Вы находитесь на странице: 1из 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bertambahnya angka harapan hidup di Indonesia, menyebabkan perhatian
terhadap masalah kesehatan beralih dari penyakit infeksi ke penyakit degeneratif atau
kronis. Penyakit kronis merupakan penyebab utama kematian di dunia pada saat ini.
Tjokroprawiro mendefinisikan penyakit degenerasi sebagai penurunan fungsi akibat
dari penimbunan-penimbunan jaringan itu sendiri (degenerasi murni) atau akibat dari
endapan-endapan bahan lain pada jaringan tersebut (infiltrasi). Lebih Lanjut
dijelaskan bahwa Dibetes Mellitus (DM) termasuk salah satu jenis penyakit
degenerasi. Diabetes Mellitus tergolong dalam penyakit degenerasi murni maupun
infiltrasi, jika telah berlangsung lama dan kurangnya perawatan (Ari Wijayanti & Siti
Noor Fatmah Lailatushifah, 2012).

Sampai saat ini Diabetes Mellitus (DM) masih merupakan masalah nasional dan
tercantum dalam urutan ke empat dari prioritas penelitian nasional untuk penyakit
degeneratif setelah penyakit kardiovaskuler, serebrovaskuler, dan geriatrik. Menurut
WHO (World Health Organization) Indonesia merupakan negara urutan ke empat
terbanyak jumlah penderita Diabetes Mellitus setelah Australia, India, dan Cina
(Perki, 2014). Menurut estimasi International Diabetes Mellitus Federation (IDF),
terdapat 81 juta orang dengan DM di negara kawasan Asia Tenggara. Jumlah ini
diperkirakan akan meningkat dari 7,0% pada kelompok usia ≥ 40 tahun di tahun 2010
menjadi 8,4% pada tahun2030 (WHO,2014 dalam Jauhari, 2016).

WHO memprediksikan kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4


juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun2030. IDF memperkirakan
terjadi kenaikan penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada
tahun 2030. Data dari WHO dan IDF tersebut menunjukkan perbedaan angka
prevalensi. Namun laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah
penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030. Bruner menjelaskan bahwa
jumlah penderita DM tipe 1 berkisar 5%-10% dan DM tipe 2 sebesar 90%-95%
(Depkes, 2014 dalam Jauhari, 2016).
Berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia yang dilakukan oleh pusat-pusat
Diabetes, prevalensi diabetes Mellitus pada penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar
1,5%-2,3%, bahkan di daerah urban prevalensi DM sebesar 1,47% dan daerah rural
7,2%. Prevalensi tersebut terus meningkat 2-3 kali dibandingkan dengan negara maju,
sehingga DM merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius (Perkeni, 2010
dalam Ragil, 2012). Prevalensi yang didapatkan di Bali terhadap penderita DM
sebesar 3%. Pada tahun 2011, penderita DM di Bali tercatat sekitar 4023 orang dengan
rincian DM tergantung insulin 804 orang, DM tidak trgantung insulin 795 orang, DM
yang diakibatkan malnutrisi 103 orang, DM yang tidak diketahui lainnya 153 orang,
dan DM yang tidak terdeteksi 2163 orang (Bali Post, 2012 dalam Gusti &
Sukmayanti, 2014).

DM dapat dibagi menjadi empat yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM tipe lain dan
DM Gestasional. DM tipe 1 disebabkan oleh ketidakmampuan tubuh dalam
memproduksi hormon insulin yang berfungsi untuk memindahkan glukosa dari dalam
darah ke dalam sel. DM tipe 2 atau sering disebut dengan istilah non insulin dependent
diabetes mellitus (NIDDM), merupakan jenis DM yang jumlahnya meningkat secara
signifikan di dunia. DM tipe lain disebabkan karena kelainan genetik, penyakit
pankreas, obat, infeksi, antibodi, sindroma penyakit lain, sedangkan DM gestasional
adalah diabetes yang terjadi saat kehamilan dan biasanya hanya berlangsung hingga
proses melahirkan. Diabetes gestasional yang menyerang 9,2 persen wanita hail ini
umumnya terjadi antara minggu ke-24 hingga 28 kehamilan, walau tidak menutup
kemungkinan dapat terjadi di minggu manapun (Public Health, 2007).

Penatalaksanaan DM dikenal 4 pilar utama pengelolaan yaitu : penyuluhan, diet,


latihan jasmani dan intervensi farmakologis. Penatalaksanaan penyuluhan di wilayah
kerja Puskesmas Kokap I tahun 2007, terbukti efektif dengan penyuluhan atau
konseling terhadap keluarga dalam 4 pilar penatalaksanaan DM. Pertama, peran
keluarga dalam perencanaan makanan pada anggota keluarga dengan DM setelah
dilakukan konseling menjadi baik yaitu 80,78%. Kedua, peran keluarga dalam latihan
jasmani pada anggota keluarga dengan DM setelah dilakukan konseling menjadi baik
yaitu 57,69%, serta peran keluarga dalam pengelolaan obat hipoglikemi pada anggota
keluarga dengan DM sudah cukup baik yaitu 100% (Muwarni & Sholehah, 2007).
Pelayanan kesehatan sudah memberikan edukasi serta penyuluhan secara gencar
di masyarakat tentang pentingnya penatalaksanaan DM untuk meningkatkan
pengetahuan pada penderita DM, namun sebagian besar penderita DM tipe 2 masih
dalam usia produktif dan bekerja yang menyebabkan waktu yang dimilikinya lebih
banyak terfokus untuk pekerjaan sehingga penatalaksanaan DM menjadi kurang
maksimal. Setelah di bentuknya program Keselamatan & Kesehatan Kerja (K3) oleh
pemerintah seharusnya seluruh pekerja dapat merasaka suasana bekerja yang aman
dan nyaman untuk mencapai tujuan produktivitas setinggi-tinginya dengan tetap
memperhatikan 3 komponen kerja berupa kapasitas tenaga kerja, beban kerja dan
lingkungan kerja.

Menurut Purwanto (2011) salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan


tentang diet pada penderita DM adalah beban kerja. Beban kerja merupakan frekuensi
kegiatan rata-rata dari masing-masing pekerjaan dalam jangka waktu tertentu yang
berisi banyak tatangan. Beban kerja umumnya kegiatan yang menyita waktu. Berat
ringannya beban kerja akan mempunyai pengaruh terhadap informasi dan
pengetahuan tentang kesehatan (Markum 2016, dikutip dalam Nursalam dan Pariani,
2001). Kurangnya informasi menyebabkan kurangnya pengetahuan pada penyakit
yang diderita sehingga menurunkan motivasi untuk berobat.

Menurut penelitian yangdilakukan oleh Fabyo Adi Kusno, dkk (2015) dengan
judul Hubungan Antara status Sosial Ekonomi Dengan Kejadian Diabetes Melitus
Tipe 2 Di Poliklinik Interna Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bitung Tahun 2015
mendapatkan hasil bahwa status pekerjaan merupakan faktor penting dari DM tipe 2,
di karenakan status pekerjaan tidak bekerja pada penderita DM tipe 2 sebanyak 28
responden dan 16 responden tidak bekerja menderita DM tipe 2. Responden yang
tidak bekerja kebanyakan ibu rumah tangga, pensiunan, dan tidak bekerja. Para
pensiunan dan responden yang tidak bekerja kebanyakan tidak melakukan aktivitas
fisik yang terlalu berat. Hal ini dapat menyebabkan meningkatkan resiko penyakit
kardiovaskuler dan kontrol glikemik yang buruk dan dapat memicu terjadinya DM
tipe 2 (Brown et al, 2004 dalam Fabyo Adi Kusno, dkk, 2015).

Menurut penelitian yang dilakukan Riza Triana, dkk (2016) dengan judul
Hubungan Tingkat Pengetahuan Pasien DM Tentang Penyakit & Diet dengan
Kepatuhan Dalam Menjalankan Diet DM mendapatkan hasil bahwa sebagian besar
penderita DM masih bekerja, dimana sebagian besar pekerjaan responden adalah
wiraswasta yaitu sebanyak 19 orang (57,6%) dengan kesimpulan ada hubungan
signifikan antara beban kerja dengan penyakit DM, orang dengan beban kerja berat
memiliki kecenderungan 1,39 kali untuk mengalami kejadian DM dibandingkan
dengan orang yang memiliki beban kerja ringan dan sedang. Menurut ahli penyakit
dalam Dr. dr. Roy Panusunan Sibarani Sp. PD-KEMD dalam artikel yang berjudul
Rentan Idap Diabetes, Pekerja Kantoran Dihimbau Banyak Gerak mengatak bahwa
lingkungan dan pekerjaan kini menjadi pendukung terjadinya DM pada orang muda.
Para pekerja kantoran yang jarang bergerak dan lebih banyak duduk misalnya,
memiliki resiko lebih tinggi mengidap DM dari pada yang bekerja di lapangan
(Liputan 6, 2017).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ikhtivarotul ‘Arofah dengan judul


Hubungan Olahraga dengan Kejadian Diabetes Melitus Tipe II di Wilayah Kerja
Puskesmas Purwosari Surakarta tahun 2015 mendapatkan hasil bahwa sebagian besar
responden apada kelompok kasus maupun kontrol dalah ibu rumah tangga sebanyak
14 orang, swasta sebanyak 6 orang, wiraswasta sebanyak 11 orang, PNS sebanyak 1
orang, dan peniunan sebanyak 5 orang. Berdasarkan hasil pengumpulan data di
dapatkan sebagian besar responden kurang berolahraga yakni 27 orang (67,5%) pada
kelompok kasus dan 1 orang (35%) pada kelompok kontrol dengan alasan terbanyak
adalah sibuk terhadap beban kerja (51,9%), malas (11,15 %), dan lain-lain(37%). Hal
ini sesuai dengan teori Gibney (2009), bahwa kesibukan yang tinggi berakibat pada
pola hidup yang tidak teratur sehingga menyebabkan gangguan kesehatan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ayu Nissa Ainni & Nurul Mutmainah
dengan judul Studi Kepatuhan Penggunaan Obat Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe
2 Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Dr. Tjitrowardojo purworejo Tahun 2017
menyatakan bahwa sebagian responden adalah perempuan berusia 55 hingga 65 tahun
dengan pendidikan rendah dan sebagian responden masih bekerja. Penelitian ini
mendapatkan hasil ada hubungan signifikan kepatuhan meminum obat terhadap
pekerjan. Hasil penelitian ini sama dengan Adisa et al. (2009), bahwa beban kerja
dalam suatu pekerjaan mempunyai pengaruh signifikan dengan nilai p=0,005 terhadap
tingkat kepatuhan minum obat pada pasien DM tipe 2. Hal ini dikarenakan dengan
adanya jadwal kerja yang terlalu padat terutama pada pasien yang bekerja, membuat
pengambilan obat atau kontrol terapi pengobatan terlupakan sehingga menyebabkan
jadwal minum obat tidak sesuai dengan aturan dokter.

Beban kerja dalam suatu pekerjaan dapat menyita banyak waktu dan tenaga
sehingga penderita DM tidak mendapatkan waktu untuk dapat melakukan kunjungan
ke pusat layanan kesehatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan serta informasi
seputar kesehatannya karena penderita lebih terfokus pada pekerjaannya. Berdasarkan
masalah tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang, Hubungan
beban kerja terhadap perilaku penatalaksanaan DM Tipe 2 di Wilayah kerja
Puskesmas Denpasar.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi rumusan masalah


dalam penelitian ini adalah ”Bagaimana hubungan beban kerja terhadap perilaku
penatalaksanaan DM Tipe 2 di Wilayah kerja Puskesmas Denpasar ?”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengetahui hubungan beban kerja terhadap penatalaksanaan DM di Wilayah kerja
Puskesmas Denpasar.
2. Tujuan khusus
a) Mengidentifikasi beban kerja terhadap penatalaksanaan DM di Wilayah
Puskesmas Denpasar.
b) Mengetahui perilaku penatalaksanaan DM di wilayah Puskesmas Denpasar.
c) Menganalisa hubungan beban kerja terhadap perilaku penatalaksanaan DM di
Puskesmas
D. Manfaat penelitian
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan keperawatan medikal bedah dan mendukung teori yang sudah ada.
2. Manfaat praktis
a. Bagi pasien
Meningkatkan pengetahuan terhadap beban kerja sehingga dapat melakukan
penatalaksanaan DM dengan baik.
b. Bagi perawat
Sebagai bahan informasi dengan masukan bagi perawat untuk meningkatkan
kemampuan dan pengetahuan terhadap beban kerja pada penderita DM.

c. Bagi peneliti lain


Sebagai acuan dalam penelitian berikutnya yang berkaitan dengan beban kerja
terhadap penatalaksanaan DM.

d. Bagi instansi STIKES Bali


Menambah kepustakaan dan sebagai bahan pembelajaran mata kuliah
keperawatan medikal bedah tentang beban kerja terhadap penatalaksanaan
DM.

Вам также может понравиться