Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
SEH
U KE AT NDE
OLAH ING
T
KIA UTA
DISUSUN OLEH
Puji Syukur kami panjatkan kepada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Namun
demikian kami menyadari bahwa keberhasilan penyususnan makalah ini adalah
berkat bantuan dari berbagai pihak, oleh sebab itu kami tidak lupa mengucapkan
terima kasih kepada pihak yang telah memberi bantuan. Dalam makalah ini kami
akan menganalisa dan membandingkan 3 jurnal yaitu :
1. PENGARUH TERAPI KOMPRES DINGIN TERHADAP NYERI POST
OPERASI ORIF (OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION) PADA
PASIEN FRAKTUR DI RSD DR. H. KOESNADI BONDOWOSO (Amanda
Putri Anugerah, Retno Purwandari, Mulia Hakam) (2017)
2. PENGARUH SLOW DEEP BREATHING TERHADPA INTENSITAS
NYERI PASIEN POST ORIF DI RS TLOGOREJO SEMARANG (Ismonah,
Dian Ayu Cahyaningrum, M. Syamsul Arif) (2013)
3. PENGARUH RANGE OF MOTION (ROM) TERHADAP INTENSITAS
NYERI PADA PASIEN POST OPERASI FRAKTUR EKSTREMITAS
BAWAH (Orien Permana, Sofiana Nurchayati, Herlina3ri. (2013)
Pati, April
2018
Penyususn
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kecelakaan lalu lintas merupakan masalah kesehatan masyarakat di
seluruh dunia, khususnya di negara berkembang. Menurut Global Status
Report on Road Safety 2013 yang dibuat oleh World Health Organization
(WHO), sebanyak 1,24 juta korban meninggal tiap tahunnya di seluruh dunia
akibat kecelakaan lalu lintas. Di Indonesia pada tahun 2010 telah terjadi
31.234 kematian akibat kecelakaan lalu lintas.(WHO, 2013). Trauma yang
dialami seseorang akan menyebabkan masalah-masalah seperti, biaya yang
besar untuk mengembalikan fungsi tulang setelah mengalami trauma, risiko
kematian yang tinggi, produktivitas menurun akibat banyak kehilangan waktu
untuk bekerja, dan kecacatan sementara sampai permanen. Salah satu bentuk
trauma yang diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas tersebut adalah yang
mengenai sistem muskuloskeletal yaitu terjadinya fraktur (Muttaqin, 2008).
Fraktur atau patah tulang merupakan suatu kondisi terputusnya
kontinuitas tulang dan tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa dan juga disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik yang ditentukan
jenis dan luasnya trauma. Penyebab fraktur adalah trauma, yang dibagi atas
trauma langsung, trauma tidak langsung, dan trauma ringan. Trauma langsung
yaitu benturan pada tulang, biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring
dimana daerahtrochanter mayor langsung terbentur dengan benda keras
(jalanan). Trauma tidak langsung yaitu titik tumpuan benturan dan fraktur
berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di kamar mandi. Trauma ringan yaitu
keadaan yang dapat menyebabkan fraktur bila tulang itu sendiri sudah rapuh
atau underlying deases atau frakturpatologis (Sjamsuhidayat & Wim de
Jong,2010).
Prinsip penanganan pertama pada fraktur berupa tindakan reduksi
dan imobilisasi. Tindakan reduksi dengan pembedahan disebut dengan
reduksi terbuka yang dilakukan pada lebih dari 60% kasus fraktur, sedangkan
tindakan reduksi tertutup hanya dilakukan pada simple fracture dan pada
anak-anak. Imobilisasi pada penatalaksanaan fraktur merupakan tindakan
untuk mempertahankan proses reduksi sampai terjadi proses penyembuhan.
Pemasangan screw dan plate atau dikenal dengan pen merupakan salah satu
bentuk reduksi dan imobilisasi yang dilakukan dengan prosedur pembedahan,
dikenal dengan Open Reduction and Internal Fixation (ORIF). Alat fiksasi
yang digunakan terdiri dari beberapa logam panjang yang menembus axis
tulang dan dihubungkan oleh penjepit sehingga tulang yang direduksi dijepit
oleh logam tersebut.
Nyeri pasca pembedahan ORIF disebabkan oleh tindakan invasif
bedah yang dilakukan. Walaupun fragmen tulang telah direduksi, tetapi
manipulasi seperti pemasangan screw dan plate menembus tulang akan
menimbulkan nyeri hebat. Nyeri tersebut bersifat akut yang berlangsung
selama berjam-jam hingga berhari-hari. Hal ini disebabkan oleh
berlangsungnya fase inflamasi yang disertai dengan edema jaringan. Lamanya
proses penyembuhan setelah mendapatkan penanganan dengan fiksasi
internal akan berdampak pada keterbatasan gerak yang disebabkan oleh nyeri
maupun adaptasi terhadap penambahan screw dan plate tersebut. Kondisi
nyeri ini seringkali menimbulkan gangguan pada pasien baik gangguan
fisiologis maupun psikologis.
Teknik nonfarmakologi merupakan suatu strategi koping yang
mampu mengurangi persepsi nyeri sehingga nyeri dapat ditoleransi,
kecemasan menjadi menurun dan efektivitas analgesik menjadi meningkat
(Hockenberry & Wilson, 2009).
Berdasarkan uraian di atas kami akan melakukan analisa dan
membandingkan 3 jurnal tentang terapi mengurangi rasa nyeri pada pasien
fraktur post orif.
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Melakukan analisis dan membandingan tiga jurnal tentang terapi
manajemen nyeri untuk mengurangi rasa nyeri pada pasien fraktur post
orif.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui teori tentang nyeri
b. Mengetaui teori tentang Fraktur
c. Mengetahui tentang rencana terapi dalam menurunkan nyeri pada
pasien fraktur post orif.
C. MANFAAT
Bagi perawat dapat menambah ilmu pengetahuan tentang terapi
manajemen nyeri untuk mengurangi rasa nyeri pada pasien fraktur post orif
dengan serta dapat diterapkan dalam membrikan asuhan keperawatan.
BAB II
TINJAUAN JURNAL
A. RESUME JURNAL
PENGARUH TERAPI KOMPRES DINGIN TERHADAP NYERI POST
OPERASI ORIF (OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION) PADA
PASIEN FRAKTUR DI RSD DR. H. KOESNADI BONDOWOSO (Amanda
Putri Anugerah, Retno Purwandari, Mulia Hakam) (2017)
Kompres dingin dapat meredakan nyeri dikarenakan kompres dingin
dapat mengurangi aliran darah ke suatu bagian dan mengurangi perdarahan
edema yang diperkirakan menimbulkan efek analgetik dengan memperlambat
kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih
sedikit. Pemberian kompres dingin dapat meningkatkan pelepasan endorfin
yang memblok transmisi stimulus nyeri dan juga menstimulasi serabut saraf
yang memiliki diameter besar α-Beta sehingga menurunkan transmisi impuls
nyeri melalui serabut kecil α-Delta dan serabut saraf C.
Metode penelitian ini adalah pre eksperimental dengan desain one
group pretest-posttest. Teknik pengambilan sampel adalah quota sampling
melibatkan 10 responden. Variabel independen adalah terapi kompres dingin
dan variabel dependen adalah nyeri pasca operasi.
Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang signifikan antara
pretest dan posttest (p = 0,005). Hasil ini menunjukkan bahwa ada pengaruh
yang signifikan dari terapi kompres dingin terhadap nyeri post operasi pada
pasien fraktur ORIF. Perawat disarankan untuk menerapkan terapi kompres
dingin sebagai salah satu intervensi untuk mengurangi nyeri pasca operasi
pada pasien fraktur ORIF.
2. Etiologi
Menurut Carpenito (2013:47) adapun penyebab fraktur antara lain:
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring.
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi
dari ketiganya, dan penarikan.
Menurut (Doenges, 2013:627) adapun penyebab fraktur antara lain:
a. Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda
paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang
mengakibatkan fraktur
b. Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh
dari tempat kejadian kekerasan.
c. Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal (kongenital,
peradangan, neuplastik dan metabolik).
3. Klasifikasi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan
tidak langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau
luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma
terutama pada anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan.
(Doenges, 2013:627)
Klasifikasi fraktur secara umum
a. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan
cruris dst).
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur:
1) Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang).
2) Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis
penampang tulang).
c. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang samaa
d. Berdasarkan posisi fragmen :
1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang
yang juga disebut lokasi fragmen
e. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri
yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan
lunak sekitarnya.
Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata ddan ancaman sindroma kompartement.
Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.
Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu :
o Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
o Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang
ekstensif.
o Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan
jaringan lunak ekstensif.
4. Komplikasi
Komplikasi awal
a. Kerusakan Artery
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin
pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting,
perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang
tertutup di otot, yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan
sehingga menyebabkan hambatan aliran darah yang berat dan
berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala – gejalanya
mencakup rasa sakit karena ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit
yang berhubungan dengan tekanan yang berlebihan pada kompartemen,
rasa sakit dengan perenggangan pasif pada otot yang terlibat, dan
paresthesia. Komplikasi ini terjadi lebih sering pada fraktur tulang
kering (tibia) dan tulang hasta (radius atau ulna).
c. Fat Embolism Syndrom
Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi
fatal. Hal ini terjadi ketika gelembung – gelembung lemak terlepas dari
sumsum tulang dan mengelilingi jaringan yang rusak. Gelombang
lemak ini akan melewati sirkulasi dan dapat menyebabkan oklusi pada
pembuluh – pembuluh darah pulmonary yang menyebabkan sukar
bernafas. Gejala dari sindrom emboli lemak mencakup dyspnea,
perubahan dalam status mental (gaduh, gelisah, marah, bingung,
stupor), tachycardia, demam, ruam kulit ptechie.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke
dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali
dengan adanya Volkman’s Ischemia. Nekrosis avaskular dapat terjadi
saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal ini paling sering mengenai
fraktur intrascapular femur (yaitu kepala dan leher), saat kepala femur
berputar atau keluar dari sendi dan menghalangi suplai darah. Karena
nekrosis avaskular mencakup proses yang terjadi dalam periode waktu
yang lama, pasien mungkin tidak akan merasakan gejalanya sampai dia
keluar dari rumah sakit. Oleh karena itu, edukasi pada pasien
merupakan hal yang penting. Perawat harus menyuruh pasien supaya
melaporkan nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri yang menetap
pada saat menahan beban
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi.
Ini biasanya terjadi pada fraktur.
g. Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks
tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau
hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Patogen dapat
masuk melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau selama operasi.
Luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang terlihat
tulangnya, luka amputasi karena trauma dan fraktur – fraktur dengan
sindrom kompartemen atau luka vaskular memiliki risiko osteomyelitis
yang lebih besar
Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union (Penyatuan tertunda)
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
b. Non union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa.
Kadang –kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor –
faktor yang dapat menyebabkan non union adalah tidak adanya
imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar dari fragmen
contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis.
c. Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk
menimbulkan deformitas, angulasi atau pergeseran.
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. X.Ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang
yang cedera.
b. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
c. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
d. CCT kalau banyak kerusakan otot.
e. Pemeriksaan Darah Lengkap
Lekosit turun/meningkat, Eritrosit dan Albumin turun, Hb, hematokrit
sering rendah akibat perdarahan, Laju Endap Darah (LED) meningkat
bila kerusakan jaringan lunak sangat luas, Pada masa penyembuhan Ca
meningkat di dalam darah, traumaa otot meningkatkan beban kreatinin
untuk ginjal. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan
darah, transfusi multiple, atau cederah hati.
6. Penatalaksanaan
Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah :
a. Untuk menghilangkan rasa nyeri.
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun
karena terluka jaringan disekitar tulang yang patah tersebut. Untuk
mengurangi nyeri tersebut, dapat diberikan obat penghilang rasa nyeri
dan juga dengan tehnik imobilisasi (tidak menggerakkan daerah yang
fraktur). Tehnik imobilisasi dapat dicapai dengan cara pemasangan
bidai atau gips.
1) Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling
tulang
2) Pemasangan gips
3) Merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang
patah. Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai
dengan bentuk tubuh. Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah :
Immobilisasi dan penyangga fraktur
Istirahatkan dan stabilisasi
Koreksi deformitas
Mengurangi aktifitas
Membuat cetakan tubuh orthotik
Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan
gips adalah :
Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan
Gips patah tidak bisa digunakan
Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat
membahayakan klien
Jangan merusak / menekan gips
Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam gips /
menggaruk
Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama
b. Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari
fraktur.
Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang
lama. Untuk itu diperlukan lagi tehnik yang lebih mantap seperti
pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal, atau fiksasi internal
tergantung dari jenis frakturnya sendiri.
Penarikan (traksi) :
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali
pada ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa
sehingga arah tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah.
Metode pemasangan traksi antara lain :
Traksi manual
Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan
pada keadaan emergency
Traksi mekanik, ada 2 macam :
o Traksi kulit (skin traction)
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain
misal otot. Digunakan dalam waktu 4 minggu dan beban < 5
kg.
o Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang
merupakan balanced traction. Dilakukan untuk
menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal / penjepit
melalui tulang / jaringan metal.
Kegunaan pemasangan traksi, antara lain :
Mengurangi nyeri akibat spasme otot
Memperbaiki & mencegah deformitas
Immobilisasi
Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi)
Mengencangkan pada perlekatannya
Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi
dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya,
dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan
lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih
posisi nafas panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.
Cara Pengkajian Nyeri Berdasarkan PQRST
P : Provokatif / Paliatif
Apa kira-kira Penyebab timbulnya rasa nyeri...? Apakah karena terkena ruda
paksa / benturan..? Akibat penyayatan..? dll.
Q : Qualitas / Quantitas
Seberapa berat keluhan nyeri terasa..?. Bagaimana rasanya..?. Seberapa sering
terjadinya..? Ex : Seperti tertusuk, tertekan / tertimpa benda berat, diris-iris,
dll.
R : Region / Radiasi
Lokasi dimana keluhan nyeri tersebut dirasakan / ditemukan..? Apakah juga
menyebar ke daerah lain / area penyebarannya..?
S : Skala Seviritas
Skala kegawatan dapat dilihat menggunakan GCS untuk gangguan kesadaran,
skala nyeri / ukuran lain yang berkaitan dengan keluhan
T : Timing
Kapan keluhan nyeri tersebut mulai ditemukan / dirasakan..? Seberapa sering
keluhan nyeri tersebut dirasakan / terjadi...? Apakah terjadi secara mendadak
atau bertahap..? Acut atau Kronis..?
BAB III
PEMBAHASAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan analisa dari masing-masing jurnal didapatkan
kesimpulan: Adanya penurunan rasa nyeri pada pasien dengan fraktur yang
dilakukan pembedahan orif. Dari ketiga terapi yang di analisa mudah dalam
pelaksanaanya. Pada terapi kompres dingin penurunan nyeri sesudah
dilakukan terapi adalah 2,9. Pada jurnal terapi Slow deep brething setelah
dilakukan terapi penurunya nyeri 3, sedangkan pada terapi ROM setelah
dilakukan terapi penurunan nyeri 3,27. Jadi dari hasil diatas dapat
disimpulkan terapi kompres dingin mempunyai efek yang paling efektif
terhadap penurunan rasa nyeri.
B. SARAN
1. Bagi pelayanan kesehatan
Penelitian ini menjadi bahan masukan bagi perawat untuk dijadikan
sebagai penatalaksanaan keperawatan dalam menurunkan rasa nyeri pada
pasien fraktur post orif di Rumah Sakit
2. Bagi pendidikan kesehatan
Penelitian ini sebagai bahan masukan dan refrensi untuk diskusi dalam
meningkatkan ilmu pengetahuan dalam menurunkan nyeri pada pasien
fraktur post orif
3. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini menjadi bahan referensi dalam penelitian selanjutnya
dalam melakukan penelitian yang sama