Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Artikel ini membahas potensi dampak sosial dari suatu perencanaan pembangunan. Analisis
dampak sosial merupakan komponen penting namun sering diabaikan dalam perencanaan
pembangunan. Aspek sosial dapat menjadi pemicu gagalnya pencapaian tujuan pembangunan,
khususnya dalam hal pemanfaatan. Hal ini terjadi pada kasus revitalisasi Pasar Wates Wetan,
Ranuyoso, Lumajang. Revitalisasi yang telah dilakukan beberapa kali di Pasar Wates Wetan belum
dapat menyelesaikan masalah kemacetan yang diakibatkan oleh aktivitas jual-beli yang meluber
hingga ke bahu jalan provinsi. Komunitas pedagang menolak dipindahkan atau sekadar bersikap
disiplin dan kooperatif terhadap aturan yang sudah ada. Tahun 2017, pemerintah kembali
merencanakan revitalisasi Pasar Wates Wetan untuk meningkatkan daya tampung pasar dengan
membangun pasar 2 lantai. Dengan melihat riwayat penyebab gagalnya revitalisasi di tahun-tahun
sebelumnya, penting untuk dilakukan analisis dampak sosial kali ini. Dengan mengetahui potensi
dampak sosial, pemerintah dapat melakukan evaluasi (ex-ante) dan antisipasi dini agar rencana
revitalisasi kali ini dapat menuai keberhasilan. Berbeda dengan penelitian dampak yang dilakukan
saat pembangunan telah selesai, penelitian ini dilakukan saat pembangunan berada pada tahap
perencanaan. Dengan demikian analisis yang dilakukan bersifat prediktif. Untuk meningkatkan
akurasi prediksi dampak, analisis dampak dilakukan dengan pendekatan partisipatif bersama
komunitas pedagang pasar dan para pemangku kepentingan yang terlibat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rencana revitalisasi Pasar Wates Wetan berpotensi memunculkan dampak
sosial berupa konflik, kenaikan jumlah pedagang yang tidak terkendali (over capacity), tidak
selesainya permasalahan kemacetan, penurunan pendapatan, perubahan kesempatan kerja,
perubahan pada level individu dan keluarga, serta perubahan kebutuhan infrastruktur komunitas.
Kata kunci: analisis dampak sosial, revitalisasi pasar, partisipasi warga
This article is a social impact analysis (SIA) of a development planning. Although SIA is an
important part of development planning, many people often ignored it. Social aspect could trigger
the achievement of development goals to failure, especially in terms of utilization. It happened in
the case of the revitalization of Pasar Wates Wetan, Ranuyoso, Lumajang. The revitalization that
had been done several times did not solve traffic congestion problem caused by the buying and
selling activities spilling over the roadside. The merchant community refused to move or simply be
1
Peneliti independen. Email: putrinadiyatul@gmail.com.
Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA):
Firdausi, Putri Nadiyatul. 2018. “Analisis Dampak Sosial Perencanaan Revitalisasi Pasar Wates Wetan, Ranuyoso,
Lumajang,” Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya 1(2):173-191. DOI:10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2018.001.2.05
174 Firdausi
cooperative with existing rules. In 2017, another plan to revitalize the market was released to
increase its capacity by constructing a 2-storey marketplace. By looking at the failure history of
market revitalization in previous years, it is important to take a social impact analysis into market
this new plan. By knowing social potent, the government can do an ex-ante evaluation and
anticipation to avoid another failure. To improve the accuracy of impact predictions, SIA is
conducted with a participatory approach with the merchant community and various stakeholders.
The result shows that the market revitalization plan has potential to generate various social
impacts, such as conflict, the unpredictable increase of the number of traders which could lead to
overcapacity, unsolved congestion problems, decreasing income, changes in employment
opportunities, changes in individual and family levels, and changes in the infrastructure needs of
community.
Keywords: social impact analysis, market revitalization, public participation
Analisis dampak merupakan salah satu komponen penting dalam sebuah perencanaan
pembangunan. Hal ini terkait langsung dengan tercapai-tidaknya tujuan pembangunan dan
bermanfaat-tidaknya hasil dari pembangunan. Studi mengenai analisis dampak dimulai pada
tahun 1969. Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon menandatangani National Environmental
Policy Act (NEPA) yang di dalamnya terdapat aturan kewajiban penyertaan dokumen analisis
dampak lingkungan dalam perencanaan pembangunan beserta tindakan mitigasi yang dapat
dilakukan untuk menghilangkan dampak-dampak yang berpotensi muncul (Burdge, 1998).
Lebih detail, Burdge (1998) menjabarkan poin analisis dampak lingkungan yang harus ada
meliputi: dampak fisik, budaya, dan lingkungan masyarakat. Analisis dampak sosial dengan
demikian menjadi salah satu bagian dari analisis dampak lingkungan. Dalam implementasinya,
analisis dampak lingkungan (amdal) dinilai kurang mampu memberi gambaran dampak sosial
secara lebih mendalam sehingga kemudian dokumen analisis terhadap dampak sosial
berkembang dan terpisah dengan analisis dampak lingkungan. Studi terhadap analisis dampak
sosial semakin berkembang seiring munculnya kesadaran bahwa masyarakat merupakan inti dari
tujuan pembangunan. Namun demikian, fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak
perencanaan pembangunan yang tidak memperhitungkan dampak sosial
Di Indonesia, khususnya, penyertaan dokumen analisis dampak sosial cenderung diabaikan
sehingga tidak jarang ditemui kasus kegagalan pembangunan karena muncul dampak-dampak
sosial di masyarakat yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Penelitian Ferlan dan Harto (2013)
di Pasar Cik Puan, Pekanbaru memperlihatkan ketidakmatangan pemerintah daerah setempat
dalam merencanakan revitalisasi Pasar Cik Puan berdampak pada kegagalan revitalisasi.
Revitalisasi pasar harus terhenti di tengah jalan karena beberapa kendala yang ditemui yaitu
ketidakjelasan status kepemilikan lahan pasar, ketidaksiapan penampungan sementara pedagang,
dan permasalahan dengan investor. Hal ini berdampak pada terlantarnya para pedagang di
sejumlah titik penampungan dan bangunan pasar yang baru disalahgunakan warga untuk
berbuat tidak senonoh. Penelitian Ayuningsasi (2011) terhadap Pasar Tradisional Sudha Merta,
Desa Sidakarya, Denpasar menyebutkan bahwa revitalisasi berdampak pada penurunan
pendapatan pedagang karena lokasi dagangan yang tidak strategis. Isu mengenai tata ruang
Analisis Dampak Sosial dalam Perencanaan Pembangunan 175
memang merupakan isu yang paling umum dan banyak dibahas dalam revitalisasi pasar.
Pedagang akan saling berebut lokasi yang dianggap paling strategis. Hal ini perlu menjadi
perhatian perencana pembangunan agar hasil revitalisasi tidak menimbulkan potensi konflik
akibat perebutan ruang.
Pasar Wates Wetan merupakan salah satu pasar di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur yang
hingga kini masih mengalami kendala dalam upaya revitalisasi. Upaya perbaikan fasilitas pasar
tersebut sebagai implementasi program revitalisasi dimulai sejak tahun 2007. Dinas
Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Lumajang melakukan perencanaan hingga
pelaksanaan relokasi pasar dengan menyediakan lahan baru pada tahun 2007. Upaya ini tidak
berhasil karena pedagang tidak bersedia untuk pindah. Pada tahun 2012, pasar mengalami
kebakaran sehingga sebagian kios penjual rata dengan tanah dan tahun 2014 pasar tersebut
direvitalisasi dengan mendirikan bangunan pasar berupa los yang tidak jauh dari lokasi
kebakaran, membangun beberapa bedak di belakang bangunan los, dan membangun jalan
lingkar pasar agar pengepul tidak menumpuk di jalan provinsi. Pada tahun 2017, Pemkab
Lumajang kembali merencanakan usaha revitalisasi Pasar Wates Wetan untuk meningkatkan
daya tampung dengan membangun bangunan pasar 2 (dua) lantai. Melihat riwayat penyebab
gagalnya revitalisasi di tahun-tahun sebelumnya, menjadi penting untuk melakukan analisis
dampak sosial terhadap rencana revitalisasi pasar sebagai salah satu bahan evaluasi bagi
pemerintah daerah. Bagaimana potensi dampak sosial dari perencanaan revitalisasi Pasar Wates
Wetan, Ranuyoso, Lumajang?
dari proses terjadinya perubahan sosial ini yang kemudian menjadi fokus artikel ini. Artikel ini
akan membahas bagaimana perencanaan perubahan kondisi pasar (dengan revitalisasi) berisiko
memunculkan dampak-dampak sosial yang apabila tidak ditindaklanjuti dapat berakibat pada
kegagalan pembangunan itu sendiri.
Konsep perubahan mencakup tiga pemahaman dasar, yaitu: (a) adanya perbedaan, (b) yang
merupakan perubahan antar waktu, dan (c) dari satu keadaan ke keadaan berikutnya dalam
sistem yang sama (Kolopaking, dkk. 2003). Perubahan sosial juga dipahami sebagai gejala yang
netral yang dapat berupa gerak maju atau mundur. Dengan melihat gerakan atau arah
perubahan, perubahan sosial dapat dibedakan menjadi perubahan sosial yang tidak terencana
(identik dengan gerak mundur) dan perubahan terencana yang lebih dikenal sebagai
pembangunan (gerak maju). Pembangunan, menurut Ketz (1965, dalam Mondry (2006),
merupakan perubahan besar-besaran suatu bangsa, memiliki implikasi yang sangat luas,
berkaitan dengan agen perubahan, kekuasaan, serta sumber daya yang dimiliki, dari suatu
keadaan menuju keadaan yang lebih baik. Senada dengan Ketz, Vago (2003) mengaitkan
pembangunan dengan agen perubahan. Vago (2003:358) mengutip definisi perubahan sosial
direncanakan (planned social change) yang dirumuskan Bennis, Benne, dan Chin (1985), sebagai
“deliberate, conscious, and collaborative efforts by change agents to improve the operations of social
systems.”
Revitalisasi yang dilakukan terhadap Pasar Wates Wetan merupakan bentuk perubahan
sosial dengan gerak maju (pembangunan). Hal ini terlihat dari tujuan dari perubahan yang
menginginkan terjadinya pergerakan maju dari kondisi pasar saat ini. Pembangunan pasar
dengan program revitalisasi tersebut diharapkan dapat menjadi solusi atas permasalahan-
permasalahan yang ada di Pasar Wates Wetan terutama terkait kemacetan yang muncul akibat
beroperasinya pasar.
Merujuk pada pembahasan penilaian dampak sosial Forest-Trends (2012), dampak sosial
dimaknai sebagai dampak-dampak yang mencakup semua konsekuensi sosial dan budaya atas
suatu kelompok manusia tertentu yang diakibatkan setiap tindakan publik atau swasta yang
mengubah cara-cara bagaimana orang menjalani kehidupan, bekerja, bermain, berhubungan
satu sama lain. mengupayakan pemenuhan kebutuhan hidup mereka, dan secara umum
berupaya menjadi anggota masyarakat yang layak. Tujuan utama dari penilaian dampak sosial
adalah untuk mewujudkan suatu lingkungan biofisik dan kondisi manusia yang berkelanjutan
dan layak. Forest-Trends sebagai salah satu LSM yang bergerak di isu kehutanan menyadari
bahwa masyarakat merupakan bagian dari pembangunan sehingga untuk dapat memprediksi
berhasil-tidaknya pembangunan adalah dengan melihat kemungkinan dampak positif dan
negatif dari pembangunan itu sendiri terhadap masyarakat.
Studi mengenai analisis dampak dimulai tahun 1969 (Burdge 1998). Poin-poin analisis
dampak lingkungan yang diharuskan ada meliputi dampak fisik, budaya, dan lingkungan
masyarakat. Analisis dampak sosial dengan demikian menjadi salah satu bagian dari analisis
Analisis Dampak Sosial dalam Perencanaan Pembangunan 177
istri mengerjakan lebih dari bagiannya yang adil dari pekerjaan rumah tangga, apa yang akan
menentukan apakah ia merasa itu adil atau tidak adil? Keempat, ketidakadilan retributif dan
reparatif yang berkaitan dengan bagaimana menanggapi pelanggaran norma-norma moral dan
bagaimana memperbaiki komunitas moral yang telah dilanggar (misalnya, dalam kasus
diskriminasi pekerjaan terhadap pelamar karena ras). Kelima, eksklusi moral atau lingkup
ketidakadilan, berkaitan dengan siapa yang termasuk dalam komunitas moral dan siapa yang
dianggap berhak untuk hasil yang adil dan perlakuan yang adil. Keenam, imperialisme budaya
terjadi ketika kelompok yang dominan memaksakan nilai-nilai, norma, dan adat-istiadat mereka
kepada kelompok subordinat sehingga anggota subordinat ini mendapati diri mereka ditentukan
oleh kaum dominan.
Dalam kasus analisis dampak sosial perencanaan revitalisasi Pasar Wates Wetan,
pembahasan mengenai potensi konflik banyak muncul. Potensi konflik dalam kasus ini muncul
sebagai akibat dari pembagian lokasi lapak yang dianggap oleh sebagian kelompok pedagang
merugikan dan tidak adil bagi mereka. Potensi konflik yang muncul di komunitas pedagang
Pasar Wates Wetan dilatarbelakangi oleh “perasaan tidak adil” yang dialami kelompok pedagang
tertentu. Hal ini yang kemudian harus menjadi perhatian pemerintah agar dapat melakukan
pencegahan terhadap kemungkinan munculnya dampak sosial berupa konflik di masa yang akan
datang.
Metode Penelitian
Penelitian analisis dampak sosial rencana revitalisasi Pasar Wates Wetan merupakan
penelitian kualitatif dengan pendekatan partisipatif mengadaptasi dari metode analisis dampak
sosial versi Forest Trends yang telah lebih dahulu mengimplementasikan metode penelitian
penilaian dampak sosial dengan pendekatan partisipatif bersama masyarakat terdampak.
Penelitian dilakukan pada pertengahan 2017 saat revitalisasi Pasar Wates Wetan berada pada
tahap perencanaan sehingga penelitian ini bersifat prediktif. Penelitian ini diharapkan dapat
menjadi salah satu contoh dokumen analisis dampak sosial yang dapat disandingkan dengan
dokumen analisis dampak lingkungan sebagai persyaratan perencanaan pembangunan.
Analisis ini dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD) bersama peserta perwakilan
pedagang dari masing-masing jenis dagangan dan perwakilan dari pihak Dinas Perdagangan dan
Perindustrian Kabupaten Lumajang. Dalam analisis dampak sosial dengan pendekatan
partisipatif ini, peserta FGD akan bersama-sama mendiskusikan permasalahan di Pasar Wates
Wetan hingga kemudian muncul rencana revitalisasi pasar. Setelah itu peserta juga merumuskan
beberapa dampak sosial yang berisiko muncul atas rencana revitalisasi pasar. Peserta FGD
kemudian mengajukan beberapa tindakan mitigatif dan alternatif solusi untuk meminimalkan
potensi dampak sosial. Berikut langkah-langkah analisis dampak sosial yang dilakukan dengan
metode FGD mengadaptasi dari metode analisis dampak sosial dari Forest-Trends (2012) dengan
menghilangkan langkah penyusunan indikator dan rencana pemantauan karena keterbatasan
Analisis Dampak Sosial dalam Perencanaan Pembangunan 179
kemampuan peserta FGD. Selain penggalian potensi dampak sosial melalui FGD, dilakukan
juga analisis dampak sosial menggunakan kerangka analisis Burdge (1998) yang menekankan
pada 5 (lima) poin berikut, yaitu dampak populasi, komunitas, konflik, dampak pada level
individu dan keluarga, dan perubahan kebutuhan komunitas.
Tabel 1 Teknik Analisis Data, Sumber Data, dan Teknik Pengumpulan Data
Analisis Langkah Sumber Data Teknik
Pengumpulan
Data
Dampak Menggali informasi tentang: Masyarakat Wawancara
populasi Perubahan populasi pedagang, pegawai dan analisis
Perubahan arus temporary workers Dinas Pasar di Pasar data sekunder
Kenaikan dan penurunan populasi musiman Wates Wetan
Relokasi individu dan keluarga
Perbedaan umur, gender, ras, dan komposisi etnis
Susunan Membahas dengan peserta FGD tentang: Masyarakat FGD
komunitas Kajian kondisi dan analisis stakeholder pedagang, pegawai
Analisis kanal transmisi Dinas Pasar di Pasar
Konseptualisasi Wates Wetan
Analisa fakta-tanding atau skenario referensi sosial
Rantai hasil
Risiko, dampak negatif, dan tindakan mitigasi
Indikator dan rencana pemantauan
Analisa data dan pelaporan
Konflik Menggali informasi tentang: Masyarakat Wawancara
antara Kehadiran agensi luar pedagang, pegawai dan analisis
penduduk Kemunculan kelas sosial baru Dinas Pasar di Pasar data sekunder
lokal dengan Perubahan fokus komersial/industri dalam Wates Wetan
pendatang komunitas
Kehadiran penduduk musiman saat akhir pekan
Dampak Menggali informasi tentang: Masyarakat Wawancara
pada level Gangguan dan perubahan dalam pola kehidupan pedagang, pegawai dan analisis
individu dan sehari-hari Dinas Pasar di Pasar data sekunder
keluarga Perbedaan dalam praktik keagamaan Wates Wetan
Perubahan dalam struktur keluarga
Perubahan dalam struktur jaringan sosial
Persepsi terhadap kesehatan dan keselamatan
Perubahan kesempatan waktu luang
Kebutuhan Menggali informasi tentang: Masyarakat Wawancara
infrastruktur Perubahan kebutuhan infrastruktur komunitas pedagang, pegawai dan analisis
komunitas Akuisisi dan disposal lahan Dinas Pasar di Pasar data
Efek terhadap budaya, sejarah, dan arkeologi Wates Wetan sekunder
Informan dalam penelitian ini ditentukan dengan teknik 1) purposive yaitu masyarakat
terdampak (pedagang dan masyarakat sekitar, instansi terkait, dan pembeli dan 2) accidental
untuk mencari informan pembeli (konsumen) di Pasar Wates Wetan. Sebelum melakukan
penilaian terhadap dampak, penting untuk melakukan observasi lapang dan wawancara
180 Firdausi
pendahuluan untuk memperoleh gambaran tentang kondisi nyata lapang, mengetahui cakupan
penelitian beserta pihak-pihak yang berkaitan baik langsung maupun tidak langsung.
Pasar Wates Wetan tidak ramai setiap hari. Pasar hanya akan sangat ramai saat hari pasaran
(Senin, Selasa, Sabtu, dan Minggu). Pasar mulai ramai sejak subuh hingga kurang lebih pukul
09.00 pagi. Selain hari pasaran, pasar tetap beroperasi namun tidak seramai saat hari pasaran.
Ketika pasaran berlangsung, lalu lintas jalan provinsi di depan pasar akan terganggu. Observasi
penulis dengan berjalan kaki mengukur jarak kemacetan dari titik di mana mobil mulai berhenti
(macet) hingga titik di mana mobil dapat berjalan lancar dengan ukuran langkah kaki
diperkirakan ±30 cm. Peneliti juga menghitung waktu lamanya mobil berjalan dari titik macet
Analisis Dampak Sosial dalam Perencanaan Pembangunan 181
hingga dapat berjalan lancar. Hasilnya, kemacetan terjadi dari jarak sekitar 384 meter sebelum
pasar (dari arah Lumajang) hingga sekitar 10 meter setelah pasar. Kemacetan terjadi sepanjang
sekitar 454 meter dengan waktu tempuh sekitar 28 menit. Artinya, kecepatan yang ditempuh
sepanjang terjadi kemacetan hanya 0,972 km/jam. Hal ini yang menjadi keluhan banyak
pengendara yang berlalu-lalang di sekitar pasar. Terlebih jalan tersebut merupakan jalan
penghubung antar-kota.
Selain permasalahan kemacetan akibat aktivitas jual-beli, Pasar Wates Wetan juga
bermasalah dengan kondisi fisik pasar yang tergolong sebagai “rusak sedang.” Pasar dengan
kondisi fisik demikian mendapatkan prioritas dari pemerintah untuk segera direvitalisasi.
Kondisi Pasar Wates Wetan yang rusak sedang ditambah dengan aktivitas jual-beli yang
menyebabkan kemacetan jalan provinsi menjadikan Pemerintah Kabupaten Lumajang melalui
Dinas Perdagangan dan Perindustrian merencanakan revitalisasi Pasar Wates Wetan secara
bertahap.
Pemkab Lumajang telah beberapa kali mengusahakan pembenahan Pasar Wates Wetan tapi
belum menuai keberhasilan yang signifikan. Tercatat, mulai tahun 2007, Pemkab telah
melakukan perencanaan hingga pelaksanaan relokasi pasar dengan menyediakan lahan baru.
Upaya ini tidak berhasil karena pedagang tidak bersedia untuk berpindah. Selanjutnya pada
tahun 2012 pasar mengalami kebakaran sehingga kios-kios penjual rata dengan tanah. Tahun
182 Firdausi
2014 didirikan kembali bangunan pasar berupa kios yang tidak jauh dari lokasi kebakaran, jalan
lingkar, dan los di bagian depan pasar dengan harapan aktivitas jual-beli berpusat di dalam
pasar. Hal tersebut rupanya belum juga dapat menjadi jalan keluar dari kondisi pasar yang tidak
rapi dan mengakibatkan kemacetan.
Tahun 2016 pemerintah kembali merancang perencanaan program revitalisasi pasar di
Pasar Wates Wetan. Sambil merencanakan pembangunan dalam desain yang lengkap, Pasar
Wates Wetan mulai dibenahi diawali dengan memasang paving pada halaman depan pasar dan
memasang papan nama “Pasar Gedang Lumajang.” Nama “Pasar Gedang” dimaksudkan untuk
menjadikan Pasar Wates Wetan sebagai salah satu ikon Kabupaten Lumajang di samping Pasar
Agropolitan Senduro dan pasar yang sedang dibangun di Kecamatan Yosowilangun. Pemkab
Lumajang membidik pasar-pasar yang berada di perbatasan kabupaten untuk dijadikan pasar
yang membawa identitas Kabupaten Lumajang, salah satunya Pasar Wates Wetan.
Tahun 2017 dan beberapa tahun ke depan, Pasar Wates Wetan mulai direvitalisasi satu per
satu bagian pasar. Pertengahan tahun 2017 direncanakan pembongkaran bagian tengah pasar
dan membangunnya menjadi 2 lantai dengan dana Rp4,2 milyar yang berasal dari dana DAK
(Rp1,8 milyar) dan APBD Lumajang (Rp2,4 milyar) dengan target penyelesaian bangunan
bulan Juli-Desember. Menurut Totok, koordinator UPTD Pasar Wates Wetan, selanjutnya
(tahun 2018) kompleks dagangan ikan dan bumbu yang akan dibangun dengan dana sebesar
Rp6 milyar (wawancara 13 Juni 2017). Pemerintah berharap pada tahun 2018 revitalisasi Pasar
Wates Wetan dapat tuntas seiring dengan selesainya masalah kemacetan akibat kapasitas pasar
yang tidak memadai.
Gambar 1 Alur Perencanaan Pembangunan Pasar Wates Wetan, 2017 (Sumber: Wawancara)
Dinas Perdagangan
merencanakan Diverifikasi Dinas
pembangunan PU dengan poin:
Kelayakan secara
teknis, fungsi, dan
anggaran Tender Pengerjaan
Konsultan membuat Kajian tata ruang
rancangan pembangunan
sesuai permintaan dinas
merupakan kebutuhan primer sehingga apabila dipindahkan ke lantai 2 tidak akan memberi
pengaruh yang signifikan.
Bibit-bibit penolakan pada dasarnya telah terjadi sejak pedagang mulai mendengar rencana
revitalisasi dari mulut ke mulut. Hal ini terlihat dari pernyataan salah satu pedagang
kain/pakaian jadi yang mengaku telah mengirim “surat kaleng” kepada Bupati Lumajang yang
meminta agar tidak dilakukan revitalisasi dengan membangun 2 lantai karena dianggap dapat
merugikan kelompok pedagang kain/pakaian jadi bila dipindah ke lantai 2. Alasan penolakan
tersebut didasari oleh beberapa kasus serupa yang terjadi di pasar yang terletak di kota (Plaza
Lumajang) dan salah satu pasar di Kabupaten Probolinggo yang sepi pembeli pada pasar lantai 2
sehingga semua pedagang yang ada di lantai 2 turun ke lantai 1. Kelompok pedagang
kain/pakaian juga menyatakan akan melakukan penolakan dalam bentuk demonstrasi apabila
rencana revitalisasi dengan membangun 2 lantai tetap dilaksanakan.
Potensi kerugian ekonomis seperti ini belum menjadi perhatian pemerintah dalam
merencanakan pembangunan. Padahal, inti dari pembangunan adalah pemanfaatan bangunan
itu sendiri oleh masyarakat (dalam kasus ini komunitas pedagang, pembeli, dan masyarakat
sekitar terdampak). Masyarakat belum diposisikan sebagai subyek pembangunan. Tidak heran
bila banyak perencanaan pembangunan yang pada tahap operasinya gagal mencapai tujuan
karena tidak ditemukannya “ikatan” antara pemerintah dan masyarakat. Sudah saatnya
masyarakat diberikan ruang untuk turut merumuskan, merencanakan, hingga mengevaluasi
perencanaan pembangunan yang pada dasarnya memang diperuntukkan bagi mereka.
Dampak sosial dalam pembangunan dapat berupa dampak positif dan negatif. Dalam
penelitian ini penulis lebih fokus untuk mengkaji kemungkinan-kemungkinan dampak yang
bersifat negatif. Forest-Trends (2012) memaknai dampak negatif sebagai efek samping yang
bersifat negatif dari suatu hasil pekerjaan. Berikut adalah beberapa potensi dampak negatif dari
rencana revitalisasi Pasar Wates Wetan, yang ditemukan melalui proses penelitian.
Sikap tidak setuju pedagang kain dan pakaian terhadap rencana revitalisasi pasar yang
mengakibatkan dipindahkannya pedagang kain dan pakaian ke lantai 2 tersebut kemudian
memunculkan sangkaan tidak adil kepada mereka. Pedagang kain dan pakaian jadi merasa
pemerintah bersikap tidak adil dengan mengorbankan pedagang kain dan pakaian jadi demi
menampung pedagang buah yang selama ini tidak mematuhi peraturan pasar. Hal ini mengarah
pada kecemburuan sosial pedagang kain dan pakaian terhadap pedagang buah. Perasaan
cemburu dan sangkaan tidak adil antar kelompok pedagang ini apabila berlanjut akan
berpotensi menimbulkan konflik.
Perasaan cemburu dan sangkaan tidak adil ini jika merujuk pada jenis ketidakadilan
menurut Deutsch (2006) dapat digolongkan dalam jenis ketidakadilan retributif dan
ketidakadilan prosedural. Jenis ketidakadilan retributif dalam kasus ini terlihat dari pembagian
blok yang dianggap kelompok pedagang kain dan pakaian jadi tidak setimpal. Pedagang yang
menempati lantai 1 dianggap (oleh kelompok pedagang yang diplotkan di lantai 2) lebih
beruntung karena lokasi dagangan di lantai 1 lebih mudah dijangkau pengunjung daripada di
lantai 2. Sedangkan jenis ketidakadilan prosedural terlihat dari tidak dilibatkannya komunitas
pedagang dalam pengambilan keputusan dan keputusan tersebut dianggap merugikan salah satu
kelompok pedagang (pedagang kain dan pakaian jadi).
Menurut Deutsch (2006), seseorang menjadi cenderung kurang merasa terikat pada
otoritas, organisasi, kebijakan sosial, dan aturan pemerintah jika prosedur yang terkait
dengannya dianggap tidak adil. Hal ini kemudian sekaligus menjawab tentang kegagalan
revitalisasi di tahun-tahun sebelumnya. Pedagang cenderung kurang merasa terikat terhadap
otoritas sehingga perilaku tidak disiplin (dengan berjualan di bahu jalan) berlanjut. Apabila
kondisi ini terus terjadi, konflik dapat dimungkinkan muncul. Dalam kasus Pasar Wates Wetan,
konflik masih terlihat samar, yaitu berupa gerutuan (konflik laten). Konflik tersebut dapat
berubah menjadi manifes apabila ada pemicu. Pemerintah dalam hal ini hendaknya melibatkan
masyarakat secara aktif sehingga rencana-rencana pembangunan dapat secara utuh dipahami
oleh pedagang dan harapannya pedagang bersedia bekerja sama dengan pemerintah untuk
menciptakan Pasar Wates Wetan yang rapi dan bebas macet.
Konflik sendiri memang dikategorikan Burdge (1998) sebagai salah satu potensi dampak
sosial yang mungkin muncul dalam suatu perencanaan pembangunan. Konflik sebagai dampak
sosial dari pembangunan, menurut Burdge (1998), dapat dilihat dari kehadiran agen luar,
munculnya kelas sosial baru, perubahan fokus usaha (komersial) dalam komunitas, dan
kehadiran penduduk baru (musiman). Secara spesifik, potensi konflik yang muncul dalam kasus
Pasar Wates Wetan tidak sampai sejauh yang disebutkan Burdge. Hal ini disebabkan karena
revitalisasi yang dilakukan hanya sebatas pembangunan fisik yang tidak mengubah sistem secara
keseluruhan. Konflik yang berpotensi muncul lebih disebabkan oleh perasaan tidak adil dan
kecemburuan sosial di internal komunitas pedagang sendiri, tidak dengan komunitas lain (luar).
Namun demikian kemungkinan untuk terjadi konflik dengan komunitas lain dapat
186 Firdausi
dimungkinkan terjadi apabila setelah revitalisasi banyak pedagang baru yang masuk dan
mendapatkan tempat yang dianggap kelompok pedagang sebagai tempat yang lebih strategis
daripada pedagang lama.
Rencana revitalisasi Pasar Wates Wetan berpotensi memunculkan beberapa risiko dan
dampak sosial. Rencana revitalisasi berisiko memunculkan penolakan dari kelompok pedagang
yang merasa dirugikan dengan rencana tersebut (kelompok pedagang kain dan pakaian jadi).
Untuk mencegah munculnya risiko tersebut, pemerintah seyogyanya melakukan sosialisasi dan
dialog interaktif. Dilakukannya sosialisasi dan dialog interaktif memungkinkan komunitas
pedagang (khususnya kelompok pedagang yang merasa dirugikan dengan rencana revitalisasi)
menyampaikan kegelisahannya kepada pemerintah. Pada saat yang sama pemerintah juga dapat
meluruskan dan menjelaskan perencanaan revitalisasi dengan lebih detail sehingga tidak ada
kesalahpahaman. Sosialisasi dan dialog interaktif ini juga selain dapat meminimalkan terjadinya
salah paham yang berujung pada penolakan rencana revitalisasi juga sekaligus dapat
meminimalkan kemungkinan munculnya dampak sosial berupa konflik antara kelompok
pedagang yang berjualan di lantai 1 dengan kelompok pedagang yang diplotkan di lantai 2
(kelompok yang merasa dirugikan). Dialog memungkinkan kedua belah pihak yaitu pemerintah
dan komunitas pedagang dapat mencapai win-win solution atas permasalahan-permasalahan
yang dikhawatirkan kelompok pedagang tertentu.
190 Firdausi
Tindakan mitigasi berupa sosialisasi dan dialog telah dilakukan pemerintah. Dalam
sosialisasi pemerintah menjamin bahwa kekhawatiran komunitas pedagang akan dampak-
dampak negatif dari pembangunan tidak akan terjadi. Namun pemberian jaminan ini belum
dapat sepenuhnya menghilangkan potensi konflik yang ada di komunitas pasar. Kemungkinan
konflik akan muncul apabila di tahapan operasi (pemanfaatan bangunan pasar) pemerintah
tidak secara tegas memberlakukan aturan sesuai yang dijanjikan saat ini (tidak ada pembedaan
perlakuan terhadap pedagang). Pemerintah dalam hal ini perlu lebih serius melakukan tindakan
pencegahan dan evaluasi, bukan hanya sosialisasi dan dialog interaktif. Pengikutsertaan
masyarakat khususnya terdampak adalah hal yang paling perlu dilakukan.
Munculnya risiko penolakan dan potensi dampak berupa konflik didasari oleh
kekhawatiran kelompok pedagang kain dan pakaian jadi akan munculnya dampak berupa
penurunan pendapatan dan munculnya kesenjangan ekonomi. Pedagang kain dan pakaian jadi
khawatir jika berjualan di lantai 2, pendapatannya tidak akan sebanyak ketika berdagang di
lantai 1. Untuk mengantisipasi hal ini, pemerintah selain menempatkan pedagang kain dan
pakaian di lantai 2, pedagang ikan dan bumbu juga diplotkan di lantai 2. Hal ini dilakukan
dengan tujuan menarik minat pengunjung untuk mengakses lantai 2 (karena ikan dan bumbu
merupakan kebutuhan primer yang banyak dicari pengunjung).
Potensi dampak lain yang riskan muncul dan mengancam keberhasilan revitalisasi adalah
terjadinya over capacity yang disebabkan tidak rapinya pencatatan terhadap pedagang. Tindakan
mitigasi yang mutlak harus dilakukan tidak lain adalah dengan melakukan pendataan pedagang
dan bila perlu memberikan kartu identitas kepada pedagang sehingga petugas pasar dapat
mengidentifikasi secara jelas pedagang Pasar Wates Wetan. Apabila revitalisasi masih
memunculkan dampak overcapacity, maka dampak ikutannya adalah permasalahan kemacetan
tidak akan selesai. Namun demikian, pendataan terhadap pedagang dan pembatasan jumlah
pedagang juga tidak cukup berarti apabila Pasar Wates Wetan semakin ramai (karena wacana
pemerintah menjadikan Pasar Wates sebagai salah satu ikon Kabupaten Lumajang sebagai Kota
Pisang) sehingga penambahan fasilitas umum lain akan dibutuhkan untuk ada. Salah satu
fasilitas yang perlu mendapat perhatian untuk direncanakan di masa depan adalah fasilitas parkir
yang pada akhirnya akan membutuhkan pembebasan lahan sekitar untuk memperluas pasar.
Revitalisasi Pasar Wates Wetan selain menimbulkan dampak sosial negatif, juga
menimbulkan potensi dampak yang positif berupa perubahan kesempatan kerja. Rencana
dibangunnya pasar menjadi 2 lantai membuat pedagang akan membutuhkan jasa kuli panggul
atau kendaraan pengangkut barang. Hal ini dapat menjadi kesempatan kerja baru bagi
masyarakat. Dampak ini bersifat positif, selama kesempatan kerja tersebut diperuntukkan
kepada warga sekitar, khususnya warga sekitar yang kehilangan salah satu sumber
pendapatannya (menyewakan halaman rumah sebagai tempat berjualan) akibat rencana
revitalisasi pasar. Dengan demikian perlu dipertegas dan dipastikan bahwa kesempatan kerja
tersebut hanya diperuntukkan bagi warga sekitar pasar.
Analisis Dampak Sosial dalam Perencanaan Pembangunan 191
Daftar Pustaka
Ayuningsasi, A.K. 2011. “Analisis Pendapatan Pedagang Sebelum dan Sesudah Program
Revitalisasi Pasar Tradisional di Kota Denpasar.” Jurnal Piramida, Vol. 7 (1).
Burdge, R.J. 1998. A Conceptual Approach to Social Impact Assesment (revised edition). United
States of America: Social Ecology Press.
Deutsch, Coleman, and Marcus EC. 2006. Handbook Resolusi Konflik (Terjemahan: The
Handbook of Conflict Resolution: Theory and Practice). Bandung: Nusa Media.
Ferlan, M. and Harto, S. 2013. “Manajemen Pelayanan Pemerintah dalam Pembangunan
Pasar.” Jurnal Demokrasi & Otonomi Daerah, Vol. 11 (2): 71-143.
Forest-trends. 2012. Penilaian Dampak Sosial secara Partisipatif untuk Proyek dan Program
Sumberdaya Alam. Dipetik Juni 14, 2016 (www.foresttrends.org).
Kanto, S. 2006. Modernisasi dan Perubahan Sosial. Malang: Universitas Brawijaya.
Kolopaking, L. M., Tonny, F., Sitorus, M. F., Sumarti, T., Dharmawan, A. H., & Nawireja, I.
K. 2003. Sosiologi Umum. Bogor: Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB.
Mondry. 2006. Komunikasi Media Masa dalam Pembangunan. Malang: Agritek Yayasan
Pembangunan Nasional.
Paramita, A.P., dan Ayuningsasi, A. 2013. “Efektivitas dan Dampak Program Revitalisasi Pasar
Tradisional di Pasar Agung Peninjoan.” Journal Ekonomi Pembangunan Universitas
Udayana, Vol. 2 (5): 226-276.
Ritzer, G. dan Goodman, D.J. 2008. Teori Sosiologi (Terjemahan: Sociological Theory). Bantul:
Kreasi Wacana.
Vago, S. 2003. Social Change. USA: Pearson Prentice Hall.