Вы находитесь на странице: 1из 22

Penyakit defisiensi imun adalah sekumpulan aneka penyakit yang karena memiliki satu

atau lebih ketidaknormalan sistem imun, dimana kerentanan terhadap infeksi meningkat.
Defisiensi imun primer tidak berhubungan dengan penyakit lain yang mengganggu sistem
imun, dan banyak yang merupakan akibat kelainan genetik dengan pola bawaan khusus.
Defisiensi imun sekunder terjadi sebagai akibat dari penyakit lain, umur, trauma, atau
pengobatan.

Meskipun kemungkinan defisiensi imun harus dipikirkan pada seseorang yang sering
mengalami infeksi, tetapi sejatinya penyakit imunodefiensi angka kejadiannya tidak tinggi.
Karena itu selalu pertimbangkan kondisi lain yang membuat seseorang lebih rentan
terhadap infeksi, seperti penyakit sickle cell, diabetes, kelainan jantung bawaan, malnutrisi,
splenektomi, enteropati, terapi imunosupresif dan keganansan.

Penyebab
Penyebab defisiensi imun sangat beragam dan penelitian berbasis genetik berhasil
mengidentifikasi lebih dari 100 jenis defisiensi imun primer dan pola menurunnya
terkait pada X-linked recessive, resesif autosomal, atau dominan autosomal (Tabel 28-1).
Penyebab defisiensi imun
Defek genetikDefek gen-tunggal yang diekspresikan di banyak jaringan
(misal ataksia-teleangiektasia, defsiensi deaminase adenosin) Defek gen
tunggal khusus pada sistem imun ( misal defek tirosin kinase pada X-
linked agammaglobulinemia; abnormalitas rantai epsilon pada reseptor
sel T) Kelainan multifaktorial dengan kerentanan
genetik (misal common variable immunodeficiency)
Obat atau toksinImunosupresan (kortikosteroid,
siklosporin)Antikonvulsan (fenitoin)
Penyakit nutrisi dan metabolikMalnutrisi ( misal kwashiorkor)Protein
losing enteropathy (misal limfangiektasia intestinal)Defisiensi vitamin
(misal biotin, atau transkobalamin II)
Defisiensi mineral (misal Seng pada Enteropati Akrodermatitis)

Kelainan kromosomAnomali DiGeorge (delesi 22q11)Defisiensi IgA


selektif (trisomi 18)
InfeksiImunodefisiensi transien (pada campak dan varicella
)Imunodefisiensi permanen (infeksi HIV, infeksi rubella kongenital)
(Dikutip dengan modifikasi dari Stiehm dkk, 2005)
Klasifikasi Penyakit
Pada awalnya penamaan imunodefisiensi melekat pada nama penemu, tempat kasus
ditemukan, pola imunoglobulin, atau dugaan patomekanisme. Karenanya dapat terjadi ada
dua penamaan pada penyakit defisiensi yang sama, dan sering menimbulkan kerancuan.
Karenanya International Union of Immunological Societies (IUIS, dahulu WHO Expert
Committee) membuat nomenklatur penyakit defisiensi imun primer dan sekunder seperti
pada tabel berikut.

Nomenklatur penyakit defisiensi imun primer dan sekunder IUIS 2003


Kelompok dan Penyakit Inheritansi Kelompok dan Penyakit Inheritansi
A. Defisiensi predominan XLAR 1. Teleangiektasis-ataksia AR?XL
antibodi XL 2. Anomali DiGeorge AR
1. XL agamaglobulinemia 3. Defisiensi CD4 primer
2. AR agamaglobulinemia AR 4. Defisiensi CD7 primer AR

3. Sindrom hiper IgM 5. Defisiensi IL-2


AR AR
4. XL 6. Defisiensi sitokin
5. Defek AID multipel
AR XL
6. Defek CD40 7. Defisiensi signal
7. Defek AR lainnya AR transduksi
8. Delesi gen Ig rantai D. Defek fungsi fagosit
berat ? 1. Penyakit granulomatosa
9. Mutasi defisiensi rantai kronik
κ Variabel 2. XL
10. Defisiensi selektif kelas 3. AR
?
IgG 1. Defisiensi phox
11. Defisiensi selektif IgA p22
Variabel
12. Defisiensi antibodi 2. Defisiensi phox
dengan kadar Igs ? P47
normal atau meningkat 3. Defisiensi phox
13. Imunodefisiensi variasi P57
umum 4. Defek adesi
14. Hipogamaglobulinemia leukosit 1
transien pada bayi 5. Defek adesi
leukosit 2
6. Defisiensi
neutrofil G6PD
B. Imunodefisiensi XLAR 1. Defisiensi ARARAR
kombinasi AR mieloperoksidase AR
1. T-B+ SCID 2. Defisiensi granul
Kelompok dan Penyakit Inheritansi Kelompok dan Penyakit Inheritansi
2. X-linked (defisiensi γc) AR sekunder AR
1. Resesif 3. Sindrom Schwachman
autosomal AR 4. Neutropenia kongenital AR

(defisiensi berat (Kostmann)


AR AR
Jak3) 5. Neutropenia siklik
3. T-B+ SCID (defek elastase)
AR AD
4. Defisiensi RAG-1/2 6. Defek leukosit
5. Defisiensi ADA AR mikobakterial AR
6. Disgenesis retikular Defisiensi IFN-γR1 atau R2
7. Defek artemis AR AR
8. T-B+ SCID Defisiensi IFN-γR1

9. Sindrom Omenn AR AD
Defisiensi IL-12Rβ1
10. Defisiensi IL-2Rα
AR AD
11. Defisiensi fosforilase
Defisiensi IL-12p40
purin nukleosida
AR
12. Defisiensi MHC kelas II Defisiensi STAT1
13. Defisiensi MHC kelas I AR
disebabkan oleh defek E. Imunodefisiensi terkait
TAP-2 kelainan
14. Defisiensi CD3γ atau limfoproliferatif
CD3ε 1. Defisiensi Fas
15. Defisiensi CD8 (defek 2. Defisiensi ligan Fas
ZAP-70) 3. Defisiensi FLICA atau
caspase 8
4. Tidak diketahui
(defisiensi caspase 3)
C. Imunodefisiensi selular XL F. Defisiensi AR
lainnya19. Sindrom Wiskott- komplemen41. Defisiensi C1q
Aldrich
F. Defisiensi komplemen ARAR 1. Retardasi pertumbuhan, ARXL
(lanjutan) AR anomali wajah dan XL
1. Defisiensi C1r AR imunodefisiensi
2. Defisiensi C4 AR 2. Progeria (Sindrom
3. Defisiensi C2 Hutchinson-Gilford)
4. Defisiensi C3 AR Imonodefisiensi dengan defek
5. Defisiensi C5 dermatologi
6. Defisiensi C6 1. Albinisme parsial
Kelompok dan Penyakit Inheritansi Kelompok dan Penyakit Inheritansi
7. Defisiensi C7 AR 2. Diskeratosis kongenital
8. Defisiensi C8α 3. Sindrom Netherton
9. Defisiensi C8β AR 4. Enterohepatika
10. Defisiensi C9 akrodermatitis
AR
11. Inhibitor C1 5. Displasia ektoderma
12. Defisiensi faktor I anhidrotik
XL
13. Defisiensi faktor H 6. Sindrom Papillon-
14. Defisiensi faktor D AD Lefevre
15. Defisiensi properdin Defek metabolik herediter
G. Imunodefisiensi terkait AR 1. Defisiensi
dengan AR transkobalamin 2
atau sekunder penyakit lain AR 2. Asidemia metilmalonik
Instabilitas kromosom atau 3. Asiduria orotik herediter
defek perbaikan XL tipe 1
1. Sindrom Bloom 4. Defisiensi karboksilase
2. Anemia Fanconi biotin-dependen
3. Sindrom ICF 5. Manosidosis
4. Sindrom kerusakan 6. Penyakit penyimpanan
Nijmegen glikogen, tipe 1b
5. Sindrom Seckel 7. Sindrom Chediak-
6. Pigmentosum Higashi
Xeroderma Hiperkatabolisme imunoglobulin
Defek kromosom 1. Hiperkatabolisme
1. Sindrom Down familial
2. Sindrom Turner 2. Limfangiektasia
3. Delesi kromosom cincin intestinal
18 H. Imunodefisiensi lainnya
Abnormalitas skeletal 1. Sindrom hiper IgE
1. Short-limbed skeletal 2. Kandidiasis
dysplasia mukokutaneus kronik
2. Hipoplasia rambut- 3. Kandidiasis
kartilago mukokutaneus kronik
Imunodefisiensi dengan dengan
retardasi pertumbuhan umum poliendokrinopati
1. Displasia imuno-oseus (APECED)
Schimke 4. Hiposplenia herediter
2. Imunodefisiensi tanpa atau kongenital atau
Kelompok dan Penyakit Inheritansi Kelompok dan Penyakit Inheritansi
ibu jari asplenia
3. Sindrom Dubowitz 5. Sindrom Ivemark
6. Sindrom IPEX
7. Displasia ektodermal
(defek NEMO)
AD = autosomal dominan; ADA = adenosine deaminase; AID = activation-induced cytidine
deaminase; AR = autosomal recessive, capsace = cysteinyl; aspartate = specific proteinase;
FLICE = Fas-associating protein with death domain-like Il-1 converting enzyme; G6PD =
glucose 6-phosphate dehydorgenase; ICF = immunodeficiency, centromeric instability, facial
anomalies; IFN = interferon; Ig = immunoglobulin; IL = interleukin; IPEX = immune
dysregulation, polyendocrinopathy, enteropathy; MHC = major histocompatibility complex;
NEMO = IKK-gamma; SCID = severe combined immunodeficiency; TAP-2 = transporter
associated with antigen presentation, XL = X-linked
(Dikutip dengan modifikasi dari IUIS Scientific Committee, 2003)

Klasifikasi defisiensi imun primer


Defisiensi imun humoral (sel B)Hipogamaglobulinemia x-linked
(hipogamaglobulinemia kongenital) Hipogamaglobulinemia transien (pada
bayi) Defisiensi imun tak terklasifikasi, umum, bervariasi
(hipogamaglobulinemia didapat)
Defisiensi imun dengan hiperIgM
Defisiensi IgA selektif
Defisiensi imun IgM selektif
Defisiensi sub kelas IgG selektif
Defisiensi sel B sekunder berhubungan dengan obat, kehilangan protein
Penyakit limfoproliferatif x-linked

Defisiensi imun selular (sel T)Aplasia timus kongenital (sindrom


DiGeorge)Kandidiasis mukokutaneus kronik (dengan atau tanpa
endokrinopati)Defisiensi sel T berhubungan dengan defisiensi purin
nukleosid fosforilase
Defisiensi sel T berhubungan dengan defek glikoprotein membran

Defisiensi sel T berhubungan dengan absen MHC kelas I dan atau kelas II
(sindrom limfosit telanjang)

Defisiensi imun gabungan humoral (sel B) dan selular (sel


T)Defisiensi imun berat gabungan (autosom resesif, x-linked,
sporadik)Defisiensi imun selular dengan gangguan sintesis imunoglobulin
(sindrom Nezelof)Defisiensi imun dengan ataksia teleangiektasis
Defisiensi imun dengan eksim dengan trombositopenia (sindrom Wiskott-
Aldrich)

Defisiensi imun dengan timoma

Defisiensi imun dengan short-limbed dwarfism

Defisiensi imun dengan defisiensi adenosin deaminase

Defisiensi imun dengan defisiensi nukleosid fosforilase

Defisiensi karboksilase multipel yang tergantung biotin

Penyakit graft-versus-host

Sindrom defisiensi imun didapat (AIDS)

Disfungsi fagositPenyakit granulomatosis kronikDefisiensi glukosa-6-


fosfat dehidrogenaseDefisiensi mieloperoksidase
Sindrom Chediak-Higashi

Sindrom Job

Defisiensi tuftsin

Sindrom leukosit malas

Peninggian IgE, defek kemotaksis dan infeksi rekuren

(Dikutip dari AJ Amman, 1991)

Defisiensi antibodi primer

Penyebab defisiensi antibodi primer


Usia (tahun) Anak Dewasa
<2 Transient hypogammaglobulinaemia of Dapat terjadi, namun
infancyX-linked jarangDapat terjadi, namun
agammaglobulinaemiaHyper-IgM with jarang
immunoglobulin deficiency
3-15 Selective antibody deficienciesCommon
variable immunodeficiencySelective IgA
deficiency
16-50 Selective antibody
deficienciesCommon variable
immunodeficiencySelective
IgA deficiency
> 50 Antibody deficiencies with
thymoma
(Dikutip dengan modifikasi dari Chapel H, 1999)

Transient hypogammaglobulinaemia of infancy


Antibodi IgG maternal secara aktif ditransfer melalui plasenta ke sirkulasi fetal mulai dari
bulan ke-4 gestasional dan mencapai puncaknya saat 2 bulan terakhir. Saat lahir, bayi
mempunyai kadar IgG serum yang sama dengan ibu. Katabolisme IgG maternal hanya
dikompensasi sebagian oleh IgG yang dibentuk bayi. Periode 3-6 bulan merupakan fase
“hipogamaglobulinemia fisiologik”. Bayi normal tidak terlalu rawan terhadap infeksi karena
masih terdapat antibodi yang berfungsi meskipun kadar IgG rendah.

Namun kadar IgG akan sangat kurang apabila IgG yang didapat dari ibu sedikit,
seperti pada prematuritas. Bayi-bayi yang lahir pada minggu gestasi ke 26-32 mungkin
membutuhkan perawatan intensif agar dapat bertahan hidup, di sisi lain perawatan invasif
dapat meningkatkan risiko infeksi. Terapi pengganti imunoglobulin dapat bermanfaat pada
bayi berat lahir rendah di negara dengan prosedur invasif dan insidens infeksi bakteri cukup
tinggi, sampai bayi tersebut mampu memproduksi antibodi protektif sendiri.

Hipogamaglobulinemia transien juga dapat terjadi bila bayi lambat dalam


memproduksi IgG. Dengan menurunnya kadar IgG serum yang diperoleh dari ibu, bayi lebih
rawan mendapat infeksi piogenik rekuren. Pembentukan IgG secara spontan dapat
membutuhkan waktu berbulan-bulan. Keadaan ini harus dapat dibedakan dari
hipogamaglubulinemia patologik, karena ada perbedaan tatalaksana. Pada sebagian besar
bayi, bayi tetap sehat dan tidak memerlukan terapi spesifik, bahkan jika kadar
imunoglobulin di bawah ambang normal. Apabila terjadi infeksi berat, dapat diberikan
antibiotik profilaksis. Hal ini mungkin dibutuhkan dalam jangka waktu 1-2 tahun sampai
sintesis IgG endogen mencukupi.
X-linked agammaglobulinaemia (Bruton’s disease)
Anak laki-laki dengan X-linked agammaglobulinaemia (XLA) biasanya menunjukkan infeksi
piogenik rekuren antara usia 4 bulan sampai 2 tahun, biasanya rawan terhadap infeksi
enterovirus yang dapat mengancam nyawa.
Pada sebagian besar pasien, sel B matur tidak ada namun jumlah sel T normal atau
bahkan meningkat. Tidak ditemukan sel plasma pada sumsum tulang, nodus limfe atau
saluran cerna. Diferensiasi sel pre-B menjadi sel B tergantung pada enzim tirosin kinase
(dikenal dengan Bruton’s tyrosin kinase, Btk), yang mengalami defisiensi pada pasien XLA
(Gambar 28-2). Gen untuk enzim ini terletak pada lengan panjang kromosom X dan
ekspresinya hanya terbatas pada perkembangan sel B.
Diagnosis berdasarkan pada penemuan kadar semua isotop imunoglobulin serum
yang sangat rendah, tidak adanya limfosit B matur di sirkulasi dan mutasi gen Btk.
Identifikasi gen dapat berguna dalam mengidentifikasi perempuan karier yang asimtomatik,
dan dilakukan saat prenatal. Tatalaksana berupa imunoglobulin pengganti.

Hyper-IgM antibody deficiency


Beberapa anak dengan defisiensi antibodi mempunyai kadar IgM serum yang normal atau
meningkat. Anak-anak tersebut juga mempunyai risiko tambahan terhadap
infeksi Pneumocystis carinii, yang secara normal terjadi pada defek sel T. Hal ini
menunjukkan defek pada defisiensi antibodi ini tidak hanya terbatas pada defek sel B.
Penyakit terkait kromosom X ini disebabkan oleh kegagalan molekul aksesori ligan CD40
pada sel T, yang bereaksi dengan CD40 pada sel B untuk merangsang perubahan IgM
menjadi IgG atau IgA pada sel B yang terstimulasi antigen (Gambar 28-2). Tatalaksana
berupa imunoglobulin pengganti dan uji genetik untuk perempuan karier.
Common variable immunodeficiency
Common variable immunodeficiency (CVID) merupakan penyakit heterogen yang terjadi
dapat pada anak atau dewasa. Banyak pasien tidak terdiagnosis sampai usia dewasa.
Sebagian besar pasien CVID mempunyai kadar IgG dan IgA serum yang sangat rendah
dengan kadar IgM normal atau sedikit menurun dan jumlah sel B yang normal. Meskipun
jarang terjadi, namun CVID merupakan defisiensi antibodi primer simtomatik yang paling
umum terjadi. Terapi berupa imunoglobulin pengganti.
Selective antibody deficiencies
Defisiensi selektif salah satu atau lebih subklas IgG sering tidak terdeteksi karena kontribusi
IgG1 terhadap IgG total yang relatif besar (70%) sehingga dapat mempertahankan kadar
IgG “normal”.

Aktivitas utama subklas antibodi menentukan jenis infeksi. Antibodi IgG2


mendominasi respons antibodi pada anak lebih tua dan dewasa terhadap antigen
polisakarida, seperti pada organisme berkapsul, contohnya Streptococcus
pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Oleh karena itu defisiensi IgG2 menyebabkan
individu terpajan terhadap infeksi saluran nafas berulang, septikemia pneumokokus atau
meningitis. Respons antibodi terhadap antigen protein seperti virus atau toksoid, dikaitkan
dengan subklas IgG1 dan IgG3. Pada pasien dengan defisiensi salah satu subklas IgG,
peningkatan kadar subklas IgG lain akan mengkompensasi untuk menjaga kadar IgG
normal.
Anak di bawah 2 tahun tidak berespons terhadap antigen polisakarida dan
mempunyai kadar IgG2 yang rendah. Respons antibodi spesifik IgG2 berkembang perlahan
dan mencapai kadar puncak seperti dewasa pada usia 4-6 tahun. Oleh karena itu, anak usia
muda rawan terkena infeksi oleh organisme berkapsul polisakarida. Defisiensi IgG1 dan
IgG3 biasa terjadi bersamaan, menyebabkan resposn imun yang kurang baik terhadap
antigen protein dan dikaitkan dengan infeksi rekuren. Defisiensi subklas IgG juga dikaitkan
dengan defisiensi IgA dan dikaitkan dengan masalah paru.

Selective IgA deficiencies


Defek ini merupakan defek primer yang sering ditemukan pada imunitas spesifik. Defek
ditandai dengan kadar IgA serum yang sangat rendah atau tidak terdeteksi dengan
konsentrasi IgG dan IgM yang normal. Defisiensi IgA selektif menyebabkan individu
terpajan pada infeksi bakteri rekuren, penyakit autoimun dan intoleransi makanan (susu).
Sekitar 1/5 pasien dengan defisiensi IgA selektif mempunyai antibodi terhadap IgA,
sehingga dapat terjadi reaksi simpang setelah tranfusi darah atau plasma.

Komplikasi defisiensi antibodi


Terdapat berbagai variasi komplikasi pada pasien dengan defisiensi antibodi. Sepsis kronik
pada saluran nafas atas dan bawah dapat menyebabkan otitis media kronik, ketulian,
sinusitis, bronkiektasis, fibrosis pulmonal dan kor pulmonal. Penyakit gastrointestinal ringan
seperti sindrom anemia pernisiosa lebih umun terjadi, namun berbeda dengan anemia
pernisiosa klasik. Pada anemia ini tidak terdapat autoantibodi terhadap sel parietal dan
faktor intrinsik serta terdapat atrofi gastritis pada seluruh lambung tanpa antral sparing.
Diare, tanpa atau dengan malabsorpsi, lebih sering disebabkan oleh infestasi Giardia
lamblia, pertumbuhan bakteri berlebihan di usus kecil atau infeksi persisten
oleh Cryptosporidium, Campylobacter, rotavirus atau enterovirus. Fenomena autoimun
merupakan kejadian yang umum, sebanyak 15% muncul sebagai anemia hemolitik
autoimun dan trombositopenia autoimun. Artropati terjadi pada 12% defisiensi antibodi.
Beberapa pasien dapat terkena artritis kronik pada sendi besar dan artritis monoartikular
tanpa terdapat faktor reumatoid.
Pasien dengan X-linked agammaglobulinaemia dan CVID rawan terhadap infeksi kronik
echovirus, dan menyebabkan meningoensefalitis persisten. Pasien dengan defisiensi imun
yang melibatkan imunitas humoral dan/atau seluler mempunyai risiko 10-200 kali lipat
untuk terkena penyakit keganasan.
Kombinasi defisiensi primer sel T dan sel B
Depresi imunitas sel T biasanya disertai dengan variasi abnormalitas fungsi sel B. Hal ini
menunjukkan kerjasama sel T dan B dalam produksi antibodi terhadap sebagian antigen.
Defisiensi berat ini biasanya muncul dalam bulan pertama kehidupan (Tabel 28-5). Bayi
yang sama sekali gagal dalam fungsi limfosit T dan B akan terkena defisiensi imun
kombinasi berat (severe combined immunodeficiency, SCID) (Tabel 28-6).
Tanda defisiensi imun kombinasi yang berat
Terdapat pada minggu atau bulan pertama
kehidupanSering terjadi infeksi virus atau jamur
dibandingkan bakteriDiare kronik umum terjadi (sering
disebut gastroenteritis)Infeksi respiratorius dan oral
thrush umum terjadi
Terjadi failure to thrive tanpa adanya infeksi
Limfopenia ditemui pada hampir semua bayi

(Dikutip dengan modifikasi dari Chapel H, 1999)


SCID berdasarkan ada tidaknya sel T dan sel B
Kondisi Defek fungsi Patogenesis Keturunan Keterangan
T- B+ SCIDX Kegagalan CMI Defisiensi X linkedResesif 40% kasus
linkedResesif dan antibodiSel NK reseptor IL autosom SCID5% kasus
autosom abnormalKegagalan (rantai SCID
CMI dan antibodi γ)Defisiensi
Sel NK abnormal sitokin kinase

T- B- SCIDResesif Kegagalan CMI Tidak ada Resesif 20% kasus


autosomDefisiensi dan diferensiasi autosomResesif SCID20% kasus
adenosin antibodiKegagalan karena defek autosomResesif SCIDKemungkinan
deaminase CMI dan RAG1/2Defek autosom hidup tidak ada
(ADA)Disgenesis antibodiKegagalan struktur koding
retikular CMI, antibodi dan untuk ADA
fagosit menyebabkan
akumulasi
metabolit toksik
di limfoblas (T &
B)Tidak ada sel
stem
Defisiensi MHC Sel T dan B Kegagalan Resesif autosom Jarang
kelas I (“bare normal, namun ekspresi antigen
lymphocyte CMI dan antibodi MHC kelas I
syndrome”) rusak karena defek
transkripsi TAP-
2
Defisiensi MHC Kegagalan Defek transkripsi Resesif autosom < 5% kasus SCID
kelas II presentasi antigen protein MHC
ke sel T CD4+ kelas II
Defisiensi Kegagalan aktivasi Defek Resesif Jarang
CD3 Kegagalan sel T CD4+ transkripsi Defek autosom Resesif
aktivasi transduksi autosomTidak
CD3Defisiensi IL- signal, seperti diketahui
2 defisiensi ZAP-
70Gagal
produksi sitokin
CMI, cell mediated immunity; IL, interleukin; RAG, recombination activation genes; TAP,
transporter associated with antigen processing; ZAP-70, suatu tirosin kinase intraseluler

(Dikutip dengan modifikasi dari Chapel H, 1999)


Defek primer pada imunitas non-spesifik
Imunitas humoral spesifik membutuhkan mekanisme efektor non-spesifik untuk kerjanya.
Mikroorganisme yang telah diopsonisasi oleh antibodi IgG siap untuk terikat dan difagosit
oleh sel fagosit. Lisis bakteri yang tergantung komplemen juga membutuhkan jalur
komplemen berfungsi dengan baik, demikian pula pada kompleks antibodi-komplemen.

Defek fungsi neutrofil


Peran utama neutrofil adalah memfagosit, menghancurkan dan mengolah mikroorganisme
yang menginvasi, terutama bakteri dan jamur. Defek pada neutrofil dapat bersifat
kuantitatif (neutropenia) atau kualitatif (disfungsi neutrofil), namun manifestasi klinisnya
sama.

Jumlah neutrofil yang bersirkulasi normalnya melebihi 1,5×109/l. Neutropenia


ringan biasanya asimtomatik, namun derajat sedang sampai berat dihubungkan dengan
peningkatan risiko dan keparahan infeksi (infeksi akan mengancam nyawa bila jumlah
neutrofil di bawah 0,5×109/l). Neutropenia lebih umum ditemukan dibandingkan disfungsi
neutrofil, dan penyebab sekunder neutropenia lebih umum dibandingkan penyebab
primernya, namun bentuk primer (kongenital) ini bersifat fatal (Tabel 28-7). Neutropenia
sering terjadi akibat efek samping dari kemoterapi untuk penyakit keganasan.
Beberapa penyebab neutropenia
a. Penurunan produksi dengan hipoplasia sumsum
1. Primer
o Neutropenia kronik jinak
o Neutropenia siklikal
o Bentuk kongenital lainnya dan neutropenia familial
2. Sekunder
 Obat sitotoksik
 Leukemia
 Anemia aplastik
 Infeksi
 Reaksi obat
b. Peningkatan destruksi dengan hiperplasia sumsum

1. Hipersplenisme
2. Neutropenia imun
(Dikutip dengan modifikasi dari Chapel H, 1999)
Fungsi neutrofil dapat dibagi dalam beberapa stadium dan defek kualitatif dapat
diklasifikasikan sesuai tahapan fungsi yang terganggu. Pergerakan neutrofil yang menurun
dapat timbul tanpa dikaitkan dengan defek fagositosis dan mekanisme penghancuran.
Fungsi opsonisasi yang kurang karena defisiensi antibodi berat atau kadar C3 yang rendah
dapat meningkatkan kerawanan terhadap infeksi, hal ini diperberat bila neutrofil
mempunyai fungsi fagosit yang buruk, baik primer atau sekunder.

Apabila mekanisme penghancuran intraseluler gagal, bakteri yang difagosit dapat


bertahan dan berproliferasi di dalam lingkungan intraseluler, bebas dari efek antibodi dan
antibiotik. Contohnya adalah sindrom penyakit granulomatosa kronik (chronic
granulomatous disease, CGD), yang timbul akibat kegagalan produksi radikal oksigen
bakterisidal selama proses respiratory burst dalam aktivasi fagositosis. Tipe klasik CGD
diturunkan sebagai kelainan X-linked recessive, dan biasanya muncul dalam 2 bulan
pertama, meskipun diagnosis mungkin baru ditegakkan saat dewasa muda. Komplikasi yang
muncul dapat berupa limfadenopati regional, hepatosplenomegali, abses hepar dan
osteomielitis. Tatalaksana CGD meliputi antibiotik profilaksis (biasanya kotrimoksazol) dan
antifungal bila diperlukan.
Defisiensi komplemen
Aktivitas komplemen yang rusak biasanya terjadi sekunder terhadap penyakit yang
menggunakan komplemen melalui jalur klasik atau alternatif. Contohnya adalah penyakit
lupus eritematosus sistemik yang mengkonsumsi jalur klasik kompenen komplemen C1, C4
dan C2 dan mengakibatkan rusaknya kemampuan komplemen untuk melarutkan kompleks
imun.

Pada manusia, defisiensi komponen komplemen yang diturunkan dikaitkan dengan


sindrom klinik. Banyak pasien dengan defisiensi C1, C4 atau C2 mempunyai lupus-like
syndrome, seperti ruam malar, artralgia, glomerulonefritis, demam atau vaskulitis kronik
dan infeksi piogenik rekuren. Antinuklear dan antibodi anti-dsDNA dapat tidak ditemukan.
Adanya defisiensi komponen komplenen jalur klasik ini menurunkan kemampuan individu
untuk eliminasi kompleks imun.
Pasien dengan defisiensi C3 dapat terjadi secara primer atau sekunder, contohnya
defisiensi inhibitor C3b, seperti faktor I atau H akan meningkatkan risiko untuk terkena
infeksi bakteri rekuren. Individu biasanya terkena infeksi yang mengancam nyawa, seperti
pneumonia, septikemia dan meningitis.

Terdapat hubungan kuat antara defisiensi C5, C6, C7, C8 atau properdin dengan
infeksi neiseria rekuren. Biasanya pasien mempunyai infeksi gonokokus rekuren, terutama
septikemia dan artritis, atau meningitis meningokukos rekuren.

Defisiensi inhibitor C1 merupakan defisiensi sistem komplemen diturunkan yang


paling sering dan penyebab angioedema herediter.

Defisiensi imun sekunder


Penyebab sekunder defisiensi imun lebih umum dibandingkan penyebab primer. Kadar
komponen imun yang rendah menunjukkan produksi yang menurun atau katabolisme
(“hilangnya” komponen imun) yang dipercepat.

Hilangnya protein yang sampai menyebabkan hipogamaglobulinemia dan


hipoproteinemia terjadi terutama melalui ginjal (sindrom nefrotik) atau melalui saluran
cerna (protein-losing enteropathy). Hilangnya imunoglobulin melalui renal setidaknya
bersifat selektif parsial, sehingga kadar IgM masih dapat normal meskipun kadar IgG serum
dan albumin menurun. Protein juga dapat hilang dari saluran cerna melalui penyakit
inflamatorius aktif seperti penyakit Crohn, kolitis ulseratif dan penyakit seliak.
Kerusakan sintesis paling nampak pada malnutrisi. Defisiensi protein menyebabkan
perubahan yang mendalam pada banyak organ, termasuk sistem imun. Kerusakan produksi
antibodi spesifik setelah imunisasi, dan defek pada imunitas seluler, fungsi fagosit dan
aktivitas komplemen dihubungkan dengan nutrisi yang buruk, dan membaik setelah
suplementasi diet protein dan kalori yang cukup.

Pasien dengan penyakit limfoproliferatif sangat rentan terhadap infeksi. Leukemia


limfositik kronik yang tidak diobati umumnya berhubungan dengan hipogamaglobulinemia
dan infeksi rekuren yang cenderung bertambah berat dengan progresifitas penyakit.
Limfoma Non-Hodgkin mungkin berhubungan dengan defek pada imunitas humoral dan
seluler. Penyakit Hodgkin biasanya berhubungan dengan kerusakan yang nyata dari
imunitas seluler, namun imunoglobulin serum masih normal sampai fase akhir penyakit.

Risiko infeksi pasien dengan mieloma multipel 5-10 kali lebih tinggi dibandingkan
kelompok kontrol. Frekuensi infeksi oportunistik pada pasien dengan keganasan diseminata
menandakan adanya defek imun, meskipun sulit membedakan efek imunosupresif dari
penyakit ataupun efek pengobatan. Obat imunosupresif mempengaruhi beberapa aspek
fungsi sel, terutama limfosit dan polimorf, namun hipogamaglobulinemia berat jarang
terjadi. Pasien dengan obat untuk mencegah penolakan organ transplan juga dapat timbul
infeksi oportunsistik meskipun tidak biasa. Bentuk iatrogenik lain dari defisiensi imun
sekunder adalah yang berhubungan dengan splenektomi.

Infeksi pada pejamu imunokompromais


Individu yang secara alami atau medikal mengalami imunokompromais rentan terhadap
infeksi. Sumber infeksi dapat berasal dari patogen umum yang juga menginvasi pada
individu sehat, dan juga dari agen oportunistik. Dua hal penting dalam infeksi pada pejamu
imunokompromais adalah sebagian besar infeksi disebabkan oleh patogen umum yang
biasanya dapat diidentifikasi dan dikontrol dengan terapi yang tepat. Kedua, kesulitan
terjadi karena organisme oportunistik sulit untuk diisolasi dan tidak berespons terhadap
obat yang tersedia.

Terdapat dua jalur masuk utama bagi organisme oportunistik, yaitu orofaring dan
saluran cerna bagian bawah. Paru menjadi tempat tersering dalam infeksi pada pejamu
imunokompromais. Manifestasi klinis berupa demam non-spesifik, dispnea dan batuk kering
dengan gambaran foto dada infiltrat pulmonal. Namun sarana penunjang seperti sputum
dan kultur darah tidak banyak membantu, lebih dipilih bilas bronkoalveolar, biopsi
transbronkial dan biopsi paru terbuka. Pentingnya diagnosis dini dan tatalaksana sangat
ditekankan mengingat infeksi paru pada pasien imunokompromasi memiliki angka
mortalitas lebih dari 50%.

MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS


Dalam penegakan diagnosis defisiensi imun, penting ditanyakan riwayat kesehatan pasien
dan keluarganya, sejak masa kehamilan, persalinan dan morbiditas yang ditemukan sejak
lahir secara detail. Riwayat pengobatan yang pernah didapat juga harus dicatat, disertai
keterangan efek pengobatannya, apakah membaik, tetap atau memburuk. Bila pernah
dirawat, operasi atau transfusi juga dicatat. Riwayat imunisasi dan kejadian efek
simpangnya juga dicari.

Walaupun penyakit defisiensi imun tidak mudah untuk didiagnosis, secara klinis terdapat
berbagai tanda dan gejala yang dapat membimbing kita untuk mengenal penyakit ini (Tabel
28-8). Sesuai dengan gejala dan tanda klinis tersebut maka dapat diarahkan terhadap
kemungkinan penyakit defisiensi imun.

Defisiensi antibodi primer yang didapat lebih sering terjadi dibandingkan dengan yang
diturunkan, dan 90% muncul setelah usia 10 tahun. Pada bentuk defisiensi antibodi
kongenital, infeksi rekuren biasanya terjadi mulai usia 4 bulan sampai 2 tahun, karena IgG
ibu yang ditransfer mempunyai proteksi pasif selama 3-4 bulan pertama. Beberapa
defisiensi antibodi primer bersifat diturunkan melalui autosom resesif atau X-linked.
Defisiensi imunoglobulin sekunder lebih sering terjadi dibandingkan dengan defek primer.
Pemeriksaan fisik defisiensi antibodi jarang menunjukkan tanda fisik diagnostik,
meskipun dapat menunjukkan infeksi berat sebelumnya, seperti ruptur membran timpani
dan bronkiektasis. Tampilan klinis yang umum adalah gagal tumbuh.

Pemeriksaan laboratorium penting untuk diagnosis. Pengukuran imunoglobulin serum dapat


menunjukkan abnormalitas kuantitatif secara kasar. Imunoglobulin yang sama sekali tidak
ada (agamaglobulinemia) jarang terjadi, bahkan pasien yang sakit berat pun masih
mempunyai IgM dan IgG yang dapat dideteksi. Defek sintesis antibodi dapat melibatkan
satu isotop imunoglobulin, seperti IgA atau grup isotop, seperti IgA dan IgG. Beberapa
individu gagal memproduksi antibodi spesifik setelah imunisasi meskipun kadar
imunoglobulin serum normal. Sel B yang bersirkulasi diidentifikasi dengan antibodi
monoklonal terhadap antigen sel B. Pada darah normal, sel-sel tersebut sebanyak 5-15%
dari populasi limfosit total. Sel B matur yang tidak ada pada individu dengan defisiensi
antibodi membedakan infantile X-linked agammaglobulinaemia dari penyebab lain defisiensi
antibodi primer dengan kadar sel B normal atau rendah.
Gejala klinis penyakit defisiensi imun
Gejala yang biasanya dijumpai Infeksi saluran napas atas berulang Infeksi bakteri
yang berat Penyembuhan inkomplit antar episode infeksi, atau respons pengobatan
inkomplit
Gejala yang sering dijumpaiGagal tumbuh atau retardasi tumbuhJarang ditemukan
kelenjar atau tonsil yang membesarInfeksi oleh mikroorganisma yang tidak lazim
Lesi kulit (rash, ketombe, pioderma, abses nekrotik/noma, alopesia, eksim,
teleangiektasi, warts yang hebat)

Oral thrush yang tidak menyembuh dengan pengobatan

Jari tabuh

Diare dan malabsorpsi

Mastoiditis dan otitis persisten

Pneumonia atau bronkitis berulang

Penyakit autoimun

Kelainan hematologis (anemia aplastik, anemia hemolitik, neutropenia,


trombositopenia)

Gejala yang jarang dijumpaiBerat badan turunDemamPeriodontitis


Limfadenopati

Hepatosplenomegali

Penyakit virus yang berat

Artritis atau artralgia

Ensefalitis kronik

Meningitis berulang

Pioderma gangrenosa

Kolangitis sklerosis

Hepatitis kronik (virus atau autoimun)

Reaksi simpang terhadap vaksinasi


Bronkiektasis

Infeksi saluran kemih

Lepas/puput tali pusat terlambat (> 30 hari)

Stomatitis kronik

Granuloma

Keganasan limfoid

(Dikutip dari Stiehm, 2005)


PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang merupakan sarana yang sangat penting untuk mengetahui penyakit
defisiensi imun. Karena banyaknya pemeriksaan yang harus dilakukan (sesuai dengan
kelainan klinis dan mekanisme dasarnya) maka pada tahap pertama dapat dilakukan
pemeriksaan penyaring dahulu, yaitu:

1. Pemeriksaan darah tepi


1. Hemoglobin
2. Leukosit total
3. Hitung jenis leukosit (persentasi)
4. Morfologi limfosit
5. Hitung trombosit
2. Pemeriksaan imunoglobulin kuantitatif (IgG, IgA, IgM, IgE)
3. Kadar antibodi terhadap imunisasi sebelumnya (fungsi IgG)
1. Titer antibodi Tetatus, Difteri
2. Titer antibodi H.influenzae
4. Penilaian komplemen (komplemen hemolisis total = CH50)
5. Evaluasi infeksi (Laju endap darah atau CRP, kultur dan pencitraan yang sesuai)

Langkah selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan lanjutan berdasarkan apa yang kita
cari (Tabel 28-9).

Pemeriksaan lanjutan pada penyakit defisiensi imun


Defisiensi Sel B
 Uji Tapis:
Kadar IgG, IgM dan IgA

Titer isoaglutinin

Respon antibodi pada vaksin (Tetanus, difteri, H.influenzae)

 Uji lanjutan:
Enumerasi sel-B (CD19 atau CD20)

Kadar subklas IgG

Kadar IgE dan IgD

Titer antibodi natural (Anti Streptolisin-O/ASTO, E.coli

Respons antibodi terhadap vaksin tifoid dan pneumokokus

Foto faring lateral untuk mencari kelenjar adenoid

 Riset:
Fenotiping sel B lanjut

Biopsi kelenjar

Respons antibodi terhadap antigen khusus misal phage antigen

Ig-survival in vivo
Kadar Ig sekretoris

Sintesis Ig in vitro

Analisis aktivasi sel

Analisis mutasi

Defisiensi sel T
 Uji tapis:
Hitung limfosit total dan morfologinya
Hitung sel T dan sub populasi sel T : hitung sel T total, Th dan Ts

Uji kulit tipe lambat (CMI) : mumps, kandida, toksoid tetanus,


tuberkulin

Foto sinar X dada : ukuran timus

 Uji lanjutan:
Enumerasi subset sel T (CD3, CD4, CD8)

Respons proliferatif terhadap mitogen, antigen dan sel alogeneik

HLA typing

Analisis kromosom

 Riset:
Advance flow cytometry
Analisis sitokin dan sitokin reseptor

Cytotoxic assay (sel NK dan CTL)


Enzyme assay (adenosin deaminase, fosforilase nukleoside
purin/PNP)

Pencitraan timus dab fungsinya

Analisis reseptor sel T

Riset aktivasi sel T

Riset apoptosis

Biopsi

Analisis mutasi

Defisiensi fagosit
 Uji tapis:
Hitung leukosit total dan hitung jenis

Uji NBT (Nitro blue tetrazolium), kemiluminesensi : fungsi metabolik


neutrofil

Titer IgE

 Uji lanjutan:
Reduksi dihidrorhodamin

White cell turn over


Morfologi spesial

Kemotaksis dan mobilitas random

Phagocytosis assay
Bactericidal assays
 Riset:
Adhesion molecule assays (CD11b/CD18, ligan selektin)
Oxidative metabolism
Enzyme assays (mieloperoksidase, G6PD, NADPH)
Analisis mutasi

Defisensi komplemen
 Uji tapis:
Titer C3 dan C4

Aktivitas CH50

 Uji lanjutan:
Opsonin assays
Component assays
Activation assays (C3a, C4a, C4d, C5a)
 Riset:
Aktivitas jalur alternatif

Penilaian fungsi(faktor kemotaktik, immune adherence)

PENGOBATAN
Sesuai dengan keragaman penyebab, mekanisme dasar, dan kelainan klinisnya maka
pengobatan penyakit defisiensi imun sangat bervariasi. Pada dasarnya pengobatan tersebut
bersifat suportif, substitusi, imunomodulasi, atau kausal.

Pengobatan suportif meliputi perbaikan keadaan umum dengan memenuhi kebutuhan gizi
dan kalori, menjaga keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam-basa, kebutuhan oksigen,
serta melakukan usaha pencegahan infeksi. Substitusi dilakukan terhadap defisiensi
komponen imun, misalnya dengan memberikan eritrosit, leukosit, plasma beku, enzim,
serum hipergamaglobulin, gamaglobulin, imunoglobulin spesifik. Kebutuhan tersebut
diberikan untuk kurun waktu tertentu atau selamanya, sesuai dengan kondisi klinis.

Pengobatan imunomodulasi masih diperdebatkan manfaatnya, beberapa memang


bermanfaat dan ada yang hasilnya kontroversial. Obat yang diberikan antara lain adalah
faktor tertentu (interferon), antibodi monoklonal, produk mikroba (BCG), produk biologik
(timosin), komponen darah atau produk darah, serta bahan sintetik seperti inosipleks dan
levamisol.

Terapi kausal adalah upaya mengatasi dan mengobati penyebab defisiensi imun, terutama
pada defisiensi imun sekunder (pengobatan infeksi, suplemen gizi, pengobatan keganasan,
dan lain-lain). Defisiensi imun primer hanya dapat diobati dengan transplantasi (timus, hati,
sumsum tulang) atau rekayasa genetik.

Tatalaksana defisiensi antibodi


Terapi pengganti imunoglobulin (immunoglobulin replacement therapy) merupakan
keharusan pada anak dengan defek produksi antibodi. Preparat dapat berupa intravena atau
subkutan. Terapi tergantung pada keparahan hipogamaglobulinemia dan komplikasi.
Sebagian besar pasien dengan hipogamaglobulinemia memerlukan 400-600
mg/kg/bulan imunoglobulin untuk mencegah infeksi atau mengurangi komplikasi,
khususnya penyakit kronik pada paru dan usus. Imunoglobulin intravena (IVIG) merupakan
pilihan terapi, diberikan dengan interval 2-3 minggu. Pemantauan dilakukan terhadap
imunoglobulin serum, setelah mencapai kadar yang stabil (setelah 6 bulan), dosis infus
dipertahankan di atas batas normal.
Tatalaksana defek imunitas seluler
Tatalaksana pasien dengan defek berat imunitas seluler, termasuk SCID tidak hanya
melibatkan terapi antimikrobial namun juga penggunaan profilaksis. Untuk mencegah
infeksi maka bayi dirawat di area dengan tekanan udara positif. Pada pasien yang terbukti
atau dicurigai defek sel T harus dihindari imunisasi dengan vaksin hidup atau tranfusi darah.
Vaksin hidup dapat mengakibatkan infeksi diseminata, sedangkan tranfusi darah dapat
menyebabkan penyakit graft-versus-host.
Tandur (graft) sel imunokompeten yang masih hidup merupakan sarana satu-satunya untuk
perbaikan respons imun. Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan terapi pada
semua bentuk SCID. Terapi gen sedang dikembangkan dan diharapkan dapat mengatasi
defek gen.
PROGNOSIS
Prognosis penyakit defisiensi imun untuk jangka pendek dipengaruhi oleh beratnya
komplikasi infeksi. Untuk jangka panjang sangat tergantung dari jenis dan penyebab defek
sistem imun. Tetapi pada umumnya dapat dikatakan bahwa perjalanan penyakit defisiensi
imun primer buruk dan berakhir fatal, seperti juga halnya pada beberapa penyakit defisiensi
imun sekunder (AIDS). Diperkirakan sepertiga dari penderita defisiensi imun meninggal
pada usia muda karena komplikasi infeksi. Mortalitas penderita defisiensi imun humoral
adalah sekitar 29%. Beberapa penderita defisiensi IgA selektif dilaporkan sembuh spontan
Sedangkan hampir semua penderita defisiensi imun berat gabungan akan meninggal pada
usia dini.

Defisiensi imun ringan, terutama yang berhubungan dengan keadaan fisiologik


(pertumbuhan, kehamilan), infeksi, dan gangguan gizi dapat diatasi dengan baik bila belum
disertai defek imunologik yang menetap.

Вам также может понравиться