Вы находитесь на странице: 1из 27

ANALISIS JURNAL KEPERAWATAN

TERAPI MANAJEMEN NYERI UNTUK MENGURANGI


RASA NYERI PADA PASIEN POST ORIF DENGAN FRAKTUR
DI RSUD KAYEN PATI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Profesi Ners Stase KMB

SEH
U KE AT NDE
OLAH ING
T

KIA UTA

DISUSUN OLEH

1. AHSANUL MAROM 7. MOH DIMYATI


2. BESTARI SARJONO 8. PRAMONO
3. FX ADI KUSMANTO 9. PURWATI
4. KARNAWI 10. SARBI
5. KRESNA SUTIYASA 11. SRI PUJI WAHYUTI
6. LIS SUCIATI 12. SUGIHARTO

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
CENDIKIA UTAMA KUDUS
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kepada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Namun
demikian kami menyadari bahwa keberhasilan penyususnan makalah ini adalah
berkat bantuan dari berbagai pihak, oleh sebab itu kami tidak lupa mengucapkan
terima kasih kepada pihak yang telah memberi bantuan. Dalam makalah ini kami
akan menganalisa dan membandingkan 3 jurnal yaitu :
1. PENGARUH TERAPI KOMPRES DINGIN TERHADAP NYERI POST
OPERASI ORIF (OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION) PADA
PASIEN FRAKTUR DI RSD DR. H. KOESNADI BONDOWOSO (Amanda
Putri Anugerah, Retno Purwandari, Mulia Hakam) (2017)
2. PENGARUH SLOW DEEP BREATHING TERHADPA INTENSITAS
NYERI PASIEN POST ORIF DI RS TLOGOREJO SEMARANG (Ismonah,
Dian Ayu Cahyaningrum, M. Syamsul Arif) (2013)
3. PENGARUH RANGE OF MOTION (ROM) TERHADAP INTENSITAS
NYERI PADA PASIEN POST OPERASI FRAKTUR EKSTREMITAS
BAWAH (Orien Permana, Sofiana Nurchayati, Herlina3ri. (2013)

Kami menyadari bahwa banyak kekurangan dari penyusunan makalah ini.


Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sangat berharap semoga ini dapat menambah wawasan dan
manfaat pembaca pada umumnya.

Pati, April
2018

Penyususn
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kecelakaan lalu lintas merupakan masalah kesehatan masyarakat di
seluruh dunia, khususnya di negara berkembang. Menurut Global Status
Report on Road Safety 2013 yang dibuat oleh World Health Organization
(WHO), sebanyak 1,24 juta korban meninggal tiap tahunnya di seluruh dunia
akibat kecelakaan lalu lintas. Di Indonesia pada tahun 2010 telah terjadi
31.234 kematian akibat kecelakaan lalu lintas.(WHO, 2013). Trauma yang
dialami seseorang akan menyebabkan masalah-masalah seperti, biaya yang
besar untuk mengembalikan fungsi tulang setelah mengalami trauma, risiko
kematian yang tinggi, produktivitas menurun akibat banyak kehilangan waktu
untuk bekerja, dan kecacatan sementara sampai permanen. Salah satu bentuk
trauma yang diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas tersebut adalah yang
mengenai sistem muskuloskeletal yaitu terjadinya fraktur (Muttaqin, 2008).
Fraktur atau patah tulang merupakan suatu kondisi terputusnya
kontinuitas tulang dan tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa dan juga disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik yang ditentukan
jenis dan luasnya trauma. Penyebab fraktur adalah trauma, yang dibagi atas
trauma langsung, trauma tidak langsung, dan trauma ringan. Trauma langsung
yaitu benturan pada tulang, biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring
dimana daerahtrochanter mayor langsung terbentur dengan benda keras
(jalanan). Trauma tidak langsung yaitu titik tumpuan benturan dan fraktur
berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di kamar mandi. Trauma ringan yaitu
keadaan yang dapat menyebabkan fraktur bila tulang itu sendiri sudah rapuh
atau underlying deases atau frakturpatologis (Sjamsuhidayat & Wim de
Jong,2010).
Prinsip penanganan pertama pada fraktur berupa tindakan reduksi
dan imobilisasi. Tindakan reduksi dengan pembedahan disebut dengan
reduksi terbuka yang dilakukan pada lebih dari 60% kasus fraktur, sedangkan
tindakan reduksi tertutup hanya dilakukan pada simple fracture dan pada
anak-anak. Imobilisasi pada penatalaksanaan fraktur merupakan tindakan
untuk mempertahankan proses reduksi sampai terjadi proses penyembuhan.
Pemasangan screw dan plate atau dikenal dengan pen merupakan salah satu
bentuk reduksi dan imobilisasi yang dilakukan dengan prosedur pembedahan,
dikenal dengan Open Reduction and Internal Fixation (ORIF). Alat fiksasi
yang digunakan terdiri dari beberapa logam panjang yang menembus axis
tulang dan dihubungkan oleh penjepit sehingga tulang yang direduksi dijepit
oleh logam tersebut.
Nyeri pasca pembedahan ORIF disebabkan oleh tindakan invasif
bedah yang dilakukan. Walaupun fragmen tulang telah direduksi, tetapi
manipulasi seperti pemasangan screw dan plate menembus tulang akan
menimbulkan nyeri hebat. Nyeri tersebut bersifat akut yang berlangsung
selama berjam-jam hingga berhari-hari. Hal ini disebabkan oleh
berlangsungnya fase inflamasi yang disertai dengan edema jaringan. Lamanya
proses penyembuhan setelah mendapatkan penanganan dengan fiksasi
internal akan berdampak pada keterbatasan gerak yang disebabkan oleh nyeri
maupun adaptasi terhadap penambahan screw dan plate tersebut. Kondisi
nyeri ini seringkali menimbulkan gangguan pada pasien baik gangguan
fisiologis maupun psikologis.
Teknik nonfarmakologi merupakan suatu strategi koping yang
mampu mengurangi persepsi nyeri sehingga nyeri dapat ditoleransi,
kecemasan menjadi menurun dan efektivitas analgesik menjadi meningkat
(Hockenberry & Wilson, 2009).
Berdasarkan uraian di atas kami akan melakukan analisa dan
membandingkan 3 jurnal tentang terapi mengurangi rasa nyeri pada pasien
fraktur post orif.

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Melakukan analisis dan membandingan tiga jurnal tentang terapi
manajemen nyeri untuk mengurangi rasa nyeri pada pasien fraktur post
orif.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui teori tentang nyeri
b. Mengetaui teori tentang Fraktur
c. Mengetahui tentang rencana terapi dalam menurunkan nyeri pada
pasien fraktur post orif.

C. MANFAAT
Bagi perawat dapat menambah ilmu pengetahuan tentang terapi
manajemen nyeri untuk mengurangi rasa nyeri pada pasien fraktur post orif
dengan serta dapat diterapkan dalam membrikan asuhan keperawatan.
BAB II
TINJAUAN JURNAL

A. RESUME JURNAL
PENGARUH TERAPI KOMPRES DINGIN TERHADAP NYERI POST
OPERASI ORIF (OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION) PADA
PASIEN FRAKTUR DI RSD DR. H. KOESNADI BONDOWOSO (Amanda
Putri Anugerah, Retno Purwandari, Mulia Hakam) (2017)
Kompres dingin dapat meredakan nyeri dikarenakan kompres dingin
dapat mengurangi aliran darah ke suatu bagian dan mengurangi perdarahan
edema yang diperkirakan menimbulkan efek analgetik dengan memperlambat
kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih
sedikit. Pemberian kompres dingin dapat meningkatkan pelepasan endorfin
yang memblok transmisi stimulus nyeri dan juga menstimulasi serabut saraf
yang memiliki diameter besar α-Beta sehingga menurunkan transmisi impuls
nyeri melalui serabut kecil α-Delta dan serabut saraf C.
Metode penelitian ini adalah pre eksperimental dengan desain one
group pretest-posttest. Teknik pengambilan sampel adalah quota sampling
melibatkan 10 responden. Variabel independen adalah terapi kompres dingin
dan variabel dependen adalah nyeri pasca operasi.
Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang signifikan antara
pretest dan posttest (p = 0,005). Hasil ini menunjukkan bahwa ada pengaruh
yang signifikan dari terapi kompres dingin terhadap nyeri post operasi pada
pasien fraktur ORIF. Perawat disarankan untuk menerapkan terapi kompres
dingin sebagai salah satu intervensi untuk mengurangi nyeri pasca operasi
pada pasien fraktur ORIF.

PENGARUH SLOW DEEP BREATHING TERHADPA INTENSITAS


NYERI PASIEN POST ORIF DI RS TLOGOREJO SEMARANG (Ismonah,
Dian Ayu Cahyaningrum, M. Syamsul Arif) (2013)
Teknik relaksasi napas dalam (slow deep breathing) merupakan salah
satu bentuk asuhan keperawatan yang dalam hal ini perawat mengajarkan
pasien bagai mana cara melakukan napas dalam, napas lambat ( menahan
inspirasi secara maksimal ) dan bagaiman menghembuskan napas secara
perlahan. Selain dapat menurunkn intensitas nyeri, teknik relaksasi napas
dalam dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah.
Selain itu teknik relaksasi juga merupakan metode yang efektif untuk
mengurangi nyeri pada pasien yang mengalami nyeri kronis. Relaksasi
sempurna dapat mengurangi ketegangan otot, rasa jenuh dan kecemasan
sehingga dapat menghabat stimulasi nyeri.
Metode penelitian yang digunakan adalah quasi eksperiment
( eksperimen semu) dengan rancangan one group pretest-postest dengan 24
responden. Penelitian ini mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara
melibatkan satu kelompok subjek. Kelompok subjek diobservasi sebelum
dilakukan intervensi. Penerapan penelitian ini dilakukan obsevasi terhadap
skala nyeri sebelum dan sesudah dialkukan intervensi slow deep breathing
(Nursallam , 2013)
Hasil uji wilcox didapatkan bahwa p value = 0.00 dan Z -4.463.
Karena P value , 0.05. maka kesimpulanya ada pengaruh slow deep breathing
dalam menurunkan intensitas nyeri pada pasien post orif, sehinnga Ha
diterima Ho ditolak.

PENGARUH RANGE OF MOTION (ROM) TERHADAP INTENSITAS


NYERI PADA PASIEN POST OPERASI FRAKTUR EKSTREMITAS
BAWAH (Orien Permana, Sofiana Nurchayati, Herlina3ri. (2013)
Range Of Motion (ROM) adalah Latihan gerakan sendi yang
memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, di mana klien
menggerakan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik
secara aktif ataupun pasif (Perry & Potter, 2006). Meningkatkan kemampuan
aktivitas mandiri pasien harus melakukan pergerakan, hal tersebut juga
bertujuan untuk menghilangkan kekakuan pada otot dan tulang, terutama
pada pasien post operasi. Pergerakan badan sedini mungkin dan nyeri yang
dirasakan pada saat latihan gerakan sendi harus dapat ditahan dan
keseimbangan tubuh tidak lagi menjadi gangguan (Kusmawan, 2008).
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quasy
Experiment dengan rancangan penelitian Non-Equivalent Control Group,
yaitu sebuah rancangan penelitian dimana peneliti tidak melakukan
randomisasi untuk pengelompokan antara kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Penelitian ini melibatkan dua kelompok, yaitu kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Dalam penelitian ini kelompok
eksperimen diberikan intervensi/perlakuan. Sedangkan pada kelompok
kontrol tidak diberikan intervensi/perlakuan. Pada kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol masing-masing dilakukan pengukuran sebelum diberikan
intervensi (pre-test) dan setelah diberikan intervensi (post-test) (Hidayat,
2007).
Hasil yang didapatkan dari penelitian ini yaitu pada kelompok
eksperimen terdapat penurunan yang signifikan antara pretest dan posttest,
dan pada kelompok kontrol juga didapatkan adanya penurunan yang terjadi
pada pretest dan posttest. Hasil ini membuktikan terdapat bahwa pengaruh
ROM efektif menurunkan intensitasnyeri pada pasien post operasi fraktur
ekstremitas bawah. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Purwanti dan Purwaningsih (2013), yang menyatakan bahwa pengaruh
latihan ROM aktif efektif untuk kekuatan otot pada pasien post operasi
humerus dengan ρ value (0,000) < α (0,05).

B. KONSEP DASAR FRAKTUR


1. Pengertian
Fraktur adalah patahnya tulang, yang biasanya dialami hewan kecil
akibat kecelakaan, terjatuh dan luka (Bleby & Bishop, 2015).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Sjamsuhidayat, 2014).
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh.
Kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak
langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2014).

2. Etiologi
Menurut Carpenito (2013:47) adapun penyebab fraktur antara lain:
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring.
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi
dari ketiganya, dan penarikan.
Menurut (Doenges, 2013:627) adapun penyebab fraktur antara lain:
a. Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda
paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang
mengakibatkan fraktur
b. Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh
dari tempat kejadian kekerasan.
c. Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal (kongenital,
peradangan, neuplastik dan metabolik).

3. Klasifikasi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan
tidak langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau
luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma
terutama pada anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan.
(Doenges, 2013:627)
Klasifikasi fraktur secara umum
a. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan
cruris dst).
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur:
1) Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang).
2) Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis
penampang tulang).
c. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang samaa
d. Berdasarkan posisi fragmen :
1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang
yang juga disebut lokasi fragmen
e. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri
yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
 Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan
lunak sekitarnya.
 Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
 Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
 Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata ddan ancaman sindroma kompartement.
 Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.
Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu :
o Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
o Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang
ekstensif.
o Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan
jaringan lunak ekstensif.

f. Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme


trauma :
1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.
g. Berdasarkan kedudukan tulangnya :
1) Tidak adanya dislokasi.
2) Adanya dislokasi
 At axim : membentuk sudut.
 At lotus : fragmen tulang berjauhan.
 At longitudinal : berjauhan memanjang.
 At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek.
h. Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
1) 1/3 proksimal
2) 1/3 medial
3) 1/3 distal
4) Fraktur Kelelahan : Fraktur akibat tekanan yang berulang-
ulang.
5) Fraktur Patologis : Fraktur yang diakibatkan karena proses
patologis tulang.

4. Komplikasi
Komplikasi awal
a. Kerusakan Artery
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin
pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting,
perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang
tertutup di otot, yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan
sehingga menyebabkan hambatan aliran darah yang berat dan
berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala – gejalanya
mencakup rasa sakit karena ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit
yang berhubungan dengan tekanan yang berlebihan pada kompartemen,
rasa sakit dengan perenggangan pasif pada otot yang terlibat, dan
paresthesia. Komplikasi ini terjadi lebih sering pada fraktur tulang
kering (tibia) dan tulang hasta (radius atau ulna).
c. Fat Embolism Syndrom
Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi
fatal. Hal ini terjadi ketika gelembung – gelembung lemak terlepas dari
sumsum tulang dan mengelilingi jaringan yang rusak. Gelombang
lemak ini akan melewati sirkulasi dan dapat menyebabkan oklusi pada
pembuluh – pembuluh darah pulmonary yang menyebabkan sukar
bernafas. Gejala dari sindrom emboli lemak mencakup dyspnea,
perubahan dalam status mental (gaduh, gelisah, marah, bingung,
stupor), tachycardia, demam, ruam kulit ptechie.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke
dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali
dengan adanya Volkman’s Ischemia. Nekrosis avaskular dapat terjadi
saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal ini paling sering mengenai
fraktur intrascapular femur (yaitu kepala dan leher), saat kepala femur
berputar atau keluar dari sendi dan menghalangi suplai darah. Karena
nekrosis avaskular mencakup proses yang terjadi dalam periode waktu
yang lama, pasien mungkin tidak akan merasakan gejalanya sampai dia
keluar dari rumah sakit. Oleh karena itu, edukasi pada pasien
merupakan hal yang penting. Perawat harus menyuruh pasien supaya
melaporkan nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri yang menetap
pada saat menahan beban
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi.
Ini biasanya terjadi pada fraktur.
g. Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks
tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau
hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Patogen dapat
masuk melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau selama operasi.
Luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang terlihat
tulangnya, luka amputasi karena trauma dan fraktur – fraktur dengan
sindrom kompartemen atau luka vaskular memiliki risiko osteomyelitis
yang lebih besar
Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union (Penyatuan tertunda)
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
b. Non union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa.
Kadang –kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor –
faktor yang dapat menyebabkan non union adalah tidak adanya
imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar dari fragmen
contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis.
c. Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk
menimbulkan deformitas, angulasi atau pergeseran.

5. Pemeriksaan Diagnostik
a. X.Ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang
yang cedera.
b. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
c. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
d. CCT kalau banyak kerusakan otot.
e. Pemeriksaan Darah Lengkap
Lekosit turun/meningkat, Eritrosit dan Albumin turun, Hb, hematokrit
sering rendah akibat perdarahan, Laju Endap Darah (LED) meningkat
bila kerusakan jaringan lunak sangat luas, Pada masa penyembuhan Ca
meningkat di dalam darah, traumaa otot meningkatkan beban kreatinin
untuk ginjal. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan
darah, transfusi multiple, atau cederah hati.

6. Penatalaksanaan
Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah :
a. Untuk menghilangkan rasa nyeri.
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun
karena terluka jaringan disekitar tulang yang patah tersebut. Untuk
mengurangi nyeri tersebut, dapat diberikan obat penghilang rasa nyeri
dan juga dengan tehnik imobilisasi (tidak menggerakkan daerah yang
fraktur). Tehnik imobilisasi dapat dicapai dengan cara pemasangan
bidai atau gips.
1) Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling
tulang
2) Pemasangan gips
3) Merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang
patah. Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai
dengan bentuk tubuh. Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah :
 Immobilisasi dan penyangga fraktur
 Istirahatkan dan stabilisasi
 Koreksi deformitas
 Mengurangi aktifitas
 Membuat cetakan tubuh orthotik
 Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan
gips adalah :
 Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan
 Gips patah tidak bisa digunakan
 Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat
membahayakan klien
 Jangan merusak / menekan gips
 Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam gips /
menggaruk
 Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama
b. Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari
fraktur.
Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang
lama. Untuk itu diperlukan lagi tehnik yang lebih mantap seperti
pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal, atau fiksasi internal
tergantung dari jenis frakturnya sendiri.
Penarikan (traksi) :
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali
pada ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa
sehingga arah tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah.
Metode pemasangan traksi antara lain :

 Traksi manual
Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan
pada keadaan emergency
 Traksi mekanik, ada 2 macam :
o Traksi kulit (skin traction)
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain
misal otot. Digunakan dalam waktu 4 minggu dan beban < 5
kg.
o Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang
merupakan balanced traction. Dilakukan untuk
menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal / penjepit
melalui tulang / jaringan metal.
Kegunaan pemasangan traksi, antara lain :
 Mengurangi nyeri akibat spasme otot
 Memperbaiki & mencegah deformitas
 Immobilisasi
 Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi)
Mengencangkan pada perlekatannya

C. KONSEP DASAR NYERI


Definisi nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi
seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya
(Tamsuri, 2007).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri
adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang
didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan
Fisiologi nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah
ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat
yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut
juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang
bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam
beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep
somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah,
nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang
berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan.
Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det)
yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang
apabila penyebab nyeri dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det)
yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat
tumpul dan sulit dilokalisasi
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang
terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan
penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang
timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya.
Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap
pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia
dan inflamasi.
Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan
bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini
dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat
timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri,
2007)
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan
bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di
sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri
dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah
pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar
teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol
desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C
melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls
melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron
beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang
melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan
berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan.
Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat
menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan
menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari
serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan
klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke
otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri.
Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin,
suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini
menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P.
tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk
melepaskan endorfin (Potter, 2005)
Respon Psikologis
respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien
terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien.
Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :
1. Bahaya atau merusak
2. Komplikasi seperti infeksi
3. Penyakit yang berulang
4. Penyakit baru
5. Penyakit yang fatal
6. Peningkatan ketidakmampuan
7. Kehilangan mobilitas
8. Menjadi tua
9. Sembuh
10. Perlu untuk penyembuhan
11. Hukuman untuk berdosa
12. Tantangan
13. Penghargaan terhadap penderitaan orang lain
14. Sesuatu yang harus ditoleransi
15. Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki
Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat
pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya
Respon fisiologis terhadap nyeri
1. Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
a. Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
b. Peningkatan heart rate
c. Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
d. Peningkatan nilai gula darah
e. Diaphoresis
f. Peningkatan kekuatan otot
g. Dilatasi pupil
h. Penurunan motilitas GI
2. Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
a. Muka pucat
b. Otot mengeras
c. Penurunan HR dan BP
d. Nafas cepat dan irreguler
e. Nausea dan vomitus
f. Kelelahan dan keletihan
Respon tingkah laku terhadap nyeri
1. Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
2. Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
3. Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
4. Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan
gerakan jari & tangan
5. Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan,
Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd
aktivitas menghilangkan nyeri)
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat
bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa
menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat
individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan
dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas
karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
1. Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase
ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan
seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri
tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam
memberikan informasi pada klien.
2. Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat
subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda.
Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan
orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri
tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang
toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan
stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri
mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi
terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum
nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana
orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama.
Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi
sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan
nyeri lebih besar.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari
ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan
klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang
menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti
apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu
orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri.
Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk
membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
3. Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien
masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis,
sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila
klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon
akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat
berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan
rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.
Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
1. Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji
respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika
sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung
memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri
adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami
penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
2. Jenis kelamin
Mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam
merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas
kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
3. Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon
terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa
nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan
kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4. Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan
dan bagaimana mengatasinya.
5. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang
meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya
distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik
relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
6. Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan
seseorang cemas.
7. Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat
ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya.
Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di
masa lalu dalam mengatasi nyeri.
8. Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan
sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang
mengatasi nyeri.
9. Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota
keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan
Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri
dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan
individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan
sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda.
Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah
menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun,
pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti
tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1. skala intensitas nyeri deskritif

Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi
dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya,
dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan
lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih
posisi nafas panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.
Cara Pengkajian Nyeri Berdasarkan PQRST
P : Provokatif / Paliatif
Apa kira-kira Penyebab timbulnya rasa nyeri...? Apakah karena terkena ruda
paksa / benturan..? Akibat penyayatan..? dll.
Q : Qualitas / Quantitas
Seberapa berat keluhan nyeri terasa..?. Bagaimana rasanya..?. Seberapa sering
terjadinya..? Ex : Seperti tertusuk, tertekan / tertimpa benda berat, diris-iris,
dll.
R : Region / Radiasi
Lokasi dimana keluhan nyeri tersebut dirasakan / ditemukan..? Apakah juga
menyebar ke daerah lain / area penyebarannya..?
S : Skala Seviritas
Skala kegawatan dapat dilihat menggunakan GCS untuk gangguan kesadaran,
skala nyeri / ukuran lain yang berkaitan dengan keluhan
T : Timing
Kapan keluhan nyeri tersebut mulai ditemukan / dirasakan..? Seberapa sering
keluhan nyeri tersebut dirasakan / terjadi...? Apakah terjadi secara mendadak
atau bertahap..? Acut atau Kronis..?
BAB III
PEMBAHASAN

PENGARUH TERAPI KOMPRES DINGIN TERHADAP NYERI POST


OPERASI ORIF (OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION) PADA
PASIEN FRAKTUR DI RSD DR. H. KOESNADI BONDOWOSO (Amanda
Putri Anugerah, Retno Purwandari, Mulia Hakam) (2017)
Pemberian kompres dingin dapat meningkatkan pelepasan endorfin
yang memblok transmisi stimulus nyeri dan juga menstimulasi serabut saraf
yang memiliki diameter besar α-Beta sehingga menurunkan transmisi impuls
nyeri melalui serabut kecil α-Delta dan serabut saraf C. Mekanisme
penurunan nyeri dengan pemberian kompres dingin berdasarkan atas teori
gate control. Teori ini menjelaskan mekanisme transmisi nyeri.
Nilai rata-rata intensitas nyeri sebelum diberikan intervensi adalah
3,7 dan setelah diberikan intervensi 2,9. Terdapat pengaruh terapi kompres
dingin terhadap nyeri pada pasien post operasi fraktur ORIF
Rata-rata penurunan nilai nyeri pada responden setelah diberikan
terapi kompres dingin yaitu sebesar -0,8. Hasil uji Wilcoxon untuk intensitas
nyeri sebelum dan sesudah intervensi menunjukkan nilai p-value sebesar
0,005 atau nilai p-value kurang dari α (0,05), artinya ada perbedaan rata-rata
intensitas nyeri sebelum dan sesudah diberikan kompres dingin. Hal in

PENGARUH SLOW DEEP BREATHING TERHADPA INTENSITAS


NYERI PASIEN POST ORIF DI RS TLOGOREJO SEMARANG (Ismonah,
Dian Ayu Cahyaningrum, M. Syamsul Arif) (2013))
Slow deep breathing adalah teknik relaksasi dengan cara melakukan
napas dalam, lambat (Inspirasi secara maksimal dengan perlahan) dan
menghembuskan napas secara perlahan. Efek dari Slow deep breathing akan
membuat ileks dan tenang.
Intensitas nyeri sebelum dilakukan intervensin kesemuanya termasuk
dalam kategori nyeri sedang (4-6) 24 responden (100%), sedangkan setelah
dilakukan intervensi, intensitas nyeri paling banyak masuk pada kategori
nyeri ringan (1-3) yaitu 13 responden (54,1 %).
Berdasarkan data yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa ada
pengaruh dari Slow deep breathing untuk menurunkan intensitas nyeri pada
pasien post orif. Hal ini dapat dibuktikan dengan menggunakan uji
komperatif wilcoxon didapatkan p value = 0.000. Nilai tersebut lebih kecil
dibandingkan nilai signifikan yaitu 0.05.

PENGARUH RANGE OF MOTION (ROM) TERHADAP INTENSITAS


NYERI PADA PASIEN POST OPERASI FRAKTUR EKSTREMITAS
BAWAH (Orien Permana, Sofiana Nurchayati, Herlina3ri. (2013)
ROM terbukti dapat menurunkan intensitas nyeri pada pasien post
operasi fraktur ekstremitas bawah. Hal ini disebabkan karena dengan
melakukan pergerakan ROM merupakan salah satu teknik yang dapat
dilakukan dalam menurunkan nyeri karena dapat memelihara kekuatan otot,
memperlancar sirkulasi darah, dan memelihara mobilitas persendian.
Hasil rata-rata intensitas nyeri sebelum dilakukan ROM yaitu 4,71
pada kelompok eksperimen dan 4,91 pada kelompok kontrol. Sedangkan rata-
rata intensitas nyeri setelah dilakukan ROM yaitu 3,27 pada kelompok
eksperimen dan 4,71 pada kelompok kontrol.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
intensitas nyeri yang signifikan sebelum dan sesudah melakukan ROM,
sehingga dapat disimpulkan bahwa gerakan ROM efektif dalam menurunkan
intensitas nyeri pada pasien. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Purwanti dan Purwaningsih (2013), yang menyatakan bahwa
pengaruh latihan ROM aktif efektif untuk kekuatan otot pada pasien post
operasi humerus dengan ρ value (0,000) < α (0,05).
ANALISIS JURNAL YANG PALING EFEKTIF
Dari jurnal yang dianalisis didapatkan jurnal terapi kompres dingin dapat
diaplikasikan dan paling efektif dilakukan untuk mengurangi intensitas nyeri pada
pasien fraktur post orif, Karena pemberian kompres dingin dapat meningkatkan
pelepasan endorfin yang memblok transmisi stimulus nyeri dan juga menstimulasi
serabut saraf yang memiliki diameter besar α-Beta sehingga menurunkan transmisi
impuls nyeri melalui serabut kecil α-Delta dan serabut saraf. Penurunan intensitas
nyeri yang dirasakan sejalan dengan teori Price & Wilson, yaitu terapi dingin tidak
hanya dapat mengurangi spasme otot tetapi juga bisa menimbulkan efek analgetik
yang memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai
otak lebih sedikit.
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan analisa dari masing-masing jurnal didapatkan
kesimpulan: Adanya penurunan rasa nyeri pada pasien dengan fraktur yang
dilakukan pembedahan orif. Dari ketiga terapi yang di analisa mudah dalam
pelaksanaanya. Pada terapi kompres dingin penurunan nyeri sesudah
dilakukan terapi adalah 2,9. Pada jurnal terapi Slow deep brething setelah
dilakukan terapi penurunya nyeri 3, sedangkan pada terapi ROM setelah
dilakukan terapi penurunan nyeri 3,27. Jadi dari hasil diatas dapat
disimpulkan terapi kompres dingin mempunyai efek yang paling efektif
terhadap penurunan rasa nyeri.
B. SARAN
1. Bagi pelayanan kesehatan
Penelitian ini menjadi bahan masukan bagi perawat untuk dijadikan
sebagai penatalaksanaan keperawatan dalam menurunkan rasa nyeri pada
pasien fraktur post orif di Rumah Sakit
2. Bagi pendidikan kesehatan
Penelitian ini sebagai bahan masukan dan refrensi untuk diskusi dalam
meningkatkan ilmu pengetahuan dalam menurunkan nyeri pada pasien
fraktur post orif
3. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini menjadi bahan referensi dalam penelitian selanjutnya
dalam melakukan penelitian yang sama

Вам также может понравиться