Вы находитесь на странице: 1из 13

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Klinik Bekam Ibnu Sina Palembang, Sumatera

Selatan pada bulan November 2017 sampai Desember 2017 dengan jumlah

sampel sebanyak 20 orang. Penelitian dilakukan pada beberapa waktu sesuai

jadwal rutin terapi komplementer pasien. Pre test dilakukan saat belum

dimulainya intervensi terapi komplementer bekam yang dilakukan terapis dan

post test dilakukan sesudah terapi komplementer bekam pada 3 hari

berikutnya.

Klinik Bekam Ibnu Sina terletak di Jalan Ampibi No.2109 Blok D-9

Sekip Ujung Palembang. Klinik ini memberikan pelayanan terapi alternatif

meliputi akupuntur, akupressur, pijat refleksi, pijat bayi, ruqyah, terapi herbal

dan bekam. Klinik ini memiliki 5 terapis yaitu 3 perempuan dan 2 laki-laki

serta telah bersertifikasi. Klinik ini memiliki izin mendirikan pengobatan

alternatif dengan izin DINKES STPT No.448/869/Kes/III/2009.

B. Hasil Penelitian

1. Analisis Univariat

Hasil penelitian dianalisa secara univariat dengan tujuan untuk

meringkas data hasil pengukuran. Data tersebut diubah menjadi informasi

yang lebih mudah dipahami. Analisa univariat pada penelitian ini

meliputi karakteristik responden terapi komplementer bekam dan kualitas

tidur.

71
72

a. Karakteristik Responden Terapi Komplementer Bekam

Responden dalam penelitian ini adalah pasien riwayat stroke.

Karakteristik responden yang dikaji terdiri dari usia, jenis kelamin,

frekuensi stroke dan kunjungan terapi.

Tabel 4.1

Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Terapi Komplementer Bekam


Pada Klinik Ibnu Sina Tahun 2017

No Karakteristik Kategori Frekuensi Persentase


1 Usia Pasien Usia 30-35 0 0%
(Th) Usia 36-40 2 10%
Usia 41-45 1 5%
Usia 46-50 4 20%
Usia 51-55 3 15%
Usia 56-60 10 50%

2 Jenis Kelamin Laki-Laki 7 35%


13 65%
Perempuan

3 Frekuensi Serangan Pertama 12 60%


Stroke 8 40%
Serangan Kedua dst

4 Kunjungan Baru 0 0%
20 100%
Lama

Berdasarkan data pada tabel 4.1 menunjukkan bahwa hasil distribusi

karakteristik responden terapi komplementer bekam usia pasien yang paling

banyak yaitu 10 orang (50%) pada usia 56-60. Distribusi jenis kelamin adalah
73

pasien laki-laki 7 orang (35%) dan perempuan 13 orang (65%). Frekuensi stroke

yang paling banyak adalah pada serangan pertama sebesar 60% (12 orang) dan

serangan kedua dst sebesar 40% (8 orang). Kunjungan dari terapi komplementer

bekam sebanyak 20 orang (100%) adalah pasien yang sudah lama melakukan

terapi bekam.

b. Kualitas Tidur Pasien Riwayat Stroke Sebelum Intervensi

Tabel 4.2

Distribusi Frekuensi Kualitas Tidur Pasien Riwayat Stroke Sebelum Terapi

Komplementer Bekam Pada Klinik Ibnu Sina Tahun 2017

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Baik 0 0

Buruk 20 100

Total 20 100

Berdasarkan data pada tabel 4.2 menunjukkan bahwa kualitas tidur pasien

riwayat stroke sebelum diberikan intervensi terapi komplementer bekam dalam

kategori buruk yaitu sebanyak 20 orang (100%).


74

c. Kualitas Tidur Pasien Riwayat Stroke Sesudah Intervensi

Tabel 4.3

Distribusi Frekuensi Kualitas Tidur Pasien Riwayat Stroke Sesudah Terapi

Komplementer Bekam Pada Klinik Ibnu Sina Tahun 2017

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Baik 15 75

Buruk 5 25

Total 20 100

Berdasarkan data pada tabel 4.3 menunjukkan bahwa kualitas tidur pasien

riwayat stroke sesudah diberikan intervensi terapi komplementer bekam oleh

terapis terjadi peningkatan dari sebelumnya yang cukup besar sehingga dalam

kategori baik yaitu sebanyak 15 orang (75%) dan buruk 5 orang (25%).

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hipotesis penelitian

yaitu apakah terdapat pengaruh terapi komplementer bekam terhadap

kualitas tidur pada pasien riwayat stroke. Sebelum analisis dilakukan,

peneliti melakukan uji distribusi data dengan menggunakan uji

normalitas. Uji normalitas data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah uji Shapiro-Wilk karena jumlah sampel untuk setiap kelompok

<50 sampel (Dahlan, 2014). Hasil uji normalitas data kualitas tidur

sebelum dan sesudah dilakukan terapi komplementer bekam sebesar

0,000 sehingga data tidak berdistribusi normal. Data yang didapatkan

merupakan data kategorik berpasangan dan dengan tabel 2 x 2, maka dari


75

itu uji statistik yang digunakan adalah uji marginal homogenity (Dahlan,

2014).

a. Perbedaan Kualitas Tidur Pasien Riwayat Stroke Sebelum dan

Sesudah dilakukan Terapi Komplementer Bekam

Tabel 4.4

Hasil Uji Marginal Homogenity terhadap Kualitas Tidur Pasien Riwayat

Stroke Sebelum dan Sesudah dilakukan Terapi Komplementer Bekam di

Klinik Ibnu Sina Palembang Tahun 2017

Kualitas Tidur Setelah Terapi Komplementer


Bekam
Baik Buruk Total P
value
Kualitas Tidur Baik 0 0 0
Sebelum (100%) (100%)
Terapi Buruk 15 5 20 0,000
Komplementer (75%) (25%)
Bekam
Total 15 5 20
Berdasarkan tabel 4.4 Kualitas tidur sebelum dilakukan terapi

komplementer bekam semua responden memiliki kualitas tidur yang buruk

sebesar 100% (20 orang ). Sedangkan sesudah dilakukan terapi komplementer

bekam kualitas tidur yang buruk mengalami penurunan menjadi 25% (5 orang )

dan kualitas tidur yang baik meningkat menjadi 75% (15 orang). Dari hasil uji

statistik marginal homogeneity didapatkan p value = 0,000 lebih kecil dari nilai α

(0,05) yang artinya terdapat pengaruh yang signifikan. Hal tersebut menunjukkan
76

bahwa terapi komplementer bekam mempengaruhi kualitas tidur pasien riwayat

stroke.

C. Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi

komplementer bekam terhadap kualitas tidur pada pasien riwayat stroke. Oleh

karena itu, diperlukan suatu intervensi agar kualitas tidur pasien riwayat

stroke dapat meningkat seperti dengan diberikannya terapi komplementer

bekam.

1. Analisis Univariat

a. Karakteristik Responden

Usia merupakan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi namun

merupakan faktor risiko terpenting untuk terjadinya serangan stroke baik

stroke iskemik maupun hemoragik. Setelah individu berusia 55 tahun,

risiko terserang stroke menjadi dua kali lipat untuk setiap pertambahan

usia 10 tahun baik pada laki-laki maupun perempuan (AHA, 2010). Hal

ini sejalan dengan hasil penelitian yang didapat bahwa rentang usia 51-60

tahun lebih tinggi dibandingkan dengan usia 30-50 tahun yaitu sebesar

65% dan 35%. Warlow et al (2001) mengungkapkan bahwa usia memiliki

hubungan yang sangat kuat dengan kejadian stroke dikarenakan kejadian

stroke meningkat seiring dengan peningkatan usia seseorang.

Responden yang berjenis kelamin perempuan pada penelitian ini

lebih banyak dibandingkan dengan responden yang berjenis kelamin laki-

laki, dimana dari total 20 responden dalam penelitian 13 orang berjenis

kelamin perempuan dan hanya 7 orang yang berjenis kelamin laki-laki.


77

Walaupun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden perempuan

lebih banyak dibandingkan laki-laki, namun menurut Heart Disesase and

Stroke Statistic 2010, penderita stroke laki-laki 1,25 kali lebih banyak

dibandingkan perempuan dan sekitar 55.000 lebih perempuan

dibandingkan laki-laki yang mengalami stroke setiap tahunnya (AHA,

2010). Hal ini sangat mungkin terjadi karena ternyata stroke menyerang

laki-laki pada usia yang lebih muda sehingga tingkat kelangsungan

hidupnya lebih tinggi dan membuat angka kejadian stroke lebih banyak

pada laki-laki. Selain itu, perempuan terserang stroke pada usia lebih tua,

sehingga lebih banyak wanita dibandingkan laki-laki yang meninggal

setiap tahunnya akibat stroke (Lewis et al, 2007).

Berdasarkan frekuensi stroke responden dengan stroke serangan

pertama lebih banyak dibandingan dengan stroke serangan berulang yaitu

60% dan 40%. Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan American

Heart Ascosiation (2010) bahwa setiap tahunnya, sekitar 750.000 orang

mengalami stroke dimana sekitar 610.000 diantaranya merupakan

serangan pertama dan 185.000 sisanya merupakan serangan berulang.

Damush (2007) mengungkapkan bahwa pasien dengan serangan stroke

yang berulang mengakibatkan kerusakan sistem neurologi yang lebih luas

dibandingkan dengan orang yang baru terserang stroke yang pertama.

Namun dari pengamatan peneliti, tidak terdapat perbedaan kualitas tidur

antara responden stroke serangan pertama dan serangan berulang sebelum

dilakukan intervensi. Responden yang diambil dalam penelitian ini


78

sebanyak 20 orang merupakan pasien lama yang rutin melakukan terapi

komplementer bekam.

b. Kualitas Tidur Sebelum dan Sesudah Terapi Komplementer Bekam

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti dengan

menggunakan kuisioner Pittsburgh Sleep Quality (PSQI) yang terdiri atas

9 pertanyaan yang meliputi dimensi kualitas tidur yaitu kualitas tidur

subjektif, durasi tidur, sleep latensi, disturbansi tidur, penggunaan obat

tidur, efisiensi kebiasaan tidur dan disfungsi tidur pada siang hari (Buysee

et al., 1989). Hasil ini menunjukkan bahwa sebanyak 20 responden

dengan riwayat stroke sebelum diberikan intervensi terapi komplementer

bekam semuanya mengalami kualitas tidur buruk pada 9 pertanyaan

tersebut. Pada domain 1 tentang kualitas tidur semua responden

mengalamai kualitas tidur yang buruk, domain 2 yaitu subjektif tidur

responden mengalami gangguan tidur seperti kesulitan untuk memulai

tidur dimana responden menghabiskan waktu sekitar 30-60 menit

ditempat tidur sampai akhirnya dapat tertidur. Pada domain 3 dan 4

tentang durasi tidur dan efisiensi tidur sehari-hari 16 responden

mengalami jumlah jam tidur yang kurang yaitu hanya 5-6 jam dan 4

responden mengalami tidur yang cukup yaitu 7 jam akan tetapi saat

dijumlahkan dalam persentase semua responden berada pada skor 3 yaitu

masalah berat. Semua responden juga mengaku bahwa sering terbangun

pada tengah malam, merasa kedinginan atau kepanasan dimalam hari,

merasa sulit bernafas dengan nyaman dan mengalami mimpi buruk yang

merupakan pertanyaan dari domain 5 tentang disturbansi tidur. Pada


79

domain 6 tentang penggunaan obat tidur semua responden tidak

menggunakan atau mengkonsumsi obat tidur untuk membantu tidurnya.

Dan pada domain 7 tentang disfungsi siang hari hampir semua responden

mengaku bahwa masalah yang dialaminya dapat menggangu saat

berkendara, makan atau beraktivitas sosial.

Sedangkan setelah diberikan intervensi terapi komplementer

bekam dan dilakukan post test didapatkan hasil bahwa 15 orang

mengalami kualitas tidur yang baik dan 5 orang mengalami kualitas tidur

buruk. Hasil ini menunjukkan bahwa intervensi terapi komplementer

bekam memberikan hasil yang positif terhadap responden. Berdasarkan

data hasil kuisioner terjadi perubahan yang signifikan pada domain setiap

pertanyaan setelah dilakukan terapi komplementer bekam seperti pada

domain 1 tentang kualitas tidur semua responden mengatakan bahwa

kualitas tidurnya baik, pada domain 2 latensi tidur hanya 6 responden

yang masih mengalami sulit untuk memulai tidur yaitu mereka hanya bisa

tertidur setelah 30 menit. Pada domain 4 semua responden mengalami

durasi tidur yang baik yaitu 7-9 jam dan pada domain 5 semua responden

mengalami perubahan yang baik dalam disturbansi tidur hanya saja masih

ada yang responden mengaku bahwa masih terbangun pada tengah malam

hari, merasa kedinginan atau kepanasan dimalam hari akan tetapi

frekuensinya telah berkurang dari sebelumnya. Dan pada domain 7

tentang disfungsi siang hari 7 responden mengaku masalah yang

dialaminya dapat mempengaruhi aktivitasnya akan tetapi waktunya tidak

lama. Hal ini sejalan dengan menurut Yasin (2005) yang menyatakan
80

bahwa sebagian orang langsung merasa sembuh dan segar sejak pertama

kali melakukan terapi bekam namun sebagian yang lain membutuhkan

terapi bekam lebih dari sekali dalam periode tertentu.

2. Analisis Bivariat

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh terapi

komplementer bekam terhadap kualitas tidur pada pasien riwayat stroke.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum diberikan intervensi terapi

komplementer bekam didapatkan kualitas tidur 20 responden mengalami

kualitas tidur buruk. Tetapi setelah dilakukan proses pembekaman 15

responden mengalami kualitas tidur baik dan 5 responden mengalami

kualitas tidur buruk.

Berdasarkan data yang didapat dari kuisioner semua responden

sebelum dilakukan terapi komplementer bekam mengalami masalah pada

setiap domain akan tetapi setelah dilakukan terapi komplementer bekam

15 responden yang mengalami perubahan setiap domain sehingga

mengalami kualitas tidur baik dan 5 responden masih terdapat masalah

pada salah satu domain yang menyebabkan kualitas tidurnya buruk. Dari

hasil kuisioner 15 responden mengalami perubahan yang baik pada

domain kualitas tidur, latensi tidur, durasi tidur akan tetapi domain

disfungsi sehari-hari dan disturbansi tidur masih dialami hanya

frekuensinya yang berkurang sehingga tetap dalam keadaan baik saat

dijumlahkan. Sedangkan 5 responden masih mengalami masalah pada

domain latensi tidur dikarenakan masih sulit untuk memulai tidurnya. Hal
81

ini sejalan dengan pernyataan bahwa gangguan tidur irama sirkadian

terjadi karena tidak tepatnya jadwal tidur seseorang dengan pola normal

tidur sirkadiannya (Harkreader et al., 2007; dikutip Agustin, 2012). Seperti

seseorang tidak dapat tidur ketika orang tersebut berharap untuk tidur,

ingin tidur, atau pun pada saat membutuhkan tidur. Sebaliknya, seseorang

mengantuk di saat waktu yang tidak diinginkan sehingga jumlah jam tidur

seseorang menjadi berkurang (Craven & Hirnle, 2000 ; dikutip Agustin,

2012).

Selain itu 5 responden juga masih mengalami masalah pada

domain disturbansi tidur seperti terbangun pada malam hari dikarekan

merasa kepanasan pada malam hari, mengalami batuk akan tetapi

frekuensinya berkurang dari sebelumnya. Hal ini sejalan dengan Asmadi

(2008) bahwa lingkungan dapat meningkatkan atau menghalangi

seseorang untuk tidur. Jika kondisi lingkungan seseorang bersih, bersuhu

dingin, suasananya tenang dan penerangan yang tidak terlalu terang maka

akan membuat seseorang tersebut tertidur dengan nyenyak, begitupun

sebaliknya jika lingkungan seseorang kotor, bersuhu panas, suasana yang

ramai dan penerangan yang sangat terang dapat mempengaruhi kualitas

tidurnya. Dan seseorang yang kondisi tubuhnya sehat memungkinkan ia

dapat tidur dengan nyenyak, sedangkan untuk seseorang yang kondisinya

kurang sehat (sakit) dan rasa nyeri, maka kebutuhan tidurnya akan tidak

nyenyak.

Data dari kuisoner setelah diberikan terapi komplementer bekam 5

responden juga masih mengalami masalah pada domain 7 tentang


82

disfungsi siang hari dikarenakan ada masalah yang membuat responden

merasa memikirkanya dan terganggu akan tetapi tidak terlalu sering dan

hanya masalah kecil saja. Hal ini juga sejalan dengan Potter & Perry

(2005) bahwa sistem yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur

terbagi dua yaitu ReticularActivating System (RAS) dan Bulbar

Synchronizing Regional (BSR) yang terdapat pada batang otak. RAS

adalah suatu sistem yang dapat mengatur seluruh tingkatan kegiatan

susunan saraf pusat termasuk kewaspadaan dan tidur. Selain itu RAS dapat

memberi rangsangan visual, nyeri, menerima stimulasi dari korteks serebri

termasuk rangsangan emosi dan proses pikir. RAS (ReticularActivating

System) terletak pada bagian mesenfalon dan bagian atas pons sehingga

dalam keadaan sadar neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin

seperti norepineprin yang akan membuat sulit tidur.

Hasil diatas sesuai dengan hasil uji statistik marginal homogeneity

didapatkan p value = 0,000 lebih kecil dari nilai α (0,05) yang artinya

terdapat pengaruh terapi komplementer bekam terhadap kualitas tidur pada

pasien riwayat stroke. Dikarenakan bekam merupakan cara pengobatan

tradisional yang memiliki prinsip kerja mengeluarkan darah (blood letting)

di area tertentu di punggung sehingga dapat menyembuhkan penyakit.

Pada pelaksanaan terapi bekam yang dilakukan secara teratur terbukti

dapat memberikan efek sebagai antioksidan yaitu menurunkan radikal

bebas (Umar, 2010).

Kurnia (2009) mengungkapkan bahwa pembekaman akan

merangsang syaraf di permukaan kulit yang akan di lanjutkan pada cornu


83

posterior medulla spinalis melalui syaraf A-delta dan C, serta

traktusspinothalamus ke arah thalamus yang akan menghasilkan

endhorpin. Endhorpin ini yang akan memberikan efek relaksasi dan

kesegaran pada seluruh anggota tubuh dan posisi relaksasi inilah yang

menurunkan stimulus ke sistem aktivasi reticular (SAR), dimana (SAR)

yang berlokasi pada batang otak teratas yang dapat mempertahankan

kewaspadaan dan terjaga. Dengan demikian akan diambil alih oleh batang

otak yang lain yang disebut bulbar synchronizing region (BSR) yang

fungsinya berkebalikan dengan SAR, sehingga bisa menyebabkan tidur

yang diharapkan akan dapat meningkatkan kualitas tidur. Hal ini sesuai

dengan hasil penelitian yang menunjukkan adanya pengaruh terapi

komplementer bekam terhadap kualitas tidur pada pasien riwayat stroke.

D. Keterbatasan Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian yang dilakukan di Klinik Ibnu Sina

Palembang Tahun 2017 ini masih terdapat kekurangan, walaupun peneliti

berusaha semaksimal mungkin untuk membuat hasil penelitian ini

sempurna. Peneliti menyadari bahwa keterbatasan penelitian ini adalah

waktu penelitian yang dilakukan pada setiap pasien berbeda karena pasien

yang datang untuk terapi komplementer bekam tidak pada waktu yang

sama.

Вам также может понравиться