Вы находитесь на странице: 1из 5

3 Masalah Kurang Gizi yang Dialami Anak Indonesia

Aditya Eka Prawira


25 Feb 2013, 14:01 WIB

Indonesia masih belum bebas dari masalah kurang gizi. Dari South East Asia Nutrition
Survey (SEANUTS), masalah anemia pada anak masih belum bisa diturunkan hingga hari
ini.SEANUTS melakukan studi tentang status gizi di 4 negara di ASEAN, yaitu Indonesia,
Malaysia, Thailand dan Vietnam. Studi ini dilakukan selama 12 bulan yang bertujuan
meneliti status gizi, pertumbuhan, pola pola makan serta asupan gizi anak-anak rentang usia 6
bulan hingga 12 tahun. Di Indonesia, SEANUTS dilaksanakan bersama PERSAGI (Persatuan
Ahli Gizi Indonesia) dan melibatkan 7.200 anak-anak; Malaysia (Universiti Kebangsaan
Malaysia/ 3.304), Thailand (Mahidol University / 3.100) ; Vietnam (Vietnam National
Institute of Nutrition / 2.880). Khusus di Indonesia, studi dilakukan mulai Januari hingga
Desember 2011 di 48 kabupaten/kota dari 25 provinsi.

Berikut sejumlah masalah kurang gizi yang dialami anak-anak berdasarkan hasil SEANUTS:
1. Anemia

Dari data 2006, kasus anemia meningkat dari awalnya 25 persen menjadi 27,7 persen. Dan
anemia pada anak-anak berusia 6 bulan hingga 2 tahun menjadi perhatian khusus.
2. Kurang vitamin A

"Bukan hanya anemia yang menjadi masalah di Indonesia pada anak. Tapi, kurangnya
Vitamin A juga masih menjadi masalah di Indonesia," kata DR Fitra Ernawati, M.Sc dari
Pusat Teknologi Kesehatan di Balai Kartini, Jakarta, Senin (25/2/2013).
Fitra mengungkapkan, pada 2006, sebanyak 11 persen anak-anak balita kekurangan Vitamin
A dan Iodium sebanyak 12 persen. Namun kasus kekurangan Vitamin A tak hanya dialami
Indonesia, tiga negara lainnya yang masuk dalam SEANUT juga kekurangan Vitamin A.
"Kekurangan Vitamin A pada anak usia 2-5 tahun, mengalami penurunan yang bermakna.
Tapi masih menjadi perhatian juga," ujarnya.

"Bukan hanya itu saja, asupan zat gizi mikro terutama seperti zat besi,yang masih perlu
ditingkatkan".
3. Kurang Vitamin D
"Kekurangan Vitamin D pada anak usia 2-12 tahun, masih menjadi masalah juga. Ini
merupakan zat gizi mikro baru yang mendapat perhatian karena fungsinya yang selain
membantu penyerapan kalsium juga diperlukan untuk pertumbuhan".
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menegaskan, angka penurunan gizi buruk di
Indonesia baru mencapai 14 persen. Tapi, dalam tahun terakhir penurunan itu sangat landai
tak bisa cepat lagi sehingga dikhawatirkan target Millenium Development Goals (MDG's)
2015 sebesar 15% tak tercapai.

Anak-anak yang mengalami gizi kurang biasanya karena tidak mendapatkan asupan gizi yang
sesuai usiannya. Anak yang kurang gizi ditandai dengan badan yang kurus, karena berat
badannya kurang untuk anak seusianya.

Selain itu, tubuh anak yang kurang gizi juga lebih pendek dibanding anak seusianya. Dan jika
masalah kekurangan gizi ini tidak kunjung diatasi, anak itu akan mengalami masalah gizi
buruk.(Mel/Igw)

Sumber : https://www.liputan6.com/health/read/521102/3-masalah-kurang-gizi-yang-dialami-
anak-indonesia
Stunting, Prioritas Utama Masalah Gizi Indonesia
Apriliana Lloydta Anuraga, CNN Indonesia | Jumat, 19/02/2016 07:42 WIB

Tingginya gizi buruk di Indonesia menyebabkan banyak


masalah stunting, yang mengancam intelektualitas anak. (Thinkstock/Jupiterimages)

Jakarta, CNN Indonesia -- Masalah gizi buruk merupakan masalah yang sering
dibicarakan di Indonesia. Pasalnya, menurut data terakhir dari Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) yang dikeluarkan pada 2013, jumlah balita yang kekurangan gizi
kembali mengalami peningkatan dari data sebelumnya di tahun 2010, yaitu dari 17,9
persen menjadi 19,6 persen.

Walau di beberapa wilayah seperti Bangka-Belitung, Kalimantan Timur, Kalimantan


Tengah, dan Sulawesi Tengah mengalami penurunan, wilayah lain, khususnya
wilayah timur Indonesia, justru memiliki tingkat kekurangan gizi yang masih saja
tinggi. Wilayah yang dimaksud adalah Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua Barat.

Ahli gizi sekaligus Kepala Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Universitas Indonesia
(UI) Ahmad Syafiq membenarkan data tersebut saat ditemui dalam seminar bertajuk
Nutrisi Sehat dan Seimbang di UI, Kamis (18/2). Menurutnya angka kekurangan gizi
di wilayah NTT saja, bisa jadi mencapai kisaran 50%.

Fakta lainnya, tingginya prevalensi anak stunting telah memosisikan Indonesia ke


dalam lima besar dunia masalah stunting.

Ia pun mengatakan kekurangan gizi yang sedang menjadi fokus saat ini adalah
stunting, atau tinggi badan anak tidak sesuai dengan standar untuk anak seusianya,
melainkan lebih rendah.

“Yang paling kita khawatirkan itu stunting. Angka stunting pada balita kita itu 37
persen,” ujarnya.

Stunting biasanya terjadi pada 1.000 hari pertama kehidupan manusia. Namun, hal
itu tak menutup kemungkinan bahwa stunting juga dapat terjadi sejak janin dalam
kandungan.
Tak main-main, masalah kekurangan gizi ini adalah masalah yang tergolong serius.

“Stunting lebih dari sekadar masalah tinggi badan,” tegas Syafiq.

Hal tersebut dikarenakan stunting akan sangat mengancam intelektualitas anak.


Menurut Syafiq, stunting menghambat pertumbuhan otak anak, yang mana
seharusnya dalam tiga tahun pertama kehidupan dapat mencapai 80%.

“Dengan demikian, stunting berkaitan dengan kecerdasan,” ujar dia.

Walau tak dapat menyebut rentang waktu pasti tentang berapa lama masalah ini
sudah terjadi, menurut Syafiq masalah ini sudah berlangsung lama di Indonesia dan
harus menjadi prioritas dalam pembenahan masalah gizi.

Upaya Memerangi Stunting

Berkaitan dengan hal tersebut, sebenarnya sudah ada beberapa upaya yang sudah
dilakukan untuk memerangi masalah gizi tersebut.

“Buat stunting sendiri sudah ada beberapa upaya yang dilakukan pemerintah,
diantaranya ada gerakan ‘Seribu Hari Pertama Kehidupan’. Itu mencakup upaya
yang spesifik maupun yang sensitif,” ungkap Syafiq.

Spesifik yang dimaksud adalah hal yang langsung berhubungan dengan gizi,
misalnya suplementasi mikronutrien pada bayi dan balita. Kemudian ada pula
suplementasi pada ibu hamil, yaitu melalui tablet tambah darah. Hal tersebut lebih
sebagai upaya pencegahan dari stunting itu sendiri.

Namun, tentu saja pemerintah tak dapat bekerja sendiri, melainkan memerlukan
kerjasama dari seluruh sektor. Pihak non-pemerintah, swasta, dan masyarakat harus
turut mengambil bagian untuk memeranginya. Syafiq mencontohkan, masyarakat
harus lebih sadar akan pentingnya kebersihan sanitasi. Karena hal itu bisa menjadi
salah satu penyebab stunting.

Selain pemerintah, pihak Kader PKK pun sudah turut berpartisipasi memerangi
kekurangan gizi di Indonesia, tentunya salah satunya melalui posyandu. Bahkan,
menurut Syafiq mereka lah ujung tombaknya, karena dapat bersentuhan langsung
dengan masyarakat.

Sehingga, Kader Posyandu harus ditingkatkan kapasitasnya, salah satunya melalui


seminar. Jadi mereka akan selalu update segala hal tentang kesehatan.
“Pembangunan gizi harus diprioritaskan. Semua orang harus berpikir bahwa apa
yang mereka lakukan dapat berdampak pada masalah gizi,” kata Syafiq.
Hasil Riskedas 2013, Ini Masalah Gizi di Indonesia
Selasa, 24 Februari 2015 15:49 WIB

TEMPO/ Dwi Narwoko

TEMPO.CO, Jakarta - Riset kesehatan dasar atau Riskedas 2013 yang


diselenggarakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dari
Kementerian Departemen Kesehatan Republik Indonesia melaporkan prevalensi
gizi kurang pada balita di Indonesia sekitar 19,6 persen.
Tjandra Yoga Aditama dalam surat elektroniknya Senin, 23 Februari 2015
menyebutkan data Riskesdas 2013 tersebut sebagai acuan yang bisa dilihat
masyarakat Indonesia tentang masalah gizi yang dibadi dalam kategori gizi
kurang (underweight), kurus (wasting), pendek (stunting), dan kegemukan (obese).
"Data ini menunjukan beban ganda yang terjadi dalam masalah gizi di Indonesia
yaitu masih ada kasus gizi kurang dan juga kasus gizi berlebih," kata pria yang
biasa disapa Tjandra ini. Dia juga menjelaskan, "Secara nasional pada tahun 2013,
prevalensi kurus dan sangat kurus masih cukup tinggi yaitu masing-masing 12,1
persen dan 5,3 persen. Adapun masalah tubuh pendek atau stunting -- dalam
istilah gizi menerangkan kondisi dimana tinggi badan anak tidak sesuai dengan
umurnya-- pada balita di Indonesia saat ini masih cukup serius sekitar 37,2
persen," ujar Tjandra.Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan ini juga menerangkan tentang prevalensi bayi dengan
berat badan lahir rendah (BBLR) sekitar 10,2 persen. Untuk prevalensi bayi
dengan panjang badan kurang dari 48 sentimeter atau bayi yang terlahir apendek
sekitar 20,2 persen.Secara nasional, menurut Tjandra, masalah gemuk pada anak
umur 5-12 tahun masih tinggi yaitu 18,8 persen, terdiri dari gemuk 10,8 persen dan
sangat gemuk (obesitas) 8,8 persen."Untuk prevalensi gemuk pada remaja umur
13-15 tahun di Indonesia sebesar 10.8 persen, terdiri dari 8,3 persen gemuk dan
2,5 persen sangat gemuk (obesitas). Prevalensi gemuk pada remaja umur 16
hingga 18 tahun sebanyak 7,3 persen yang terdiri dari 5,7 persen gemuk dan 1,6
persen obesitas. Prevalensi penduduk dewasa berat badan lebih 13,5 persen dan
obesitas 15,4 persen," katanya panjang lebar.
HADRIANI P.

Вам также может понравиться