Вы находитесь на странице: 1из 13

SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI DI

INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seorang manusia akan memiliki perilaku yang berbeda dengan manusia lainnya
walaupun orang tersebut kembar siam. Ada yang baik hati suka menolong serta rajin
menabung dan ada pula yang prilakunya jahat yang suka berbuat kriminal menyakitkan
hati. Manusia juga saling berhubungan satu sama lainnya dengan melakukan interaksi
dan membuat kelompok dalam masyarakat.

Perkembangan masyarakat pada abad 20 ini tidak dapat lepas dari berbagai
macam pengaruh masuknya tata nilai budaya yang baru. Perubahan struktur masyarakat
menyebabkan lahirnya berbagai topik kajian sosiologi. Sosiologi berasal dari bahasa
yunani yaitu kata socius dan logos, di mana socius memiliki arti kawan / teman dan logos
berarti kata atau berbicara. Menurut Bapak Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi,
sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial,
termasuk perubahan-perubahan sosial.

Dalam makalah ini akan dituliskan tentang perkembangan Sosiologi sebagai ilmu
di indonesia beserta penjelasan tokoh Sosiologi Indonesia atau Bapak Sosiologi Selo
Soemardjan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah dalam makalah ini


dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana perkembangan Sosiologi secara umum?

2. Bagaimana perkembangan Sosiologi di Indonesia?

3. Siapa sajakah tokoh Sosiologi di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Dalam makalah ini, tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui perkembangan Sosiologi secara umum.

2. Mengetahui perkembangan Sosiologi di Indonesia.

3. Mendeskripsikan tokoh Sosiologi di Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Sosiologi Secara Global

Seorang Perancis, Emile Durkheim menunjukkan pentingnya Sebagai suatu


disiplin akademis yang mandiri, sosiologi masih berumur relatif muda yaitu kurang dari
200 tahun. Istilah sosiologi untuk pertama kali diciptakan oleh Auguste Comte dan oleh
karenanya Comte sering disebut sebagai bapak sosiologi. Istilah sosiologi ia tuliskan
dalam karya utamanya yang pertama, berjudul The Course of Positive Philosophy, yang
diterbitkan dalam tahun 1838. Karyanya mencerminkan suatu komitmen yang kuat
terhadap metode ilmiah. Menurut Comte ilmu sosiologi harus didasarkan pada observasi
dan klasifikasi yang sistematis bukan pada kekuasaan dan spekulasi. Hal ini merupakan
pandangan baru pada saat itu.
Di Inggris Herbert Spencer menerbitkan bukunya Principle of Sociology dalam tahun
1876. Ia menerapkan teeori evolusi organik pada masyarakat manusia dan
mengembangkan teori besar tentang “evolusi sosial” yang diterima secara luas
beberapa puluh tahun kemudian.
Seorang Amerika Lester F. Ward yang menerbitkan bukunya “Dynamic
Sociology” dalam tahun 1883, menghimbau kemajuan sosial melalui tindakan-tindakan
sosial yang cerdik yang harus diarahkan oleh para sosiolog.

metodologi ilmiah dalam sosiologi. Dalam bukunya Rules of Sociological Method


yang diterbitkan tahun 1895, menggambarkan metodologi yang kemudian ia teruskan
penelaahannya dalam bukunya berjudul Suicide yang diterbitkan pada tahun 1897. Buku
itu memuat tentang sebab-sebab bunuh diri, pertama-tama ia merencanakan disain
risetnya dan kemudian mengumpulkan sejumlah besar data tentang ciri-ciri orang yang
melakukan bunuh diri dan dari data tersebut ia menarik suatu teori tentang bunuh diri.

B. Perkembangan Sosiologi di Indonesia

Sejak jaman kerajaan di Indonesia sebenarnya para raja dan pemimpin di


Indonesia sudah mempraktikkan unsur-unsur Sosiologi dalam kebijakannya begitu pula
para pujangga Indonesia. Misalnya saja Ajaran Wulang Reh yang diciptakan oleh Sri
PAduka Mangkunegoro dari Surakarta, mengajarkan tata hubungan antara para anggota
masyarakat Jawa yang berasal dari golongan-golongan yang berbeda, banyak
mengandung aspek-aspek Sosiologi, terutama dalam bidang hubungan antar golongan
(intergroup relations).

Pada masa penjajahan Belanda ada beberapa karya tulis orang berkebangsaan
belanda yang mengambil masyarakat Indonesai sebagai perhatiannya seperti Snouck
Hurgronje, C. Van Vollenhoven, Ter Haar, Duyvendak dll. Dalam karya mereka tampak
unsur-unsur Sosiologi di dalamnya yang dikupas secara ilmiah tetapi kesemuanya hanya
dikupas dalam kerangka non sosiologis dan tidak sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri
sendiri. Sosiologi pada waktu itu dianggap sebagai Ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu
pengetahuan lainnya. Dengan kata lain Sosiologi ketika itu belum dianggap cukup
penting dan cukup dewasa untuk dipelajari dan dipergunakan sebagai ilmu pengetahuan,
terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.

Dewasa ini telah ada sejumlah Universitas Negeri yang mempunyai Fakultas
Sosial dan politik atau Fakultas Ilmu Sosial. Sampai saat ini belum ada Universitas yang
mngkhususkan sosiologi dalam suatu fakultas sendiri, namun telah ada Jurusan
Sosiologi pada beberapa fakultas Sosial dan Politik UGM, UI dan UNPAD.
Penelitian-penelitian sosiologi di Indonesai belum mendapat tempat yang
sewajarnya, oleh karena masyarakat masih percaya pada angka-angka yang relative
mutlak, sementara sosiologi tidak akan mungkin melakukan hal-hal yang berlaku mutlak
disebkan masing-masing manusia memiliki kekhususan. Apalagi masyarakat Indonesai
merupakan masyarakat majemuk yang mencakup berates suku.

C. Tokoh Sosiologi di Indonesia

Banyak nama atau orang Indonesia yang menjadi ahli atau sosiolog besar dalam
perkembangan sosiologi di Indonesi. Diantaranya adalah Prof. Dr. Selo Soemardjan,
Prof Dr Paulus Wirutomo dan Arief Budiman. Berikut biografi singkat dan peran – peran
tokoh tersebut dalam perkembangan sosiologi di Indonesia :

1. Kanjeng Pangeran Haryo Prof. Dr. Selo Soemardjan atau Bapak

Sosiologi Indonesia

Kanjeng Pangeran Haryo Prof. Dr. Selo Soemardjan (lahir di Yogyakarta, 23


Mei 1915 – meninggal di Jakarta, 11 Juni 2003 pada umur 88 tahun) adalah seorang
tokoh pendidikan dan pemerintahan Indonesia. Beliau juga disebut sebagai Bapak
Sosiologi Indonesia.

Penerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah ini adalah pendiri


sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (kini FISIP-
UI) dan sampai akhir hayatnya dengan setia menjadi dosen sosiologi di Fakultas
Hukum Universitas Indonesia (UI).

Ia dikenal sangat disiplin dan selalu memberi teladan konkret. Ia ilmuwan


yang meninggalkan banyak bekal ilmu pengetahuan. Sebetulnya ia sudah purnatugas
di Universitas Indonesia (UI). Tapi, karena masih dibutuhkan, ia tetap mengajar
dengan semangat tinggi. Ia memang seorang sosok berintegritas, punya komitmen
sosial yang tinggi dan sulit untuk diam.

Ia orang yang tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan. Hidupnya


lurus, bersih, dan sederhana. Ia tokoh yang memerintah dengan teladan,
sebagaimana diungkapkan pengusaha sukses Soedarpo Sastrosatomo. Menurut
Soedarpo, integritas itu pula yang membuat mendiang Sultan Hamengku Buwono IX
berpesan kepada putranya, Sultan Hamengku Buwono X agar selalu mendengarkan
dan meminta nasihat kepada Selo kalau menyangkut persoalan sosial
kemasyarakatan. Ia orang yang tidak pernah berhenti berpikir dan bertindak.

Selama hidupnya, Selo pernah berkarier sebagai pegawai


Kesultanan/Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Staf Sipil Gubernur
Militer Jakarta Raya, dan Kepala Sekretariat Staf Keamanan Kabinet Perdana
Menteri, Kepala Biro III Sekretariat Negara merangkap Sekretaris Umum Badan
Pemeriksa Keuangan, Sekretaris Wakil Presiden RI Sultan Hamengku Buwono IX
(1973-1978), Asisten Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) dan
staf ahli Presiden HM Soeharto.

Ia dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah tahun 1959 -- seusai


meraih gelar doktornya di Cornell University, AS -- mengajar sosiologi di
Universitas Indonesia (UI). Dialah pendiri sekaligus dekan pertama (10 tahun)
Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang FISIP) UI. Kemudian
tanggal 17 Agustus 1994, ia menerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah
dan pada tanggal 30 Agustus menerima gelar ilmuwan utama sosiologi.

Pendiri FISIP UI ini, memperoleh gelar profesor dari Fakultas Ekonomi UI


dan sampai akhir hayatnya justeru mengajar di Fakultas Hukum UI. Ia dibesarkan di
lingkungan abdi dalem Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Kakeknya, Kanjeng
Raden Tumenggung Padmonegoro, adalah pejabat tinggi di kantor Kasultanan
Yogyakarta. Berkat jasa sang kakek, Soemardjan- begitu nama aslinya-mendapat
pendidikan Belanda.

Nama Selo dia peroleh setelah menjadi camat di Kabupaten Kulonprogo. Ini
memang cara khusus Sultan Yogyakarta membedakan nama pejabat sesuai
daerahnya masing-masing. Saat menjabat camat inilah ia merasa mengawali
kariernya sebagai sosiolog. "Saya adalah camat yang mengalami penjajahan
Belanda, masuknya Jepang, dilanjutkan dengan zaman revolusi. Masalahnya banyak
sekali," tuturnya suatu ketika sebagaimana ditulis Kompas.
Pengalamannya sebagai camat membuat Selo menjadi peneliti yang mampu
menyodorkan alternatif pemecahan berbagai persoalan sosial secara jitu. Ini pula
yang membedakan Selo dengan peneliti lain.

Mendiang Baharuddin Lopa dalam salah satu tulisannya di Kompas (1993)


menulis, "Pak Selo menggali ilmu langsung dari kehidupan nyata. Setelah diolah, dia
menyampaikan kembali kepada masyarakat untuk dimanfaatkan guna kesejahteraan
bersama." Lopa menilai Selo sebagai dosen yang mampu mendorong mahasiswanya
berpikir realistis dan mengerti serta menghayati apa yang diajarkannya.
"Pendekatan realistis dan turun ke bawah untuk mengetahui keadaan sosial yang
sesungguhnya inilah yang dicontohkan juga oleh para nabi dan kalifah," tulis Lopa.

Meski lebih dikenal sebagai guru besar, Selo jauh dari kesan orang yang suka
"mengerutkan kening". Di lingkungan keluarga dan kampus, dia justru dikenal
sebagai orang yang suka melucu dan kaya imajinasi, terutama untuk mengantar
mahasiswanya pada istilah-istilah ilmu yang diajarkannya. "Kalau menjelaskan ilmu
ekonomi mudah dimengerti karena selalu disertai contoh-contoh yang diambil dari
kehidupan nyata masyarakat," kenang Baharuddin Lopa.

Dalam tulisan Lopa, Selo juga digambarkan sebagai orang yang bicaranya
kocak, tetapi mudah dimengerti karena memakai bahasa rakyat. Meski kata-katanya
mengandung kritikan, karena disertai humor, orang menjadi tidak tegang
mendengarnya.

Menurut putra sulungnya, Hastjarjo, Selo suka main. "Setiap hari selalu
memainkan tubuhnya berolahraga senam. Karena terkesan lucu, cucu-cucu
menganggap bapak sedang bermain-main dengan tubuhnya," tambahnya.

Sebagai ilmuwan, karya Selo yang sudah dipublikasikan adalah Social


Changes in Yogyakarta (1962) dan Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963).
Penelitian terakhir Selo berjudul Desentralisasi Pemerintahan. Terakhir ia menerima
Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada
puncak peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002 diwujudkan
dalam bentuk piagam, lencana, dan sejumlah uang.
Pendidikan yang ditempuh oleh Selo Soemardjan adalah HIS, Yogyakarta
(1921-1928), MULO, Yogyakarta (1928-1931), MOSVIA, Magelang (1931-1934),
kemudian dilanjutkan di Universitas Cornell, Ithaca, New York, AS (Sarjana, 1959
Doktor, 1959)

2. Prof Dr Paulus Wirutomo sang Sosiolog Pendidikan

Prof Dr Paulus Wirutomo sosiolog dan guru besar FISIP Universitas


Indonesia. Pria kelahiran Solo, 29 Mei 1949, ini menamatkan sarjana sosiologi dari
Universitas Indonesia, 1976. Meraih S2 bidang Perencanaan Sosial dari University
College of Swansea Wales, Inggris, 1978 dan S3 bidang Sosiologi Pendidikan dari
State University of New York at Albany, USA, 1986.

Dalam wawancara dengan Kompas di ruang kerjanya di Kampus FISIP UI


Depok, beberapa hari menjelang Idul Fitri 1427 H, Prof Dr Paulus Wirutomo melihat
sosial saat ini masih disalahpahami. Menurutnya, pembangunan sosial saat ini masih
disalahpahami. Bagi pemerintah, pembangunan sosial hanya dianggap sebagai
sektor pembangunan saja. Meskipun hal ini tidak sepenuhnya salah, namun juga
tidak bisa dibenarkan.

Pasalnya, kata Paulus, pengertian pembangunan sosial yang benar itu lebih
dari sekadar pembangunan sektor. Dalam pembangunan sosial, harus termuat
peningkatan interaksi dan hubungan sosial dalam masyarakat. Tanpa terjadi kualitas
hubungan sosial dari langkah pembangunan sosial yang diambil, sulit mengatakan
adanya pembangunan sosial.

Menurutnya, bukan hanya pemerintah, tetapi sebagian besar kita masih


memahami pembangunan sosial itu sekadar charity yang tidak menghasilkan uang.
"Mengikuti logika pembangunan sosial sebagai sektor, maka pembangunan sosial ini
membutuhkan masukan berupa penyediaan anggaran, perlu pembiayaan. Dan
mengikuti pemahaman pembangunan sosial sebagai charity, maka pembangunan
sosial itu dianggap sebagai sebuah langkah yang tidak menghasilkan apa pun. Atau
paling tidak output-nya dinyatakan tidak menghasilkan uang," jelasnya.
Bahkan, menurut ahli sosiologi pendidikan itu, pendidikan, sama halnya
dengan kesehatan dan agama yang juga dianggap pembangunan sosial, terkadang
dianggap sebagai anggaran yang habis terpakai tanpa menghasilkan uang. Padahal,
ujarnya, pembangunan pendidikan itu akan menghasilkan peningkatan kualitas
sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang meningkat inilah yang nantinya
Ditanya tentang adakah usaha yang sudah dilakukan untuk memberikan pemahaman
"Dulu kita membuka program manajemen pembangunan sosial ini karena kita di UI
merasakan kok Sosiologi sebagai ilmu enggak punya sesuatu yang berguna bagi
masyarakat. Kami membuat program lanjutan S2, terutama pada pekerja sosial,
pembangunan sosial, LSM, dan Bappeda. Ketika itu, kami melihat tenaga Bappeda
yang ada, SDM-nya seadanya. Ada yang diambil dengan latar belakang ekonomi,
hukum, pertanian, ataupun pakar teknik. Mestinya orang sosial budaya yang punya
ilmu untuk pembangunan sosial bisa menyumbangkan pengetahuannya. Dengan
membuka program manajemen pembangunan sosial ini diharapkan akan lahir kader
manusia Indonesia yang memahami pembangunan sosial dan punya sumbangan
besar bagi pembangunan bangsa," jelasnya.

Paulus sangat risau dengan perjalanan bangsa yang kualitas hubungan


sosialnya sepertinya hanya jalan di tempat. Menurut Paulus, banyak bibit kreatif
sumber daya manusia yang telah dimatikan oleh kebijakan nasional yang tidak
berpihak pada usaha kreatif. Padahal, usaha kreatif ini mampu memberikan
sumbangan yang sangat besar bagi kemajuan bangsa.

Dia memisalkan: Si A baru lulus kuliah dari teknik industri dan berhasil
memproduksi ataupun menciptakan alat pertanian, katakanlah pacul. Persoalan
pertama yang dihadapi si A, dia tidak punya dana untuk memproduksi ciptaannya.
Sistem perbankan yang ada tidak memungkin-kannya meminjam dari bank karena
tidak punya jaminan. Solusi yang mungkin si A lakukan jika tetap ingin memproduksi
idenya adalah meminjam uang dari saudara, kenalan, atau dari rentenir. Katakanlah
dia berhasil mendapatkan pinjaman dana, lantas dia memulai produksi pacul
ciptaannya. Apa yang terjadi kemudian, pemerintah mengimpor pacul dalam jumlah
banyak dan dijual dengan harga lebih murah dari harga jual buatan si A. Jelas
produksi si A tidak laku, kalah bersaing, dan akhirnya terpaksa menutup usaha
produksinya yang menjadi produk kreatif anak bangsa. Karena tutup usaha pada saat
belum berkembang, si A meninggalkan utang, hidupnya terbelit utang. Cita-citanya
pupus dan tidak banyak yang bisa dilakukannya.

Dia adalah kakak kandung Soe Hok Gie yang meninggal dunia sebagai tokoh
pergerakan mahasiswa. Kendati turut menumbangkan Orde Lama namun justru di
masa Soeharto sepak terjang dan sikap kritisnya semakin menjadi-jadi terlebih
setelah berstatus dosen Program Studi Pembangunan di UKSW, Salatiga.
Pemerintahan yang diwariskan kepada B.J. Habibie pun tak luput dari kekritisannya
yang dia sebut tak lebih sebagai perpanjangan Orde Baru.

Akhirnya dia merelakan diri dihujani kritik bahkan makian tatkala kritik
pedas terbarunya disampaikan tentang kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno
Putri dan PDI Perjuangan yang dianggapnya sebagai partai yang rusak dan kacau.
Banyak simpatisan partai berlambang kepala banteng bulat dalam lingkaran putih
itu menyebutkan pakar sosiologi lulusan Harvard University itu sebagai tidak
nasionalis karena banyak bicara di luar dan mengkritik namun memilih bermukim di
luar negeri.
Dia lalu menjelaskan makna dan pengertian nasionalisme sesungguhnya yang
menurutnya dalam praktek sangat rentan terhadap manipulasi. Jadi tentang
nasionalisme harus dilihat siapa yang menggunakan dan untuk kepentingan apa.

Namun secara teoritis kata Arief nasionalisme adalah persatuan secara


kelompok dari suatu bangsa yang mempunyai sejarah yang sama, bahasa yang sama,
dan pengalaman bersama. Tetapi definisi seperti itu jarang terjadi. Yang biasa terjadi
adalah pemakaian pengertian nasionalisme secara spesifik sehingga rentan terhadap
manipulasi. Karena nasionalisme terkadang dipakai untuk bermacam-macam hal
maka pengertiannya harus pula dilihat kasus per kasus.

Mengatasnamakan nasionalisme untuk dikaitkan dengan amandemen dan


penolakannya oleh sejumlah kalangan, misalnya, menurut Arief bisa relevan tetapi
bisa juga tidak. Disebutkan, diartikan seakan-akan nasionalisme adalah negara
kesatuan tetapi dalam negara kesatuan itu terdapat eksploitasi. Terhadap Jakarta
yang mengambil terlalu banyak oleh daerah yang tidak kebagian meminta jatah dan
tetap pula tidak dipedulikan yang berarti tidak ada nasionalisme di situ. Oleh mereka
yang memperjuangkan nasionalisme kemudian berpendapat, “justru mungkin
Republik Indonesia akan lebih dipersatukan bila menjadi negara serikat atau federal
state.”

Penyederhanaan nasionalisme menjadi sebentuk negara kesatuan adalah


bermotif keinginan Jakarta mempertahankan hegemoni terhadap daerah. Lalu,
mereka yang seakan-akan mau bebas dan tidak mau tunduk kepada Jakarta dianggap
melawan nasionalisme. Padahal itu hanyalah pengatasnamaan seakan-akan Jakarta
adalah seluruh Republik Indonesia dan dimaksudkan untuk mendapatkan untung bagi
sebagian elit di Jakarta.

Kemajuan lain amandemen adalah dihapuskannya wakil militer di parlemen


sejak tahun 2004. Militer yang seharusnya profesional itu jika ingin berpolitik maka
berpolitiklah secara pribadi. Piagam Jakarta terutama Pasal 29 UUD 1945 tentang
agama dalam pengertian yang sesungguhnya adalah tidak terjadi kemunduran
karena yang dipertahankan adalah yang lama. Arief menyimpilkan secara
keseluruhan terjadi progresi dalam amandemen sehingga bisa memberikan tambahan
optimisme.

Dia menyebutkan pada dasarnya konstitusi harus selalu diperbaharui dan


yang berhak menentukan perubahan itu harus rakyat sendiri misalnya melalui
semacam referendum khusus untuk hal-hal yang kontroversial. Konstitusi merupakan
sesuatu yang dinamis dan mencerminkan kepentingan rakyat pada kurun waktu
tertentu. Kepentingan bisa berubah karena waktu dan tempat juga berubah demikian
pula lingkungan ikut berubah.

UUD 45 yang dibuat oleh para pendiri bangsa belum tentu cocok untuk
keadaan selanjutnya. UUD 45 dibuat masih dalam keadaan kacau dan darurat
sehingga sangat dibutuhkan pemerintahan yang kuat. Demikian pula soal hal asasi.

Arief menilai penolakan terhadap negara federal dahulu terjadi pada zaman
Republik Indonesia Serikat (RIS) sebab ide federal dipakai oleh Belanda hanya
sebagai alat pemecah-belah berbeda dengan jika sekarang yang dibuat oleh bangsa
sendiri Belanda-nya saja sudah tidak ada lagi. Tentang federal, menurut Arief antara
Megawati dengan militer setara punya mitos-mitos yang tidak bisa ditawar tanpa
penjelasan yang baik.

Arief Budiman berpendapat bahwa rumusan umum nasionalisme adalah


tatkala semua pihak mengutamakan kepentingan bangsa di atas segalanya. Dalam
definisi demikian apapun bisa masuk, semisal, jika negara kesatuan adalah sesuatu
yang penting untuk mengembangkan bangsa maka itu adalah nasionalisme.

Demikian pula jika ada orang yang mengatakan bahwa negara federal akan
lebih baik bagi kepentingan meningkatkan kesejahteraan semua sebagai bangsa
maka itu juga nasionalisme. Seandainya harus berperang pun dengan Australia jika
itu berguna untuk memperbaiki bangsa adalah nasionalisme juga. Tetapi jika
semuanya tidak berguna maka menjadi tidak nasionalis. Nasionalisme adalah tujuan
yang bisa dicapai dengan bermacam cara termasuk dalam hal amandemen konstitusi
apakah perubahan itu baik bagi bangsa ini atau tidak.

Posisi nasionalisme dalam kasus pengusiran TKI dari negeri Malaysia,


misalnya, menurut Arief Budiman kasusnya lebih banyak disebabkan karena
kesalahan diplomasi serta kesemrawutan Departemen Luar Negeri dan pemerintah
Indonesia mengurus warganya di luar negeri. Tanpa kata nasionalisme pun adalah
kewajiban membela warga negara yang pergi sebagai orang miskin sebab tidak bisa
hidup di negeri sendiri. Mestinya yang dipersoalkan kenapa orang-orang TKI itu cari
makan di luar negeri yang lalu secara menyakitkan diusir oleh negara yang juga
sama-sama mengalami kesulitan oleh karena kedatangan TKI itu. Kepada TKI itu
kenapa tidak bisa diberikan pekerjaan.

Seiring dengan itu sebagai orang Salatiga Arief Budiman ikut pula merasakan
sentimentil sejenis milik para TKI yang ingin pulang ke kampung halaman sebab
merasa sudah capek berbicara bahasa Inggris terus-menerus bahkan hingga
bermimpi pun memakai bahasa Inggris. Bagi dia Salatiga adalah tetap sebagai tanah
air. Meskipun dia merasa bukan patriot bahkan jika harus merasa bukan Indonesia
sekalipun bagi dia pun bukan masalah yang penting Salatiga adalah tetap sebagai
tanah air.
Perubahan-perubahan yang terjadi di Indonesia dilihat oleh Arief Budiman
sebagai sebuah pergerakan sejarah yang tetap memberi harapan. Arief pernah
mengalami hidup di zaman Soekarno demikian pula Soeharto termasuk masa
reformasi. Jika pada zaman Soeharto saja dia masih punya harapan maka harapan
itu menjadi lebih setelah sekarang Soeharto jatuh. Progresi yang terjadi dia lihat
banyak sekali sehingga memberi harapan yang lebih besar daripada di masa
Soeharto. Progresi yang terjadi itu misalnya pers yang bebas serta demokrasi yang
mulai ada meskipun masih kacau. Sekarang segala sesuatunya menjadi lebih
mungkin untuk terjadi hanya saja bangsa ini masih berada di tengah-tengah masalah
yang masih segudang

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Istilah sosiologi untuk pertama kali diciptakan oleh Auguste Comte dan oleh
karenanya Comte sering disebut sebagai bapak sosiologi. Istilah sosiologi ia tuliskan
dalam karya utamanya yang pertama, berjudul The Course of Positive Philosophy, yang
diterbitkan dalam tahun 1838.

Di Indonesia sendiri, sebenarnya para raja dan pemimpin di Indonesia sudah


mempraktikkan unsur-unsur Sosiologi dalam kebijakannya begitu pula para pujangga
Indonesia.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, seorang


sarjana Indonesia yaitu Soenario Kolopaking, untuk pertama kalinya member kuliah
sosiologi (1948) pada Akademi Ilmu Politik di Yogyakarta (kemudia menjadi Fakultas
Sosial dan Ilmu Politik UGM .
Dewasa ini telah ada sejumlah Universitas Negeri yang mempunyai Fakultas
Sosial dan politik atau Fakultas Ilmu Sosial. Sampai saat ini belum ada Universitas yang
mngkhususkan sosiologi dalam suatu fakultas sendiri, namun telah ada Jurusan
Sosiologi

Вам также может понравиться