al-Qur’an menurut yang disebutkan secara
harfiah. Bentuk ini disebut “hukum yang tersurat dalam al-Qur’an”.
Hukum Allah tidak dapat ditemukan secara harfiah dalam lafazh al-Qur’an maupun sunnah, tetapi
dapat ditemukan melalui isyarat atau petunjuk dari lafazh yang disebutkan dalam al-Qur’an.
Hukum dalam bentuk ini disebut “hukum yang tersirat dibalik lafazh al-Qur’an”.
Hukum Allah tidak dapat ditemukan dari harfiah lafazh dan tidak pula dari isyarat suatu lafazh
yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah, tetapi dapat ditemukan dalam jiwa dari keseluruhan
maksud Allah dalam menetapkan hukum. Hukum Allah dalam bentuk ini disebut: “hukum yang
tersuruk (tersembunyi) dibalik al-Qur’an.
2. Terkait dengan no. 1, jelaskan dalam bentuk mana, peranan ra’yu kecil atau tidak ada, sedang dan
besar, berilah contoh.
3. Bagaimana kekuatan hukum yang digali mujtahid dengan nalarnya. Ada yang qath’i dan ada yang
dlanni. Jelaskan
1. Ijtihad fardi (perseorangan) ialah ijtihad yang dilakukan secara mandiri oleh seseorang
yang mempunyai keahlian dan ijtihadnya belum dapat persetujuan dari ulama atau mujtahid
lain. Ijtihad fardi maerupakan langkah awal atau dasar dalam mewujudkan ijtihad kolektif.
Kalau tidak teardapata individu yang mampu dan ahli ijtihad, maka tidak akan terjadi ijtihad
kolektif yang sangat dibutuhkan keberadaannya.
2. Ijtihad jama’i (kolektif) ialah ijtihad yang dilakukan secara bersama atau bermusyawarah
terhadap suatu masalah, dan pengamalan hasilnya menjadi tanggungjawab bersama.
5. Jelaskan definisi ijma’ menurut bahasa dan istilah
1. Ijma` berarti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu
a. Al Ghazali, ijma` yaitu kesepakatan umat Muhammad SAW secara khusus atas sesuatu
urusan agama
b. Al Midi, ijma` yaitu kesepakatan sejumlah ahlul halli wal `Aqd ( para ahli yang kompeten
dalam mengurusi umat ) dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus.
Atau kesepakatan para mukallaf dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu
kasus.
c. Ulama Syi`ah, ijma` yaitu kesepakatan suatu komunitas karena kesepakatan mereka
dalam menetapkan hukum syara`.
d. Al Nazham, ijma` yaitu setiap perkataan yang hujjahnya tidak dapat dibantah.
e. Abdul Wahab Khallaf, ijma` yaitu consensus semua mujtahid muslim pada suatu masa
setelah Rasul wafat atassuatu hukum syara` mengenai suatu kasus.
6. Sebutkan satu ayat dan satu hadits ( dalil naqli) yang menjelaskan kedudukan ijma’ sebagai dalil
hukum.
Ayat
Hadits
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…..
علَىَ لَ ْم يَ ُك ِن هلَّلاُ ليَجْ َم َع ا َ همتِي.ِضالَ لَة َ لَ ْم يَ ُك ِن هلَّلاُ بِا له ِذي ِ يَجْ َم ُع ا َ همتِي. ضالَ لَ ِة
علَى ال ه علَى ال ه َ علَى ْال َخ
َ ا َ همتِي الَ تَجْ تَمِ ُع. ط ِأ َ ا َ همتِي الَ تَجْ تَمِ ُع
َ ْال َخ
.ِطأ
Umatku tidak akan sepakat untuk melakukan kesalahan. Umatku tidak akan sepakat
melakukan kesesatan. Allah tidak akan membuat umatku sepakat untuk melakukan kesesatan. Allah
tidak akan membuat umatku sepakat untuk melakukan kesalahan.
*Ulama syi’ah tidak menganggap ijma’ sebagai dalil yang berdiri sendiri disamping
al-qur’an dan sunnah. Ijma diterima hanya dalam kedudukannya menyingkapkan atau
menjelaskan adanya sunnah dalam arti ucapan atau perbuatn orang-orang yang
terpelihara dari kesalahan ( ma’shum ).
*Ulama syi’ah berpendapat ijma’ itu menunujkan jalan untuk mengetahui adanya
hukum syara’, ijma’ sama sekali bukan lembaga yang dapat menetapkan hukum
syara’ sebagaimana yang dianggap oleh ahlus-sunnah.
8. Bagaimana fungsi ijma’, jika ijma’ itu disandarkan kepada nash atau qiyas ?
Dalam pandangan ulama yang mengharuskan adanya sandaran untuk suatu ijma’, dalam
bentuk nash atau qiyas , maka ijma’ itu berfungsi untuk meningkatkan kualitas dalil yang dijadikan
sandaran itu. Melalui ijma’, dalil yang asalnya lemah atau zanniy menjadi dalil yang kuat atau qoth’I,
baik dalil itu berbentuk nash atau qiyas.
kedudukan ijma’ sesudah masa sahabat terdapat perbedaan ulama mengenai, dalam hal
apakah ijma’ itu hanya terbatas pada masa sahabat dan tidak berlaku sesudahnya. Kebanyakan ulama
yang menyatakan bahwa ijma’ itu mempunyai kekuatan hujah berpendapat bahwa ijma’ tidak hanya
berlaku pada masa sahabat saja, tetapi pada setiap masa ijma’ itu mempunyai kekuatan hujah
bilamana memenuhi ketentuannya. Alasan yang dikemukakan oleh kelompok ini ialah bahwa dalil-
dalil yang menunjukkan ijma’ tidak keluar dari al-qur’an, sunnah, dan logika. Setiap dalil itu tidak
memisahkan antara penduduk satu masa dengan masa lainnya. Dalil ini pun menjangkau para ahli
pada masa sahabat. Karena itu ijma’ pada setiap masa mempunyai kekuatan hukum atau hujjah.
kedudukan ijma’ulama Madinah, bilamana ulama madinah sepakat tentang sesuatu hukam
atas sesuatu kejadian, sedangkan ulama lain mengemukakan pendapat yang berbeda, dapatkah
kesepakatan ulama madinah itu dianggap ijma’. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di
kalangan ulama.
a. Jumhur ulama berpendapat bahwa kesepakatan ulama madinah saja tidak merupakan kekuatan
hujjah terhadap ulama lain yang tidak sependapat dengan itu karena kesepakatan ulama madinah
itu bukan ijma’. Alasan jumhur ulama ini adalah bahwa dalil-dalil yang menunjukkan kehujjahan
ijma’ itu, juga mencakup ulama-ulama lain di luar madinah. Tanpa keikutsertaan ulama lain
didalamnya, maka tidak dapat dinamakan kesepakatan ulama itu sebagai “seluruh umat”.
Karenanya kesepakatan mereka tidak dapat disebut ijma’, dengan sendirinya tidak berdaya hujah
terhadap ang lain. pendapat ini dianggap yang terpilih menurut al-amidi.
b. Ulama malikiyah mengatakan bahwa, kesepakatan ulama madinah adalah ijma dan mempunyai
kekuatan hujah terhadap ulama lain yang menyalahinya. Di antara ilam malikiyah ada yang
menjelaskan mengenai yang dimaksud dengan kehujahan kesepakatan ulama madaniah iu adalah
bahwa periwayatan ulama madaniyah lebih kuat dibandingkan dengan periwayatan ulama ian di
luar madinah. Sedangkan ulama malikiyah yang lain mengulas bahwa kehujjahan berarti
kesepakatan ulama madinahlebih utama meskipun tidak dilarang menyalahinnya. Ulama
malikiyah yang lain meluruskan pendapat ini bahwa yang dimaksud dengan ulama madinah yang
kesepakatannya menjadi hujjah itu adalah sehabat-sahabat nabi di madinah.
10. Jelaskan pengertian dan kedudukan ijma’ sharih dan ijma’ sukuti
Kedudukan ijma sukuti : ijma sukuti bersifat dzanni ( dugaan kuat tentang
kebenarannya), karena tidak terhalang bagi mujtahid lain dikemudian hari
untuk mengemukakan pendapaat berbeda sesudah ijma’ tersebut berlangsung.
Perbedaan pendapat para ulama dalam menempatkam ijma sukuti sebagai
hujjah syar’iyyah
a. Imam syafii dan pengikutnya berpendapat bahwa ijma sukuti bukan ijma
yang dipandang sebagai sumber hukum dan dengan sendirinya tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
b. Imam ahmad dan kebanyakan ulama hanafiyah, sebagian syafi’iyah dan al-
jubaai’ (ulama mu’tazilah) ijma sukuti mempunya kekuatan hukum yang
mengikat sebagai hujjah.
c. Sebagian ulama lain, antara lain Abu hasyim berpendapat ijma sukuti
bukanlah ijma, meskipun demikian ia dapat menyanggah hasil ijma
tersebut.
d. Abu ali ibn abi hurairah (syafiiyah) bahwa pendapat yang dikemukakan
dan tidak dibantah itu bila diungkapkan dalam bentuk tindakan atau
menetapkan putusan hukum dalam pengadilan, dan tidak ada ulama yang
menyanggahnya, maka diamnya ulama tidak bisa dikatakan ijma.
11. Bagaimana hukumnya orang yang mengingkari ijma’ dalam keadaan ia tahu sudah ada ijma’ ?
Jelaskan perbedaan pendapat ulama dan argumentasinya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa mengingkari hukum yang sudah ditetapkan ijma adalah
kafir. Ulama lain menolak mengkafirkan orang yang mengingkari ijma. Mereka juga sepakat tentang
tidak kafirnya orang yang mengingkari ijma yang zhanni.
Para ulam yang menyatakan kafir orang yang mengingkari ijma yang qathi berpendapat bahwa
keingkaran akan hukum ijma mengandung arti mengingkari dalil qathi. Ini berarti mengingkari
kebenaran risalah Nabi SAW. hal ini dianggap kafir karena bertentangan dengan Al-Quran dan as-
sunnah.
Ulama yang tidak mengkafirkan orang yang mengingkari ijma beralasan bahwa dalil tentang kekuatan
hujjah ijma berdasrkan pada dalil yang tidak qathi’ tetapi hanya zhanni. Karenanya tidak
menimbulkan hukum yang meyakinkan. Dengan demikian kita tidak dapat mengkafirkan orang yang
memang secara prinsip tidak meyakini ke-qathi’-an hasil ijma’.
pendapat yang kuat dalam hal ini adalah bahwa seseorang yang meningkari “cara menetapkan hukum
syara” tidak kafir. Tetaapi seseorang yang mengakui sesuatu sebagai hukum syara’, namun ia dengan
sadar mengingkarinya, berarti ia mengingkari syara’. Mengingkari sebagian dari hukum syara’ ,
berarti mengingkari hukum syara’ secara umum ini berate telah keluar dari islam.
Qiyas menurut bahasa berarti mengukur ()التقدير, persamaan ()المساوة, mengetahui dengan
anggapan ()اإلعتبار, seperti kalimat “ قست االرض بالمترAku mengukur tanah dengan satuan meter”, قست
“ الثوب بالذراعAku mengukur baju dengan menggunakan siku/hasta”. qiyas mengharuskan adanya dua
perkara, yang salah satunya disandarkan kepada yang lain secara sama. Dapat ditarik sebuah
kesimpulan, Qiyas menurut bahasa berarti mengukur, membandingkan, atau menyamakan sesuatu
dengan yang lain.
Qiyas menurut istilah ushul figh adalah menyertakan suatu perkara terhadap perkara yang
lainnya dalam hukum syara’ karena terdapat kesamaan ‘illat diantara keduanya. Yang menyebabkan
adanya qiyas adalah adanya kesamaan antara al-maqis (perkara yang diqiyaskan) dengan al-maqis
alaih (perkara yang diqiyasi) dalam satu perkara, yakni adanya penyatu antara keduanya. Perkara
tersebut adalah ‘illat.
Dalil naqli :
1. al-Qur’an
Allah SWT berfirman :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan ulil amri kamu,
kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan
Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kiamat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan
lebih baik akibatnya. (an-Nisa’:59)
Dari ayat diatas dapat diambil pengertian bahwa Allah SWT. Memerintahkan kaum muslimin
agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Jika tidak terdapat dalam al-
Qur’an dan al-Hadits maka hendaklah mengikuti pendapat Ulil Amri. Jika tidak ada pendapat dari Ulil
Amri, boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada al-Qur’an dan al-Hadits, yaitu
dengan menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-
Hadits.
2. al-Hadits
setelah Rasulullah melantik Mu’adz bin Jabal sebagai gubenur Yaman, beliau bertanya
kepadanya: Artinya
"Bagaimana (cara) kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu?
Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur'an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam
al-Qur'an? Mu'adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak
memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu'adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan
menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu'adz berkata): Lalu Rasulullah
menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang
diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR.
Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)
Hadits ini dapat dipahami bahwa seseorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan
hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang dapat dijadikan
sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah
dengan menggunakan qiyas.
Dalil aqli :
1) Pendapat jumhur ulama ushul fiqh, mengatakan bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode
atau sarana mengistinbatkan hukum syara’. Bahkan menurut jumhur, mengamalkan qiyas
adalah wajib. Jumhur Ulama yang menjadikan qiyas sebagai landasan hukum, mereka
menggunakan qiyas dalam suatu peristiwa yang tidak terdapat hukumnya dalam nash al-
Qur’an, as-Sunnah ataupun Ijma’ para sahabat.
2) Pendapat ulama Zhahiriyyah, termasuk Imam al-Syawkani, bahwa secara logika, qiyas
memang diperbolehkan, tetapi tidak ada satu nash pun dalam al-Qur’an yang menyatakan
wajib melaksanakannya. Kelompok ulama Zahiriyah dan Syi’ah Imamiyah mereka sama
sekali tidak menggunakan qiyas sebagai landasan hukum. Mazhab Zahiriyah tidak mengakui
adalanya ‘Illat atas suatu hukum dan menganggap tidak perlu sasaran dan tujuan nash
termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang
sesuai dengan ‘Illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
3) Pendapat syi’ah Imamiyah dan al-Nazhzham dari mu’tazilah, berpendapat bahwa qiyas tidak
bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan, karena kewajiban mengamalkan
qiyas adalah sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal.
4) Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Mereka pun berusaha
menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan ‘Illat diantara keduanya, kadang-
kadang memberi kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas, sehingga qiyas itu dapat
membatasi keumuman sebagaian ayat al-Qur’an dan as-Sunnah.
1. Al-Ashlu ()األصل
Para fuqaha mendefinisikan al-Ashlu sebagai objek qiyas, dimana suatu permasalahan tertentu
dikiaskan kepadanya al-Maqîs 'Alaihi ( )مقيس عليهdan Musyabbah Bih ( )مشبه بهyaitu tempat
menyerupakan, juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya
berdasar nash (al-Qur’an Hadits, Ijma’). Misalnya, Khamar yang ditegaskan keharamannya dalam
surat al-maidah: 90.
Contoh, pengharaman ganja sebagai qiyas dari minuman keras adalah dengan menempatkan
minuman keras sebagai sesuatu yang telah jelas keharmannya, karena suatu bentuk dasar tidak boleh
terlepas dan selalu dibutuhkan. Dengan demiklian maka al-Ashlu adalah objek qiyas, dimana suatu
permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya
2. Adanya hukum Ashal ()حكم األصل, yaitu hukum syara’ yang terdapat pada Ashal yang hendak
ditetapkan pada Far’u (cabang) dengan jalan qiyas. Syarat-syarat hukum ashal menurut Abu Zahrah,
antara lain:
a) Hukum ashal hendaknya hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan, karena yang
menjadi kajian ushul fiqh adalah hukum yang menyangkut amal perbuatan.
b) Hukum ashal dapat ditelususri ‘‘Illat hukumnya, seperti hukum haramnya khamar dapat
ditelusuri mengapa khamar itu diharamkan, yaitu karena memabukkan. Bukan hukum-hukum yang
tidak dapat diketahui ‘‘Illat hukumnya ()غير معقول معنى, seperti masalah bilangan makna.
c) Hukum ashal itu lebih dahulu disyari’atkan dari Far’u, dalam hal ini tidak boleh mengqiyaskan
wudhu dengan tayamum, sekalipun ‘‘Illat-nya sama, karena syari’at wudhu dahulu turunnya dari pada
tayamum.
3. Far’u ( )فرعyaitu sesuatu yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam al-Qur’an, Sunnah, atau Ijma’
yang hendak ditemukan hukumnya melalui qiyas.
Para ulama Ushul Fiqh mengemukakan empat syarat yang harus dipenuhi:
a.‘Illat-nya sama dengan ‘Illat yang ada pada nash, baik pada zatnya maupun pada jenisnya, contoh
‘‘Illat yang sama zatnya adalah mengqiyaskan wisky pada khamar, karena keduanya sama-sama
memabukkan dan yang memabukkan itu sedikit atau banyak, apabila diminum hukumnya haram.
‘‘Illat yang ada pada wisky sama zat atau materinya dengan ‘‘Illat yang ada pada khamar. Contoh
yang jenisnya sama adalah mengqiyaskan wajib qishas atas perbuatan sewenag-wenang terhadap
anggota badan kepada qishash dalam pembunuhan, karena keduanya sama-sama perbuatan pidana.
b.Hukum ashal tidak berubah setelah diqiyaskan.
c. Hukum Far’u tidak mendahului hukum ashal, artinya hukum Far’u itu harus datang kemudian dari
hukum ashl.
d. Tidak ada nash atau’Ijma yang menjelaskan hukum Far’u, artinya tidak ada nash atau ijma’ yang
menjelaskan hukum Far’u dan hukum itu bertentangan dengan qiyas, karena jika demikian, maka
status qiyas ketika itu bisa bertentangan dengan nash atau ijma’
15. Jelaskan definisi illat dan syarat-syarat suatu sifat bisa dipilih menjadi ‘illat hukum.
Secara etimologi, ‘Illat berarti nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu
yang lain. Misalnya, memabukkan adalah sifat yang ada pada khamar yang menjadi dasar
pengharamannya, dengan adanya sifat memabukkan inilah diketahui pengharaman terhadap semua
minuman keras yang memabukkan.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi ‘Illat yang dikemukakan ulama ushul fiqh.
Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian ulama Hanbaliyah dan Imam Baidhawi (tokoh ushul fiqh
Syafi’iyyah), merumuskan definisi ‘Illat sebagai berikut:
الوصف المعرف للحكم: العلة هي
‘Illat ialah; “Suatu sifat (yang berfungsi) sebagai pengenal bagi suatu hukum.”
Maksud sebagai pengenal bagi suatu hukum ialah, apabila terdapat suatu ‘Illat pada sesuatu, maka
hukum pun ada, karena dari keberadaan ‘Illat itulah hukum itu dikenal. Kalimat ‘sifat pengenal’
dalam rumusan definisi tersebut, menurut mereka, sebagai tanda atau indikasi keberadaan suatu
hukum.
Syarat-Syarat ‘‘Illat
Para Ulama ushul Fiqh mengemukakan sejumlah syarat ‘Illat yang dapat dijadikan sebagai sifat dalam
menentukan suatu hukum, diantaranya adalah:
1) ‘Illat mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum.
Maksudnya, fungsi ‘Illat adalah bagian dari tujuan disyari’atkannya hukum, yaitu untuk kemaslahatan
umat manusia.
2) ‘Illat itu adalah suatu sifat yang jelas, nyata ( )ظاهرهdan dapat ditangkap indera manusia. Karena
‘Illat merupakan pertanda adanya hukum. Contohnya: sifat memabukkan bagi haramnya khamar dan
minuman keras lainnya. Sifat memabukkan itu jelas, dapat disaksikan dan dapat dibedakan dengan
sifat serta keadaan lain. Karena jelasnya, maka ‘Illat itu dapat diketahui hubungannya dengan hukum.
3) ‘Illat itu dapat diukur dan berlaku untuk semua orang. Maksudnya, ‘Illat itu memiliki hakikat
tertentu dan terbatas, berlaku untuk setiap orang dan keadaan. Misalnya, pembunuhan merupakan
‘Illat yang menghalangi seseorang mendapatkan harta warisan dari orang yang dibunuh. ‘Illat ini bisa
diterapkan kepada pembunuh dalam kasus wasiat.
4) Harus ada hubungan keserasian dan kelayakan antara hukum dengan sifat yang akan menjadi
‘Illat. Maksudnya, ‘Illat yang ditentukan berdasarkan analisis mujtahid sesuai dengan hukum yang
diqiyaskan. Contohnya; sakit menjadi ‘Illat bolehnya seseorang membatalkan puasa. Sifat yang tidak
ada hubungan kesesuaian dengan hukum tidak dapat dijadikan ‘Illat, seperti mengantuk dijadikan
‘Illat bagi bolehnya berbuka puasa.
5) ‘Illat itu tidak bertentangan dengan nash atau ijma’.
6) ‘Illat itu tidak datang belakangan dari hukum Ashl. Maksudnya, hukumnya telah ada, baru
datang ‘Illat-nya.
16. Jelaskan pengertian disertai contoh : مناسب مرسل, مناسب ملغاة,مناسب مالءم,مناسب مؤثر
Munasib al-mu’atstsir adalah munasib yang ditunjukkan oleh syar’I bahwa itulah illat hukum
dan hukum adalah atsarnya.contoh: dalam al-qur’an surat al-jumu’ah ayat 9. Sighot ayat itu
menunjukkan perintah meninggalkan jual beli apabila telah terdengar adzan untuk solat jum’at. Jadi
adzan solat jum’at menjadi illat untuk meninggalkan jual-beli, karena ada munasabah antara
meninggalkan jual beli dengan adzan jum’at yaitu memelihara sholat.
Munasib mula’im adalah munasib yang tidak dii’tibarkan syara dengan dzatnya akan tetapi,
ada dalil lain baik nash atau ijma yang menunjukkan bahwa munasib tersebut adalah illat hukum.
Contohnya dalam hadits Nabi yang artinya “ tidak boleh menikahi gadis yang masih kecil kecuali
walinya”. Di sini jelas menetapkan waliyat al-tamyiz terhadap perawan yang masih kecil adalah
walinya. Akan tetapi, tidak jelas betul apakah apakah karena anak tadi perawan atau karena masih
kecil. Yang keduanya adalah munasabah yang kedua-duanya bertujuan sama yaitu untuk menolak
kemadhorotan terhadap perempuan yang masis kecil.
Munasabah mulghoh adalah sesuatu yang sepintas lalu menimbulkan persangkaan bahwa hal
tersebut menimbulkan hikmah akan tetapi ternyata ada dalil syara bahwa munasib tersebut tidak
diakui syara dan dilarang syara.contoh: mempersamakan hak laki-laki dengan hak anak perempuan
dalam warisan, secara dhahir ini adalah hal yang ditolak oleh syariat dengan firman Allah q.s. an-nisa
ayat 11.
Munasib mursal adalah sesuatu yang jelas bagi mujtahid bahwa menetapkan hukum azasnya
mewujudkan kemaslahatan akan tetapi tidak ada dalil yang menunjukkan secara terperinci bahwa
bahwa syara melarang atau membolehkannya. Contoh: tidak sah akad pernikahan kecuali apabila
umur si pengantin wanita16 tahun dan si pengantin laki 18 tahun.
17. Apa pengertian مسالك علةdan mengapa perlu ada pembahasan khusus mengenai ? مسالك علة
Masalik al-illat adalah cara atau metode untuk mengetahui illat dalam suatu hukum atau hal-
hal yang memberi petunjuk kepada kita adanya illat dalam suatu hukum.
18. Secara garis besar ada berapa metode menetapkan ‘illat ( ?) مسالك علة
Ada 10, yaitu nash, ijma’, al ima’ wa al-tanbih, sabru wa taqsim, takhrijul manath, tanqihul
manath, thard, syabah, dawran, ilgha al-fariq.
19. apa perbedaan تحقيق المناط, تخريج المناط, تنقيح المناطdisertai contoh.
Takhrij al-manath adalah mencari dan mengeluarkan illat sampai diketahui, apabila tidak
diketahui dengan menggunakan nash dan ijma. Contoh: pembunuhan yang diancam dengan sanksi
qishosh yaitu pembunuhan sengaja dengan menggunakan alat-alat yang biasanya mematikan manusia,
maka diqiyaskan kepada alat itu. Segala alat yang bisa mematikan baik digunakan dizaman rosul
ataupun tidak.
Tanqikh al-manath adalah membersihkan dan menetapkan satu illat dari illat yang lain.
contoh: orang yang membatalkan puasa ramadhan dengan jima diancam dengan sanksi membebaskan
budak, bila tidak sanggup dengan puasa 2 bulan berturut-turut, dan apabila tidak sanggup, harus
memberikan makan sebanyak 60 orang miskin.
Tahqiq al-manath adalah penerapan dari satu illat yang telah diketahui terhadap beberapa
masalah. Contoh: memabukkan adalah illat dari minum-minuman yang haram.
قياس األوالوي,adalah qiyas dimana ‘illat pada far’ lebih kuat dari illat pada hukum asal.
Contoh: meng-qiyas-kan. keharaman memukul orang tua pada ucapan “uf” (barkata kasar) terhadap
orang tua dengan illat “menyakiti”. Keharaman pada “memukul” lebih kuat dari pada keharaman pada
ucapan “uf”, karena sifat menyakiti yang terdapat pada memukul lebih kuat dari yang terdapat pada
ucapan “uf”.
قياس المساوى, adalah qiyas dimana illat pada hukum far’ sama dengan illat pada hukum
asal. Contoh: meng-qiyas-kan membakar harta anak yatim kepada memakannya secara tidak patut
dalam menetapkan hukum haramnya. Baik membakar harta anak yatim atau memakannya secara tidak
patut adalah sama-sama merusak harta anak yatim. Oleh karena itu, hukum yang berlaku pada
membakar harta anak yatm persis sama dengan hukum haram pada memakannya pada memakannya
tidak patut.
قياس األدون, adalah qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih lemah dibandingkan
dengan berlakunya hukum pada ashal meskipun qiyas tersebut memenuhi persyaratan. Contoh: meng-
qiyas-kan apel kepada gandum dalam menetapkan riba fadhal, Bila dipertukarkan dengan barang yang
sejenis. Illatnya yaitu makanan. Memberlakukan hukum riba pada apel lebih rendah dari pada
berlakunya hukum riba pada gamdum karena illatnya lebih kuat.
21. Jelaskan maksud kaidah ini dengan diberi contoh : العمل بالدليلين المتعارضين اولى من ألغاء احدهما
Maksud dari kaidah diatas adalahmengamalkan dua dalil yang berbenturan lebih baik dari pada
menyingkirkan satu diantara keduanya
-mempertemukan dan mendekatkan pengertian dua dalil yang diperkirakan berbenturan atau
menjelaskan kedudukan hukum yang ditunjuk oleh kedua dalil itu, sehingga tidak terlihat lagi adanya
perbenturan. Usaha dalam bentuk ini disebut taufiq atau kompromi.
Umpamanya ayat 240 dan ayat 243 surat al-baqarah ini, memang kedua ayat itu secara lahir
berbenturan karena ayat 243 menetapkan iddah bagi istri yang kematian suami adalah 4 bulan 10 hari,
sedangkan ayat 240 menetapkan masa iddahnya satu tahun. Usaha kompromi dalam kasus ini adalah
dengan menjelaskan bahwa yang dimaksud “bersenang-senang selama sethun” (dalama ayat 240)
adalah untuk tinggal dirumah suaminya selama satu tahun kalau ia tidak kawin lagi, sedangkan waktu
tunggu selama 4 bulan 10 hari (dalam ayat 243) maksudnya sebagai larangan untuk kawin lagi dalam
masa itu. Dengan usaha mendekatkan pengertian kedua dalil itu, maka dua dalil yang keliatannya
bertentangan menjadi tidak bertentangan, sehingga masing-masing dapat digunakan pada tempatnya.
a. Nasakh ( )نسخsecara etimologis, kata “nasakh” berasal dari bahasa Arab digunakan dengan
إلزالة, artinya menghilangkan atau meniadakan. Kata nasak digunakan untuk dua arti yang
berbeda, maka terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang arti sebenarnya
(hakiki) dari kata nasakh itu.
Qadhi Abu Bakar dan pengikutnya seperti Ghazali dan lainnya berpendapat bahwa
lata nasakh itu “musytarak” (mengandung arti ganda) antara memindahkan dan
menghilangkan.Nasakh ialah khitab (titah) yang menunjukkan terangkatnya hukum yang
ditetapkan dengan khitab terdahulu dalam bentuk seandainya ia tidak terangkat tentu masih
tetap berlaku di samping hukum yang datang kemudian.
Abu Husein al-Bashri dan ulama lainnya berpendapat bahwa nasakh secara hakiki
berarti menghilangkan, sedangkan pemakaiannya untuk maksud lain adalah secara majazi
(arti kiasan). Abu Husein berargumen bahwa penggunaan kata nasakh dengan arti
memindahkan dalam ucapan: “saya menasakhkan buku itu”. Adalah secara majazi, karena
menurut hakikatnya apa yang ada dalam buku tidak mungkin dipindahkan karena ia masih
tetap ada. Bila arti nasakh dalam kalimat itu bersifat majaz denganarti “memindahkan”, maka
arti hakikinya adalah “menghilangkan”.
Al-Qaffal (bermazhab Syafi’iyyah) berpendapat bahwa nasakh digunakan secara
hakiki untuk “memindahkan” atau “mengalihkan”.
Al-Sarakhsi dari ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kata nasakh dalam arti “menyalin”
atau “memindahkan”, “meniadakan” atau membatalkan” bukan dalam arti hakiki, tetapi
hanya majazi. Dalam kalimat “menasakhkan buku” tidak dalam arti “memindahkan”, karena
sesudah dinasakhkan ternyata buku itu masih tetap di tempat semula, yang terjadi hanyalah
membuat hal yang sama di tempat lain. Menasakhkan hukum juga tidak berarti
“meniadakan”, karena hukum semula masih tetap ada, yang berlaku hanyalah men-syari’at-
kan hukum yang semisal dengan hukum itu untuk masa yang mendatang. Begitu pula nasakh
dalam arti “meniada-kan”, hanyalah dalam arti majazi. Menasakhkan batu tidaklah berarti
“meniadakan” batu itu, tetapi yang terjadi adalah bahwa batu itu terdapat di tempat lain.
b. Tarjih( )ترجيsecara etimologi, tarjih bearti “menguatkan”. Dalam arti istilahi, terdapat beberapa
definisi. Yang lebih kuat diantara definisi itu adalah yang dikemukakan Saifuddin al-Amidi dalam
bukunya Al-Ihkam: ungkapan mengenai diiringinya salah satu dari dua dalil yang pantas yang
menunjukkan kepada apa yang dikehendaki disamping keduanya berbenturan yang mewajibkan untuk
mengamalkan satu diantaranya dan meninggalkan yang satu lagi.
Dari definisi diatas dapat diketahui tarjih dan sekaligus merupakan persyaratan bagi tarjih, yaitu:dua
dalil tersebut berbenturan dan tidak ada kemungkinan untuk mengamalkan keduanya dengan cara
apapun. Dengan demikian, tidak terdapat tarjih dalam dua dallil yang qath’i karena dua dalil qath’i
tidak mungkin saling berbenturan.
- kedua dalil yang berbenturan itu sama-sama pantas untuk membri petunjuk kepada yang di maksud.
- ada petunjuk yang mewajibkan beramal dengan salah satu diantara dua dalil dan meninggal-kan dalil
yang satu lagi.
c. taufiq()توفيق
mempertemukan dan mendekatkan pengertian dua dalil yang diperkirakan berbenturan atau
menjelaskan kedudukan hukum yang ditunjuk oleh kedua dalil itu, sehingga tidak terlihat lagi adanya
perbenturan. Usaha dalam bentuk ini disebut taufiq atau kompromi.
Umpamanya ayat 240 dan ayat 243 surat al-baqarah ini, memang kedua ayat itu secara lahir
berbenturan karena ayat 243 menetapkan iddah bagi istri yang kematian suami adalah 4 bulan 10 hari,
sedangkan ayat 240 menetapkan masa iddahnya satu tahun. Usaha kompromi dalam kasus ini adalah
dengan menjelaskan bahwa yang dimaksud “bersenang-senang selama sethun” (dalama ayat 240)
adalah untuk tinggal dirumah suaminya selama satu tahun kalau ia tidak kawin lagi, sedangkan waktu
tunggu selama 4 bulan 10 hari (dalam ayat 243) maksudnya sebagai larangan untuk kawin lagi dalam
masa itu. Dengan usaha mendekatkan pengertian kedua dalil itu, maka dua dalil yang keliatannya
bertentangan menjadi tidak bertentangan, sehingga masing-masing dapat digunakan pada tempatnya.
23. Apa definisi hukum dalam ushul fiqh dan apa bedanya dengan hukum dalam ilmu hukum ?
Hukum dalam Ushul Fiqh (hukum islam) yaitu Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu
Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukalaf yang diakui dan diyakini mengikat
untuk semua
hukum dalam ilmu hukum yaitu Seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui
sekelompok masyarakat,disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan
mengikat untuk seluruh anggotanya.
hukum taklifi adalah titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan. Penamaan hukum ini dengan
taklifi karena titah disini langsung mengenai perbuatan orang yang sudah mukalaf
hukum wadhi adalah titah Allah yang berbentuk ketentuan yang ditetapkan Allah, tidak langsung
mengatur perbuatan mukalaf, tetapi berkaitan dengan perbuatan mukalaf itu, seperti tergelincirnya
matahari menjadi sebab masuknya waktu zuhur
- shah yaitu akibat hukum dari suatu perbuatan taklifi yang sudah berlaku padanya sebab, sudah
terpenuhi syarat-syarat yang ditentukan dan telah terhindar dari segala mani’. Umpamanya shalat
Zuhur telah dilakukan setelah tergelincir matahari setelah melakukan Wudhu’ serta syrat lainnya dan
dilakukan oleh orang-orang yang tidak berhaid dan halangan lainnya.
- Bathal yaitu akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak memenuhi sebab atau syarat atau
terpenuhi keduanya teteapi terdapat padanya mani’. Umpamanya shalat Magrib sebelum tergelincir
matahari atau tidak memakai whudu’ atau sudah ada keduanya tetapi dilakukan oleh wanita yang
sedang berhaid.
- Fasid adalah kebalikan dari shah. Istilah ini tidak berlaku di kalangan ulama jumhur karena bagi
mereka, fasid mempunyai arti yang sama dengan bathal (baik dalam bidang ibadat maupum
muamalah). Pengertian fasid hanya berlaku di kalangan ulama Hanafiyah, itupun hanya dalam bidang
mu’amalat, tidak dalam bidang ibadat. Artinya, dalam bidang muamalah ada perbedaan arti antara
fasid dengan bathal. Dengan demikian, terdapat kesamaan pendapat dalam hal penamaan bathal
dengan fasid dalam ibadat, yaitu: suatu perbuatan yang dilakukan tidak memenuhi rukun dan syarat,
atau belum berlaku sebab atau terdapat mani’.
- ‘Aziamah yaitu pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil umum tanpa memandang kepada
keadaan mukalaf yang melaksanakannya. Seperti haramnya bangkai untuk semua umat Islam dalam
keadaan apapun.
- Rukhsah yaitu pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil yang khusus sebagai pengecualian dari
dalil umum karena keadaan tertentu. Umpamanya bolehnya se-seorang dalam keadaan darurat
memakan bangkai, meskipun secara umum memakan bangkai itu hukumnya haram.
26. Bagaimana pandangan golongan Mu’tazilah, Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah mengenai الحاكم
dan bagaimana cara mengetahui hukum Allah SWT menurut tiga golongan tersebut ?
a. Kelompok Mu’tazilah berpendapat bahwa suatu perbuatan dan materi perbuatan itu sendiri
mengandung nilai baik atau buruk. Akal manusia dapat mengetahui hal itu baik atau buruk,
suatu perbuatan akan dinilai baik oleh akal bila perbuatan itu disenangi oleh manusia dan
bermanfaat oleh manusia, baik langsung dirasakan ataupun tidak.
b. Kelompok Asy’ariyyah berpendapat bahwa suatu perbuatan dari segi perbuatan itu sendiri
tidak dapat dinilai baik atau buruk, oleh karena akal manusia tidak dapat mengetahui baik dan
buruknya suatu perbuatan. Baik dan buruk suatu perbuatan terletak pada disuruh atau
dilarangnya perbuatan itu oleh Allah SWT melalui wahyunya.
c. Kelompok Maturidiyyah berpendapat bahwa pada suatu perbuatan dengan semata melihat
pada materi perbuatan itu mempunyai nilai baik dan buruk. Karena itu akal dapat menetapka
sesuatu itu baik atau buruk, selanjutnya Allah tidak akan membiarkan manusia melakukan
suatu perbuatan buruk dan tidak akan mencegah manusia melakukan hal yang baik.
Yang dimaksud mahkum bih adalah sesuatu yang dikehendaki oelh pembuat hukum
(hakim) untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia; atau dibiarkan oleh hakim untuk
dilakuakn atau tidak. Dalam istilah ushul fiqh mahkumbih adalah sesuatau yang berlaku padanya
hukum syara’. Objek hukum adalah perbuatan itu sendiri.
Syarat-syarat mahkum bih:
Perbuatan itu sah dan jelas adanya, tidak mungkin memberatkan seseorang melakukan
sesuatu yang tidak mungkin dilakukan.
Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan
serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya.
Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam
kemampuannya melakukannya.
28. Jelaskan kelompok perbuatan yang dipandang مشقة معتادةdan مشقة غير معتادةdan hubungannya
dengan fardlu ain dan fardlu kifayah
Mahkum alaih (pelaku) adalah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat,
dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah tersebut. Dalam
istilah ushul fiqh subjek hukum itu disebut mukallaf, atau orang-orang yang dibebani hukum.
Syarat-syarat:
a. Ia memahami atau mengetahui titah Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena
tuntutan dari Allah. Paham dan tahu itu sangat berkaitan dengan akal, karena akal itu
adalah alat untuk mengetahui dan memahami.
b. Ia telah mampu menerima beban taklif atau bebean hukum yang dalam istilah ushul fiqh
disebut ahlul al-taklif.
Ahliyah al-ada’ atau kecakapan untuk menjalankan hukum, yaitu kepantasan seorang
manusia untuk diperhitungkan segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan telah
mempuyai akibat hukum, contoh dalan ucapan adalah melakukan transaksi atau akad, sedangkan
dalam bentuk perbuatan adalah melaksanakan sholat.
Ahliyah al-wujub atau kecakapan untuk dikenai hukum yaitu kepantasan seorang
manusiauntuk menerima hak-hak dan dikenai kewajiban.