Вы находитесь на странице: 1из 6

dimuka, harga di masa yang akan datang lebih rendah dibandingkan dengan harga tunainya

(inilah sebabnya para sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad SAW mengenai keabsahan
salam/salaf sementara riba dilarang dan Nabi Muhammad SAW memperbolehkannya asalkan
harga, kualitas, dan penyerahan barang harus ditentukan).

Dalam kata-kata fuqaha Hanafi yang terkenal, Sarakhsi : "Menjual secara kredit adalah
karakteristik mutlak perdaganan”. Dalam membahas hak-hak rekanan pengelolaan dalam
kontrak (akad) musyarakah Inedit adalah bagian dari praktik para pedagang, dan bahwa ia
merupakan cara yang paling kondusif untuk pencapaian sasaran investor, yakni keuntungan.
Dan dalam kebanyakan kasus, keuntungan hanya didapat diperoleh melalui penjualan secara
kredit dan bukan secara tunai”. Ia selanjutnya menyatakan : barang dijual secara kredit dengan
harga yang lebih tinggi dibandingkan penjualannnya secara tunai.

Ulasan Abraham L. Udovitch mengenai pandangan yang dinyatakan oleh Sarakhsi


perlu disebutkan pula : "Pernyataan ini menjelaskan mengapa terdapat keuntungan lebih besar
yang berasal dari transaksi transaksi kredit." Perbedaan harga di antara penjualan redit dan
tunai juga membantu menjelaskan mengapa riba dilarang, sejauh yang diamati, tidak
menerapkan batasan yang merusak pada perdagangan. Sementara perbedaan dalam harga di
mana seseorang menjual secara kredit dan harga di mana seseorang menjual secara tunai tidak
secara formal dan legal membenarkan bunga, ia malahan memenuhi, dari sudut pandang fungsi
perekonomiannya, peran yang sama dengan bunga. la memberikan pengembalian kepada
kreditur atas risiko yang ada dalam transaksi dan memberikan imbalan baginya atas kehilangan
modalnya".

Udovitch, meskipun demikian, terlalu memberikan penekanan ketika mengatakan


bahwa perbedaan harga tunai dan kredit dari suatu komoditas memenuhi peran yang sama
dengan bunga. Ekonomi syari'ah memiliki ketentuan asli mengenai pengkonversian uang ke
dalam aset dan kemudian seseorang bisa mengukur manfaatnya. Walaupun mengakui konsep
nilai waktu uang (time value of money) sejauh penentuan harga penjualan secara kredit, ia tidak
mengadakan uang sewa atas modal seperti yang dilakukan oleh bunga dalam penjualan dan
pinjaman yang dapat menciptakan kelas penyewa uang (renternir). Uang pertukaran.
Berdasarkan hukum syari'ah, Rp1.000 hari ini akan tetap menjadi Rp1.000 esok. Namun, yang
berarti adalah perwujudan Rp1.000 ke dalam aset, di mana aset Rp1.000 tersebut akan bernilai
lebih atau kurang dalam hitungan beberapa tahun yang dapat dipertimbangkan oleh seseorang.
Oleh karenanya nilai harus ada dalam aset apa pun, yang mana ia bisa menjadi lebih tinggi atau
lebih rendah dimasa yang akan datang.

Para fuqaha juga memperoleh argumentasi dari perbedaan di antara harga tunai dan
kcedit dari Kitab Suci Alquran. Alquran meriwayatkan orang-orang kafir berkata: "Yang
demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba." (2:275). Dengan
mengacu pada ayat ini, Shaikh Taqi Usmani berkata: "Keberatan ketika kita meningkatkan
harga komoditas pada transaksi penjualan orisinalnya karena la didasarkan pada pembayaran
yang ditunda, ia dianggap sebagai penjualan yang sah, tap ketika kita ingin meningkatkan
jumlah yang harus dibayar setelah tanggal jatuh tempo dan debiturnya tidak mampu membayar,
ia disebut riba, sementara kenaikan dalam dalam kedua kasus serupa." Keberatan ini secara
spesifik dinyatakan oleh mufassir Kitab Suci Alquran, Ibn Abi-Hatim: "Mereka biasa
mengatakan bahwa tidaklah berbeda apakah kita meningkatkan harga pada awal penjualan atau
kita meningkatkan harga pada saat jatuh tempo, Keduanya sama. Keberatan inilah yang diacu
dalam ayat..." Kitab Suci Alquran menanggapi pemikiran orang-orang yang tidak beriman itu
dengan: “dan Allah telah memperbolehkan perdagangn dan melarang riba".

Allamah Sayyuti mengutip dari Mujahid bahwa "orang terbiasa menjual barang secara
kredit, pada saat pembayarannya jatuh tempo, mereka biasa memberikan perpanjangan waktu
dengan harga yang ditingkatkan". Pada saat itu, ayat "Janganlah kalian memakan riba yang
berlipat ganda" diwahyukan.” Ibnu Jarir at-Tabari telah melaporkan dari Qatadah sebuah
situasi yang serupa dengan keterlibatan riba di mana seseorang menjual komoditas dengan
harga kredit yang dapat dibayar pada waktu yang telah disetujui, ketika pembayarannya jatuh
tempo dan pembeli tidak dapat membayarnya, harganya ditingkatkan dan waktu
pembayarannya diperpanjang."

Dapat disimpulkan dengan benar dari pembahasan itu bahwa transaksi penjualan kredit
dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga pada saat itu dapat diterima." Apa
yang dilarang adalah ketika harga yang telah ditetapkan bersama ditingkatkan karena adanya
keterlambatan dalam pembayaran. Hal ini karena komoditas, ketika telah terjual, menjadi hak
milik pembeli secara permanen dan penjual tidak memiliki hak untuk menetapkan ulang harga
dari komoditas yang telah ia jual, dan juga karena harga tersebut menjadi utang.
IMPLIKASI BIAYA EKUITAS (COST OF EQUITY) DALAM INVESTASI SYARI'AH

Pada topik ini, dibahas dua topik besar, yaitu implikasi biaya ekuitas untuk transaksi
saham di pasar modal dan implikasi biaya ekuitas untuk transaksi di perbankan syari'ah.
Dengan penjelasan sebagai berikut :
Biaya Ekuitas untuk Transaksi Saham
Konsep diskonto sangat penting dalam analisis teori modal dan investasi. Secara praktis akan
dalam evaluasi proyek ataupun keputusan investasi. Misalnya saja model Net Present Value
NPV). Cost-Benefit Analysis, Internal Required Rate of Return (IRR), Dividen Model dalam
Asset Valuation, dan seterusnya. Diskonto inilah yang dimaksud dalam time value of money.
Konsep time value of money atau yang disebut ekonom sebagai positive time menyebutkan
bahwa nilai komoditi pada saat ini lebih tinggi dibanding nilainya di masa depan. Konsep yang
dikembangkan Von Bhom-Bawerk dalam Capital and interest dan Positive Theory of Capital
memang menyebutkan bahwa positive time preference merupakan pola ekonominyang normal,
sistematis dan rasional. Diskonto dalam positive time preference ini didasarkan pada, atau
paling tidak berhubungan intim dengan tingkat bunga (Interest rate).

Sejak terjadinya konvergensi pendapat dalam fiqh bahwa bunga diharamkan dalam
islam karena dianggap salah satu bentuk riba, muncullah pertanyaan-pertanyaan tentang
penggunaan diskonto dalam evaluasi investasi, dan juga pemakaiannya sebagai cost of capital.
misalnya, apakah penggunaannya secara mendasar bertentangan dengan prinsip dasar
pelarangan riba tersebut?
Terdapat perbedaan pendapat dalam hal ini, yang berarti belum terdapat kesepakatan.
Tetapi ada penyikapan yang cukup sama terhadap teori positive time preference yaitu bahwa
teori tersebut tidak bisa diasumsikan begitu saja diterima secara menyeluruh di kalangan
ekonom. Kalau disebutkan bahwa positive time preference merupakan pola yang wajar dan
normal dengan melihat latar historis, maka yang rasional justru yang memungkinkan teriadinya
positive maupun negative time preference. Kemungkinan positif maupun negatif dan bahkan
zero time preference adalah karena ketidakpastian (uncertainty) dimasa depan. "Dan tiada
seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahkannya besok." (QS
31:34)

Perbedaan pendapat terjadi pada saat suatu rate tertentu digunakan sebagai faktor
diskonto. Pihak yang satu menganggap dilarang karena Islam tidak membolehkan riba, di pihak
lain, ditemukan adanya praktik penjualan dalam bentuk bay as-salam dan bay muajjal ternyata
tidak dilarang dalam Islam. Dalam praktik penjualan yang demikian, harga komoditi boleh
berbeda dengan harga spot-nya dengan adanya pelibatan waktu dalam proses pertukaran.
Secara sederhana, terkadang ini dianggap bentuk pengakuan time value of money atau adanya
tingkat diskonto.

Shabir F. Ulgener membolehkan interest dipakai sebagai faktor diskonto. Katanya yang
diperlukan adalah pembedaan interest sebagai suatu surplus (riba) dengan interest sebagai
faktor penghitungan efisiensi ekonomi. Anas Zarqa (1992) menyebutkan diskonto didasari oleh
prinsip opportunity cost untuk efisiensi, karena ekonom pun sepakat bahwa mengabaikan
diskonto akan menyebabkan hilangnya efisiensi, padahal Islam menghendaki efisiensi melalui
pelarangan riba/(sesuatu yang berlebihan, waste). Hanya saja dalam hal ini Anas Zarqa tidak
mau menggunakan interest rate sebagai faktor diskonto.

Oleh karena itu, kalau kemudian diskonto membuat interest (bunga) harus pula
diterima, sudah semestinya yang demikian itu ditolak. Kemudian katanya, Since no real
Investment in an economy can be undertaken without facing risk, cash flow of such investmen
should be discounted not by riskless interest rate, but by true opportunity cost. Dalam hal ini,
yang dimajukan sebagai alternatif adalah rate of return dari aset berisiko, misalnya dengan
menggunakan ukuran rasio earning per share dengan harga (E/P). Idenya seperti teori cost of
capital Modigliani dan Miller yang menyebutkan bahwa memiliki rate yang berbeda-beda.

Kesimpulannya: pendapat yang membolehkan penggunaan rate tertentu sebagai faktor


diskonto didasarkan pada alasan bahwa discount rate dan interest rate merupakan dua hal yang
berbeda. Faktor diskonto ini diperlukan secara definitif untuk kepentingan efisien. M.Akram
Khan (1992) mewakili pendapat yang menentang penggunaan suatu rate sebagai faktor
diskonto. Selain didasarkan pada penolakan atas positive time preference, disebutkan pula
bahwa "time value of money is an unsound concept on ration ground”. Katanya penerimaan
konsep diskonto dapat mendorong legitimasi interest (bunga) dan membuka pintu belakang
bagi masuknya kembali riba. Sedangkan argumen tentang efisiensi dijawab dengan memajukan
faktor-faktor lain sehingga penentu efisien, misalnyaproses managerial, sehngga faktor
diskonto bukan merupakan penentu suatu efisiensi. Tetapi Akhram Khan tenyebut opportunity
cost yang dikandung oleh faktor diskonto sebagai cost of capital. Karenanya Vogel dan Hayes
(1998) menyimpulkan bahwa sampai saat ini konsep time value of capital tidak ditolak
sepenuhnya dalam hukum Islam (fiqh).
Faktor diskonto yang digunakan sebagai cost of capital tergantung dari asset dan risiko
dikandungnya. Islam mengizinkan pinjam-meminjam tidak dengan bunga, melainkan dengan
basis profit/loss-sharing. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa Islam mendorong umatnya
menjadi investor dan bukannya kreditur. Investor selalu berhadapan dengan risiko,
sejalan dengan konsep profit/loss-sharing yang berarti juga risk sharing. Dengan demikian,
perhitungan cost of capital dalam pendanaan syari'ah akan lebih menjurus pada cost of equity
karena debt dengan sistem tersebut pun diperlakukan seperti equity.

Model yang lazim digunakan selama ini adalah Capital Asset Pricing Model (CAPM)
dan Arbitrage Pricing Theory (APT) untuk menentukan rate of return yang dianggap pantas.
CAPM mengasumsikan bahwa return suatu sekuritas berbanding lurus dengan risikonya.
Risiko yang digunakan adalah beta, yang mengukur risiko sekuritas bersangkutan terhadap
risiko pasar. Hubungan keseimbangan (equilibrium) antara return dan risikonya dinyatakan
dengan persamaan Security Market Line (SML) berikut:
E(Ri) = E(Rm) Rf Bi
E(Ri) = Rf + Bi [E(Rm)-Rf]
dimana:
E(Ri) = Expected return on risky security i
E(Rm) = Expected return on market portfolio
RE = Risk-free rate cov (Ri, Rm)/var(Rm)

Dari persamaan tersebut tampak bahwa CAPM memerlukan dua kondisi: (1)
keberadaan risk-free rate dan (2) adanya market portfolio yang terdiversifikasi dengan baik.
Dalaam Syari'ah Finance, tampaknya hanya satu saja yang memungkinkan dipenuhi. Proxi
untuk risk-free rate di Barat adalah T-Bills rate. Secara teoretis, tidak ada yang ekuivalen dalam
syariah market, karena tidak diizinkannya pemerintah meminjam dengan basis bunga ini.
Memang bisa dimungkinkan suatu pemerintah mengeluarkan sekuritas dengan menggunakan
predetermined fixed rate tapi dengan ukuran pertumbuhan GDP sebagai bentuk profit-sharing
misalnya. Tapi yang begini tetap tidak didapat sebagai proxi untuk risk-free rate. Lagi pula,
sekuritas pemerintah yang demekian belum banyak tersedia di berbagai negara.

Untuk well-diversified market portofolio, perkembangan yang menggembirakan dalam


Syari'ah capital market memungkinkan untuk dipenuhi. Sudah ada Dow Jones Syari'ah Index
(DJII) untuk portofolio pasar internasional atau RHB Syari'ah Index di Malaysia yang dapat
dijadikan benchmark untuk market portfolio. Sementara di Indonesia, kondisi ini tampaknya
belum memungkinkan. Saat buku ini ditulis belum ada Syari’ah Index di pasar modal
Indonesia, meskipun sudah ada reksa dana syari'ahnya.

Dengan demikian, CAPM sulit digunakan karena tidak adanya proxi untuk risk-free
rate tersebut. Sementara APT bisa dilihat kemungkinan penggunaannya. APT juga
didimanfaatkan untuk menentukan capital risk-adjusted rate yang dianggap pantas. Tidak
seperti CAPM, APT tidak digunakan untuk mengidentifikasi portofolio mana yang efisien,
tetapi mengasumsikan bahwa return setiap asset bergantung pada pengaruh beberapa faktor
plus "noise”.
Ri = B1, i (factor 1) + B2 i (factor 2) + +Bk i (factor k) + Ei

Kesuksesan model ini tergantung pada kemampuan menemukan dan menentukan daftar
faktor yang dapat dimasukkan dalam model. Dengan demikian modifikasi dengan penyesuai
kondisi pasar keuangan syari'ah mungkin dilakukan. Oleh karena itu, diverifikasi secara baik
dalam pasar portofolio dapat dilakukan. Hal ini terbukti, bahwa belakangan telah ditunjukkan
perkembangan pasar modal syari'ah yang menggembirakan. Misalnya telah ada Dow Jone
Syari'ah Index (DJII) untuk portofolio pasar internasional, Rashid Hussen Bhd Syari'ah Index
(RHBII) di Malaysia, yang dapat dijadikan benchmark untuk market portfolio. Di Indonesia,
sejak tahun 2000 telah diselenggarakan Jakarta Syari'ah Index yang diluncurkan di Bursa Efek
Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, maka rekonstruksi model perhitungan cost of capital dapat
dilakukan. Oleh karena di dalam keuangan syari'ah tidak berlaku adanya cost of
capital ataupun cost of fund, namun bisa berlaku untuk cost of equity, maka turunan formula
dapat dibuat sebagai berikut :
RE = Rf + β(Rm - Rf)
Dimana:
RE = Return of equity (imbal hasil atas modal/penyertaan)
Rm = Estimasi Rm didapat dengan memperhatikan kinerja:
* Portofolio di pasar modal syari'ah
* Perusahaan (emiten) syari'ah
* Perhitungan rate of return
β = Estimasi ß didapat dari covariance (I, M)/variance (M)
* I = Representasi tingkat return investasi syari'ah
* M = Tingkat rata-rata return pasar
Rf = Merupakan estimasi Rf yang dilihat sebagai proxy Rf, didadapat dari :
*Seleksi portofolio syari'ah
*Rate of return of portfolio M pada tingkat tertentu
* Hitung variance pada tingkat return semua saham
* Hitung tingkat rata-rata tingkat return dari variance terendah saham dan
gunakan proxy tersebut sebagai Rf untuk menghitungcost of equity.
Jika Rf melebihi batas maksimum (nisab) return maka ada zakat, maka rancangannya
menjadi rumus sebagai berikut:
Ri = Z + βiR’,
dimana
Z = besarnya zakat yang harus dibayar

Вам также может понравиться