Вы находитесь на странице: 1из 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring dengan berputarnya zaman berbagai macam pemikiran manusia pun terus
berkembang, baik dari belahan bumi timur, barat, selatan dan utara semua menjadi dekat
dengan berbagai macam sarana kemajuan alat komunikasi.

Setiap manusia menyadari bahwa mereka tidaklah hidup sendiri, mereka senantiasa
hidup berdampingan dengan berbagai elemen masyarakat. Pelan tapi pasti berbagai
pemikiran manusia yang mulanya hanya seputar politik ataupun ekonomi kini pemikiran
tersebut telah menyentuh ranah agama.

Dizaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam jika ada pemikiran yang


menyimpang mengenai agama yang dibawanya tentu beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
tidak akan tinggal diam, apalagi mengatasnamakan Islam sebagi alirannya. Beliau awali
dengan dakwah, mengingatkan dengan kelemah lembutan beliau, hingga akhirnya
peperangan pun tidak ragu untuk beliau perintahkan kepada para sahabatnya. Sebagai
contoh kecil adalah Musailamah Al-Kadzab, ia merupakan seseorang yang mengaku Nabi
Palsu dizaman beliau

Berbagai macam fitnah telah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam sabdakan sejak
1.400 tahun yang lalu, mengenai berbagai macam golongan-golongan sesat yang
membangkang kepada ajarannya. Dan yang menentang para Khulafaur Rasyidin dan
memisahkan diri dari kaum muslimin. Dengan berbagtai macam dalih hawa nafsu,
merekapun membuat kelompok baru dan sungguh benar apa yang dikatakan Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wasallam pun benar-benar terjadi, mulai dari dibunuhnya Sayyidina Umar
Radhiallahu ‘Anhu ketika Sholat, dibunuhnya Sayyidina Ustman Bin Affan oleh para
pemberontak, hingga fitnah yang menimpa Sayyidina Ali Radhiallahu ‘Anhu

Pada makalah ini kami selaku penyusun makalah secara ringkas akan membahas
mengenai sejarah dan apapun yang berkaitan dengan Mu’tazilah dan Murjiah.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Inti dari Pemahaman Mu’tazilah?
2. Bagaimana Inti dari Pemahaman Murjiah ?
3. Bagaimana Sejarah Awal Mulanya Mu’tazilah dan Murjiah Muncul ?

C. Tujuan Penulisan
1. Agar kita mengetahui Inti Pemahaman Mu’tazilah.
2. Agar kita mengetahui Inti Pemahaman Murjiah.
3. Agar Kita Bisa Memahami Awal Mula Munculnya Aliran Mu’tazilah dan
Murjiah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

Perpecahan umat islam memang telah jauh-jauh hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam sabdakan sejak 1.400 tahun yang lalu. Dan tidaklah seseorang itu berada pada
kebenaran kecuali kepada apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala, dan apa-apa
yang telah Rasulullah Shallallahu ‘Alihi Wasallam contohkan pada kita melalui sunnah-
sunnahnya yang mulia. Pembahasan kali ini penyusun makalah akan mengajak pembaca
untuk menelusuri aliran Mu’tazilah dan Murjiah baik itu sejarahnya ataupun segala sesuatu
yang berkaitan dengannya.

A. Mu’tazilah
1. Sejarah Munculnya Mu’tazilah
Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah,
antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan
dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah
mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-
Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 131 H.
Di dalam menyebarkan pemikiran barunya dalam beragama, ia didukung oleh ‘Amr
bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam
suatu pemikiran baru dalam agama, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat
Firaq Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Awaji, 2/821, Siyar A’lam An-Nubala, karya
Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani hal. 46-48).
Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang
dengan sekian banyak sektenya. Hingga mereka mendalami buku-buku yang banyak
tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar- benar
terwarnai oleh manhaj ahli kalam.
Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih
didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’, pen) dan akal-lah sebagai
kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal –menurut
persangkaan mereka– maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil.1

1
. Lihat kata pengantar kitab Al-Intishar Firraddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/65. Perlu
diketahui bagi pembaca bahwa Ini merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari
syariat maka Allah subhaanahu wata'aala akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi

3
2. Pengertian Mu’tazilah
Mu’tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri.
Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan
Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi’in.
Asy-Syihristani berkata: (Suatu hari) datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan
Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini
kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut
diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka
adalah kaum Khawarij.Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku
dosa besar (di bawah dosa syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan.
Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan
kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh
terhadap kekafiran, mereka adalah Murji’ah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam
permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam
beragama)?”
Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum
beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku
pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada
suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan
duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut
kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: ‫اِ ْعتَزَ َل َعنَّا‬
‫اصل‬
ِ ‫”و‬
َ “Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya
dengan sebutan Mu’tazilah.2

perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah,
sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa: 59. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah
subhaanahu wata'aala tidak akan mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka
menuju jalan yang benar sebagaimana yang terdapat dalam An-Nahl: 36. Kalaulah akal itu lebih utama dari
syariat maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolok ukur?! Dan banyak hujjah-hujjah lain yang
menunjukkan batilnya kaidah ini. Untuk lebih rincinya lihat kitab Dar’u Ta’arrudhil ‘Aqli wan Naqli, karya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan kitab Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘Alal-Jahmiyyatil- Mu’aththilah, karya
Al-Imam Ibnul-Qayyim.)
2
. Al-Milal Wan-Nihal,hal.47-48. Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan
jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang
mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa

4
3. Asas dan Landasan Mu’tazilah

Mu’tazilah mempunyai asas dan landasan yang selalu dipegang erat oleh mereka,
bahkan di atasnya-lah prinsip-prinsip mereka dibangun. Asas dan landasan itu mereka sebut
dengan Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan pokok). Adapun rinciannya sebagai berikut:

Landasan Pertama: At-Tauhid

Yang mereka maksud dengan At-Tauhid adalah mengingkari dan meniadakan sifat-
sifat Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah menetapkan
untuk masing- masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah, menurut mereka
(Firaq Mu’ashirah, 2/832). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlut-Tauhid
atau Al-Munazihuuna lillah (orang-orang yang mensucikan Allah).

Landasan kedua: Al-‘Adl (keadilan)


Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu
datang dari Allah, sedangkan kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak
(masyi’ah) Allah subhaanahuwata'aala. Dalilnya mereka adalah firman Allah subhaanahu
wata'aala :

“Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205)

“Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (Az-Zumar: 7)


Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian
menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya). Oleh karena itu mereka
menamakan diri dengan Ahlul-‘Adl atau Al-‘Adliyyah.

Landasan Ketiga: Al-Wa’du Wal-Wa’id

besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna).” (Lihat kitab Lamhah ‘Anil-Firaq
Adh-Dhallah, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal.42).

5
Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah
subhaanahu wata'aala untuk memenuhi janji- Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar
dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku
dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di
dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut
dengan Wa’idiyyah.

Landasan Keempat: Suatu keadaan di antara dua keadaan (Manzilah bain Al


Manzilahtain)
Yang mereka maksud adalah, bahwasanya keimanan itu satu dan tidak bertingkat-
tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa besar (walaupun di bawah syirik) maka
telah keluar dari keimanan, namun tidak kafir (di dunia). Sehingga ia berada pada suatu
keadaan di antara dua keadaan (antara keimanan dan kekafiran).

Landasan Kelima: Amar Ma’ruf Nahi Mungkar


Di antara kandungan landasan ini adalah wajibnya memberontak terhadap
pemerintah (muslim) yang zalim.
Selain dari lima landasan diatas, mu’tazilah juga memiliki banyak sekali pemikiran
lainnya, diantarannya adalah :

1. Mendahulukan akal daripada Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ Ulama.


2. Mengingkari adzab kubur, syafa’at Rasulullah untuk para pelaku dosa,
3. Mengingkari ru’yatullah (dilihatnya Allah) pada hari kiamat,
4. Mengingkari timbangan amal di hari kiamat,
5. Mengingkari Ash-Shirath (jembatan yang diletakkan di antara dua tepi Jahannam),
6. Mengingkari telaga Rasulullah di padang Mahsyar,
7. Mengingkari keluarnya Dajjal di akhir zaman,
8. Mengingkari telah diciptakannya Al-Jannah dan An-Naar (saat ini).
9. Mengingkari turunnya Allah ke langit dunia setiap malam.
10. Mengingkari hadits ahad (selain mutawatir), dan lain sebagainya.

6
Mereka juga memvonis terhadap salah satu dari dua kelompok yang terlibat dalam
pertempuran Jamal dan Shiffin (dari kalangan shahabat dan tabi’in), bahwa mereka adalah
orang-orang fasiq (pelaku dosa besar) dan tidak diterima persaksiannya. Dan kita sudah
tahu prinsip mereka tentang pelaku dosa besar, di dunia tidak mukmin dan juga tidak kafir,
sedangkan di akhirat kekal abadi di dalam an-naar. Mereka memiliki pandangan bahwa
meniadakan sifat-sifat Allah, dengan alasan bahwa menetapkannya merupakan kesyirikan.
Namun ternyata mereka mentakwil sifat Kalam (berbicara) bagi Allah dengan sifat
Menciptakan, sehingga mereka terjerumus ke dalam keyakinan kufur bahwa Al-Qur’an itu
makhluq, bukan Kalamullah. Demikian pula mereka mentakwil sifat Istiwaa’ Allah dengan
sifat Istilaa’ (menguasai).
Berikut ini intisari ajaran muktazilah, ”Mereka adalah para pengikut Washil bin
‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari majelis pengajian Hasan al-Bashri. Dia
menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi sebagai orang
yang berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain), tidak kafir tapi juga tidak
beriman. Akan tetapi menurutnya di akhirat mereka akhirnya juga akan kekal di dalam
Neraka. Tokoh lain yang mengikuti jejaknya adalah Amr bin ‘Ubaid. Madzhab mereka
dalam masalah tauhid Asma’ wa Shifat adalah menolak (ta’thil) sebagaimana kelakuan
kaum Jahmiyah. Dalam masalah takdir mereka ini menganut paham Qadariyah. Sedang
dalam masalah pelaku dosa besar mereka menganggapnya tidak kafir tapi juga tidak
beriman. Dengan dua prinsip terakhir ini pada hakikatnya mereka bertentangan dengan
Jahmiyah. Karena Jahmiyah menganut paham Jabriyah dan menganggap dosa tidaklah
membahayakan keimanan.

B. Murjiah
1. Sejarah Munculnya Murjiah
Benih ide-ide munculnya Murji’ah sebagaimana halnya dengan Khawarij pada
mulanya berkaitan soal politik atau lebih tepatnya berkaitan dengan masalah khilafah
yang menimbulkan pertikaian dikalangan umat muslim.3 Khususnya yang terjadi saat itu
di Madinah setelah munculnya peristiwa pemberontakan yang datang dari Mesir
sehingga menyebabkan terbunuhnya Khalifah Usman Ibn Affan pada tahun 35 H atau

3
Harun Nasution ( 1986) Teologi Islam Aliran – aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press,
Jakarta.h. 22

7
tepatnya tanggal 17 Juni 856 M (Mahmud Nasir, 1988:192) seandainya tidak muncul
persoalan khilafah tersebut maka kemunculan Khawarij dan Syi’ah dikemudian hari
tidak akan ada. Demikian pula kalau tidak muncul persoalan khilafah
maka tidak akan ada faham dan aliran Murji’ah terbunuhnya Khalifah Usman Ibnu
Affan menimbulkan berbagai dampak sosial, politik dan teologi yang hebat
dikalangan umat Islam. Terlebih setelah diketahui bahwa yang telah membunuh
Usman adalah Muhammad ibn Abi akar yang pernah menjadi anak angkat dan
dikemudian hari menjadi Gubernur Mesir Nasution:1986:5) peristiwa ini mengundang
terjadinya berbagai masalah dan pertikaian baik yang berkaitan dengan terjadinya
perpecahan antar ummat Islam waktu itu memancing timbulnya benih-benih
perebutan kekuasaan, munculnya perang saudara dan bahkan lebih jauh lagi membuat
spektrum Islam mengalami kemunduran.

Menurut Muhammad Abu Zahrah ( cairo:tt 132) pada saat berkecamuknya


pertikaian setelah wafatnya Usman Ibn Affan waktu itu telah muncul
sekelompok orang yang cendrung memiliki sikap tidak mau ikut melibatkan diri ke dalam
kancah pertikaian. Diantaranya orang-orang tersebut adalah Abu Bakrah, Abdullah Ibnu
Umar, Saad Ibn Waqash, Imran Ibn Husain.

Selanjutnya menurut Abu Zahrah sikap tidak mau melibatkan diri dalam pertikaian
muncul pula dari sekelompok orang yang baru saja pulang dari medan perang memasuki
Madinah setelah terjadinya peristiwa pemberontakan dan terbunuhnya Usman.
Perbincangan yang terjadi pada kelompok itu digambarkan sebagai berikut:

“Kami kembali pulang ke rumah masing-masing dan kami tinggalkan kalian dalam
keadaaan damai, tidak berselisih lagi. meskipun sebelumnya kalian pernah bertengkar.
(sebagian mereka ada yang berkata) “tapi sekarang Usman telah terbunuh di zalimi
orang. Wajar apabila ada sahabat-sahabatnya yang mau menuntut keadilan untuk
membalas (sebagian lagi dari mereka ada yang menimpali) : “ … meskipun begitu Ali
dan para sahabatnya yang lain adalah juga orang - orang berada dalam
kebenaran. Dalam pandangan kita masing-masing dari mereka adalah orang-orang yang
benar dan terpercaya. Karna itu mustahil bagi kita harus berikrar untuk mengutuk mereka.
karena itu sebaiknya persoalan ini kita serahkan saja kepada Allah.‘

8
Suasana dialogis diatas menuntun analisis Ahmad Amin menggambarkan telah
adanya soal tidak mau melibatkan diri dalam pertikaian dan perselisihan diantara
sesame kaum muslimin. Sikap ini adalah merupakan dasar dan benih bagi kemunculan
faham Murji’ah sekalipun sebagai sebuah aliran teologi baru terbentuk setelah lahirnya
Khawarij dan Syiah. Berdasarkan kepada pendapat diatas maka munculnya sikap
sekelompok orang yang tidak mau terlibat dalam sebuah pertikaian dan menyerahkan
keputusan dengan menangguhkanya kepada Allah dianggap sebagai penyebab tidak
langsung bagi kemunculan Murji’ah. Hal ini terjadi karena kemungkinan sikap-sikap yang
mulai muncul pada waktu itu mulai berkembang dan banyak mempengaruhi para fuqoha,
Muhaddisin, dan masyarakat dalam perkembangan selanjutnya.

2. Pengertian Murji’ah

Murji’ah berasal dari kata “al-Irja” secara bahasa mengandung arti pertama:
al-Ta’khir, yang kedua : al-Arja’a (al - Asy’ari, 1950, 70) Penamaan Murji’ah dengan
pengertian yang pertama “menta’khirkan“ karena dari faham mereka tersirat ajaran
menomor duakan amal perbuatan dari iman, atau juga karena menangguhkan ketentuan
dan posisi orang yang melakukan dosa besar sampai di akhirat nanti. Kemudian dari
arti harfi yang pertama ini kita jumpai sejumlah penafsiran yang berbeda meskipun
akan saling melengkapi, diantaranya penafsiran antara lain, Murji’ah yang terkadang
disebut orang dengan faham “al-Irja’a” dapat berarti :

a) Menta’khirkan penentuan sikap yang benar atau siapa yang salah dalam
suatu pertikaian waktu itu antara Ali, Muawiyah dan Khawarij.

b) Menta’khirkan penentuan orang-orang yang dianggap telah berdosa


apakah akan masuk neraka atau masuk ke surga.

c) Menta’khirkan pososi Ali dalam komposisi kehalifahan yang


mengandung konsekwensi menta’khirkan derajat Ali setelah Abu Bakar, Umar, dan Usman
(Syahrastani, 197:137)

Penamaan Murji’ah dengan pengertiannya yang kedua yaitu: al-Arja’a atau


memberi harapan, karena mereka berpendapat bahwa perbuatan maksiat tidak merusak

9
iman sebagaimana perbuatan taat tidak berarti apa kalau disertai dengan kufran. Implikasi
harapan terletak pada tidak khawatirnya kehilangan iman karena perbuatan maksiat.4

3. Asas dan Landasan Murji’ah

Ajaran pokok Murji’ah Pada dasarnya bersumber dari gagasan doktrin irja
atau ar-Ja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persolan politik
maupaun persoalan teologis. Di bidang politik doktrin Irja’a diimplementasikan dengan
sikap politik netral atau non blok ;yang hampir diekpresikan dengan sikap diam,
itulah sebabnya, kelompok Murji’ah dikenal pula sebagai the queietisisi.

Adapun bidang theologi, doktrin Irja’ dikembangkan Murji’ah ketika menanggapi


persoalan-persoalan teologis yang muncul saat itu pada perkembangan berikutnya
persoalan-persoalan yang ditanggapinya menjadi semakin kompleks sehingga mencakup
iman, kufur dosa besar dan ringan (mortal and venial sams) tauhid Tafsir al-
Qur’an, eskatologi, pengampunan atas dosa besar, kemaksuman nabi (the is
peccability of the prthet), hukuman atas dosa (pansihment of sins), ada yang kafir (
infdel) di kalangan generasi awal Islam, tobat (redress of wrongs), hakekat al-qur’an,
nama dan sifat Allah, serta ketentuan Tuhan (predestination) demikian
diungkapakan oleh Gibb dalam Rosihan Anwar (2000:58). Berkaitan dengan doktrin
teologi Murji’ah W. Montgomery dalam Rosihan (2000-59) yang merinci sebagai berikut :

a. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga memutuskannya di


akhirat kelak.

b. Penangguhan Ali untuk menduduki rangking ke empat dalam peringkat al-


Khalifah ar-Rasyidin.

c. Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa


besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.

d. Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (mazhab) para skeptic dan


empiris dari kalangan helenis.

4
Harun Nasution Teologi Islam ( ilmu Kalam); Bulan Bintang; Jakarta, , (1974) h. 55

10
Dalam Perspektif Murji’ah orang Islam yang berbuat dosa besar tidaklah menjadi,
kafir, melainkan tetap mukmin persoalan dosa besarnya diserahkan kepada Tuhan dalam
keputusannya kelak di hari perhitungan. Kalaulah dosa besarnya itu diampuni Tuhan maka
jelas ia akan masuk surga. Akan tetapi misalnya tidak diampuni Tuhan maka harapan bagi
orang/pelaku dosa besar untuk diberi ampun oleh Tuhan sehingga seterusnya dapat
masuk surga (Harun Nasution, 1986; 34)

Pengertian iman umumnya ialah pengakuan tentang Tuhan dan Rasul- Nya
dan dengan segala apa yang datang dari Tuhan dan Rasulnya. Mereka menyakini
iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang dan tidak terdapat perbedaan
antara manusia dalam hal iman. Harun Nasution menganalisa bahwa faham tersebut
mengandung konsekuensi logis bahwa iman semua orang Islam sama? baik berdosa besar
maupun berdosa kecil. Konklusi ini akan membawa pada gagasan bahwa perbuatan kurang
penting atau bahkan tidak terpengaruh kepada iman.

Dari kalangan Murji’ah moderat juga umumnya berpendapat bahwa selama


seseorang masih bersyahadat, maka orang demikian itu tetap dikatakan islam, dosa
yang dilakukannya sekalipun dosa besar tidak akan membuat dia keluar dari islam
dan akan masuk surga.5

5
Harun Nasution Akal dan Wahyu, UI Press : Jakarta. (1986). H. 43

11
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Perpecahan umat islam memang telah jauh-jauh hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam sabdakan sejak 1.400 tahun yang lalu. Dan tidaklah seseorang itu berada pada
kebenaran kecuali kepada apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala, dan apa-apa
yang telah Rasulullah Shallallahu ‘Alihi Wasallam contohkan pada kita melalui sunnah-
sunnahnya yang mulia.

Kelompok Mu’tazilah ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah,
antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan
dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah
mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-
Ghozzal. Kelompok ini memiliki ciri khas dengan lima landasan yang telah kami sebutkan
diatas.

Murji’ah sudah menghilang dari pentas sejarah, dalam aspek teologi, lontaran
gagasan pemikiran teologis Murji’ah sedikitnya memiliki tiga kecendrungn. Pertama,
mengilhami lahirnya pemikiran teologis yang bersifat atau bercorak pasif. Kecendrungan
kedua, dari kalangan Murji’ah meskipun dianggap mereka menghalang memberikan
kecendrungan pada mnculnya gagasan yang sifatnya liberal dalam berteologi, atau
bahkan karena ektrimitasnya dapat merimplikasi negatif sampai ke tahap nihilism
moral, yang tidak kalah menariknya justru pada kecendrungan ketiga, yaitu
menimbulkan semacam doktrin teologi pengharafan maaf.

Dalam aspek politik, sekalipun reputasi dalam memainkan peran politik


tak spektakuler: dan kecendrungan pasif mungkin karena pengaruh faham “ al-Irja”
tetapi nampaknya juga melahirkan tipologi perilaku politik unik.

12
DAFTAR PUSTAKA

Bin Sulaimi, Ruwaifi (Diringkas dari kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah). Tt.
Al-Syahrastani, Al-Milal Wan-Nihal, Dar al Beurut, tt
Harun Nasution ( 1986) Teologi Islam Aliran – aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, UI Press, Jakarta.
_____________, (1974) Teologi Islam ( ilmu Kalam); Bulan Bintang; Jakarta
_____________, (1974) Akal dan Wahyu, UI Press : Jakarta.

13

Вам также может понравиться