Вы находитесь на странице: 1из 33

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah mencurahkan berkat rahmat dan hidayah

– Nya. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Baginda Rasulullah SAW,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang bertema “Autisme”. Makalah ini dibuat
untuk memenuhi salah satu tugas Psikologi sebagai tambahan nilai dalam mata pelajaran
tersebut.
Kami menyadari bahwasanya makalah ini jauh dari kesempurnaan, serta masih banyak
kekurangannya. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu penyusunan makalah.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dan sebagai bahan masukan demi
kemajuan para mahasiswa kesehatan dimasa yang akan datang. Kami sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun bagi kelengkapan makalah ini.

Tangerang, September 2014

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. i


DAFTAR ISI .............................................................................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………………………………...1
B. Tujuan………………………………………………………………………………….2
C. Ruang Lingkup…………………………………………………………………...........2
BAB II. TINJAUAN TEORI
A. Pengertian ……………………………….…………………………………………….3
B. Epidemiologi…………………………………………………………………………..3
C. Etiologi ……………………………………...…………………………………… …..4
D. Cara Mengetahui Autisme pada Anak ………………………………………………..5
E. Manifestasi Klinis …………………………………………………………………….6
F. Pengobatan……………………………...…………………………………………......7
G. Prognosis……………………….……………………………………………………...9
Asuhan Keperawatan…………………………………………………………………………10
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………………………...17
B. Saran……………………………………………………………………………….....17
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………....18

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kata autis berasal dari bahasa Yunani “auto” berarti sendiri yang ditujukan pada
seseorang yang menunjukkan gejala “hidup dalam dunianya sendiri”. Pada umumnya
penyandang autisma mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian yang melibatkan
mereka. Jika ada reaksi biasanya reaksi ini tidak sesuai dengan situasi atau malahan tidak ada
reaksi sama sekali. Mereka menghindari atau tidak berespon terhadap kontak sosial (pandangan
mata, sentuhan kasih sayang, bermain dengan anak lain dan sebagainya).
Pemakaian istilah autis kepada penyandang diperkenalkan pertama kali oleh Leo
Kanner, seorang psikiater dari Harvard (Kanner, Austistic Disturbance of Affective Contact)
pada tahun 1943 berdasarkan pengamatan terhadap 11 penyandang yang menunjukkan gejala
kesulitan berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, perilaku yang tidak biasa, dan cara
berkomunikasi yang aneh.
Autis dapat terjadi pada semua kelompok masyarakat kaya miskin, di desa dikota,
berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia. Sekalipun
demikian anak-anak di negara maju pada umumnya memiliki kesempatan terdiagnosis lebih
awal sehingga memungkinkan tatalaksana yang lebih dini dengan hasil yang lebih baik.
Jumlah anak yang terkena autis makin bertambah. Di Kanada dan Jepang pertambahan
ini mencapai 40% sejak 1980. Di California sendiri pada tahun 2002 disimpulkan terdapat 9
kasus autis per-harinya. Dengan adanya metode diagnosis yang kian berkembang hampir
dipastikan jumlah anak yang ditemukan terkena Autisme akan semakin besar. Jumlah tersebut
di atas sangat mengkhawatirkan mengingat sampai saat ini penyebab autisme masih misterius
dan menjadi bahan perdebatan diantara para ahli dan dokter di dunia. Di Amerika Serikat
disebutkan autis terjadi pada 60.000 – 15.000 anak dibawah 15 tahun. Kepustakaan lain
menyebutkan prevalens autisme 10-20 kasus dalam 10.000 orang, bahkan ada yang
mengatakan 1 diantara 1000 anak. Di Inggris pada awal tahun 2002 bahkan dilaporkan angka
kejadian autisma meningkat sangat pesat, dicurigai 1 diantara 10 anak menderita autis.
Perbandingan antara laki dan perempuan adalah 2,6 – 4 : 1, namun anak perempuan yang
terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat. Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta,
hingga saat ini belum diketahui berapa persisnya jumlah penyandang namun diperkirakan
jumlah anak austime dapat mencapai 150 – 200 ribu orang.
Berdasarkan hal diatas, maka kami sebagai penulis tertarik untuk lebih memahami
konsep anak dengan autisme, dimana konsep ini saling terkait satu sama lain. Semoga Askep
ini dapat membantu para orang tua, masyarakat umum dan khusnya kami (mahasiswa
keperawatan) dalam memahami anak dengan autisme, sehingga kami harapkan kedua anak
dengan kondisi ini dapat diperlakukan dengan baik.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa dapat mengetahui tentang Autisme.
2. Tujuan Khusus
 Mahasiswa memahami pengertian Autisme.
 Mahasiswa memahami etiologi dan manifestasi klinik Autisme
 Mahasiswa memahami cara mengetahui autis pada anak.
 Mahasiswa mampu melakukan asuhan keperawatan anak dengan Autisme.
C. Ruang Lingkup
Batasan masalah yang akan dibahas dalam masalah ini adalah kelainan perkembangan
perpasif pada anak dengan autisme.

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Autisme masa kanak-kanak dini adalah penarikan diri dan kehilangan kontak dengan
realitas atau orang lain. Pada bayi tidak terlihat tanda dan gejala. (Sacharin, R, M, 1996 : 305)
Autisme Infantil adalah Gangguan kualitatif pada komunikasi verbal dan non verbal,
aktifitas imajinatif dan interaksi sosial timbal balik yang terjadi sebelum usia 30
bulan.(Behrman, 1999: 120)
Autisme menurut Rutter 1970 adalah Gangguan yang melibatkan kegagalan untuk
mengembangkan hubungan antar pribadi (umur 30 bulan), hambatan dalam pembicaraan,
perkembangan bahasa, fenomena ritualistik dan konvulsif.(Sacharin, R, M, 1996: 305)
Autisme pada anak merupakan gangguan perkembangan pervasif (DSM IV, sadock dan
sadock 2000)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa autisme adalah gangguan
perkembangan pervasif, atau kualitatif pada komunikasi verbal dan non verbal, aktivitas
imajinatif dan interaksi sosial timbal balik berupa kegagalan mengembangkan hubungan antar
pribadi (umur 30 bulan),hambatan dalam pembicaraan, perkembangan bahasa, fenomena
ritualistik dan konvulsif serta penarikan diri dan kehilangan kontak dengan realitas.
B. Epidemiologi
Prevalensi 3-4 per 1000 anak. Perbandingan laki-laki dari wanita 3-4:1. Penyakit
sistemik, infeksi dan neurologi (kejang) dapat menunjukan gejala seperti austik.

C. Etiologi
 Genetik (80% untuk kembar monozigot dan 20% untuk kembar dizigot) terutama pada keluarga
anak austik (abnormalitas kognitif dan kemampuan bicara).
 Kelainan kromosom (sindrom x yang mudah pecah atau fragil).
 Neurokimia (katekolamin, serotonin, dopamin belum pasti).
 Cidera otak, kerentanan utama, aphasia, defisit pengaktif retikulum, keadaan tidak
menguntungkan antara faktor psikogenik dan perkembangan syaraf, perubahan struktur
serebellum, lesi hipokompus otak depan.
 Penyakit otak organik dengan adanya gangguan komunikasi dan gangguan sensori serta kejang
epilepsi.
 Lingkungan terutama sikap orangtua, dan kepribadian anak. Gambaran autisme pada masa
perkembangan anak di pengaruhi oleh pada masa bayi terdapat kegagalan mengemong atau
menghibur anak, anak tidak berespon saat diangkat dan tampak lemah. Tidak adanya kontak
mata, memberikan kesan jauh atau tidak mengenal. Bayi yang lebih tua memperlihatkan rasa
ingin tahu atau minat pada lingkungan, bermainan cenderung tanpa imajinasi dan komunikasi
pra verbal kemungkinan terganggu dan tampak berteriak-teriak. Pada masa anak-anak dan
remaja, anak yang autis memperlihatkan respon yang abnormal terhadap suara anak takut pada
suara tertentu, dan tercengggang pada suara lainnya. Bicara dapat terganggu dan dapat
mengalami kebisuan. Mereka yang mampu berbicara memperlihatkan kelainan ekolialia dan
konstruksi telegramatik. Dengan bertumbuhnya anak pada waktu berbicara cenderung
menonjolkan diri dengan kelainan intonasi dan penentuan waktu. Ditemukan kelainan persepsi
visual dan fokus konsentrasi pada bagian prifer (rincian suatu lukisan secara sebagian bukan
menyeluruh). Tertarik tekstur dan dapat menggunakan secara luas panca indera penciuman,
kecap dan raba ketika mengeksplorais lingkungannya. Pada usia dini mempunyai pergerakan
khusus yang dapt menyita perhatiannya (berlonjak, memutar, tepuk tangan, menggerakan jari
tangan). Kegiatan ini ritual dan menetap pada keaadan yang menyenangkan atau stres.
Kelainan lain adalah destruktif , marah berlebihan dan kurangnya istirahat. Pada masa remaja
perilaku tidak sesuai dan tanpa inhibisi, anak austik dapat menyelidiki kontak seksual pada
orang asing.

D. Cara Mengetahui Autisme Pada Anak


Anak mengalami autisme dapat dilihat dengan:
 Orang tua harus mengetahui tahap-tahap perkembangan normal.
 Orang tua harus mengetahui tanda-tanda autisme pada anak.
 Observasi orang tua, pengasuh, guru tentang perilaku anak dirumah, diteka, saat bermain, pada
saat berinteraksi sosial dalam kondisi normal.
Tanda autis berbeda pada setiap interval umumnya.
 Pada usia 6 bulan sampai 2 tahun anak tidak mau dipeluk atau menjadi tegang bila diangkat,
cuek menghadapi orangtuanya, tidak bersemangat dalam permainan sederhana (ciluk baa atau
kiss bye), anak tidak berupaya menggunakan kat-kata. Orang tua perlu waspada bila anak tidak
tertarik pada boneka atau binatang mainan untuk bayi, menolak makanan keras atau tidak mau
mengunyah, apabila anak terlihat tertarik pada kedua tangannya sendiri.
 Pada usia 2-3 tahun dengan gejal suka mencium atau menjilati benda-benda, disertai kontak
mata yang terbatas, menganggap orang lain sebagai benda atau alat, menolak untuk dipeluk,
menjadi tegang atau sebaliknya tubuh menjadi lemas, serta relatif cuek menghadapi kedua
orang tuanya.
 Pada usia 4-5 tahun ditandai dengan keluhan orang tua bahwa anak merasa sangat terganggu
bila terjadi rutin pada kegiatan sehari-hari. Bila anak akhirnya mau berbicara, tidak jarang
bersifat ecolalia (mengulang-ulang apa yang diucapkan orang lain segera atau setelah beberapa
lama), dan anak tidak jarang menunjukkan nada suara yang aneh, (biasanya bernada tinggi dan
monoton), kontak mata terbatas (walaupun dapat diperbaiki), tantrum dan agresi berkelanjutan
tetapi bisa juga berkurang, melukai dan merangsang diri sendiri.

E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang ditemuai pada penderita Autisme :
 Penarikan diri, Kemampuan komunukasi verbal (berbicara) dan non verbal yang tidak atau
kurang berkembang mereka tidak tuli karena dapat menirukan lagu-lagu dan istilah yang
didengarnya, serta kurangnya sosialisasi mempersulit estimasi potensi intelektual kelainan pola
bicara, gangguan kemampuan mempertahankan percakapan, permainan sosial abnormal, tidak
adanya empati dan ketidakmampuan berteman. Dalam tes non verbal yang memiliki
kemampuan bicara cukup bagus namun masih dipengaruhi, dapat memperagakan kapasitas
intelektual yang memadai. Anak austik mungkin terisolasi, berbakat luar biasa, analog dengan
bakat orang dewasa terpelajar yang idiot dan menghabiskan waktu untuk bermain sendiri.
 Gerakan tubuh stereotipik, kebutuhan kesamaan yang mencolok, minat yang sempit, keasyikan
dengan bagian-bagian tubuh.
 Anak biasa duduk pada waktu lama sibuk pada tangannya, menatap pada objek. Kesibukannya
dengan objek berlanjut dan mencolok saat dewasa dimana anak tercenggang dengan objek
mekanik.
 Perilaku ritualistik dan konvulsif tercermin pada kebutuhan anak untuk memelihara lingkungan
yang tetap (tidak menyukai perubahan), anak menjadi terikat dan tidak bisa dipisahkan dari
suatu objek, dan dapat diramalkan .
 Ledakan marah menyertai gangguan secara rutin.
 Kontak mata minimal atau tidak ada.
 Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan tangan, pengunyahan benda, dan menggosok
permukaan menunjukkan penguatan kesadaran dan sensitivitas terhadap rangsangan,
sedangkan hilangnya respon terhadap nyeri dan kurangnya respon terkejut terhadap suara keras
yang mendadak menunjukan menurunnya sensitivitas pada rangsangan lain.
 Keterbatasan kognitif, pada tipe defisit pemrosesan kognitif tampak pada emosional.
 Menunjukan echolalia (mengulangi suatu ungkapan atau kata secara tepat) saat berbicara,
pembalikan kata ganti pronomial, berpuisi yang tidak berujung pangkal, bentuk bahasa aneh
lainnya berbentuk menonjol. Anak umumnya mampu untuk berbicara pada sekitar umur yang
biasa, kehilangan kecakapan pada umur 2 tahun.
 Intelegensi dengan uji psikologi konvensional termasuk dalam retardasi secara fungsional.
 Sikap dan gerakan yang tidak biasa seperti mengepakan tangan dan mengedipkan mata, wajah
yang menyeringai, melompat, berjalan berjalan berjingkat-jingkat.
Ciri yang khas pada anak yang austik :
 Defisit keteraturan verbal.
 Abstraksi, memori rutin dan pertukaran verbal timbal balik.
 Kekurangan teori berfikir (defisit pemahaman yang dirasakan atau dipikirkan orang lain).
Menurut Baron dan kohen 1994 ciri utama anak autisme adalah:
 Interaksi sosial dan perkembangan sosial yang abnormal.
 Tidak terjadi perkembangan komunikasi yang normal.
 Minat serta perilakunya terbatas, terpaku, diulang-ulang, tidak fleksibel dan tidak imajinatif.
Ketiga-tiganya muncul bersama sebelum usia 3 tahun.
F. Pengobatan
Orang tua perlu menyesuaikan diri dengan keadaan anaknya, orang tua harus
memeberikan perawatan kepada anak temasuk perawat atau staf residen lainnya. Orang tua
sadar adanaya scottish sosiety for autistik children dan natinal sosiety for austik children yang
dapat membantu dan dapat memmberikan pelayanan pada anak autis. Anak autis memerlukan
penanganan multi disiplin yaitu terapi edukasi, terapi perilaku, terapi bicara, terapi okupasi,
sensori integasi, auditori integration training (AIT),terapi keluarga dan obat, sehingga
memerlukan kerja sama yang baik antara orang tua , keluarga dan dokter.
Pendekatan terapeutik dapat dilakukan untuk menangani anak austik tapi
keberhasilannya terbatas, pada terapi perilaku dengan pemanfaatan keadaan yang terjadi dapat
meningkatkan kemahiran berbicara. Perilaku destruktif dan agresif dapat diubah dengan
menagement perilaku.
Latihan dan pendidikan dengan menggunakan pendidikan (operant konditioning yaitu
dukungan positif (hadiah) dan hukuman (dukungan negatif). Merupakan metode untuk
mengatasi cacat, mengembangkan ketrampilan sosial dan ketrampilan praktis. Kesabaran
diperlukan karena kemajuan pada anak autis lambat.
Neuroleptik dapat digunakan untuk menangani perilaku mencelakkan diri sendiri yang
mengarah pada agresif, stereotipik dan menarik diri dari pergaulan sosial.
Antagonis opiat dapat mengatasi perilaku, penarikan diri dan stereotipik, selain itu
terapi kemampuan bicara dan model penanganan harian dengan menggunakan permainan
latihan antar perorangan terstruktur dapt digunakan. Masalah perilaku yang biasa seperti bising,
gelisah atau melukai diri sendiri dapat diatasi dengan obat klorpromasin atau tioridasin.
Keadaan tidak dapat tidur dapat memberikan responsedatif seperti kloralhidrat,
konvulsi dikendalikan dengan obat anti konvulsan. Hiperkinesis yang jika menetap dan berat
dapat ditanggulangi dengan diit bebas aditif atau pengawet.
Ada pun Macam-macam terapi autis lainnya diantaranya:
 Terapi akupunktur. Metode tusuk jarum ini diharapkan bisa menstimulasi sistem saraf pada
otak hingga dapat bekerja kembali.
 Terapi musik. Lewat terapi ini, musik diharapkan memberikan getaran gelombang yang akan
berpengaruh terhadap permukaan membran otak. Secara tak langsung, itu akan turut
memperbaiki kondisi fisiologis. Harapannya, fungsi indera pendengaran menjadi hidup
sekaligus merangsang kemampuan berbicara.
 Terapi balur. Banyak yang yakin autisme disebabkan oleh tingginya zat merkuri pada tubuh
penderita. Nah, terapi balur ini bertujuan mengurangi kadar merkuri dalam tubuh penyandang
autis. Caranya, menggunakan cuka aren campur bawang yang dilulurkan lewat kulit.
Tujuannya melakukan detoksifikasi gas merkuri.
 Terapi perilaku. Tujuannya, agar sang anak memfokuskan perhatian dan bersosialisasi dengan
lingkungannya. Caranya dengan membuat si anak melakukan berbagai kegiatan seperti
mengambil benda yang ada di sekitarnya.
 Terapi anggota keluarga. Orangtua harus mendampingi dan memberi perhatian penuh pada
sang anak hingga terbentuk ikatan emosional yang kuat. Umumnya, terapi ini merupakan terapi
pendukung yang wajib dilakukan untuk semua jenis terapi lain
 Terapi lumba-lumba. Telah diketahui oleh dunia medis bahwa di tubuh lumba-lumba
teerkandung potensi yang bisa menyelaraskan kerja saraf motorik dan sensorik pendeerita
autis. Sebab lumba-lumba mempunyai gelomba sonar (gelombang suara dengan frewkuensi
tertentu) yang dapat merangsang otak manusia untuk memproduksi energi yang ada dalam
tulang tengkorak, dada, dan tulang belakang pasien sehingga dapat membentuk keseimbangan
antara otak kanan dan kiri. Selain itu, gelombang suara dari lumba-lumba juga dapat
meningkatkan neurotransmitter.
Terapi anak autis dengan lumba-lumba sudah terbukti 4 kali lebih efektif dan lebih cepat
dibanding terpi lainnya. Gelombang suara yang dipancarkan lumba-lumba ternyata
berpengaruh pada perkembangan otak anak autis.
Dapat disimpulkan bahwa terapi pada autisme dengan mendeteksi dini dan tepat waktu
serta program terapi yang menyeluruh dan terpadu.
Penatalaksanaan anak pada autisme bertujuan untuk:
 Mengurangi masalah perilaku.
 Meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangan terutama bahasa.
 Anak bisa mandiri.
 Anak bisa bersosialisasi.
G Prognosis
Anak terutama yang mengalami bicara, dapat tumbuh pada kehidupan marjinal, dapat
berdiri sendiri, sekalipun terisolasi, hidup dalam masyarakat, namun pada beberapa anak
penempatan lama pada institusi mrp hasil akhir. Prognosis yang lebih baik adalah tingakt
intelegensi lebih tinggi, kemampuan berbicara fungsional, kurangnya gejala dan perilaku aneh.
Gejala akan berubah dengan pertumbuhan menjadi tua. kejang-kejang dan kecelakaan diri
sendiri semakin terlihat pada perkembangan usia.

ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
 Faktor predisposisi
 Psikososial
 Konsep diri
 Staus mental
 Mekanisme koping
B. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
 Ketidakmampuan Koping Individu
 Harga Diri Rendah
 Kecemasan pada orangtua
 Kurangnya pengetahuan
Diagnosa Keperawatan :
1. Ketidakmampuan koping individu berhubungan dengan tidak adekuat keterampilan pemecahan
masalah.
Domain 9 : Koping/Toleransi terhadap stress
Daya tampung terhadap peristiwa atau proses kehidupan
Kelas 2 : Respon Koping
Proses dalam mengelolah stress lingkungan
Pengertian : ketidakmampuan untuk membentuk penilaian yang benar dari stressor,
pemilihan respon tidak adekuat, dan atau ketidakmampuan dalam menggunakan sumber-
sumber yang tersedia.

Sign Symptom :
 Gangguan tidur
 Penurunan dukungan sosial
 Pemecahan masalah tak adekuat
 Perubahan pola komunikasi
2. Harga diri rendah berhubungan dengan respon negatif teman sebaya, kesulitan dalam
berkomunikasi.
Domain 6 : Persepsi Diri
Kesadaran terhadap diri
Kelas 2 : Harga diri
Penilaian terhadap diri sendiri dalam kemampuan diri, kejelekan diri,kepentingan dan
kesuksesan
Pengertian : Keadaan yang lama mengenai evaluasi diri atau perasaan mengenai diri atau
kemampuan diri yang negatif.
Sign Symptom :
 Mengevaluasi diri tidak mampu menangani situasi baru.
 Kurang kontak mata.
 Mencari ketenangan berlebihan.
3. Kecemasan pada orang tua behubungan dengan perkembangan anak.
Domain 9 : Koping / Toleransi terhadap stress
Daya tampung terhadap peristiwa atau proses kehidupan.
Kelas 2 : respon koping
Proses dalam mengelola stress lingkungan.
Pengertian : Perasaan tidak nyaman atau ketakutan yang tidak jelas dan gelisah disertai
dengan respon otonom (sumber terkadang tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu),
perasaan yang was-was untuk mengatasi bahaya. Ini merupakan sinyal peringatan akan adanya
bahaya dan memungkinkan individu untuk mengambil langkah untuk menghadapinya.
Sign symptom :
 Gelisah
 Mudah tersinggung
 Khawatir
4. Kurang pengetahuan pada orang tua berhubungan dengan cara mengatasi anak dengan
kesulitan belajar.
Domain 5 : Persepsi / Kognisi
System dalam memproses informasi termasuk perhatian, orientasi, sensasi, persepsi, kognisi,
dan komunikasi.
Kelas 4 : kognisi
Penggunaan dalam memori, belajar, berpikir, pemecahan masalah, abstaksi, pengambilan
keputusan, insight/pandangan, kapasitas intelektual, menghitung dan bahasa.
Pengertian :
Tidak ada atau kurang informasi kognitif berhubungan dengan topic yang spesifik.
Sign symptom :
 Mengungkapkan adanya masalah
 Mengikuti instruksi tidak akurat
 Prilaku berlebihan atau tidak sesuai.

C. Intervensi
 Ketidakmampuan koping individu berhubungan dengan tidak adekuat keterampilan
pemecahan masalah.
Tujuan : Klien mampu memecahkan masalah dengan koping yang efektif
1. CLIEN OUT COMES :
- Koping klien teratasi
- Klien mampu membuat keputusan
- Klien mampu mengendalikan impuls
- Klien mampu memproses informasi
2. NURSING OUT COMES : Koping
Indikator :
- Mengidentifikasi pola koping yang efektif
- Mencari informasi terkait dengan penyakit dan pengobatan
- Menggunakan prilaku untuk menurunkan stress
- Mengidentifikasi dan menggunakan berbagai strategi koping
- Melaporkan penurunan perasaan negatif
3. NURSING INTERVENTIONS CLASSIFICATION : Peningkatan Koping
Aktivitas
- Bina hubungan saling percaya dengan klien dan keluarganya.
- Beri kesempatan kepada anak untuk mengungkapkan masalahnya.
- Beri bimbingan kepada anak untuk dapat mengambil keputusan.
- Anjurkan kepada orang tua untuk lebih sering bersama anaknya.
- Hadirkan sibling untuk memberikan motivasi.
- Ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman untuk mengurangi tingkat stress anak.
 Harga diri rendah berhubungan dengan respon negatif teman sebaya, kesulitan dalam
berkomunikasi.
Tujuan : klien dapat meningkatkan kepercayaan dirinya.
1. CLIEN OUT COMES :
· Klien mampu menunjukkan Harga dirinya
2. NURSING OUT COMES : Harga Diri
Indikator :
- Mengungkapkan penerimaan diri secara verbal.
- Mempertahankan postur tubuh tegak.
- Mempertahankan kontak mata.
- Mempertahankan kerapihan/hygiene.
- Menerima kritikan dari orang lain.
3. NURSING INTERVENTIONS CLASSIFICATION : Peningkatan Harga Diri
Aktivitas
- Beri motivasi pada anak.
- Beri kesempatan anak mengungkapkan perasaannya.
- Beri latihan intensif pada anak untuk pemahaman belajar berkomunikasi.
- Modifikasi cara belajar sehingga anak lebih tertarik.
- Beri reward pada keberhasilan anak.
- Gunakan alat bantu/peraga dalam belajar berkomunikasi.
- Berikan suasana yang nyaman dan tidak menegangkan.
- Anjurkan kepada keluarga untuk mendekatkan anak pada sibling.

 Kecemasan pada orang tua behubungan dengan perkembangan anak.


Tujuan : Kecemasan orang tua tidak berkelanjutan.
1. CLIEN OUT COMES :
- Pasien mengerti tentang prosedur pengobatan.
- Pasien tidak gelisah.
- Pasien tidak merasa cemas.
- Pasien tampak tenang.
2. NURSING OUT COMES : Kontrol Ansietas
Indicator :
- Merencanakan strategi koping untuk situasi-situasi yang membuat stress.
- Mempertahankan penampilan peran.
- Melaporkan tidak ada gangguan persepsi sensori.
- Manifestasi prilaku akibat kecemasan tidak ada.
- Melaporkan tidak ada manifestasi kecemasan secara fisik.
3. NURSING INTERVENTIONS CLASSIFICATION : Pengurangan Ansietas
Aktivitas
- Anjurkan orang tua untuk selalu memotivasi anaknya.
- Anjurkan orang tua untuk memberikan anaknya bimbingan belajar intensif.
- Anjurkan orang tua agar selalu memantau prilaku anak.
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk keseimbanga gizi anak.
- Anjurkan orang tua untuk membawa anaknya ke dokter bila perlu.
- Beri penjelasan tentang kondisi anak kepada orang tua.

 Kurang pengetahuan pada orang tua berhubungan dengan cara mengatasi anak dengan
kesulitan berkomunikasi.
Tujuan : pengetahuan keluarga bertambah
1. CLIEN OUT COMES :
- Klien mengatakan memahami dan mengerti tentang proses penyakit dan prosedur tindakan
pengobatan.
2. NURSING OUT COMES :
Indikator :
- Mengidentifikasi keperluan untuk penambahan informasi menurut penanganan yang di
anjurkan.
- Menunjukkan kemampan melaksanaan aktivitas.
3. NURSING INTERVENTIONS CLASSIFICATION :
Aktivitas
- Anjurkan orang tua bersama dengan anak untuk membuat jadwal belajar berkomunikasi.
- Luangkan waktu kepada orang tua untuk mendengarkan keluhan.
- Anjurkan orang tua untuk lebih memperhatikan perkembangan anak.
- Berikan anak makanan seimbang, 4 sehat 5 sempurna untuk menutrisi otak.
- Berikan suplemen bila perlu.
- Kenali cara/metoda belajar anak.
- Biarkan anak menggunakan inisiatif/pemikirannya selama masih dalam batas yang wajar.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Anak Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan fungsi otak yang bersifat
pervasive yaitu meliputi gangguan kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan gangguan
interaksi sosial, sehingga ia mempunyai dunianya sendiri.
B. Saran
Dari hasil makalah yang telah saya buat, saya menyarankan agar kita bisa lebih peduli
kepada anak-anak yang berkebutuhan khusus terutama bagi anak autis. Sebagai masyarakat
secara umum kita harus lebih bisa menerima anak-anak tersebut.
Semoga makalah ini menjadi rujukan bagi kita untuk bisa memberikan layanan keperawatan
bagi anak-anak autis.
Klasifikasi Anak Autis

Menurut Yatim (2002) dalam YAI, anak autis dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:

1. Autisme persepsi: dianggap autisme yang asli kerana kelainan sudah timbul sebelum
lahir. Ketidak mampuan anak berbahasa termasuk pada penyimpangan reaksi terhadap
rangsangan dari luar, begitu juga kemampuan anak bekerjasama dengan orang lain,
sehinggaanak bersikap masa bodaoh.
2. Autisme reaksi: terjadi karena beberapa permasalahan yang di menimbulkan
kecemasan seperti orang tua meninggal, sakit berat, pindah rumah/sekolah dan
sebagainya. Autisme ini akan memuncukan gerakan-gerakan tertentu berulang –ulang,
kadang-kadang disertai kejang-kejang. Gejala ini muncul pada usia lebih besar enam
sampai tujuh tahun sebelum anak memasuki tahapan berfikir logis.
3. Autisme yang timbul kemudian: terjadi setelah anak agak besar, dikarenakan kelainan
jaringan otak yang terjadi setelah anak lahir. Hal ini akan mempersulit dalam hal
pemberian pelatihan dan pelayanan pendidikan untuk mengubah perilakunya yang
sudah melekat.
4. penyebab Anak Autisme
5. Beberapa teori terakhir mengatakan bahwa faktor genetika memegang peranan
penting pada terjadinya autistik. Bayi kembar satu telur akan mengalami gangguan
autistik yang mirip dengan saudara kembarnya. Juga ditemukan beberapa anak dalam
satu keluarga atau dalam satu keluarga besar mengalami gangguan yang sama.
6. Selain itu pengaruh virus seperti rubella, toxo, herpes, jamur, nutrisi yang buruk;
pendarahan; keracunan makanan; dan sebagainya pada kehamilan dapat menghambat
pertumbuhan sel otak yang dapat menyebabkan funsi otak bayi yang dikandung
terganggu terutama fungsi pemahaman, komunikasi dan interaksi.
Akhir-akhir ini dari penelitian terungkap juga hubungan antara gangguan pencernaan
dan gejala autistik. Ternyata lebih dari 60% penyandang autistik ini mempunyai
sistem pencernaan yang kurang sempurna. Makanan tersebut berupa susu sapi
(casein) dan tepung terigu (gluten) yang tidak tercena dengan sempurna. Protein dari
kedua makanan ini tidak semuanya berubah manjadi asam amino tapi juga menjadi
peptida, suatu bentuk rantai pendek asam amino yang seharusnya dibuang lewat urin .
ternyata pada penyandang autistik, peptida ini diserap kembali oleh tubuh, masuk
kedalam aliran darah, masuk ke otak dan mebuat fungsi otak terganggu. Fungsi otak
yang terkena biasanya adalah fungsi kognitif, reseptif, atensi dan perilaku.
7. Biasanya pasien autis mengalami kehilangan kemampuan sistem imunitas sehingga
terjadi inflamatory. Cytokine diproduksi secara berlebihan dalam darah putih,
kadarnya meningkat dan hal itu menyebabkan terjadinya abnormal neurology.
Percobaan telah dilakukan terhadap pengaruh asupan gluten dan kasein ke dalam
makanan yang akan dikonsumsi oleh anak normal dibandingkan dengan anak
penderita autis. Dalam kedua darah anak tersebut dianalisa kandungan cytokine-nya,
ternyata kandungan cytokine dalam darah penderita autistik meningkat jauh lebih
tinggi daripada darah anak normal. Peningkatan cytokine tersebut dapat menjadi
penyebab secara genetik yang kelak akan menyebabkan timbulnya penyakit autisme.
8. Reaksi Opioid adalah suatu reaksi yang paling merusak. Hal itu biasanya diakibatkan
oleh terjadinya kebocoran usus (leaky guts). Sekitar 50% pasien autis mengalami
kebocoran usus sehingga terjadi ketidakseimbangan flora usus. Peptida hasil
pemecahan gluten atau kasein dikirim ke otak dan kemudian ditangkap reseptor
opioid. Hal ini menyebabkan autisme, kondisi reaksi opioid menyerupai kondisi
seperti baru mengkonsumsi obat-obatan serupa morphin atau heroin.
9. Pada saat dalam kandungan ternyata penderita autis mengalami peningkatan jumlah
protein dalam darah, yaitu 3X lebih besar dari anak yang kemudian terlahir normal
dan setelah kelahiran terus meningkat hingga mencapai 10X normal. Pada anak
normal tidak terjadi mengalami kenaikan. Peningkatan jumlah protein darah yang
abnormal pada penderita ini dapat mengacaukan proses migrasi sel normal atau
bahkan mematikan sel selama masa perkembangan sistem saraf berlangsung. Perlu
diingat bahwa pertumbuhan saraf selama embrio penting untuk membentuk formasi
sistem saraf pusat dan sel otak yang baru.
10. Selain faktor diatas umur ayah berperan terhadap terjadinya autisme pada anak.
Menurut sebuah artikel di “Associated Press, 5 Sep.06, pria yang menjadi ayah pada
umur 40 tahun atau lebih berisiko lebih tinggi untuk mempunyai anak autistik. Suatu
penelitian di Israel membuat berita yang heboh di Amerika dan Inggris. 130.000 Anak
Yahudi dari Israel yang lahir pada sekitar tahun 1980 diikut sertakan dalam penelitian
ini. Anak2 yang dilahirkan dari ayah yang lebih tua, enam kali lebih banyak
menderita gangguan autisme dan sejenisnya, daripada anak2 yang dilahirkan dari
ayah yang lebih muda. Sedangkan dibandingkan dengan ayah yang berumur antara
30-39 tahun, frekwensi gangguan pada anaknya satu setengah kali lebih tinggi. Umur
ibu ternyata malah tidak ada relevansinya.

Cara Mengenali Gejala Autisme Pada Anak

Sampai sekarang belum ada alat untuk mendiagnosis pasti autis pada bayi. Saat ini beberapa
ahli melakukan screening test mulai bayi umur empat bulan. Pada usia empat bulan orangtua
dianjurkan untuk mengobservasi anaknya meliputi:

 Reaksi terhadap warna terang dan dapat mengikuti objek yang digerakkan.
 Menoleh ke arah sumber suara.
 Reaksi menatap muka terhadap wajah seseorang.
 Tersenyum bila kita tersenyum padanya.

Pada usia 12 bulan bayi perlu diwaspadai mungkin adanya gejala autis seperti:

 Tidak ada kontak mata.


 Tidak bisa menunjuk objek tertentu.
 Tidak bisa memberikan barang kepada orang.
 Tidak mengerti bila namanya dipanggil.
 Tidak bisa berkomunikasi babble (mengatakan “pa pa”, “ma ma”, “da da”).

Bila ditemukan gejala ini perlu konsultasi ke dokter spesialis anak, mungkin kelainan ini
merupakan gejala dini autis. Memastikan diagnose autis perlu diamati dan dievaluasi lebih
lanjut.
PHATOFISIOLOGI
Sel saraf otak (neuron) terdiri atas badan sel dan serabut untuk mengalirkan impuls listrik (akson)
serta serabut untuk menerima impuls listrik (dendrit). Sel saraf terdapat di lapisan luar otak yang
berwarna kelabu (korteks). Akson dibungkus selaput bernama mielin, terletak di bagian otak
berwarna putih. Sel saraf berhubungan satu sama lain lewat sinaps.
Sel saraf terbentuk saat usia kandungan tiga sampai tujuh bulan. Pada trimester ketiga,
pembentukan sel saraf berhenti dan dimulai pembentukan akson, dendrit, dan sinaps yang berlanjut
sampai anak berusia sekitar dua tahun.
Setelah anak lahir, terjadi proses pengaturan pertumbuhan otak berupa bertambah dan
berkurangnya struktur akson, dendrit, dan sinaps. Proses ini dipengaruhi secara genetik melalui
sejumlah zat kimia yang dikenal sebagai brain growth factors dan proses belajar anak.
Makin banyak sinaps terbentuk, anak makin cerdas. Pembentukan akson, dendrit, dan sinaps sangat
tergantung pada stimulasi dari lingkungan. Bagian otak yang digunakan dalam belajar menunjukkan
pertambahan akson, dendrit, dan sinaps. Sedangkan bagian otak yang tak digunakan menunjukkan
kematian sel, berkurangnya akson, dendrit, dan sinaps.
kelainan genetis, keracunan logam berat, dan nutrisi yang tidak adekuat dapat menyebabkan
terjadinya gangguan pada proses – proses tersebut. Sehingga akan menyebabkan abnormalitas
pertumbuhan sel saraf.
Pada pemeriksaan darah bayi-bayi yang baru lahir, diketahui pertumbuhan abnormal pada penderita
autis dipicu oleh berlebihnya neurotropin dan neuropeptida otak (brain-derived neurotrophic factor,
neurotrophin-4, vasoactive intestinal peptide, calcitonin-related gene peptide) yang merupakan zat
kimia otak yang bertanggung jawab untuk mengatur penambahan sel saraf, migrasi, diferensiasi,
pertumbuhan, dan perkembangan jalinan sel saraf. Brain growth factors ini penting bagi
pertumbuhan otak.
Peningkatan neurokimia otak secara abnormal menyebabkan pertumbuhan abnormal pada daerah
tertentu. Pada gangguan autistik terjadi kondisi growth without guidance, di mana bagian-bagian
otak tumbuh dan mati secara tak beraturan.
Pertumbuhan abnormal bagian otak tertentu menekan pertumbuhan sel saraf lain. Hampir semua
peneliti melaporkan berkurangnya sel Purkinye (sel saraf tempat keluar hasil pemrosesan indera dan
impuls saraf) di otak kecil pada autisme. Berkurangnya sel Purkinye diduga merangsang
pertumbuhan akson, glia (jaringan penunjang pada sistem saraf pusat), dan mielin sehingga terjadi
pertumbuhan otak secara abnormal atau sebaliknya, pertumbuhan akson secara abnormal
mematikan sel Purkinye. Yang jelas, peningkatan brain derived neurotrophic factor dan
neurotrophin-4 menyebabkan kematian sel Purkinye.
Gangguan pada sel Purkinye dapat terjadi secara primer atau sekunder. Bila autisme disebabkan
faktor genetik, gangguan sel Purkinye merupakan gangguan primer yang terjadi sejak awal masa
kehamilan.
Degenerasi sekunder terjadi bila sel Purkinye sudah berkembang, kemudian terjadi gangguan yang
menyebabkan kerusakan sel Purkinye. Kerusakan terjadi jika dalam masa kehamilan ibu minum
alkohol berlebihan atau obat seperti thalidomide.
Penelitian dengan MRI menunjukkan, otak kecil anak normal mengalami aktivasi selama melakukan
gerakan motorik, belajar sensori-motor, atensi, proses mengingat, serta kegiatan bahasa. Gangguan
pada otak kecil menyebabkan reaksi atensi lebih lambat, kesulitan memproses persepsi atau
membedakan target, overselektivitas, dan kegagalan mengeksplorasi lingkungan.
Pembesaran otak secara abnormal juga terjadi pada otak besar bagian depan yang dikenal sebagai
lobus frontalis. Kemper dan Bauman menemukan berkurangnya ukuran sel neuron di hipokampus
(bagian depan otak besar yang berperan dalam fungsi luhur dan proses memori) dan amigdala
(bagian samping depan otak besar yang berperan dalam proses memori).
Penelitian pada monyet dengan merusak hipokampus dan amigdala mengakibatkan bayi monyet
berusia dua bulan menunjukkan perilaku pasif-agresif. Mereka tidak memulai kontak sosial, tetapi
tidak menolaknya. Namun, pada usia enam bulan perilaku berubah. Mereka menolak pendekatan
sosial monyet lain, menarik diri, mulai menunjukkan gerakan stereotipik dan hiperaktivitas mirip
penyandang autisme. Selain itu, mereka memperlihatkan gangguan kognitif.
Faktor lingkungan yang menentukan perkembangan otak antara lain kecukupan oksigen, protein,
energi, serta zat gizi mikro seperti zat besi, seng, yodium, hormon tiroid, asam lemak esensial, serta
asam folat.
Adapun hal yang merusak atau mengganggu perkembangan otak antara lain alkohol, keracunan
timah hitam, aluminium serta metilmerkuri, infeksi yang diderita ibu pada masa kehamilan, radiasi,
serta kokain.p
PENANGANAN FISIOTERAPI PADA AUTISME

AUTISME

Pendahuluan
Istilah autism pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Leo Kanner, seorang psikiater dari
Universitas John Hopkins pada tahun 1943. Beliau menyebut autis sebagai autism infantile
yang diobservasi dari 11 anak yang menunjukan gambaran pola perilaku yang berbeda dari
anak yang mendapat gangguan psikiatrik lainnya. Autisme merupakan salah satu gangguan
pervasive (Pervasive Development Disorder) dan termasuk dalam Autistic Spectrum Disorder
(ASD), menurut klasifikasi dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV
(DSM-IV) yang diterbitkan oleh American Psychiatric Asociation, 1994.

Definisi Autisme
Secara harfiah autisme berasal dari kata autos yang memiliki arti diri dan isme ( paham/aliran).
Autisme secara etimologi adalah anak yang memiliki gangguan perkembangan dalam dunianya
sendiri. Beberapa pengartian autis menurut para ahli adalah sebagai berikut:
a) Autisme merupakan suatu jenis gangguan perkembangan pada anak, mengalami kesendirian,
kecenderungan menyendiri. (Leo Kanker Handojo, 2003 )
b) Autisme adalah gangguan perkembangan yang terjadi pada anak yang mengalami kondisi
menutup diri. Dimana gangguan ini mengakibatkan anak mengalami keterbatasan dari segi
komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku (Sumber dari Pedoman Pelayanan Pendidikan Bagi
Anak Austistik” (American PsychiaticAssociation 2000 ).
c) Autisme adalah adanya gangguan dalam bidang Interaksi sosial, komunikasi, perilaku,emosi,
dan pola bermain, gangguan sensoris dan perkembangan terlambat atau tidak normal. Autisme
mulai tampak sejak lahir atau saat masi bayi ( biasanya sebulum usia 3 tahun ).“Sumber dari
Pedoman Penggolongan Diagnotik Gangguan Jiwa” (PPDGJ III).
d) Autisme adalah suatu kondisi yang mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masabalita,
yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal.
Hal ini mengakibatkan anak tersebut terisolasi dari anak yang lain (Baron-Cohen, 1993). Jadi
anak autisme merupakan anak yang mengalami gangguan perkembangan yang sangat
kompleks yang dapat diketahui sejak umur sebelum 3 tahun mencakup bidang komunikasi,
interaksi sosial serta perilakunya.
Anak autisme dapat ditinjau dari beberapa segi yaitu:
a) Segi pendidikan : anak autis adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan
komunikasi, sosial, perilaku pada anak sesuai dengan kriteria DSM-IV sehingga anak ini
memerlukan penanganan/layanan pendidikan secara khusus sejak dini.
b) Segi medis : anak autis adalah anak yang mengalami gangguan/kelainan otak yang
menyebabkan gangguan perkembangan komunikasi, sosial, perilaku sesuai dengan kriteria
DSM-IV sehingga anak ini memerlukan penanganan/terapi secara klinis.
c) Segi psikologi : anak autis adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan yang berat
bisa ketahui sebelum usia 3 tahun, aspek komunikasi sosial, perilaku,bahasa sehingga anak
perlu adanya penanganan secara psikologis.
d) Segi sosial anak autis adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan berat dari
beberapa aspek komunikasi, bahasa, interaksi sosial, sehingga anak ini memerlukan bimbingan
keterampilan sosial agar dapat menyesuaikan dengan lingkungannya. Jadi Anak Autisme
merupakan salah satu gangguan perkembangan fungsi otak yang bersifat pervasive (inco) yaitu
meliputi gangguan kognitif, bahasa, perilaku,komunikasi, dan gangguan interaksi sosial,
sehingga ia mempunyai dunianya sendiri.

Epidemiologi
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, diperkirakan ada sekitar 2,4 juta orang
penyandang autisme di Indonesia pada tahun 2010. Jumlah penduduk Indonesia pada saat itu
mencapai 237,5 juta jiwa, berarti ada sekitar satu orang penyandang autisme pada setiap 100
bayi yang lahir. Autisme dapat terjadi pada setiap anak tanpa tergantung kepada ras dan etnik
keluarganya.

Etiologi
Penyebab autisme menurut banyak pakar yang telah disepakati bahwa pada anak autisme
dijumpai suatu kelainan pada otaknya. Penyebab timbulnya kelainan tersebut memang belum
dapat dipastikan. Diyakini bahwa ganguan tersebut terjadi pada fase pempentukan organ
(organogenesis) yaitu pada usia kehamilan antara 0 ± 4 bulan. Organ otak sendiri baru
terbentuk pada usia kehamilan setelah 15 minggu. Banyak teori yang diajukan oleh para pakar,
mengenai penyebab terjadinya autis, diantaranya:
 Faktor psikososial
Dahulu diperkirakan bahwa penyebab autism adalah faktor psikogenik, yaitu pengasuhan yang
kaku dan obsesif dalam suasana emosional yang dingin. Pendapat lain adalah sikap ibu yang
kurang memerhatikan anak atau tidak menghendaki/menolak kehadiran anak tersebut sehingga
menyebabkan penarikan diri dari anak tersebut. Namun, dewasa ini teori tersebut disanggah
karena tidak terdapat perbedaan situasi keluarga antara anak yang autism dan anak yang
normal.

 Faktor prenatal, perinatal, dan pascanatal


Komplikasi prenatal, perinatal, dan pascanatal sering ditemukan pada anak autisme, seperti
pendarahan setelah kehamilan trimester pertama serta mekonium pada cairan amnion sebagai
tanda adanya fetal distress dan preklamsia. Komplikasi lainnya antara lain pengguanaan obat-
obatan tertentu pada ibu dengan infeksi rubella, inkompatibilitas rhesus, gangguan pernafasan
pada neonates, anemia pada janin, kejang neonatus.

 Teori imunologi
Ditemukan antibody ibu terhadap antigen tertentu yang menyebabkan penyumbatan sementara
aliran darah otak janin. Selain itu, antigen tersebut juga ditemukan pada sel otak janin, sehingga
antibody ibu dapat merusak jaringan otak janin. Dikatakan bahwa autism ditemukan 8,8 kali
lebih banyak pada anak yang ibunya menderita penyakit autoimun.

 Teori infeksi
Peningkatan angka kejadian autism terjadi pada anak-anak yang lahir dengan rubella
congenital, ensefalitis herpes simplek, infeksi sitomegalovirus yang menginfeksi otak anak.

 Faktor genetic
Terdapat bukti yang kuat bahwa faktor genetic berperan pada autisme. Dikatakan pula bahwa
autisme adalah salah satu dari kemungkinan yang timbul pada anak yang secara genetis pada
keluarganya terdapat gangguan belajar dan komunikasi. Komponen genetic autism cenderung
heterogen, melibatkan sekitar 100 gen. kelainan genetis pada autisem ditemukan pada hampir
semua mitokondria dan semua kromosom kecuali kromosom 14 dan 20. Diketahui pula bahwa
terjadinya autisme ditemukan terjadinya interaksi antara gen majemuk dengan lingkungan
sekitar. Kromosom yang terkait dengan autisme adalah kromosom 7q, 2q, 15q11-13.
 Faktor neuroanatomi
Dengan majunya ilmu pengetahuan dan penelitian dalam bidang neurobiologist dan genetika
telah ditemukan adanya kerusakan yang khas di dalam system limbic (pengatur emosi) yaitu
pada bagian otak yang disebut hipokampuss dan amigdala. Peneliti menemukan bahwa bahwa
pada anak autisme, neuron dalam hipokampus dan amigdala sangat padat dan kecil-kecil.
Adapun fungsi amigdala adalah mengendalikan fungsi emosi dan agresi. Amigdala juga peka
terhadap rangsangan sensoris seperti suara, pengelihatan, penciuman, dan emosi yang
berhubungan dengan rasa takut. Pada anak autis ditemukan gangguan padaa hal-hal tersebut.
Sedangkan, struktur Hipokampus berfungsi dalam belajar dan daya ingat. Kerusakan pada
hipokampus akan menyebabkan kesulitan menyerap dan mengingat informasi dan juga
menimbulkan perilaku yang stereotipik, dan hiperkativitas. Selain itu, dengan pemeriksaan
diagnostic menggunakan MRI, didapatkan lesi pada lobus temporalis, parietalis, frontalis, dan
sereberum pada anak autistic. Kelainan pada serebelum ditemukan pada 30-50% anak, berupa
hipoplasia atau hyperplasia pada lobus VI dan VII. Ditemukan jumlah sel-sel Purkinye di
serebelum sangat sedikit dan mempunyai kandungan serotonin yang tinggi. Sementara itu,
kerusakan pada lobus frontalis mengakibatkan terbatasnya perhatian terhadap lingkungan.

 Faktor neurokimiawi/ neurotransmitter


Teori ini mengacu pada ditemukannya peningkatan kadar serotonin pada sepertiga anak autis.
Neurotransmiter yang diduga meimbulkan gangguan autism adalah :
a) Serotonin
b) Dopamin
c) Opiat endogen

Patofisiologi
Sel saraf otak (neuron) terdiri atas :
 Badan sel dan serabut untuk mengalirkan impuls listrik (akson) serta serabut untuk menerima
impuls listrik (dendrit). Sel saraf terdapat dilapisan luar otak yang berwarna kelabu (korteks).
Akson dibungkus selaput bernama mielin, terletak di bagian otak berwarna putih. Sel saraf
berhubungan satu sama lain lewat sinaps.Sel saraf terbentuk saat usia kandungan tiga sampai
tujuh bulan. Pada trimester ketiga, pembentukan sel saraf berhenti dan dimulai pembentukan
akson, dendrit, dan sinaps yang berlanjut sampai anak berusia sekitar dua tahun. Setelah anak
lahir, terjadi proses pengaturan pertumbuhan otak berupa bertambah dan berkurangnya struktur
akson, dendrit, dan sinaps. Proses ini dipengaruhi secara genetik melalui sejumlah zat kimia
yang dikenal sebagai brain growth factors. Makin banyak sinaps terbentuk, anak makin cerdas.
Pembentukan akson, dendrit,dan sinaps sangat tergantung pada stimulasi dari lingkungan.
Bagian otak yang digunakan dalam belajar menunjukkan pertambahan akson, dendrit, dan
sinaps. Sedangkan bagian otak yang tak digunakan menunjukkan kematian sel, berkurangnya
akson, dendrit, dan sinaps. Kelainan genetis, keracunan logam berat, dan nutrisi yang tidak
adekuat dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada proses – proses tersebut. Sehingga akan
menyebabkan abnormalitas pertumbuhan sel saraf. Pada pemeriksaan darah bayi-bayi yang
baru lahir, diketahui pertumbuhan abnormal pada penderita autis dipicu oleh berlebihnya
neurotropin dan neuropeptida otak (brain-derived neurotrophic factor, neurotrophin-4,
vasoactive intestinal peptide,calcitonin-related gene peptide) yang merupakan zat kimia otak
yang bertanggung jawab untuk mengatur penambahan sel saraf, migrasi, diferensiasi,
pertumbuhan, dan perkembangan jalinan sel saraf. Peningkatan neurokimia otak secara
abnormal menyebabkan pertumbuhan abnormal pada daerah tertentu. Pada gangguan autisme
terjadi kondisi growth without guidance, di mana bagian-bagian otak tumbuh dan mati secara
tak beraturan. Pertumbuhan abnormal bagian otak tertentu menekan pertumbuhan sel saraf lain.
 Hampir semua peneliti melaporkan berkurangnya sel Purkinye (sel saraf tempat keluar hasil
pemrosesan indera dan impuls saraf) di otak kecil pada autisme. Berkurangnya sel Purkinye
diduga merangsang pertumbuhan akson, glia (jaringan penunjang pada sistemsaraf pusat), dan
mielin sehingga terjadi pertumbuhan otak secara abnormal atau sebaliknya, pertumbuhan
akson secara abnormal mematikan sel Purkinye. Yang jelas,peningkatan brain derived
neurotrophic factor dan neurotrophin-4 menyebabkan kematian sel Purkinye. Gangguan pada
sel Purkinye terdiri atas 2 jenis, yaitu :
a) Degenerasi sel Purkinye primer, merupakan gangguan terjadi sejak awal masa kehamilan
karena ibu mengkomsumsi makanan yang mengandung logam berat.
b) Degenerasi sel purkinye sekunder, merupakan gangguan yang terjadi bila sel Purkinye sudah
berkembang, kemudian terjadi gangguan yang menyebabkan kerusakan sel Purkinye.
Kerusakan terjadi jika dalam masa kehamilan ibu minum alkohol berlebihan atau obat seperti
thalidomide.
Penelitian dengan MRI menunjukkan, otak kecil anak normal mengalami aktivasi selama
melakukan gerakan motorik, belajar sensori-motorik, atensi, proses mengingat,serta kegiatan
bahasa. Gangguan pada otak kecil menyebabkan reaksi atensi lebih lambat,kesulitan
memproses persepsi atau membedakan target, overselektivitas, dan kegagalanmengeksplorasi
lingkungan.

Gejala Autisme
Gejala autisme infantile timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian anak gejala
gangguan perkembangan ini sudah terlihat sejak lahir. Seorang ibu yang cermat dapat melihat
beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia satu tahun. Yang sangat menonjol adalah
tidak adanya kontak mata dan kurangnya minat untuk berinteraksi dengan orang lain.Manusia
adalah makhluk sosial. Dalam perkembangannya yang normal, seorang bayi mulai bisa
berinteraksi dengan ibunya pada usia 3 - 4 bulan. Bila ibu merangsang bayinya dengan
menggerincingkan mainan dan mengajak berbicara, maka bayi tersebut akan berespon dan
bereaksi dengan ocehan serta gerakan. Makin lama, bayi makin responsive terhadap rangsang
dari luar seiring dengan berkembangnya kemampuan sensorik. Pada umur 6-8 bulan ia sudah
bisa berinteraksi dan memperhatikan orang yang mengajaknya bermain dan berbicara. Hal ini
tidak muncul atau sangat kurang pada bayi autis. Ia bersikap acuh dan seakan menolak interaksi
dengan orang lain. Ia lebih suka bermain dengan “dirinya sendiri” atau dengan mainannya.
Secara umum ada beberapa gejala autisme yang akan tampak semakin jelas saat anak telah
mencapai usia 3 tahun, (Budiman, 1998) yaitu:
1. Gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal seperti terlambat bicara,
mengeluarkan kata-kata dalam bahasanya sendiri yang tidak dapat dimengerti , echolalia,
sering meniru dan mengulang kata tanpa ia mengerti maknanya, dstnya.
2. Gangguan dalam bidang interaksi sosial, seperti menghindar kontak mata, tidak melihat jika
dipanggil, menolak untuk dipeluk, lebih suka bermain sendiri, dstnya.
3. Gangguan pada bidang perilaku yang terlihat dari adanya perlaku yang berlebih (excessive)
dan kekurangan (deficient) seperti impulsif, hiperaktif, repetitif namun dilain waktu terkesan
pandangan mata kosong, melakukan permainan yang sama dan monoton. Kadang-kadang ada
kelekatan pada benda tertentu seperti gambar, karet, dll yang dibawanya kemana-mana.
4. Gangguan pada bidang perasaan/emosi, seperti kurangnya empati, simpati, dan toleransi;
kadang-kadang tertawa dan marah sendiri tanpa sebab yang nyata dan sering mengamuk tanpa
kendali bila tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.
5. Gangguan dalam persepsi sensoris seperti mencium-cium dan menggigit mainan atau benda,
bila mendengar suara tertentu langsung menutup telinga, tidak menyukai rabaan dan pelukan,
dsbnya.
Gejala –gejala tersebut di atas tidak harus ada semuanya pada setiap anak autisme, tergantung
dari berat-ringannya gangguan yang diderita anak. Berikut merupakan indicator perkembangan
yang normal :
Tabel 1.
Kemampuan &
Usia Komunikasi Gerakan
Proses Berfikir
3 bulan Berespon terhadap Berceloteh/bersuara, Mengangat kaki dan
suara Tersenyum pada tangan, Melihat
Baru, Mengikuti suara ibu pergerakan tangan
benda dengan mata, sendiri
Melihat objek dan
orang
3-6 bulan Mengenal ibu, Memalingkan Mengangkat kepala,
Mengapai objek kepala pada suara, Mengerakkan
Mulai meraban, benda dalam
Meniru suara, bermain
Menangis dengan
suara berbeda
6-9 bulan Meniru gerakan Membuat kata-kata Merayap/merangkak,
sederhana, Berespon berulang yang tidak Berdiri berpegangan
jika dipanggil nama bermakna (gagaga, ke meja, Bertepuk
dada, dst), tangan,
Menggunakan suara Memindahkan objek
untuk menarik dari satu tangan ke
perhatian tangan lainnya
9-12 bulan Bermain permainan Melambaikan Berjalan sambil
sederhana, Bergerak tangan untuk berpegangan
menuju benda yang “dada”, Berhenti Menyatakan ingin
diminati, Melihat ketika dikatakan benda tertentu,
gambar pada buku “tidak”, Meniru Mencoret dengan
kata-kata pensil warna
baru
12-18 bulan Meniru suara dan Menggelengkan Berjalan sendiri,
gerakan yang baru, kepala menyatakan Naik /turun tangga
Menunjuk pada “tidak”, Meniru kata
benda yang baru, Mengikuti
diinginkan instruksi sederhana

Gangguan-gangguan yang Terjadi


Pada anak autis, ditemukan berbagai gangguan yang terjadi, diantaranya :
a) Gangguan kognitif
 Hampir 75-80% anak autisme mengalami retardasi mental dengan derajat rata-rata sedang.
Menarik untuk diketahui bahwa beberapa anak autisme menunjukkan kemampuan
memecahkan masalah yang luar biasa, seperti mempunyai daya ingat yang sangat baik dan
kemampuan membaca yang di atas batas penampilan intelektualnya. Sebanyak 50% dari idiot
savants, yakni orang dengan retardasi mental yang menunjukkan kemampuan luar biasa, seperti
menghitung kalender, memainkan satu lagu hanya dari sekali mendengar, mengingat nomor-
nomor telepon yang ia baca dari buku telepon, adalah seorang penyandang autisme. Umumnya,
gangguan kognitif lainnya yang dialami oleh anak autis diantaranya kemampuan berbahasa
mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara, menggunakan kata kata tanpa
menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan, berkomunikasi dengan menggunakan
bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat.
b) Gangguan perilaku motorik
Kebanyakan anak autisme menunjukkan adanya stereotip, seperti bertepuk-tepuk tangan dan
menggoyang-goyangkan tubuh. Hiperaktif biasa terjadi terutama pada anak prasekolah.
Namun, sebaliknya, dapat terjadi hipoaktif. Beberapa anak juga menunjukkan gangguan
pemusatan perhatian dan impulsivitas. Juga didapatkan adanya koordinasi motorik yang
terganggu, tiptoe walking, clumsiness, kesulitan melakukan ADL sperti belajar mengikat tali
sepatu, menyikat gigi, memotong makanan, dan mengancingkan baju. Selain itu, pada
penyandang autis sering ditemukan penurunan tonus otot terutama pada penyandang autis yang
hipoaktif dan dapat meningkatkan resiko jatuh.
c) Respons abnormal terhadap perangsangan indera (gangguan sensoris)
Beberapa anak menunjukkan hipersensitivitas terhadap suara (hiperakusis) dan menutup
telinganya bila mendengar suara yang keras seperti suara petasan, gonggongan anjing, atau
sirine polisi. Anak yang lain mungkin justru lebih tertarik dengan suara jam tangan atau
remasan kertas. Mereka mungkin sangat sensitif terhadap sentuhan, memakai baju yang terbuat
dari serat yang kasar, seperti wol, atau baju dengan label yang masih menempel, atau berganti
baju dari lengan pendek menjadi lengan panjang. Semua itu dapat membuat mereka
tempertantrums. Di lain pihak, ada juga anak yang tidak peka terhadap rasa sakit dan tidak
menangis saat mengalami luka yang parah.
d) Gangguan tidur dan makan
Gangguan tidur berupa terbaliknya pola tidur, terbangun tengah malam. Gangguan makan
berupa keengganan terhadap makanan tertentu karena tidak menyukai tekstur atau baunya,
menuntut hanya makan jenis makanan yang terbatas, menolak mencoba makanan baru, dapat
sangat menyulitkan para orangtua.
e) Gangguan afek dan mood
Beberapa anak menunjukkan perubahan mood yang tiba-tiba, mungkin menangis atau tertawa
tanpa alasan yang jelas. Sering tampak tertawa sendiri, dan beberapa anak tampaknya mudah
menjadi emosional. Rasa takut kadang-kadang muncul terhadap objek yang sebetulnya tidak
menakutkan. yang berat, juga depresi berat mungkin ditemukan pada anak autisme.
f) Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan agresivitas melawan orang lain
Ada kemungkinan mereka menggigit tangan atau jari sendiri sampai berdarah, membentur-
benturkan kepala, mencubit, menarik rambut sendiri, atau memukul diri sendiri.
Tempertantrums, ledakan agresivitas tanpa pemicu, dan kurang perasaan terhadap bahaya,
dapat terjadi pada anak autisme.
g) Gangguan kejang
Terdapat kejang epilepsi pada sekitar 10 - 25% anak autisme. Ada korelasi yang tinggi antara
serangan kejang dengan beratnya retardasi mental dan derajat disfungsi susunan syaraf pusat.

Penanganan Fisioterapi
Peran fisioterapi pada anak autism lebih menitikberatkan pada pemulihan atau peningkatan
kapasitas motorik anak agar dapat melakukan berbagai aktifitas fungsional secara optimal.
Tahap awal yang dapat dilakukan fisioterapi sebelum memasuki manajemen AFR yaitu :
a) Strengthening exercise
Latihan ini bertujuan untuk menguatkan otot-otot tungkai dan postural serta persiapan latihan
keseimbangan. Pada anak autis sering kali mengalami masalah dalam berjalan seperti sering
terjatuh, sehingga latihan ini penting sebagai penguatan agar anak autis terhindar dari resiko
terjatuh. Stregthening exercise juga dilakukan pada otot-otot instrinsik anak autism agar
nantinya dapat lebih mudah untuk dilakukan edukasi / terapi okupasi.
b) Balance exercise
Latihan ini bertujuan untuk melatih keseimbangan anak dan diharapkan dapat mengurangi
resiko jatuh. Latihan keseimbangan penting untuk menguatkan system vestibular yang penting
untuk keseimbangan karena keseimbangan sangat berperan penting dalam mendukung gerak
tubuh.

Manajemen AFR pada Penyandang Autisme


A. Aktivitas permainan dan rekreasi
a) Mengikuti Alunan Musik
1. Anak-anak autis disuruh di dalam ruangan atau di hall senam. Ruangan dirancang sedemikian
rupa dengan aneka hiasan yang menarik dan dijauhkan dari benda-benda berbahaya.
2. Di ruangan ini anak autis di putarkan sebuah musik yang menyenangkan bagi mereka,
sebelumnya anak-anak autis di putarkan beberapa musik, kemudian musik yang dirasa menarik
dan dapat membuat seorang anak autis menari dapat digunakan dalam latihan ini.
3. Di sini anak-anak autis di biarkan bergerak mengikuti alunan music sesuai kehendak mereka,
latihan ini hendaknya dilakukan oleh lebih dari 5 anak agar ada interaksi diantara anak-anak.
4. Dengan mereka bergerak mengikuti alunan musik secara tidak langsung mereka sudah
melakukan olahraga dan aktivitas fisik.
5. Fisioterapi bertugas mengawasi dan membimbing anak-anak autis.
b) Menggerakan Anak Autis Secara Pasif
Anak autis kadang ada juga yang tidak mau bergerak dan cenderung pendiam. Dalam hal ini
fisioterapis memiliki peranan sangat penting yaitu dengan melakukan pendekatan kepada
seorang anak autis dengan langkah-langkahnya sebagai berikut:
1. Fisioterapis melakukan interaksi dengan seorang anak autis, dengan cara mengajak bicara dan
memberikan sentuhan dan pelukan lembut kepada mereka.
2. Apabila si anak sudah mulai merespon, secara bertahap dan perlahan kita dapat menggerakan
beberapa angota tubuh si anak secara pasif, dengan latihan pasif ini perlahan-lahan maka si
anak sudah melakukan aktifitas fisik.
3. Tahap selanjutnya fisioterapis mengajak si anak bermain bersama seperti berjalan di taman,
dengan ini maka si anak sudah melakukan kegiatan olahraga.
c) Lempar Tangkap Bola
Permainan lempar tangkap bola ini digunakan guna melatih respond an focus anak autis.
Walaupun mungkin mereka kadang tidak balas melempar tetapi respon dari anak autis
sangatlah penting untuk perkembangan otak, motorik, dan kondisi fisik anak autis. Fisioterapis
harus dapat menyesuaikan dengan perilaku dan kondisi si anak, yaitu dengan cara:
1. Fisioterapis harus berpenampilan menarik dan tidak membuat anak autis ketakutan.
2. Fisioterapis diharapkan dapat menarik perhatian dari si anak dengan berperilaku baik dan dapat
member kenyamana pada si anak.
3. Fisioterapis harus sabar, dan jeli dalam melatih agar anak autis dapat termonitoring
perkembangannya.
c) Bermain Ayunan
Tujuan utama dari bermain ayunan ini adalah untuk memberi kenyamanan sehingga seorang
anak autis dapat teralihkan pandngannya kepada fisioterapis.
1. Seorang anak autis diminta duduk di ayunan, kemudian pembimbing mengayun si anak secara
perlahan. Pada awalnya mungkin seorang anak autis akan merasa senang. Tahap selanjutnya si
anak mau memperhatikan fisioterapis. Tahap terakhir si anak dapat mengayun sendiri dan mau
bergerak sendiri, dengan ini maka secara tidak sadar si anak sudah melakukan aktivitas
jasmani.
d) Menggambar di Kertas
1. Siapkan kertas yang berukuran agak besar yang diletakkan di lantai.
2. Di sekitar kertas di siapkan beberapa buah alat tulis, yang nantinya digunakan oleh anak autis
untuk menulis atau menggambar.
3. Pembimbing menempatkan anak autis di sisi kertas, dan meminta anak tersebut menggambar
sesuka mereka
4. Latihan ini ditujukan untuk melatih ketrampilan dan sambil mereka menggambar secara tidak
langsung mereka sudah menggerakan tubuh mereka. Selain itu latihan ini juga dapat membantu
konektifitas otak dengan anggota gerak sehingga dapat memicu perkembangan ketrampilan,
kecerdasan, dan motorik mereka.
e) Mandi Bola
1. Menyiapkan sebuah bak yang dilapisi dengan spon dan benda-benda lunak.
2. Bak tersebut kemudian di isi dengan bola-bola lunak berukuran kecil (seperti yang digunakan
untuk mandi bola).
3. Bak dibuat seaman dan semenarik mungkin.
4. Anak autis diminta untuk bermain di bak tersebut.
5. Latihan ini digunakan untuk merangsang sensibilitas anak autis, kenyamanan anak autis
dengan tekanan bola yang seperti pelukan dan dengan mereka bergerak bermain di bak bola
tanpa disadari mereka sudah melakukan aktivitas olahraga.
f) Berenang
1. Anak autis dipakaikan pakaian pelampung, kemudian diminta untuk berenang di kolam.
2. Kolam yang digunakan tidak boleh terlalu dalam dan pas dengan postur anak tersebut.
3. Fisioterapis harus selalu siaga dan mengawasi saat anak autis berenang.
4. Aktivitas ini digunakan untuk melatih kemampuan gerak dan kebugaran anak.
g) Berenang dengan lumba-lumba
Terapi pada ikan lumba-lumba. Terapi ini sangat membantu karena lumba-lumba mempunyai
gelombang ultrasonar (gelombang suara dengan frekuensi tertentu) dan pada tubuh lumba-
lumba yang terkandung potensi yang bisa membantu menyelaraskan kerja saraf motoris dan
sensoris pada penderita autis dan mampu merangsang otak manusia untuk mengahasilkan
energi yang ada dalam tulang tengkorak, dada dan tulang belakang sehingga membantu
keseimbangan antara otak kanan dan kiri dan juga meningkatkan kerja oleh neurotransmiter.
h) Terapi berkuda
Jenis terapi yang teraktual yang dapat dilakukan pada penderita autis adalah Hippotherapy
(terapi berkuda). Terapi berkuda mampu meningkatkan konsentrasi anak autis, motivasi social,
merangsang proses sensoris. Terapi ini juga bagus untuk meningkatkan fungsi motoris si anak
dalam mempertahankan postural control. Anak autis menunggangi kuda dan kuda berjalan
secara pelan dan dipandu oleh terapis. Peran terapi sangat penting di sini, karena ia lah yang
akan mendampingi anak dan menganalisa perkembangannya.
i) Menonton film bersama
Mengajak anak menonton film kesukaannya bertujuan agar mereka dapat lama-lama terpusat
pada film itu. Terapi ini bertujuan agar otak dan saraf pasien bisa bekerja lagi dengan baik
dibandingkan sebelumnya. Terapi ini diberikan secara rutin dan teratur dengan selalu
pengawasan dari keluarga maupun terapis.
j) Terapi bicara dapat dimodifikasi dengan PECS (Picture Exchange Communication System)
Anak penderita autis secara umum lebih mudah belajar dengan cara visual ( visual learning).
Terapi visual ini dapat meningkatkan kemampuan saraf penderita autis dan melatih
komunikasi.

B. Aktivitas rumah tangga


Pada anak autis, aktivitas rumah tangga yang dapat dilakukan diantaranya dengan mengajarkan
perawatan diri seperti memakai baju, menggunakan sendok, mandi, menggosok gigi,
kemampuan berpindah, tidur, BAB, dan BAK.
Edukasi kepada Care Giver
Peran orang tua bagi anak-anak penyandang autisme sangatlah penting. Partisipasi aktif orang
tua akan mendukung dan membantu meningkatkan kemampuan sang anak. Mencari informasi
sebanyak mungkin tentang autisme serta penanganannya sangat dianjurkan untuk orang tua.
Informasi juga dapat ditemukan lebih banyak melalui Masyarakat Peduli Autis Indonesia
(MPATI), Yayasan Autisma Indonesia, serta International Center for Special Care in
Education (ICSCE). Membantu anak untuk berkomunikasi dapat mengurangi kecemasan dan
memperbaiki perilakunya karena komunikasi adalah hambatan khusus bagi anak-anak dengan
autisme.

 Gunakan kata-kata yang sederhana

 Selalu menyebut nama anak saat mengajaknya bicara.

 Manfaatkan bahasa tubuh untuk memperjelas maksud Anda.

 Berbicara pelan-pelan dan jelas.

 Beri waktu pada anak Anda untuk memproses kata-kata Anda.

 Jangan berbicara saat di sekeliling Anda berisik.

 Hindari memaksa anak bicara. Anak dengan autisme sering kali tidak mampu
mengkomunikasikan kebutuhannya melalui bahasa verbal, namun bisa melalui gerak tubuh,
menunjuk benda, atau bahasa isyarat. Misalnya ketika akan berjalan-jalan anda bisa
menunjukkan gambar mobil.
 Jauhkan anak dari contoh perilaku kasar. Anak dengan autisme cenderung meniru perilaku dan
kata-kata orang di sekitarnya.
 Buatlah jadwal kegiatan yang dapat diikuti anak secara rutin untuk membiasakannya beralih
dari satu kegiatan ke kegiatan lain secara terstruktur.
 Biarkan dia tetap memiliki kesempatan untuk meluangkan waktu menyendiri.
 Memberikan reinforcement (pujian) untuk setiap kemajuan yang dicapai anak untuk
meningkatkan motivasinya.
Selain itu, orang tua juga harus diberikan edukasi agar mampu melakukan home training
tertentu kepada anak penderita autis untuk mencegah terjadinya penurunan kapasitas
fisik,psikis, dan kognitif yang telah dimiliki oleh anak tersebut

Вам также может понравиться