Вы находитесь на странице: 1из 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehidupan sosial manusia terdiri atas beberapa fase dan tingkatan. Pada

saat lahir, manusia sebagai individu tumbuh dan berkembang di lingkungan.

Pada fase ini, bayi ditanamkan nilai-nilai yang dianut oleh orang tuanya.

Bertumbuh dewasa dan menjadi remaja, manusia sebagai individu mulai

mengenal lingkungan yang lebih luas daripada keluarga. Sosialisasi yang

dialami individu mulai bertambah luas. Individu mulai berinteraksi dengan

teman sebayanya. Hal ini membuat keterampilan sosial individu makin

meningkat. Jika nilai-nilai yang ditanamkan oleh kedua orang tuanya diserap

dengan baik, maka keterampilan sosial yang dimiliki oleh individu tersebut bisa

menjadi lebih baik. Hal itu disebabkan karena manusia tumbuh dan berkembang

dari fase ke fase tanpa meninggalkan apa yang telah ia pelajari dari fase

sebelumnya. Sebaliknya, apabila sosialisasi nilai-nilai yang ditanamkan keluarga

kurang terserap oleh anak, maka bisa jadi perkembangan perilaku dan

psikososialnya terhambat. Akibatnya, remaja mulai menunjukkan gejala-gejala

patologis seperti kenakalan dan perilaku-perilaku beresiko lainnya, salah satunya

adalah bullying (Yusuf, S. dan Nurihsan, J. 2008)

Bullying merupakan bentuk penyalahgunaan kekuatan yang disengaja

dan berulang-ulang oleh seorang individu kepada individu lain dengan maksud

untuk menyakiti atau menimbulkan perasaan tertekan atau setress. Bullying tidak

hanya mengakibatkan kerugian dan tekanan tetapi juga mengakibatkan

1
gangguan emosi dan gangguan perkembangan yang dapat terjadi hingga remaja

dan dewasa pada anak yang menjadi korban. Pelaku bullying juga cenderung

menjadi agresif dan melakukan tindakan kriminal ketika dewasa (Coloroso, B.

2007).

Bullying merupakan fenomena terbesar di seluruh dunia. Prevalensi

bullying diperkirakan 8 hingga 50% di beberapa negara Asia, Amerika dan

Eropa. Di tingkat Asia, kejadian bullying pada siswa di sekolah mencapai angka

70%. Tindakan bullying menempati peringkat pertama dalam hal-hal yang

menimbulkan ketakutan di sekolah. Indonesia menjadi urutan pertama pada riset

yang dilakukan oleh LSM Plan International dan International Center for

Research on Women (ICRW) terkait bullying, riset ini dilakukan di beberapa

negara dikawasan Asia. Sebanyak 84% anak di Indonesia mengalami bullying di

sekolah, sekitar 9000 anak terlibat dalam riset ini berusia 12-17 tahun. Menurut

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus bullying di sekolah

menduduki tingkat teratas pengaduan masyarakat ke komisi perlindungan anak

(KPAI) di sektor pendidikan. Kekerasan bullying di tiga kota besar Indonesia

yaitu Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta mencatat terjadinya tingkat kekerasan

sebesar 67,9% di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan 66,1% di tingkat

Sekolah Menengah Pertama (SMP). (Sejiwa. 2008)

Secara sudut pandang hukum, pemerintah Indonesia telah menetapkan

sanksi dikaitkan dengan perilaku bullying. Sanksi tersebut diatur pada kitab

Undang-Undang Hukum Pidana pasal 170, 289, 300, 333, 335, 336, 351, 368,

369. Pelaku bullying terhadap anak dapat dipidana berdasarkan Undang-Undang

Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang telah

2
diubah oleh Undang - Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (Astuti, P.R.

2008)

Pencegahan tindakan bullying ini memerlukan kerjasama seluruh pihak,

tidak hanya dari peran pemerintah dalam membentuk aturan yang tegas terhadap

kasus bullying. Orangtua memiliki peran yang penting dalam membina

komunikasi dengan anak. Selain itu, peran sekolah juga penting karena tindakan

bullying paling banyak terjadi di sekolah. Peran sekolah harus menyediakan

teman yang aman dan bebas dari intimidasi sehingga setiap anak dapat tumbuh

dan belajar dengan damai. (Republik Indonesia. 1992)

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Bullying

Bullying adalah suatu tindakan atau perilaku yang dilakukan dengan

cara menyakiti dalam bentuk fisik, verbal atau emosional/psikologis oleh

seseorang atau kelompok yang merasa lebih kuat kepada korban yang lebih

lemah fisik ataupun mental secara berulang-ulang tanpa ada perlawanan

dengan tujuan membuat korban menderita. Istilah bullying berasal dari

bahasa Inggris, yaitu "bull" yang berarti banteng. Secara etimologi kata

"bully" berarti penggertak, orang yang mengganggu yang lemah. Bullying

dalam bahasa Indonesia disebut "menyakat" yang artinya mengganggu,

mengusik, dan merintangi orang lain (Wiyani, 2012).

Perilaku bullying melibatkan kekuatan dan kekuasaan yang tidak

seimbang sehingga korbannya berada dalam keadaan tidak mampu

mempertahankan diri secara efektif untuk melawan tindakan negatif yang

diterimanya. Bullying memiliki pengaruh secara jangka panjang dan jangka

pendek terhadap korban bullying. Pengaruh jangka pendek yang ditimbulkan

akibat perilaku bullying adalah depresi karena mengalami penindasan,

menurunnya minat untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah yang diberikan

oleh guru, dan menurunnya minat untuk mengikuti kegiatan sekolah.

Sedangkan akibat yang ditimbulkan dalam jangka panjang dari penindasan ini

seperti mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan baik terhadap lawan

4
jenis, selalu memiliki kecemasan akan mendapatkan perlakuan yang tidak

menyenangkan dari teman-teman sebayanya (Berthold dan Hoover, 2000).

B. Epidemiologi Bullying

Tindakan bullying menempati peringkat pertama dalam daftar hal-hal

yang menimbulkan ketakutan di sekolah (Elliot,2002). Menurut hasil

penelitian yang dilakukan oleh National Association of School Psychologist

menunjukan bahwa lebih dari 160.000 remaja di Amerika Seikat bolos

sekolah setiap hari karena takut di bullying (Sari, 2010). Penelitian yang

dilakukan oleh LSM Plan International dan International Center for Research

on Women (ICRW) yang di rilis awal maret 2015 menunjukan fakta yang

terkait kekerasan anak di sekolah. Di tingkat Asia, kejadian bullying pada

siswa di sekolah mencapai angka 70%. Penelitian ini juga menyebutkan

bahwa 84% siswa di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah (Qodar,

2015).

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus

bullying di sekolah menduduki tingkat teratas pengaduan masyarakat ke

komisi perlindungan anak (KPAI) di sektor pendidikan. Dari 2011 sampai

Agustus 2014, KPAI mencatat 369 pengaduan terkait masalah tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh SEJIWA (2008) tentang kekerasan bullying di

tiga kota besar Indonesia yaitu Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta mencatat

terjadinya tingkat kekerasan sebesar 67,9% di tingkat Sekolah Menengah

Atas (SMA) dan 66,1% di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Kekerasan yang dilakukan sesama sesama siswa tercatat 41,2% untuk tingkat

5
SMP dan 43,7% untuk tingkat SMA dengan kategori tertinggu kekerasan

psikologis berupa pengucilan. Peringkat kedua ditempati kekerasan verbal

(mengejek) dan kekerasan fisik (memukul) (Fajrin, 2013).

C. Macam-Macam Bullying

Menurut Coloroso (2006), perilaku bullying dapat dikelompokkan

menjadi empat bentuk, yaitu:

a) Bullying secara verbal

Bullying dalam bentuk verbal adalah bullying yang paling sering dan

mudah dilakukan. Bullying ini biasanya menjadi awal dari perilaku

bullying yang lainnya serta dapat menjadi langkah pertama menuju pada

kekerasan yang lebih lanjut. Contoh bullying secara verbal antara lain

yaitu: julukan nama, celaan, fitnah, kritikan kejam, penghinaan,

pernyataan-pernyataan pelecehan seksual, teror, surat-surat yang

mengintimidasi, tuduhan-tuduhan yang tidak benar, kasak-kusuk yang

keji dan keliru, gosip dan sebagainya.

b) Bullying secara fisik

Bullying ini paling tampak dan mudah untuk diidentifikasi, namun

kejadian bullying secara fisik tidak sebanyak bullying dalam bentuk lain.

Remaja yang secara teratur melakukan bullying dalam bentuk fisik kerap

merupakan remaja yang paling bermasalah dan cenderung akan beralih

pada tindakan-tindakan kriminal yang lebih lanjut. Contoh bullying secara

fisik adalah: memukuli, menendang, menampar, mencekik, menggigit,

6
mencakar, meludahi, dan merusak serta menghancurkan barang-barang

milik anak yang tertindas, dan lain-lain.

c) Bullying secara relasional

Bullying secara relasional dilakukan dengan memutuskan relasi-

hubungan sosial seseorang dengan tujuan pelemahan harga diri korban

secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan atau penghindaran.

Bullying dalam bentuk ini paling sulit dideteksi dari luar. Contoh bullying

secara relasional adalah perilaku atau sikap-sikap yang tersembunyi

seperti pandangan yang agresif, lirikan mata, helaan nafas, cibiran, tawa

mengejek dan bahasa tubuh yang mengejek.

d) Bullying elektronik

Bullying elektronik merupakan bentuk perilaku bullying yang

dilakukan pelakunya melalui sarana elektronik seperti komputer,

handphone, internet, website, chatting room, e-mail, SMS dan

sebagainya. Biasanya ditujukan untuk meneror korban dengan

menggunakan tulisan, animasi, gambar dan rekaman video atau film yang

sifatnya mengintimidasi, menyakiti atau menyudutkan.

D. Deteksi Dini Perilaku Bullying

Penilaian untuk mengetahui adanya perilaku bullying pada suatu

lingkup masyarakat atau sekolah, antara lain dengan wawamcara terstruktur

dan/atau menggunakan kuisioner. Kuisioner yang sering digunakan untuk

penelitian adalah Olweus Bullying Questionnaire (OBQ).

7
Deteksi dini perilaku bullying antara lain dengan observasi

(perubahan perilaku emosi, dan prestasi sekolahnya), dan pendekatan (bicara

dengan anak dan remaja seperti “temannya”). Kenali adanya perubahan

perilaku seperti salah makan/terlalu bayak makan, sulit tidur, mimpi buruk,

mengompol, menangis saat tidur, kurang bertanggung jawab dan disiplin,

cenderung berperilaku impulsif/hiperaktif, cenderung “menantang”, dan

perilaku agresi (merasa lebih berkuasa atau kuat, menyalahkan orang lain),

pulang sekolah/bermain dengan pakaian kotor/robek, masalah interaksi sosial.

Perubahan emosi dapat berupa perubahan mood (labil, iritabel, disforik,

sedih, cemas), ide/usaha bunuh diri atau membunuh serta gangguan proses

belajar seperti sering membolos, penolakan sekolah, malas belajar, atau

prestasi sekolah menurun. Pada kondisi fisiknya dapat ditemukan lebam,

tergores, luka yang tidak bisa dijelaskan, keluhan psikosomatis yang berulang

(sakit kepala, sakit perut, dan lainnya). (Boyle, 2009).

E. Dampak Bullying

Dampak-dampak bullying dapat mengancam setiap pihak yang

terlibat, baik anak-anak yang di-bully, anak-anak yang mem-bully, anak-anak

yang menyaksikan bullying, bahkan sekolah dengan isu bullying secara

keseluruhan. Bullying dapat membawa pengaruh buruk terhadap kesehatan

fisik maupun mental anak. Pada kasus yang berat, bullying dapat menjadi

pemicu tindakan yang fatal, seperti bunuh diri.

8
Anak-anak yang di-bully

1. Dampak Negatif

Anak-anak yang menjadi korban bullying lebih berisiko mengalami

berbagai masalah kesehatan, baik secara fisik maupun mental. Adapun

masalah yang lebih mungkin diderita anak-anak yang menjadi

korban bullying, antara lain:

 Munculnya berbagai masalah mental seperti depresi, kegelisahan dan

masalah tidur (lihat grafik di atas). Masalah ini mungkin akan terbawa

hingga dewasa.

 Keluhan kesehatan fisik, seperti sakit kepala, sakit perut dan

ketegangan otot (lihat grafik di atas).

 Rasa tidak aman saat berada di lingkungan sekolah.

 Penurunan semangat belajar dan prestasi akademis.

 Dalam kasus yang cukup langka, anak-anak korban bullying mungkin

akan menunjukkan sifat kekerasan.

9
2. Dampak Positif

Di samping dampak negatifnya, bullying juga dapat mendorong

munculnya berbagai perkembangan positif bagi anak-anak yang menjadi

korban bullying. Anak-anak korban bullyingcenderung akan:

 Lebih kuat dan tegar dalam menghadapi suatu masalah

 Termotivasi untuk menunjukkan potensi mereka agar tidak lagi

direndahkan

 Terdorong untuk berintrospeksi diri

Anak-anak yang Mem-bully

Tak hanya anak-anak yang di-bully, anak-anak yang mem-bully juga

dapat terkena dampaknya. Menurut riset, saat menginjak usia dewasa, anak-

anak yang suka mem-bully memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk:

 Berperilaku kasar/abusif

 Melakukan kriminalitas

 Terlibat dalam vandalisme

 Menyalahgunakan obat-obatan dan alkohol

 Terlibat dalam pergaulan bebas

60% anak laki-laki yang mem-bully temannya di masa SD atau SMP

pernah dinyatakan bersalah paling tidak sekali atas suatu tindak kriminal di

usia 24 tahun.

10
Anak-anak yang Menyaksikan Bullying

Hanya dengan menyaksikan, anak-anak juga dapat turut terkena

dampak negatif bullying. Anak-anak yang menyaksikan bullying mungkin

akan memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk:

 Merasa tidak aman berada di lingkungan sekolah

 Mengalami berbagai masalah mental, seperti depresi dan

kegelisahan

 Menyalahgunakan obat-obatan dan alkohol.

Sekolah dengan Isu Bullying

Sekolah di mana bullying sering terjadi juga dapat terkena dampak

dari bullying. Isu bullying di sekolah mungkin akan mengakibatkan:

 Terciptanya rasa tidak aman di lingkungan sekolah

 Inefektivitas kegiatan belajar mengajar

 Diragukannya pendidikan moral di sekolah tersebut

Kita sudah mengenal dampak-dampak yang mungkin akan menyerang

pihak-pihak yang terlibat dalam bullying. Sekarang kita sadar seberapa

bahaya bullying itu. Maka, mari kita ciptakan lingkungan yang damai dan

penuh respek untuk menghindari dampak-dampak tersebut.

F. Pencegahan Bullying

Pencegahan masalah perilaku bullying pada anak dan remaja bukan

hanya menjadi tugas orang tua dan sekolah, peran masyarakat dan negara

juga dibutuhkan dalam upaya pencegahan dan penanganan perilaku bullying.

11
Semua yang terlibat dalam bullying (pelaku, korban atau yang menyaksikan)

membutuhkan dukungan. Sikap guru atau orang tua yang mengetahui

anaknya menjadi pelaku atau menyaksikan atau menjadi korban bullying

sebaiknya harus tenang jangan bereaksi berlebihan dan tunjukkan sikap

unconditional love & acceptance antara lain6 :

 Bantu anak atau remaja untuk menumbuhkan self-esteem (harga diri)

yang baik. Anak atau remaja dengan self-esteem (harga diri) yang baik

akan bersikap dan berpikir positif menghargai dirinya sendiri

menghargai orang lain percaya diri optimis dan berani menyatakan

haknya.

 Membina komunikasi yang baik antara orang tua dan anak

mendiskusikan dengan anak tentang pemahaman perilaku bullying dan

dampaknya.

 Menjadi model atau contoh panutan yang baik bagi anak atau remaja

bagaimana selayaknya memperlakukan orang lain dengan hormat dan

setara menghargai keberagaman dan keunikan orang lain.

 Bantu anak atau remaja berinteraksi dan bergabung dengan grup

berkegiatan positif. Menghentikan dan mendampingi anak atau remaja

dalam menyaksikan acara TV atau menyaksikan berita

yang menayangkan kekerasan.

12
G. Alternatif Menangani Bullying

Bullying seringkali terjadi pada anak. Anak yang mengalami bullying

dianggap sebagai korban. Korban adalah setiap orang sebagai individu yang

mendapat penderitaan baik jiwa, fisik, materiil, maupun non materiil. Untuk

memenuhi hak-hak yang diderita oleh korban, maka dalam hal ini sudah

diatur dalam Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang

perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban yang memuat “perlindungan adalah segala upaya

pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada

Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan

Saksi Korban atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang

ini”.

Hal ini juga ditemukan dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang No 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang

memuat bahwa “perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin

dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,

dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Salah satu program yang sangat komprehensif yang ditujukan untuk

menangani bullying dan terbukti efektif yakni “the bully busters program”.

Fokus dari program ini yakni merubah sistem sosial sehingga kemunculan

bullying bisa dihindarkan. Program tersebut memiliki beberapa prinsip utama

sebagai berikut (Hidayati, N. 2012).

13
Pertama, yakni bahwa merubah lingkungan lebih berdampak kuat

daripada merubah individu perindividu. Problem bullying seharusnya dilihat

sebagai fungsi interaksi antara dua pihak, maka dalam mengubahnya kedua

pihak (pelaku dan korban) harus diubah, dan pola hubungan dan interaksi

antara keduanya pun harus pula diubah (Hidayati, N. 2012).

Kedua, pencegahan lebih baik daripada intervensi. Prinsip ini

merupakan prinsip dasar yang selalu dipakai dalam berbagai permasalahan

yang terjadi, bagaimanapun pencegahan permasalahan bullying tentu lebih

utama dibandingkan melakukan intervensi sesudah terjadinya bullying

(Hidayati, N. 2012).

Ketiga, yakni bahwa dalam merubah lingkungan dibutuhkan

dukungan dan pemahaman dari berbagai pihak, khususnya para guru

(Hidayati, N. 2012).

Selain itu, terdapat beberapa cara dalam menangani bullying, yaitu:

a) Penanganan bagi si orang tua/wali

Orang tua mempelajari dan mengenali karakter anak. Perlu kita

sadari, bahwa salah satu penyebab terjadinya bullying adalah karena ada

anak yang memang memiliki karakter yang mudah dijadikan korban

bully. Sikap “cepat merasa bersalah”, maupun penakut, yang dimiliki

anak. Dengan mengenali karakter anak, kita dapat mengantisipasi

berbagai potensi intimidasi dan tindakan bullying menimpa anak, atau

setidaknya lebih cepat menemukan solusi agar kita menjadi lebih siap

secara mental. Menjalin komunikasi dan perhatian yang besar dengan

14
anak. Tujuannya adalah anak akan merasa cukup nyaman untuk bercerita

kepada orang tuanya ketika mengalami intimidasi di sekolah. Ini menjadi

kunci berbagai hal, termasuk untuk memonitor apakah suatu kasus sudah

terpecahkan atau belum (Fernando, 2017).

Ada beberapa indikator orang tua ikut campur, yaitu bila masalah

si anak tak kunjung terselesaikan, kasus bullying si anak terjadi berulang-

ulang, kalau kasus bullying berupa pemerasan, melibatkan uang dalam

jumlah cukup besar, ada indikasi bahwa prestasi belajar anak mulai

terganggu dan menurun (Fernando, 2017).

Jika sudah memutuskan untuk ikut campur dalam menyelesaikan

masalah, maka orang tua harus mempertimbangkan dengan tenang apakah

akan langsung berbicara dengan pelaku intimidasi atau bullying, orang

tuanya, atau gurunya. Jangan mengajarkan anak menghindar dari

permasalahan. Dalam beberapa kasus, anak-anak kadang merespon

intimidasi yang dialaminya di sekolah dengan minta pindah atau malah

berhenti sekolah. Orang tua yang menuruti kemauan itu, sama saja

mengajarkan anaknya untuk lari dari masalah. Jadi, sebisa mungkin

jangan dulu dituruti. Kalau ada masalah di sekolah, masalah itu yang

mesti diselesaikan, bukan dengan “lari‟ ke sekolah lain atau ke tempat

lain (Fernando, 2017).

15
b) Menghindari Bullying di Lingkungan Sekolah, melalui:

 Berani melawan

Pelaku bully biasanya ingin eksistensinya di akui oleh banyak

orang. Mereka merasa dirinya yang paling kuat, paling cantik, paling

pintar, dan sebagainya. Lawan mereka secara verbal dengan

mengatakan pada mereka bahwa apa yang mereka lakukan terhadap

kamu tidak akan menjadikan mereka lebih baik.

 Mencari tempat untuk sharing

Korban membutuhkan tempat sharing untuk menyampaikan

perasaan, mencurahkan permasalahan dan kekesalan korban. Salah

satu tempat sharing yang terbaik adalah sahabat.

 Melaporkan kepada pihak yang berwenang

Jika seseorang menjadi korban bullying di sekolah atau kampus,

maka korban harus segera melaporkannya dan melakukan konseling

kepada pihak yang berwenang di sekolah atau lingkungan kampus

tersebut. Tempat untuk melaporkan dan melakukan konseling antara

lain; wali kelas, kepala sekolah, dan petugas kesiswaan.

 Melaporkan kepada orang tua

Jika pihak sekolah atau kampus tidak bisa mengatasi bullying di

sekolah atau kampus, maka korban dapat melaporkan hal ini kepada

orang tua. Orang tua biasanya dapat memaksa pihak sekolah agar bisa

lebih intensif dalam menangani kasus bullying.

16
 Percaya diri

Setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan. Meskipun

orang lain mencoba menjatuhkan harga diri korban dengan menyebut

kekurangan - kekurangan korban, maka korban harus selalu ingat

bahwa dirinya memiliki kelebihan di sisi lain. Selain itu, untuk

menambah rasa percaya diri pada saat harus berurusan dengan

bullying di sekolah terutama bullying yang bersifat fisik, maka

sebaiknya korban melakukan latihan fisik seperti senam, atau

mengikuti bela diri untuk dapat melakukan self defense.

H. Undang-Undang dan Hukum Bullying pada Anak

 Anak Korban Bullying

Undang - Undang Sistem Peradilan Pidana Anak mendefenisikan anak

di bawah umur sebagai anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum

berumur 18 tahun, dan membedakan anak yang terlibat dalam suatu tindak

pidana dalam tiga kategori (Fernando, 2017) :

a) Anak yang menjadi pelaku tindak pidana Pasal 1 angka 3 Undang –

Undang Sistem Peradilan Pidana Anak

b) Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) Pasal 1

angka 4 Undang - Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dan

c) Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi) Pasal 1 angka

5 Undang - Undang Sistem Peradilan Pidana Anak

17
Sebelumnya, Undang – Undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak tidak membedakan kategori Anak Korban dan Anak Saksi.

Konsekuensinya, Anak Korban dan Anak Saksi tidak mendapatkan

perlindungan hukum. Hal ini mengakibatkan banyak tindak pidana yang

tidak terselesaikan atau bahkan tidak dilaporkan karena anak cenderung

ketakutan menghadapi sistem peradilan pidana (Fernando, 2017).

Ada tiga hal yang penting untuk dilakukan sebagai pertolongan pertama

untuk anak yang merupakan korban bullying yaitu:

a) Ajari anak untuk 'say no' saat dia sedang di-bully, Dalam hal ini, anak

harus bisa bersikap asertif atau belajar untuk mengungkapkan rasa

tidak nyamannya.

b) Anak juga harus dibantu agar memililki teman. Anak yang rentan di

bully secara psikososial biasanya adalah penyendiri, anak itu juga

biasanya tidak merasa aman dan nyaman sehingga tidak percaya diri

sejak awal.

c) Cobalah untuk bantu anak memperbaiki konsep dirinya, dengan cara

memberi pujian pada anak saat dia mencapai satu hal positif.

Salah satu bentuk tanggung jawab khusus pemerintah terhadap anak

yang menjadi korban yaitu upaya rehabilitasi, perlindungan maupun

pendampingan hukum. Hal ini sudah dimuat dalam Pasal 64 Ayat (3)

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 23 tahun 2002 Tentang perlindungan anak (Fernando, 2017):

18
a) Upaya rehabilitasi baik dalam lembaga maupun di luar lembaga.

b) Upaya perlindungan dari pemberitahuan identitas melalui media

massa dan untuk menghindari labelisasi.

c) Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli

baik fisik, mental maupun sosial.

d) Memberikan aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai

perkembangan perkara.

Hak Anak Korban Bullying Pasal 3 Undang -Undang No 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan hak – hak anak

sebagai berikut (Fernando, 2017):

 Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan

sesuai dengan umurnya;

 Dipisahkan dari orang dewasa;

 Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;

 Melakukan kegiatan rekreasional;

 Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang

kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;

 Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;

 Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya

terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;

 Memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak

memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;

 Tidak dipublikasikan identitasnya;

19
 Memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang

dipercaya oleh anak;

 Memperoleh advokasi sosial; l) memperoleh kehidupan pribadi;

 Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;

 Memperoleh pendidikan;

 Memperoleh pelayananan kesehatan; danm emperoleh hak lain

sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 4 Undang - Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan

bahwa anak yang sedang menjalani masa pidana berhak atas (Fernando,

2017):

a) Remisi atau pengurangan masa pidana.

b) Asimilasi.

c) Cuti mengunjungi keluarga.

d) Pembebasan bersyarat.

e) Cuti menjelang bebas.

f) Cuti bersyarat.

g) Hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Undang – Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak dalam Pasal 32 ayat (2) menyatakan bahwa penahanan terhadap

anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat

belas) tahun, atau diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana

penjara tujuh tahun atau lebih. Jika masa penahanan sebagaimana yang

20
disebutkan di atas telah berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi

hokum (Fernando, 2017).

Dalam hal anak sebagai saksi/korban Pasal 58 ayat (3) Undang –

Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

memberikan kemudahan bagi anak saksi/korban dalam memberikan

keterangan di pengadilan. Saksi/korban yang tidak dapat hadir untuk

memberikan keterangan di depan sidang pengadilan dengan alasan apapun

dapat memberikan keterangan di luar sidang pengadilan melalui perekaman

elektronik yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan setempat,

dengan dihadiri oleh Penyidik atau Penuntut Umum, dan Advokat atau

pemberi bantuan hukum lainnya yang terlibat dalam perkara tersebut. Anak

saksi/korban juga diperbolehkan memberikan keterangan melalui

pemeriksaan jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi audiovisual.

Pada saat memberikan keterangan dengan cara ini, anak harus didampingi

oleh orang tua/Wali, Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lainnya

(Fernando, 2017).

Hak anak mendapat bantuan hukum dalam Undang - Undang Sistem

Peradilan Pidana Anak memperbolehkan anak yang terlibat dalam tindak

pidana untuk mendapatkan bantuan hukum tanpa mempermasalahkan jenis

tindak pidana yang telah dilakukan. Pasal 23 Undang – Undang No 11 tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan bahwa anak berhak

mendapatkan bantuan hukum di setiap tahapan pemeriksaan, baik dalam

tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di

pengadilan. Pada ayat (3) Anak Saksi/Anak Korban wajib didampingi oleh

21
orang tua/Wali, orang yang dipercaya oleh anak, atau pekerja sosial dalam

setiap tahapan pemeriksaan. Akan tetapi, jika orang tua dari anak tersebut

adalah pelaku tindak pidana, maka orang tua/walinya tidak wajib

mendampingi (Fernando, 2017).

Dalam Pasal 54 Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak mengatakan bahwa anak di dalam dan di lingkungan

sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru,

pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan,

atau lembaga pendidikan lainnya, selain itu dalam Pasal 72 mengatakan

masyarakat dan lembaga pendidikan untuk berperan dalam perlindungan

anak, termasuk di dalamnya melakukan upaya pencegahan kekerasan

terhadap anak di lingkungannya. Dari kedua pasal tersebut sangat jelas bahwa

anak dilindungi dari kekerasan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berada

di dalam sekolah, dan dalam hal ini yang melindungi anak dari perbuatan

kekerasan di sekolah adalah lembaga pendidikan itu sendiri, akan tetapi pada

kenyataannya di masyarkat dan lembaga pendidikan masih banyak anak yang

mengalami kekerasan fisik maupun psikis (Fernando, 2017).

Kasus kekerasan terhadap anak seharusnya penanganannya tidak

hanya bertumpu pada UU tentang Perlindungan anak, tetapi juga dikaitkan

dengan UU lainnya seperti Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU tentang Sistem Pendidikan Nasional

hanya menekankan pada mutu pendidikan dan pengawasan atas

penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan.

22
Seharusnya dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan

Nasional, pihak sekolah wajib memberikan pengawasan tidak hanya

berkaitan dengan mutu pendidikan tetapi juga melakukan pengawasan

terhadap segala hal perilaku anak didik dan lingkungan sekolah sehingga

aman untuk anak didik (Fernando, 2017).

Secara umum, istilah bullying identik dengan tindakan kekerasan

terhadap anak yang tejadi di sekolah. Dalam konteks bullying di sekolah,

Riauskina, Djuwita, dan Soesetio dalam jurnal “Gencet Gencetan” di Mata

Siswa/Siswi Kelas 1 SMA : Naskah kognitif tentang Arti Skenario, dan

Dampak “Gencet-Gencetan” mendefinisikan bullying sebagai perilaku

agresif kekuasaan terhadap siswa yang dilakukan berulang-ulang oleh

seseorang/kelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa lain

yang lebih lemah dengan tujuan menyakiti orang tersebut (Sari, 2018).

Menurut Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang

berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis,

seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan

perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan

hokum (Sari, 2018).

Berdasarkan pendapat di atas dihubungkan dengan pengertian

kekerasan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, maka dapat

disimpulkan bahwa bullying termasuk dalam bentuk kekerasan terhadap anak.

23
Mengingat bullying merupakan tindakan kekerasan terhadap anak, maka

menurut Undang-Undang Perlindungan Anak, bullying adalah tindak pidana.

Terhadap pelaku bullying dapat dikenakan sanksi pidana berupa penjara

paling lama 3(tiga) tahun 6(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp

72.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) (Sari, 2018).

24
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bullying adalah suatu tindakan atau perilaku yang dilakukan dengan

cara menyakiti dalam bentuk fisik, verbal atau emosional/psikologis oleh

seseorang atau kelompok yang merasa lebih kuat kepada korban yang lebih

lemah fisik ataupun mental secara berulang-ulang tanpa ada perlawanan

dengan tujuan membuat korban menderita. Pencegahan tindakan bullying

melalui kerjasama seluruh pihak, tidak hanya dari peran pemerintah dalam

membentuk aturan yang tegas terhadap kasus bullying. Orangtua memiliki

peran yang penting dalam membina komunikasi dengan anak. Selain itu,

peran sekolah juga penting karena tindakan bullying paling banyak terjadi di

sekolah. Berdasarkan undang undang tindakan bullying termasuk dalam

bentuk kekerasan terhadap anak. Mengingat bullying merupakan tindakan

kekerasan terhadap anak, maka menurut Undang-Undang Perlindungan Anak,

bullying adalah tindak pidana, dimana setiap pelaku akanmendapat sanksi

atas segala tindakannya.

25
B. Saran

Saran penulis untuk mengatasi permasalahan bullying adalah:

1. Keluarga harus dapat melakukan upaya lebih banyak lagi dalam rangka

meminimalisir tindak pidana bullying dengan mendidik anak menjadi

pribadi yang percaya diri sehingga terindar dari bullying.

2. Instansi-instansi yang bergerak dibidang Pendidikan seperti Guru, Kepala

Sekolah, Dosen harus memberikan perlindungan dan pengawasan

terhadap pada anak didiknya, agar setiap perilaku menyimpang anak didik

dapat segera diketahui.

26
Daftar Pustaka

Astuti, P.R. 2008. Meredam Bullying: 3 Cara Efektif Mengatasi Kekerasan


Pada Anak. Jakarta: Grasindo.
Berthold dan Hoover. 2000. Correlates of Bullying and Victimization among
Intermediate Students in the Midwestern USA. Sage Publication Volume
21 No. 1.
Black dan Jackson. 2007. Using bullying incident density to evaluate the olweus
bullying prevention programme. School psychology international.
Boyle DJ. Youth Bullying: Incidence, impact, dan intervention. J New Jersey
Psychol Association 2009; 55(3): 22-4
Coloroso, B. 2007. Stop Bullying. Jakarta: Penerbit Serambi Ilmu Semesta.
Coloroso, B. 2006. Penindas, Tertindas, dan Penonton, Resep Memutus Rantai
Kekerasan Anak dari Prasekolah Hingga SMU. Jakarta:
Serambi.https://generasiindonesiaantibullying.wordpress.com/2014/02/13
/dampak-dampak-bullying/
Elliot, Michele. (2002). Bullying: A Practical Guide To Coping For Scholls..
London:Pearson Education
Fajrin, Ahmad Nur dkk. (2013). Hubungan Anatar Tingkat PengetahuanDengan
Perilkau Bullying Pada Remaja Di SMK PGRI Semarang
Fernando, R. E. 2017. Pendampingan Hukum Terhadap Anak yang menjadi
Korban Bullying oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Rifka Annisa
Hidayati, N. 2012. Bullying pada Anak: Analisis dan Alternatif Solusi
Olweus, D. 2005. Bullying at School: What We Know and What We Can Do.
Oxford: Blackwell.
Qodar, N. (2015). Survei ICRW: 84% anak Indonesia alami kekerasan di
sekolah. Diakses pada 5 Februari 2016 dari
website:http://news.liputan6.com/read/2191106/survei-icrw-84-anak-
indonesia alamikekerasan-di-sekolah.
Rigby, Ken. 2003. Consequences of Bullying in schools. Canadian Journal of
Psychiatry.

27
Sari, J. 2018. Implementasi Restorative Justice Dalam Penyeleseaian Tindak
Pidana Bullying Yang Dilakukan Anak
Sari, Puspita. (2010). Coping Stress Pada Remaja Korban Bullying Di Sekolah
X. Jurnal Psikologi Volume 8 Nomor 2
Sejiwa. 2008. Bullying : Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan
Sekitar Anak. Jakarta : PT Grasindo.
Surilena. Perilaku Bullying (Perundungan) pada Anak dan Remaja. CDK.
2016;43(1):35-8.
Republik Indonesia. 1992. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak. Lembaran Negara RI tahun 1992, No. 115.
Sekretariat Negara. Jakarta.
Wicaksana, I. 2008. Mereka Bilang Aku Sakit Jiwa. Yogjakarta: Kanisius.
Yusuf, S. dan Nurihsan, J. 2008. Teori Kepribadian. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.

28

Вам также может понравиться