Вы находитесь на странице: 1из 26

TUGAS MAKALAH

TUBERCULOSIS (TBC)

DISUSUN OLEH KELOMPOK V :

KELAS A ( KONVERSI )

1. JEMMY GERALDZUN
NIM : 501 14011 007
2. SULASTRI
NIM : 502 14011 009
3. YOYO ALFIANSYAH
NIM : 511 14011 199
4. MUHLIS ABIDIN
NIM : 511 14011 190
5. VALENSIA PALIMBU
NIM : 511 14011 177

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PANCASAKTI
2014
Definisi
TBC paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkin paru-paru dan
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (Somantri,2009).
Sementara itu, Junaidi (2010) menyebutkan tuberkulosis (TB) sebagai suatu infeksi
akibat Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyerang berbagai organ, terutama
paru-paru dengan gejala yang sangat bervariasi.
Irman Somantri,Asuhan Keperawatan pada klien dengan Gangguan pasa sistem
Pernapasan (Jakarta: Salemba Medika, 2009)
Iskandar Junaidi, Penyakit Paru dan Saluran Napas (Jakarta: Buana Ilmu
Populer,2010)
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di
dunia. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO)
memperkirakan sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksiMycobacterium
tuberculosis. Tuberkulosis masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang
utama di dunia. Setiap tahun terdapat 9 juta kasus baru dan kasus kematian
hampir mencapai 2 juta manusia. Di semua negara telah terdapat penyakit ini,
tetapi yang terbanyak di Afrika sebesar 30%, Asia sebesar 55%, dan untuk
China dan India secara tersendiri sebesar 35% dari semua kasus
tuberkulosis.(Universitas Sumatera Utara)
Laporan WHO (global reports 2010), menyatakan bahwa pada tahun
2009 angka kejadian TB di seluruh dunia sebesar 9,4 juta (antara 8,9 juta hingga
9,9 juta jiwa) dan meningkat terus secara perlahan pada setiap tahunnya dan
menurun lambat seiring didapati peningkatan per kapita. Prevalensi kasus TB di
seluruh dunia sebesar 14 juta (berkisar 12 juta sampai 16 juta). Jumlah penderita
TB di Indonesia mengalami penurunan, dari peringkat ke tiga menjadi peringkat
ke lima di dunia, namun hal ini dikarenakan jumlah penderita TB di Afrika
Selatan dan Nigeria melebihi dari jumlah penderita TB di Indonesia. Estimasi
prevalensi TB di Indonesia pada semua kasus adalah sebesar 660.000 dan
estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian
akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahun. Selain itu, kasus resistensi
merupakan tantangan baru dalam program penanggulangan TB. Pencegahan
meningkatnya kasus TB yang resistensi obat menjadi prioritas penting.
(Universitas Sumatera Utara)
Laporan WHO tahun 2007 menyatakan persentase resistensi primer di
seluruh dunia telah terjadi poliresistensi 17,0%, monoresistensi terdapat 10,3%,
dan Tuberculosis - Multidrug Resistant (TB-MDR) sebesar 2,9 %. Sedangkan di
Indonesia resistensi primer jenis MDR terjadi sebesar 2%. Kontak penularan M.
tuberculosis yang telah mengalami resistensi obat akan menciptakan kasus baru
penderita TB yang resistensi primer, pada akhirnya mengarah pada kasus multi-
drug resistance (MDR).
Ketika dilaporkan adanya beberapa kasus resistensi obat TB di beberapa
wilayah di dunia hingga tahun 1990-an, masalah resistensi ini belum dipandang
sebagai masalah yang utama. Penyebaran TB-MDR telah meningkat oleh
karena lemahnya program pengendalian TB, kurangnya sumber dana dan isolasi
yang tidak adekuat, tindakan pemakaian ventilasi dan keterlambatan dalam
menegakkan diagnosis suatu TB-MDR. (Universitas Sumatera Utara)
Rao dan kawan-kawan di Karachi-Pakistan pada tahun 2008, melakukan
penelitian resistensi primer pada penderita tuberkulosis paru kasus baru.
Didapatkan dengan hasil pola resisten sebagai berikut: resistensi terhadap
Streptomisin sebanyak 13 orang (26%), Isoniazid 8 orang (16%), Etambutol 8
orang (16%), Rifampisin 4 orang (8%) dan Pirazinamid 1 (0,2%). Sedangkan di
Indonesia TB-MDR telah diperoleh sebanyak 2 orang (0,4%) pasien. Angka
resistensi/TB-MDR paru dipengaruhi oleh kinerja program penanggulangan
TBC parudi kabupaten setempat/kota setempat terutama ketepatan diagnosis
mikroskopik untuk menetapkan kasus dengan BTA (+), dan penanganan kasus
termasuk peran Pengawas Menelan Obat (PMO) yang dapat berpengaruh pada
tingkat kepatuhan penderita untuk minum obat. Faktor lain yang
mempengaruhiangka resistensi/ MDR adalah ketersediaan OAT yang cukup dan
berkualitas ataupun adanya OAT yang digunakan untuk terapi selain TBC.
(Universitas Sumatera Utara)
Semakin jelas bahwa kasus resistensi merupakan masalah besar dalam
pengobatan pada masa sekarang ini. WHO memperkirakan terdapat 50 juta
orang di dunia yang telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis yang
telah resisten terhadap OAT dan dijumpai 273.000 (3,1%) dari 8,7 juta TB
kasus baru pada tahun 2000. Berdasarkan wilayah administratif di Indonesia,
Provinsi Jawa Timur menempati urutan ke 8 angka temuan kasus TBC paru
terbesar tahun 2007, meskipun belum mencapai target yang ditetapkan. Sebaran
angka temuan kasus tersebut yaitu DKI Jakarta(88,14%), Sulawesi Utara
(81,36%), Banten (74,62%), Jawa Barat (67,57%), Sumatra Utara (65,48%),
Gorontalo (62,15%), Bali (61,39%), Jawa Timur (59,83%), DI Yokyakarta
(53,23%), Sumatra Barat (51,36%) (Depkes RI, 2007). (Universitas Sumatera
Utara)
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
¢ Apa penyakit TB Paru itu ?
¢ Bagaimana Etiologi penyakit TB Paru ?
¢ Bagaimana cara Penularan TB Paru ?
¢ Apa gejala-gejala seseorang menderita TB Paru ?
¢ Bagaimana cara penanggulangan/pencegahan TB Paru ?
¢ Bagaimana cara pengobatan kepada penderita TB Paru ?

1.3 Tujuan
Tujuan Umum :
Adapun tujuan penulisannya adalah sebagai berikut :
- Untuk mengetahui penyakit TB Paru
- Untuk mengetahui Etiologi penyakit TB Paru
- Untuk mengetahui cara Penularan TB Paru
- Untuk mengetahui gejala-gejala TB Paru
- Untuk mengetahui cara penanggulangan/pencegahan TB Paru
- Untuk mengetahui cara pengobatan kepada pendderita TB Paru
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Etiologi
1. Penyebab
Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
basil Mycobacterium tuberculosis tipe humanus, sejenis kuman berbentuk
batang dengan panjang 1-4 mm dan tebal 0,3-0,6 mm. Struktur kuman ini
terjadi atas lipid (lemak) yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam, serta
dari gangguan berbagai kimia dan fisik. Kuman ini juga tahan berada di udara
kering dan keadaan dingin (misalnya di dalam lemari es) karena sifatnya yang
dormant, yaitu dapat bangkit kembali dan menjadi lebih aktif. Selain itu, kuman
ini juga bersifat aerob.
Tuberkulosis paru merupakan infeksi pada saluran pernapasan yang
vital. Basil Mycobacterium masuk kedalam jaringan paru melalui saluran napas
(dreplet infection) sampai alveoli dan terjadilah onfeksi primer (Gbon).
Kemudian, dikelenjar getah bening terjadilah primer kompleks yang
disebut tuberculosis primer. Dalam sebagian besar kasus, Bagian yang
terinfeksi ini dapat mengalami penyembuhan. Peradangan terjadi sebelum tubuh
mempunyai kekebalan spesifik terhadap basil Mycobacterium pada usia 1-3
tahun. Sedangkan, post primer tuberculosis (reinfection) adalah peradangan
yang terjadi pada jaringan paru yang disebabkan oleh penularan ulang.
2.2 Tanda dan Gejala
a. Sistemik : malaise. Anoreksia, berat badan menurun, dan keluar
keringat malam.
b. Akut : demam tinggi, seperti flu dan menggigil.
c. Milier : demam akut, sesak napas, dan sianosis (kulit kuning).
d. Respiratorik : batuk lama lebih dari dua minggu, sputum yang mukoid atau
mukopurulen, nyeri dada, batuk darah dan gejala lain. Bila ada tanda-tanda
penyebaran ke organ lain, seperti pleura, akan terjadi nyeri pleura, sesak napas
ataupun gejala meningeal (nyeri kepala, kaku duduk dan lain sebagainya)
2.3 Klasifikasi TBC Paru
Tuberkulosis pada manusia dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu
tuberkulosis primer dan tuberkulosis sekunder.
1. Tuberkulosis primer
Tuberkulosis adalah infeksi bakteri TB Dari penderita yang belum
mempunyai reaksi spesifik terhadap bakteri TB. Bila bakteri TB terhirup dari
udara melalui saluran pernapasan dan mencapai alveoli atau bagian terminal
saluran pernapasan, maka bakteri akan ditangkap dan dihancurkan oleh
makrofag yang berada di alveoli. Jika pada proses ini bakteri ditangkap oleh
makrofag yang lemah, maka bakteri akan berkembang biak dalam tubuh
makrofag yang lemah itu dan menghancurkan makrofag. Dari proses ini,
dihasilkan bahan kemotaksis yang menarik monisit (makrofag) dari aliran darah
dan membentuk tuberkel. Sebelum mengahncurkan bakteri, makrofag harus
diaktifkan terlebih dahulu oleh limfokin yang dihasilkan oleh limfosit T.
Tidak semua makrofag pada granula TB mempunyai fungsi yang
sama. Ada makrofag yang berfungsi pembunuh, mencerna bakteri, dan
merangsang limfosit. Beberapa makrofag menghasilkan protease elastase,
kolagenase, serta faktor penstimulasi koloni untuk merangsang produksi monosit
dan granulosit pada sumsum tulang. Bakteri TB menyebar ke saluran pernapasan
melalui getah bening regional (hilus).dan membentuk epitiolit granuloma.
Granuloma mengalami nekrosis sentral sebagai akibat dari timbulnya
hipersensitifitas selular (delayed hipersensitifity) terhadap bakteri TB. Hal ini
terjadi sekitar 2-4 minggu dan akan terlihat pada tes tuberkulin. Hipersensitifitas
selular sebagai akumulasi lokal dari lifosit dan makrofag.
Baktei TB yang berada dalam alveoli akan membentuk fokus lokal (fokus
ghon), sedangkan fokus inisial bersama-sama dengan limfa denopati bertempat
di hilus (kompleks primer ranks) dan disebut juga TB primer. Fokus primer paru
biasanya bersifat unilateral dengan subpleura terletak di atas atau bawah sifura
interlobaris, atau di bagian basal dari lobus inferior. Bakteri ini menyebar lebih
lanjut melalui saluran limfe atau aliran darah, dan tersangkut pada berbagai
organ. Jadi, TB primer merupakan infeksi yang bersifat sistematis.
2. Tuberkulosis Sekunder
Telah terjadi resolusi dari infeksi primer; sejumlah kecil bakteri TB
masih dapat hidup dalam keadaan dorman di jaringan parut. Sebanyak 90% di
antaranya tidak mengalami kekambuhan. Reaktifasi penyakit TB (TB
pascaprimer/TB sekunder) terjadi bila daya tahan tubuh menurun, pecandu
alkhohol akut, silikosis, dan pada penderita diabetes melitus serta AIDS.
Bebeda dengan TB primer, pada TB sekunder kelenjar limfe regional
dan organ lainnya jarang terkena, lesi lebih terbatas, dan terlokalisir. Reaksi
imunologis terjadi dengan adanya pembentukan granuloma, mirip dengan yang
terjadi pada TB primer. Tetapi, nekrosis jaringan lebih mencolok dan
menghasilkan lesi kaseosa (perkejuan) yang luas dan disebut tuberkulema.
Plotease yang dikeluarkan oleh makrofag aktif akan menyebabkab pelunakan
bahan kaseosar. Secara umum, dapat dikatakan bahwa terbentuknya kafisatas
dan manifestasi lainnya dari TB sekunder adalah akibat dari reaksi nekrotik
yang dikenal sebagai hipersensitivitas.
TB paru pascaprimer dapat disebabkan oleh infeksi lanjutan dari
sumber eksogen, terutrama pada usia tua dengan riwayat masa muda pernah
terinfeksi bakteri TB. Biasanya, hal ini terjadi pada daerah artikel atau sekmen
postarior lobus superior, 10-20 mm dari pleura dan segmen apikel lobus
interior. Hal ini mungkin disebabkan kadar oksigen yang tinggi, sehingga
menguntungkan untuk pertumbuhan penyakit TB.
Lesi sekunder berkaitan dengan kerusakan paru yang disebabkan oleh
produksi sitokin yang berlebihan. Kavitas kemudian diliputi oleh jaringan
fibrotik yang tebal dan berisi pembuluh darah pulmonl. Kavitas yang kronis
diliputi oleh jaringan fibrotik yang tebal. Masalah lainnya pada kavitas kronis
adalah kolonisasi jamur, seperti aspergilus yang menumbuhkan micotema
(Isa,2001).
2.4 Komplikasi
1. Komplikasi Dini
a. pleuritis,
b. efusi pleura,
c. empiema,
d. laringitis, dan
e. TB usus.
2. Komplikasi Lanjut
a. obstruksi jalan napas,
b. kor pulmonale,
c. amiloidosis,
d. karsinoma paru, dan
e. sindrom gagal napas.
2.5 Penatalaksanaan Medis
Zain (2001) membagi penatalaksaan tuberkulosis paru menjadi tiga
bagian, yaitu pencegahan, pengobatan, dan penemuan penderita.
1. Pencegahan tuberkulosis paru
a. Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat
dengan penderita TB paru BTA positif.
b. Mars chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok
populasi tertentu, misalnya karyawan rumah sakit atau puskemas atau balai
pengobatan, penghuni rumag tahanan dan siswi-siswi pesantren.
c. Vaksinasi BCG, reaksi positif terjadi jika setelah mendapat vaksinasi BCG
langsung terdapat reaksi lokal yang besar dalam waktu kurang dari 7 hari
setelah penyuntikan.
.d. Kemoprokfilasis, yaitu dengan menggunakan INH 5 mg/kg BB selama 6-12
bulan dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang
masih sedikit.
e. Komunikas, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberkulosis kepada
masyarakat di tingkat puskesmas maupun rumah sakit oleh petugas pemerintah
atau petugas LSM.
2. Pengobatan tuberkulosis paru
Tujuan pengibatan pada penderita TB paru, selain untuk mengobati, juga
untuk mencegah kematian, kekambuhan, resistensi kuman terhadap OAT, serta
memutuskan mata rantai penularan.
3. Penemuan penderita
a. Penatalaksaan terapi: asupan nutrisi adekuat/ mencukupi.
b. Kemoterapi, yang mencakup pemberian :
1. Isoniazid (INH) sebagai bakterisidial terhadap basil yang tumbuh aktif. Obat
ini diberikan selama 18-24 bulan dan dengan dosis 10-20 mg/kg berat
badan/hari melalui oral.
2. Kombinasi antar NH, rifampicin, dan pyrazinamid yang diberikan selama 6
bulan.
3. Obat tambahan, antara lain Strepmomycin (diberikan
intramuskuler)dan Etham burol
4. Terapi kortikosteroid diberikan bersamaan dengan obat anti-TB untuk
mengurangi respons peradangan, misalnya pada meningitis.
c. Pembedahan dilakukan jika kemoterapi tidak berhasil. Tindakan ini dilakukan
mengangkat jaringan paru yang rusak.
d. Pencegahan dilakukan dengan menghindari kontak langsung denga orang yang
terinfeksi basil TB serta mempertahankan asupan nutrisi yang memadai.
Pemberian imunisasi BCG juga diperlukan untuk meningkatkan daya tahan
tubuh terhadap inveksi basil TB virulen.

2.6 Patofisiologi
Port desentri kuman Mycobacterium tuberculosis adalah saluran
pernapasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi
terjadi melalui udara (air bone), yaitu melalui inhalasi dropplite yang
mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang terinfeksi.
Basil tuberkel yang mencapai alveolus dan diinhalasi biasanya terdiri atas
satu sampai tiga gumpalan. Basil yang lebih besar cenderung bertahan disaluran
hidung dan cabang besar bronkus, sehingga tidak menyebabkan penyakit.
Setelah berada dalam ruang alveolus, kuman akan mulai mengakibatkan
peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak memfagosit bakteri ditempat ini,
namun tidak membunuh organisme tersebut.
Sesudah hari pertama, maka leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang
terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut.
Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa
yang tertinggal atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau
berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening
menuju getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi
lebih panjang dan sebagian bersatu, sehingga membentuk sel tuberkel epiteloit
yang dikelilingi oleh fosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10-20 jam.
2.7 Asuhan Keperawatan TBC Paru (Pengkajian: Anamnesis)
1. Keluhan Utama
Tuberkulosis sering dijuluki the great imitator, yaitu suatu penyakit yang
mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain, yang juga memberikan gejala
umum serupa (seperti lemah dan demam). Pada sejumlah pasien, gejala yang
timbul tidak jelas bahkan kadang-kadang tanpa gejala (asimptomatik), sehingga
sering diabaikan. Keluhan yang sering menyebabkan Paien TB paru meminta
pertolongan dari tim kesehatan dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu keluhan
respiratoris dan keluhan sistematis.
a. Keluhan respiratoris
1) Batuk
Keluhan batuk timbul paling awal dan merupakan ganguan yang paling
sering dikeluhkan. Perawat harus menanyakan apakah keluhan batuk bersifat
nonproduktif,produktif, ataukah sputum bercampur darah.
2) Batuk darah
Keluhan batuk darah pada pasien TB paru selalu menjadi alasan utama
untuk meminta pertolongan kesehatan. Hal ini disebabkan rasa takut pasien pada
darah yang keluar pada jalan napas. Perawat harus menanyakan seberapa banyak
darah yang keluar (apakah hanya berupa blood streak / berupa garis atau bercak-
bercak darah)
3) Sesak napas
Keluhan ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah meluas atau
karena ada hal-hal lain yang memperberat kondisi paru-paru pasien.
4) Nyeri Dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik ringan. Gejala ini
timbul apabila sistem saraf pleura terkena TB.
b. Keluhan Sistematis
1) Demam
Keluhan yang sering dijumpai dan biasanya timbul pada sore atau malam hari
pada penderita TB ini mirip dengan gejala demam influenza. Gejalanya hilang timbul
dan semakin lama semakin panjang serangannya, sementara masa bebas serangan
semakin pendek.
2) Keluhan Sistematis Lain
Keluhan yang biasa timbul ialah keringat dimalam hari, anoreksia, penuruna
berat badan, dan tidak enak badan (malaise). Timbulnya keluhan biasanya bersifat
gradual atau muncul secara bertahap dalam beberapa minggu ata bulan. Akan tetapi,
penampilan akut dengan batuk, panas, dan sesak napas (walaupun jarang) dapat juga
timbul menyerupai gejala pnemunomia.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengkajian ini dilakukan untuk mendukung keluhan utama. Ajukan
pertanyaan yang sifatnya ringkas , sehingga jawaban yang diberikan pasien hanya
kata “ya” atau “tidak”, atau cukup dengan anggukan atau gelengan kepala. Apabila
keluhan utama adalh batuk, maka perawat harus menanyakan sudah berapa lama
keluhan batuk muncul (onset). Pada pasien dengan pneumonia, keluhan batuk
biasanya timbul mendadak dan tidak berkurang setelah meminum obat batuk yang
biasa dijual dipasaran.
Batuk pada TB yang paling sering dikeluhkan, mula-mula nonproduktif
(tanpa dahak), kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah terjadi
kerusakan jaringan. Batuk akan timbul apabila proses penyakit telah melibatkan
bronkus, dimana terjadi iritasi bronkus. Akibat adanya peradangan pada bronkus,
batuk akan menjadi produktif (berdahak), yang berguna untuk membuang produk
ekskresi peradangan dengan sputum (dahak) yang bersifat mukoid atau purulen.
Pasien TB paru juga sering menderita batuk darah. Adanya batuk darah ini
sering menimbulkan kecemasan pada diri pasien, karena batuk darah sering
dianggap sebagai suatu tanda dari beratnya penyakit yang diidapnya. Kondisi
seperti ini seharusnya tidak terjadi jika perawat memberikan pelayanan
keperawatan yang baik kepada pasien dengan memberi penjelasan tentang kondisi
yang terjadi pada dirinya.
Jika keluhan utama atau yang menjadi alasan pasien meminta pertolongan
kesehatan adalah sesak napas, maka perawat perlu mengarahkan atau menegaskan
pertanyaan untuk membedakan antara sesak napas yang disebabkan oleh gangguan
sistem pernapasan dan sistem kardiovaskular. Sesak napas yang disebabkan oleh
TB paru biasanya disertai gejala-gejala berat. Hal ini bisa disebabkan tingkat
kerusakan parenkim paru yang sudah meluas atau karena ada hal-hal yang
menyertainya, seperti efusi pleura, pneumothoraks, anemia, dan lain-lain. Untuk
memudahkan perawat dalam mengkaji keluhan sesak napas, maka napas ini dapat
dibedakan lagi sesuai tingkat klasifikasi sesak.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya
pasien pernah menderita TB paru, waktu kecil pernah mengalami keluhan batuk
dalam waktu lama, tuberkulosis dari organ lain, pembesaran getah bening, dan
penyakit lain yang dapat memperberat TB paru (seperti diabetes mellitus).
Tanyakan pula mengenai obat-obat yang biasa diminum pasien dimasa lalu yang
masih relevan. Obat-obat ini meliputi obat OAT dan antitisif. Catat adanya efek
samping yang mungkin timbul dimasa lalu.
Tanyakan pula sekiranya ada alergi obat serta reaksi alergi yang timbul.
Sering kali, pasien mengacaukan antara suatu jenis alergi dengan efek samping
obat. Kaji lebih dalam tenyang seberapa jauh penurunan berat badan (BB) pasien
dalam 6 bulan terakhir. Penurunan berat badan pasien dengan TB paru
berhubungan erat dengan proses penyembuhan penyakit serta adanya anoreksia
dan mual yang sering disebabkan karena meminum OAT.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Secara patologi, TB paru tidak diturunkan tetapi, perawat perlu
menanyakan apakah penyakit ini pernah dialami oleh anggota keluarga lainnya
sebagai faktor predisposisi penularan didalam rumah.
2.8 Dasar Pengkajian Pasien
data pengkajian pasien tergantung pada tahap dan derajat yang terkena.
1. Aktivitas/istirahat
a. Gejala :
1) Kelelahan umum dan kelemahan.
2) Nafas pendek saat bekerja atau beraktivitas.
3) Kesulitan tidur pada malam hari atau demam malam
4) Setiap hari menggigil dan berkeringat,serta
5) Mimpi buruk.
b. Tanda
1) Takikardia, takipnea atau dispnea pada saat beraktivitas, dan
2) Kelelahan otot, nyeri,dan sesak (tahap lanjut).
2. Integritas Ego
a. Gejala:
1) Adanya/faktor stres lama,
2) Masalah keuangan dan rumah tangga,
3) Perasaan tak berdaya/tak ada harapan, serta
4) Biasa terjadi di bangsa Amerika Asli atau imigran dari Amerika tengah,Asia
Tenggara, dan suku Indian.
b.Tanda:
1) Menyangkal (khususnya dalam tahap dini) dan
2) Kecemasan berlebihan, ketakutan, serta mudah marah
3. Makanan/Cairan
a. Gejala:
1) Kehilangan nafsu makan,
2) Tak dapat mencerna makanan, dan
3) terjadi penurunan berat badan.
b. Tanda:
1) turgor kulit buruk, kering/kulit bersisik,serta
2) kehilangan otot atau otot mengecil karena hilangnya lemak subkutan

4. Nyeri/Kenyamanan
a. Gejala: nyeri dada meningkat karena batuk berulang.
b. Tanda:
1) Berhati-hati saat menyentuh atau menggerakan area yang sakit
2) Perilaku distraksi (terganggu), seperti sering gelisah
5. Pernafasan
a. Gejala
1) Batuk (produktif/tak produktif) dan
2) Napas pendek
b. Tanda:
1) Peningkatan frekuensi pernapasan.
2) Fibrosis parenkin paru dan pleuran yang meluas
3) Pasien menunjukan pola pernapasan yang tak simetris (efusi pleura)
4) Perfusi pekak dan penurunan fremitus (getaran dalam paru)
5) Penebalan pleura
6) Bunyi napas yang menurun
7) Aspek paru selama inspirasi cepat;namun setelah batuk biasanya pendek (krekels
potstusik)
8) Karateristik spuntum (yang berwarna hijau/purulen dan mukoid, kadang kuning
dan disertai dengan bercak darah)
9) Deviasi trakeal (penyebab bronkogenik)
10) Tak perhatian, menunjukan sikap mudah tersinggung yang jelas
11) Perubahan mental (tahap lanjut)
6. Keamanan
a. Gejala : Adanya kondisi tekanan pada sistem imon (contohnya AIDS, kanker, tes
HIV yang hasilnya positif)
b. Tanda : demam rendah atau sakit panas akut.

7. Iteraksi Sosial
Gejala : perasaan isolasi atau penolakan karena penyakit menular. Perubaha pola
biasa dalam kapsitas fisik untuk melaksanakan peran.
8. penyuluhan/pembelajaran
a. Gejala :
1) Riwayat keluarga TB
2) ketidak mampuan umum/status kesehatan buruk
3) gagal untuk menyembuhkan TB seara total, TB sering kambuh.
4) tidak mengikuti terapi pengobatan dengan baik.
b. pertimbangan :
DRG menunjukkan bahwaa rata rata lama pasien dirawat di rumah sakit sekitar 6,6
hari.
c. rencana pemulangan
pasien dengan TB paru dalam terapi obat dan bantuan perawtan diri serta
pemeliharaan rumah
2.9 Jenis Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum dan Tand-tanda Vital
Keadaan umum pasien TB paru dapat dilihat secara selintas dengan
menilai keadaan fisik tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu dinilai secara umum
tentang kesadaran pasien yang terdiri atas compos menitis, apatis, samnolen, sopor,
soporokoma, atau koma. Seorang perawat perlu mempunyai pengalaman dan
pengetahuan tentang konsep anatomin fisiologi umum, sehingga dengan cepat
menilai keadaan umum, kesadaran, dan pengukuran GCS bila kesadaran pasien
menurun. Hal tersebut penting dilakukan karena komdisi vital ini mensyaratkan
kecepatan dan ketepatan penilaian.
Biasanya, hasil pemeriksaan tanda-tanda vital dari pasien TB paru
menunjukkann adanya peningkatan suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas
meningkat apabila disertai sesak napas, denyut nadi biasanya juga meningkat
seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan frejuensi pernapasan, serta tekanan
darah biasanya sesuai dengan adanya penyakit penyulit (seperti hipertensi).
2. Pengkajian Psiko-Sosio-Spirtual
Pengkajian psikologis pasien meliputi beberapa dimensi yang
memungkinkan perawat memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi,
kognitif, da perilaku pasien. Perawat mengumpulkan data hasil pemeriksaan pasien
tentang kapasitas fisik dan intelektualnya saat ini. Data ini penting untuk
menentukan tingkat perlu tidaknya pengkajian psiko-sosio-spiritual yang saksama.
Pada kondisi klinis, pasien dengan TB paru sering mengalami kecemasan
bertingkat sesuai dengan keluhan yang dialaminya.
Perawat juga perlu menanyakan kondisi pemukiman tempat pasien
bermukim. Hal ini penting, mengingat TB paru sangat rentan dialami oleh mereka
yang tinggal di permukiman padat dan kumuh. Perlu diketahui bahwa populasi
bakteri TB paru lebih mudah hidup dan brkembang biak ditempat kumuh dengan
ventilasi yang buruk dan pencahayaan sinar matahari yang kurang.
TB paru merupakan penyakit yang pada umumnya menyerang masyarakat
miskin. Hal ini karena golongan masyarakat cenderung tidak sanggup
meningkatan daya tahan tubuh non spesifik dan keterbatasan dalam mengkonsumsi
makanan bergizi. Selain itu, juga karena ketidak sanggupan mereka untuk membeli
obat. Ini semua masih diperparah lagi dengan faktor kemiskinan yang membuat
setiap individe diharuskan bekerja secara fisik, sehingga mempersulit proses
penyembuhan penyakitnya.
Pasien TB paru kebanyakan berpendidikan rendah, akibatnya mereka tidak
menyadari bahwa penyembuhan penyakit dan menjaga kesehatan merupakan hal
yang penting. Pendidikan yang rendah sering menyebabkan seseorang tidak dapat
meningkatkan kemampuannya untuk mencapai taraf hidup yang baik. Padahal,
taraf hidup yang baik amat dibutuhkan untuk penjagaan kesehatan secara umum
dan dalam menghadapi infeksi.

L. Diagnosis Keperawatan
1. ketidak efektifan kebersihan jalan napas, berhubunagan dengan sekresi mukus
yang kental, hemoptitis, kelemahan fisik, upaya batuk buruk dan edema
trakheal/faringeal.
2. ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan menurunnya
ekspansi paru sekunder terhadappenumpukan cairan dalam rongga pleura.
3. resiko tinggi gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan penurunan
jaringan efektif paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar-kapiler, dan
edema bronchial.
4. perubahan nutrisi; kurangnya asupan nutrisi dari kebutuhan ideal tubuh yang
berhubungan dengan keletihan, anoreksia, despnea, dan peningkatan
mitabolisme tubuh.
5. kecemsan, berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan
(ketidakmampuan untuk bernapas) dan prognosis penyakit yang belum jelas.
6. kurang informasi dan pengetaahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan,
berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit dan
penatalaksaan perawatan dirumah.
7. infeksi dan reiko tingi penyebaran atau aktivasi ulang kuman TB, berhubungan
dengan kerusakan jaringan/infeksi tambahan.

G. Pemeriksaan Diagnosis
1. Pemeriksaan Rontgen Toraks
Pada hasil pemeriksaan rontgen toraks, sering didapatkan adanya suatu lesi
sebelum ditemukan gejala subjektif awal. Sebelum pemeriksaan fisik, dokter juga
menemukan suatu kelainan pada paru. Pemeriksaan rontgen toraks ini sangat
berguna untuk mengevaluasi hasil pengobatan, di mana hal ini bergantung pada
tipe keterlibatan dan kerentanan bakteri tuberkel terhadap OAI (apakah sama
baiknya dengan respons pasien?). Penyembuhan total sering kali terjadi di
beberapa area dan ini adalah observasi yang dapat muncul pada sebuah proses
penyembuhan yang lengkap.
2. Pemeriksaan CT-scan
Pemeriksaan CT-scan dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB
inaktif/stabil yang ditunjukkan dengan adanya gambaran garis-garis fibrotik
ireguler, pita parenkimal, klasifikasi nodul dan adenopati, perubahan
kelengkungan berkas bronkhovaskular, bronkhiektaksis, serta emfisema
perisikatrisial. Pemeriksaan CT-scan sangant bermanfaat untuk mendeteksi
adanya pembentukan kavitas dan lebih dapat diandalkan daripada pemeriksaan
rontgen toraks biasa.
3. Radiologis TB Paru Milier
TB Milier akut diikuti oleh invasi pembuluh darah secara
masif/menyeluruh seta mengakibatkan penyakit akut yang berat dan sering
disertai akibat fatal sebelum penggunaan OAT. Hasil pemeriksaan rontgen toraks
bergantung pada ukuran dan jumlah tuberkel milier. Pada beberapa pasien TB
milier, tidak ada lesi yang terlihat pada hasil rontgen toraks, tetapi ada beberapa
kasus dimana bentuk milier klasik berkembang seiring dengn perjalanan
penyakitnya.
4. Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis terbaik dari penyakit TB diperoleh dengan pemeriksaan
mikrobiologi melaui isolasi bakteri. Untuk membedakan spesies Mycrobacterium
yang satu dengan yang lainnya harus dilihat sifat koloni, waktu pertumbuhan,
sifat biokimia pada berbagai media, perbedaan kepekaan terhadap OAT, dan
percobaan, serta perbedaan kepekaan kulit terhadap berbagai jenis antigen
Mycrobacterium.
Bahan untuk pemeriksaan isolasi Mycrobacterium TB adalah septum
pasien, urine, dan cairan kumbah lambung. Selain itu, ada juga bahan-bahan lain
yang dapat digunakan, yaitu cairan serebrospinal (sum-sum tulang belakang),
cairan pleura, jaringan tubuh, fases, dan swab tenggorokan. Pemeriksaan darah
yang menunjang diagnosis TB paru, walaupun kurang sensitif, adalah
pemeriksaan laju endap darah (LED). Adanya pemeriksaan LED biasanya
disebabkan peningkatan immunoglobulin, terutama IgG dan IgA (Loman, 2001)

M. Perencanaan dan Intervensi


1. diagnosis 1
Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan denga sekresi
mukus yang kental, hemoptitis, kelemahan, upaya batuk buruk, dan edema
trakheal/faringeal
a. Tujuan kebersiahan jalan napas kembali efektif

b. Kreteria Hasilan

1) Pasien dapaata melakukan batuk efektif

2) Pernasan pasien normal tanpa menggunakan alat bantu napas. Bunyi napas normal,
Rh -/-, dan pergerakan pernapas normal.

c. Intervensi
1) Kaji fungsi pernapasan (bunyi napas , kecepatran, irama, kedalaman, dan
penggunaann otot bantu napas).

Rasionalisassi : penurunan bunyi napas menunjukan atelectasis, ronkhi menunjukan


akumulasi secret dan tidak efektifnya pengeluaran sekresi, yang selanjutnya dapat
menimbulkan penggunaan otot bantu napas dan peningkatan kerja pernapassan
2) Kaji kemampuan mengeluarkan sekresi, catat krakter, volume sputum, dan adanya
hemoptysis.

Rasionalisasi : pengeluaran dahak akan sulit bila secret sangat kental ( efek infeksi
dan hidrasi yang tidak memadai). Sputum berdarah bila ada kerusakan (kavitasi) paru
atau luka bronchial dan memerlukan intervensi lebih lanjut.
3) Berikan posisi fowler/ semifowler tinggi (yakni posisi tidur dengan punggung
bersandar di bantal atau seperti tidur-duduk) dan bantu pasien untuk bernapas dalam
dan batuk efektif.

Rasionalisasi : posisi powler memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya


napas. Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan
sekret kejalan napas besar untuk dikeluarkan.
4) Pertahankan asupan cairan sedikitnya 2.500 ml/hari, kecuali tidak d indikasikan.

Rasionalisasi : hidrasi yang memadai dapat membantu mengencerkan sekret dan


mengefektifkan pembersihan jalanya napas.
5) Bersihkan sekret dari mulut dan trachea, bila perlu lakukan pengisapan (suction).

Rassionalisasi : mencegah obstruksi dan aspirasi. Penghisapan diperlukan bila pasien


tidak mampu mengeluarkan sekret.
6) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi OAT.

Rasionalisasi : pengobata tuberkolosis terbagi jadi dua fase, yaitu fase intensif (2-3
bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang di gunakan terdiri atas obat
utama dan obat tambahan jenis obat utama yang digunakan sesuai rekomendasi WHO
adalah Rifamsipin, INH, Pirazinamid, strptomisin, dan Etambutol.
7) Agen Motolitik.

Rasionalisasi : agen mokolitik menurunkan kekentalan dan kelengketan sekret paru,


sehingga memudahkan pembersihan.
8) Bronkodilator.

Rasionalisasi : bronkodilator meningkatkan diameter percabangan trakeobronkhial,


sehingga menurunkan tahanan terhadap aliran udara.
9) kortiokosteroid
Rasionalisasi : kortiosteroid berguna untuk memperluas keterlibatan pada
hipoksemia dan bila reaksi inflamasi mengancam kehidupan.

2. Diagnosis 2
Ketidak efektifan pola pernapsan yang berhubungan dengan menurunnya
ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura.
a. Tujuan : pola napas kembali efektif.
b. kreteria hasil :
1) pasien mampu melakukan batuk efektif.
2) Irama, frekuensi, dan kedalaman pernapasan berada pada batasan norma. Pada
pemeriksaan rontgen dada, tidak ditemukan adanya akumlasi cairan, dan bunyi napas
terdengar jelas.
c. Intervensi
1). Identifikasi faktor enyebab.
Rasionalisasi: dengan mengidentifikasi penyebab, kita dapat menentukan jenis
defusi pleura, sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat.
2) Kaji fungsi pernapasan, catat kecepatan pernapasan, dispnea, sianosis, dan
perubahan tanda vital
Rasionalisasi : distres pernapasan dan perubahan tanda vital dapat terjadi
sebagaiakibat stres fisiologis dan nyeri. Bisa juga menunjukkan
terjadiya shock akibat hipoksia
3) Berikan posisi fowler/semifowwler (tidur bersandar) tinggi dan miring pada posisi
yang sakit dan bantu pasien untuk latihan napas dalam dan batuk efektif.
Rasionalisasi : posisi fowler memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan
upaya napas. Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkattan
gerakan sekret pada jalan napas besar untuk kemudian di keluarkan.
4) Auskultasi bunyi napas.
Rasionalisasi : bunyi napas dapat menurun, bahkan tidak ada, pada area kolaps
yang meliputi satu lobus, segmen paru, atau eluruh area paru (unilateral).
5) Kaji pengembangan dada dan posisi trakea.
Raionalisasi : ekspansi paru menurun pada area kolaps. Deviasi trakea kearah sisi
yang sehat pada tension.
6) Kolaborasi untuk tindakan thorakosintetis atu kalu perlu WSD ( water seal
drainage).
Rasionalisasi : bertujuan sebagai evakuasi cairn atu udara dan memudahkan
ekspansi paru secara maksimal.
7) Bila di pasang WSD, periksa pengontrol pengisap dan jumlah isapan yang benar.
Rasionalisasi : mempertahankan tekanan negatif intrapleura, sehingga dapat
meningkatkan ekspansi aru optium.
8) Periksa batas ciran pada botol pengisap dan ertahankan pada batas yang di
tentukan.
Rasionalisasi : air dalam botol penampung berfungsi sebagai segat yang
mencegah udara atmosfer masuk dalam pleura.
9) Observasi gelembung udara dalam botol penampung.
Rasionalisasi : gelembung udara selama eksparasi menjukkan keluarnya udara
dari pleura sesuai dengan yang diharapkan. Jumlah gelembung biasanya menurun
seiring dengan bertambahnya ekspansi paru. Tidak adanya gelembung udara
dapat menunjukkan bahwa ekspansi paru sudah optimal atau tersumbatnya selang
drainase.
10) Setelah WSD dilepas, tutup sisi tabung dengan kasa steril dan observasi tanda
yang dapat menunjukkan berulangnya pneumutoraks, seperti napas pendek dan
keluhan nyeri.
Rasionalisasi : deteksi dini terjadinya komplikasi adalah hal yang sangat penting,
seperti menandai berulangnya pneumotoraks
.

3. Diagnosis 3
Resiko tinggi ganguan pertukaran gas yang berhubungan dengan penurun an
jaringan efektif paru, atelektasis, kerusakan membran alviolar-kapiler, dan idema
bronchial.
a. Tujuan : gangguan pertukarn gas tidak terjadi
b. Kriteria Hasil :
1) Pasien melaporkan adanya penurunan dipsnea.
2) Pasien menunjukkan tidak ada gejala distes pernapasan
3) Menunjkkan perbaikan ventilasi dan kadar oksigen jaringan adekuat
dengan gas darah arteri dalam rentan normal.
c. Intervensi
1) Kaji dispnea, takipnea, bunyi napas, peningkatan upaya pernapasan, ekspansi
toraks, dan kelemahan.
Rasionalisasi : TB mengakibatkan efek luas pada paru dari bagian kecil
bronkhopneumonia sampai implamasi difus yang luas, nekrosis, efusi pleura, dan
fibrosis yang juga luas. Efeknya pada pernapasan bervariasi dari gejala ringan,
dispnea berat, sampai distres pernapasan.
2) Evaluasi perubahan tingkat kesadaaran, catat sianosis dan perubahan warna kulit,
termasuk membran mukosa dan kuku.
Rasionalisasi : akumolasi sekret dan berkurangnya jaringan paru yang sehat dapat
mengganggu oksigenasi organ vital dan jaringan tubuh.
3) Tunjukkan dan dukung pernapasan bibir selama ekspirasi, khususnya untuk pasien
dengan fibrosi dan kerusakan parenkim paru.
Rasionalisasi : membuat tahanan melawan udara luar untuk mencegah kolaps atau
enyempitan jalan napas, sehingga membantu menyebarkan udara melalui paru dan
mengurangi napas pendek.
4) Tingkatkan tirah baring, batasi aktivitas, dan batu kebutuhan peraawatan diri
sehari hari sesuai keadaan pasien.
Rasionalisasi : menurunkan konsumsi oksigen selama perioden penurunan
pernapasan, selain dapat menurunkan beranya gejala.
5) Kolaborasi tirah baring, batasi aktivitas, dan batu kebutuhan peraawatan diri
sehari hari sesuai keadaan pasien.
Rasionalisasi : menurunkan konsumsi oksigen selama periode penurunan
pernapasan dan dapat menurunkan beratnya gejala.
6) Kolaborasi permeriksaan AGD.
Rasionalisasi : penurunan kadar O2(PO2) dan atau saturasi peningkatan
PCO2 menunjukkan kebutuhan untuk intervensi atau perubahan program terapi.

7) Pemberian oksigen sesuai kebutuhan tambahan.


Rasionalisasi : terapi oksigen dapat mengoreksi hipoksemia yang terjadi akakibat
peurunan ventilasi atau menurunnya penurunan alveolar paru.
8) Kortikosteroid.
Rasionalisasi : kortiosteroid berguna dengan keterlibatan luas pada hipoksemia
dan bila reaksi inflamasi mengancam kehidupan.

4. Diagnosis 4
Perubahan nutrisi, yakni asupan zat gizi yang kurang dari kebutuhan tubuh,
berhubungan dengan keletihan, anoreksia, dispnea, dan peningkatan metabolisme
tubuh.
a. Tujuan : asupan (intake)nutrisi pasien terpenuhi.
b. Kriteria Hasil :
1) Pasien dapat mempertahankan status gizinya yang semula kurang menjadi
memadai.
2) Pernyataan motivasi kita untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.
c. Intervensi
1) Kaji status nutrisi pasien, turgor kulit, berat badan, derajat penurunan berat badan,
integrasi mukosa oral, kemampuan menelan, riwayat mual atau muntah, dan
diare.
Rasionalisasi : memvalidasi dan menetapkan derajat masalah untuk menetapkan
pilihan interensi yang tepat.
2) Fasilitasi pasien untuk memperoleh diet biasa yang disukai pasien (sesuai
indikasi).
Rasionalisasi : memperhitungkan keinginan individu dapat memperbaiki asupan
gizi.
3) Pantauan dan output makanan dan timbangan berat badan secara priodik (sekali
seminggu)
Rasionalisasi : berguna untuk mengukur keefektifan asupan gizi dan dukungan
cairan.
4) Lakukan dan ajarkan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan, seta sebelum
dan sesudah intervensi atau pemeriksaan per oral.
Rasionalisasi : menurunkan rasa tak enak karena sisa makanan, sisa spuntum, atau
obat pada pengobatan sistem pernapasan yang dapat merangsang pusat muntah.
5) Fasilitas pemberian diet TKTP, berikan dalam porsi kecil tapi sering.
Rasionalisasi : memaksimalkan intake nutrisi tanpa kelelahan dan energi besar,
serta menurunkan iritasi saluran cerna.
6) Kolaborasi dengan ahli giza untuk menetapkan komposisi dan jenis diet yang
tepat.
Rasionnalisasi : merencanakan diet dengan kandungan gizi yang cukup untuk
memenuhi peningkatan kebutuhan energi dan kalori, sehubungan dengan status
hipermetabolik pasien.
7) Kolaborasi untuk pemerikasaan laboratorium, khususnya BUN (blood urea
nitrogen), protein serum dan albumin.
Rasionalisasi : menilai kemajuan terapi diet dan membantu perencanaan
intervensi selanjutnya.
8) Kolaborasi untuk pemberian moltivitamin.
Rasionalisasi : moltivitamin bertujuan untuk memenuhi kebutuhan vitamin yang
tinggi sekunder dari peningkatan aju metabolisme umum.

5. Diagnosis 5
Kecemasan yang berhubungan dengan adanya ancaman yang dibayangkan
(ketidak mampuan untuk bernapas) dan prognosi penyakit yang belum jelas.
a. Tujuan
pasien mampu memahami dan menerima keadaannya, sehingga tidak muncul
kecemasan yang berlebihan.
b. Kreteria Hasil
Pasien terlihat mampu bernapa secara normal dan mampu beradaptasi dengan
keadannya. Respon non verbal pasien tampak lebih rileks dan santai.
c. Interensi
1) Bantu dalam mengidentifikasi sumber coping yang ada.
Rasionalisasi : pemanfaatan sumber coping yang ada secara konstruktif, sangat
bermanfaat dalam mengatasi stres.
2) Ajarkan teknik relaksasi
Rasionalisasi : mengurangi ketegangan otot dan kecemasan
3) Pertahankan hubungan saling percaya antara perawat dengan pasien.
Rasionalisasi : hubungan saling ercaya membantu memperlancar proses
terapiotik.
4) Kaji faktor yang menyebabkan timbulnya rasa cemas.
Rasionalisasi : tindakan secara tepat diperlukan dalam mengatasi masalah yang
sedang dihadapi pasien dan membangun kepercayaan dalam mengurangi
kecemasan.
5) Bantu pasien mengenali dan mengakui rasa cemasnya.
Rasionalisasi : rasa cemas merupakan efek dari emosi, sehingga apabila sudah
teridentifikasi dengan baik, perasaan yag mengganggu dapat diketahu.

6. Diagnosis 6
Kurangnya informasi dan pengetahuan mengenai kondisi maupun aturan
pengobatan, berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit
dan penatalaksanaan perawatan di rumah.
a. Tujuan : pasien mmpu melaksanakan apa yang telah diinformasikan.
b. Kriteria hasil.
Pasien terlihat mengalami penurunan potensi penularan penyakit, yang ditunjukkan
oleh kegagalan kontak pasien.
c. Intervensi
1) Kaji kemampuan pasien untuk mengikuti pembelajaran (tingkat kecemasan,
kelelahan umum, engetahuan pasien sebelumnya, dan suasana yang tepat)
Rasionalisasi : keberhasilan proses pembelajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik,
emosional, dan lingkungan kondusif.
2) Jelaskan tentang dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan, dan
alasan mengapa pengobatan TB berlangsung dalam waktu lama.
Rasionalisasi : meniningkatkatkan partisipasi pasien dalam program pengobatan
dan mencegah putus obat karena membaiknya kondisi fisik pasien sebelum
jadwal terapi selesai.
3) Ajarkan dan nilai kemamuan pasien untuk mengidentifikasi gejala atau tanda
reaktifitas penyakit (hemoptisis, demam, nyeri dada, kesulitan bernapas,
kehilangan pendengaran dan vertigo).
Rasionalisasi : dapat menunjukkan pengaktifan ulang proses penyakit dan efek
obat yang memerlukan evaluasi lanjut.
4) Tekankan pentingna mempertahankan asupan nutrisi yang mengandung protein
dan kalori yang tinggi, serta asupan cairan yang cukup setiap hari.
Rasionalisasi : diet TKTP (tinggi kalori dan tinggi protein) dan cairan yang
adekuat memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik tubuh. Pendidikan
kesehatan tentang hal itu akan meningkatkan kemandirian pasien dalam
perawatan penyakitnya.

7. Diagnosis 7
Infekai merupakan resiko tinggi (penyebaran/aktivasi ulang) yang berhubungan
dengan kerusakan jaringan/tambahan infeksi.
a. Tujuan : infeksi karena jaringan/tambaham infeksi dapat teratasi
b. Kriteria Hasil
1) Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko penyebaran
infeksi.
2) Menunjukkan teknik atau melakukan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan
yang aman.
c. Intervensi
1) Kajian patologi penyakit (aktif/fase tak aktif, yakni diseminasi infeksi melalui
bronkus untuk membatasi jaringan atau melalui aliran darah/sistem limfatik) dan
potensi penyebaran infeksi melalui butiran-butiran (droplet) udara selama batuk,
bersin, meludah, bicara, tertawa, dan menyanyi.
Rasionalisasi : membantu pasien menyadari/menerima perlunya mematuhi
program pengobatan untuk mencegah pengaktifan berulng/koplikasi. Pemahaman
bagai mana penyakit itu disebarkan dan kesadaran mengenai transmisi, akan
membantu pasien atau orang terdekat untuk mengambil langkah dalam mencegah
infeksi ke orang lain.
2) Identifikasi orang lain yang beresiko, contoh anggota rumah, sahabat karib, atau
teman.
Rasionalisasi : orang orang yang masuk dalam kelompok ini perlu mendapat
program terapi obat untuk mencegah penyebaran atau terjadinya infeksi.
3) Anjuran pasien untuk menutup batuk/bersin dengan tisu. Minta mereka untuk
menghindri meludah. Gunaka tisu sekali pakai dan ajarkan tatacar mencuci
tangan yang tepat. Dorong pasien untuk mengulangi arahan tersebut untuk
memastikan bahwa dia benar-benar mengerti.
Rasionalisasi : perilaku-perilaku tersebut dilakukan untuk mencegah infeksi.
4) Kaji tindakan kontrol infeksi sementara dan contoh penggunaan masker atau
isolasi pernapasan.
Rasionalisasi : dapat membantu menurunkan rasa terisolasi pasien dan membuang
stigma sosial, sehubungan dengan penyakit menular.
5) Awasi suhu sesuai indikasi
Raionalisasi : reaksi demam merupakan indiktor adanya infeksi lebih lanjut.
6) Identifikasi faktor resiko individu terhadap pengaktifan berulang kuman tuber
kolosis, adanya tahanan/tekanan dari organ bawah paru-paru (alkoholisme,
malnutrisi, atau bedah bypas intestinal), penggunaan obat penekan
imun/kortikosteroid, adanya gejala diabetes mellitus dan kanker, serta konsumsi
kalium.
Rasionalisasi : pengetahuan tentang faktor-faktor ini dapat membantu pasien
untuk mengubah pola hidup yang kurng sehat dan menghindari/menurunkan
insiden eksaserbasi.
7) Tekanan pentingnya tidak menghentikan terapi obat.
Raionalisasi : periode singkat berakhir 2-3 hari setelah kemoterapi awal, tetapi
adanya rongga atau penyakit dan resiko penyebaran infeksi dapat berlanjut
sampai tiga bulan.
8) Kaji pentingnya mengikuti kultur ulang secara periodik terhadap spuntum untuk
lamanya terapi.
Rasionalisasi : alat dalam pengawasan efek, begitu juga keefektifan obat serta
respon pasien terhadap terapi.
9) Dorong pasien untuk memilih atau mencerna makanan seimbang. Berikan
makanan kecil diantara makanan besar secara tepat.
Rasionalisasi : adanya anoreksia atau malnutrisi sebelumnya merendahkan
terhadap tahap proses infeksi dan mengganggu penyembuhan. Makanan kecil
dapat meningkatkan pemasukan tersebut.
d. Kolaborasi
1) Pemberian Pirainamida (PZA atau Aldinamide), paraamino salicic (PAS),
silokserin (seromicin), dan streptomycin (strisin).
Rasionalisasi : obat sekunder tersebut diperlukan bila kuman infeksi resisten atau
tidaktoleran terhadap obat primer.
2) Awasi pemerikasaan labratorium, contoh hasil usap spuntum.
Rasionalisasi : pasien yang mengalami tiga usapan negatif (memerlukan 3-5
bulan), perlu menaati program konsumsi obat hingga gajal-gejala asimpromatik
dipastikan tidak menyebar.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan dan saran


Berdasarkan hasil pemeriksaan menyeluruh, yang meliputi anamnesis
(yang juga mencakup tanda dan gejala serta riwayat penyakit), maka pasien
didiagnosis menderita tuberkulosis jika telah menunjukkan gejala gejalanya.
Pasien harus minum obat secara teratur dan melanjutkan terapi pengobatan
hingga dinyatakan benar sembuh. Pasien harus sabar dan taat. Anggota keluarga
harus memeriksakan dahaknya dan harus memperhatikan serta motifasi pasien
tetap konsisten dalam menjalani pengobatan.

Вам также может понравиться