Вы находитесь на странице: 1из 12

AKTUALISASI HUKUM ISLAM DI BIDANG PERKAWINAN DAN

WARISAN

ARTIKEL

Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah


Hukum Islam
Yang Dibina Oleh Bapak Dr. A. Rosyid Al Atok, M.Pd., M.H

OLEH

APRILIA SANI SEPTIASIH 170711636008


ATIKA NURUL IFTITAH 170711636163
BIMO BRAMANTYO 170711636147
WAHYU NURCAHYO 170711636096
WULANDARI 170711636098

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN
PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN PANCASILA DAN
KEWARGANEGARAAN
SEPTEMBER 2018
AKTUALISASI HUKUM ISLAM DI BIDANG PERKAWINAN DAN
WARISAN

Wulandari
Aprilia Sani Septiasih
Atika Nurul Iftitah
Bimo Bramantyo
Wahyu Nurcahyo
Surel: dariw7141@gmail.com
Universitas Negeri Malang Jalan Semarang Nomor 5

Abstrak
Pada artikel ilmiah ini disajikan informasi mengenai aktualisasi
hukum islam di bidang perkawinan dan warisan. Dimana
hukum Islam disini mencerminkan seperangkat norma Ilahi
yang mengatur tata hubungan manusia dengan Allah, hubungan
manusia dengan manusia lainnya dalam kehidupan sosial
hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan
hidupnya. Ciri khas hukum Islam, yakni mempunyai hubungan
yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari iman atau kaidah dan
kesusilaan atau ahlak islam, berlaku abadi dan tidak terbatas
pada umat Islam di suatu tempat atau negara pada suatu masa,
menghormati harkat dan martabat manusia sebagai kesatuan
jiwa dan raga, jasmani dan rohani, serta memuliakan manusia
dan kemanusiaan secara keseluruhan.
Kata Kunci: perkawinan, warisan, hukum islam.

Eksistensi hukum Islam di Indonesia sudah ada sejak agama


Islam masuk di Indonesia. Oleh sebab itu, hukum Islam telah menjadi
bagian integrasi dari pembinaan hukum nasional sampai sekarang serta
peranan hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional adalah untuk
mengisi kekosongan hukum dalam hukum positif dan hukum Islam
berperan sebagai sumber nilai yang memberikan kontribusi terhadap
aturan hukum yang dibuat sifatnya umum, tidak memandang perbedaan
agama, maka nilai-nilai hukum Islam dapat berlaku pula bagi seluruh
warga negara Indonesia.
Aktualisasi nilai-nilai hukum Islam tersebut tidak hanya terbatas
pada bidang hukum perdata saja, khususnya hukum keluarga tetapi juga
pada bidang-bidang lain seperti hukum pidana, hukum tata negara,
hukum administrasi negara, dan hukum dagang. Dengan demikian,
hukum Islam akan benar-benar mampu berperan sebagai sumber hukum
nasional di samping Pancasila dan UUD 1945, tanpa menimbulkan
anggapan bahwa hukum Islam adalah kuno. Model yang kedua ini
sesungguhnya telah dipraktikkan oleh para penyusun UUD 1945, di
mana nilai-nilai hukum hukum Islam tercermin di dalamnya.
Mengingat Indonesia bukan negara agama dan bukan negara
sekuler, maka memperjuangkan hukum Islam dengan pendekatan yang
integrasi nilai-nilainya akan terlihat lebih memberikan harapan dengan
pendekatan formal, khususnya pidana Islam. Maka dari itu, dibutuhkan
usaha yang serius untuk menggali dan mensosialisasikan sebanyak
mungkin nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam hukum Islam
sendiri.
Dalam konteks aktualisasi hukum Islam tersebut, maka secara
normatif nilai-nilai hukum Islam telah diaplikasikan dengan penuh
kesadaran oleh masyarakat Islam. Berbeda dengan hukum Islam secara
yuridis formal bahwa belum semua materi hukum Islam diformulasi
melalui proses legislasi dalam bentuk undang-undang maupun peraturan
lainnya.
BAHASAN
Pada bagian ini dijelaskan secara spesifik mengenai (1) konsep dasar
aktualisasi hukum Islam di bidang perkwinan dan (2) konsep dasar aktualisasi
hukum islam di bidang warisan.
Konsep Dasar Aktualisasi Hukum Islam Di Bidang Perkwinan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata aktualisasi berasal dari kata
dasar aktual yang artinya benar-benar ada atau sesungguhnya sehingga
kata aktualisasi artinya membuat sesuatu menjadi benar-benar ada. Pengertian
hukum islam merupakan seperangkat atau serangkaian norma yang bersumber
dari Allah SWT dan Rosulloh S.A.W yang berfungsi untuk mengatur segala
bentuk tingkah laku (tata kelakuan) manusia terutama yang Bergama Islam
(Marzuki, 2018). Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “nikah” ialah
melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-
laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak
untuk mewujudkan suatu hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan
ketentraman (mawaddah wa rahmah) dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah
SWT (Soemiyati, dalam Mahmudah, 2018). Jadi dapat dikatakan bahwa
aktualisasi hukum islam di bidang perkawinan merupakan proses nyata penerapan
hukum islam dalam bidang perkawinan di lingkungan masyarakat yang beragama
islam yang menggunakan norma-norma atau aturan hukum islam atau syariat
islam dalam kehidupan masyarakat khusnya yang beragama islam.
Perkawinan akan berperan setelah masing-masing pasangan siap
melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dalam pernikahan.
Allah tidak akan menjadikan manusia seperti makhluk-makhluk lainnya, yang
hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara
bebas atau tidak ada aturan. Akan tetapi, untuk menjaga kehormatan dan martabat
manusia, Allah memberikan tuntutan yang sesuai dengan martabat manusia. Jadi
dapat dikatakan aktu
Dalam kaitannya dengan aktualisasi hukum Islam dalam bidang
perkawinan berdasarkan hasil wawancara dengan hakim pengadilan agama Kota
Surabaya, Bapak Drs. Agus Suntono, M. H. I., perkawinan sesuai dengan UU
Nomor 7 Tahun 1989 itu merupakan kewenangan pengadilan agama, termasuk
didalamnya adalah masalah perkawinan dan warisan. Khusus masalah perkawinan
itu secara khusus diundangkan sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 1974, mulai tata
cara, batasan umur, halangan, dan sebagainya dilengkapi dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974. Dalam ruang lingkup perkawinan itu
diaktualisasikan dalam kehidupan dan persoalan itu yang mungkin bisa dibawa ke
pengadilan. Perkawinan itu termasuk didalamnya seperti, apabila perkawinan di
bawah umur. Perkawinan itu KUA tidak bisa menikahkan, karena UU telah
menetapkan batasan umur untuk pernikahan. Jika laki-laki umur 19 tahun jika
perempuan 16 tahun. Apabila calon, baik calon suami atau calon istri belum
memenuhi syarat dalam UU tersebut maka yang bersangkutan harus meminta
dispensasi kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal calon yang
akan melakukan perkawinan. Apabila calon yang laki-laki belum berumur 19
tahun maka harus mengajukan dispensasi, semisal bertempat tinggal di Kota
Malang itu mengajukan dispensasi ke pengadilan agama Kota Malang, itu apabila
calonnya belum memenuhi syarat, jika pengadilan sudah memeriksa dan mereka
ternyata sudah mampu untuk menikah, maka pengadilan agama memberikan
dispensasi. Kemudian pengadilan mengeluarkan dispensasi yang kemudian
dilaporkan dispensasi kepada KUA, yang kemudian KUA akan menikahkan
sesuai dengan pertimbagan sesuai putusan pengadilan, itu yang apabila masih di
bawah umur.

Kemudian juga ada yang akan menikah namun wali nikah tidak mau
menjadi wali. Misalnya, ada calon laki-laki sudah berusia 25 tahun dan yang
perempuan 21 tahun, namun tidak ada wali atau walinya tidak mau menikahkan.
Maka KUA juga tidak mau menikahkan apabila tidak ada walinya. Karena rukun
syarat hukumnya harus dipenuhi yaitu dengan adanya wali, maka calon harus
mengajukannya ke pengadilan agama. Namanya wali adhol, yaitu wali yang
enggan. Pengadilan agama itu akan memanggil, memeriksa wali dan diproses
apabila memang wali tidak memenuhi syarat-syaratnya, kemudian wali memang
nyata-nyata beretikat untuk tidak melaksanakan perkawinan itu, maka pengadilan
dengan berbagai pertimbangan akan memberikan atau mengabulkan wali itu akan
dilimpahkan pada wali hakim yaitu KUA dimana tempatnya.

Dalam aktualisasi yang lain dalam perkawinan misalnya salah satu pihak
rumah tangganya tidak harmonis, mereka merasa sudah tidak nyaman rumah
tangganya, ada persoalan yang banyak dan sudah tidak tahan, maka apabila yang
tidak terima atau merasa dirugikan adalah seorang suami, maka suami akan
mengajukan kepada pengadilan agama untuk bercerai, maka yang laki akan
mengajukan permohonan untuk ijin ikrar talak. Dilakukan dengan berbagai alasan
yang diterangkan oleh UU sesuai dengan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975, termasuk dalam kompilasi hukum Islam pasal 116 atau Impres
Nomor 1 tahun 1991. Apabila yang tidak terima atau merasa dirugikan seorang
istri, dan istri mengajukan gugatan kepada pengadilan agama namanya gugatan
perceraian. Dengan alasan-alasan yang ada, merasa rumah tangganya sudah
hancur kemudian dengan bercerai mengajukan gugatan cerai ke pengadilan
agama. Diproses oleh majlis hakim kalau sudah terpenuhi dilakukan kalau belum
terpenuhi juga ditolak.

Termasuk kaitannya dengan perkawinan, itu didalamnya adalah perwalian


misalnya, anak masih dibawah umur semisal 10 tahun dan bapaknya sudah
meninggal dia tidak cakap bertindak hukum, maka ibunya berhak mengajukan
perwalian kepada pengadilan agama untuk ditunjuk sebagai wali dalam perbuatan
anak baik di pengadilan atau diluar pengadilan, kemudian apabila kedua orang tua
sudah meninggal anak yatim piatu, maka yang mengajukan perwalian adalah
kerabatnya khususnya kerabat dari ibu, seperti nenek atau paman itu apabila
melaksanakan tindakan hukum maka yang bertindak adalah walinya, karena sang
anak belum cakap bertindak hukum, itu pengadilan yang akan bertindak
memeriksa dan memberikan perwalian tersebut.

Yang lain misalnya masalah poligami. Poligami adalah seorang laki-laki


yang sudah mempunyai istri karena sudah berumah tangga sudah lama dan tak
kunjung memiliki anak dan berharap memiliki anak dari darh dagingnya sendiri
maka yang mengajukan poligami atau menikah lagi dengan wanita yang lain
namu tidak bercerai, dengan alasan tidak memiliki anak serta alasan-alasan lain
yang ada dalam UU terpenuhi maka pengadilan akan mengabulkan permintaanya
tersebut. Untuk seorang wanita yang sudah memiliki suami dan bermaksud untuk
menikah lagi (poliandri) dengan alasan tertentu itu tidak boleh dalam Islam pun
itu tidak diperbolehkan. Apabila masih bersikeras untuk menikah lagi, maka
wanita tersebut harus bercerai dulu lalu menikah lagi dengan orang lain.

Kemudian tujuan dan hikmah dari perkawinan menurut pandangan hukum islam,
kompilasi hukum islam merumuskan bahwa tujuan pernikahan adalah untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawadah warahmah yaitu
rumah tangga yang tentram, penuh kasih sayang serta bahagia lahir dan batin. Hal
tersebut sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Ar-ruum ayat 21 yang
artinya:

‫ت للققققوومم‬ ‫ق لقككوم لمون أقونفكلسككوم أقوزقواةجاَ للتقوسكككنوا إللقويقهاَ قوقجقعقققل بقوينقككقوم قمقققوندةة قوقروحقمققةة إلنن لفقيِ قذللق ق‬
‫ك لقيقاَ م‬ ‫قولمون آقياَتلله أقون قخلق ق‬
‫يقتقفقنككروقن‬
Artinya: dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir.

Tujuan pernikahan tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat biologis
yang menghalalkan hubungan seksual antara kedua belah pihak, tetapi lebih luas
meliputi segala aspek kehidupan rumah tangga, baik lahiriah maupun batiniah.
Sesungguhnya pernikahan itu ikatan yang mulia dan penuh barakah. Allah SWT
mensyari’atkan untuk keselamatan hambanya dan kemanfaatan bagi manusia agar
tercapai maksud dan tujuan yang baik.
Zakiyah Darajat, mengemukakan lima tujuan dalam pernikahan yaitu:
1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan
2. Memenuhi hajat manusia menyalurkan syhwatnya dan menumpahkan
kasih sayangnya.
3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan;
4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab,
5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram
atas dasar cinta dan kasih sayang.
Pernikahan juga bertujuan untuk menata keluarga sebagai subjek untuk
membiasakan pengalaman-pengalaman ajaran agama. Fungsi keluarga adalah
menjadi pelaksana pendidikan yang paling menentukan. Sebab keluarga
merupakan salah satu diantara lembaga pendidikan informal, ibu bapak yang
dikenal pertama oleh putra putrinya dengan segala perlakuan yang diterima dan
yang dirasakannya, dapat menjadi dasar pertumbuhan pribadi/kepribadian putra
putri itu sendiri.

Sejalan dengan tujuannya pernikahan memiliki sejumlah hikmah bagi


orang yang melakukannya. Dalam ensiklopedi tematis dunia islam, serta menurut
sayid sabiq, ulama fiqih kontemporer dalam bukunya fiqh as-sunah
mengemukakan sebagai berikut:
1. Dapat menyalurkan naluri seksual dengan cara sah dan terpuji.Bagi manusia
naluri tersebut sangat kuat dan keras serta menuntut adanya penyaluran yang
baik. Jika tidak, dapat mengakibatkan kegoncangan dalam kehidupannya.
Dengan perkawinan, kehidupan manusia menjadi segar dan tentram serta
terpelihara dari perbuatan keji dan rendah.
2. Memelihara dan memperbanyak keturunan dengan terhormat sehingga dapat
menjaga kelestarian hidup umat manusia.
3. Naluri keibuan dan kebapakan akan saling melengkapi dalam kehidupan rumah
tangga bersama anak-anak
4. Melahirkan organisasi dengan pembagian tugas/tanggung jawab tertentu,serta
melatih kemampuan bekerjasama
5. Terbentuknya tali kekeluargaan dan silaturrahmi antar keluarga

Konsep Dasar Aktualisasi Hukum Islam Di Bidang Warisan


Setelah membahas tentang aktualisasi hukum islam di bidang perkawinan,
kemudian akan membahas tentang aktulisasi hukum islam dalam bidang warisan.
Diantara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan oleh
Allah SWT adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang
timbul sebagai akibat dari suatu kematian. Harta yang ditinggalkan oleh seseorang
yang telah meninggal memerlukan pengaturan yang berhak menerimanya, berapa
jumlahnya dan bagaimana cara mendapatkannya (Syarifudin, 2018) Bagi umat
islam Indonesia, aturan Allah SWT tentang kewarisan telah menjadi hukum positif
yang dipergunakan dalam Pengadilan Agama dalam memutuskan kasus
pembagian maupun persengketaan berkenaan dengan harta waris tersebut. Dengan
demikian, maka umat Islam yang telah melaksanakan hukum Allah SWT itu
dalam penyelesaian harta warisan, di samping telah melaksanakan ibadah dengan
melaksanakan aturan tersebut, dalam waktu yang sama telah patuh kepada aturan
yang telah ditetapkan Negara.
Dalam kaitannya dengan aktualisasi hukum Islam dalam bidang warisan,
berdasarkan hasil wawancara dengan hakim pengadilan agama Kota Surabaya,
Bapak Drs. Agus Suntono, M. H. I., sebenarnya hukumah waris itu apabila sudah
pernah mempelajari tentang ilmu waris dalam Islam itu sama saja dengan dalam
pandangan hukum Islam. Di pengadilan agama juga diterapkan seperti itu, jadi di
dalam waris itu harus ada pewaris. Pewaris itu adalah siapa yang meninggal.
Misalnya Bapak Ahmad yang meninggal, kemudian Pak Ahmad mempunyai
seorang istri dan anak, istri dan anak dari Pak Ahmad itu adalah ahli waris. Ahli
waris itu ada yang dekat dan ahli waris yang jauh. Ada yang memiliki bagian pasti
(furudhul muqaddarah) dan ada yang tidak pasti (ashobah). Furudhul Muqaddarah
adalah bagian-bagian yang telah ditentukan oleh syara’ bagi ahli waris tertentu
dalam pembagian harta peninggalan. Bagian itulah yang akan diterima ahli waris
menurut jauh dekatnya hubungan kekerabatan. Jadi di dalam pengadilan agama itu
dalam perkara kewarisan itu menentukan ada dua sikap, yang pertama
menentukan siapa ahli warisnya yang kedua berapa bagian-bagiannya. Jika
masalah kewarisan itu semua ahli warisnya beragama Islam maka pembagian
warisnya yang diterapkan itu menggunakan waris Islam. Jadi bagian warisnya itu
1:2 antara laki-laki dengan perempuan, namun apabila pembagian waris itu sudah
disepakati oleh keluarga sesuai dengan kesepakatan , maka pengadilan tidak bisa
ikut campur dalam persoalan itu, artinya kesepakatan itu yang diterapkan. Jadi
urutannya jelas. Ahli waris dekat itu misalnya yang meninggal suami, maka
jandanya adalah ahli waris dekat dan anak-anaknya. Apabila orang tuanya masih
hidup termasuk ahli waris dekat. Apabila ahli waris jauh itu misalnya kakek
neneknya, saudara pewaris dan sebagainya. Jadi apabila ahli waris dekat itu
semuanya ada yang mendapat warisan hanya itu saja. Paman saudara itu tidak
mendapatkan bagian, karena dianggap sebagi ahli waris jauh. Islam telah
menentukannya seperti itu dalam kualifikasi hukum Islam di Indonesia.
Implementasinya ada di pengadilan agama. Beda lagi apabila yang meninggal
bukan orang Islam, maka pembagian harta yang ditinggalkan bukan dengan istilah
warisan, yang memutus adalah pengadilan negeri. Apabila orang Islam di
pengadilan agama sesuai dengan pembagian sesuai syariat Islam. Itu bisa dilihat
dalam kompilasi hukum islam, dalam Keppres Nomor 1 Tahun 1991.
Berbeda dengan sistem pewarisaan hukum perdata BW, didalam BW sistem
diatur setelah ahli waris meninggal dengan mendapat harta warisan mulai dari istri
yang ditinggalkan sampai anak. Berbeda dengan sistem pembagian berdasarkan
hukum Islam. Dalam pewarisaan hukum islam, terdapat 6 golongan pembagiaan
pewarisaan setiap pewarisaan tersebut terdapat tingkatan yang berbeda-beda
dengan perbandingan hukum waris BW dan perbandingan hukum waris adat,
dimana dalam hukum waris islam, anak laki-laki mendapat bagiaan yang lebih
besar dari anak perempuaan yang sudah diatur didalam Al-qur’an, sebagaimana
terdapat 6 ciri sistem pembagiaan dalam hukum waris islam yang terdiri dari :
1. Ashhabul Furudh yang Berhak Mendapat Setengah
Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separuh dari harta waris
peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya
perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut ialah suami, anak perempuan,
cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan
saudara perempuan seayah.
2. Ashhabul furudh yang berhak Mendapat Seperempat
Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari harta
peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri.
3. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan (1/8)
Dari sederetan ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian
seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan
mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila suami
mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari
rahim istri yang lain.
4. Ashhabul Furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga (2/3)
Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta
peninggalan pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita:
 Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.
 Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.
 Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.
 Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih
5. Ashabul Furudh yang mendapat bagian sepertiga (1/3) Masalah
‘ummariyyatan
Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian
hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan)
yang seibu. Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat:
 Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak
laki-laki.
 Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupun
perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun seibu.
Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian seperenam (1/6) ada
tujuh orang. Mereka adalah (1) ayah, (2) kakek asli (bapak dari ayah), (3) ibu, (4)
cucu perempuaan keturunan anak laki-laki, (5) saudara perempuan seayah, (6)
nenek asli, (7) saudara laki-laki dan perempuan seibu.
Perbedaan dengan hukum waris BW dan Adat, hukum waris islam membagi
harta warisannya dengan apa yang sudah ada didalam Al’qur’an yang mana
bagiaan laki laki mendapat bagiaan yang lebih besar dari bagiaan perempuaan.
Sistem kewarisaan dalam KUHPerdata menganut pada Hukum BW, dimana
Hukum BW menganut hukum barat yang bersifat parental dan mandiri. Dimana
harta warisan jika pewaris wafat harus selekas mungkin diadakan pembagian yang
merupakan ahli waris dalam hukum BW dapat digolongkan menjadi 2 bagian:
1. Ahli waris menurut Undang Undang
2. Ahli Waris menurut Testament (Wasiat)
Dalam KUHPerdata sistem keturunaan yang dianut merupakan adalah sistem
parental atau bilateral terbatas, dimana setiap anggota keluarga menghubungkan
dirinya pada keturunan ayah dan ibunya. Kemudian sistem kewarisan yang dianut
KUHPerdata adalah sisitem individual, artinya setiap ahli waris berhak menuntut
pembagian harta warisan dan memperoleh bagian yang menjadi haknya, baik
harta warisan dan ibunya maupun harta dari ayahnya.
Pembagian ahli waris menurut BW terdapat 5 golongan:
1. Golongan I
Merupakan ahli waris dalam garis lurus ke bawah dari pewaris, yaitu anak,
suami (duda), istri (janda) dari si pewaris. Ahli waris golongan pertama
mendapatkan hak mewaris menyampingkan ahli waris golongan kedua,
maksudnya, sepanjang ahli waris golongan pertama masih ada, maka, ahli
waris golongan kedua tidak bisa tampil. (Pasal 852 BW)
2. Golongan II
Merupakan, ahli waris dalam garis lurus ke atas dari pewaris, yaitu, bapak,
ibu dan saudara-saudara si pewaris. Ahli waris ini baru tampil mewaris
jika ahli waris golongan pertama tidak ada sama sekali dengan
menyampingkan ahli waris golongan ketiga dan keempat. (Pasal 854 BW)
3. Golongan III
Merupakan, keluarga sedarah si bapak atau ibu pewaris, yaitu kakek,
nenek baik pancer bapak atau ibu dari si pewaris. Dalam hal ini, ahli waris
golongan ketiga baru mempunyai hak mewaris, jika ahli waris golongan
pertama dan kedua tidak ada sama sekali dengan menyampingkan ahli
waris golongan keempat.( Pasal 853:858 BW)
4. Golongan IV
Merupakan, sanak keluarga dalam garis ke samping dari si pewaris, yaitu
paman, bibi. (Pasal 858 ayat 2 BW)
Ahli Waris berdasarkan Penggantian Tempat atau Ahli Waris Pengganti
(Plaatsvervulling / representatie)
Dalam sistem waris BW tertuju pada pewarisnya itu sendiri, dimana
pewarisnya meninggal maka keturunannya berhak untuk mendapat bagiaan ahli
waris dari harta yang ditinggalkan pewaris tersebut.

PENUTUP
Kesimpulan
Aktualisasi artinya membuat sesuatu menjadi benar-benar ada. Hukum islam
merupakan seperangkat atau serangkaian norma yang bersumber dari Allah SWT
dan Rosulloh S.A.W yang berfungsi untuk mengatur segala kehidupan umat
manusia yang beragama Islam. Perkawinan atau nikah ialah melakukan suatu akad
atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk
menghalalkan hubungan keduanya dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT.
Jadi, aktualisasi hukum islam di bidang perkawinan merupakan proses nyata
penerapan hukum islam dalam bidang perkawinan di lingkungan masyarakat yang
beragama islam yang menggunakan norma-norma atau aturan hukum islam atau
syariat islam dalam kehidupan masyarakat khusnya yang beragama islam. UU
perkawinan sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 1989 itu merupakan kewenangan
pengadilan agama, termasuk didalamnya adalah masalah perkawinan dan warisan.
Sedangkan UU perkawinan itu secara khusus diundangkan sesuai dengan UU
Nomor 1 Tahun 1974, mulai tata cara, batasan umur, halangan, dan sebagainya
dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974.
Tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah mawadah warahmah yaitu rumah tangga yang tentram, penuh kasih
sayang serta bahagia lahir dan batin serta untuk menata keluarga sebagai subjek
untuk membiasakan pengalaman-pengalaman ajaran agama.
Harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu
kematian. Harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal
memerlukan pengaturan yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya dan
bagaimana cara mendapatkannya.
Saran
Apabila kita sudah siap untuk menikah, maka kita harus siap untuk membina
rumah tangga dalam keadaan senang maupun susah. Menikahlah untuk beribadah
hanya kepada Allah SWT. Dalam menikah hendaknya jangan melihat dari segi
fisiknya saja, akan tetapi perhatikanlah tingkat keimanan dan ketaqwaannya.
Dalam hal pewarisan, sebaiknya para hakim Peradilan Agama dapat menegakkan
sistem hukum kewarisan menurut syariat hukum Islam, sebab kewarisan hukum
Islam lebih logis, proporsional, dan lebih adil dibandingkan dibanding dengan
system hukum kewarisan menurut KUH Perdata, oleh karena itu seharusnya
lembaga yang berwenang juga harus membuat unifikasi hukum yang melindungi
dan mengayomi kesadaran hukum kewarisn Islam, sebab Negara Indonesia adalah
Negara yang mayoritas penduduk muslim.

DAFTAR RUJUKAN
Mahmudah, R. 2017. Perkawinan dalam Islam. (Online).
(http://digilib.uinsby.ac.id/18892/5/Bab%202.pdf). Diakses tanggal 15
September 2018.
Marzuki. 2011. Pengantar Studi Hukum Islam Prinsip Dasar Memahami
Berbagai Konsep dan Permasalahan Hukum Islam di Indonesia. Yogyakata:
Penerbit Ombak.
Syarifuddin, Amir. 2004. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Prenada Media
Group.

Вам также может понравиться