Вы находитесь на странице: 1из 8

BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Mie


Mie merupakan salah satu jenis makanan yang paling populer di Asia khususnya Asia
Timur dan Asia Tenggara. Menurut legenda, mie pertama kali dibuat dan diproduksi oleh
Cina kira-kira 2000 tahun yang lalu di bawah kekuasaan dinasti Han. Dari Cina, mie
berkembang dan menyebar ke Jepang, Korea, Taiwan, Indochina dan Asia Tenggara, bahkan
meluas ke seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat dan daratan Eropa (Kuntaraf, 1984). Mie
yang pertama kali ditemukan oleh bangsa China berbahan baku beras dan tepung kacang-
kacangan (Puspasari, 2007).
Menurut Standar Industri Indonesia (SII 2046-90) yang dimaksud dengan mie
merupakan produk makanan yang dibuat dari tepung gandum atau tepung terigu dengan atau
tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan yang diizinkan, berbentuk khas
mie yang tidak dikeringkan.
Mie merupakan salah satu produk yang banyak disukai oleh semua kalangan
masyarakat. Mie yang disukai masyarakat Indonesia adalah mie dengan warna kuning,
bentuk khas mie yaitu berupa pilinan panjang yang dapat mengembang sampai batas tertentu
dan lenting serta ketika direbus tidak banyak padatan yang hilang (Setianingrum dan
Marsono, 1999). Pada pembuatan mie, tepung terigu dijadikan adonan tanpa fermentasi oleh
ragi, dilebarkan menjadi lembaran tipis, kemudian diiris panjang-panjang dan dikeringkan.
Saat ini pengerjaan pengirisan ini sudah dilakukan dengan menggunakan alat (Soediatama,
1993).
Dalam ilmu pangan, mie dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu mie segar atau
mie mentah, mie basah, mie kering, mie goreng dan mie instan. Beberapa jenis mie diatas,
saat ini telah dikonsumsi sebagai salah satu alternatif pengganti nasi. Hal ini tentu
menguntungkan ditinjau dari sudut penganekaragaman bahan pangan. Dengan
menganekaragamkan konsumsi bahan pangan, kita dapat terhindar dari ketergantungan pada
suatu bahan pangan terpopuler saat ini, yaitu beras (Astawan, 2004)
Standar mutu dalam mie dalam dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Standar Mutu Mie

Komposisi Zat Gizi yang terkandung Kriteria


Air Maksimal
Lemak Maksimal
Protein Maksimal
Karbohidrat Maksimal
Abu Maksimal
Serat kasar Maksimal
Kalori/100 gr Minimal
Bau dan rasa Normal tidak tengik
Warna Normal
Sumber: Standar Mutu Mie Departement Perindustrian RI, 2001

2.1.1 Jenis-Jenis Mie

Mie diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, diantaranya ukuran diameter produk,


bahan baku, cara pengolahan, dan karakteristik produk akhirnya. Berdasarkan bahan
bakunya, terdapat dua macam mie, yaitu mie yang bahan bakunya berasal dari tepung
terutama tepung terigu dan mie transparan (transparence noodle) dari bahan baku pati,
misalnya soun dan bihun (Puspasari, 2007).

Menurut (Astawan, 2006), berdasarkan kadar airnya serta tahap pengolahannya, mie
dapat dibagi menjadi 5 golongan, yaitu:

 Mie mentah atau segar, dibuat langsung dari proses pemotongan lembaran adonan
dengan kadar air 35%. Penyimpanan dalam refrigerator dapat mempertahankan
kesegaran mie ini hingga 50-60 jam. Umunya digunakan untu bahan baku mie ayam.
 Mie basah adalah mie mentah yang sebelum dipasarkan mengalami penggodokan
dalam air mendidih lebih dahulu dengan kadar air 52% sehingga daya tahan
simpannya relatif singkat (40 jam pada suhu kamar).
 Mie kering adalah mie mentah yang langsung dikeringkan dengan kadar air 10%.
Biasanya jenis mie telor dan mie instan.
 Mie goreng adalah mie mentah yang sebelum dipasarkan terlebih dahulu di goreng.
 Mie instan atau mie siap hidang adalah mie mentah yang telah mengalami
pengukusan dan dikeringkan sehingga menjadi mie instan kering atau digoreng
sehingga menjadi mie instan goreng.
2.2 Bahan-bahan yang digunakan
Proses pembuatan mie memerlukan berbagai bahan tambahan yang masing-masing
bertujuan, antara lain untuk menambah volume, nenperbaiki mutu ataupun citrasa serta
warna. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan mie basah antara lain:
2.2.1 Tepung terigu
Tepung terigu diperoleh dari tepung gandum (Triticum vulgare) yang digiling.
Tepung terigu yang digunakan sebaiknya mengandung gluten 8-12%. Tepung terigu ini
tergolong medium hard flour dikenal sebagai Segitiga Biru atau Gunung Bromo. Gluten
adalah protein yang terdapat pada terigu. Gluten bersifat elastis sehingga akan mempengaruhi
sifat elastisitas dan tekstur mie yang dihasilkan (Widyaningsih dan Murtini, 2006).
2.2.2 Modified Cassava Flour (Mocaf)
Modified Cassava Flour (Mocaf) merupakan produk turunan dari tepung ubi kayu
yang menggunakan prinsip modifikasi sel ubi kayu secara fermentasi dimana mikroba BAL
(Bakteri Asam Laktat) mendominasi selama fermentasi tepung ubi kayu ini (Subagio, 2007).
Mikroba yang tumbuh menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan
berupa naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut.
2.2.3 Sodium Tripolyphosphate (STPP)
Sodium Tripolyphosphate merupakan senyawa polifosfat dari natrium dengan rumus
Na5P3O10. STPP berbentuk bubuk atau granula berwarna putih dan tidak berbau. Kelarutan
STPP dalam air sebesar 14.50 gr per 100 ml pada suhu 25oC (larutan 1%) (Jatmiko, dan Teti,
2014)
STPP dapat mempengaruhi kekenyalan dan kelenturan mie. STPP memiliki sifat
dapat mempengaruhi terbentuknya gluten pada mie, sehingga sangat berpengaruh terhadap
tekstur mie yang dihasilkan, dimana tekstur mie akan menjadi lebih liat. Selain itu STPP juga
dapat mengikat air sehingga dapat menurunkan aktivitas air sehingga kerusakan karena faktor
mikroba dapat dicegah (Setiavani, 2010)

2.2.4 Garam Q

Garam alkali memiliki peranan yang sangat dalam pembuatan mie. Garam alkali yang
biasa digunakan dalam produk mie adalah natrium karbonat (Na2CO3), kalium karbonat
(K2CO3) dan kalium polifosfat (KH2PO4). Garam alkali ini dapat ditambahkan masing-
masing atau kombinasi dari 2-3 alkali. Fungsi masing-masing bahan alkali tersebut berbeda-
beda. Natrium karbonat berfungsi untuk meningkatkan kehalusan dan tekstur mie. Kalium
karbonat berfungsi untuk meningkatkan sifat kekenyalan mie dan KH2PO4 untuk
meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie (Puspasari, 2007).

Menurut (Suyanti, 2010) fungsi penambahan garam alkali pada pembuatan mie adalah
menguatkan struktur gluten sehingga menjadi mie yang lentur, mengubah sifat mie pati
tepung terigu sehingga mie menjadi lebih kenyal dan mengubah sifat zat warna (pigmen)
dalam terigu sehingga lebih cerah. Semakin besar garam alkali yang digunakan, mie semakin
keras dan kenyal. Namun penggunaan yang berlebihan akan menyebabkan bau yang tidak
sedap pada mie yang dihasilkan Batas maksimum garam alkali yang ditambahkan pada
pembuatan mie adalah 1% dari total pemakaian tepung terigu yang digunakan.

2.2.5 Telur

Penambahan telur dimaksudkan untuk meningkatkan mutu protein mie dan


menciptakan adonan yang lebih liat sehingga tidak mudah putus. Putih telur berfungsi untuk
mencegah kekeruhan mie pada proses pemasakan. Kuning telur digunakan sebagai
pengemulsi, lechitin juga dapat mempercepat hidrasi air pada tepung dan mengembangkan
adonan (Astawan, 1999).

1.2.6 Air

Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dengan karbohidrat, melarutkan garam
dan membentuk sifat kenyal. Pati dan gluten akan mengembang dengan adanya air. Air yang
digunakan sebaiknya memiliki pH antara 6 – 9, hal ini diserap, mie menjadi tidak mudah
patah. Jumlah air yang optimum membentuk pasta yang baik. Penambahan air yang terlalu
sedikit akan membuat adonan sulit dicetak. Sedangkan penambahan air yang terlalu banyak
akan menyebabkan adonan mie lengket. Air yang digunakan harus air yang memenuhi
persyaratan air minum, yaitu tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa (Astawan, 2006).
Air juga digunakan untuk merebus mie mentah dalam pembuatan mie basah. Pada proses
perebusan akan terjadi glatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga dapat meningkatkan
kekenyalan mie (Ratnawati, 2003)

2.3 Proses pengolahan Mie


2.3.1 Pencampuran bahan
Tahap pencampuran bahan bertujuan untuk menghidrasi tepung dengan air
berlangsung secara merata dan menarik serat-serat gluten. Untuk mendapatkan adonan yang
baik harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Jumlah penambahan air (28–38 %)
Jika air yang ditambahkan kurang dari 28%, adonan menjadi keras, rapuh dan sulit
dibentuk menjadi lembaran. Jika air yang ditambahkan lebih dari 38%, adonan menjadi
basah dan lengket (Yustiareni, 2000).
b. Waktu pengadukan (15–25menit)
Apabila kurang dari 15 menit adonan menjadi lunak dan lengket, sedangkan bila
lebih dari 25 menit adonan menjadi keras, rapuh, dan kering Badrudin (1994)
c. Suhu adonan (24–40oC)
Apabila suhunya kurang dari 25oC adonan menjadi keras, rapuh, dan kasar, sedangkan
bila suhunya lebih dari 40oC adonan menjadi lengket dan mie kurang elastis.
2.3.2 Pembentukan lembaran
Pembentukan lembaran bertujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten dan
membuat lembaran adonan. Pasta yang dipress sebaiknya tidak bersuhu rendah yaitu kurang
dari 25oC, karena pada suhu tersebut menyebabkan lembaran pasta pecah-pecah dan kasar.
Mutu lembaran pasta yang demikian akan menghasilkan mie yang mudah patah. Tebal akhir
pasta sekitar 1,2 – 2 mm. Faktor yang mempengaruhi proses ini adalah suhu dan jarak antara
roll. Suhu yang baik adalah sekitar 37oC (Puspasari, 2007)
2.3.3 Pembentukan mie
Di akhir proses pembentukan lembaran, lembar adonan yang tipis dipotong
memenjang selebar 1 – 2 mm dengan rool pemotong mie, dan selanjutnya dipotong melintang
pada panjang tertentu, sehingga dalam keadaan kering menghasilkan berat standar.
2.3.4 Perebusan atau pengukusan
Perebusan atau pengukusan (steaming) dengan uap air bertujuan untuk
menggelatinisasi pati dan mengkoagulasi gluten sehingga mie menjadi kenyal. Proses
gelatinisasi ini terjadi dalam beberapa tahap yaitu pembasahan, gelatinisasi, dan solidifikasi.
a. Pembasahan
Mula-mula, mie mengalami pembasahan pada permukaannya sehingga mie bersifat
elastis dan tidak mudah patah.
b. Gelatinisasi
Setelah itu, mie tergelatinisasi karena penetrasi uap panas ke dalam mie sehingga mie
menjadi lentur atau liat. Gelatinisasi merupakan peristiwa pembengkakan granula pati
sehingga granula tersebut tidak dapat kembali pada posisi semula (Winarno, 1991).
Gelatinisasi ini membuat pati meleleh dan akan membentuk lapisan tipis (film) pada
permukaan mie yang dapat memberikan kelembutan mie, meningkatkan daya cerna pati,
dan mempengaruhi daya rehidrasi mie (Badrudin, 1994).
c. Solidifikasi
Penguapan air permukaan terjadi pada tahap solidifikasi sehingga mie menjadi halus,
kering, dan solid (kompak). Pati akan meliputi permukaan mie pada saat mie
tergelatinisasi. Fungsinya adalah sebagai pelindung pada saat penggorengan sehingga mie
tidak menyerap minyak terlalu banyak dan tekstur mie menjadi lembut, lunak, dan elastis.
Selain itu, pemborosan minyak pun dapat dikurangi. Tingkat kematangan mie dapat dilihat
dari pati yang tergelatinisai. Bila proses gelatinisasi tidak sempurna, maka mie matang
akan bersifat rapuh. Selain itu, bila produk dimasak dalam air, maka air akan menjadi
keruh karena larutnya pati yang belum tergelatinisasi. Mie seperti ini saat digoreng akan
membentuk gelembung udara dan tekstur mie yang terbentuk kurang baik.
2.4 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Karakteristik dan Sifat Mie
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan mie yaitu suhu adonan,
waktu pengadukan, dan jumlah air yang ditambahkan. Waktu pencampuran dan pengadukan
bahan yang dibutuhkan sangat bervariasi mulai dari 5 menit hingga 20 menit tergantung dari
jenis bahan dan alat.
Menurut Badrudin (1994), waktu pengadukan terbaik pada proses pembuatan mie
mocaf adalah 15 hingga 25 menit. Apabila waktu pengadukan kurang dari 15 menit, adonan
akan menjadi lunak dan lengket, sedangkan jika lebih dari 25 menit adonan akan menjadi
keras, rapuh, dan kering. Jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan mie juga berperan
dalam sukses tidaknya pembuatan mie mocaf. Menurut SNI 01-2987-1992, jumlah air yang
ditambahkan untuk pembuatan mie basah mentah adalah sekitar 20% hingga 35% dari bobot
tepung. Sedangkan menurut Badrudin (1994), jumlah air terbaik dalam adonan mie basah
mentah adalah sekitar 34% hingga 40% dari bobot tepung. Hal ini disebabkan karena tesktur
mie yang mudah keras, rapuh, dan lengket. Jika air yang ditambahkan kurang dari 34%, maka
mie yang dihasilkan akan menjadi keras, rapuh, dan sulit dibentuk lembaran. Sedangkan bila
air yang ditambahkan lebih dari 40%, maka mie yang dihasilkan akan menjadi basah dan
lengket.
Suhu adonan terbaik untuk membuat mie berkisar 25oC hingga 40oC. Jika suhu
adonan mencapai kurang dari 25oC, maka adonan yang dihasilkan akan menjadi keras, rapuh
dan kasar, sedangkan jika suhu adonan mencapai lebih dari 40oC maka adonan yang
dihasilkan menjadi lengket dan mie menjadi kurang elastis (Badrudin, 1994). Mutu mie yang
diinginkan oleh konsumen adalah mie yang bertekstur lunak, lembut, elastis, halus, tidak
lengket, dan mengembang dengan normal.
2.5 Reaksi – Reaksi yang Terjadi pada Produk Mie
2.5.1 Gelatinisasi Pati
Pengertian gelatinisasi pati adalah menggambarkan pembengkakan dan proses
kekacauan yang terjadi dalam granula-granula pati karena dipanaskan dengan adanya air
(Fardiaz,1996)

Menurut winarno (1991), walaupun tidak larut air, pati akan menyerap air dan akan
mengembang sampai pada pembengkakan yang terbatas. Apabila suspensi pati dalam air
dipanaskan, akan terjadi tiga tahap pengembangan granula. Tahap pertama terjadi di dalam
air dingin, granula pati akan menyerap air sebanyak 20 %-25 % dari beratnya, tahap ini
bersifat irversibel.

Pati merupakan komponen utama dalam tepung dan terdapat sebanyak 74-90%
berdasarkan berat kering. Pati merupakan homopolymer glukosa dengan ikatan α-D-
glikosidik. Dalam bentuk aslinya secara alami pati merupakan butiran-butiran kecil yang
sering disebut granula.
Pati terdiri dari 2 (dua) fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut
disebut amilosa dan fraksi terlarut disebut amilopektin. Pada amilosa dan amilopektin
terdapat gugus hidroksil. Semakin banyak gugus hidroksil pada molekul pati maka semakin
besar kemampuan menyerap air.
Gelatinisasi pati gandum melalui 3 (tiga) tahap, yaitu:
1. Pembengkakan terbatas pada suhu antara 60-70⁰C termasuk gangguan pada ikatan
yang lemah atau yang siap menerima perubahan bentuk.
2. Selanjutnya granula membengkak dngan cepat pada suhu 80-90⁰C, termasuk
gangguan pada ikatan yang lebih kuat atau kurang dapat menerima perubahan
bentuk.
3. Jika pemanasan dilanjutkan, granula yang membengkak akan pecah.
Pengembangan granula pati disebabkan karena molekul-molekul air berpenetrasi
masuk ke dalam granula dan terperangkap pada susunan molekul-molekul amilosa dan
amilopektin (Winarno, 1997).
Faktor-faktor yang mmpengaruhi gelatinisasi pati antara lain:
 Jenis pati
Jenis pati yang berbeda akan memiliki kekuatan mengontrol yang berbeda pula.
Pati pada jagung yang sebagian terkandung pati murni mempunyai kekuatan
mengontrol dua kali lebih besar dari pada tepung yang berasal dari endosperm.
 Konsentrasi pati
Suhu gelatinisasi tergantung dari konsentrasi pati. Semakin kental larutan pati,
suhu gelatinisasi akan semakin lambat tercapai dan pada suhu tertentu kekentalan
tidak bertambah bahkan kadang-kadang turun.
 Ph larutan
pH larutan sangat berpengaruh terhadap pembentukan gel. Dimana pembentukan
gel optimum tercapai pada pH 4-7, yaitu kecepatan pembentukan gel lebih lambat
dari pada pH 10, tetapi jika pemanasan diteruskan viskositas tidak bertambah.
 Ukuran granula
Pati yang mempunyai ukuran granula yang lebih besar cenderung mengembang
pada suhu yang relative rendah.
 Kandungan amilosa
Pada pati terdapat dua macm komponen yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa
merupakan rangkaian lurus tidak bercabang, sedangkan amilopektin merupakan
rantai polisakarida yang bercabang pada 1,6 α-Glikosida (Gregor,et al, 1980).
Amilosa adalah salah satu komponen dari pati yang bertanggung jawab pada proses
gelatinisasi disamping ukuran granula itu sendiri. Dalam proses gelatinisasi ada dua
komponen penting yang sangat berpengaruh yaitu panas dan air. Apabila cukup air
dan panas, maka proses gelatinisasi dapat terjadi sempurna.

Вам также может понравиться