Вы находитесь на странице: 1из 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau efek
tubuh terhadap obat. Farmakokinetik mencakup 4 proses, yakni proses
absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Metabolisme atau
biotransformasi, dan ekskresi bentuk utuh atau bentuk aktif, merupakan proses
eliminasi obat (Setiadi, 2007).
Obat merupakan bahan atau paduan bahan yang dapat kita gunakan untuk
mengobati penyakit, merubah proses kimia di dalam tubuh, meraat penyakit,
yang dapat pula memberi racun. Dimana obat ini memberikan 2 efek,
menguntungkan dan merugikan.
Setiap Obat yang masuk dalam tubuh akan mengalami proses ADME,
dimana ini sangat penting diketahui sebagai seorang farmasis apalagi
apoteker. Dimana jika terjadi gangguan pada proses ini pasti akan
mengakibatkan efek yang tidak diinginkan yaitu efek toksik atau over dosis.
Jika sesuatu yang masuk di dalam tubuh pasti akan keluar setelah melalui
proses, begitu juga dengan obat. Eliminasi yang terjadi pada obat itu ada di
metabolism dan di ekskresi. Dimana jika obat dimetabolisme dan masih bisa
digunakan maka dia akan di metabolism kembali, sedangkan kalau obat yang
tidak dapat lagi dimetabolisme (dipakai lagi) maka akan di eliminasi dari
dalam tubuh atau ekskresi.
Urin merupakan larutan kompleks yang terdiri dari sebagian besar air (
96%) air dan sebagian kecil zat terlarut ( 4%) yang dihasilkan oleh ginjal,
disimpan sementara dalam kandung kemih dan dibuang melalui proses
mikturisi. (Rustiani, 2011).
Parameter farmakokinetika dapat ditentukan dari data kadar obat dalam
darah atau dari kadar obat dalam urin sebagai obat utuh atau metabolit
aktif.keberadaan obat dalam dari kadar obat dalam urin sebagai obat utuh atau
metabolit aktif.keberadaan obat dalam tubuh (Time course of drug in the

1
body) ditentukan oleh proses ADME. Data laju eksresi obat dalam urin analog
dengan data kadar obat dalam plasma setiap waktu. Oleh karena obat dalam
urin analog dengan data kadar obat dalam plasma setiap waktu. Oleh karena
itu parameter farmakokinetika suatu obat dapat ditentukan dengan
menggunakan data itu parameter farmakokinetika suatu obat dapat ditentukan
dengan menggunakan data urin.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah definisi dari Farmakokinetika?
2. Apa yang dimaksud dengan urin dan sistem urin?
3. Apa saja komponen penyusun urin?
4. Apa saja jenis pemeriksaan urin?
5. Apa saja parameter farmakokinetik?
6. Jelaskan metode pengambilan urine?
7. Apa saja faktor-faktor yang mempersulit untuk mendapatkan data eksresi
urin ?
8. Sebutkan keterbatasan penggunaan data urine?
1.3 Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui definisi dari Farmakokinetika
2. Untuk mengetahui definisi urin dan sistem urin
3. Untuk mengetahui komponen penyusun urin
4. Untuk mengetahui jenis pemeriksaan urin
5. Untuk mengetahui parameter farmakokinetik
6. Untuk mengetahui metode pengambilan urine
7. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempersulit untuk mendapatkan
data eksresi urin
8. Untuk mengetahui keterbatasan penggunaan data urine?
1.4 Manfaat Makalah
Mahasiswa dapat memhami cara perhitungan dosis obat berdasarkan data
urine dan dapat mengetahui obat yang diekresi melalui urine.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Farmakokinetika


Dalam arti sempit farmakokinetika khususnya mempelajari perubahan-
perubahan konsentrasi dari obat dan metabolitnya di dalam darah dan
jaringan sebagai fungsi dari waktu (Tjay, 2007).
Farmakokinetika mempelajari kinetika absorpsi obat, distribus dan
eliminasi (yakni, ekskresi dan metabolisme). Uraian dari distribusi dan
eliminasi obat sering diistilahkan sebagai disposisi obat. Study biofarmasetika
memerlukan penyelidikan berbagai faktor yang mempengaruhi laju dan
jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik (Shargel, 2005).
2.2 Urin dan Sistem Urin
Urine atau air seni atau air kencing adalah cairan sisa yang diekskresikan
oleh ginjal yang kemudian akan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses
urinasi. Ekskresi urine diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa
dalam darah yang disaring oleh ginjaldan untuk menjaga homeostasi cairan tubuh.
Namun, ada juga beberapa spesies yang menggunakan urine sebagai sarana
komunikasi olfaktori. Urine disaring di dalam ginjal, dibawa melalui ureter
menuju kandung kemih, akhirnya dibuang keluar tubuh melalui uretra.
Sistem urin adalah suatu sistem saluran dalam tubuh manusia, meliputi
ginjal dan saluran keluarnya yang berfungsi untuk membersihkan tubuh dari
zat-zat yang tidak diperlukan. Sebanyak 1 cc urin dihasilkan oleh kedua ginjal
kiri dan kanan setiap menitnya dan dalam 2 jam dihasilkan sekitar 120 cc urin
yang akan mengisi kandung kemih. Saat kandung kemih sudah terisi urin
sebanyak itu mulai terjadi rangsangan pada kandung kemih sehingga yang
bersangkutan dapat merasakannya. Keinginan mengeluarkan mulai muncul,
tetapi biasanya masih bisa ditahan jika volumenya masih berkisar dibawah
150 cc (Sheerwood, 2011).
Fungsi utama urin adalah untuk membuang zat sisa seperti racun atau
obat-obatan dari dalam tubuh. Anggapan umum menganggap urin sebagai zat

3
yang “kotor”. Hal ini berkaitan dengan kemungkinan urin tersebut berasal
dari ginjal atau saluran kencing yang terinfeksi, sehingga urinnya pun akan
mengandung bakteri. Namun jika urin berasal dari ginjal dan saluran kencing
yang sehat, secara medis urin sebenarnya cukup steril dan hampir
tidak berbau ketika keluar dari tubuh.
Hanya saja, beberapa saat setelah meninggalkan tubuh, bakteri akan
mengkontamiasi urin dan mengubah zat-zat di dalam urin dan menghasilkan
bau yang khas, terutama bau amonia yang dihasilkan dari urea. Urin dapat
menjadi penunjuk dehidrasi. Orang yang tidak menderita dehidrasi
akanmengeluarkan urin yang bening seperti air. Penderita dehidrasi akan
mengeluarkan urin berwarna kuning pekat atau cokelat.
Proses pembentukan urin, Ginjal merupakan tempat yang digunakan
untuk mengeluarkan zat sisa metabolisme dalam bentuk urine. Proses
pembentukan urine melalui tiga tahapan yaitu melalui mekanisme filtrasi,
reabsorpsi dan sekresi.
a) Filtrasi (penyaringan)
Proses pertama dalam pembentukan urine adalah proses filtrasi
yaitu proses perpindahan cairan dari glomerulus menuju ke kapsula
bowman dengan menembus membrane filtrasi. Membran filtrasi
terdiri dari tiga bagian utama yaitu: sel endothelium glomerulus,
membrane basiler, epitel kapsula bowman. Di dalam glomerulus
terjadi proses filtrasi sel-sel darah, trombosit dan protein agar tidak
ikut dikeluarkan oleh ginjal. Hasil penyaringan di glomerulus akan
menghasilkan urine primer yang memiliki kandungan elektrolit,
kritaloid, ion Cl, ion HCO3, garam-garam, glukosa, natrium, kalium,
dan asam amino. Setelah terbentuk urine primer maka didalam urine
tersebut tidak lagi mengandung sel-sel darah, plasma darah dan
sebagian besar protein karena sudah mengalami proses filtrasi di
glomerulus.

4
b) Reabsorpsi (Penyerapan kembali)
Reabsorpsi merupakan proses yang kedua setelah terjadi
filtrasi di glomerulus. Reabsorpsi merupakan proses perpindahan
cairan dari tubulus renalis menuju ke pembuluh darah yang
mengelilinginya yaitu kapiler peitubuler. Sel-el tubulus renalis
secara selektif mereabsorpsi zat-zat yang terdapat pada urine primer
dimana terjadi reabsorpsi tergantung dengan kebutuhan. Zat-zat
makanan yang terdapat di urine primer akan direabsorpsi secara
keseluruhan, sedangkan reabsorpsi garam-garam anorganik
direabsorpsi tergantung jumlah garam-garam anorganik di dalam
plasma darah. Proses reabsorpsi terjadi dibagian tubulus kontortus
proksimal yang nantinya akan dihasilkan urine sekunder setelah
proses reabsorpsi selesai. Proses reabsorpsi air di tubulus kontortus
proksimal dan tubulus kontortus distal. Proses reabsorpsi akan
terjadi penyaringan asam amino, glukosa, asam asetoasetat, vitamin,
garam-garam anorganik dan air. Setelah pembentukan urine
sekunder maka di dalam urine sekunder sudah tidak memiliki
kandungan zat-zat yang dibutuhkan oleh tubuh lagi sehingga
nantinya urine yang dibuang benar-benar memiliki kandungan zat
yang tidak dibutuhkan tubuh manusia (Yoga,2015).
c) Sekresi
Urine sekunder yang dihasilkan tubulus proksimal dan
lengkung Henle akan mengalir menuju tubulus kontortus distal.
Urine sekunder akan melalui pembuluh kapiler darah untuk
melepaskan zat-zat yang sudah tidak lagi berguna bagi tubuh.
Selanjutnya, terbentuklah urine yang sesungguhnya. Urine ini akan
mengalir dan berkumpul di tubulus kolektivus (saluran pengumpul)
untuk kemudian bermuara ke rongga ginjal.

5
2.3 Komposisi Urin
Komposisi urin terdiri dari 95% air dan mengandung zat terlarut. Di
dalam urin terkandung bermacam – macam zat, antara lain :
1) Zat sisa pembongkaran protein seperti urea, asam ureat, dan amoniak.
2) Zat warna empedu yang memberikan warna kuning pada urin.
3) Garam, terutama NaCl.
4) Zat–zat yang berlebihan dikomsumsi, misalnya vitamin C, dan obat –
obatan serta juga kelebihan zat yang yang diproduksi sendiri oleh
tubuh misalnya hormon (Ethel, 2003).
Urin merupakan larutan kompleks yang terdiri dari sebagian besar air (
96%) air dan sebagian kecil zat terlarut ( 4%) yang dihasilkan oleh ginjal,
disimpan sementara dalam kandung kemih dan dibuang melalui proses
mikturisi.
Seorang dewasa memproduksi 0,5-2,0 liter urine setiap hari, yang terdiri
dari 90% air. Urine mempunyai suatu nilai pH yang asam (kira-kira 5,8).
Tentu saja nilai pH urine dipengaruhi oleh keadaan metabolisme. Setelah
makan sejumlah besar bahan makanan dari tumbuh-tumbuhan, nilai pH urine
meningkat hingga di atas 7.
Urine memiliki komponen organic dan anorganik. Urea, asam urat dan
kreatinin merupakan beberapa komponen organic dari urine. Ion-ion seperti
Na, K, Ca serta anion Cl merupakan komponen anorganik dari urine. Warna
kuning pada urine, disebabkan oleh urokrom, yaitu family zat empedu, yang
terbentuk dari pemecahan hemoglobin. Bila dibiarkan dalam udara terbuka,
urokrom dapat teroksidasi, sehingga urine menjadi berwarna kuning tua.
Pergeseran konsentrasi komponen-komponen fisiologik urine dan munculnya
komponen - komponen urine yang patologik dapat membantu diagnose
penyakit (Jan Koolman, 2001).

6
2.4 Jenis Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Kadar Ureum
Ureum adalah produk akhir katabolisme protein dan asam amino yang
diproduksi oleh hati dan didistribusikan melalui cairan intraseluler dan
ekstraseluler ke dalam darah untuk kemudian difiltrasi oleh glomerulus.
Pemeriksaan ureum sangat membantu menegakkan diagnosis gagal ginjal
akut. Klirens ureum merupakan indikator yang kurang baik karena
sebagian besar di-pengaruhi diet.
Pengukuran ureum serum dapat di-pergunakan untuk mengevaluasi
fungsi ginjal, status hidrasi, menilai keseimbangan nitrogen, menilai
progresivitas penyakit ginjal, dan menilai hasil hemodialisis. Kadar urea
nitrogen dapat dikonversi menjadi ureum perhitungan perkalian 2,14 yang
melalui persamaan.

7
2. Pemeriksaan Kadar Kreatinin
Kreatinin merupakan hasil pemecahan kreatin fosfat otot, diproduksi
oleh tubuh secara konstan tergantung massa otot. Kadar kreatinin
berhubungan dengan massa otot, menggambarkan perubahan kreatinin dan
fungsi ginjal. Kadar kreatinin relatif stabil karena tidak dipengaruhi oleh
protein dari diet. Ekskresi kreatinin dalam urin dapat diukur dengan
menggunakan bahan urin yang dikumpulkan selama 24 jam.
a. Klirens Kreatinin
Klirens suatu zat adalah volume plasma yang dibersihkan dari zat
tersebut dalam waktu tertentu. Klirens kreatinin dilaporkan dalam
mL/menit dan dapat dikoreksi dengan luas permukaan tubuh. Klirens
kreatinin merupakan pengukuran GFR yang tidak absolut karena
sebagian kecil kreatinin di-reabsorpsi oleh tubulus ginjal dan sekitar
10% kreatinin urin disekresikan oleh tubulus. Namun, pengukuran
klirens kreatinin memberikan informasi mengenai perkiraan nilai
GFR.

Keterangan:
Ccr : klirens kreatinin
Ucr : kreatinin urin
Vur : volume urin dalam 24 jam

8
Pcr : kadar kreatinin serum
1,73/A : faktor luas permukaan tubuh
A adalah luas permukaan tubuh yang diukur dengan menggunakan
tinggi dan berat tubuh. Luas permukaan tubuh pasien bervariasi
berdasarkan keadaan tertentu seperti obesitas ataupun anak-anak.1
Nilai rujukan:
Laki-laki : 97 mL/menit – 137 mL/menit per 1,73 m2
Perempuan : 88 mL/menit – 128 mL/menit per 1,73 m2
b. Estimated Glomerular Filtration Rate
The National Kidney Foundation me-rekomendasi bahwa
estimated GFR (eGFR) dapat diperhitungkan sesuai dengan kreatinin
serum. Perhitungan GFR berdasarkan kreatinin serum, usia, ukuran
tubuh, jenis kelamin, dan ras tanpa membutuhkan kadar kreatinin urin
menggunakan persamaan Cockcroft and Gault.

Klirens kreatinin merupakan pemeriksaan yang mengukur kadar


kreatinin yang di-filtrasi di ginjal. GFR dipergunakan untuk mengukur
fungsi ginjal.
The Abbreviated Modification of Diet in Renal Disease (MDRD)
mempunyai persamaan untuk mengukur GFR dengan meliputi empat
variabel, yaitu kreatinin plasma, usia, jenis kelamin, dan ras.
Persamaan MDRD digunakan untuk mengukur estimated glomerular
filtration rate (eGFR), yaitu:

Scr: serum creatinine

9
Hasil dari persamaan ini diperhitungkan dengan permukaan tubuh
(1,73 m2). Persamaan MDRD cocok untuk pasien dewasa usia 18
tahun sampai dengan 70 tahun.

3. Pemeriksaan Lainnya
a. Pemeriksaan Kadar Asam Urat
Asam urat adalah produk katabolisme asam nukleat purin.
Walaupun asam urat difiltrasi oleh glomerulus dan disekresikan oleh
tubulus distal ke dalam urin, sebagian besar asam urat direabsorpsi di
tubulus proksimal. Pada kadar yang tinggi, asam urat akan disimpan
pada persendian dan jaringan, sehingga menyebabkan inflamasi.
Protein yang berasal dari diet atau kerusakan jaringan dipecah
menjadi adenosin dan guanin untuk selanjutnya akan dikonversi
menjadi asam urat di dalam hati. Asam urat diangkut dalam plasma
dari hati ke ginjal. Di dalam ginjal, asam urat akan difiltrasi oleh
glomerulus. Sekitar 98-100% asam urat direabsorpsi di tubulus
proksimal setelah melewati filtrasi glomerulus. Sebagian kecil asam
urat akan disekresikan oleh tubulus distalis ke dalam urin. Eliminasi
asam urat sekitar 70% dilakukan oleh ginjal, selebihnya akan
didegradasi oleh bakteri di dalam traktus gastrointestinal. Asam urat
akan dioksidasi menjadi allantoin. Salah satu metode pemeriksaan

10
yang dipergunakan untuk memeriksa asam urat adalah metode
caraway. Metode ini menggunakan reaksi oksidasi asam urat yang
dilanjutkan reduksi asam fosfotungstat pada suasana alkali menjadi
tungsten blue. Metode yang menggunakan enzim uricase yang
mengkatalisis oksidasi asam urat menjadi allantoin. Perbedaan
absorbansi sebelum dan sesudah inkubasi dengan enzim uricase
sebanding dengan kadar asam urat.

b. Pemeriksaan Cystatin C
Cystatin C adalah protein berat molekul rendah yang diproduksi
oleh sel-sel berinti. Cystatin C terdiri dari 120 asam amino merupakan
cystein proteinase inhibitor. Cystatin C difiltrasi oleh glomerulus, di-
reabsorpsi, dan dikatabolisme di tubulus proksimal. Cystatin C
diproduksi dalam laju yang konstan, kadarnya stabil pada ginjal
normal.
Kadar cystatin C tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, ras, usia,
dan massa otot. Pengukuran cystatin C mempunyai kegunaan yang
sama dengan kreatinin serum dan klirens kreatinin untuk memeriksa
fungsi ginjal. Peningkatan cystatin C dapat memberikan informasi
yang lebih awal pada penurunan GFR <60 mL/min/1,73m2. Cystatin C
difiltrasi oleh glomerulus, di-reabsorpsi, dan dikatabolisme oleh sel

11
tubulus ginjal. Keadaan laju filtrasi cairan yang menurun menunjukkan
adanya penurunan fungsi ginjal. Kadar cystatin C dalam darah yang
meningkat akan menggambarkan fungsi ginjal. Kadar cystatin C tidak
dipengaruhi oleh massa otot, jenis kelamin, usia, ras, obat-obatan,
infeksi, diet, ataupun infl amasi.
Cystatin C dapat digunakan sebagai pengganti kreatinin dan klirens
kreatinin dalam menilai dan memantau fungsi ginjal. Cystatin C
menjadi pilihan parameter yang dapat menilai fungsi ginjal pada
kondisi bila pengukuran kreatinin tidak akurat karena adanya
gangguan pada metabolisme protein seperti pada sirosis hati, obesitas,
dan malnutrisi.
Kadar kreatinin serum (86,8%) dalam menentukan laju filtrasi
glomerulus pada fungsi ginjal normal. Cystatin C telah menunjukkan
peningkatan pada laju filtrasi glomerulus sebesar 88 mL/min/1,73m2,
sedangkan kadar kreatinin serum baru meningkat setelah laju filtrasi
glomerulus 75 mL/min/1,73m2.
Terdapat hubungan yang signifi kan antara cystatin C dengan gang-
guan ginjal yang disertai peningkatan risiko untuk penyakit jantung
dan pembuluh darah. Kadar cystatin C diukur menggunakan metode
immunoturbidi-metry atau immunonephelometric.
c. Pemeriksaan Mikroalbuminuria
Mikroalbuminuria merupakan suatu keadaan ditemukannya
albumin dalam urin sebesar 30-300 mg/24 jam. Keadaan ini dapat
memberikan tanda awal dari penyakit ginjal.
Proteinuria juga dapat digunakan untuk memonitor perkembangan
penyakit ginjal dan menilai respons terapi. Proteinuria yang lebih dari
3,5 gr/hari dapat ditemukan pada sindrom nefrotik. Panel pengukuran
protein meliputi albumin, α2-macroglobulin, IgG, dan α2-
microglobulin dapat membantu membedakan penyakit pra-renal dan
pasca-renal. Rasio albumin/kreatinin dari urin 24 jam juga telah
digunakan untuk penanda fungsi ginjal. Pada pasien diabetes melitus

12
dengan komplikasi penyakit ginjal mempunyai prevalensi proteinuria
yang tinggi. Salah satu cara pengukuran semikuantitatif dipstick
urinalisis termasuk pemeriksaan yang efektif dan efisien untuk menilai
proteinuria. Pemeriksaan mikroalbuminuria penting di-lakukan pada
pasien diabetes melitus yang dicurigai mengalami nefropati diabetik.
Pada stadium awal terjadi hipertrofi ginjal, hiperfungsi, dan penebalan
dari membran glomerulus dan tubulus.
Pada stadium ini belum ada gejala klinis yang mengarah kepada
gangguan fungsi ginjal, namun proses glomerulosklerosis terus terjadi
selama 7-10 tahun ke depan dan berakhir dengan peningkatan
permeabilitas dari glomerulus. Peningkatan permeabilitas ini
menyebabkan albumin dapat lolos dari fi ltrasi glomerulus dan
ditemukan pada urin. Jika hal ini dapat terdeteksi lebih awal dan
dilakukan pemberian terapi yang adekuat untuk mengontrol glukosa
darah serta pemantauan tekanan darah yang baik maka gagal ginjal
dapat dicegah. Kadar albumin 50-200 mg/24 jam pada urin 24 jam
memberikan informasi terjadinya nefropati diabetik. Perbandingan
albumin dan kreatinin 20-30 mg/g mengindikasikan mikroalbuminuria.
Metode pemeriksaan urin dipstik telah tersedia untuk pemeriksaan
yang spesifik untuk albumin, yaitu 3’3’5’5’ tetrachlorophenol - 3,4,5,6
tetrabromosulfo-phthalein (buffer) dengan protein akan membentuk
senyawa berwarna hijau muda sampai hijau tua.
d. Pemeriksaan Inulin
Fructose polymer inulin dengan berat molekul 5.200 Da merupakan
penanda yang ideal untuk glomerular fi ltration rate.9 Inulin bersifat
inert dan dibersihkan secara menyeluruh oleh ginjal. Klirens inulin
menggambarkan fungsi filtrasi ginjal karena inulin merupakan zat
yang difiltrasi bebas, tidak direabsorpsi, dan tidak disekresikan oleh
tubulus ginjal. Pasien berpuasa terlebih dahulu sebelum pemeriksaan
kliren inulin dilakukan. Adapun cara pemeriksaan kliren inulin yaitu
25 mL inulin 10% diinjeksi intravena diikuti dengan pemberian 500

13
mL inulin 1,5% dengan kecepatan 4 mL/menit. Pemasangan kateter
urin diperlukan untuk mengumpulkan urin setiap 20 menit sebanyak 3
kali. Pengambilan darah vena untuk pemeriksaan inulin juga dilakukan
pada awal dan akhir periode pengumpulan urin. Penggunaan inulin
untuk menilai fungsi ginjal membutuhkan laju infus intravena yang
konstan untuk mempertahankan tingkat plasma dan kadar puncak yang
telah dicapai. Pengukuran Inulin saat ini lebih sering dilakukan dengan
menggunakan inulinase. Inulinase adalah suatu enzim yang mengubah
inulin menjadi fruktosa. Kadar fruktosa kemudian ditentu-kan dengan
bantuan sorbitol dehydrogenase dan pengukuran kadar dilakukan
secara fotometris pada panjang gelombang 340 nm. Namun
pemeriksaan inulin membutuhkan prosedur khusus yang membutuhkan
waktu, observasi, harganya cukup mahal dan tidak dapat dilakukan
untuk pasien rawat jalan

2.5 Parameter Farmakokinetik


Parameter ini merupakan besaran yang diturunkan secara matematis dari
hasil pengukuran obat atau metabolit aktif dalam darah atau urin.
Parameter farmakokinetik dibagi menjadi:

14
1) Parameter Primer
Merupakan parameter yang harganya dipengaruhi secara langsung oleh
variabel fisiologis, yaitu:
a) Clearance (Cl) menunjukkan berapa banyak urin yang dikeluarkan per
waktu / kemampuan mengeliminasi (satuannya: volume/waktu)
parameter ini dipengaruhi oleh ginjal.
Rumus : Cl = Konstanta eliminasi (Ke) x Vd (Volume distribusi).
b) Volume distribusi (Vd) menggambarkan volume teoritis dimana obat
terdistribusi pada plasma darah.
Rumus: Vd = Dosis (Do) dibagi Cpo (kadar) <- hanya untuk 1
kompartemen terbuka.
c) Tetapan Kecepatan absorbsi (Ka) dipengaruhi oleh enzim, luas
permukaan, fili dan fisiologi usus
2) Parameter Sekunder
Parameter jenis ini dipengaruhi oleh parameter primer, antara lain :
Waktu paruh (t1/2) Jika terjadi gangguan pada ginjal yang menyebabkan
clearance terganggu maka waktu paruh juga terpengaruh. Jika Clearance
naik maka t1/2 turun -> karena obat cepet dieksresi.Jika Clearance turun
maka t1/2 naik -> karena obat lama dieksresi
3) Parameter turunan
Parameter ini dipengaruhi oleh parameter primer, sekunder
maupun besaran lain misalnya Area Under Curve (AUC) yang dipengaruhi
oleh Clearance. Jika fungsi eliminasi turun maka AUC akan naik dan
sebaliknya.
Dalam parameter farmakokinetik urin untuk obat yang diberikan secara
oral akan ditentukan nilai K, t½ dan klirens. Dimana K adalah tetapan laju
eliminasi yang merupakan kecepatan eliminasi obat setelah masuk ke
dalam system sirkulasi, t ½ adalah waktu paruh yaitu waktu yang
diperlukan agar jumlah obat dalam tubuh melarut setengah dari dosis dan
klirens (Cl).

15
Tetapan laju eliminasi K dapat dihitung dari data eksresi urin. Dalam
penghitungan ini laju eksresi obat dianggap sebagai orde kesatu . Ke
adalah tetapan laju eksresi ginjal ,dan Du adalah jumlah obat yang
dieksresi urin.

Dari persamaan tersebut, DB disubstitusi dengan DB = DB 0℮ - Kt

Dengan memakai logaritma natural untuk kedua sisi dari persamaan


tersebut dan kemudian diubah ke logaritma biasa diperoleh :

𝑑𝐷𝑢
Dengan menggambarkan log terhadap waktu diperoleh suatu garis
𝑑𝑡

lurus, slope = - K/2,3 dan intersep y = log Ke 𝐷𝐵0 . Untuk pemberian iv


cepat, 𝐷𝐵0 = dosis, Do. Oleh karena itu jika 𝐷𝐵0 diketahui, maka tetapan laju
ekskresi ginjal (Kc) dapat diperoleh. Karena K dan (Kc) dapat ditentukkan
dengan metode ini, tetapan laju (Knr) untuk berbagai rute eliminasi selain
eksresi ginjal dapat diperoleh sebagai berikut:

Oleh karena itu eliminasi suatu obat biasanya dipengaruhi oleh


ekskresi ginjal atau metabolisme (biotransformasi), maka :

16
Karena rute eliminasi utama untuk sebagian besar obat melalui ekskresi
ginjal dan metabolisme (biotransformasi) maka (Knr) kurang lebih sama
dengan (Km) (Shargel et al., 2005).
Untuk memperoleh harga tetapan kecepatan eliminasi (Kel) tersebut di
atas, dapat dikerjakan dengan metode ARE. Pengumpulan cuplikan urin
setelah pemberian suatu obat, berlangsung sampai seluruh obat tak
berubah praktis telah diekskresikan seluruhnya dari badan, yakni pada
waktu tak terhingga (gambar 1). Harga Kel kemudian diperoleh dari plot
semilogaritmik beberapa titik terakhir ARE lawan waktu. Dimana ARE ini
diperoleh dengan mengurangi Ae, dengan Ae sampai waktu tertentu
seperti terlihat pada gambar 2.
Dengan metode ekskresi renal, pengumpulan ekskresi renal, pengumpulan
cuplikan urin, tidak diperlukan sampai seluruh obat tak berubah praktis
diekskresikan secara sempurna dari badan, dan harga Kel dapat diperoleh
dari plot semilogaritmik kecepatan ekskresi (dAe/dt) lawan waktu tengah
seperti terlihat pada gambar 3.

17
Metode lain perhitungan tetapan laju eliminasi K dari data ekskresi urin
adalah metode sigma-minus. Metode sigma-minus kadang-kadang lebih
disukai daripada metode lain karena fluktuasi data laju eliminasinya
diperkecil.

2.6 Metode Pengambilan Urine


Adapun metode yang digunakan dalam pengambilan urin yaitu :
a. Metode kecepatan eksresi obat

Keterangan :
Du = jumlah obat utuh yang dieksresikan lewat urin

18
Ke = tetapan laju eksresi ginjal
DB0 = jumlah obat dalam tubuh mula2 = dosis yang diberikan
t* = waktu di antara pengambilan. misalnya di antara 0 – 5 berarti tmidnya
2,5
b. Metode sigma minus atau ARE (Amount of Drug Remaining to be
Excreted)
n(Du inf – Du kum) = lnDuinf – kt
Keterangan :
Du inf = jumlah total obat yang dieksresikan dalam urin
Du kum = jumlah kumulatif obat yang sudah dieksresikan
Du inf – Du kum = ARE = jumlah obat yang belum dieksresi (Shargel,
2012). .
Klirens obat adalah suatu ukuran eliminasi obat dari tubuh tanpa
mempermasalahkan mekanisme prosesnya atau disebut juga laju eliminasi
obat dibagi konsentrasi obat dalam plasma pada waktu tersebut.
dDu/dt
Cl = atau dapat juga dinyatakan Cl = KVD
𝐶𝑝

Dimana 𝑑𝐷𝑢/𝑑𝑡 adalah laju eksresi (µg/menit), Cp adalah konsentrasi


plasma (µg/ml), K adalah tetapan laju eliminasi ,VD adalah volume
distribusi (ml/kg) (Shargel, 2012).

2.7 Faktor-faktor yang mempersulit untuk mendapatkan data eksresi urin


Faktor-faktor tertentu dapat mempersulit untuk mendapatkan data eksresi
urin yang sahih antara lain :
1) Suatu fraksi yang bermakna dari obat titak berubah harus dieksresi dalam
urin;
2) Teknik penetapan kadar harus spesifik untuk obat tidak berubah, dan harus
tidak dipengaruhi oleh metabolit-metabolit obat obat yang mempunyai
struktur kimia serupa;
3) Diperlukan pengambilan cuplikan yang sering untuk mendapatkan
gambaran kurva yang baik;

19
4) Cuplikan data urin hendaknya dikumpulkan secara berkala sampai hampir
semua obat dieksresi. Suatu grafik dari kumulatif obat yang dieksresi vs
waktu akan menghasilkan kurva yang mendekati asimtot pada “waktu tak
terhingga”. Dalam praktek, diperlukan kurang lebih 7 X t½ eliminasi
untuk mengeliminasi 99% obat.
5) Perbedaan pH urine dan volume dapat menyebabkan perbedaan laju
eksresi urin yang bermakna.

2.8 Keterbatasan dalam Pengunaan Data Urin


Penggunaan data urin juga memiliki beberapa keterbatasan, antara lain :
1) Sulit diperoleh pengosongan kandung kencing yang sempurna.
2) Ada kemungkinan terjadinya dekomposisi obat selaam penyimpanan.
3) Ada kemungkinan terjadinya hidrolisis konjugat metabolit yang tidak
stabil di dalam urin.
Akibatnya, dapat mempengaruhi jumlah total obat dalam bentuk tak
berubah yang diekskresikan ke dalam urin dalam waktu tak terhingga.
Dengan demikian jelas akan mempengaruhi validitas hasil perhitungan
parameter farmakokinetiknya.

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Farmakokinetika mempelajari kinetika absorpsi obat, distribusi dan
eliminasi (yakni, ekskresi dan metabolisme). Uraian dari distribusi dan
eliminasi obat sering diistilahkan sebagai disposisi obat. Study
biofarmasetika memerlukan penyelidikan berbagai faktor yang
mempengaruhi laju dan jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik.
Penentuan parameter farmakokinetika data urine meliputi Tetapan laju
eliminasi (K), Waktu paruh (t1/2), Clearance total (Clt).
3.2 Saran
Diharapkan mahasiswa dapat melengkapi pengetahuan dan mempelajari
lebih dalam tentang farmakokinetika data urine melalui jurnal dan buku.

21
DAFTAR PUSTAKA

Ethel, S. 2003. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: EGC.


Jan Koolman, Klaus-Heinrich Rohm. 2001. Atlas Berwarna & Teks Biokimia.
Alih Bahasa: dr. Septilia Inawati Wanandi. Jakarta: Hipokrates.
Leon Shargel, Andrew B. C. Yu. 1988. Biofarmasetika dan Farmakokinetika
Terapan Edisi Kedua, Alih Bahasa: Fasich & Siti Sjamsiah. Airlangga
University Press: Surabaya.
Shargel, L B, C. YU. 2012. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Edisi
Kelima. Surabaya: Airlangga University Press.
Shargel, Leon, Yu, Andrew B. C. 2005. Applied Biopharmaceutical and
Pharmacokinetics Fifth Edition. New York: The McGraw – Hill Companies.
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia. Edisi Keenam. Jakarta: EGC.
Sweetman S. C. 2007. Martindale : The Complete Drug Reference
35th Edition(Electronic Version). The Pharmaceutical Press: London.

22

Вам также может понравиться