Вы находитесь на странице: 1из 20

ANALISIS DAMPAK SOSIAL DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN:

RENCANA REVITALISASI PASAR WATES WETAN, RANUYOSO,


LUMAJANG
Putri Nadiyatul Firdausi1

Artikel ini membahas potensi dampak sosial dari suatu perencanaan pembangunan. Analisis
dampak sosial merupakan komponen penting namun sering diabaikan dalam perencanaan
pembangunan. Aspek sosial dapat menjadi pemicu gagalnya pencapaian tujuan pembangunan,
khususnya dalam hal pemanfaatan. Hal ini terjadi pada kasus revitalisasi Pasar Wates Wetan,
Ranuyoso, Lumajang. Revitalisasi yang telah dilakukan beberapa kali di Pasar Wates Wetan belum
dapat menyelesaikan masalah kemacetan yang diakibatkan oleh aktivitas jual-beli yang meluber
hingga ke bahu jalan provinsi. Komunitas pedagang menolak dipindahkan atau sekadar bersikap
disiplin dan kooperatif terhadap aturan yang sudah ada. Tahun 2017, pemerintah kembali
merencanakan revitalisasi Pasar Wates Wetan untuk meningkatkan daya tampung pasar dengan
membangun pasar 2 lantai. Dengan melihat riwayat penyebab gagalnya revitalisasi di tahun-tahun
sebelumnya, penting untuk dilakukan analisis dampak sosial kali ini. Dengan mengetahui potensi
dampak sosial, pemerintah dapat melakukan evaluasi (ex-ante) dan antisipasi dini agar rencana
revitalisasi kali ini dapat menuai keberhasilan. Berbeda dengan penelitian dampak yang dilakukan
saat pembangunan telah selesai, penelitian ini dilakukan saat pembangunan berada pada tahap
perencanaan. Dengan demikian analisis yang dilakukan bersifat prediktif. Untuk meningkatkan
akurasi prediksi dampak, analisis dampak dilakukan dengan pendekatan partisipatif bersama
komunitas pedagang pasar dan para pemangku kepentingan yang terlibat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rencana revitalisasi Pasar Wates Wetan berpotensi memunculkan dampak
sosial berupa konflik, kenaikan jumlah pedagang yang tidak terkendali (over capacity), tidak
selesainya permasalahan kemacetan, penurunan pendapatan, perubahan kesempatan kerja,
perubahan pada level individu dan keluarga, serta perubahan kebutuhan infrastruktur komunitas.
Kata kunci: analisis dampak sosial, revitalisasi pasar, partisipasi warga

This article is a social impact analysis (SIA) of a development planning. Although SIA is an
important part of development planning, many people often ignored it. Social aspect could trigger
the achievement of development goals to failure, especially in terms of utilization. It happened in
the case of the revitalization of Pasar Wates Wetan, Ranuyoso, Lumajang. The revitalization that
had been done several times did not solve traffic congestion problem caused by the buying and
selling activities spilling over the roadside. The merchant community refused to move or simply be

1
Peneliti independen. Email: putrinadiyatul@gmail.com.

© Putri Nadiyatul Firdausi, 2018


Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 1, No. 2, 2018, hlm. 173-191.

Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA):
Firdausi, Putri Nadiyatul. 2018. “Analisis Dampak Sosial Perencanaan Revitalisasi Pasar Wates Wetan, Ranuyoso,
Lumajang,” Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya 1(2):173-191. DOI:10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2018.001.2.05
174 Firdausi

cooperative with existing rules. In 2017, another plan to revitalize the market was released to
increase its capacity by constructing a 2-storey marketplace. By looking at the failure history of
market revitalization in previous years, it is important to take a social impact analysis into market
this new plan. By knowing social potent, the government can do an ex-ante evaluation and
anticipation to avoid another failure. To improve the accuracy of impact predictions, SIA is
conducted with a participatory approach with the merchant community and various stakeholders.
The result shows that the market revitalization plan has potential to generate various social
impacts, such as conflict, the unpredictable increase of the number of traders which could lead to
overcapacity, unsolved congestion problems, decreasing income, changes in employment
opportunities, changes in individual and family levels, and changes in the infrastructure needs of
community.
Keywords: social impact analysis, market revitalization, public participation

Analisis dampak merupakan salah satu komponen penting dalam sebuah perencanaan
pembangunan. Hal ini terkait langsung dengan tercapai-tidaknya tujuan pembangunan dan
bermanfaat-tidaknya hasil dari pembangunan. Studi mengenai analisis dampak dimulai pada
tahun 1969. Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon menandatangani National Environmental
Policy Act (NEPA) yang di dalamnya terdapat aturan kewajiban penyertaan dokumen analisis
dampak lingkungan dalam perencanaan pembangunan beserta tindakan mitigasi yang dapat
dilakukan untuk menghilangkan dampak-dampak yang berpotensi muncul (Burdge, 1998).
Lebih detail, Burdge (1998) menjabarkan poin analisis dampak lingkungan yang harus ada
meliputi: dampak fisik, budaya, dan lingkungan masyarakat. Analisis dampak sosial dengan
demikian menjadi salah satu bagian dari analisis dampak lingkungan. Dalam implementasinya,
analisis dampak lingkungan (amdal) dinilai kurang mampu memberi gambaran dampak sosial
secara lebih mendalam sehingga kemudian dokumen analisis terhadap dampak sosial
berkembang dan terpisah dengan analisis dampak lingkungan. Studi terhadap analisis dampak
sosial semakin berkembang seiring munculnya kesadaran bahwa masyarakat merupakan inti dari
tujuan pembangunan. Namun demikian, fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak
perencanaan pembangunan yang tidak memperhitungkan dampak sosial
Di Indonesia, khususnya, penyertaan dokumen analisis dampak sosial cenderung diabaikan
sehingga tidak jarang ditemui kasus kegagalan pembangunan karena muncul dampak-dampak
sosial di masyarakat yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Penelitian Ferlan dan Harto (2013)
di Pasar Cik Puan, Pekanbaru memperlihatkan ketidakmatangan pemerintah daerah setempat
dalam merencanakan revitalisasi Pasar Cik Puan berdampak pada kegagalan revitalisasi.
Revitalisasi pasar harus terhenti di tengah jalan karena beberapa kendala yang ditemui yaitu
ketidakjelasan status kepemilikan lahan pasar, ketidaksiapan penampungan sementara pedagang,
dan permasalahan dengan investor. Hal ini berdampak pada terlantarnya para pedagang di
sejumlah titik penampungan dan bangunan pasar yang baru disalahgunakan warga untuk
berbuat tidak senonoh. Penelitian Ayuningsasi (2011) terhadap Pasar Tradisional Sudha Merta,
Desa Sidakarya, Denpasar menyebutkan bahwa revitalisasi berdampak pada penurunan
pendapatan pedagang karena lokasi dagangan yang tidak strategis. Isu mengenai tata ruang
Analisis Dampak Sosial dalam Perencanaan Pembangunan 175

memang merupakan isu yang paling umum dan banyak dibahas dalam revitalisasi pasar.
Pedagang akan saling berebut lokasi yang dianggap paling strategis. Hal ini perlu menjadi
perhatian perencana pembangunan agar hasil revitalisasi tidak menimbulkan potensi konflik
akibat perebutan ruang.
Pasar Wates Wetan merupakan salah satu pasar di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur yang
hingga kini masih mengalami kendala dalam upaya revitalisasi. Upaya perbaikan fasilitas pasar
tersebut sebagai implementasi program revitalisasi dimulai sejak tahun 2007. Dinas
Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Lumajang melakukan perencanaan hingga
pelaksanaan relokasi pasar dengan menyediakan lahan baru pada tahun 2007. Upaya ini tidak
berhasil karena pedagang tidak bersedia untuk pindah. Pada tahun 2012, pasar mengalami
kebakaran sehingga sebagian kios penjual rata dengan tanah dan tahun 2014 pasar tersebut
direvitalisasi dengan mendirikan bangunan pasar berupa los yang tidak jauh dari lokasi
kebakaran, membangun beberapa bedak di belakang bangunan los, dan membangun jalan
lingkar pasar agar pengepul tidak menumpuk di jalan provinsi. Pada tahun 2017, Pemkab
Lumajang kembali merencanakan usaha revitalisasi Pasar Wates Wetan untuk meningkatkan
daya tampung dengan membangun bangunan pasar 2 (dua) lantai. Melihat riwayat penyebab
gagalnya revitalisasi di tahun-tahun sebelumnya, menjadi penting untuk melakukan analisis
dampak sosial terhadap rencana revitalisasi pasar sebagai salah satu bahan evaluasi bagi
pemerintah daerah. Bagaimana potensi dampak sosial dari perencanaan revitalisasi Pasar Wates
Wetan, Ranuyoso, Lumajang?

Perubahan Sosial dan Analisis Dampak Sosial


Perencanaan revitalisasi terhadap Pasar Wates Wetan dari tahun ke tahun merupakan
agenda yang dimaksudkan untuk mengubah wajah pasar tersebut yang terkesan semrawut
sehingga aktivitasnya menyebabkan kemacetan jalan. Perubahan yang direncanakan melalui
agenda revitalisasi ini merupakan salah satu bentuk perubahan sosial. Kanto (2006)
mendefinisikan perubahan sosial sebagai proses perubahan dalam berbagai aspek sosial dalam
kehidupan masyarakat yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Pada kasus Pasar Wates Wetan,
perencanaan revitalisasi diagendakan untuk mengubah kebiasaan pedagang yang menganggap
wajar aktivitas jual-beli di jalan (kultur “pasar tumpah”). Dengan direvitalisasinya pasar menjadi
lebih luas dan lebih baik, ada harapan agar pedagang mau untuk secara tertib dan disiplin
berjualan di dalam pasar. Harapan perubahan perilaku berjualan tertib dengan adanya
revitalisasi ini merupakan sebuah usaha melakukan perubahan sosial, yaitu perubahan pola
perilaku.
Perubahan-perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dapat dipastikan akan
selalu terjadi. Kanto (2006) menjelaskan bahwa dinamika perubahan sosial yang terjadi di
masyarakat umumnya dipengaruhi faktor penyebab, faktor pendorong, dan faktor penghambat
yang pada gilirannya akan menghasilkan dampak perubahan sosial dalam masyarakat. Dampak
176 Firdausi

dari proses terjadinya perubahan sosial ini yang kemudian menjadi fokus artikel ini. Artikel ini
akan membahas bagaimana perencanaan perubahan kondisi pasar (dengan revitalisasi) berisiko
memunculkan dampak-dampak sosial yang apabila tidak ditindaklanjuti dapat berakibat pada
kegagalan pembangunan itu sendiri.
Konsep perubahan mencakup tiga pemahaman dasar, yaitu: (a) adanya perbedaan, (b) yang
merupakan perubahan antar waktu, dan (c) dari satu keadaan ke keadaan berikutnya dalam
sistem yang sama (Kolopaking, dkk. 2003). Perubahan sosial juga dipahami sebagai gejala yang
netral yang dapat berupa gerak maju atau mundur. Dengan melihat gerakan atau arah
perubahan, perubahan sosial dapat dibedakan menjadi perubahan sosial yang tidak terencana
(identik dengan gerak mundur) dan perubahan terencana yang lebih dikenal sebagai
pembangunan (gerak maju). Pembangunan, menurut Ketz (1965, dalam Mondry (2006),
merupakan perubahan besar-besaran suatu bangsa, memiliki implikasi yang sangat luas,
berkaitan dengan agen perubahan, kekuasaan, serta sumber daya yang dimiliki, dari suatu
keadaan menuju keadaan yang lebih baik. Senada dengan Ketz, Vago (2003) mengaitkan
pembangunan dengan agen perubahan. Vago (2003:358) mengutip definisi perubahan sosial
direncanakan (planned social change) yang dirumuskan Bennis, Benne, dan Chin (1985), sebagai
“deliberate, conscious, and collaborative efforts by change agents to improve the operations of social
systems.”
Revitalisasi yang dilakukan terhadap Pasar Wates Wetan merupakan bentuk perubahan
sosial dengan gerak maju (pembangunan). Hal ini terlihat dari tujuan dari perubahan yang
menginginkan terjadinya pergerakan maju dari kondisi pasar saat ini. Pembangunan pasar
dengan program revitalisasi tersebut diharapkan dapat menjadi solusi atas permasalahan-
permasalahan yang ada di Pasar Wates Wetan terutama terkait kemacetan yang muncul akibat
beroperasinya pasar.
Merujuk pada pembahasan penilaian dampak sosial Forest-Trends (2012), dampak sosial
dimaknai sebagai dampak-dampak yang mencakup semua konsekuensi sosial dan budaya atas
suatu kelompok manusia tertentu yang diakibatkan setiap tindakan publik atau swasta yang
mengubah cara-cara bagaimana orang menjalani kehidupan, bekerja, bermain, berhubungan
satu sama lain. mengupayakan pemenuhan kebutuhan hidup mereka, dan secara umum
berupaya menjadi anggota masyarakat yang layak. Tujuan utama dari penilaian dampak sosial
adalah untuk mewujudkan suatu lingkungan biofisik dan kondisi manusia yang berkelanjutan
dan layak. Forest-Trends sebagai salah satu LSM yang bergerak di isu kehutanan menyadari
bahwa masyarakat merupakan bagian dari pembangunan sehingga untuk dapat memprediksi
berhasil-tidaknya pembangunan adalah dengan melihat kemungkinan dampak positif dan
negatif dari pembangunan itu sendiri terhadap masyarakat.
Studi mengenai analisis dampak dimulai tahun 1969 (Burdge 1998). Poin-poin analisis
dampak lingkungan yang diharuskan ada meliputi dampak fisik, budaya, dan lingkungan
masyarakat. Analisis dampak sosial dengan demikian menjadi salah satu bagian dari analisis
Analisis Dampak Sosial dalam Perencanaan Pembangunan 177

dampak lingkungan. Dalam implementasinya, analisis dampak lingkungan dinilai kurang


mampu memberi gambaran dampak sosial secara lebih mendalam sehingga kemudian dokumen
analisis terhadap dampak sosial berkembang dan terpisah dengan analisis dampak lingkungan.
Burdge (1998) mengusulkan beberapa variabel analisis dampak sosial sebagai berikut:
pertama, dampak populasi, yang dapat dinilai dari perubahan populasi, arus keluar-masuk
pekerja, kenaikan dan penurunan populasi musiman, relokasi individu dan keluarga, peredaan
umur, gender, serta ras dan komposisi etnis. Kedua, dampak terhadap susunan komunitas yang
dapat dilihat dari sikap masyarakat terdampak terhadap rencana pembangunan, kemunculan
kelompok kepentingan yang memosisikan diri mendukung atau menolak rencana
pembangunan, perubahan jumlah dan struktur pemerintahan daerah, adanya perencanaan dan
penempatan wilayah dalam rencana pembangunan, diversifikasi industri, peningkatan
kesenjangan ekonomi, ketidakadilan terhadap kelompok minoritas, dan perubahan kesempatan
kerja. Ketiga, dampak konflik dapat dilihat dari kehadiran agensi luar, kemunculan kelas sosial
baru, perubahan fokus komersial/industri dalam komunitas, dan kehadiran penduduk musiman
saat akhir pekan. Keempat, dampak individu dan keluarga dapat dilihat dari gangguan
perubahan dalam pola kehidupan sehari-hari, perbedaan dalam praktik keagamaan, perubahan
dalam struktur keluarga, perubahan dalam struktur jaringan sosial, persepsi terhadap kesehatan
dan keselamatan, dan perubahan kesempatan waktu luang. Kelima, dampak terhadap kebutuhan
infrastruktur komunitas dilihat dari perubahan kebutuhan infrastruktur komunitas itu sendiri,
akuisisi lahan, dan efek terhadap budaya, sejarah, dan arkeologi. Beberapa potensi dampak sosial
tersebut muncul dalam kasus perencanaan revitalisasi Pasar Wates Wetan, khususnya potensi
konflik yang disebabkan adanya anggapan tentang ketidakadilan pembagian lapak kelompok
pedagang tertentu.
Deutsch, Coleman & Marcus (2006) memaparkan tentang bagaimana konflik dapat
muncul dari perasaan ketidakadilan dalam sebuah masyarakat. Dalam membahas ketidakadilan,
perlu dibahas juga tentang penindasan yaitu pengalaman ketidakadilan yang berulang, meluas,
dan sistemik. Deutsch dkk. menggunakan istilah Harvey (1999) tentang “penindasan beradab”
untuk menggambarkan proses penindasan dalam kehidupan normal sehari-hari. Penindasan ini
tertanam dalam norma-norma, kebiasaan, dan simbol yang tidak dipertanyakan, dalam asumsi
yang mendasari lembaga dan aturan, dan konsekuensi kolektif mengikuti aturan-aturan tersebut.
Deutsch dkk. menjabarkan 6 (enam) jenis ketidakadilan yang terkait dengan penindasan
yang berpotensi memunculkan konflik. Pertama, ketidakadilan distributif, berkaitan dengan
kriteria yang menyebabkan Anda merasa Anda tidak menerima hasil yang adil. Anak menerima
bagian yang tidak adil dari kue yang dibagikan. Kedua, ketidakadilan prosedural, berkaitan
dengan perlakuan yang tidak adil dalam membuat dan melaksanakan keputusan yang
menentukan hasilnya. Apakah politisi diperlakukan dengan tidak manusiawi dan hormat?
Apakah ia kalah dalam pemilihan secara tidak adil? Ketiga, rasa ketidakadilan yang berfokus
pada apa faktor-faktor yang menentukan apakah suatu ketidakadilan dialami seperti itu. Jika
178 Firdausi

istri mengerjakan lebih dari bagiannya yang adil dari pekerjaan rumah tangga, apa yang akan
menentukan apakah ia merasa itu adil atau tidak adil? Keempat, ketidakadilan retributif dan
reparatif yang berkaitan dengan bagaimana menanggapi pelanggaran norma-norma moral dan
bagaimana memperbaiki komunitas moral yang telah dilanggar (misalnya, dalam kasus
diskriminasi pekerjaan terhadap pelamar karena ras). Kelima, eksklusi moral atau lingkup
ketidakadilan, berkaitan dengan siapa yang termasuk dalam komunitas moral dan siapa yang
dianggap berhak untuk hasil yang adil dan perlakuan yang adil. Keenam, imperialisme budaya
terjadi ketika kelompok yang dominan memaksakan nilai-nilai, norma, dan adat-istiadat mereka
kepada kelompok subordinat sehingga anggota subordinat ini mendapati diri mereka ditentukan
oleh kaum dominan.
Dalam kasus analisis dampak sosial perencanaan revitalisasi Pasar Wates Wetan,
pembahasan mengenai potensi konflik banyak muncul. Potensi konflik dalam kasus ini muncul
sebagai akibat dari pembagian lokasi lapak yang dianggap oleh sebagian kelompok pedagang
merugikan dan tidak adil bagi mereka. Potensi konflik yang muncul di komunitas pedagang
Pasar Wates Wetan dilatarbelakangi oleh “perasaan tidak adil” yang dialami kelompok pedagang
tertentu. Hal ini yang kemudian harus menjadi perhatian pemerintah agar dapat melakukan
pencegahan terhadap kemungkinan munculnya dampak sosial berupa konflik di masa yang akan
datang.

Metode Penelitian
Penelitian analisis dampak sosial rencana revitalisasi Pasar Wates Wetan merupakan
penelitian kualitatif dengan pendekatan partisipatif mengadaptasi dari metode analisis dampak
sosial versi Forest Trends yang telah lebih dahulu mengimplementasikan metode penelitian
penilaian dampak sosial dengan pendekatan partisipatif bersama masyarakat terdampak.
Penelitian dilakukan pada pertengahan 2017 saat revitalisasi Pasar Wates Wetan berada pada
tahap perencanaan sehingga penelitian ini bersifat prediktif. Penelitian ini diharapkan dapat
menjadi salah satu contoh dokumen analisis dampak sosial yang dapat disandingkan dengan
dokumen analisis dampak lingkungan sebagai persyaratan perencanaan pembangunan.
Analisis ini dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD) bersama peserta perwakilan
pedagang dari masing-masing jenis dagangan dan perwakilan dari pihak Dinas Perdagangan dan
Perindustrian Kabupaten Lumajang. Dalam analisis dampak sosial dengan pendekatan
partisipatif ini, peserta FGD akan bersama-sama mendiskusikan permasalahan di Pasar Wates
Wetan hingga kemudian muncul rencana revitalisasi pasar. Setelah itu peserta juga merumuskan
beberapa dampak sosial yang berisiko muncul atas rencana revitalisasi pasar. Peserta FGD
kemudian mengajukan beberapa tindakan mitigatif dan alternatif solusi untuk meminimalkan
potensi dampak sosial. Berikut langkah-langkah analisis dampak sosial yang dilakukan dengan
metode FGD mengadaptasi dari metode analisis dampak sosial dari Forest-Trends (2012) dengan
menghilangkan langkah penyusunan indikator dan rencana pemantauan karena keterbatasan
Analisis Dampak Sosial dalam Perencanaan Pembangunan 179

kemampuan peserta FGD. Selain penggalian potensi dampak sosial melalui FGD, dilakukan
juga analisis dampak sosial menggunakan kerangka analisis Burdge (1998) yang menekankan
pada 5 (lima) poin berikut, yaitu dampak populasi, komunitas, konflik, dampak pada level
individu dan keluarga, dan perubahan kebutuhan komunitas.

Tabel 1 Teknik Analisis Data, Sumber Data, dan Teknik Pengumpulan Data
Analisis Langkah Sumber Data Teknik
Pengumpulan
Data
Dampak Menggali informasi tentang: Masyarakat Wawancara
populasi Perubahan populasi pedagang, pegawai dan analisis
Perubahan arus temporary workers Dinas Pasar di Pasar data sekunder
Kenaikan dan penurunan populasi musiman Wates Wetan
Relokasi individu dan keluarga
Perbedaan umur, gender, ras, dan komposisi etnis
Susunan Membahas dengan peserta FGD tentang: Masyarakat FGD
komunitas Kajian kondisi dan analisis stakeholder pedagang, pegawai
Analisis kanal transmisi Dinas Pasar di Pasar
Konseptualisasi Wates Wetan
Analisa fakta-tanding atau skenario referensi sosial
Rantai hasil
Risiko, dampak negatif, dan tindakan mitigasi
Indikator dan rencana pemantauan
Analisa data dan pelaporan
Konflik Menggali informasi tentang: Masyarakat Wawancara
antara Kehadiran agensi luar pedagang, pegawai dan analisis
penduduk Kemunculan kelas sosial baru Dinas Pasar di Pasar data sekunder
lokal dengan Perubahan fokus komersial/industri dalam Wates Wetan
pendatang komunitas
Kehadiran penduduk musiman saat akhir pekan
Dampak Menggali informasi tentang: Masyarakat Wawancara
pada level Gangguan dan perubahan dalam pola kehidupan pedagang, pegawai dan analisis
individu dan sehari-hari Dinas Pasar di Pasar data sekunder
keluarga Perbedaan dalam praktik keagamaan Wates Wetan
Perubahan dalam struktur keluarga
Perubahan dalam struktur jaringan sosial
Persepsi terhadap kesehatan dan keselamatan
Perubahan kesempatan waktu luang
Kebutuhan Menggali informasi tentang: Masyarakat Wawancara
infrastruktur Perubahan kebutuhan infrastruktur komunitas pedagang, pegawai dan analisis
komunitas Akuisisi dan disposal lahan Dinas Pasar di Pasar data
Efek terhadap budaya, sejarah, dan arkeologi Wates Wetan sekunder

Informan dalam penelitian ini ditentukan dengan teknik 1) purposive yaitu masyarakat
terdampak (pedagang dan masyarakat sekitar, instansi terkait, dan pembeli dan 2) accidental
untuk mencari informan pembeli (konsumen) di Pasar Wates Wetan. Sebelum melakukan
penilaian terhadap dampak, penting untuk melakukan observasi lapang dan wawancara
180 Firdausi

pendahuluan untuk memperoleh gambaran tentang kondisi nyata lapang, mengetahui cakupan
penelitian beserta pihak-pihak yang berkaitan baik langsung maupun tidak langsung.

Profil Pasar Wates Wetan


Pasar Wates Wetan berada tepat di depan Kantor Balai Desa Wates Wetan. Pasar Wates
Wetan berjarak sekitar 100 meter dari batas Kabupaten Lumajang-Probolinggo. Adapun jarak
orbitasi Pasar Wates Wetan dengan ibukota kabupaten adalah ±27 km dan dapat ditempuh
dengan angkutan umum dengan tarif Rp12.000. Pasar Wates Wetan merupakan satu dari dua
pasar besar yang ada di Kecamatan Ranuyoso. Pasar ini terkenal dengan khas aktivitas jual-beli
pasar tradisional yang dilakukan di tepi jalan (pasar tumpah) yang selalu menyebabkan
kemacetan. Tidak ada data yang memberi kejelasan tentang waktu pendirian pasar tersebut,
namun berdasarkan arsip sertifikat hak pakai tanah Pasar Wates Wetan tertanggal 22 September
1988, diduga aktivitas pasar sudah berjalan sebelum tanggal tersebut.
Pasar seluas 5.530 m² itu berada di bawah kewenangan Dinas Perdagangan dan
Perindustrian Kabupaten Lumajang. Berdasarkan Perda 10/2011 Pasar Wates Wetan masuk
dalam klasifikasi pasar sederhana kelas II (pasal 1). Pasar kelas II adalah pasar yang memiliki
fasilitas pertokoan, kios, los, pelataran, serta dengan jumlah pedagang kurang dari 200 orang,
namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa jumlah pedagang yang terdaftar mencapai lebih
dari 200 orang ditambah dengan jumlah pedagang buah yang tumpah di jalan yang tidak
diketahui jumlahnya (Tabel 2). Lapak dagang berupa los dan motor banyak dipakai oleh
pedagang buah seperti pisang, kelapa, alpukat, nangka, serta pedagang ayam, bumbu sederhana,
dan lain-lain. Adapun lapak dagang berupa bedak, kios, dan toko biasanya digunakan oleh
pedagang kain/pakaian, jamu, ikan, kelontong, dan sebagian bumbu.

Tabel 2 Jumlah Pedagang berdasarkan Jenis Lapak Dagangan


Jenis Dagangan Jumlah Pedagang
Toko 36
Bedak 109
Los 119
Motor Tidak terhitung
Total 264 (tanpa pedagang motor)
Sumber: UPTD Pasar Wates Wetan (diolah)

Pasar Wates Wetan tidak ramai setiap hari. Pasar hanya akan sangat ramai saat hari pasaran
(Senin, Selasa, Sabtu, dan Minggu). Pasar mulai ramai sejak subuh hingga kurang lebih pukul
09.00 pagi. Selain hari pasaran, pasar tetap beroperasi namun tidak seramai saat hari pasaran.
Ketika pasaran berlangsung, lalu lintas jalan provinsi di depan pasar akan terganggu. Observasi
penulis dengan berjalan kaki mengukur jarak kemacetan dari titik di mana mobil mulai berhenti
(macet) hingga titik di mana mobil dapat berjalan lancar dengan ukuran langkah kaki
diperkirakan ±30 cm. Peneliti juga menghitung waktu lamanya mobil berjalan dari titik macet
Analisis Dampak Sosial dalam Perencanaan Pembangunan 181

hingga dapat berjalan lancar. Hasilnya, kemacetan terjadi dari jarak sekitar 384 meter sebelum
pasar (dari arah Lumajang) hingga sekitar 10 meter setelah pasar. Kemacetan terjadi sepanjang
sekitar 454 meter dengan waktu tempuh sekitar 28 menit. Artinya, kecepatan yang ditempuh
sepanjang terjadi kemacetan hanya 0,972 km/jam. Hal ini yang menjadi keluhan banyak
pengendara yang berlalu-lalang di sekitar pasar. Terlebih jalan tersebut merupakan jalan
penghubung antar-kota.
Selain permasalahan kemacetan akibat aktivitas jual-beli, Pasar Wates Wetan juga
bermasalah dengan kondisi fisik pasar yang tergolong sebagai “rusak sedang.” Pasar dengan
kondisi fisik demikian mendapatkan prioritas dari pemerintah untuk segera direvitalisasi.
Kondisi Pasar Wates Wetan yang rusak sedang ditambah dengan aktivitas jual-beli yang
menyebabkan kemacetan jalan provinsi menjadikan Pemerintah Kabupaten Lumajang melalui
Dinas Perdagangan dan Perindustrian merencanakan revitalisasi Pasar Wates Wetan secara
bertahap.

Dinamika Pembangunan Pasar Wates Wetan


Pasar Wates Wetan merupakan pasar yang banyak menjadi sorotan masyarakat dan
pemerintah mengingat lokasi pasar yang berada di area jalan provinsi. Banyak keluhan dari
masyarakat umum yang melakukan perjalanan antar-kota melewati jalan ini karena kemacetan
yang pasti terjadi saat hari pasaran. Pasar Wates Wetan kemudian dicoba untuk direvitalisasi
oleh pemerintah daerah setempat dengan pelbagai permasalahannya (Tabel 3).

Tabel 3 Aktivitas Pembangunan Pasar Wates Wetan


Tahun Aktivitas Pembangunan Pasar
2007 Perencanaan pemindahan lokasi pasar (namun ditolak pedagang)
2014 Membangun beberapa kios di bagian tengah pasar (di depan kios kan dan pakaian jadi),
los di bagian depan pasar, dan jalan lingkar pasar
2016 Memasang paving pada halaman depan pasar dan memberi papan nama pasar dengan
nama “Pasar Gedang Lumajang” dengan anggaran dana Rp 150.000.000,-
2017 Pembongkaran kios pakaian dan akan dibangun kios dua lantai dengan peruntukan
lantai 1 untuk pedagang buah (pisang) dan lantai 2 untuk pedagang kain/pakaian dan
pedagang ikan dengan anggaran dana Rp 4.200.000.000,- (Dana DAK Rp
1.800.000.000,- dan APBD Rp 2.400.000.000,-)
2018 dan Pembangunan tahap selanjutnya sesuai desain yang sudah direncanakan pada tahun
seterusnya 2016-2017
Sumber: Wawancara

Pemkab Lumajang telah beberapa kali mengusahakan pembenahan Pasar Wates Wetan tapi
belum menuai keberhasilan yang signifikan. Tercatat, mulai tahun 2007, Pemkab telah
melakukan perencanaan hingga pelaksanaan relokasi pasar dengan menyediakan lahan baru.
Upaya ini tidak berhasil karena pedagang tidak bersedia untuk berpindah. Selanjutnya pada
tahun 2012 pasar mengalami kebakaran sehingga kios-kios penjual rata dengan tanah. Tahun
182 Firdausi

2014 didirikan kembali bangunan pasar berupa kios yang tidak jauh dari lokasi kebakaran, jalan
lingkar, dan los di bagian depan pasar dengan harapan aktivitas jual-beli berpusat di dalam
pasar. Hal tersebut rupanya belum juga dapat menjadi jalan keluar dari kondisi pasar yang tidak
rapi dan mengakibatkan kemacetan.
Tahun 2016 pemerintah kembali merancang perencanaan program revitalisasi pasar di
Pasar Wates Wetan. Sambil merencanakan pembangunan dalam desain yang lengkap, Pasar
Wates Wetan mulai dibenahi diawali dengan memasang paving pada halaman depan pasar dan
memasang papan nama “Pasar Gedang Lumajang.” Nama “Pasar Gedang” dimaksudkan untuk
menjadikan Pasar Wates Wetan sebagai salah satu ikon Kabupaten Lumajang di samping Pasar
Agropolitan Senduro dan pasar yang sedang dibangun di Kecamatan Yosowilangun. Pemkab
Lumajang membidik pasar-pasar yang berada di perbatasan kabupaten untuk dijadikan pasar
yang membawa identitas Kabupaten Lumajang, salah satunya Pasar Wates Wetan.
Tahun 2017 dan beberapa tahun ke depan, Pasar Wates Wetan mulai direvitalisasi satu per
satu bagian pasar. Pertengahan tahun 2017 direncanakan pembongkaran bagian tengah pasar
dan membangunnya menjadi 2 lantai dengan dana Rp4,2 milyar yang berasal dari dana DAK
(Rp1,8 milyar) dan APBD Lumajang (Rp2,4 milyar) dengan target penyelesaian bangunan
bulan Juli-Desember. Menurut Totok, koordinator UPTD Pasar Wates Wetan, selanjutnya
(tahun 2018) kompleks dagangan ikan dan bumbu yang akan dibangun dengan dana sebesar
Rp6 milyar (wawancara 13 Juni 2017). Pemerintah berharap pada tahun 2018 revitalisasi Pasar
Wates Wetan dapat tuntas seiring dengan selesainya masalah kemacetan akibat kapasitas pasar
yang tidak memadai.

Alur Perencanaan Revitalisasi Pasar Wates Wetan


Perencanaan revitalisasi Pasar Wates Wetan dilakukan di bawah pengawasan Dinas
Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Lumajang. Dalam merancang desain Pasar Wates
Wetan, Dinas Perdagangan dan Perindustrian menggandeng konsultan pembangunan.
Konsultan pembangunan secara teknis merancang desain pasar berdasarkan permasalahan-
permasalahan pasar utamanya terkait daya tampung pasar. Setelah desain pasar selesai dan
disetujui oleh Dinas Perdagangan dan Perindustrian, proposal perencanaan revitalisasi beserta
rancangan bangunannya diverifikasi oleh Dinas Pekerjaan Umum dengan poin utama yaitu
kelayakan perencanaan pembangunan secara teknis, fungsi, anggaran, dan kajian tata ruang.
Setelah Dinas PU menyatakan rencana revitalisasi pasar lolos verifikasi, proses selanjutnya yaitu
tender proyek revitalisasi hingga akhirnya ditetapkan pihak ketiga yang memenangkan tender
dan melakukan proses revitalisasi.
Melihat tahapan proses perencanaan revitalisasi Pasar Wates Wetan, tidak dijumpai adanya
proses analisis dampak lingkungan dan sosial. Hal ini banyak juga dijumpai pada perencanaan
pembangunan di berbagai daerah di Indonesia. Padahal, analisis dampak utamanya dampak
sosial merupakan hal yang penting dilakukan. Penelitian Ferlan dan Harto (2013) dan
Analisis Dampak Sosial dalam Perencanaan Pembangunan 183

Ayuningsasi (2011) menunjukkan bahwa pembangunan kerap mengalami kegagalan karena


berhadapan dengan permasalahan dengan masyarakat terdampak. Masyarakat sebagai subyek
pembangunan masih banyak dikesampingkan. Pembangunan masih belum memberi perhatian
kepada masyarakat yang memiliki peluang terkena dampak dari pembangunan. Selain tidak
diperhatikannya analisis dampak sosial, hal penting lain yang terlupakan untuk dilakukan adalah
memberi ruang kepada masyarakat (utamanya, masyarakat terdampak) untuk terlibat dalam
perencanaan revitalisasi Pasar Wates Wetan. Padahal, tujuan utama dari pembangunan adalah
untuk memperbaiki cara hidup dan “ruang hidup” subyek pembangunan yang tidak lain adalah
masyarakat itu sendiri.

Gambar 1 Alur Perencanaan Pembangunan Pasar Wates Wetan, 2017 (Sumber: Wawancara)

Dinas Perdagangan
merencanakan Diverifikasi Dinas
pembangunan PU dengan poin:
Kelayakan secara
teknis, fungsi, dan
anggaran Tender Pengerjaan
Konsultan membuat Kajian tata ruang
rancangan pembangunan
sesuai permintaan dinas

Risiko Rencana Revitalisasi Pasar Wates Wetan


Penilaian dampak, risiko, dan tindakan mitigatif merupakan penilaian pada satu tahap yang
sama pada analisis dampak sosial versi Forest-Trends. Namun dalam artikel ini pembahasan
terhadap 3 (tiga) poin inti dari langkah analisis dampak sosial tersebut akan dijabarkan secara
terpisah agar didapatkan pembahasan yang lebih mendetail. Dalam hal perencanaan
pembangunan, Forest-Trends (2012) memaknai risiko sebagai sesuatu yang dapat menghambat
tercapainya hasil positif dari sebuah pembangunan (penghambat suksesnya pembangunan).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rencana revitalisasi Pasar Wates Wetan berisiko
memunculkan penolakan dari pedagang khususnya pedagang kain dan pakaian jadi yang
menurut rencana akan dipindah ke lantai 2. Penolakan ini terutama disuarakan oleh kelompok
pedagang kain/pakaian jadi yang dalam revitalisasi ini menjadi salah satu kelompok pedagang
yang akan dipindahkan ke lantai 2 bersama pedagang ikan dan bumbu. Pedagang kain/pakaian
jadi sebagai pedagang dengan komoditi kebutuhan sekunder merasa khawatir akan terjadinya
penurunan pendapatan apabila lokasi berdagang dipindahkan ke lantai 2. Sementara itu,
kelompok pedagang lainnya yaitu pedagang ikan dan bumbu cenderung tidak bereaksi terhadap
perencanaan revitalisasi pasar. Hal ini didasari oleh jenis dagangan mereka yang cenderung
184 Firdausi

merupakan kebutuhan primer sehingga apabila dipindahkan ke lantai 2 tidak akan memberi
pengaruh yang signifikan.
Bibit-bibit penolakan pada dasarnya telah terjadi sejak pedagang mulai mendengar rencana
revitalisasi dari mulut ke mulut. Hal ini terlihat dari pernyataan salah satu pedagang
kain/pakaian jadi yang mengaku telah mengirim “surat kaleng” kepada Bupati Lumajang yang
meminta agar tidak dilakukan revitalisasi dengan membangun 2 lantai karena dianggap dapat
merugikan kelompok pedagang kain/pakaian jadi bila dipindah ke lantai 2. Alasan penolakan
tersebut didasari oleh beberapa kasus serupa yang terjadi di pasar yang terletak di kota (Plaza
Lumajang) dan salah satu pasar di Kabupaten Probolinggo yang sepi pembeli pada pasar lantai 2
sehingga semua pedagang yang ada di lantai 2 turun ke lantai 1. Kelompok pedagang
kain/pakaian juga menyatakan akan melakukan penolakan dalam bentuk demonstrasi apabila
rencana revitalisasi dengan membangun 2 lantai tetap dilaksanakan.
Potensi kerugian ekonomis seperti ini belum menjadi perhatian pemerintah dalam
merencanakan pembangunan. Padahal, inti dari pembangunan adalah pemanfaatan bangunan
itu sendiri oleh masyarakat (dalam kasus ini komunitas pedagang, pembeli, dan masyarakat
sekitar terdampak). Masyarakat belum diposisikan sebagai subyek pembangunan. Tidak heran
bila banyak perencanaan pembangunan yang pada tahap operasinya gagal mencapai tujuan
karena tidak ditemukannya “ikatan” antara pemerintah dan masyarakat. Sudah saatnya
masyarakat diberikan ruang untuk turut merumuskan, merencanakan, hingga mengevaluasi
perencanaan pembangunan yang pada dasarnya memang diperuntukkan bagi mereka.
Dampak sosial dalam pembangunan dapat berupa dampak positif dan negatif. Dalam
penelitian ini penulis lebih fokus untuk mengkaji kemungkinan-kemungkinan dampak yang
bersifat negatif. Forest-Trends (2012) memaknai dampak negatif sebagai efek samping yang
bersifat negatif dari suatu hasil pekerjaan. Berikut adalah beberapa potensi dampak negatif dari
rencana revitalisasi Pasar Wates Wetan, yang ditemukan melalui proses penelitian.

Kecemburuan Sosial dan Potensi Konflik


Potensi dampak yang nyata muncul yaitu kecemburuan sosial. Pedagang kain dan pakaian
merasa kesal karena selama ini penyebab kemacetan adalah aktivitas jual-beli pedagang buah
yang dilakukan di jalan, namun pedagang kain dan pakaian harus menerima imbasnya (dengan
dipindahkan ke lantai 2). Pedagang kain dan pakaian menilai bahwa seharusnya pedagang buah
yang berjualan tidak pada tempatnya yang menerima konsekuensi dengan berjualan di pasar
bagian belakang. Bukan dengan mengorbankan pedagang lain (pedagang kain dan pakaian).
Perasaan cemburu terhadap kelompok pedagang buah (yang diplotkan berdagang di lantai 1)
apabila berlanjut dapat menimbulkan konflik antara kedua kelompok pedagang tersebut.
Kecemburuan sosial juga berpotensi muncul dengan kecurigaan pedagang kain dan pakaian
terhadap aturan yang dimungkinkan dapat dilobi oleh orang-orang tertentu yang dekat dengan
koordinator pasar sehingga tidak diharuskan berjualan di lantai 2 seperti pedagang sejenis yang
lain.
Analisis Dampak Sosial dalam Perencanaan Pembangunan 185

Sikap tidak setuju pedagang kain dan pakaian terhadap rencana revitalisasi pasar yang
mengakibatkan dipindahkannya pedagang kain dan pakaian ke lantai 2 tersebut kemudian
memunculkan sangkaan tidak adil kepada mereka. Pedagang kain dan pakaian jadi merasa
pemerintah bersikap tidak adil dengan mengorbankan pedagang kain dan pakaian jadi demi
menampung pedagang buah yang selama ini tidak mematuhi peraturan pasar. Hal ini mengarah
pada kecemburuan sosial pedagang kain dan pakaian terhadap pedagang buah. Perasaan
cemburu dan sangkaan tidak adil antar kelompok pedagang ini apabila berlanjut akan
berpotensi menimbulkan konflik.
Perasaan cemburu dan sangkaan tidak adil ini jika merujuk pada jenis ketidakadilan
menurut Deutsch (2006) dapat digolongkan dalam jenis ketidakadilan retributif dan
ketidakadilan prosedural. Jenis ketidakadilan retributif dalam kasus ini terlihat dari pembagian
blok yang dianggap kelompok pedagang kain dan pakaian jadi tidak setimpal. Pedagang yang
menempati lantai 1 dianggap (oleh kelompok pedagang yang diplotkan di lantai 2) lebih
beruntung karena lokasi dagangan di lantai 1 lebih mudah dijangkau pengunjung daripada di
lantai 2. Sedangkan jenis ketidakadilan prosedural terlihat dari tidak dilibatkannya komunitas
pedagang dalam pengambilan keputusan dan keputusan tersebut dianggap merugikan salah satu
kelompok pedagang (pedagang kain dan pakaian jadi).
Menurut Deutsch (2006), seseorang menjadi cenderung kurang merasa terikat pada
otoritas, organisasi, kebijakan sosial, dan aturan pemerintah jika prosedur yang terkait
dengannya dianggap tidak adil. Hal ini kemudian sekaligus menjawab tentang kegagalan
revitalisasi di tahun-tahun sebelumnya. Pedagang cenderung kurang merasa terikat terhadap
otoritas sehingga perilaku tidak disiplin (dengan berjualan di bahu jalan) berlanjut. Apabila
kondisi ini terus terjadi, konflik dapat dimungkinkan muncul. Dalam kasus Pasar Wates Wetan,
konflik masih terlihat samar, yaitu berupa gerutuan (konflik laten). Konflik tersebut dapat
berubah menjadi manifes apabila ada pemicu. Pemerintah dalam hal ini hendaknya melibatkan
masyarakat secara aktif sehingga rencana-rencana pembangunan dapat secara utuh dipahami
oleh pedagang dan harapannya pedagang bersedia bekerja sama dengan pemerintah untuk
menciptakan Pasar Wates Wetan yang rapi dan bebas macet.
Konflik sendiri memang dikategorikan Burdge (1998) sebagai salah satu potensi dampak
sosial yang mungkin muncul dalam suatu perencanaan pembangunan. Konflik sebagai dampak
sosial dari pembangunan, menurut Burdge (1998), dapat dilihat dari kehadiran agen luar,
munculnya kelas sosial baru, perubahan fokus usaha (komersial) dalam komunitas, dan
kehadiran penduduk baru (musiman). Secara spesifik, potensi konflik yang muncul dalam kasus
Pasar Wates Wetan tidak sampai sejauh yang disebutkan Burdge. Hal ini disebabkan karena
revitalisasi yang dilakukan hanya sebatas pembangunan fisik yang tidak mengubah sistem secara
keseluruhan. Konflik yang berpotensi muncul lebih disebabkan oleh perasaan tidak adil dan
kecemburuan sosial di internal komunitas pedagang sendiri, tidak dengan komunitas lain (luar).
Namun demikian kemungkinan untuk terjadi konflik dengan komunitas lain dapat
186 Firdausi

dimungkinkan terjadi apabila setelah revitalisasi banyak pedagang baru yang masuk dan
mendapatkan tempat yang dianggap kelompok pedagang sebagai tempat yang lebih strategis
daripada pedagang lama.

Kenaikan Jumlah Pedagang Tidak Terkendali (Overcapacity)


Permasalahan utama di Pasar Wates Wetan pada dasarnya adalah permasalahan penataan
ruang dan kapasitas pasar. Saat hari pasaran, jumlah pedagang dan kendaraan dagangannya
selalu jauh lebih banyak dan meluber hingga ke jalan. Hal ini yang kemudian mengakibatkan
permasalahan kemacetan menjadi sulit diatasi. Terlebih, jumlah pedagang yang berjualan di
Pasar Wates Wetan tidak dapat diketahui secara pasti. Revitalisasi yang dilakukan di tahun-
tahun sebelumnya belum mampu membuat Pasar Wates Wetan keluar dari masalah ini.
Pedagang semakin lama semakin banyak dan tidak terkendali. Rencana revitalisasi Pasar Wates
Wetan apabila tidak disertai dengan pemikiran tentang jumlah populasi pedagang akan
meningkatkan peluang dampak kenaikan populasi yang mengakibatkan overcapacity.
Burdge (1998) lebih jauh menilai bahwa perubahan populasi di area terdampak akan
mengakibatkan dampak ikutan berupa perubahan kebutuhan akan ruang, pendapatan, dan pola
persaingan perdagangan. Untuk itu penting bagi perencana pembangunan untuk memprediksi
kemungkinan dampak perubahan populasi. Burdge (1998) menyebutkan ada 3 hal yang perlu
dilihat dalam menganalisis dampak perubahan populasi yaitu jumlah populasi, kepadatan, dan
besarnya jumlah orang yang keluar-masuk area terdampak.
Pada kasus ini, tidak ditemukan standar baku tentang jumlah maksimal pedagang dalam
satu luasan pasar tertentu. Namun dengan jumlah pedagang sebanyak 264 (terdaftar) dan
sebanyak kurang lebih 300 pedagang yang tidak terdaftar dengan luasan pasar 5530 m², Pasar
Wates Wetan dapat dikatakan sangat padat. Sebab apabila melihat status Pasar Wates Wetan
sebagai pasar kelas II, maka jumlah pedagang harusnya tidak lebih dari 200 orang. Apabila
menggunakan rumus kepadatan penduduk, diketahui hasil bahwa besarnya kepadatan
penduduk Pasar Wates Wetan adalah sebesar 112.800 jiwa/km². Angka tersebut dalam kategori
kepadatan penduduk termasuk dalam kategori sangat padat. Revitalisasi dengan dibangunnya
pasar 2 lantai di satu sisi dapat menjadi alternatif untuk mencukupi kebutuhan kapasitas pasar.
Namun demikian bangunan 2 lantai tidak serta-merta menjadi solusi yang begitu saja
menghilangkan permasalahan di Pasar Wates Wetan. Dengan tidak rapinya pencatatan dan
pendataan keseluruhan pedagang, bukan tidak mungkin kapasitas pasar tetap tidak mencukupi
meskipun telah direvitalisasi.
Dengan demikian, pembebasan lahan adalah keniscayaan bagi Pasar Wates Wetan. Cepat
atau lambat, Pasar Wates Wetan akan membutuhkan lahan baru (atau setidaknya perluasan
lahan) agar dapat menjadi pasar yang standar. Dengan data yang ada, pemerintah harus berpikir
lebih matang tentang perkembangan Pasar Wates Wetan ke depan selain pembangunan yang
bersifat darurat saat ini.
Analisis Dampak Sosial dalam Perencanaan Pembangunan 187

Permasalahan Kemacetan Tidak Selesai


Dengan tidak dipertimbangkannya jumlah populasi pedagang di Pasar Wates Wetan,
rencana revitalisasi pasar berisiko belum dapat menyelesaikan masalah kemacetan. Hal ini
merupakan dampak ikutan dari potensi dampak terjadinya overcapacity. Seperti diketahui bahwa
pasar akan ramai saat pasaran dan hari-hari besar tertentu. Revitalisasi pasar akan memunculkan
kemungkinan potensi dampak semakin tingginya populasi musiman di Pasar Wates Wetan.
Peningkatan kapasitas pasar tanpa mengetahui persis jumlah pedagang yang ada akan
meningkatkan peluang terjadinya overcapacity dan pada akhirnya, permasalahan kemacetan tidak
selesai. Dengan demikian, pemerintah harus lebih siap dengan akibat yang mungkin
dimunculkan, antara lain kemacetan. Pemerintah harus dapat secara cermat menghitung
kapasitas pasar saat pasar sangat ramai agar permasalahan kemacetan tidak lagi muncul saat pasar
sudah direvitalisasi. Pemerintah harus dapat mengontrol dan membatasi jumlah pedagang di
Pasar Wates Wetan. Karena selama ini yang terjadi, jumlah pedagang tidak dapat diketahui
secara pasti. Hanya tampak dengan penglihatan dan perkiraan kasar bahwa pedagang yang tidak
teridentifikasi (tidak terdaftar) semakin hari semakin banyak.

Penurunan Pendapatan dan Munculnya Kesenjangan Ekonomi


Potensi dampak lain kaitannya dengan revitalisasi Pasar Wates Wetan yaitu penurunan
pendapatan dan munculnya kesenjangan ekonomi. Kekhawatiran ini banyak muncul pada kasus
pasar yang dibangun 2 lantai atau lebih. Kekhawatiran terjadinya penurunan pendapatan pada
kelompok pedagang kain dan pakaian yang diplotkan di lantai 2 dan kemungkinan munculnya
kesenjangan ekonomi antara 2 kelompok pedagang tersebut didasari oleh alasan 1) lantai 1 lebih
mudah dijangkau oleh pengunjung daripada lantai 2, 2) terdapat biaya tambahan yang harus
ditanggung kelompok pedagang yang berjualan di lantai 2 yaitu jasa kuli panggul untuk
mengangkut dagangan ke lantai 2. Terlebih pedagang kain dan pakaian tidak hanya berjualan di
Pasar Wates Wetan saja. Ketika Pasar Wates Wetan tidak sedang hari pasaran, sebagian besar
pedagang akan berjualan di pasar tradisional lain. Dengan demikian, barang dagangan sering
diangkut naik turun lantai 2 sehingga cost untuk kuli panggul semakin besar. Kekhawatiran
kelompok pedagang tentang kemungkinan terjadinya penurunan pendapatan dan munculnya
kesenjangan ekonomi mutlak harus diperhatikan oleh pemerintah daerah. Rencana revitalisasi
harus memperhitungkan hal ini. Apabila permasalahan ini tidak diberi perhatian dan kelompok-
kelompok pedagang merasa adanya ketidakadilan pemerintah dalam pembagian lokasi dagangan
seperti yang disebutkan Deutsch (2006) sebagai ketidakadilan distributif, maka lagi-lagi konflik
akan berpeluang untuk muncul (seperti dibahas pada dampak kecemburuan sosial).

Perubahan Kesempatan Kerja


Dalam rencana revitalisasi pasar dengan desain 2 lantai, perubahan kesempatan kerja
menjadi hal yang berpotensi muncul. Seperti yang dijelaskan Burdge (1998) bahwa sebuah
pembangunan memungkinkan memunculkan perubahan kesempatan kerja khususnya bagi
188 Firdausi

masyarakat sekitar terdampak. Burdge (1998) mencontohkan pembangunan kawasan industri,


misalnya, memberi kesempatan kerja bagi warga sekitar yang tadinya menganggur (contohnya,
ibu rumah tangga). Perubahan kesempatan kerja ini lebih jauh dijelaskan Burdge (1998) dapat
mengakibatkan dampak ikutan yaitu perubahan pendapatan keluarga, kelas sosial, bahkan gaya
hidup.
Rencana revitalisasi Pasar Wates Wetan dalam hal ini juga memungkinkan munculnya
peluang kesempatan kerja. Rencana dibangunnya pasar menjadi 2 lantai membuat pedagang
(sedikit banyak) akan membutuhkan kuli panggul atau kendaraan pengangkut barang dagangan
ke lantai 2. Hal ini dapat menjadi kesempatan kerja baru bagi masyarakat sekitar. Selain kuli
panggul dan sewa kendaraan pengangkut, hal lain yang dapat dijadikan peluang kerja yaitu
penyewaan kendaraan pengangkut antar kota. Dengan disediakannya kendaraan yang
direkomendasikan koordinator pasar, koordinator pasar berharap tidak akan ada lagi aktivitas
bongkar muat yang dilakukan di jalan. Namun demikian pemerintah perlu melakukan
pengawasan terhadap proses pengadaan dan penyediaan kendaraan serta perekrutan kuli panggul
agar betul-betul dapat dilakukan warga sekitar dan tidak dari daerah lain agar tidak memicu
terjadinya kecemburuan sosial.

Dampak pada Level Individu dan Keluarga


Dampak pada level individu dan keluarga dalam kasus Pasar Wates Wetan dapat dilihat
dari gangguan dan perubahan dalam pola kehidupan sehari-hari. Dampak ini terutama akan
dialami oleh masyarakat sekitar pasar. Apabila revitalisasi telah selesai dilaksanakan dan
pedagang diwajibkan untuk berjualan di dalam pasar, maka masyarakat sekitar pasar yang
biasanya menyewakan halaman rumahnya untuk tempat berjualan pedagang (terutama buah)
akan kehilangan salah satu sumber penghasilannya. Seperti disampaikan oleh salah satu staf
UPTD Pasar Wates Wetan bahwa selama ini masyarakat sekitar pasar banyak yang menyewakan
halamannya sebagai tempat berjualan atau lokasi bongkar-muat dagangan.
Muncul pendapat tentang perlunya membantu masyarakat sekitar pasar yang halamannya
biasanya disewakan untuk berjualan agar dialihfungsikan menjadi ruko sehingga masyarakat
sekitar tetap dapat memiliki sumber pendapatan tanpa mengakibatkan kemacetan jalan. Namun
hal ini dianggap kurang efektif karena membutuhkan dana yang tinggi. Pemerintah daerah
dalam hal ini perlu untuk memberi perhatian dan solusi tentang kemungkinan munculnya
dampak tersebut. Lagi-lagi, berdialog langsung dengan masyarakat terdampak menjadi hal yang
mendesak untuk dilakukan agar didapatkan win-win solution terkait rencana revitalisasi.
Komunikasi yang cair dan pelibatan masyarakat dalam perencanaan hingga evaluasi
pembangunan dengan demikian merupakan hal yang mutlak harus dilakukan. Hal ini yang
selama ini menjadi kelemahan pemerintah dalam melakukan perencanaan
Analisis Dampak Sosial dalam Perencanaan Pembangunan 189

Perubahan Kebutuhan Infrastruktur Komunitas


Revitalisasi Pasar Wates Wetan apabila berhasil akan mengakibatkan pasar semakin ramai
sehingga penambahan fasilitas umum lain akan dibutuhkan untuk ada. Salah satu fasilitas yang
perlu mendapat perhatian untuk direncanakan di masa depan adalah fasilitas parkir. Saat ini
fasilitas parkir tidak memadai dan tersebar di banyak tempat, termasuk di bahu jalan. Hal ini
menjadi salah satu penyebab macet. Kebutuhan lain yang berpotensi menjadi dampak sebagai
akibat semakin ramainya pasar setelah direvitalisasi adalah pembebasan lahan sekitar untuk
memperluas pasar. Hal ini sudah berkali-kali disampaikan oleh beberapa pemangku kepentingan
termasuk dari BAPPEDA sendiri dan beberapa informan pedagang. Namun hingga saat ini,
belum ada rencana dari pihak terkait (Dinas Perdagangan dan Perindustrian) untuk melakukan
pembebasan lahan agar pasar menjadi lebih luas sehingga dapat memenuhi kapasitas pedagang
dan memadai sebagai tempat bongkar-muat dagangan dan juga fasilitas parkir.

Tindakan Mitigasi Risiko dan Potensi Dampak Perencanaan


Revitalisasi Pasar Wates Wetan 2017
Perencanaan revitalisasi Pasar Wates Wetan berpotensi memunculkan beberapa dampak
sosial seperti telah dijelaskan di atas. Untuk dapat menekan atau menghilangkan potensi
dampak tersebut perlu dilakukan beberapa tindakan mitigasi. Pembahasan mitigasi menurut
Burdge (1998:111) yaitu,
… includes avoiding the impact by not taking or modifying an action; minimizing, rectifying, or
reducing the impacts through the design operation of the project or policy; or compensating for
the impact by providing subtitute facilities, resources, or opportunities.

Rencana revitalisasi Pasar Wates Wetan berpotensi memunculkan beberapa risiko dan
dampak sosial. Rencana revitalisasi berisiko memunculkan penolakan dari kelompok pedagang
yang merasa dirugikan dengan rencana tersebut (kelompok pedagang kain dan pakaian jadi).
Untuk mencegah munculnya risiko tersebut, pemerintah seyogyanya melakukan sosialisasi dan
dialog interaktif. Dilakukannya sosialisasi dan dialog interaktif memungkinkan komunitas
pedagang (khususnya kelompok pedagang yang merasa dirugikan dengan rencana revitalisasi)
menyampaikan kegelisahannya kepada pemerintah. Pada saat yang sama pemerintah juga dapat
meluruskan dan menjelaskan perencanaan revitalisasi dengan lebih detail sehingga tidak ada
kesalahpahaman. Sosialisasi dan dialog interaktif ini juga selain dapat meminimalkan terjadinya
salah paham yang berujung pada penolakan rencana revitalisasi juga sekaligus dapat
meminimalkan kemungkinan munculnya dampak sosial berupa konflik antara kelompok
pedagang yang berjualan di lantai 1 dengan kelompok pedagang yang diplotkan di lantai 2
(kelompok yang merasa dirugikan). Dialog memungkinkan kedua belah pihak yaitu pemerintah
dan komunitas pedagang dapat mencapai win-win solution atas permasalahan-permasalahan
yang dikhawatirkan kelompok pedagang tertentu.
190 Firdausi

Tindakan mitigasi berupa sosialisasi dan dialog telah dilakukan pemerintah. Dalam
sosialisasi pemerintah menjamin bahwa kekhawatiran komunitas pedagang akan dampak-
dampak negatif dari pembangunan tidak akan terjadi. Namun pemberian jaminan ini belum
dapat sepenuhnya menghilangkan potensi konflik yang ada di komunitas pasar. Kemungkinan
konflik akan muncul apabila di tahapan operasi (pemanfaatan bangunan pasar) pemerintah
tidak secara tegas memberlakukan aturan sesuai yang dijanjikan saat ini (tidak ada pembedaan
perlakuan terhadap pedagang). Pemerintah dalam hal ini perlu lebih serius melakukan tindakan
pencegahan dan evaluasi, bukan hanya sosialisasi dan dialog interaktif. Pengikutsertaan
masyarakat khususnya terdampak adalah hal yang paling perlu dilakukan.
Munculnya risiko penolakan dan potensi dampak berupa konflik didasari oleh
kekhawatiran kelompok pedagang kain dan pakaian jadi akan munculnya dampak berupa
penurunan pendapatan dan munculnya kesenjangan ekonomi. Pedagang kain dan pakaian jadi
khawatir jika berjualan di lantai 2, pendapatannya tidak akan sebanyak ketika berdagang di
lantai 1. Untuk mengantisipasi hal ini, pemerintah selain menempatkan pedagang kain dan
pakaian di lantai 2, pedagang ikan dan bumbu juga diplotkan di lantai 2. Hal ini dilakukan
dengan tujuan menarik minat pengunjung untuk mengakses lantai 2 (karena ikan dan bumbu
merupakan kebutuhan primer yang banyak dicari pengunjung).
Potensi dampak lain yang riskan muncul dan mengancam keberhasilan revitalisasi adalah
terjadinya over capacity yang disebabkan tidak rapinya pencatatan terhadap pedagang. Tindakan
mitigasi yang mutlak harus dilakukan tidak lain adalah dengan melakukan pendataan pedagang
dan bila perlu memberikan kartu identitas kepada pedagang sehingga petugas pasar dapat
mengidentifikasi secara jelas pedagang Pasar Wates Wetan. Apabila revitalisasi masih
memunculkan dampak overcapacity, maka dampak ikutannya adalah permasalahan kemacetan
tidak akan selesai. Namun demikian, pendataan terhadap pedagang dan pembatasan jumlah
pedagang juga tidak cukup berarti apabila Pasar Wates Wetan semakin ramai (karena wacana
pemerintah menjadikan Pasar Wates sebagai salah satu ikon Kabupaten Lumajang sebagai Kota
Pisang) sehingga penambahan fasilitas umum lain akan dibutuhkan untuk ada. Salah satu
fasilitas yang perlu mendapat perhatian untuk direncanakan di masa depan adalah fasilitas parkir
yang pada akhirnya akan membutuhkan pembebasan lahan sekitar untuk memperluas pasar.
Revitalisasi Pasar Wates Wetan selain menimbulkan dampak sosial negatif, juga
menimbulkan potensi dampak yang positif berupa perubahan kesempatan kerja. Rencana
dibangunnya pasar menjadi 2 lantai membuat pedagang akan membutuhkan jasa kuli panggul
atau kendaraan pengangkut barang. Hal ini dapat menjadi kesempatan kerja baru bagi
masyarakat. Dampak ini bersifat positif, selama kesempatan kerja tersebut diperuntukkan
kepada warga sekitar, khususnya warga sekitar yang kehilangan salah satu sumber
pendapatannya (menyewakan halaman rumah sebagai tempat berjualan) akibat rencana
revitalisasi pasar. Dengan demikian perlu dipertegas dan dipastikan bahwa kesempatan kerja
tersebut hanya diperuntukkan bagi warga sekitar pasar.
Analisis Dampak Sosial dalam Perencanaan Pembangunan 191

Kesimpulan dan Saran


Rencana revitalisasi Pasar Wates Wetan berpotensi memunculkan risiko penolakan dari
kelompok pedagang tertentu dan berpotensi memunculkan dampak sosial berupa kecemburuan
sosial dan potensi konflik, kenaikan jumlah pedagang yang tidak terkendali (overcapacity),
permasalahan kemacetan tidak selesai, penurunan pendapatan dan munculnya kesenjangan
ekonomi, perubahan kesempatan kerja, dampak pada level individu dan keluarga, dan
perubahan kebutuhan infrastruktur komunitas. Potensi risiko dan dampak di atas dapat segera
diminimalkan dengan melakukan tindakan mitigatif, utamanya sosialisasi dan dialog interaktif
dengan komunitas pedagang. Hal ini penting dilakukan dengan melihat munculnya bibit
konflik di komunitas pedagang kain dan pakaian yang merasa dirugikan dengan rencana ini.
Potensi risiko dan dampak sosial yang potensial muncul seyogyanya diperhatikan dan
menjadi bahan evaluasi pemerintah daerah. Pemerintah perlu melakukan komunikasi dan
koordinasi aktif dengan UPT dan khususnya masyarakat pedagang agar tidak ada
kesalahpahaman. Hal ini juga penting untuk meminimalkan potensi konflik yang saat ini telah
terlihat. Selain komunikasi dan koordinasi aktif, pemerintah daerah juga perlu memperhatikan
kemungkinan dibutuhkannya perluasan lahan pasar untuk betul-betul dapat meningkatkan
kapasitas pasar.

Daftar Pustaka
Ayuningsasi, A.K. 2011. “Analisis Pendapatan Pedagang Sebelum dan Sesudah Program
Revitalisasi Pasar Tradisional di Kota Denpasar.” Jurnal Piramida, Vol. 7 (1).
Burdge, R.J. 1998. A Conceptual Approach to Social Impact Assesment (revised edition). United
States of America: Social Ecology Press.
Deutsch, Coleman, and Marcus EC. 2006. Handbook Resolusi Konflik (Terjemahan: The
Handbook of Conflict Resolution: Theory and Practice). Bandung: Nusa Media.
Ferlan, M. and Harto, S. 2013. “Manajemen Pelayanan Pemerintah dalam Pembangunan
Pasar.” Jurnal Demokrasi & Otonomi Daerah, Vol. 11 (2): 71-143.
Forest-trends. 2012. Penilaian Dampak Sosial secara Partisipatif untuk Proyek dan Program
Sumberdaya Alam. Dipetik Juni 14, 2016 (www.foresttrends.org).
Kanto, S. 2006. Modernisasi dan Perubahan Sosial. Malang: Universitas Brawijaya.
Kolopaking, L. M., Tonny, F., Sitorus, M. F., Sumarti, T., Dharmawan, A. H., & Nawireja, I.
K. 2003. Sosiologi Umum. Bogor: Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB.
Mondry. 2006. Komunikasi Media Masa dalam Pembangunan. Malang: Agritek Yayasan
Pembangunan Nasional.
Paramita, A.P., dan Ayuningsasi, A. 2013. “Efektivitas dan Dampak Program Revitalisasi Pasar
Tradisional di Pasar Agung Peninjoan.” Journal Ekonomi Pembangunan Universitas
Udayana, Vol. 2 (5): 226-276.
Ritzer, G. dan Goodman, D.J. 2008. Teori Sosiologi (Terjemahan: Sociological Theory). Bantul:
Kreasi Wacana.
Vago, S. 2003. Social Change. USA: Pearson Prentice Hall.

Вам также может понравиться