Вы находитесь на странице: 1из 7

ANALISIS LAPORAN KEUANGAN

PADA BANK ACEH SYARIAH TAHUN 2017

Akuntansi Perbankan Syariah

Disusun Oleh:

Yuni Asih (15.0102.0055)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG

2018
A. Tentang Bank Aceh Syariah
Bank Aceh Syariah berdiri pada tahun 1973 dengan nama awal Bank Pembangunan Daerah
Aceh. Sejak berdiri sampai saat ini telah mengalami beberapa perubahan badan hukum dari
perusahaan daerah menjadi perseroan terbatas. Kemudian sejarah baru diukir oleh Bank Aceh
melalui hasil rapat RUPSLB (Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa) tanggal 25 Mei
2015 bahwa Bank Aceh melakukan perubahan kegiatan usaha dari sistem konvensional
menjadi sistem syariah seluruhnya. Setelah tanggal keputusan tersebut proses konversi
dimulai dengan tim konversi Bank Aceh dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. Kemudian
setelah melalui berbagai tahapan dan proses perizinan yang disyaratkan oleh OJK akhirnya
Bank Aceh mendapatkan izin operasional konversi dari Dewan Komisioner OJK Pusat untuk
perubahan kegiatan usaha dari sistem konvensional ke sistem syariah secara menyeluruh.
Izin operasional konversi tersebut ditetapkan berdasarkan Keputusan Dewan Komisioner OJK
Nomor. KEP-44/D.03/2016 tanggal 1 September 2016 perihal Pemberian Izin Perubahan
Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Syariah PT. Bank Aceh
yang diserahkan langsung oleh Dewan Komisioner OJK kepada Gubernur Aceh
Zaini Abdullah melalui Kepala OJK Provinsi Aceh Ahmad Wijaya Putra di Banda Aceh. Cut
off sistem konvensional PT Bank Aceh dilakukan pada tanggal 16 September 2016.
Perubahan sistem operasional dilaksanakan pada tanggal 19 September 2016 secara serentak
pada seluruh jaringan kantor Bank Aceh. Dan sejak tanggal tersebut Bank Aceh dapat
melayani seluruh nasabah dan masyarakat berdasarkan prinsip syariah mengutip Ketentuan
PBI Nomor 11/15/ PBI/2009.
Proses konversi Bank Aceh menjadi Bank Syariah diharapkan dapat membawa dampak
positif pada seluruh aspek kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat. Dengan menjadi Bank
Syariah, Bank Aceh bisa menjadi salah satu titik episentrum pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan daerah yang lebih optimal. Kantor Pusat Bank Aceh berlokasi di Jalan Mr.
Mohd. Hasan No 89 Batoh Banda Aceh. Sampai dengan akhir tahun 2017, Bank Aceh telah
memiliki 162 jaringan kantor terdiri dari 1 Kantor Pusat, 1 Kantor Pusat Operasional, 25
Kantor Cabang, 86 Kantor Cabang Pembantu, 20 Kantor Kas tersebar dalam wilayah Provinsi
Aceh termasuk di kota Medan (dua Kantor Cabang, dua Kantor Cabang Pembantu, dan satu
Kantor Kas), dan 17 Payment Point.
B. Analisis Transaksi Murabahah, Salam dan Istishna
Pada umumnya ada tiga transaksi akad jual beli dalam ekonomi syariah, yaitu:
1. Transaksi Murabahah
Merupakan perjanjian jual beli dengan harga pasar ditambah laba atau keuntungan buat si
penjual dimana pembeli mengetahui dengan pasti nilai dari harga pasar barang tersebut
dan nilai tambahan dari si penjual. Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau
tidak berdasarkan pesanan.
2. Transaksi Salam
Merupakan perjanjian jual beli dengan cara pemesanan barang dengan spesifikasi tertentu
yang dibayar dimuka dan penjual harus menyediakan barang tersebut dan diantarkan
kepada si pembeli dengan tempat dan waktu penyerahan barang sudah ditentukan dimuka.
3. Transaksi Istishna
Merupakan suatu perjanjian jual beli dengan cara memesan barang yang bukan komoditi
atau barang pertanian tetapi barang yang dibuat dengan mesin dan keahlian khusus,
dibayar sebagian dimuka dan bisa dengan cicilan atau langsung dibayar sekaligus apabila
barang tersebut telah selesai dan siap digunakan oleh pembeli.

Pada Bank Aceh Syariah, transaksi jual beli yang diterapkan hanya transaksi murabahah, dan
transaksi salam dan istishna belum dilaksanakan. Artinya pada bank ini belum menyediakan
produk pembiayaan salam dan istishna, baru melakukan dengan akad murabahah. Hal ini bisa
dilihat pada laporan posisi keuangan Bank Aceh Syariah tahun 2017 dimana pada akad jual
beli hanya terdapat murabahah, akad investasi ada transaksi musyarakah dan lainnya, hal ini
nampak pada gambar berikut:
Gambar 1.1. Laporan Posisi Keuangan Bank Aceh Syariah

Dari gambar diatas terlihat juga bahwa piutang murabahah dari tahun 2016 ke 217 mengalami
kenaikan sebesar 3,59% piutang murabahah kepada karyawan bank merupakan piutang untuk
tujuan membeli kendaraan, rumah dan pembiayaan pribadi lainnya. Piutang ini dibayar
kembali melalui pemotongan gaji setiap bulan dengan tingkat marjin keuntungan piutang
berkisar antara setara 4% sampai setara 75 per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
pembiayaan murabahah pada Bank Aceh Syariah dilakukan dengan karyawannya sendiri dan
belum melakukan dengan pihak luar.

Pendapatan murabahah pada periode 2017 sebesar Rp 1.666.424.981.397 dan pada periode
2016 sebesar Rp 496.079.886.720 , hal ini menunjukkan terdapat kenaikan pendapatan pada
pembiayaan murabahah. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 2017 terdapat kenaikan
pelunasan pembiayaan dengan murabahah.

Jadi transaksi murabahah yang ada di Bank Aceh Syariah hanya terjadi penjualan ke
Karyawannya dan Bank ini tidak membeli produk murabahah ke bank lain dan sebaliknya
bank lain juga tidak ada yang membeli produk pembiyaan murabahah. Hal ini dilihat dengan
adanya piutang murabahah sementara utang murabahah tidak ada dalam laporan keuangan.
Sementara itu, Bank Aceh Syariah belum menyediakan produk pembiayaan Salam dan
Istisshna.

C. Analisis Standar Penyusunan Laporan Keuangan Bank Aceh Syariah tahun 2017

Laporan keuangan Bank Aceh Syariah disajikan sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) No. 101, “Penyajian Laporan Keuangan Syariah”. dimana sesuai dengan
PSAK No. 1 laporan keuangan Bank Aceh Syariah terdiri atas:

1. Laporan Posisi Keuangan


2. Laporan Laba Rugi dan Penghasilan Komprehensif lain
3. Laporan Perubahan Ekuitas
4. Laporan Arus Kas
5. Laporan Rekonsiliasi Pendapatan dan Bagi Hasil
6. Laporan Sumber dan Penyaluran Dana Zakat
7. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan
8. Catatan atas Laporan Keuangan

Laporan keuangan disajikan berdasarkan konsep biaya historis dan konsep akrual dengan
beberapa pengecualian yaitu perhitungan pendapatan yang tersedia untuk bagi hasil yang
disajika menggunakan dasar kas dan pendapatan imbalan jasa tertentu diakui menggunakan
dasar kas.

Akuntansi perbankan syariah di Indonesia pada awalnya berpedoman terhadap PSAK No. 59
yang diadopsi dari AAOIFI (Accounting and Auditing Organisation for Islamic Financial
Institution). AAOIFI telah mengeluarkan standar akuntansi dan auditing untuk lembaga
keuangan islam sejak 1998. Standar AAOIFI menjadi rujukan utama dalam pembentukan
PSAK syariah yang ada saat ini karena lembaga tersebut menyediakan standar yang tidak
diatur dalam IFRS sehingga dapat membuat aktifitas perbankan syariah berjalan lancar.
Bentuk pengadopsian AAOIFI atas perbankan syariah di Indonesia berupa PSAK 101-111.
Seperti halnya pada Bank Aceh Syariah yang menyajikan laporan keuangan sesuai dengan
PSAK No. 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah, PSAK No. 102 tentang
Akuntansi Murabahah, PSAK No. 105 tentang Akuntansi Mudharabah, PSAK No. 106
tentang Akuntansi Musyarakah, PSAK No. 107 tentang Akuntansi Ijarah, PSAK No. 109
tentang Akuntansi Zakat Infak/Shodaqoh, PSAK No. 110 tentang Akuntansi Sukuk. Dalam
Bank Aceh Syariah tidak menggunakan seluruh PSAK No. 101-110 dikarenakan Bank ini
tidak menyediakan produk pembiayaan salam dan istishna dimana masing-masing terdapat
pada PSAK No. 103 dan PSAK No. 104 tentang Akuntansi Istishna, bank ini juga tidak
memiliki utang murabahah sehingga tidak mencantumkan PSAK No. 108 tentang akuntansi
Penyelesaian Utang Murabahah Bermasalah. Sehingga penyusunan laporan keuangannya
senantiasa mengacu pada Standar akuntansi, hal ini diperkuat dengan opini wajar yang
diberikan dimana menyatakan bahwa kinerja keuangan dan arus kasnya sesuai dengan standar
akuntansi keuangan syariah di Indonesia.

Jadi, penyusunan laporan keuangan Bank Aceh Syariah telah sesuai dengan standar akuntansi
keuangan syariah di Indonesia yang merupakan adopsi dari AAOIFI.

D. Analisis Denda dan Dana Kebajikan Bank Aceh Syariah Tahun 2017
Denda/sanksi diberikan kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-nunda
pembayaran dengan disengaja akan dikenakan berupa denda sejumlah uang yang besarnya
tidak ditentukan atas dasar kesepakatan dan tidak dibuat saat akad ditanda tangani. Dana yang
berasal dari denda/sanksi diperuntukkan untuk sosia/dana kebajikan. Denda pada laporan
keuangan Bank Aceh Syariah terdapat pada Laporan Sumber dan penggunaan dana kebajikan,
jadi denda yang diterima nantinya akan digunakan sebagai dana kebajikan. Denda termasuk
dalam salah satu sumber dana kebajikan, dimana sumber dana kebajikan yang lain pada
laporan keuangan Bank Aceh Syariah yaitu infak, penerimaan non halal dan lainnya. Dana
kebajikan yang diterima oleh bank kemudian akan digunakan untuk dana kebajikan produktif,
sumbangan dan penggunaan lainnya untuk kepentingan umum. Dana kebajikan pada tahun
2016 ke 2017 menunjukkan penurunan dimana pada tahun 2016 sebesar Rp 5.414.719.502
dan pada tahun 2017 sebesar Rp 5.391.032.121. Penurunan ini didukung dengan kenaikan
penggunaan dana kebajikan yang cukup besar yaitu sebesar Rp 2.737.767.474 sehingga
meskipun sumber dana kebajikannya naik tidak mempengaruhi penurunan dana kebajikanya
karena penggunaannya yang begitu besar ditahun 2017 dibanding 2016. Sementara kenaikan
sumber dana kebajikan dari tahun 2016 ke 2017 hanya sebesar 0,436 sedangkan kenaikan
penggunaan dana kebaikannya sebesar 3,382.

Jadi, denda pada Bank Aceh Syariah terletak pada Laporan Sumber dan Penggunaan Dana
Kebajikan. Hal ini menunjukkan kepatuhan terhadap standar akuntansi syariah yang berlaku
tepatnya pada PSAK 101. Dana kebajikan pada tahun 2017 mengalami kenaikan
dibandingkan pada tahun 2016 hal ini karena penggunaan dana kebajikan yang begitu besar
pada tahun 2017.

E. Daftar Pustaka
www.bankaceh.co.id diakses pada tanggal 26 Oktober 2018 pukul 15.14

Вам также может понравиться