Perbandingan sistem pertanian petani local Papua dengan petani di daerah
lain di Indonesia relatif berbeda. Model atau pola pertanian yang sedang dilakukan oleh petani Papua masih bersifat ekstensif. Sistem ekstensif ini dapat dilihat pada masih relatif berlakunya interaksi petani Papua dengan hasil hutan atau bekas hutan.
1. Sistem pertanian ekstensif
Sistem meramu Sistem meramu adalah sistem pemungutan atau pemanenan hasil utama hutan atau non hutan tanpa melakukan aktifitas budidaya pertanian. Sistem pertanian ini telah dilakukan oleh masyarakat petani di dunia sebelum dikenalnya sistem budidaya pertanian. Di Papua, sistem meramu (gathering system) ini umumnya masih dilakukan oleh masyarakat petani lokal Papua. Sistem meramu ini pula masih berlaku di beberapa negara-negara berkembang seperti di Africa dan Amerika latin. Sistem meramu ini pula dilakukan pada saat masyarakat petani melakukan pembukaan hutan baik primer dan sekunder untuk melakukan proses penanaman (cultivating) tanaman pertanian baru, selain itu ada juga yang masih menggantungkan hidupnya langsung pada alam disekitarnya tanpa melakukan aktifitas pertanian. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa input yang diberikan oleh masyarakat petani terhadap tanaman atau tumbuhan liar tidak ada. Proses pertumbuhan dan regenerasi diserahkan pada kemampuan tanaman tersebut. Dengan demikian produksi yang dihasilkan per satuan tanaman juga akan rendah. Sistem berburu Sistem perburuan (hunting system) merupakan salah satu aktifitas pertanian yang paling tua dilakukan oleh peradaban manusia. Sistem ini ditemui masih berlaku di beberapa negara berkembang seperti di Africa, Asia-Pacific dan America Latin. Namun secara modern sistem perburuan telah merubah fungsinya sebagai salah satu aktifitas olahraga berburu. Masyarakat petani lokal di Papua umumnya pula masih menerapkan sistem yang tergolong tua ini. Dalam sistem perburuan ini masyarakat petani masih menggantungkan aktifitas produksi di hutan atau habitat dimana hewan/satwa liar melangsungkan aktifitas hidupnya. Jadi, hampir 99% proses pemeliharaan hewan masih dilakukan oleh alam atau habitat hewan tersebut berada. Sistem ini diperkirakan relatif belum berkembang kearah budidaya sistem semi intensif atau intensif, seperti berturut-turut, ranching atau budidaya di dalam kandang. Jika pola produksi hewan ini dirubah atau berpindah dari fase berburu (hunting phase) kepada pola semi intensif atau intensif maka produksi dan produktifitas masyarakat petani akan berlipat ganda. Memang diketahui bahwa dalam upaya budidaya ternak/hewan, diperlukan kearifan pengetahuan kehewanan secara komprehensif. Namun, masyarakat petani tentunya memiliki local knowledge yang patut diaplikasikan dan dikembangkan menjadi locally scienctific knowledge sehingga dengan demikian upaya-upaya adaptasi dan behaviour dalam penangkaran atau ranch dapat tentunya membantu masyarkat petani untuk pembudidayaan hewan di penangkaran (captivity). Sistem pertanian berpindah (Shifting cultivation) Sistem pertanian berpindah atau shifting cultivation adalah sistem pertanian yang dilakukan dengan menebang luasan areal hutan tertentu untuk dilakukannya aktivitas pertanian dalam waktu tertentu. Lamanya petani melakukan aktifitas pertanian disuatu areal penebangan hutan ditentukan berdasarkan produksi dan kesuburan lahan itu sendiri dan sambil mencari atau menentukan areal lainnya untuk dijadikan areal pertanian selanjutnya. Lahan yang telah dipakai dalam beberapa waktu (biasanya sampai tahun), selanjutnya dibiarkan membentuk suksesi vegetasi hutan sekunder. Proses ini dalam sistem pertanian disebut dengan fallow land. Dengan menebang hutan pada areal/lahan yang telah dipilih, masyarakat masih melakukan pemanenan (harvesting) terhadap tanaman makanan yang tumbuh secara liar atau lahan bekas disekitar areal yang akan dibuka. Jadi selain dilaksanakannya shifting cultivation, aktifitas meramu pula masih tetap dilakukan. Salah satu sistem pertanian ekstensif yang masih diadopsi masyarakat petani di Papua adalah sistem tebang dan bakar (slash and burn) hutan untuk lahan pertanian. Sistem ini dipertimbangkan kurang memberikan benefit baik secara ekonomi kepada masyarakat juga dari segi kesuburan (fertility) dan konservasi lahan (land conservation) tidak prospektif. Apalagi dengan status bahan organik tanah (soil organic matter, SOM) di Papua yang relatif tipis dan ditambah lagi dengan metode pengelolaan tanah (tillage management). Dari aktifitas sistem pertanian ini, maka jelas dapat dilihat bahwa satuan input yang digunakan oleh masyarakat petani pada negara-negara berkembang dan secara khusus di Papua sangat kecil, bahkan tidak ada sama sekali. Input sistem pertanian dapat berupa ternak, tanaman pertanian, pupuk organic, pupuk anorganik, pengolahan tanah (tillage management) dan irigasi. Namur sejauh ini masyarakat petani Papua belum melihat hal ini sebagai peluang untuk meningkatkan produksi pertaniannya, disampaing sejumlah factor-faktor input lainnya. 2. Sistem intensifikasi Bercocoktanam Intensifikasi pertanian khususnya bercocoktanam (cropping systems) telah dilakukan pula oleh beberapa kelompok masyarakat di Papua, misalnya di Tiom, Wamena. Model intensifikasi pertanian yang telah diadopsi oleh salah satu kelompok masyarakat petani di Papua adalah masyarakat suku Sorong. Namun, kebanyakan dari sistem yang dijalankan masih menggunakan pupuk anorganik dan obat-obat kimiawi. Selain itu, lahan pertanian yang diusahakan oleh masyarakat petani lokal Papua masih belum diorganisir secara baik dengan memperhitungkan hubungan sirkulasi nutrien statu tanaman dengan tanah dan jenis tananaman dengan tanaman lainnya. Beberapa istilah yang sering digunakn adalah inter-cropping, mixed cropping dan alley cropping. Intensifikasi pertanian dilakukan dengan menggunakan high external inputs on sustainable agriculture (HEISA) yang ditandai dengan penggunaan sarana produksi pertanian seperti artificial fertilizer (AF) dan pestisida. Hal ini diaplikasikan mengingat tingkat kesuburan rata-rata tanah (soil fertility) yang ada di Papua. Dengan dangkalnya bahan organik (BO) tanah (atau SOM), maka ketersediaan unsur hara (nutrient) tanah untuk mensuplai nutrisi kepada tanaman menjadi rendah dibawah kebutuhan tanaman. Selain tingginya gangguan hama dan penyakit tanaman pertanian dan perkebunan. Hal mana menyebabkan masyarakat petani harus secara bijaksana mengaplikasikan external inputs, seperti pupuk buatan (artficial fertilizer). Salah satu sistem pertanian dengan menggunakan external inputs yang rendah (Low External Inputs on Sustainable Agriculture, LEISA) adalah seperti kombinasi penggunaan sistem tanam tumpangsari dan mixed (crop-livestock) farming system. Padang penggembalaan Padang penggembalaan yang ada di Papua sebenarnya relatif cukup tersedia. Namur ketersediaan lahan masih belum diimbangi dengan ketersediaan kwalitas hijauan tanaman makanan ternak (HTMT). Hampir disetiap kabupaten, lahan yang sesuai untuk diaplikasikan sebagai lahan hijauan makanan ternak cukup tersedia. Padang penggembalaan alami (grassland) yang ada di Papua secara umum masih Belem dieksplorasi guna mengetahui kehadiran diversiti rumput atau tanaman makanan ternak potensial yang bisa dikonsumsi oleh ternak. Rumput dan tanaman makanan ternak yang ada relatif terbatas secara kualitas dan kuantitas. 3. Alternatif sistem pertanian Integrasi pertanian Sistem produksi pertanian terus berjalan dinamis yang mana dipengaruhi oleh beberapa konstrain, antara lain; pertumbuhan penduduk yang berdampak pada peningkatan permintaan kebutuhan pokok bahan makanan, tingkat perekonomian suatu bangsa, ketersediaan lahan dan efisiensi dalam menggunakan besaran input guna menghasilkan optimum besaran output dari produk pertanian. Faktor-faktor penggerak (driven factors) tersebut diatas memacu masyarakat pelaku pertanian untuk meningkatkan satu satuan produksi pertanian. Dan ini tidak hanya berlaku pada negara-negara maju melainkan juga pada negara-negara berkembang. Integrasi pertanian atau biasa dikenal dengan mixed farming systems telah berkembang sesuai dengan relatif menurunnya fertilitas tanah dan efisiensi usaha pertanian. Sistem pertanian terintegrasi yang dilakukan oleh pelaku pertanian di negara- negara maju umumnya telah menggunakan input sumberdaya lokal. Saat ini negara- negara berkembang di Afrika telah menerapkan secara intensif sistem pertanian teritegrasi untuk meningkatkan usahatani masyarakat petani dan meningkatkan fertilisasi lahan pertanian mereka yang miskin akan unsur hara tanah.
Sumber : http://zonageograp.blogspot.com/2017/09/posisi-sistem-pertanian-di- papua.html