Вы находитесь на странице: 1из 28

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 PEMBAHASAN
Di dalam agama Hindu dikenal adanya berbagai jalan untuk menghubungkan diri dengan
Tuhan Yang Maha Esa. Jalan atau cara itu bebas dipilih oleh umat-Nya sesuai dengan sifat
dan pembawaannya. Dalam kitab Bhagavad Gita Bab IV Sloka (11) disebutkan :
ye yatha mam prapadyante
tams tathai ‘va bhajamy aham
mama vartma ‘nuvartante
manushyah partha sarvasah
Jalan manapun ditempuh manusia kearah-Ku, semuanya Ku-terima, dari mana-mana semua
mereka menuju jalan-Ku, oh Parta.
Empat jalan untuk menghubungkan diri, yang dimaksud adalah menghubungkan diri
dengan Tuhan Yang Maha Esa. Usaha untuk menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa
akan berhasil bila didukung dengan metode, media maupun lokasi spiritual yang kondusif. Untuk
itu, di samping personalitas pribadi orang yang menghubungkan diri kepada-Nya. Di zaman
kaliyuga ini, masalah personalitas pribadi masih menjadi masalah dalam hal mendekatkan diri
kehadap-Nya. Seperti yang kita ketahui bahwa moralitas manusia cenderung menurun karena
kemajuan zaman dan factor penyebab lainnya. Hal tersebut, sebenarnya bisa diatasi jika ada
kesadaran dari manusia untuk selalu berbuat dengan memperhatikan ajaran agama. Salah satunya
adalah dengan melaksanakan ajaran catur marga untuk menghubungkan diri kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa.
1.2 RUMUSAN MASALAH
(1).Pengertian Catur marga Yoga?,
(2). Bagian-bagian Catur Marga Yoga?,
(3). Filosofi dari ajaran Catur Marga Yoga?.
1.3 TUJUAN
(1). Untuk mengetahui Pengertian Catur marga Yoga,
(2). Untuk mengetahui Bagian-bagian Catur Marga Yoga,
(3). Untuk mengetahui filosofi dari ajaran Catur Marga Yoga.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN CATUR MARGA

Catur marga berasal dari dua kata yaitu catur dan marga. Catur berarti empat dan marga
berarti jalan/cara atapun usaha.

Catur Marga adalah empat jalan atau cara umat Hindu untuk menghormati dan menuju ke jalan
Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. ‘jalan’ atau upaya menghubungkan
atman dengan brahman sehingga ada ‘kedekatan’ untuk tujuan kemuliaan atman, dengan harapan
semoga jika tiba saatnya kita wafat, atman dapat bersatu dengan brahman. Dengan kata lain, untuk
mencapai moksah, yakni tujuan hidup tertinggi dari catur purushartha (dharma, artha, kama,
moksa). Catur marga juga sering disebut dengan catur marga yoga.

Di dalam agama Hindu tidak ada suatu keharusan untuk menempuh satu-satu jalan, karena semua
jalan untuk menuju Tuhan Yang Maha Esa diturunkan oleh-Nya untuk memudahkan umat-Nya
menuju kepada-Nya. Empat jalan untuk menghubungkan diri, yang dimaksud adalah
menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Usaha untuk menghubungkan diri dengan
Tuhan Yang Maha Esa akan berhasil bila didukung dengan metode, media maupun lokasi spiritual
yang kondusif untuk itu, di samping personalitas pribadi orang yang menghubungkan diri kepada-
Nya.

Sumber ajaran catur marga ada diajarkan dalam pustaka suci Bhagawadgita, terutama pada
trayodhyaya tentang karma yoga marga yakni sebagai satu sistem yang berisi ajaran yang
membedakan antara ajaran subha karma (perbuatan baik) dengan ajaran asubha karma (perbuatan
yang tidak baik) yang dibedakan menjadi perbuatan tidak berbuat (akarma) dan wikarma
(perbuatan yang keliru).
Karma memiliki dua makna yakni karma terkait ritual atau yajna dan karma dalam arti tingkah
perbuatan.
Kedua, tentang bhakti yoga marga yakni menyembah Tuhan dalam wujud yang abstrak dan
menyembah Tuhan dalam wujud yang nyata, misalnya mempergunakan nyasa atau pratima berupa
arca atau mantra.
Ketiga, tentang jnana yoga marga yakni jalan pengetahuan suci menuju Tuhan Yang Maha Esa,
ada dua pengetahuan yaitu jnana (ilmu pengetahuan) dan wijnana (serba tahu dalam penetahuan
itu).
Keempat, Raja Yoga Marga yakni mengajarkan tentang cara atau jalan yoga atau meditasi
(konsentrasi pikiran) untuk menuju Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Berikut sloka yang mendukung adanya perbedaan jalan dalam menuju tuhan;

Yo yo yām yām tanum bhaktah śraddhayārcitum icchati, tasya tasyācalām śraddhām tām eva
vidadhāmy aham (Bhagawadgita, 7:21)
Kepercayaan apapun yang ingin dipeluk seseorang,
Aku perlakukan mereka sama dan
Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih mantap

E yathā mām prapadyante tāms tathaiva bhajāmy aham, mama vartmānuvartante manusyāh
pārtha sarvaśah (Bhagawadgita, 4:11)
Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku, Aku memberinya anugerah setimpal.
Semua orang mencari-Ku dengan berbagai jalan, wahai putera Partha.

2.2 BAGIAN – BAGIAN CATUR MARGA YOGA

Catur marga terdiri dari empat bagian yaitu

1. Bhakti Marga (Sembahyang)

2. Karma marga (Berprilaku baik)

3. Jnana marga (Ilmu pengetahuan)

4. Raja Marga (Meditasi atau perernungan)

Setiap orang boleh memilih salah satu dari keempat jalan ini sesuai dengan situasi dan kondisi
masing-masing.
a. Bhakti Marga Yoga
Kata Bhakti berarti menyalurkan atau mencurahkan cinta yang tulus dan luhur kepada Tuhan,
kesetiaan kepadaNya, perhatian yang sungguh-sungguh untuk memujanya. Kata Marga berarti
jalan atau usaha, sehingga Bhakti Marga Yoga adalah jalan pengabdian kepada Ida Sang Hyang
Widhi melalui cinta kasih yang luhur dan mulia. Untuk memupuk sradha harus adanya rasa bhakti
dan kasih sayang terhadap Tuhan, dalam ajaran Agama Hindu dikenal 2 bentuk bhakti yaitu:

1) Aphara Bhakti, merupakan bhakti yang dilakukan melalui pemujaan atau persembahan
dengan berbagai permohonan. Dan permohonan itu wajar mengingat keterbatasan pengetahuan
kita. Namun, permohonan yang dimaksudkan itu wajar dan tidak berlebihan

2) Parabhakti, merupakan bhakti yang dilakukan melalui pemujaan atau persembahan dengan
rasa tulus iklas, menyerahkan diri sepenuhnya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Penyerahan
diri sepenuhnya kepadaNya bukanlah dalam pengertian pasif tidak mau melakukan aktivitas, tetapi
ia aktif dan dengan keyakinan bahwa bila bekerja dengan baik dan tulus niscaya akan memperoleh
pahala yang baik pula.

A. Dalam pustaka hindu, diuraikan beberapa jenis bentuk bhakti yang disebuta
“Bhavabhakti”, sebagai berikut:
1. Santabhava adalah sikap bhakti seperti bhakti atau hormat seorang anak terhadap ibu
dan bapaknya.
2. Sakyabhava adalah bentuk bhakti yang meyakini Hyang Widhi, manifestasiNya,
Istadewata sebagai sahabat yang sangat akrab dan selalu memberikan perlindungan dan
pertolongan pada saat yang diperlukan
3. Dasyabhava adalah bhakti atau pelayanan kepada Tuhan seperti sikap seorang hamba
kepada majikannya.
4. Vatsyabhava adalah sikap seorang penyembah atau memandan Tuhan seperti anaknya
sendiri.
5. Kantabhava adalah seorang penyembah atau bhakta seperti sikap seorang istri
terhadap suami tercinta.
6. Madhuryabhava adalah bentuk bhakti sebagai cinta yang amat mendalam dan tulus
dari seorang bhakta kepada Tuhan.
B. Gejala-gejala dari adanya Bhakti Marga adalah:

a. Kerinduan untuk bertemu kepada yang dipujanya

b. Keinginan untuk berkorban

c. Keingingan untuk menggambarkan

d. Melenyapkan rasa takut

e. Melahirkan rasa seni

f. Melahirkan rasa terharu

g. Melahirkan mitologi

Seseorang yang menjalani Bhakti Marga disebut Bhakta, sikapnya selalu merasa puas dalam
segala-galanya, baik dalam kelebihan dan kekurangan. Sikapnya yang tenang dan sabar
membawanya pada keseimbangan batin yang sempurna, seorang Bhakta akan selalu
mengembangkan sifat Catur Paramitha yaitu Maitri, Karuna, Mudita dan Upeksa. Selain itu,
seorang bhakta akan selalu membebaskan diri dari keangkuhan (ahamkara) dan tidak ada ikatan
sama sekali terhadap apapun karena seluruh kekuatannya dipakai untuk memusatkan pikiran
kepada Hyang Widhi.

C. Filosofi-filosofi Bhakti Marga Yoga

Pelaksanaan tri sandya dan yadnya sesa.


Jalan yang utama untuk memupuk perasaan bakti ialah rajin menyembah Tuhan dengan hati
yang tulus ikhlas dengan melaksanakan Tri Sandhya yaitu sembahyang tiga kali dalam sehari,
pagi, siang, dan sore hari serta melaksanakan yandnya sesa/ngejot setelah selesai memasak.
Dalam kehidupan sehari -hari sebagai upaya dalam mewujudkan rasa bhakti sekaligus
mendekatkan diri kehadapanya hendaknya melaksanakan puja tri sandya tersebut dengan tulus
dan iklas.

Pelaksanaan pada hari-hari keagamaan


Implementasi bhakti marga yoga juga dapat dilihat pada hari-hari keagaman hindu, seperti hari
saraswati, tumpek wariga dan tumpek uye. Hari saraswati adalah hari turunnya ilmu pengetahuan
dengan memuja dewi yang dilambangkan sebagai ilmu pengetahuan yaitu Dewi saraswati. Hari
saraswati ini jatuh pada hari Saniscara Umanis Watugunung dan diperingati setiap 210 hari. Pada
hari ini semua pustaka terutama Weda dan sastra-sastra agama dikumpulkan sebagai lambang
stana pemujaan Dewi Saraswati untuk diberikan suatu upacara. Menurut keterangan lontar
Sundarigama tentang Brata Saraswati, pemujaan Dewi Saraswati harus dilakukan pada pagi hari
atau tengah hari. Dari pagi sampai tengah hari tidak diperkenankan membaca dan menulis
terutama yang menyangkut ajaran Weda dan sastranya. Bagi yang melaksanakan Brata Saraswati
dengan penuh, tidak membaca dan menulis itu dilakukan selama 24 jam penuh. Sedangkan bagi
yang melaksanakan dengan biasa, setelah tengah hari dapat membaca dan menulis. Bahkan di
malam hari dianjurkan melakukan malam sastra dan sambang samadhi. Adapun simbol-simbol
Dewi saraswati sebagai dewi ilmu pengetahuan yaitu :
Sedangkan Tumpek Wariga merupakan upacara untuk menghormati keberadaan tumbuh-
tumbuhan sebagai mahluk hidup didunia atau dikenal dengan istilah “ngotonin sarwa entik-
entikan”. Sementara Tumpek Uye atau Tumpek Kandang upacara dalam menghormati
keberadaan hewan atau binatang yang hidup di dunia yang sering dikenal dengan istilah
“ngotonin sarwa ubuhan”. Keduanya jatuh tepat setiap 210 hari dalam perhitungan hindu. Dalam
konsep Tri Hita Karana penghormatan kehadapan ida sang hyang widhi wasa atas pengadaan
hewan dan tumbuhan ini dilakukan dengan tulus dan iklas. Dengan kata lain melaksanakan
upacara tumpek ini adalah realisasi dari konsep Tri Hita Karana alam kehidupan.Jika semua itu
sudah kita lakukan dengan rasa tulus dan iklas berarti kita telah melaksanakan ajaran bhakti
marga yoga.

Mengenai penerapan bhakti marga oleh umat Hindu seperti berikut ini :

1. Melaksanakan doa atau puja tri sandhya seçara rutin setiap hari;

2. Menghaturkan banten saiban atau jotan/ngejot atau yajnasesa;

3. Berbakti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa beserta semua manifestasi-Nya;

4. Berbakti kehadapan Leluhur;

5. Berbakti kehadapan para pahlawan pejuang bangsa;


6. Melaksanakan upacara dewa yajna (piodalan/puja wali, saraswati, pagerwesi, galungan,
kuningan, nyepi, siwaratri, purnama, tilem, tumpek landep, tumpek wariga, tumpek krulut,
tumpek wayang dan lain-lainnya);

7. Melaksanakan upacara manusia yajna (magedong-gedongan, dapetan, kepus puser,


macolongan, tigang sasihin, ngotonin, munggah deha, mapandes, mawiwaha, mawinten,
dan sebagainya);

8. Melaksanakan upacara bhuta yajna (masegeh, macaru, tawur, memelihara lingkungan,


memelihara hewan, melakukan penghijauan, melestarikan binatang langka, dan
sebagainya);

9. Melaksanakan upacara pitra yajna (bhakti kehadapan guru rupaka atau rerama, ngaben,
ngerorasin, maligia, mamukur, ngeluwer, berdana punya kepada orang tua, membuat orang
tua menjadi hidupnya bahagia dalam kehidupan di alam nyata ini, dan sebagainya);

10. Melaksanakan upacara resi yajna (upacara pariksa, upacara diksa, upacara ngelinggihang
veda), berdana punya pada sulinggih atau pandita, berguru pada orang suci, tirtha yatra ke
tempat suci bersama sulinggih atau pandita, berguru pada orang suci, sungkem (pranam)
pada sulinggih sebagai guru nabe, menerapkan ajaran tri rnam, dan sebagainya.

b. Jnana Marga Yoga


Sivanada (1993:133-134) menyatakan bahwa jñanayoga merupakan jalan pengetahuan. Moksa
(tujuan hidup tertinggi manusia berupa penyatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa) dicapai melalui
pengetahuan tentang Brahman (Tuhan Yang Maha Esa).

Pelepasan dicapai melalui realisasi identitas dari roh pribadi dengan roh tertinggi atau Brahman.
Penyebab ikatan dan penderitaan adalah avidya atau ketidaktahuan. Jiwa kecil, karena
ketidaktahuan secara bodoh menggambarkan dirinya terpisah dari Brahman. Avidya bertindak
sebagai tirai atau layer dan menyelubungi jiwa dari kebenaran yang sesungguhnya, yaitu bersifat
Tuhan. Pengetahuan tentang Brahman atau Brahmajñana membuka selubung ini dan membuat
jiwa bersandar pada Sat-Cit-Ananda Svarupa (sifat utamanya sebagai keberadaan kesadaran-
kebahagian mutlak) dirinya.
Jnana bukan hanya pengetahuan kecerdasan, mendengarkan atau membenarkan. Ia bukan hanya
persetujuan kecerdasan, tetapi realisasi langsung dari kesatuan atau penyatuan dengan yang
tertinggi yang merupakan paravidya. Keyakinan intelekual saja tak akan membawa seseorang
kepada Brahmajnana (pengetahuan dari yang mutlak).

a) Pelajar Jñanayoga pertama-tama melengkapi dirinya dengan tiga cara yaitu:

1. pembedaan (viveka),

2. ketidakterikatan (vairagya),

3. kebajikan, ada enam macam (sat-sampat), yaitu: (a) ketenangan (sama), (b) pengekangan
(dama), (c) penolakan (uparati), ketabahan (titiksa), (d) keyakinan (sraddha), (e)
konsentrasi (samadhana), dan (f) kerinduan yang sangat akan pembebasan (mumuksutva).

Selanjutnya ia mendengarkan kitab suci dengan duduk khusuk di depan tempat duduk (kaki
padma) seorang guruyang tidak saja menguasai kitab suci Veda (Srotriya), tetapi juga bagusp
dalam Brahman (Brahmanistha).

Selanjutnya para siswa melaksanakan perenungan, untuk mengusir segala keragu-raguan.


Kemudian melaksanakan meditasi yang mendalam kepada Brahman dan mencapai Brahma-
Satsakara. Ia seorang Jivanmukta (mencapai moksa, bersatu dengan-Nya dalam kehidupan ini).

b) tujuh tahapan dari Jñana atau pengetahuan, yaitu;

1. aspirasi pada kebenaran (subhecha),

2. pencarian filosofis (vicarana),

3. penghalusan pikiran (tanumanasi),

4. pencapaian sinar (sattwatti),

5. pemisahan batin (asamsakti),

6. penglihatan spiritual (padarthabhaw ana), dan

7. kebebasan tertinggi (turiya).


c) Filosofi-filosofi Jnana Marga Yoga

Ajaran brahmacari
adalah mengenai masa menuntut ilmu dengan tulus iklas. tugas pokok kita pada massa ini adalah
belajar dan belajar. Belajar dalam arti luas, yakni belajar dalam pengertian bukan hanya
membaca buku. Tetapi lebih mengacu pada ketulus iklasan dalam segala hal. Contohnya: rela
dan iklas jika dimarahi guru atau orang tua. Guru dan orang tua, jika memarahi pasti demi
kebaikan anak. Maha Rsi Wararuci dalam Kitab Sarassamuccaya, sloka 27 mengajari kita
memanfaatkan masa muda ini dengan sebaik-baiknya, yang beliau umpamakan seperti rumput
ilalang yang masih muda. Bahwa masa muda itu pikiran masih sangat tajam, hendaknya
digunakan untuk menuntut dharma, dan ilmu pengetahuan. Dengan tajamnya pikiran seorang
anak juga bisa me-yadnya-kan tenaga dan pikirannya itu.

Ajaran Aguron-guron
merupakan suatu ajaran mengenai proses hubungan guru dan murid . namun istilah dan proses
ini telah lama dilupakan karena sangat susah mendapatkan guru yang mempunyai kualifikasi
tertentu dan juga sangat sedikit orang menaruh perhatian dan minat terhadap hal ini. Maka untuk
memenuhi kualifikasi tertentu, hendaknya seorang guru mencari sekolah yang mempunyai
kurikulum yang membawa kesadaran kita melambung tinggi melampaui batas-batas senang dan
sedih, bahagia dan derita, lahir dan mati. Maka guru seperti itu pasti akan datang kepada kita.
Menuntun kita, menentukan arah tujuan kita, menunjukkan cara dan metodenya, menghibur dan
menyemangatinya. Jangan ragu, pasti akan ada guru yang datang kepada kita.

Ajaran Catur Guru


Berhasilnya seseorang menempuh jenjang pendidikan tertentu ( pendidikan tinggi yang
berkualitas) tidak akan mungkin bila kita tidak memiliki rasa bhakti kepada Catur Guru. Mereka
yang melaksanakan ajaran Guru Bhakti sejak dini (anak-anak), mereka pada umumnya memiliki
disiplin diri dan percaya diri yang mantap pula. Dengan disiplin diri dan percaya diri yang
mantap, tidak saja akan sukses dalam bidang akademik, tetapi juga dalam berbagai aspek
kehidupan. Di sinilah kita melihat ajaran Catur Guru Bhakti senantiasa relevan sepanjang masa,
sesuai dengan sifat agama Hindu yang Sanatana Dharma . Aktualisasi ajaran Guru Bhakti atau
rasa bhakti kepada Catur Guru dapat dikembangkan dalam situasi apapun, sebab hakekat dari
ajaran ini adalah untuk pendidikan diri, utamanya adalah pendidikan disiplin, patuh dan taat
kepada sang Catur Guru dalam arti yang seluas-luasnya.

Beberapa model atau bentuk nyata dan penerapan jnana marga berikut ini :

1. Menerapkan ajaran aguron-guron;

2. Menerapkan ajaran guru dan sisya;

3. Menerapkan ajaran guru bhakti;

4. Menerapkan ajaran guru susrusa;

5. Menerapkan ajaran brahmacari dan ajaran catur guru;

6. Menerapkan ajaran sisya sasana;

7. Menerapkan ajaran resi sasana;

8. Menerapkan ajaran putra sasana;

9. Menerapkan ajaran guru nabe, guru waktra, guru saksi;

10. Menerapkan ajaran catur asrama; dan

11. Menerapkan ajaran dalam wrati sasana, slokantara, sila krama, dan ajaran agama Hindu
yang bersumber pada Veda dan susastra Hindu lainnya.

c. Karma Marga Yoga


Secara alamiah tidak seorangpun di dunia ini yang mampu menghidar dari aktivitas kerja, karena
kerja/actian adalah salah satu ciri mahluk hidup, manusia merupakan salah satu mahluk hidup. Dia
hidup karena dia bergerak, jantungnya berdetak, darahnya mengalir, pencernaannya beraktivitas
normal, semua organ tubuh bergetar normal.

Karma berarti kerja. Jalan Karma artinya adalah Jalan menuju Hyang Widdhi Wasa dengan
menggunakan sarana Kerja (Action) yang tulus ikhlas tanpa pamrih.
Yoga ini merupakan penolakan terhadap buah perbuatan. Karmayoga mengajarkan bagaimana
bekerja demi untuk kerja itu, yaitu tiadanya keterikatan. Demikian juga bagaimana menggunakan
tenaga untuk keuntungan yang terbaik. Bagi seorang Karmayogin, kerja adalah pemujaan,
sehingga setiap pekerjaan dialihkan menjadi suatu pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Seorang Karmayogin tidak terikat oleh karma (hukum sebab akibat), karena ia mempersembahkan
buah perbuatannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Menurut kitab suci Bhagavad Gita kerja adalah SUATU KWAJIBAN.

“Nahi kascity ksanam api jatu tisthaty akarmakrit, karyate hy awasah karma sarwah
prakritijair gunaih. “ (Bhagawadgita III.5)
Artinya : Walau sesaat jua tidak seorangpun untuk tidak berbuat karena manusia dibuat tidak
berdaya oleh hukum alam yang memaksanya bertindak.

“Niyatam kuru karma twam karma jyayo hy akarmanah, sarirayatra pi ca te na prasidhyed


akarmanah.” (Bhagawadgita III.8)
Artinya : Bekerjalah seperti apa yang telah ditentukan, sebab berbuat lebih baik dari pada tidak
berbuat, dan bahkan tubuhpun tidak akan berhasil dipelihara tanpa bekerja.
Tidak ada manusia yang bisa menghindar dari hukum kerja itu bahkan ketika tidurpun tanpa
disadari jantung tetap berdetak, darah tetap mengalir, dan nafas terus berhembus. Hyang Widhi -
pun setiap detik bekerja tiada henti seperti menggerakkan benda-benda angkasa, menumbuhkan-
memelihara-memusnahkan kehidupan mahluk-mahluk, menghembuskan angin, meriakkan
gelombang laut dll.

“Yadi hy aham na warteyam, jatu karmany atandritah, mama wartna nuwartante, mansyah
partha sawarsah. Utsideyur ime loka, na kuryam karma ced aham, samskarasya ce karta syam
upahanyam imah prajah.” (Bhagawadgita III.223.24 )
Artinya : Sebab kalau Aku tidak selalu bekerja tanpa henti-henti, manusia tidak akan mengikuti
jalan-Ku itu, dalam segala bidang apapun juga. Dunia ini akan hancur bila Aku tidak bekerja;
Aku menjadi pencipta kekacauan, memusnahkan semua manusia.

Penjelasan tentang setiap pekerjaan dilaksanakan sebagai wujud bhakti kepada Tuhan Yang Maha
Esa dijelaskan dalam Bhagavadgita IX.27-28 sebagai berikut.
“Wahai Arjuna, apa pun yang engkau kerjakan, apapun yang engkau makan, apapun yang engkau
persembahkan, dan engkau amalkan, juga disiplin diri apa pun yang engkau laksanakan.
Lakukanlah semuanya itu hanya sebagai bentuk bhakti kepada Aku. Dengan demikian engkau
akan terbebas dari ikatan kerja atau perbuatan yang menghasilkan pahala baik atau buruk. Dengan
pikiran terkendali, engkau akan terbebas dan mencapai Aku”

a)DALAM KITAB BHAGAVADGITA (III.19,30) juga mengamanatkan sebagai berikut.


Laksanakanlah kerja yang engkau lakukan tanpa pamrih……………… Serahkanlah seluruh
perbuatanmu kepada-Ku……………. bebaskan dirimu dari kerinduan dan kepentingan itu,
berjuanglah jangan hiraukan kesedihan.

Setiap kerja menambahkan satu mata rantai terhadap ikatan samsara dan membawa pada
pengulangan kelahiran. Ini merupakan hukum karma yang pasti. Tetapi, melalui pelaksanaan
Karmayoga, akibat karma dapat dihapus, dan karma menjadi mandul. Pekerjaan yang sama,
apabila dilakukan dengan sikap mental yang benar, semagat yang benar, kehendak yang benar
melalui yoga, tanpa keterikatan dan pengharapan terhadap buahnya, dengan pikiran yang seimbang
dalam keberhasilan maupun kegagalan. Tidak ada menambahkan mata rantai terhadap belenggu
samsara tersebut. Sebaliknya, memurnikan hati dan membantu untuk mencapai pembebasan
melalui turunnya penerangan Tuhan Yang Maha Esa atau merekahnya fajar kebijaksanaan.

Dengan demikian bila seseorang tidak bekerja dia akan dilindas oleh arus perputaran dunia dan
menderita akibatnya. Penderitaan itulah yang menghancurkan hidupnya. Manusia sebagai
Bhuwana alit dan Hyang Widhi sebagai Bhuwana agung dapat diumpamakan sebagai setitik air
dalam sungai. Titik air itu mengikuti dan menyatu dengan sungai, sehingga manusiapun mengikuti
dan menyatu dengan Hyang Widhi, khususnya dalam bekerja. Untuk itu Hyang Widhi
menciptakan hukum Karma bagi manusia dan hukum Rta bagi alam semesta.
Contoh hukum Karma: seseorang bekerja sebagai karyawan, maka setiap bulan ia menerima gaji.
Contoh hukum Rta: karena bumi beredar mengelilingi matahari maka terjadilah hari siang dan
malam di bumi.

1) BEKERJA KARENA PIKIRAN.

Pikiran adalah sumber motivasi bekerja, maka ia menentukan hasil suka dan duka dalam karma.
Kerja yang dilandasi oleh pikiran mulia akan membuahkan karma yang mulia, sedangkan kerja
yang dilandasi pikiran hina akan membuahkan karma yang hina pula. Karma yang mulia menuntun
manusia pada kehidupan yang moksartham jagadhita sedangkan karma yang hina membawa
manusia ke neraka.
2) BEKERJA UNTUK KEPENTINGAN MASYARAKAT DAN DIRI SENDIRI.
Pola pikiran manusia dizaman purba mula-mula bekerja untuk kepentingan diri sendiri.
Lama kelamaan manusia sadar bahwa ia tidak dapat hidup tanpa bantuan atau jasa
manusia lain sehingga mendorongnya bermasyarakat. Kini manusia bekerja untuk
masyarakat kemudian dirinya menikmati hasil kerjanya itu berupa karma.
Dalam keseharian kita mengenal perkatan : saya, yang berasal dari perkataan sahaya,
artinya “pengabdi”.
Di Bali orang menyebut dirinya “titiang” berasal dari “titah Hyang (Widhi)” artinya
perintah Tuhan.
Di Jawa orang menyebut dirinya “Kulo” asal kata “kaula” (pengabdi).
Di Jawa Barat orang menyebut dirinya “abdi” (juga pengabdi).
Pengertian lebih luas adalah pernyataan bahwa saya adalah hamba yang melaksanakan
perintah Hyang Widhi untuk mengabdi pada kepentingan Bhuwana Agung termasuk
manusia.
3) MENCINTAI PEKERJAAN.

Manusia yang bekerja disayang Hyang Widhi. Makin rajin dan jujur ia bekerja maka Hyang
Widhi semakin kasih sayang kepadanya, sehingga pahala dari karmanyapun berlimpah.
Manusia dapat rajin bekerja dan berhasil baik jika ia mencintai pekerjaannya. Mencintai
pekerjaan adalah sama dengan mencintai Hyang Widhi. Mereka yang yakin bahwa bekerja
baik adalah perintah Hyang Widhi, maka ia akan sedih dan malu bilamana hasil
pekerjaannya tidak baik atau bahkan merugikan masyarakat secara langsung atau tidak
langsung.

4) TRIGUNA DALAM BEKERJA.

Triguna: Satwam, Rajas, Tamas adalah tiga serangkai yang tidak dapat dipisahkan dalam
melakukan pekerjaan agar berhasil baik.

1. Pikiran-pikiran satwam adalah pikiran yang sesuai dengan ajaran agama Hindu menjadi
dasar utama motivasi bekerja.

2. Kemudian semangat yang tinggi mengerahkan daya pikir dan physik menunaikan
pekerjaan sebaik-baiknya disebut sebagai Rajas.
3. Namun demikian manusia membutuhkan istirahat pikiran dan physik misalnya bersantai
dan tidur yang disebut Tamas.

Perimbangan antara satwam, rajas, dan tamas hendaknya diatur berdasarkan kebijaksanaan
masing-masing orang. Kepandaian mengatur keseimbangan inilah yang menentukan keberhasilan
seseorang dalam bekerja. Dengan kata lain Triguna adalah alat untuk mencapai hasil kerja.

5) KARMA PHALA.
Karma adalah perbuatan dan phala adalah hasil; jadi karma phala artinya hasil dari
perbuatan. Ini adalah hukum Hyang Widhi, termasuk dalam Pancasrada dan Trikaya
Parisuda. Hukum ini bersifat universal berlaku bagi setiap umat manusia di dunia.
Hasil pekerjaan berdampak secara nyata (skala) dan tidak nyata (niskala). Wujud nyata
banyak berkaitan dengan keduniawian sedangkan wujud tidak nyata berupa
ketentraman bathin.

Ditinjau dari waktu saat berbuat dengan waktu menerima hasil perbuatan karma phala dibedakan
menjadi tiga yaitu :

1. Prarabda karma phala, yaitu karma yang dilakukan semasa hidup dan pahalanya
diterima pula semasa hidup ini.

2. Kryamana karma phala, yaitu karma yang dilakukan semasa hidup dan pahalanya
diterima di nirwana.

3. Sancita karma phala, yaitu karma yang dilakukan semasa hidup dan pahalanya diterima
pada reinkarnasi berikutnya.

Oleh karena itu bekerjalah sebaik-baiknya agar memperoleh karma phala yang baik. Kehidupan di
dunia ini singkat, maka jangan sia-siakan waktu dengan tidak bekerja atau bekerja dengan hasil
yang tidak baik.

6) CATUR PURUSA ARTHA.


Bekerja dengan baik adalah bekerja sesuai dengan norma-norma Agama, Susila dan
Hukum. Ketiganya terangkum dalam ajaran Catur Purusa Artha yaitu :

1. Dharma: bekerja mengutamakan kepentingan masyarakat sesuai dengan ajaran agama.


2. Artha: pahala dari karma berupa benda-benda keduniawian.

3. Kama: pemenuhan kebutuhan hidup: sandang, pangan, perumahan dan kebutuhan physik
lainnya seperti hiburan yang sehat.

4. Moksa: kebahagiaan hidup lahir dan bathin yang menjadi tujuan kehidupan utama.

Catur purusa artha ini urut-urutannya tidak boleh ditukar, misalnya lebih dahulu mengejar artha
barulah menuju dharma. Bila demikian halnya maka dapat saja manusia bekerja tanpa pedoman
moral yang bersumber dari ajaran Agama, hal mana akan menyeret manusia kelembah
penderitaan.

b) Filosofi-filosofi Karma Marga Yoga

Ngayah dan Matatulungan


Ngayah merupakan suatu istilah yang ada di bali yang identik dengan gotong royong. Ngayah ini
bisa dilakukan di pura-pura dalam hal upacara keagamaan, seperti odalan-odalan/karya.
Sedangkan matatulungan ini bisa dilakukan terhadap antar manuasia yang mengadakan upacara
keagamaan pula, seperti upacara pawiwahan, mecaru dan lain sebagainya. Sesuai dengan ajaran
karma yoga, maka hendaknya ngayah atau matatulungan ini dilakukan secara iklas tanpa ada
ikatan apapun. Sehingga apa yang kita lakukan bisa memberikan suari manfaat.

Mekarme sane melah


Berbuat yang baik atau mekarma sane melah hendaknya selalu kita lakukan. Dalam dalam agama
hindu ada slogan mengatakan“Rame ing gawe sepi ing pamrih”, slogan itu begitu melekat pada
diri kita sebagai orang Hindu. Banyaklah berbuat baik tanpa pernah berpikir dan berharap suatu
balasan. Niscaya dengan begitu kita akan selalu mendapat karuniaNya tanpa pernah terpikirkan
dan kita sadari. Untuk melaksanakan slogan itu dalam kehidupan sehari-hari, tidaklah mudah
untuk memulainya. Sebagai makhluk ciptaan Brahman, sepantasnya kita menyadari bahwa
sebagian dari hidup kita adalah untuk melayani. Ber-karma baik itu adalah suatu pelayanan. Kita
akan ikut berbahagia bila bisa menyenangkan orang lain. Hal ini tentu dibatasi oleh perbuatan
Dharma. Slogan “Tat Twam Asi” adalah salah satu dasar untuk ber-Karma Baik. Engkau adalah
Aku, Itu adalah Kamu juga. Suatu slogan yang sangat sederhana untuk diucapkan, tapi memiliki
arti yang sangat mendalam, baik dalam arti pada kehidupan sosial umat dan juga sebagai diri
sendiri/individu yang memiliki pertanggungjawaban karma langsung kepada Brahman.

Ajaran Karmapahala
Karma phala merupakan hasil dari suatu perbuatan yang dilakukan. Kita percaya bahwa
perbuatan yang baik (subha karma) membawa hasil yang baik dan perbuatan yang buruk (asubha
karma) membawa hasil yang buruk. Jadi seseorang yang berbuat baik pasti baik pula yang akan
diterimanya, demikian pula sebaliknya yang berbuat buruk, buruk pula yang akan diterimanya.
Karmaphala memberi keyakinan kepada kita untuk mengarahkan segala tingkah laku kita agar
selalu berdasarkan etika dan cara yang baik guna mencapai cita- cita yang luhur dan selalu
menghindari jalan dan tujuan yang buruk. Karmaphala mengantarkan roh (atma) masuk Surga
atau masuk neraka. Bila dalam hidupnya selalu berkarma baik maka pahala yang didapat adalah
Surga, sebaliknya bila hidupnya itu selalu berkarma buruk maka hukuman nerakalah yang
diterimanya. Dalam pustaka- pustaka dan ceritera- ceritera keagamaan dijelaskan bahwa Surga
artinya alam atas, alam suksma, alam kebahagiaan, alam yang serba indah dan serba
mengenakkan. Neraka adalah alam hukuman, tempat roh atau atma mendapat siksaan sebagai
hasil dan perbuatan buruk selama masa hidupnya. Selesai menikmati Surga atau neraka, roh atau
atma akan mendapatkan kesempatan mengalami penjelmaan kembali sebagai karya penebusan
dalam usaha menuju Moksa.

Mengenai penerapan karma marga oleh umat Hindu seperti berikut ini :

1. Menerapkan filosofi ngayah;

2. Menerapkan filosofi matulungan;

3. Menerapkan filosofi manyama braya;

4. Menerapkan filosofl paras-paros sarpanaya salunglung sabayantaka;

5. Menerapkan filosofi suka dan duka;

6. Menerapkan filosofi agawe sukaning wong len;

7. Menerapkan filosofi utsaha ta larapana;

8. Menerapkan filosofi makarya;


9. Menerapkan filosofi makarma sane melah;

10. Menerapkan filosofi ala kalawan ayu;

11. Menerapkan filosofi karma phala;

12. Menerapkan filosofi catur paramita;

13. Menerapkan filosofi tri guna;

14. Menerapkan filosofi trikaya parisudha; dan

15. Menerapkan filosofi yama niyama brata dan berbagai ajaran agama Hindu.

d. Raja Marga
Dalam kehidupan nyata pelaksanaan Catur Marga menurut penulis yang paling sulit adalah Raja
Marga. Karna Raja Marga menyatakan bahwa menggunakan pikiran sebagai alat . Sehingga
memunculkan pertanyaan bagaimana sesungguhnya pelaksanaan ajaran Raja Marga dalam hal
mengantarkan kita menuju tujuan akhir dari kehidupan.

Rajayoga adalah jalan yang membawa penyatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa, melalui
pengekangan diri dan pengendalian diri dan pengendalian pikiran.
Raja Marga menggunakan pikiran sebagai alat oleh karna itu pengenalan terhadap pikiran itu
sangat penting. Berhasil atau tidaknya tergantung dari berhasil atau tidaknya kita mengendalikan
/mengalahkan pikiran.
Rajayoga mengajarkan bagaimana mengendalikan indria-indria dan vritti mental atau gejolak
pikiran yang muncul dari pikiran melalui tapa, brata, yoga dan semadhi.

Dalam Hathayoga terdapat disiplin fisik, sedangkan dalam Rajayoga terdapat disiplin pikiran.
Melakukan raja marga yoga hendaknya dilakukan secara bertahap melalui astangga yoga yaitu
delapan tahapan yoga, yang meliputi Yama, Niyama, Asana, Pranayama, Pratyahara, Dharana,
Dhyana, dan Samadhi.

Seseorang yang melaksanakan ajaran raja marga yoga disebut dengan sebutan Yogi. Yogi
berkonsentrasi pada cakra-cakra, pikiran, matahari, bintang, unsur-unsur alam semesta dan
sebagainya dan mencapai pengetahuan supra manusia dan memperoleh penguasaan atas unsur-
unsur tersebut. Daya konsentrasi hanya kunci untuk membuka rumah tempat penyimpanan
kekayaan pengetahuan. Konsentrasi tak dapat muncul dalam waktu seminggu atau sebulan, karena
ia memerlukan waktu. Pengaturan dalam melaksanakan konsentrasi merupakan kepentingan yang
utama. Brahmacarya, tempat yang dingin dan sesuai, pergaulan dengan orang-orang suci
(satsanga) dan sattvika merupakan alat bantu dalam konsentrasi.

Konsentrasi dan meditasi menuntun menuju Samadhi atau pengalaman supra sadar, yang memiliki
beberapa tingkatan pendakian, disertai atau tidak disertai dengan pertimbangan (vitarka), analisa
(vicara), kebahagiaan (ananda), dan kesadaran diri (asmita). Demikian, kailvaya atau kemerdekaan
tertinggi dicapai.

Untuk bisa mengalah pikiran pertama-tama kita harus tahu medannya. Apa sebenarnya pikiran itu,
bagaimana sifatnya dan apa fungsinya. Setelah itu baru kita menyususn strategi bagaimana taktik
untuk mengendalikan dan apa sarana yang bisa digunakan untuk menundukkan.

Sebelum kita menguraikan satu persatu dari rahasia pengendalian pikiran ini barangkali akan lebih
baik diketahui lebih dahulu cara yang ditempuh Raja Marga dalam prakteknya mencapai tujuan
menunggalnya Atman dengan Arahman. Di Indonesia Raja Marga itu dikenal dengan istilah
meditasi, retreat atau samadi. Adapun hal-hal dan cara dalam melakukan mediatasi adalah seperti
dijelaskan di bawah ini.

a) Konsentrasi dan Pemusatan Pikiran


Ada dua arah yang biasa ditempuh para yogi di dalam melaksanakan pemusatan pikiran yaitu :

1). Pemusatan pikiran kepada Tuhan yang berada di luar diri sendiri
Tuhan berada pada diri kita sehingga kita dapat memusatkan pikiran pada diri sendiri tetapi sangat
sulit sehingga diperlukan obyek di luar dirinya sebagai simbol dirinya. Caranya dalam melatih
pikiran agar terpusat sebutlah nama Uthan berlulang-ulang dan bayangkan dalam wujud paling
disukai. Nama Tuhan itu sendiri adalah mantra, mantra itu selalu murini dan selalu aktif. Apapun
nama Tuhan yang paling disukai misalnya Shanghyang Widhi, Siwa, Wisnu, Batara Guru dan
sebagainya.

2). Pemusatan pikiran kepada Tuhan yang berada di dalam diri sendiri
Sebagian dari para yogi menempuh jalan sebaliknya Tuhan dicari di dalam dirinya sendiri. Rumah
Tuhan atau Pura adalah badan kita sendiri. Di dalam Upanisad disebutkan bahwa di dalam diri kita
bertahta Atma dan Parama Atma dilukiskan seperti dua ekor burung yang bertengger pada sebuah
dahan. Yang satu dari padanya aktif menikmati buah yang ada di dahan itu sedangkan yang lain
hanya menonton menyaksikan apa yang dilakukan oleh temannya. Tetapi kedua burung itu adalah
burung yang sama. Ciri dari pemusatan pikiran yang berada di dalam diri adalah menyendiri,
menyepi dan tahan godaan. Sehingga pelaksanaannya sangat sulit dan berbahaya maka diperlukan
guru sebagai penuntun.

b) Dasar-dasar yang diperlukan dalam pemusatan pikiran


Baik untuk pemusatan pikiran keluar maupun kedalam, diperlukan beberapa dasar yang melatar
belakangi pikiran, agar jangan pemusatan pikiran itu menimbulkan akibat negatif. Baik kepada
diri sendiri ataupun orang lain. Adapun beberapa dasar yang diperlukan tersebut adalah :

1. Kesucian pikiran baik lahir dan batin

2. Kesabaran berlatih dengan penuh disiplin serta mematuhi ketentuan dan aturan yang
diperlukan

3. Memiliki kepuasan batin

4. Memiliki kemampuan untuk mengendalikan pikiran.

c)Pemusatan pikiran tanpa kesucian bisa membahayakan


Jika sarat kesucian tidak dipenuhi maka tidak dapat dikatakan meditasi itu meditasi yang benar.
Bahayanya besar sekali baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Orang yang biasa
memusatkan pikiran sama dengan orang yang memiliki sebuah senjata atau pisau. Pisau bisa
berguna untuk membuat kebaikan dan juga bisa membahayakan kalau digunakan untuk
membunuh orang.
Pemusatan pikiran atau konsentrasi yang didasari oleh nafsu orang mendorong untuk bermeditasi
agar mendapatkan kepuasaan, pangkat dan kesaktian. Hasil kesaktian yang mereka peroleh
dipergunakan untuk hal-hal yang tidak baik.

Dari keempat jalan tersebut semuanya adalah sama, tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih
rendah, semuanya baik dan utama tergantung pada kepribadian, watak dan kesanggupan manusia
untuk melaksanakannya.
Implementasi Ajaran Catur Marga Yoga dalam Kehidupan Masyarakat Hindu.

Penerapan catur marga oleh umat Hindu sesungguhnya telah diterapkan secara rutin dalam
kehidupannya sehari-hari, termasuk juga oleh umat Hindu yang tinggal di Bali maupun oleh umat
Hindu yang tinggal di luar Bali. Banyak cara dan banyak pula jalan yang bisa ditempuh untuk
dapat menerapkannya. Sesuai dengan ajaran catur marga bahwa penerapannya disesuaikan dengan
kondisi atau keadaan setempat yang berdasarkan atas tradisi, sima, adat-istiadat, drsta, ataupun
yang lebih dikenal di Bali yakni desa kala patra atau desa mawa cara.

Inti dan penerapan dan Catur Marga adalah untuk memantapkan mengenai hidup dan kehidupan
umat manusia di alam semesta ini, terutama untuk peningkatan, pencerahan, serta memantapkan
keyakinan atau kepercayaan (sraddha) dan pengabdian (bhakti) terhadap Tuhan Yang Maha Esa
atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan memahami dan menerapkan ajaran catur marga, maka
diharapkan segenap umat Hindu dapat menjadi umat Hindu yang berkualitas, bertanggung jawab,
memiliki loyalitas, memiliki dedikasi, memiliki jati diri yang mulia, menjadi umat yang pantas
diteladani oleh umat manusia yang lainnya, menjadi umat yang memiliki integritas tinggi terhadap
kehidupan secara lahir dan batin, dan harapan mulia lainnya guna tercapai kehidupan yang damai,
rukun, tenteram, sejahtera, bahagia, dan sebagainya. Jadi dengan penerapan dan ajaran catur marga
diharapkan agar kehidupan umat Hindu dan umat manusia pada umumnya menjadi mantap dalam
berke-sraddha-an dan berke-bhakti-an kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, serta dapat
diharmoniskan dengan kehidupan nyata dengan sesama manusia, semua ciptaan Tuhan, dan
lingkungan yang damai dan serasi di sekitar kehidupan masing-masing

Tidak ada orang yang menjalankan catur marga itu sendiri-sendiri atau terpisah-pisah, karena satu
sama lainnya berkaitan. Perincian menjadi empat itu hanyalah untuk mengukur dan memilih
‘bobot’ jalan yang mana yang bisa diutamakan, sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Misalnya seorang yang kurang pengetahuan agama-nya, mungkin dengan mengutamakan bhakti
marga dan karma marga saja, ditambah pengetahuan minim (misalnya) rajin melakukan trisandya
(termasuk jnyana marga) dan asana (termasuk yoga marga). Bobotnya adalah bhakti marga.

Tetapi seorang wiku tentu bobotnya pada jnyana marga dan yoga marga, walaupun bhakti marga
yang menjadi dasar dan karma marga tidak juga ditinggalkan.
d) Filosofi-filosofi Raja Marga Yoga

Ajaran Astangga Yoga


Astangga yoga merupakan delapan anggota dari raja yoga yang terdiri dari Yama, Niyama,
Asana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana, dan Samadhi adalah delapan anggota (anga)
dari Rajayoga iyama membentuk disiplin etika yang memurnikan hati.

Yama terdiri atas,

1. Ahimsa (tanpa kekerasan),

2. Satya (kejujuran),

3. Brahmacarya (selibat),

4. Asteya (tidak mencuri), dan

5. Aparigraha (tidak menerima pemberian kemewahan). Semua kebajikan berakar pada


Ahimsa.

Niyama adalah kepatuhan, dan tersusun atas:

1. Sauca (permurnian dalam dan luar),

2. Santosa (kepuasan jiwa),

3. Tapas (kesederhanaan/pengendalian diri),

4. Svadhyaya (belajar kitab suci dan pengucaran mantra) dan

5. Isvarapranidhana (berserah diri pada Tuhan Yang Maha Esa).

Mereka yang bagus dalam Yama dan Niyama akan cepat maju dalam melaksanakan Yoga pada
umumnya. Dengan Yama dan Niyama seseorang dapat mewujudkan Cittasuddhi atau Atmasuddhi
(kesucian hati).

Asana, Pranayama dan Pratyahara merupakan perlengkapan pendahuluan dari Yoga.


1. Asana adalah sikap badan yang benar.

2. Pranayama adalah pengaturan napas, yang menghasilkan ketenangan dan kemantapaan


pikiran serta kesehatan yang baik.

3. Pratyahara adalah penarikan indria-indria dari objek-objeknya. Seseorang harus


melakukan Pratyahara untuk dapat melihat di dalam batin dan memiliki kemusatan pikiran.

4. Dharana adalah konsentrasi pikiran pada suatu objek atau cakra dalam Istadevata.

5. Dhyana, atau meditasi pengaliran yang tak henti-hentinya dari pemikiran satu objek, yang
nantinya membawa kepada keadaan Samadhi, saat seperti itu yang bermeditasi dan yang
dimeditasikan menjadi satu. Semua vritti yakni gejolak pikiran mengendap. Pikiran
kehilangan fungsinya. Segala samskara, kesan-kesan dan vasana (kecenderungan dan
pikiran halus) terbakar sepenuhnya dan Yogi (pelaksana Yoga)terbebas dari kelahiran dan
kematian. Ia mencapai kaivalya atau pembebasan akhir (kemerdekaan mutlak)

Pelaksanaan Hari Raya Nyepi, pada hakekatnya merupakan penyucian bhuwana agung dan
bhuwana alit (makro dan mikrokosmos) untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir
bathin (jagadhita dan moksa) terbinanya kehidupan yang berlandaskan satyam (kebenaran), sivam
(kesucian), dan sundaram (keharmonisan/keindahan).

Dalam penerapan yoga marga oleh umat Hindu, realitanya seperti berikut :

1. Melaksanakan introspeksi atau pengendalian diri;

2. Menerapkan ajaran tapa, brata, yoga dan samadhi;

3. Menerapkan ajaran astangga yoga;

4. Melakukan kerja sama atau relasi yang baik dan terpuji dengan sesama;

5. Menjalin hubungan kemitraan secara terhormat dengan rekanan, lingkungan, dan semua
ciptaan Tuhan di alam semesta ini;

6. Membangun pasraman atau paguyuban untuk praktek yoga;

7. Mengelola ashram yang bergerak di bidang pendidikan rohani, agama, spiritual, dan upaya
pencerahan diri lahir batin;
8. Menerapkan filosofi mulat sarira;

9. Menerapkan filosofi ngedetin/ngeret indriya;

10. Menerapkan filosfi mauna;

11. Menerapkan filosofi upawasa;

12. Menerapkan filosofi catur brata panyepian, dan

13. Menerapkan filosofi tapasya, pangastawa, dan menerapkan ajaran agama Hindu dengan
baik dan benar menuju keluhuran diri sebagai mahluk sosial dan religius.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Keempat marga itu dilaksanakan bersama-sama, namun pemilihan mana yang utama tergantung
dari kemampuan individu. Inilah salah satu contoh ‘kebesaran Agama Hindu’ yang
membedakannya dengan agama-agama lain yang dogmatis.

Pilihan menggunakan para atau apara bhakti tergantung dari tingkat inteligensi dan kesadaran
rohani masing-masing. Yang ditemukan di masyarakat Hindu Indonesia dewasa ini adalah mix
para dan apara bhakti, namun bobotnya berbeda. Umat Hindu di Bali banyak menggunakan apara
bhakti, sedangkan umat Hindu diluar Bali banyak menggunakan para bhakti.
Kenapa demikian ?
Apakah itu berarti umat Hindu di Bali inteligensi dan kesadaran rohaninya kurang ?
Tidak selalu demikian. Ada umat Hindu di Bali yang inteligensi dan kesadaran rohaninya tinggi
tetapi dibelenggu oleh tradisi beragama yang monoton dan feodalistis, sehingga menampakkan
diri sebagai apara bhakti. Sebaliknya umat Hindu diluar Bali lebih moderat, demokrat, rasional
dan reformis, sehingga memudahkan mereka mencapai para bhakti.
Mengupayakan umat Hindu di Bali menjadi sebagian besar para bhakta tidaklah semudah
membalikkan telapak tangan karena bottle-neck yang menghadang ya itu tadi: tradisi beragama
dan feodalisme. Itulah sedikit ulasan kasus tentang para dan apara bhakti

Catur marga yoga ini merupakan salah satu cara atau jalan terbaik untuk mendekatkan diri
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Oleh karena itu, kita sebagai umat hindu hendaknya
melaksanakan ajaran catur marga yoga dengan hati yang iklas, sehingga kualitas kehidupan kita
akan lebih meningkat dan cenderung kea arah yang lebih baik untuk menuju jalan kebenaran.

Manusia tidak bisa memilih dimana kita dilahirkan. jadi kalau dilahirkan di keluarga Kristiani
maka dipastikan anak tersebut akan tumbuh dan besar menjadi orang Kristen. Kalau dilahirkan
pada keluarga Yahudi maka dipastikan akan menjadi orang Yahudi. Sedangkan kalau dilahirkan
di pedalam an Afrika, dilahirkan pada keluarga pemeluk animisme penyembah patung berhala
maka dipastikan sampai matipun kita akan menjadi pemuja berhala. Jadi dengan konsep catur
marga yoga diatas maka semua ajaran dianggap sama.

3.2 SARAN

Demikian paparan kecil ini dapat disajikan, semoga bermanfaat bagi umat sedharma sekalian. Mari
kita terapkan ajaran catur marga dengan baik dan benar dalam kehidupan perseorangan maupun
kehidupan bersama-sama dalam masyarakat yang multikultural dan multi etnis di jagat raya ini.
Jauhkan perilaku apatis, primordial, partial, dan egoisme dalam tatanan kehidupan yang multi
dimensi di era multi iptek.
an Afrika, dilahirkan pada keluarga pemeluk animisme penyembah patung berhala maka
dipastikan sampai matipun kita akan menjadi pemuja berhala. Jadi dengan konsep catur marga
yoga diatas maka semua ajaran dianggap sama.
DAFTAR PUSTAKA
http://bigsmiled.blogspot.co.id/2012/06/4-jalan-mencari-tuhan-agama-berasal.html

Вам также может понравиться