Вы находитесь на странице: 1из 16

EFEKTIVITAS BIMBINGAN KELOMPOK BERBASIS NILAI-NILAI

PENDIDIKAN KARAKTER CERDAS UNTUK MENINGKATKAN


KEMAMPUAN LITERASI MEDIA BARU SISWA

Zitrifnovrido Amir (1706444)

Program Studi Bimbingan dan Konseling


Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia

Abstrak
Tulisan ini berangkat dari pemahaman tentang perkembangan remaja pada abad 21 yang
telah banyak dipengaruhi pengonsumsian media baru/digital. Banyak pendapat yang
mengatakan bagaimana perkembangan peserta didik tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
media dan berbagai temuan tentang media memiliki dampak terhadap perkembangan
mereka. Pada era media baru/digital, tidak ada lagi batas ruang dan waktu untuk
memperoleh informasi. Media baru memudahkan remaja untuk saling terhubung satu
sama lain. Bahkan mereka lebih akrab dengan dunia digital dibandingkan dengan dunia
nyata. Berbagai kondisi dan pengaruh yang dirasakan remaja dalam penggunaan media
baru ditentukan oleh kemampuan literasi mereka dalam menyerap informasi-informasi
media baru. Kemampuan literasi media baru yang seharusnya dimiliki oleh peserta didik
seperti fungtional consuming, critical consuming, fungtional prosuming, dan critical
prosuming. Oleh karenanya bimbingan kelompok sebagai salah satu upaya layanan
bimbingan dan konseling dapat menjadi fasilitas bagi peserta didik untuk meningkatkan
kemampuan literasi media baru mereka. Bimbingan kelompok berbasis nilai-nilai
pendidikan karakter-cerdas dengan proses pembelajaran yang menanamkan dan
menempakan kaidah-kaidah karakter dan kecerdasan dalam kadar yang tinggi
diasumsikan dapat meningkatkan kemampuan literasi media baru yang cerdas, kritis, dan
bertanggung jawab pada diri peserta didik.

Kata kunci: literasi media baru, bimbingan kelompok, karakter cerdas

A. Pendahuluan

Perkembangan media dari bentuk cetak hingga ke arah serba digital saat ini
semakin pesat. Perkembangannya telah dikenal sebagai perkembangan media baru
atau digital. Media baru merupakan revolusi teknologi yang mempengaruhi sebagian
besar kegiatan intelektual yang melibatkan produksi, penyebaran, dan konsumsi
informasi. Revolusi ini mencakup sejumlah teknologi konvergen untuk penciptaan,
representasi, dan komunikasi informasi, berdasarkan paradigma komputasi (Kalay,
New Heritage: New Media and Cultural Heritage., (2008).) (Kalay, Y.E, 2008).
Media baru mengacu pada sistem komunikasi di mana platform media diakses
melalui internet dan digunakan untuk tujuan membuat konten, memodifikasi konten,
dan berbagi informasi melalui penggunaan perangkat digital.
Pada era digital atau media baru seperti ini, setiap orang dari setiap rentang
usia secara umum dan khususnya pada remaja memiliki gaya hidup baru yang tidak
bisa dilepaskan dari perangkat yang serba elektronik. Berdasarkan data survey
Kominfo (2017) menunjukkan bahwa lebih dari setengah masyarakat Indonesia sudah
memiliki telepon pintar atau smartphone pada persentase 66,31%. Data lebih spesifik
dijelaskan penggunaan berdasarkan usia penggunaan smartphone tertinggi 75,95%
berada pada usia 20-29 tahun. Remaja pada kategori tersebut berada pada masa
remaja akhir. Selanjutnya berdasarkan pekerjaan pelajar/mahasiswa berada ada
persentase 70,98%. Maka pemakaian salah satu media baru tersebut menguasai cara
manusia untuk hidup, bekerja dan bermain.
Selain itu teknologi digital sebagai media baru saat ini mampu membantu
remaja mempermudah melakukan apapun tugas dan pekerjaan. Kemudahan untuk
mendapatkan dan berbagi informasi juga dipicu oleh kehadiran internet yang telah
mengubah segalanya. Berdasarkan survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia (APJII) (2017) tingkat penggunaan internet tertinggi dengan persentase
49% berada pada usia 19 sampai 34 tahun. Remaja pada kategori tersebut juga berada
pada masa remaja akhir.
Selain jumlah data tersebut menurut penelitian Pramiyanti, A., Putri, I.P.,
Nureni, R (2014) pada 300 siswa SMA mengungkapkan alasan seorang remaja dekat
dengan media karena ada motif dalam penggunaanya. Motif tersebut dijabarkan
dengan kategori motif kognitif dengan persentase 68,67%, motif diversi 37,33%,
motif identitas personal 70%, dan motif ekonomi 38,33%. Dapat dilihat dari data
tersebut remaja cenderung sangat dekat dengan media karena adanya motivasi dalam
pengembangan dan eksistensi identitas personalnya.
Media sosial juga menjadi penggunaan media baru yang memiliki eksistensi
besar dikalangan remaja dan menjadi salah satu faktor meningkatnya motivasi
identitas personal remaja pada sekarang. Menurut Boyd, D.M.,dan Ellison, N.B.,
(2007:4) jejaring sosial yang merupakan bentuk media baru adalah layanan berbasis
web yang mengizinkan individu untuk mengkonstruksi profil publik/semi-publik di
dalam sistem terikat, menghubungkan sekelompok pengguna yang saling berbagi
koneksi dan melintasi koneksi-koneksi ini dalam sebuah sistem. Temuan penelitian
penggunaan media sosial pada remaja oleh Weinstein, E., (2018) mengungkapkan
respons survei dari sampel 568 remaja menggambarkan penggunaan media sosial
sebagai pengalaman pengaruhnya yang positif pada well being meliputi ekspresi diri,
interaksi relasional, eksplorasi, dan pengamatan hiburan.
Penggunaan media baru layaknya seperti pisau bermata dua apabila
penggunaanya tidak tepat justru akan mencelakakan penggunanya sendiri. Banyak
akibat yang negatif dirasakan remaja ketika salah dalam menggunakan media baru.
Menurut Merwe, P.Vd., (2012) dari jurnalnya identitas diri remaja melalui
penggunaan media digital online diasumsikan memberi kesempatan seseorang untuk
bertindak nakal atau bahkan melakukan tindakan bullying. Selain itu salah satu bentuk
kekerasan yang sering dialami remaja dalam dunia maya adalah Cyberbulliying untuk
melakukan tindakan yang menyakiti orang lain melalui komputer, telepon seluler, dan
alat elektronik lainnya (Rifauddin, M., 2016). Temuan Patchin, J.W., dan Hinduja, S.,
(2017) menjelaskan 32 terbanyak dari 347 siswa memiliki motivasi untuk memposting
tentang perasaan dan keburukan tentang dirinya di media online berawal sebagai
korban bullying di kelas ataupun online sehingga siswa begitu membenci dirinya
sendiri. Penggunaan media berkonten seksual secara online maupun ofline pada
remaja usia 13-15 tahun memiliki kontribusi meningkatnya intensitas seksual untuk
menampilkanya pada media online (Bobkowski, P.S., Shafer, A., Ortiz, R,R., 2015).
Menurut Yusuf, S (2017, hlm. 6) bahwa media elektronik (televisi), VCD, handphone,
atau internet yang konstennya tidak mendidik, baik dalam bentuk tanyangan kekerasan
maupun adegan-adegan porno. Jika dilihat dari resiko fisiologis berdasarkan temuan
Ceranoglu, T.A (2017) anak-anak dengan gangguan attention-deficit/ hyperactivity
(ADHD) lebih berisiko mengalami efek negatif pada tidur, prestasi akademik,
perhatian dan keterampilan kognitif. Membatasi penggunaan digital baru menuntut
perhatian dari orang tua anak-anak dengan ADHD dan pemantauan klinis dari para
profesional kesehatan mental.
Berbagai kondisi yang dirasakan tersebut dikalangan remaja sudah seharusnya
disertai dengan kecakapan dalam penggunaan media baru. Kemampuan tersebut tidak
hanya sekedar bagaimana mendapatkan informasi namun juga bagaimana cara
memahami, menganalisa, dan menyikapi informasi tersebut. Literasi media baru
menjadi suatu kemampuan penting yang seharusnya dimiliki orang-orang khusunya
remaja dalam menggunakan media baru. Menurut Hoechsmann, M dan Poyntz, S.R
(2012, hlm. 1) literasi media baru menunjukkan kapasitas atau kompetensi untuk
melakukan sesuatu dengan media, apakah memahaminya, untuk memproduksinya,
atau untuk memahami perannya dalam masyarakat kita.
Kemampuan ini dikatakan Gee (2010 hlm. 36) bahwa penekanan literasi
media baru bukan hanya pada bagaimana orang menanggapi pesan media, tetapi juga
tentang bagaimana mereka terlibat secara proaktif di dunia media di mana produksi,
partisipasi, pembentukan kelompok sosial, dan tingkat keahlian non-profesional yang
tinggi adalah lazim. Mengenai hal ini Diosa, I.R., F van Oostenb, J.M., dan Igartuac,
J.J (2018) memperoleh temuan dari penelitiannya bahwa semakin tinggi keterampilan
digital siswa maka semakin tinggi peluang dan resiko aspek negatif online.
Kemampuan literasi digital sangat penting sebagai mediasi antara pengawasan orang
tua dengan peluang dan resiko online.
Berbagai kemampuan literasi media tersebut seharusnya ada pada diri remaja
saat ini terlebih terhadap media baru agar mampu menggunakan media dengan cerdas
dan efektif. Akan tetapi begitu cepatnya arus perubahan dan perkembangan media
menyebabkan pembekalan literasi media baru seakan tersendat. Berbeda dengan
negara-negara maju lainnya peningkatan kemampuan literasi media baru telah menjadi
salah satu program pendidikan. Salah satunya kegiatan literasi media di Turki
bertujuan untuk mengajarkan individu agar sadar akan pengaruh negatif media
sehingga dapat menghindari pengaruh-pengaruh ini; dan program literasi media
dianggap sebagai salah satu cara untuk mewujudkan tujuan ini (Ouzhan, O., dan
Haydari, N., 2011). Sementara di Indonesia berdasarkan penelitian Hariyanto, Y.P
(2017) pada remaja di Surabaya mengungkapkan kemampuan functional consuming
literacy diperoleh hasil rata-rata skor keseluruhan sebesar 3,48 yang dikategorikan
tinggi. Namun tingkat kemampuan critical prosuming literacy diperoleh hasil rata-rata
skor keseluruhan sebesar 3,03 yang dikategorikan sedang. Dan pada kemampuan
functional prosuming literacy diperoleh hasil rata-rata skor keseluruhan sebesar 2,44
yang dikategorikan rendah.
Berdasarkan permasalahan tentang berbagai dampak penggunaan media dan
tingkat kemampuan literasi media baru yang masih belum maksimal menegaskan
bahwa pendidikan memerlukan strategi khusus agar kemampuan literasi peserta didik
dapat meningkat dengan mengintegrasikan kebijakan pemerintah dalam gerakan
literasi tertuang dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 menyatakan perlunya
sekolah menyisihkan waktu secara berkala untuk pembiasaan membaca sebagai
bagian dari penumbuhan budi pekerti. Dalam upaya tersebut Bimbingan dan
Konseling yang merupakan bagian integral dalam sistem pendidikan nasional dan
sejalan dengan tujuan pendidikan yang komprehensif memiliki peranan sebagai
pendekatan preventif terhadap tantangan-tantangan negatif media yang akan
menghambat perkembangan peserta didik. Bimbingan kelompok menjadi salah satu
strategi layanan Bimbingan dan Konseling yang memanfaatkan dinamika kelompok
dapat menjadi sarana bagi peserta didik untuk berpartisipasi aktif dan berbagai
pengalaman dalam upaya pengembangan wawasan, sikap dan atau ketrampilan yang
diperlukan dalam upaya mencegah timbulnya masalah terkait dengan dampak
penggunaan media baru yang salah dan dalam upaya pengembangan kemampuan
literasi media baru.
Program bimbingan kelompok yang berupaya meningkatkan kemampuan
literasi media dapat dilaksanakan dengan mendiskusikan nilai-nilai pendidikan
karakter-cerdas didalam kegiatannya. Pendidikan karakter harus dikembangakan
dalam bingkai utuh sistem pendidikan nasional sebagai rujukan normatif, dirumuskan
dalam sebuah kerangka pikir utuh (Kartadinata, S., 2010). Selain itu perilaku
berkarakter harus disertai dengan tindakan yang cerdas dan prilaku cerdas hendaknya
pula diisi upaya yang berkarakter (Prayitno, 2011). Dengan demikian bimbingan
kelompok berbasis nilai-nilai pendidikan karakter-cerdas diasumsikan dapat
meningkatkan pribadi peserta dengan kemampuan literasi media baru yang
berkarakter dan berperilaku cerdas.

B. Pembahasan
1. Media Baru

Media baru merupakan revolusi teknologi yang mempengaruhi sebagian


besar kegiatan intelektual yang melibatkan produksi, penyebaran, dan konsumsi
informasi. Revolusi ini mencakup sejumlah teknologi konvergen untuk penciptaan,
representasi, dan komunikasi informasi, berdasarkan paradigma komputasi (Kalay,
Y.E., 2008). Media baru menjadi produk dari komunikasi yang termediasi teknologi
yang terdapat bersama dengan komputer digital (Creeber dan Martin, 2009).
Selanjutnya media baru merupakan media yang menggunakan internet, media online
berbasis teknologi, berkarakter fleksibel, berpotensi interaktif dan dapat berfungsi
secara privat maupun secara public (Mondry, 2008: 13). Definisi media baru secara
eksklusif merujuk pada teknologi komputer yang menekankan bentuk dan konteks
budaya yang mana teknologi digunakan, seperti dalam seni, film, perdagangan, sains
dan diatas itu semua adalah internet. Sementara digital media merupakan
kecenderungan kepada kebebasan teknologi itu sendiri sebagai karakteristik sebuah
medium, atau merefleksikan teknologi digital (Dewdney, A., dan Ride, P., 2006 hlm.
20).
Dikenal sebagai media baru memang terdapat perkembangan bentuk fisik
penggunaan media dari setiap zamannya. Hingga kehadiran tekonologi digital telah
merubah bentuk media sebagai wadah informasi bagi kebutuhan manusia. Stober, R
(2004) menggambarkan bagaimana perkembangan media lama menuju media baru
dalam bentuk bagan berikut:
Tabel 1. Perkembangan ke Media Baru
(Stober, R 2004)

Fungsi pertama (penemuan): Inovasi, fungsi kedua:


peningkatan pada medium lama munculnya media baru
Cetak Peningkatan menulis Pengembangan serial (dan
kuasi-serial) pers
Telegrafi Peningkatan telegrafi optik untuk Kantor berita, koordinasi
listrik tujuan politik dan militer kereta api, informasi pasar
saham
Telepon Peningkatan pada telegrafi Satu hingga satu media untuk
tujuan bisnis dan pribadi
Film Vaudeville dan berbagai hiburan Media program dengan
wartaberita dan film
Telegraf / Peningkatan telegrafi berbasis- Menyiarkan dengan program
radio nirkabel kawat hiburan dan informasi
Televisi Peningkatan pada telepon Broadcasting dikombinasikan
dengan film
Komputasi / Peningkatan aritmatika Perangkat multiguna
multimedia

Perkembangan media baru menurut McQuail, D (2010, hlm. 175) bentuk-


bentuk teknologinya memang berlipat ganda tetapi juga sering bersifat sementara.
Namun demikian, McQuail, D mengidentifikasi lima kategori utama ‘media baru’
kira-kira dibedakan berdasarkan jenis penggunaan, konten, dan konteks, sebagai
berikut:
a. Media komunikasi interpersonal. Ini termasuk telepon (semakin mobile) dan e-
mail (terutama untuk bekerja, tetapi menjadi lebih pribadi). Secara umum, konten
bersifat pribadi dan mudah rusak dan hubungan yang dibentuk dan diperkuat
mungkin lebih penting daripada informasi yang disampaikan.
b. Media putar interaktif. Ini terutama permainan berbasis komputer dan video,
ditambah perangkat realitas virtual. Inovasi utama terletak pada interaktivitas dan
mungkin dominasi 'proses' atas 'penggunaan' gratifikasi.
c. Media pencarian informasi. Ini adalah kategori yang luas, tetapi Internet/WWW
adalah contoh paling signifikan, dilihat sebagai pustaka dan sumber data dengan
ukuran, aktualitas, dan aksesibilitas yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Mesin pencari telah meningkat ke posisi memerintah sebagai alat untuk pengguna
serta sumber penghasilan untuk Internet. Selain Internet, telepon (ponsel) juga
semakin menjadi saluran untuk pengambilan informasi, seperti siaran teleteks dan
layanan data radio.
d. Media partisipatif kolektif. Kategori tersebut terutama mencakup penggunaan
Internet untuk berbagi dan bertukar informasi, ide dan pengalaman serta
mengembangkan hubungan pribadi yang aktif (diperantarai komputer). Situs
jejaring sosial termasuk di bawah judul ini.
e. Pergantian media penyiaran. Referensi utamanya adalah penggunaan media untuk
menerima atau mengunduh konten yang pada masa lalu biasanya disiarkan atau
didistribusikan oleh metode serupa lainnya. Menonton film dan program televisi,
mendengarkan radio dan musik, dan lainnya adalah kegiatan utama.
Pada dasarnya kategori tersebut dapat ditemukan pada salah satu bentuk
media baru yang mencakup cara penggunaan, konten, dan konteks yang beragam.
Seperti penggunaan media smartphone yang dapat difungsikan sebagai media
komunikasi sosial, media untuk hiburan, pencarian informasi, platform untuk aktif
dijejaring sosial, ataupun sebagai penyalur keperluan finansial. Sehingga kehadiran
media baru menjadi dikenal dengan media digital multifungsional bagi penggunanya.

2. Literasi Media Baru

Literasi media baru menjadi suatu kemampuan penting yang seharusnya


dimiliki setiap orang khusunya remaja dalam menggunakan media baru. Menurut
Hoechsmann. M dan Poyntz, S.R (2012, hlm. 1) literasi media baru menunjukkan
kapasitas atau kompetensi untuk melakukan sesuatu dengan media, apakah
memahaminya, untuk memproduksinya, atau untuk memahami perannya dalam
masyarakat kita. Literasi media baru melibatkan keterampilan proses penting,
termasuk akses, analisis, evaluasi, kritik, produksi dan/atau partisipasi dengan konten
media (Lee a, L., Chen a, D.T., Li a, J.Y., Lin, T.B., 2015). Literasi media baru
hampir semuanya melibatkan keterampilan sosial yang dikembangkan melalui
kolaborasi dan jaringan. Keterampilan ini dibangun di atas landasan keaksaraan
tradisional, keterampilan penelitian, keterampilan teknis, dan keterampilan analisis-
kritis yang diajarkan di kelas (Jenkins, H., 2009 hlm. 29). Literasi digital adalah
pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi,
atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi,
dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum
dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari
(Kemendikbud, 2017 hlm. 9).
Lima konsep tentang literasi media menurut Center of Media Literacy
(Kellner, D dan Sahre, J., 2005) sebagai berikut: 1) semua pesan media
"dikonstruksikan"; 2) pesan media dikonstruksikan dengan bahasa yang kreatif sesuai
dengan aturan mereka; 3) individu memaknai pesan tergantung dari pemahamannya
atas pesan yang ditangkapnya dari media; 4) media mempunyai sudut pandang dan
mengandung nilai tersendiri; 5) hampir semua pesan media memiliki kepentingan
keuntungan ataupun kekuasaan. Beberapa pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan
literasi media baru merupakan kemampuan, keterampilan, abbility untuk menerima,
menganalisa, mengkolaborasikan, mengevaluasi dan memanfaatkan media dan
konten yang telah berbasis secara jaringan dan digital secara kritis, cerdas dan
bertanggung jawab. Kemampuan ini dikatakan Gee (2010: 36) bahwa penekanan
literasi media baru bukan hanya pada bagaimana orang menanggapi pesan media,
tetapi juga tentang bagaimana mereka terlibat secara proaktif di dunia media di mana
produksi, partisipasi, pembentukan kelompok sosial, dan tingkat keahlian non-
profesional yang tinggi adalah lazim.
Terkait bagaimana seseorang harus memiliki kemampuan tersebut, teori
literasi media baru oleh Jenkins, H bersifat sangat praktis berdasarkan karakter media
baru. Karena media baru sangat kompleks, Jenkins, H (2009) mengidentifikasi dua
belas keterampilan literasi media baru yang diperlukan untuk partisipasi penuh dalam
lingkungan media saat ini
a. Play. Bermain dalam konteks yang dimaksud Jenskin di sini adalah mode
keterlibatan aktif, yang mendorong eksperimentasi dan pengambilan risiko, yang
melihat proses memecahkan masalah sama pentingnya dengan menemukan
jawaban, yang menawarkan tujuan dan peran yang jelas yang mendorong
identifikasi kuat dan investasi emosional.
b. Kinerja. Kinerja membawa serta kemampuan untuk memahami masalah dari
berbagai sudut pandang, untuk mengasimilasi informasi, untuk menggunakan
penguasaan atas materi budaya inti, dan untuk berimprovisasi sebagai tanggapan
terhadap lingkungan yang berubah.
c. Simulasi. Bentuk-bentuk simulasi baru memperluas kapasitas kognitif yang
memungkinkan untuk berurusan dengan informasi tubuh yang lebih besar, untuk
bereksperimen dengan konfigurasi data yang lebih kompleks, dan untuk
membentuk hipotesis dengan cepat dan menguji kemampuan terhadap variabel
yang berbeda pada waktu yang sebenarnya.
d. Pengerukan. Kemampuan ini diartikan sebagai sebuah proses di mana manusia
mengambil sebagian budaya dan menyatukannya dengan berbagai konten media.
Bentuknya dapat berupa musik, subtitle, fashion, maupun picture.
e. Multitasking. Multitasking melibatkan metode pemantauan dan menanggapi
lautan informasi di sekitar. Kemampuan belajar untuk mengenali hubungan
antara informasi yang datang dari berbagai arah dan membuat hipotesis dan
model yang wajar berdasarkan informasi parsial, terfragmentasi, atau intermiten
(semua bagian dari dunia yang akan mereka hadapi di tempat kerja).
f. Kognisi terdistribusi. Aplikasi perspektif kognisi terdistribusi untuk menunjukkan
bahwa harus mempelajari kemampuan alat dan teknologi informasi yang berbeda
dan mengetahui alat dan teknologi fungsi mana yang unggul dan dalam konteks
apa mereka dapat dipercaya. Seseorang perlu memperoleh pola pemikiran yang
secara teratur melalui sumber informasi yang tersedia karena mereka memahami
perkembangan di dunia di sekitar mereka.,
g. Kecerdasan kolektif. Kemampuan untuk mengumpulkan pengetahuan dan
membandingkan catatan dengan orang lain menuju tujuan bersama. Kecerdasan
kolektif dalam sebuah dunia, semua orang tahu sesuatu, tidak ada yang tahu
segalanya, dan apa yang diketahui orang lain dapat disadap oleh kelompok secara
keseluruhan.
h. Pertimbangan. Kemampuan untuk mengevaluasi keandalan dan kredibilitas
berbagai sumber informasi. Oleh karena itu manusia harus berpikir untuk
membaca semua sumber informasi dari perspektif kritis.
i. Transmedia navigasi. Kemampuan untuk mengikuti alur cerita dan informasi di
berbagai modalitas. Navigasi transmedia melibatkan pemrosesan jenis cerita dan
argumen baru yang muncul dalam budaya konvergensi dan mengekspresikan ide
dengan cara-cara yang memanfaatkan peluang dan nilai yang diwakili oleh
lanskap media baru.
j. Jaringan. Kemampuan untuk mencari, mensintesis, dan menyebarluaskan
informasi. Jejaring hanya sebagian tentang mengidentifikasi sumber daya
potensial; ini juga melibatkan proses sintesis, di mana berbagai sumber daya
digabungkan untuk menghasilkan pengetahuan baru.
k. Negosiasi. Memperoleh keterampilan dalam memahami berbagai perspektif,
menghormati dan bahkan merangkul keragaman pandangan, memahami berbagai
norma sosial, dan bernegosiasi di antara berbagai pendapat yang saling
bertentangan.
l. Visualisasi. Kemampuan untuk menafsirkan dan membuat representasi data
untuk tujuan mengekspresikan ide, menemukan pola, dan mengidentifikasi tren.

Keduabelas kemampuan ini mengupayakan seorang pengguna untuk


berpartisipasi aktif bagaimana cara penggunaan media baru hingga mampu
mengaktifkan kognisi terhadap bentuk media sebagai keras dan konten media sebagai
perangkat lunak. Jenkins lebih menekankan budaya partisipatif dan bukan pada
interaktivitas karena interaktivitas adalah properti dari teknologi, sementara
partisipasi adalah properti budaya. Budaya partisipatif muncul sebagai budaya yang
menyerap dan merespon ledakan teknologi media baru yang memungkinkan bagi
konsumen pada umumnya untuk menyimpan, memanfaatkan, dan menyebarluaskan
konten media dengan cara-cara baru yang efektif. Sebuah fokus pada memperluas
akses ke teknologi baru yang terjadi jika kita dapat mendorong keterampilan dan
pengetahuan yang diperlukan untuk menggunakan alat-alat tersebut tujuan kita
sendiri (Jenkins, H., 2009, hlm. 8).
Kemampuan Literasi Media dalam perspektif New Media Literacy yang
terdapat dalam framework juga dikembangkan oleh Lin, T.-B., Li, J.-Y., Deng, F., &
Lee, L. (2013), dijelaskan sebagai berikut:
a. Functional Consuming merupakan kemampuan individu untuk mengakses konten
media dan memahami arti tekstualnya. Functional Consuming dibagi menjadi
dua indikator yaitu:
1) Consuming skill, mengacu pada serangkaian kemampuan teknis yang
diperlukan individu ketika mengonsumsi konten media.
2) Understanding, merupakan kemampuan individu untuk menangkap arti dari
konten media secara tepat di tingkat literal, termasuk kemampuan untuk
menangkap ide orang lain yang diterbitkan melalui media sosial dalam
bentuk yang berbeda seperti teks, gambar, video, dan lain-lain serta
kemampuan untuk menafsirkan arti sebuah format singkat terbaru seperti
emoticon.
b. Critical Consuming, yaitu merupakan kemampuan untuk menafsirkan konten
media dalam konteks sosial, ekonomi, politik, dan budaya terentu. Critical
Consuming terdiiri dari tiga indikator yaitu:
1) Analysis, merupakan kemampuan individu untuk mendekonstruksi pesan
media yang terkandung dalam konten media. Tidak seperti understanding
yang dijelaskan di atas, indikator ini bisa dilihat sebagai ‘analisis tekstual’
semiotik fokus pada bahasa, genre, dan kode.
2) Synthesis, mengacu pada kemampuan individu untuk mencampur kembali
konten media dengan mengintegrasikan sudut pandang mereka sendiri dan
untuk mengkonstruksi pesan media.
3) Evaluation, mengacu pada kemampuan individu untuk mempertanyakan,
mengkritisi, dan meragukan kredibilitas suatu isi/konten media..
c. Functional Prosuming, memfokuskan pada kemampuan untuk berpartisipasi
dalam menciptakan konten media. Functional Prosuming terdiri dari tiga
indikator yaitu:
1) Prosuming Skill, mengacu pada kemampuan teknis yang diperlukan individu
untuk memproduksi atau menciptakan konten media.
2) Distribution, mengacu pada kemampuan individu untuk menyebarkan
informasi yang mereka dimiliki.
3) Production, kemampuan untuk menduplikasi (sebagian atau seluruhnya) atau
mencampur konten media. Tindakan production termasuk penulisan teks
dalam format digital, membuat video dengan menggabungkan gambar dan
audio, dan tulisan-tulisan online di media.
d. Critical Prosuming, yaitu interpretasi kontekstual individu dari konten media
selama kegiatan partisipasi mereka, diantaranya yaitu:
1) Participation, mengacu pada kemampuan untuk berpartisipasi secara
interaktif dan kritis dalam media. Secara interaktif menekankan interaksi
bilateral antara individual.
2) Creation, mengacu pada kemampuan untuk membuat konten media terutama
dengan pemahaman kritis tentang nilai-nilai sosio-budaya dan ideologi
tertanam. Dibandingkan dengan distribusi dan produksi, penciptaan
melibatkan lebih banyak kekritisan dari individu. Indikator ini dapat
diilustrasikan sebagai kemampuan individu untuk secara kritis membuat blog
atau halaman web, untuk memposting karya seni orisinal secara online, atau
untuk merombak konten online ke kreasi mereka sendiri.

Empat aspek kemampuan literasi media baru yang dikembangkan ini


merupakan respon Lin, dkk pada konsep kemampuan literasi media baru sebelumnya.
Setiap indikator tersebut memberikan penjelasan bahwa adanya makna yang berbeda
dalam aspek kemampuan. Seperti kemampuan functional consuming bagaimana
individu mengakses konten dan menangkap arti informasi dari media akan berbeda
dengan kemampuan tingkat selanjutnya critical consuming yang lebih menekankan
pada analisa, sintesis, dan mengevaluasi kembali konten media. Pada dasarnya aspek
kemampuan literasi media ini merupakan tingkatan kemampuan literasi individu
terhadap media. Lin, dkk (2013) menjadikan kemampuan critical prosuming sebagai
tingkatan kemampuan level tertinggi. Artinya bagaimana individu dapat
berpartisipasi aktif secara kritis terhadap beragam sumber informasi yang disediakan
media baru.

3. Bimbingan Kelompok

Bimbingan kelompok merupakan upaya membantu seseorang dalam suasana


kelompok yang berfokus kepada penyediaan informasi atau pengalaman lewat
aktivitas kelompok yang terencana atau terorganisir dengan tujuan agar seseorang
dapat memahami dirinya, mencegah masalah, mampu memperbaiki diri, dan
menjalani perkembangan secara optimal (Gibson, R.L dan Mitchell, M.H., 2011:
275). Layanan bimbingan kelompok secara konseptual dinilai efektif dalam
memberikan intervensi-intervensi positif kepada siswa. Karena sifat dari bimbingan
kelompok itu sendiri dimulai dari yang bersifat informatif sampai pada yang sifatnya
terapeutik. Senada dengan pendapat Rusmana, N (2009: 13) bahwa bimbingan
kelompok adalah proses pemberian bantuan kepada individu melalui suasana
kelompok (dinamika kelompok) yang memungkinkan setiap anggota untuk
berpartisipasi aktif dan berbagai pengalaman dalam upaya pengembangan wawasan,
sikap dan atau ketrampilan yang diperlukan dalam upaya mencegah timbulnya
masalah atau dalam upaya pengembangan pribadi.
Bimbingan kelompok merupakan salah satu strategi dari komponen
pelayanan dasar dalam bimbingan dan konseling. Di dalam rambu-rambu
penyelenggaraan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal
(Depdiknas, 2008) disebutkan bahwa tujuan komponen layanan dasar yaitu untuk
membantu konseli agar: (1) memiliki kesadaran (pemahaman) tentang diri dan
lingkungannya; (2) mampu mengembangkan keterampilan untuk mengidentifikasi
tanggungjawab atau seperangkat tingkah laku yang layak bagi penyesuaian diri
dengan lingkungannya; (3) mampu menangani masalah atau memenuhi
kebutuhannya, dan (4) mampu mengembangkan dirinya dalam rangka mencapai
tujuan hidupnya. Dalam rangka mencapai tujuan layanan dasar tersebut,maka focus
perilaku yang dikembangkan menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar dan karir.
Keempat aspek tersebut berkaitan erat dengan upaya membantu konseli dalam
mencapai tugas perkembangan sebagaimana dirumuskan dalam bentuk standar
kompetensi kemandirian.Secara umum layanan bimbingan kelompok bertujuan untuk
pengembangan kemampuan bersosialisasi, khususnya kemampuan berkomunikasi
peserta layanan (peserta didik). Secara khusus, layanan bimbingan kelompok
bertujuan untuk, antara lain: (a) mendorong pengembangan perasaan; (b) pikiran; (c)
persepsi; dan (d) wawasan dan sikap yang menunjang perwujudan tingkah laku yang
lebih efektif, yakni peningkatan kemampuan berkomunikasi baik verbal maupun
nonverbal pada peserta didik (Tohirin, 2014 hlm. 165-166).
Demikian hal nya dalam strategi bimbingan kelompok, materi bimbingan
didasarkan pada hasil analisis kebutuhan konseli. Namun dalam bimbingan kelompok
tidak didasarkan pada program yang telah dirancang dalam kurikulum yang akan
dilaksanakan secara terjadual berbasis kelas. Materi yang diangkat dalam topik
bimbingan kelompok merespon atas kebutuhan yang dialami oleh sekelompok
konseli dalam mengembangkan aspek-aspek perkembangan tertentu. Menurut
Hartinah (2009, hlm. 113) terdapat dua jenis topik yang dibicarakan dalam bimbingan
kelompok, yaitu topik tugas yang merupakan penugasan dari guru
pembimbing/konselor kepada kelompok untuk dibicarakan dan topik bebas yang
dimunculkan dan dipilih oleh anggota kelompok. Pemberian topik tugas oleh guru
bimbingan/konselor yang berkaitan dengan media baru menjadi pilihan yang dirasa
tepat.

4. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter-Cerdas

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan, membentuk


karakter dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa. Secara umum pendidikan nasional bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki karakter
cerdas. Berikut yang menjadi kerangka pikir dalam pendidikan karakter menurut
(Kartadinata, S., 2010)

a. Karakter bangsa bukan agregasi karakter perorangan, karena harus terwujud


dalam rasa kebangasaan yang kuat dalam konteks cultur yang beragam
b. Pendidikan pengembangan karakter adalah proses yang berkelanjutan dan tidak
pernah berakhir
c. Landasan legal formal akan keharusan membangun karakter bangsa melalui
upaya pendidikan
d. Pembelajaran sebagai wahana pendidikan dan pengembangan karakter yang tak
terpisahkan dari pengembagan kemampuan sains, teknologi, dan seni.
e. Proses pembelajaran yang mendidik sebagai wahana pendidikan berkarakter,
perlu dibangun atas makna yang terkandung dalam UU No. 20/2003
f. Proses pendidikan karakter akan melibatkan ragam aspek perkembangan peserta
didik
g. Sekolah sebagai lingkungan pembudayaan peserta didik dan guru sebagai
“perekayasa” kultur sekolah tidak terlepas dari regulasi, kebijakan, dan birokrasi.
h. Pendidikan karakter adalah pendidikan sepanjang hayat sebagai proses
perkembangan ke arah manusia kaafah.
i. Pendidikan karakter akan harus bersifat multi level dan multi chanel karena tidak
mengkin hanya dilaksanakan di sekolah

Membangun karakter cerdas berjiwa kebangsaan dilakukan melalui


pendidikan dengan proses pembelajaran yang menanamkan dan menempakan kaidah-
kaidah karakter dan kecerdasan dalam kadar yang tinggi seperti menara menjulang
keatas dan konsisten (Sagala, S., 2011). Perilaku berkarakter harus disertai dengan
tindakan yang cerdas dan prilaku cerdas hendaknya pula diisi upaya yang berkarakter
(Prayitno, 2011). Proses terbentuknya suatu karakter bukan hanya diawali oleh proses
berfikir yang menetap namun memiliki nalar kecerdasan yang berjalan normal,
artinya yang dimaksud memacu pikiran, bukan asal berfikir, atau sembarangan
pikiran yang muncul dalam otak/nalar seseorang, tetapi telah terbentuknya
pengetahuan dan daya pikir yang cerdas (Fathurrohman, P., Suryana, A.A., dan
Fatriany, F., 2013)
Karakter merupakan kualitas atau moral, akhlak, atau budi pekerti individu
yang merupakan kepribadian khusus, yang menjadi pendorong dan penggerak, serta
membedakanya dengan individu lain. Seseorang dapat dikatakan berkarakter, jika
telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat, serta
digunakan sebagai moral dalam hidupnya. Kecerdasan merupakan keseluruhan
kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah serta mengolah dan
menguasai lingkungan secara efektif.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan itu Prayitno dan Khaidir, A (2011)
merancangkan pendidikan karakter-cerdas perlu diselenggarakan secara luas, baik di
dalam maupun di luar satuan-satuan pendidikan, melalui klasikal atau kelompok
dengan strategi pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir, merasa,
bersikap, bertindak, dan bertanggung jawab. Lebih lanjut secara kelompok
Pendidikan Karakter Cerdas Non-Klasikal dinamakan Kelompok Pengamalan Butir-
Butir Karakter-Cerdas (KPB-KC). KPB-KC adalah kelompok yang berkehendak
untuk seia-sekata dalam karakter-cerdas, yaitu yang secara nyata menghayati dan
mengamalkan nilai-nilai karakter-cerdas dalam wujud perilaku dan kehidupan pada
umumnya. Didasari bahwa keseia-sekataan dalam karakter-cerdas ituakan membawa
tuah yang sebesar-besarnya dalam hidup pribadi, berkeluarga dan berkelompok,
bermasyarakat, berbangsa, serta bernegara.
Proses pelaksanaannya fasilitator/konselor menyiapkan naskah yang memuat
nilai-nilai karakter-cerdas, termasuk 45 Butir Wujud Pengamalan Pancasila. sehingga
masing-masing peserta mendapat satu set lengkap pada setiap pertemuan kelompok.
Fungsi butir-butir karakter-cerdas yang secara khusus disediakan oleh fasilitator
adalah sebagai acuan langsung dalam kegiatan kelompok ketika peserta membahas
keterkaitan topik bahasan dengan nilai-nilai karakter-cerdas. Tahap-tahap kegiatan
KPB-KC pada setiap kali pertemuan adalah tahap: (a) pengawalan, (b) peralihan, (c)
pembahasan topik, (d) penyimpulan, dan (e) penutupan (Prayitno dan Khaidir, A.,
2011)

5. Bimbingan Kelompok Berbasis Nilai-Nilai Pendidikan Karakter-Cerdas


untuk meningkatkan Kemampuan Literasi Media Baru

Kemampuan Literasi media sudah mulai dikembangkan diberbagai negara di


dunia sehingga terdapat suatu perubahan paradigma dalam pendidikan literasi media
yang lebih menekankan bekerja dalam masyarakat denga khalayak yang memiliki
karakteristik popular culture (budaya pop) ketimbang meyakinkan secara frontal
bahwah budaya pop itu merusak. Sementara perkembangan literasi media di
Indonesia masih dalam proses untuk mencari formula bentuk yang sesuai, hal ini
terjadi karena keterlambatan masuknya literasi media di Indonesia disaat Negara-
negara maju sudah berkembang aktivitas literasi media meraka. Adapun periodesasi
literasi media di Indonesia menurut Guntarto (2011) terbagi pada a) periode mencari
bentuk (1990-2000), b) peroide pematangan (2000-2010), dan periode
perkembangan lambat (2010- sekarang).
Perkembangan literasi di Indonesia saat ini dapat dikatakan masih lambat
oleh karena belum tersosialisasi dengan baik di tengah masyarakat. Kondisi ini
karena belum adanya program pendidikan yang mengakomodasi pendidikan literasi
media. Berbanding terbalik dengan beberapa Negara-negara maju di barat, literasi
media telah menjadi kurikulum resmi pendidikan dasar. Di Indonesia kegiatan literasi
media hanya sebagai pelengkap saja yang diperkenalkan oleh para penggiat dan
aktivis literasi media. Dengan kata lain literasi media belum menjadi kebutuhan dari
dunia pendidikan, sehingga wajar jika perkembangan literasi media sangat lambat di
Indonesia.
Pentingnya kemampuan literasi media baru ini merupakan upaya untuk
merealisasikan landasan hukum dalam penggunaan media dan teknologi. Menurut
Pasal 4 UURI No.11 tahun 2008 mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),
pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan dengan tujuan
untuk: Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi
dunia; Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat; Meningkatkan efektivitas dan efisiensi
pelayanan publik; Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk
memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan
Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; Dan memberikan
rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara
Teknologi Informasi. Selain itu Hadley, N.J (2009) berpendapat bahwa peningkatan
kemampuan literasi media baru diperlukan bagi warga di komunitas global untuk
berkontribusi pada budaya partisipasi online yang berkembang seperti MySpace dan
YouTube, dan ada terlalu banyak hal untuk dipelajari pada saat perubahan
eksponensial.
Kemampuan-kemampuan literasi media baru yang termasuk akses, analisis,
evaluasi, kritik, produksi dan/atau partisipasi dengan konten media menjadi
komponen yang dapat dikembangkan dalam pendidikan. National association for
media literacy education (NAMLE) pada tahun 2009, mengemukakan, core
principles media literacy education (prinsip dasar pendidikan literasi media), prinsip-
prinsip yang termasuk:
a. Pendidikan literasi media memerlukan pemeriksaan aktif dan kritis berpikir
tentang pesan-pesan yang diterima dan ketika menciptakan
b. Pendidikan literasi media memperluas konsep dari yang melek media di dalam
semua wujud dari media (yaitu membaca dan menulis)
c. Pendidikan literasi media membangun dan menguatkan keterampilan dari berbagai
zaman.
d. Pendidikan literasi media mengembangkan informasi yang ditautkan
merefleksikan partisipasi bagi suatu masyarakat yang demokrasi
e. Pendidikan literasi media mengenali bahwa media menjadi bagian dari kultur dan
berfungsi sebagai agen-agen sosialisasi
f. Pendidikan literasi media menytakan bahwa orang-orang mengunakan
keterampilan secara individu, kepercayaan dan keterampilan untuk menbangun
arti sendiri dari pesan-pesan media.
Upaya peningkatan kemampuan literasi tersebut dapat dilakukan dengan
pembahasan sistematik dalam kegiatan kelompok. Temuan Damico, J.S dan Panos, A
(2017) juga menunjukkan bahwa keseluruhan kegiatan musyawarah kelompok
meskipun pada bidang pemahaman klimatologi memberikan manfaat untuk
membantu peserta lebih kritis mengevaluasi sumber web yang menentang konsensus
ilmiah tentang perubahan iklim. Di era “fakta alternatif,” studi ini menunjukkan
pentingnya siswa dan pendidik memiliki kesempatan untuk mengevaluasi,
mendiskusikan, dan menentukan kredibilitas berbagai sumber online.
Pada bimbingan dan konseling, strategi layanan bimbingan kelompok
memiliki metode kelompok untuk meningkatkan potensi pribadi peserta didik
termasuk kemampuan literasi media baru. Selain itu sebagai upaya untuk
merealisasikan landasan hukum yang telah tertuang pada UURI No.11 tahun 2008
dalam penggunaan dan pemanfaatan media dan teknologi salah satunya untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia,
maka pengamalan butir-butir nilai karakter-cerdas dalam kegiatan kelompok juga
bertujuan pada pengembangan diri para pesertanya (dan warga masyarakat pada
umumnya) terutama pada penggunaan dan pemanfatan media baru yang cerdas dan
berkarakter. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut nilai-nilai pendidikan karakter-
cerdas yang bertujuan agar peserta didik mampu berpikir, merasa, bersikap, bertindak
dan bertanggung jawab dengan mendiskusikan dan mengamalkan butir-butir
karakter-cerdas diasumsikan dapat meningkatkan kemampuan literasi media baru
khusunya pada siswa dengan tetap menjaga nilai kebudayaan Indonesia.

C. Penutup

Media baru dan masa remaja sama-sama dilihat sebagai sesuatu yang sedang
mencari bentuknya. Belum stabilnya kedua hal ini memiliki kecenderungan untuk
saling menguntungkan atau malah merugikan di satu sisi. Literasi dan etika terhadap
media baru menjadi kunci bagi remaja untuk bisa memperkaya identitas serta
menjaga privasi yang dimilikinya. Literasi media baru dilihat sebagai keterampilan
yang dapat dikembangkan ketika individu berada dalam keadaan tidak melek media
di setiap situasi, setiap waktu dan semua bentuk media baru. Oleh karenanya di
hadapan media, publik harus cerdas dan berdaya.
Semakin banyak fenomena dan dampak buruk ketika seseorang tidak mampu
menerima, menganalisa, mengkritisi, dan menyikapi sumber media baru yang
diterimanya. Kondisi ini menjadi tanggungjawab banyak pihak yang peduli dengan
ancaman-ancaman media baru tidak terkontrol dapat menyerang generasi masa depan
terkhusus bagi remaja yang rentan akan hal ini. Bimbingan dan konseling sebagai
upaya pendidikan seharusnya memiliki peran dan andil menyikapi hal ini. Sebagai
ilmu bimbingan dan konseling terus melakukan inovasi dan pengembangan dalam
upayanya melaksanakan pendidikan bagi semua perserta didik. Mengembangkan
strategi layanan bimbingan kelompok dengan menanamkan nilai-nilai karakter cerdas
menjadi salah satu pendekatan yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan
literasi media baru pada peserta didik. Hal ini akan sesuai dengan cita-cita bangsa
Indonesia yang tertuang dalam rancangan UUD 45 untuk membentuk karakter dan
mencerdaskan kehidupan bangsa.

Referensi

APJII. (2017). Infografis Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet. Indonesia Survey
2017. Jakarta: Asosisasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia

Bobkowski, P.S., Shafer, A., Ortiz, R.R. (2015). Sexual intensity of adolescents' online
self-presentations: Joint contribution of identity, media consumption, and
extraversion. Computers in Human Behavior

Boyd, D. M., & Ellison, N. B. (2007). Social Network Sites: Definition, History, and
Scholarship. Journal of Computer Mediated Communication

Creeber, G., & Martin, R. (2009). Digital Cultures: Understanding Media baru.
Berkshire, England: McGraw – Hill

Croteau, David, dan William Hoynes. (1997). Media/Society; Industries, Images, and
Audiences. London: Pine Forge Press
Diosa, I.R., F van Oostenb, J.M., dan Igartuac, J.J. (2018). A Study of the Relationship
between Parental Mediation and Adolescents’ Digital. Skills, Online Risks and
Online Opportunities. Computers in Human Behavior

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (2008). Penataan Pendidikan Profesional


Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.
Diperbanyak oleh Jurusan PPB FIP UPI untuk lingkungan terbatas

Dewdney, A., Ride, Peter. (2006). The New Media Handbook. London. Routledge.

Fathurrohman, P., Suryana, AA., Fatriany, F. (2013). Pengembangan Pendidikan


Karakter. Bandung: PT Refika Aditama.

Gibson, R.L., M.H. Mitchell. (2011). Bimbingan dan Konseling. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Diterjemahkan dari; Introduction to Counseling and Guidanse. First
publisher 2008 by Pearson Prentice Hall. Pearson education, Inc, Upper Saddle
River, New Jersey.

Guntarto. (2011). Kidia (Kritis! Media untuk Anak). Perkembangan Literasi Media di
Indonesia. Diunduh pada 28 Mei 2018.
http://www.kidia.org/news/tahun/2011/bulan/02/tanggal/09/id/187/

Gee, J.P. (2010) New digital media and learning as an emerging area and “worked
examples” as one way forward. Cambridge, MA: MIT Press

Hariyanto, Y.P. (2017). Literasi Media Di Kalangan Remaja Kota dalam Penggunaan
Media Sosial. Journal Universitas Airlangga. Vol. 6 / No. 3 / Published : 2017-03

Hoechsmann, M., Poyntz, S.R. (2012). Media Literacies: A Critical Introduction. Wiley-
Blackwell

Jenkins, H. (2009). Confronting The Challenges of Participatory Culture: Media


Education for the 21st Century. Illinois: MacArthur Foundation.

Kalay, Y.E. (2008). New Heritage: New Media and Cultural Heritage.

Kartadinata., S. (2010). Mencari Bentuk Pendidikan Karakter Bangsa. Bandung.


http://file. upi. edu/Direkt0ri/A

Kellner, D., Share, J. (2005). Toward critical media literacy: Core concepts, debates,
organizations, and policy. Discourse: Studies in the Cultural Politics of Education,
26 (3), 369–386. doi: 10.1080/01596300500200169

Kominfo. (2017). Survei Penggunaan Tik 2017 Serta Implikasinya Terhadap Aspek
Sosial Budaya Masyarakat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Aplikasi
Informatika dan Informasi dan Komunikasi Publik

Lin, T.-B., Li, J.-Y., Deng, F., & Lee, L. (2013). Understanding New Media Literacy: An
Explorative Theoritical Freamework. Educational Technology & Society.

Mc Quail, D. (2010). McQuail's mass communication theory. Sage publications.

Merwe, P. Vd (2013). Adolescent Violence: The Risks and Benefits of Electronic Media
Technology. Procedia - Social and Behavioral Sciences 82 ( 2013 ) 87 – 93

Mondry, (2008). Pemahaman Teori dan Praktik Jurnalistik. Bogor: Ghalia Indonesia
NAMLE. (2009). Core Principles Of Media Literacy Education In The United States.
National Association for Media Literacy Education (formerly AMLA)
Reproduction for educational use is encouraged. www.NAMLE.net

Ouzhan, O., Haydari, N. (2011). The state of media literacy in Turkey. Procedia Social
and Behavioral Sciences 15 (2011) 2827–2831

Patchin, J.W., Hinduja, S. (2017). Digital Self-Harm Among Adolescents. Journal of


Adolescent Health xxx 1e6

Permendikbud No. 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti

Pramiyanti, A., Putri, I.P., Nureni, R. (2014). Motif Remaja dalam Menggunakan Media
Baru (Studi Pada Remaja Di Daerah Sub-urban Kota Bandung). Komuniti: Jurnal
Komunikasi dan Teknologi Informasi. Volume VI, No. 2

Prayitno. (2011). Modul Profesi Pendidik. Padang: UNP

Prayitno., Khaidir, A. (2011). Model Pendidikan Karakter-Cerdas. Padang: UNP Press

Rifauddin, M. (2016). Fenomena cyberbullying pada remaja. Jurnal Ilmu Perpustakaan,


Informasi, dan Kearsipan Khizanah Al-Hikmah, 4(1), 35-44.

Rusmana, N. (2009.) Bimbingan Dan Konseling Kelompok Di Sekolah (Metode, Teknik


Dan Aplikasi). Bandung: Rizqi Press.

Stober, R. (2004). What Media Evolution IsA Theoretical Approach to the History of New
Media. European Journal of Communication 19(4):483-505

Yusuf, S. (2017). Bimbingan dan Konseling Perkembangan Suatu Pendekatan


Komprehensif. Bandung: Refika Aditama

Sagala, S. (2011). Membangun Menara Pendidikan Berkarakter Cerdas. Medan:


UNIMED

Tohirin. (2007). Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah (Berbasis


Integrasi). Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,

Weinstein, E. (2018). The social media see-saw: Positive and negative influences on
adolescents’ affective well-being. Journal New Media & Society. SAGE
Publications

Вам также может понравиться