Вы находитесь на странице: 1из 30

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Apendisitis merupakan peradangan akut pada apendiks vermiformis.


Apendiks vermiformis memiliki panjang yang bervariasi dari 7 sampai 15 cm.1,2
Apendisitis merupakan salah satu kasus tersering dalam bidang bedah abdomen
yang menyebabkan nyeri abdomen akut dan memerlukan tindakan bedah segera
untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya.2,3,4

Menurut WHO, indisdensi apendisitis di Asia pada tahun 2004 adalah


4,8% penduduk dari total populasi.5 Hasil survey lainnya untuk angka insidensi
apendisitis yaitu terdapat 11 kasus pada setiap 1000 orang di Amerika pada usia
tersering 10 – 30 tahun dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 1,4 : 1.6,7

Menurut Departemen Kesehatan RI di Indonesia pada tahun 2006,


apendisitis menduduki urutan keempat penyakit terbanyak setelah dispepsia,
gastritis, dan duodenitis dengan jumlah pasien rawat inap sebanyak 28.0407 dan
insidensi apendisitis akut di Indonesia diperkirakan berkisar 24,9 kasus per 10.000
populasi.8 Pada tahun 2008, kasus apendisitis mencapai angka 591.819 dan
mengalami peningkatan pada tahun berikutnya, yaitu menjadi 596.132 kasus
apendisitis di tahun 2009.9

Selain itu, insidensi apendisitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di


antar kasus kegawatan abdomen lainnya.9 Dan di Sumatera Barat, khususnya
menurut data di RSUP Dr.M Djamil Padang terdapat 199 kasus apendisitis yang
terjadi selama pada tahun 2015 sampai dengan 2016.10

Diagnosis apendisitis diawali dengan melakukan anamnesis dan


pemeriksaan fisik.6 Dalam mendiagnosis apendisitis, anamnesis dan pemeriksaan
memegang peranan utama dengan akurasi 76-80% dengan tingkat kesulitan anak-
anak yang lebih tinggi dari pada dewasa karena diduga faktor mereka yang tidak
bisa menceritakan sendiri terkait riwayat penyakit,11 tetapi dalam mencegah
pasien agar tidak terjadi perforasi tidaklah cukup hanya dengan anamnesis dan
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 1
pemeriksaan fisik.12

Dapat juga dilakukan Ultrasonography (USG) dan Computed


Tomography (CT) scan, USG dan CT-Scan sendiri bukan untuk mencari adanya
apendisitis, pemeriksaan ini untuk membantu mencari differential diagnosis atau
untuk membantu pasien yang hasil diagnosisnya masih diragukan.12

Dalam menegakkan diagnosis pada pasien dengan gejala yang tidak khas,
dokter perlu melakukan pemeriksaan penunjang. Nilai leukosit, presentase
neutrofil, dan C-reactive protein (CRP) dapat digunakan sebagai informasi yang
bermanfaat dalam mendiagnosis apendisitis dan komplikasinya.13

Sembilan puluh persen pasien apendisitis akut menunjukkan peningkatan


hitung leukosit antara 10.000 sel/μl sampai dengan 15.000 sel/μl.12 Peningkatan
hitung leukosit melebihi 18.000-20.000 sel/μl menandakan kemungkinan telah
terjadi perforasi apendiks.12,13

Penelitian Anggi Pranita Nasution di Rumah Sakit Umum Dokter


Soedarso Pontianak pada tahun 2011, menunjukkan adanya peningkatan jumlah
leukosit pada 63,33% pasien apendisitis.14 Dan penelitian oleh Merlinda
Dwintasari pada tahun 2014 di RSU Provinsi NTB, menunjukkan adanya
peningkatan jumlah leukosit pada 40,5% pasien appendisitis akut perforasi.15

Sedangkan, penelitian dari Ortega di Madrid menyebutkan bahwa jumlah


leukosit tidak bermakna dalam mendiagnosis apendisitis, dimana pada
penelitiannya didapatkan lebih banyak pasien apendisitis dengan jumlah leukosit
yang normal.16

Setelah diagnosis apendisitis ditegakkan, tindakan bedah yang paling tepat


dan paling baik adalah apendektomi.17 Terjadinya perforasi apendiks dapat
meningkatkan risiko terjadinya komplikasi paska apendektomi, meskipun secara
umum apendektomi merupakan tindakan bedah yang relatif tidak membahayakan
jiwa dengan angka kematian paska bedah untuk apendiks perforasi yaitu 5,1 per
1000 kasus.7 Komplikasi yang sering terjadi setelah dilakukan apendektomi yaitu
infeksi paska bedah, abses intraabdomen, peritonitis umum, dan komplikasi
pascaoperasi seperti fistula dan infeksi luka operasi.12,17

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 2


Perjalanan dari mulai timbulnya gejala menuju perforasi terjadi begitu
cepat. 20% kasus perforasi apendiks terjadi 24 jam setelah timbulnya gejala,
bahkan salah seorang pasiennya menunjukkan perforasi apendiks terjadi 11 jam
setelah timbulnya gejala. Hal ini menunjukkan bahwa timbulnya perforasi sangat
cepat sehingga perlu mendapatkan perhatian yang lebih serta penanganan yang
tepat dari para dokter.4,18

Dengan terjadinya perforasi apendiks, angka kejadian komplikasi tersebut


menjadi lebih besar. Untuk kasus apendisitis tanpa perforasi, angka kejadian
infeksi paska bedah kurang dari 5%. Sementara dengan terjadinya perforasi,
angka kejadiannya dapat meningkat menjadi 20%.7 Keterlambatan diagnosis
juga dapat meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas. Ada sekitar 11,2%-
30% keterlambatan diagnosis ini berakibat perforasi intestinal.19

Oleh karena uraian diatas, peneliti sendiri menjadi tertarik untuk


melakukan penelitian mengenai hubungan jumlah leukosit pre operasi dengan
kejadian komplikasi pasca operasi apendektomi pada pasien apendisitis perforasi
di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode tahun 2015 sampai dengan 2016.

1.2 Rumusan Masalah

1. Berapa frekuensi pasien apendisitis perforasi yang menjalani


operasi dan rawatan di Bagian Bedah RSUP Dr. M Djamil Padang
periode tahun 2015 sampai dengan 2016.

2. Bagaimana hubungan jumlah leukosit pre operasi dengan kejadian


komplikasi pasca operasi apendektomi pada pasien apendisitis
perforasi di Bagian Bedah RSUP Dr. M Djamil Padang periode
tahun 2015 sampai dengan 2016.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mencari hubungan jumlah
leukosit pre operasi dengan kejadian komplikasi pasca operasi apendektomi pada
pasien apendisitis perforasi di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode tahun 2015
sampai dengan 2016.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 3


1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui frekuensi pasien apendisitis perforasi yang


menjalani operasi dan rawatan di Bagian Bedah RSUP Dr. M
Djamil Padang periode tahun 2015 sampai dengan 2016.

2. Untuk mengetahui hubungan jumlah leukosit preoperasi dengan


kejadian komplikasi pasca operasi apendektomi pada pasien
apendisitis perforasi di Bagian Bedah RSUP Dr. M Djamil
Padang periode tahun 2015 sampai dengan 2016.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Memberikan informasi mengenai insiden apendisitis perforasi
periode tahun 2015 sampai dengan 2016 di RSUP Dr. M.
Djamil Padang.

2. Memberikan informasi mengenai hubungan jumlah leukosit pre


operasi dengan kejadian komplikasi pasca operasi apendektomi
pada pasien apendisitis perforasi yang dapat berguna bagi
Bagian Patologi Klinik.

3. Memperoleh pengalaman belajar lapangan melalui studi kasus,


khususnya tentang penyakit apendisitis perforasi.

4. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan untuk kegiatan


penelitian selanjutnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Meningkatkan penanganan dan kewaspadaan para dokter


terhadap pasien apendisitis akut agar tidak berkembang
menjadi perforasi apendiks dan peritonitis.

2. Melengkapi data kejadian perforasi apendiks di Bagian Bedah


RSUP Dr. M. Djamil Padang periode tahun 2015 sampai
dengan 2016.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 4


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Apendiks

Apendiks vermiformis merupakan divertikulasi usus berujung buntu yang


berbentuk seperti cacing dengan panjang 6-10 cm. Apendiks muncul dari bagian
posteromedial sekum, berada inferior dari persambungan ileosekal. Apendiks
memiliki segitiga mesenterium yang pendek yaitu mesoapendiks, dapat dilihat
pada gambar 2.1. Mesoapendiks berasal dari bagian posterior mesenterium ileum
terminalis. Mesoapendiks melekat pada sekum dan apendiks bagian proximal.
Mesoapendiks terdiri dari jaringan lemak serta pembuluh apendiks dan sedikit
nodus limpatikus kecil. Lubang apendiks berada 2,5 cm di bawah katup
ileosekal.20

Gambar 2.1 Anatomi Apendiks21

Apendiks pertama kali terbentuk pada usia lima bulan kehamilan.


Apendiks merupakan kelanjutan dari sekum, tapi pemanjangan apendiks tidak
secepat kolon lainnya sehingga terbentuk struktur yang menyerupai cacing.22
Panjang apendiks bervariasi antara 2 – 20 cm, rata-rata 10 cm. Dinding apendiks
terdiri dari dua lapisan, lapisan luar terdiri dari otot longitudinal yang merupakan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 5


kelanjutan dari taenia coli dan lapisan dalam terdiri dari otot sirkular yang dilapisi
oleh epitel kolon.22

Bagian dasar apendiks berada di bagian dalam titik McBurney. Titik


McBurney terletak pada sepertiga lateral dan duapertiga medial garis miring
antara Spina Iliaca Anterior Superior ( SIAS ) dengan umbilikalis.20

Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu


memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang
mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak
retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di belakang colon ascendens, atau di
tepi lateral colon ascendens.20

Bagian proksimal apendiks terletak pada dinding posteromedial sekum,


kira-kira 2,5 cm di bawah katup ileocecal. Di sini juga merupakan tempat
bersatunya taeniae.22 Letak bagian distal/ ujung apendiks bervariasi, 65% terletak
di retrocecal, 30% terletak di pelvis, dan 5% terletak di ekstraperitoneal (di
belakang sekum, kolon asenden, atau ileum distal). Letak ujung apendiks
menentukan gejala dan tanda awal apendisitis.22

Gambar 2.2 Variasi Letak Apendiks23

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 6


Gejala klinis appendicitis ditentukan oleh letak apendiks. Persarafan
parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterica superior
dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X.17

Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis bermula di sekitar


umbilicus. Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan
arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada
infeksi apendiks akan mengalami gangrene.17

Apendiks disuplai oleh arteri apendikular yang berasal dari arteri ileokolik.
Darah dari sekum dan apendiks dialirkan melalui vena ileokolik menuju vena
mesentrik superior.20

Pembuluh limfatik dari sekum dan apendiks dialirkan melalui nodus


limfatikus di mesoapendiks dan nodus limfatikus di ileokolik yang terdapat di
sepanjang arteri ileokolik. Pembuluh limfatik eferen melewati nodus limfatikus
mesenterik superior.20

Persarafan sekum dan apendiks berasal dari saraf simpatik dan


parasimpatik dari pleksus mesenterik superior. Serat saraf simpatik berasal dari
bagian torasikus bawah spinal cord dan serat saraf parasimpatik berasal dari
nervus vagus. Serabut saraf aferen dari apendiks bersatu dengan saraf simpatetik
menuju spinal cord segmen T10.20

2.2 Fisiologi Apendiks

Apendiks dikenal sebagai organ sisa yang tidak mempunyai fungsi.


Namun sekarang telah diketahui bahwa apendiks merupakan organ immunologik
yang secara aktif berpartisipasi dalam menyekresikan immunoglobulin, terutama
immunoglobulin A (Ig A).12

Ig A merupakan immunoglobulin sekretoar yang sangat efektif sebagai


pelindung terhadap infeksi dan dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid
Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks. Namun
demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena
jumlah jaringan limfoid di apendiks sangat sedikit dibandingkan dengan
jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.17
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 7
Jaringan limfoid pertama kali muncul di apendiks pada usia 2
minggu setelah lahir. Jumlah jaringan limfoid meningkat seiring pertambahan usia
sampai pubertas, kemudian akan menetap pada dekade berikutnya dan kemudian
akan mulai menurun. Pada akhirnya, jaringan limfoid akan menghilang setelah
usia 60 tahun.12

Apendiks menghasilkan mukus 1-2 ml/hari. Dalam keadaan normal,


mukus disekresikan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum.
Hambatan aliran mukus di muara apendiks berperan pada patogenesis
apendisitis.17 Tekanan normal lumen apendiks mencapai 60 cmH2O.13

2.3 Pengertian

2.3.1 Apendisitis Akut

Apendisitis akut merupakan inflamasi akut yang terjadi pada apendiks


vermiformis.1,2

2.3.2 Apendisitis Perforasi

Apendisitis perforasi yaitu keadaan apendiks yang ruptur.11

2.4 Etiologi Apendisitis

Apendisitis sering disebabkan oleh sumbatan lumen yang diikuti oleh


infasi bakteri. Sumbatan terutama disebabkan oleh hiperplasia folikel limfoid
submukosa, fecalith, dan bakteri.4,24 Pembesaran folikel-folikel limfoid
disebabkan oleh adanya infeksi virus seperti measles; cacing seperti pinworms,
ascaris dan taenia; dan tumor. Hal ini dapat menyebabkan penyumbatan lumen
apendiks20 terutama pada anak-anak.4

Fecalith ditemukan pada 40% kasus apendisitis akut, 65% kasus pada
apendisitis gangrenosa yang tidak ruptur, dan 90% pada kasus apendisitis
gangrenosa yang disertai ruptur.12

Terbentuknya fecalith disebabkan oleh kurangnya asupan serat serta


tingginya asupan gula dan lemak sehingga menyebabkan feses di dalam usus
menjadi lebih kecil, lebih lama berada di usus dan dapat meningkatkan tekanan
intra luminal6 yang menyebabkan timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 8
meningkatnya pertumbuhan bakteri kolon17 karena bakteri pada infeksi apendiks
pada dasarnya sama dengan bakteri yang terdapat pada infeksi kolon.12

Apendisitis merupakan infeksi polimikrobial. Bakteri anaerob, fakultatif


dan Mycobacteria mungkin terdapat pada apendisitis akut. Bakteri-bakteri
tersebut diantaranya Escherichia coli, Streptococcus anginosus, Bacteroides
fragilis, Peptostreptcoccus species dan Clostridium species.12

2.5 Patofisiologi

Inflamasi apendiks disebabkan oleh adanya sumbatan, biasanya dalam


bentuk fecalith. Penyebab lain yang jarang mengakibatkan sumbatan adalah
dikarenakan batu empedu, tumor, dan kumpulan cacing.15 Wangesteen secara
ekxtensif mempelajari struktur dan fungsi apendiks serta mempelajari proses
terjadinya obstruksi di apendiks.

Secara anatomi, Wangesteen menjelaskan bahwa lipatan mukosa dan serat


otot yang membentuk bagian seperti katup di lubang apendiks menyebabkan
apendiks cenderung untuk mengalami obstruksi. Rangkaian peristiwa terjadinya
apendisitis menurut Wangesteen adalah sebagai berikut:25

(1) Sumbatan lumen disebabkan oleh fecalith dan pembengkakan jaringan


limfoid di mukosa dan submukosa di dasar apendiks.4 Fecalith disebabkan
oleh pengumpulan dan pengerasan massa feses dan hiperplasia jaringan
limfoid yang disebabkan oleh infeksi virus (cacar), cacing (seperti
cacing pita, Ascaris, dan Taenia), dan tumor (carcinoid dan carcinoma).13

(2) Tekanan intraluminal meningkat disebabkan oleh sekresi mukus


mukosa apendiks yang tertahan oleh sumbatan.4 Sekresi mukus
menyebabkan distensi apendiks.13

(3) Peningkatan tekanan di dinding apendiks meningkatkan tekanan


kapiler dan menyebabkan iskemi mukosa.4

(4) Pertumbuhan berlebih dari bakteri di lumen apendiks dan translokasi


bakteri menembus dinding apendiks menyebabkan terjadi inflamasi,
edema, dan menyebabkan nekrosis.4

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 9


Bakteri berkembang di dalam lumen dan menembus dinding karena
kerusakan arteri yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intraluminal.
Akhirnya, gangrenosa dan perforasi dapat terjadi. Kerusakan vaskular secara
progresif dapat menyebabkan perforasi disertai dengan masuknya abses secara
bebas ke rongga peritoneum.13

2.6 Manifestasi Klinis

Gejala dan tanda klinis apendisitis akut tergantung fase patologis


apendisitis.

2.6.1 Gejala

Apendisitis akut sering timbul dengan gejala khas yang didasari


oleh radang mendadak apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai dengan rangsang peritoneum lokal.17 Terdapat
“Triad Classic“ gejala apendisitis yang terdiri dari nyeri, mual disertai
muntah dan demam. Pada tahap awal sumbatan apendiks, pasien akan
merasakan nyeri kram abdomen yang hilang timbul di area periumbilical6
atau area epigastrik2 dan area nyeri yang sulit untuk ditentukan atau
tumpul.6

Penurunan nafsu makan hampir selalu terdapat pada kasus


apendisitis. Oleh karena itu, jika pasien tidak mengalami penurunan nafsu
makan, diagnosis apendisitis perlu dipertanyakan. Muntah terjadi pada
75% kasus apendisitis, namun muntah tidak menjadi gejala utama dan
tidak menjadi gejala yang berkepanjangan serta sebagian besar pasien
apendisitis mengalami muntah hanya sekali atau dua kali.12

Nyeri awal tersebut merupakan tipe nyeri visceral dan biasanya


berlangsung selama 4 sampai 6 jam, tapi pada seseorang yang tahan rasa
sakit atau seseorang yang sedang tidur, rasa nyeri tersebut mugkin tidak
akan terasa.24 Keluhan ini sering disertai dengan mual yang terkadang
disertai dengan muntah. Dalam beberapa jam kemudian nyeri akan
berpindah ke bagian bawah perut sebelah kanan yaitu ke titik McBurney.17
Nyeri di titik McBurney merupakan tipe nyeri somatik yang akan menetap

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 10


dan kemudian akan semakin berat. Nyeri akan terasa lebih parah jika
pasien bergerak atau batuk.24

Rangkaian gejala-gejala yang timbul mempunyai nilai diagnosa


banding yang signifikan. Pada lebih dari 95% pasien apendisitis akut,
penurunan nafsu makan menjadi gejala yang paling utama, diikuti dengan
nyeri abdomen yang kemudian diikuti atau tidak diikuti oleh muntah. Oleh
karena itu, jika muntah terjadi lebih dulu dari pada nyeri abdomen
maka diagnosis apendisitis perlu dipertimbangkan lagi.12

Sebagian besar pasien mengalami kesulitan buang air besar


sebelum terjadi nyeri abdomen dan banyak yang merasakan bahwa nyeri
abdomen tersebut hilang setelah melakukan buang air besar. Akan tetapi,
pada beberapa pasien terjadi diare, terutama pada pasien anak.12

Jika apendisitis akut berkembang menjadi perforasi apendiks,


gejala lain akan timbul. Pasien akan merasakan nyeri abdomen selama dua
hari atau lebih, akan tetapi durasi gejalanya lebih pendek. Nyeri tersebut
biasanya terlokalisasi di area kuadran kanan bawah jika perforasi telah
menembus struktur intraabdomen termasuk omentum, tapi nyeri tersebut
dapat menjadi tumpul jika terjadi peritonitis generalisata.6

Kemudian nyeri akan menjadi semakin parah, tegang dan kembung


yang meliputi seluruh bagian abdomen. Peristaltik usus akan menurun
bahkan menghilang karena terjadi paralisis ileus sehingga menyebabkan
kesulitan buang air besar. Pasien dengan perforasi akan mengalami demam
yang tinggi mencapai 38,9o C atau lebih.6

2.6.2 Tanda

Pada pemeriksaan fisik, ditemukan rasa nyeri abdomen yang


meningkat pada saat batuk terutama pada anak usia muda. Rasa nyeri yang
menunjukan apendisitis terjadi di kuadran kanan bawah yang berdekatan
dengan titik McBurney6 dan area pinggang kanan (Flank region). Defans
muskular (Muscle guarding) akan didapatkan dengan pola volunter saat

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 11


awal dan kemudian akan menjadi tegang (muscle rigidity) yang
involunter.26

Gambar 2.3 Lokasi Titik McBurney27

Peradangan yang menjalar ke area peritoneal parietal akan


menyebabkan nyeri lepas (Rebound tenderness), nyeri tekan berpindah
(rovsing’s sign)6 dan nyeri lepas berpindah (reffered rebound tenderness).
Jika peradangan apendiks mengiritasi otot psoas, maka psoas sign positif
dan jika peradangan apendiks mengiritasi otot obturator, maka obturator
sign positif yang menunjukan nyeri di hipogastrik kanan.28

Pada pemeriksaan rektum didapatkan rasa nyeri di sisi kanan


rektum. Akan tetapi perlu diperhitungkan penyebab lain selain karena
apendisitis misalnya karena peradangan adneksa dan atau peradangan
vesikula seminalis.28

Pada pasien perforasi apendiks, pasien bisa terlihat sangat sakit dan
kaku, muka kemerah-merahan dan terdapat peningkatan denyut nadi dan
temperatur yang tinggi.6 Jika sepsis terjadi, maka tekanan darah bisa turun.
Jika perforasi telah mencapai struktur sekelilingnya untuk menimbulkan
abses atau phlegmon, maka akan terpalpasi adanya suatu massa di kuadran

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 12


kanan bawah. Jika ruptur telah mencapai struktur intraperitoneal maka
akan menyebabkan peritonitis generalisata yang dalam pemeriksaan fisik
dapat ditandai dengan nyeri lepas di seluruh bagian abdomen (diffuse
rebound tenderness).6

Gambar 2.4 Obturator Sign27

Gambar 2.5 Psoas Sign27

2.7 Pemeriksaan Laboratorium

Untuk menunjang diagnosa, dilakukan pemeriksaan hitung leukosit dan


urinalisis. Sembilan puluh persen pasien apendisitis akut menunjukkan
peningkatan hitung leukosit antara 10.000 sel/μl sampai dengan 15.000/μl.12
Selain itu, pada pemeriksaan differential count menunjukan shift to the left,
dengan bertambahnya jumlah polimorfonuklear leukosit dan bentuk batang.
Peningkatan hitung leukosit melebihi 18.000 - 20.000 sel/μl menandakan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 13


kemungkinan telah terjadi perforasi apendiks.12,13 Urinalisis sangat penting untuk
mengetahui abnormal urin yang mungkin terlihat pada pasien apendisitis jika
peradangan apendiks mengiritasi kandung kemih atau ureter.27

2.8 Skor Diagnostik

Skor diagnostik merupakan sistem skoring yang dikembangkan untuk


meningkatkan keakuratan dalam mendiagnosa apendisitis. Skor diagnostik yang
digunakan yaitu skor Alvarado,6 skor RIPASA,29 dan Pediatric Appendicitis
Score (PAS).30 Tabel 2.1 memperlihatkan daftar 8 indikator spesifik pada skor
Alvarado. Pasien dengan skor 9 – 10 menunjukkan kemungkinan besar apendisitis
dan harus segera dilakukan tindakan bedah.12

Tabel 2.1 Skala Alvarado untuk Diagnosa Apendisitis12

RIPASA skor atau The Raja Isteri Pengiran Anak Saleha Appendicitis
skor seperti pada tabel 2.2 juga merupakan alat untuk mendiagnosa apendisitis
yang ditemukan di wilayah Asia Tenggara pada tahun 2010. Skor RIPASA
dengan skor total 7.5 bermakna untuk mendiagnosa apendisitis.29

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 14


Tabel 2.2 RIPASA skor untuk Diagnosa Apendisitis29

Pada tabel 2.3 juga merupakan skor diagnostik untuk diagnose apendisitis
yaitu Pediatric Appendicitis Score (PAS), dimana pada tahun 2002 untuk pertama
kalinya Samuel membuat skor apendisitis khusus untuk anak-anak. Dari 1170
anak usia 4 – 15 tahun yang dirujuk ke ahli bedah anak dengan keluhan nyeri
perut yang sugestif apendisitif, diteliti secara prospektif data demografi, gejala,
tanda, pemeriksaan laboratorium, dan hasil pemeriksaan patologi dari
apendektomi yang dilakukan oleh ahli bedah anak. Kemudian dilakukan analisis
regresi linear multipel dari semua parameter hingga diperoleh delapan komponen
sebagai komponen Pediatric Appendicitis Score (PAS).30

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 15


Tabel 2.3 Pediatric Appendisitis Score (PAS) untuk Diagnosa Apendisitis30

2.9 Komplikasi Apendisitis

Komplikasi terjadi pada 25-30% anak yang menderita apendisitis,


terutama perforasi. Metode efektif untuk menurunkan komplikasi yaitu dengan
menurunkan insidensi perforasi. Mortalitas untuk apendisitis rendah berkisar
antara 0,5 – 1 %.2 Morbiditas dan mortalitas pada anak telah mengalami
penurunan sejak 2 dekade terakhir ini walaupun fakta memperlihatkan bahwa
insidensi perforasi apendiks tetap tinggi.27

Keterlambatan dalam mendiagnosa menyebabkan proses inflamasi


semakin berkembang menjadi nekrosis dan akhirnya mengalami perforasi. Ketika
perforasi apendiks terjadi, gejala-gejala lain mulai timbul. Timbul nyeri abdomen
yang terlokalisir di kuadran kanan bawah dan dengan durasi yang pendek selama
2 hari atau lebih.

Pasien dengan perforasi sering terlihat membatasi gerak tubuhnya dan


disertai demam tinggi 38,9oC atau lebih. Gejala lain yang timbul yaitu buruknya
kemampuan untuk makan dan terjadi dehidrasi. Selain itu, perforasi dapat
menyumbat usus halus sehingga menyebabkan muntah dan sulit buang air besar.6
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 16
Gejala-gejala yang timbul dapat disebabkan karena reaksi peradangan
apendiks itu sendiri maupun adanya perforasi yang menyebabkan abses
terlokalisir di intraperitoneal sehingga terjadi fistulisasi dikulit menyebabkan
terbentuknya fistula enterokutaneus. Selain itu, abses juga dapat terbentuk di
retroperitoneal yang disebabkan oleh perforasi apendiks retrosekal atau dapat juga
terbentuk di hati yang disebabkan oleh penyebaran infeksi melalui sistem vena
porta menyebabkan pylephlebitis (thrombosis vena porta karena sepsis).
Pylephlebitis menimbulkan gejala demam tinggi dan kuning.6

Perforasi apendiks dapat menyebabkan material infeksi masuk ke dalam


area peritoneum yang steril sehingga menyebabkan peritonitis. Peritonitis
merupakan inflamasi membran serosa yang melapisi rongga abdomen dan organ-
organ yang berada di dalamnya. Peritonitis dibagi menjadi peritonitis lokal dan
difusa.31 Pada peritonitis lokal, abses yang terbentuk terlokalisir di area yang kecil
karena adanya omentum dan organ viscera.24

Sedangkan pada peritonitis difusa, abses sudah mencakup ke seluruh


bagian abdomen. Manifestasi utama peritonitis adalah nyeri abdomen akut, nyeri
tekan abdomen (abdominal tenderness), dan defans muskular (abdominal
guarding), yang akan terasa semakin parah jika peritoneum digerakan, seperti
ketika batuk atau menggerakan panggul. Lokalisasi manifestasi ini tergantung
pada jenis peritonitis.24

2.10 Penatalaksanaan

2.10.1 Penatalaksanaan Apendisitis Akut


Bila diagnosa klinis apendisitis telah ditegakkan, tindakan yang
paling tepat dan paling baik adalah apendektomi. Apendektomi dapat
dilakukan secara terbuka ataupun dengan laparoskopi. Pada apendektomi
terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah.17

2.10.2 Penatalaksanaan Perforasi Apendiks

Pada pasien dengan perforasi apendiks, perlu dilakukan laparotomi


sehingga dapat dilakukan pencucian dan pengeluaran pus, fibrin ataupun
kantung nanah dari rongga peritoneum. Namun sebelum dilakukan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 17


tindakan bedah, perlu dilakukan perbaikan keadaan umum, rehidrasi,
pemberian antibiotik untuk bakteri Gram negatif dan positif serta bakteri
anaerob dan juga perlu dilakukan pemasangan selang nasogastrik.17

2.11 Komplikasi Pasca Bedah

Apendektomi merupakan prosedur bedah yang cukup aman dengan jumlah


kematian paska bedah untuk apendisitis tanpa perforasi berkisar 0.8 per 1000 dan
angka kematian paska bedah untuk perforasi apendiks adalah 5.1 per 1000.7

2.11.1 Infeksi Luka (wound infection)

Angka kejadian infeksi luka paska bedah ditentukan oleh


kontaminasi luka pada saat tindakan bedah. Angka kejadian infeksi
bermacam-macam mulai kurang dari 5% pada apendisitis sampai 20%
pada kasus perforasi dan gangrenosa. Penggunaan antibiotik selama
tindakan bedah menunjukkan penurunan angka kejadian infeksi luka paska
bedah.7

2.11.2 Abses Intraabdomen

Abses intraabdomen atau pelvik dapat terbentuk pada periode


paska bedah setelah terjadi kontaminasi di rongga peritoneal. Pasien
biasanya merasakan swinging pyrexia. Diagnosis dapat diperkuat dengan
Ultrasonografi (USG) atau computed tomografi scanning.7 Abses
intraabdomen dapat terjadi dari kontaminasi peritonealis setelah gangren
dan perforasi.12

2.11.3 Peritonitis Umum

Perforasi appendix akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang


ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat meliputi seluruh perut
dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler
di seluruh perut, peristaltik usus menurun sampai menghilang karena ileus
paralitik. Pada tanda klinis didapatkan defans muscular lokal di kuadran
kanan bawah serta bising usus menurun.32

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 18


Komplikasi yang lain yaitu peritonitis generalisata dan
terbentuknya massa periapendikular. Peradangan peritoneum merupakan
penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis.33

Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari


apendisitis. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan
peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata. Dengan
begitu, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke
dalam lumen usus menyebabkan dehidrasi, gangguan sirkulasi, oligouria,
dan mungkin syok. Gejala yang dapat ditimbulkan yaitu demam,
lekositosis, nyeri abdomen, muntah, Abdomen tegang, kaku, nyeri tekan,
dan bunyi usus menghilang.12,32,33

2.11.4 Sepsis dan Fistula Intraabdomen

Komplikasi dini dari apendisitis perforasi yaitu sepsis. Sedangkan


fistula fekalis timbul dari nekrosis suatu bagian dari seccum oleh abses
atau kontriksi dari jahitan kantong. Obstruksi usus dapat terjadi dengan
abses lokulasi dan pembentukan adhesi. Komplikasi lanjut meliputi
pembentukan adhesi dengan obstruksi mekanis dan hernia.12

2.11.5 Kematian

Apendisitis perforasi berhubungan dengan tingkat mortalitas yang


tinggi. Pasien yang mengalami apendisitis akut angka kematiannya hanya
1,5%, tetapi ketika telah mengalami perforasi angka ini meningkat
mencapai 20-35%.17,34

2.12 Prognosis

Angka kematian apendisitis tanpa komplikasi biasanya sangat rendah.


Namun pada kasus perforasi apendiks, angka kematian pada umumnya mencapai
0,2% dan pada usia lanjut angka kematiannya mencapai 15%.35

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 19


BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual Penelitan

Kegawatdaruratan Abdomen

Apendisitis Perforasi

Anamnesis

Diagnosis
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan
Penunjang

Jumlah Presentasi C-Reactive


Leukosit Neutrofil Protein (CRP)

Komplikasi Pasca
Operasi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 20


Keterangan :

= diteliti = tidak diteliti

Gambar 3.1. Kerangka Konsep

Keterangan Gambar :

Kerangka konsep di atas menjelaskan bahwa kegawatandaruratan


abdomen yaitu salah satunya apendisitis perforasi. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Jika terjadi
keterlambatan dalam penentuan diagnosis, maka akan terdapat komplikasi pasca
operasi yang berkaitan dengan angka leukosit.

3.2 Hipotesis

Terdapat hubungan antara angka leukosit pre operasi dengan kejadian


komplikasi pasca operasi apendektomi pada pasien apendisitis perforasi di Bagian
Bedah RSUP Dr. M Djamil Padang periode tahun 2015 sampai dengan 2016.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 21


BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross


sectional. Dalam penelitian cross sectional peneliti melakukan observasi pada
satu waktu tertentu.36

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Bagian Rekam Medis (Medical Record) dan


Bagian Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang . Pelaksanaan penelitian dilakukan
selama Bulan Agustus sampai dengan Desember 2017.

4.3 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel


4.3.1 Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh penderita apendisitis perforasi yang


menjalani operasi dan dirawat di Bagian Bedah periode tahun 2015 sampai
dengan 2016 di RSUP Dr. M. Djamil Padang.

4.3.2 Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel


Sampel penelitian adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi dengan teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah
simple random sampling dimana setiap subyek dalam populasi mempunyai
kesempatan yang sama untuk terpilih atau tidak terpilih sebagai sampel
penelitian.
Cara pengambilan sampel didapat dengan menghitung terlebih
dahulu jumlah subyek dalam populasi yang akan dipilih sebagai sampel
penelitian, setiap subyek diberi nomor dan dipilih sebagian dari populasi
tersebut dengan bantuan tabel angka random
1. Kriteria inklusi
Pasien apendisitis perforasi yang menjalani operasi dan dirawat di
RSUP Dr. M. Djamil Padang periode tahun 2015 sampai dengan
2016 yang berusia >12 tahun.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 22


2. Kriteria Eksklusi
a. Data rekam medis tidak lengkap.
b. Berkas rekam medis pasien memuat variabel yang dibutuhkan
tapi tidak dapat dibaca
c. Pasien dengan penyakit TBC, diabetes melitus dan
immunocompromised

4.3.3 Besar Sampel


Penentuan besar sampel minimal untuk penelitian ini menggunakan
rumus Lemeshow :37

𝑍2 𝑝 𝑞
𝑛=
𝑑2

Keterangan :
𝑛 = jumlah sampel minimal yang diperlukan
Z = nilai standar nominal untuk kemaknaan α = 0,05 atau
(1,96)
p = proporsi pasien dengan apendisitis perforasi di RSUP Dr.
M. Djamil periode tahun 2015 sampai dengan 2016
q = 1- p (proporsi pasien yang bukan merupakan apendisitis
perforasi di RSUP Dr. M. Djamil periode tahun 2015
sampai dengan 2016)
d = limit dri error atau presisi absolut

Dari data Rekam Medis RSUP Dr. M. Djamil Padangpada tahun


2015-2016 pengklasifikasian penyakit berdasarkan ICD (International
Classification of Diseases) 10 terdapat 199 orang pasien mengalami
apendisitis, dengan 168 diantaranyaa merupakan appendisitis akut dengan
perforasi.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 23


Z = 1,96
p = 168 / 199 = 0,84
q = 1 – 0,84 = 0,16
d = 10% atau 0,10

maka besar sampel yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah :

𝟏, 𝟗𝟔𝟐 . 𝟎, 𝟖𝟒 . 𝟎, 𝟏𝟔
𝒏=
(𝟎, 𝟏𝟎)𝟐
𝟎, 𝟓𝟏𝟔
𝒏=
(𝟎, 𝟏𝟎)𝟐
𝒏 = 𝟓𝟏, 𝟔
n  52

Dari hasil perhitungan tersebut didapatkan total besar sampel


minimal untuk penelitian ini adalah 51,6 sampel dibulatkan menjadi 52
sampel.
Dengan perkiraan prevalensi 84%, tingkat kepercayaan 95% dan
presisi penelitian sebesar 10%, besar sampel yang diperlukan adalah 52.
Subjek diambil secara simple random sampling.

4.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional


4.4.1 Variabel Penelitian

1. Variabel Terikat (Dependen) : Jumlah Leukosit

2. Variabel Bebas (Independen) : Komplikasi Pasca Operasi

4.4.2 Definisi Operasional


1. Variabel Terikat (Dependen) : Jumlah Leukosit

Definisi : jumlah sel darah putih

Cara Ukur : observasi rekam medis

Alat Ukur : hematologi analizer

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 24


Hasil Ukur : jumlah hitung jenis leukosit pasien

Leukosit < 15.000 dan ≥ 15.000

Skala Ukur : interval

2. Variabel Bebas (Independen) : Komplikasi Pasca Operasi

Definisi : akibat yang timbul setelah operasi

Cara Ukur : observasi rekam medis

Alat Ukur : rekam medis

Hasil Ukur : komplikasi pasca operasi apendisitis seperti


perforasi abses intraabdomen, peritonitis umum,
fistula, infeksi luka operasi, sepsis, dan
kematian12,17,34

Skala Ukur : nominal

4.5 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah data retrospektif


yang diambil dari rekam medis yang diperoleh di bagian Bedah RSUP Dr. M.
Djamil Padang mengenai angka leukosit pasien sebelum operasi dengan
komplikasi pasca operasi pada pasien apendisitis perforasi pada tahun 2015
sampai dengan 2016.

4.6 Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:

a. Data rekam medis pasien apendisitis perforasi yang menjalani operasi


dan dirawat di RSUP Dr. M. Djamil Padang pada periode tahun 2015
sampai dengan 2016 dikumpulkan.
b. Dilakukan pendataan terhadap semua anggota populasi.
c. Data yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk kriteria
eksklusi dijadikan sebagai sampel.
d. Pemeriksaan ulang terhadap data yang telah diambil.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 25


e. Data tersebut dimasukkan ke dalam program komputer untuk
pengolahan dan analisis data

4.7 Cara Pengolahan dan Analisis Data


4.7.1 Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari rekam medik diolah dengan tahap-tahap sebagai
berikut :38
a. Editing, yaitu data diperiksa kelengkapan dan kejelasannya terlebih
dahulu
b. Coding, yaitu proses pemberian kode pada setiap data variabel yang
telah terkumpul yang berguna untuk memudahkan pengolahan
selanjutnya
c. Entry, yaitu memasukkan data ke dalam program SPSS secara single
entry
d. Cleaning, yaitu data yang telah dientry, diperiksa kembali untuk
memastikan bahwa data tersebut telah bersih dari kesalahan baik
kesalahan dalam pengkodean ataupun kesalahan dalam membaca
kode.

4.7.2 Analisis Data


Data yang diperoleh dari rekam medis di bagian Bedah RSUP Dr. M.
Djamil Padang periode 2015 sampai dengan 2016 akan diolah dengan program
komputer dengan tahapan :38
a. Analisis univariat dimaksudkan untuk menggambarkan masing-
masing variabel bebas dan terikat. Tujuan dari analisis ini adalah
untuk menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel
b. Analisis bivariat dimaksudkan untuk melihat hubungan kedua
variabel, yaitu variabel bebas dan terikat. Analisis tersebut digunakan
untuk menganalisis kedua variabel yang terdapat dalam penelitian ini
yaitu komplikasi pasca operasi sebagai variabel bebas dan jumlah
jenis leukosit pre operasi pada pasien apendisitis perforasi sebagai
variabel terikat. Analisis untuk melihat adanya hubungan dua variabel

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 26


tersebut bermakna atau tidak bermakna. Analisis ini menggunakan uji
statistik T tidak berpasangan dengan derajat kemaknaan 0,05 sebagai
uji hipotesis.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 27


DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland, WAN. Kamus Kedokteran Dorland (31st ed). Albertus Agung


Mahode,et al. (ed.). Jakarta: EGC; 2010. p. 137-138
2. McCance KL, Huether SE. Pathophysiology: The Biologic Basis for Disease in
Adults and Children. 5th edition. Philadelphia: Elsevier. 2006.
3. Berhman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson’s Text Book of Pediatric. 17 th
edition. Philadelphia: Saunders. 2003.
4. Mazziotti MV, Minkes RK. Appendicitis: Surgical Perspective. E-Medicine.
http://www.emedicine.com/ped/topic2925.htm. 25 Juli 2006 - Diakses pada
tanggal 8 September 2017, 10:03 WIB.
5. WHO (2004). Global Burden Disease. World Health Organization. http://
www.who.int/healthinfo/global_burden_disease/BD_report_2004update_Annex
A.pdf - Diakses pada tanggal 8 September 2017, 10:20 WIB.
6. Zinner MJ, Ashley SW. Maingot’s Abdominal Operation. 11th edition. New
York: McGraw-Hill. 2007.
7. Humes DJ, Simpson J. Clinical review: Acute Appendicitis.
http://www.bmj.com/cgi/content/full/333/7567/530. 9 September 2006,
333:530-34. BMJ - Diakses pada tanggal 8 September 2017, 10:20 WIB.
8. WD advertisement. Statistics by Country for Acute Appendicitis.
http://www.wrongdiagnosis.com/a/acute_appendicitis/stats-country.htm. 9
April 2003 - Diakses 5 September 2017, 08.20 WIB.
9. Kemenkes RI. In Depkes RI (2009). Profil Kesehatan Indonesia.,
http://www.depkes.go.id/downloads/profil_Kesehatan_2009/index.html.
Retrieved April 14, 2014 - Diakses 5 September 2017, 08.20 WIB.
10. Rekam Medik RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jumlah Kejadian Apendisitis
Perforasi. Padang. 2017
11. Hardin DM. Acute Appendicitis: Review and Update.
http://www.aafp.org/afp/991101ap/2027.html. Journals: American Family
Physician®: Vol. 60/No. 7. 1999 - Diakses pada tanggal 24 Agustus 2017,
19:23 WIB.
12. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery
Volume 28th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL,
Hunter JG, Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:1119-34
13. Kasper DL [et al]. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 16th edition. New
York: McGraw-Hill. 2005.
14. Nasution A.P, Hubungan antara Jumlah Leukosit dengan Apendisitis Akut dan
Apendisitis Perforasi di RSU Dr. Soedarso [skripsi]: Pontianak; 2011
15. Dwitasari M, Hubungan antara Peningkatan Jumlah Leukosit dengan
Apendisitis Perforasi di RSU Prov. NTB [skripsi]: NTB; 2013

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 28


16. Ortega P. Usefulness of Laboratory Data in the Management of Right iliac
Fossa Pain in Adult. Madrid, Spain: Department of General and Digestive
Surgery, Hospital Universitario de Getafe; 2008. Vol 51. p. 1093-1099
17. Sjamsuhidayat R, Wim DJ. Buku Ajar Ilmu Bedah. 2nd edition. Jakarta: EGC;
2004.
18. Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1.Ed:
Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI,
Thompson RW. New York: Springer Verlag Inc. 2000: 647-62
19. Ahuja V. Wound Healing. In: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn
DL.(Ed.) Schwartz's Principles of Surgery. 9th ed.Philadelphia: The Mc Graw-
Hill Companies; 2010. p. 159-167
20. Moore KL, Dalley AF. Clinically Oriented Anatomy. 5 th edition. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins. 2006.
21. Netter, Frank H. Atlas of Human Anatomy. 25th Edition. Jakarta: EGC,
2014.
22. Lee SL. Vermiform appendix. Medscape reference.
http://emedicine.medscape.com/article/195652-overview. Updated October
18, 2013. Accessed September 27, 2017.
23. Richard L Drake; Wayne Vogl; Adam W M Mitchell. 2014. Gray’s
Anatomy: Anatomy of the Human Body. Elsevier; 2014.
24. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbin’s and Cotran Pathologic Basis of
Disease. 7th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2005.
25. Leonard Peltier, Bradley J. L’ Etoile du Nord: An Account of Owen Harding
Wangensteen.American Collage of Surgeons: Chicago; 158 pages
26. Bickley LS, Szilagyi PG. Bate’s Guide to Physical Examination and History
Taking. 9th edition. Philadelphia: Lippincott. 2007.
27. American Pediatric Surgical Association. Appendicitis.
http://www.eapsa.org/parents/resources/appendicitis.cfm. 2008. Artikel dan
gambar disadur dari O'Neill: Principles of Pediatric Surgery. Elsevier. 2003 -
Diakses pada tanggal 22 Agustus 2017, 20:48 WIB.
28. Rowe MI, O’Neill JA, Grosfeld JL, Fonkalsrud EW, Coran AG. Essential of
Pediatric Surgery. St.Louis: Mosby-year book. 1995.
29. Nanjundaiah N, Ashfaque M, Venkatesh S, Kalpana A, Priya SA. A
Comparative Study of RIPASA Score and Alvarado Score in the Diagnosis of
Acute Appendicitis. Journal of Clinical and Diagnostic Research; 2012 Nov; vol
8(II): NCO3-NCO5
30. Samuel J. Pediatric Surgery.2002. vol 37(6): p. 877-881
31. Peralta R, Genuit T, Napolitano L.M, Guzofski S. Peritonitis and Abdominal.
eMedicine. http://www.emedicine.com/med/topic2737.htm. 2006. Diakses pada
tanggal 5 September 2017, 12.48 WIB.
32. Sabiston. Textbook of Surgery : The Biological Basis of Modern Surgical
Practice. Edisi 16.USA: W.B Saunders Companies.2002

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 29


33. R. Schrock MD, Theodore. Ilmu Bedah. Edisi Ketujuh. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.1995
34. Vasser HM, Anaya DA (2012). Acute appendicitis. Dalam: Jong EC,
Stevens DL eds. Netter’s infectious disease. Philadelphia: Saunders Elsevier.
35. McPhee SJ, Papadakis MA, Tierney LM. Current Medical Diagnosis and
Treatment. 47th edition. San Francisco: McGraw-Hill. 2008.
36. Dahlan MS. Langkah-langkah Membuat Proposal Penelitian Bidang
Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Sagung Seto; 2016
37. Dahlan MS. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian
Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika; 2011.
38. Dahlan MS. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan: Deskriptif, Bivariat dan
Multivariat. Jakarta: Salemba Medika; 2011. p. 120-130.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 30

Вам также может понравиться