Вы находитесь на странице: 1из 6

3.3.Apa yang menyebabkan hidrosefalus pada pasien ?

Ruangan cairan serebrospinal (CSS) mulai terbentuk pada minggu kelima masa
embrionik terdiri atas sistem ventrikel, sistem magna pada dasar otak, dan ruang
subarakhnoid yang meliputi seluruh susunan saraf. CSS yang dibentuk dalam sistem
ventrikel oleh pleksus koroidalis kembali ke dalam peredaran darah melalui kapiler di
dalam pia mater dan arakhnoid yang meliputi susunan saraf pusat (CSS). Hubungan
antara sistem ventrikel dan ruang subarakhnoid melalui foramen magendi di median
dan foramen luschka di sebelah lateral ventrikel IV.
Aliran CSS yang normal ialah ventrikel lateralis melalui foramen monro ke
ventrikel III, dari tempat ini melalui saluran yang sempit akuaduktus sylvii ke ventrikel
IV dan melalui foramen luscka dan magendi ke dalam subarakhnoid melalui sistem
magna. Penutupan sistem basalis menyebabakan gangguan kecepatan reabsorbsi CSS
oleh sistem kapiler.
CSS diproduksi dan direabsorbsi terus-menerus di dalam SSP, volume total CSS
di seluruh rongga serebrospinal sekitar 125 ml, CSS normal diproduksi 0,35 ml/menit
atau 500 ml/hari. Pada anak dengan hidrosefalus produksi CSS ternyata berkurang
menjadi 0,30/menit. Tekanan CSS merupakan fungsi kecepatan dari pembentukan
cairan dan resistensi reabsorpsi oleh vili arakhnoidalis. Jumlah CSS dalam rongga
serebrospinal yang berlebihan dapat meningkatkan tekanan sehingga dapat merusak
jaringan saraf. Keadaan ini disebut hidrosefalus, hidrosefalus dapat diakibatkan oleh
pembentukan cairan berlebihan oleh pleksus koroideus, absorbsi yang tidak adekuat,
atau abstruksi aliran keluar pada salah satu ventrikel atau lebih.
Ada dua jenis hidrosefalus, yaitu nonkomunikans (aliran cairan dari sistem
ventrikel ke ruang subarakhnoid mengalami sumbatan) dan komunikans (tidak ada
sumbatan di sistem ventrikel). Sindrom klinis yang ditampilkan berhubungan dengan
dilatasi yang progesif pada sistem ventrikuler serebri dan kompresi gabungan dari
jaringan-jaringan serebri selama produksi.
CSS yang meningkat diabsorbsi dengan cepat oleh vili arakhnoid. Akibat
berlebihnya CSS dan meningkatnya tekanan intrakranial, terjadi peleburan ruang-ruang
tempat mengalirnya liquor (Muttaqin 2008).

Muttaqin, Arif .2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafa. Jakarta : Salemba Medika
1. RUBELLA
a. Definisi
Rubella, juga disebut campak Jerman, adalah penyakit masa kanak-kanak
yang insidennya telah nyata menurun di Amerika utara sejak diperkenalkannya
vaksin rubella rutin pada anak. Dengan tidak adanya kehamilan, biasanya secara
klinis dimanifestasikan sebagai infeksi ringan yang sembuh sendiri. Rubella
merupakan salah satu infeksi paling teratogenik yang dikenal dengan sekuele
infeksi janin paling buruk selama fase organogenesis (Cuningham, 2010).
Sindrom Rubella kongenital adalah infeksi virus yang didapat dari ibu
selama kehamilan. Tanda dari sindrom ini adalah adanya kelainan kongenital
multipel yang bisa mengakibatkan kematian janin. Diagnosis ditegakkan dengan
serologi dan kultur virus. Tidak ada pengobatan khusus. Pencegahannya adalah
dengan melakukan vaksinasi rutin. Sindrom Rubela kongenital biasanya berasal
dari infeksi ibu primer. Rubella diyakini menyerang saluran pernapasan bagian
atas, dengan viremia dan penyebaran virus berikutnya ke tempat yang berbeda,
termasuk plasenta. Janin berisiko tinggi mengalami kelainan perkembangan saat
terinfeksi selama 16 minggu pertama kehamilan, terutama pada 8 sampai 10
minggu pertama. Pada awal masa kehamilan, virus dianggap untuk membentuk
infeksi intrauterin kronis. Efeknya meliputi kerusakan endotel pada pembuluh
darah, sitolisisis sel secara langsung, dan gangguan mitosis seluler (Mary, 2015).

b. Epidemiologi
KLB rubella besar terjadi di Kanada pada 1990-an. Pada tahun 2005, 220
kasus rubella yang dikonfirmasi di tiga kabupaten di Ontario. Sebagian besar dari
kasus ini berada di anggota komunitas keagamaan yang banyak anggota belum
divaksinasi atau belum diterima berbagai vaksin rutin yang direkomendasikan.
Insiden rubella telah menurun 99% dari 57.686 kasus pada 1969 menjadi 271
kasus pada tahun 1999. Di luar kehamilan, rubella tidak berbahaya. Namun,
dalam kehamilan, penyakit ini menyebabkan kelainan bawaan janin. Wanita
hamil dengan rubella mempunyai distribusi angka cacat bawaan pada janin
bergantung pada tuanya kehamilan. Triwulan I ke bawah 30-50%, triwulan II
6,8% dan triwulan III 5,3% (Mochtar, 2011).
c. Etiologi
Rubella disebabkan oleh virus RNA beruntai tunggal yang merupakan
anggota dari togaviridae. Terdapat dua genotip utama, dengan eropa, amerika
utara, dan jepang isolat berbeda dari beberapa ditemukan di India dan Cina.
Penularan terjadi melalui sekresi nasofaring, dan angka penularan adalah 80%
pada orang yang rentan (Cuningham, 2010).

d. Patogenesis
Virus rubella disebabkan oleh droplet. Virus ini ada di dalam nasofaring
dan menyebar melalui sistem limfatik dan darah. Infeksi janin terjadi jika terdapat
viremia maternal dan terjadi melalui transmisi plasenta. Infeksi janin diperoleh
secara hematogen, dan tingkat transmisi bervariasi dengan usia kehamilan di
mana infeksi ibu terjadi. Setelah menginfeksi plasenta, virus rubella menyebar
melalui sistem vaskular dari perkembangan janin, menyebabkan kerusakan
sitopatik ke pembuluh darah dan iskemia dalam perkembangan organ. Ketika ibu
infeksi/paparan terjadi pada trimester pertama, tingkat infeksi janin mendekati
80%, turun menjadi 25% pada akhir trimester kedua dan meningkat lagi di
trimester ketiga dari 35% pada usia kehamilan 27-30 minggu untuk hampir 100%
melewati 36 minggu gestation. Risiko cacat bawaan telah dilaporkan 90% bila
infeksi maternal terjadi sebelum 11 minggu kehamilan, 33% di 11-12 minggu,
11% di 13-14 minggu, 24% di 15-16 minggu, dan 0% setelah 16 weeks (Reece,
2007).
i. Rubella postnatal
Masuknya virus rubella biasanya melalui epitel pernafasan
nasofaring. Virus ditularkan melalui partikel aerosol dari sekresi saluran
pernafasan individu yang terinfeksi. Virus menempel dan menyerang epitel
pernafasan. Kemudian menyebar secara hematogen (viremia primer) ke
limfatik regional dan jauh dan bereplikasi dalam sistem retikuloendotelial.
Hal ini diikuti oleh viremia sekunder yang terjadi 6-20 hari setelah infeksi.
Selama fase viremik ini, virus rubella dapat dipulihkan dari berbagai lokasi
tubuh termasuk kelenjar getah bening, urin, cairan serebrospinal (CSF),
kantung konjungtiva, ASI, cairan sinovial, dan paru-paru. Viremia
menguncak sesaat sebelum onset ruam dan menghilang tak lama kemudian.
Orang yang terinfeksi mulai menumpahkan virus dari nasofaring 3-8 hari
setelah terpapar selama 6-14 hari setelah onset ruam (Elias, 2017).
ii. Sindrom rubella kongenital
Infeksi janin terjadi secara transplasenta selama fase viremik ibu,
namun mekanisme dimana virus rubella menyebabkan kerusakan janin
kurang dipahami. Cacat janin yang diamati pada sindrom rubella kongenital
kemungkinan sekunder akibat vaskulitis yang mengakibatkan nekrosis
jaringan tanpa pembengkakan. Mekanisme lain yang mungkin adalah
kerusakan virus langsung dari sel yang terinfeksi. Studi telah menunjukkan
bahwa sel yang terinfeksi rubella pada awal periode janin telah mengurangi
aktivitas mitosis. Ini mungkin akibat kerusakan kromosom atau karena
produksi protein yang menghambat mitosis. Terlepas dari mekanismenya,
setiap luka yang mempengaruhi janin pada trimester pertama (selama fase
organogenesis) menyebabkan cacat organ bawaan (Elias, 2017).

e. Gejala klinik
Pada orang dewasa, rubella biasanya bermanifestasi sebagai demam ringan
disertai ruam makulopapular generalisata yang dimulai diwajah dan menyebar ke
badan dan ekstremitas. Gejala lain adalah artralgia atau arthritis, limfadenopati
kepala dan leher, dan konjungtivitis. Masa tunas adalah 12-23 hari. Viremia
biasanya mendahului tanda-tanda klinis sekitar seminggu, dan orang dewasa
dapat menularkan penyakit sejak viremia hingga 5 sampai 7 hari ruam. Hampir
separuh infeksi pada ibu hamil bersifat subklinis meskipun terjadi viremia yang
dapat menyebabkan infeksi dan malformasi pada janin (Cuningham, 2010).
Neonatus yang lahir dengan rubella kongenital dapat mengeluarkan virus
selama berbulan-bulan dan karena itu merupakan ancaman bagi bayi lain serta
orang dewasa yang rentan yang berkontak dengan mereka. Sindrom rubella
kongenital mencakup satu atau lebih dari yang berikut (Cuningham, 2010):
 Cacat mata-katarak dan glaucoma kongenital
 Penyakit jantung-duktus arteriosus paten dan stenosis arteri pulmonalis
 Tuli sensorineural-cacat tunggal tersering
 Cacat susunan saraf pusat-mikrosefalus, hambatan perkembangan, retardasi
mental dan meningoensefalitis
 Retinopati pigmentasi
 Purpura neonatus
 Hepatosplenomegali dan ikterus
 Penyakin tulang radiolusens

f. Diagnosis
Diagnosis yang akurat dari infeksi rubella primer akut pada kehamilan
sangat penting dan membutuhkan pemeriksaan serologi, karena merupakan poin
penting dari kasus subklinis. Serologi oleh ELISA untuk mengukur IgG rubella -
spesifik dan IgM nyaman, sensitif, dan akurat. Kehadiran infeksi rubella
didiagnosis oleh:
 Kenaikan empat kali lipat titer rubela antibodi IgG antara spesimen serum
akut dan konvalesen
 Tes serologis positif untuk antibodi spesifik IgM rubella
 Kultur rubella positif (isolasi virus rubella dalam spesimen klinis dari
pasien)

Studi serologi yang terbaik dilakukan dalam waktu 7 sampai 10 hari setelah
timbulnya ruam dan harus diulang dua sampai tiga minggu kemudian. Kultur
virus yang diambil dari hidung, darah, tenggorokan, urin, atau cairan
serebrospinal mungkin positif dari satu minggu sebelum hingga dua minggu
setelah timbulnya ruam (Loven, 2004).

g. Penatalaksanaan
Tidak ada terapi spesifik untuk rubella. Pasien dianjurkan untuk berhati-hati
menjaga percikan ludah selama 7 hari setelah awitan ruam. Jika dalam kandungan
wanita terpapar virus rubella, wanita harus diberi konseling mengenai risiko dan
konsekuensi dari virus ini. Diagnosis prenatal, bahkan pada trimester pertama
dapat dideteksi (Cuningham, 2010).

h. Pencegahan
Kumpulan kekebalan dirawat oleh vaksinasi anak luas, meskipun
kekhawatiran baru-baru ini atas keselamatan gondok, campak, dan rubella
(MMR) mengalami penurunan penyerapan di Inggris. Idealnya, perempuan harus
di uji sebelum kehamilan untuk memastikan kekebalan, namun skrining rutin
pada pemesanan mengidentifikasi mereka yang berisiko dan membutuhkan
vaksinasi setelah melahirkan (Collins, 2013).

Dapus:

Cuningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Houth JC, Rouse DJ, Spong CY.Williams
Obstetrics23rd Edition. Dallas: Medical; 2010.

Mary T. Caserta, MD, Professor of Pediatrics, Division of Infectious Diseases;Attending


Physician, University of Rochester School of Medicine and Dentistry;Golisano
Children’s Hospital at Strong, University of Rochester Medical Center. 2015.
Congenital Rubella. Msdmanual.

Mochtar R. Synopsis obstetri Edisi 3. Jakarta: EGC; 2011.

Reece EA, Hobbins JC. Clinical obstetric the fetus and mother 3rd edition. Massauchussets:
Blackwell; 2007.

Elias Ezike, MD Consulting Staff, Beaumont Pediatric Center, PLLC. 2017. Pediatric
Rubella. Medscape.

Collins S. Arulkumaran S. Hayes K. Jackson S. Impey L. Oxford Handbook of Obstetrics and


Gynaecology Third Edition. United Kingdom: Oxford University Press; 2013.
Loven D, Hardoff R, Sever ZB, Steinmetz AP. Treatment of Toxoplasmosis the HIV patient.
J Neuro-Oncology 2004 ; 1 : 221 – 225.

Вам также может понравиться