Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
Penyakit Graves lazim juga disebut penyakit Basedow ( jika trias Basedow dijumpai,
yaitu adanya struma berupa pembesaran tiroid difus, hipertiroid, dan eksoftalmus ) adalah
hipertiroid yang sering dijumpai. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang muda dengan
gejala seperti berkeringat berlebihan, tremor tangan, menurunnya toleransi terhadap panas,
penurunan berat badan, ketidakstabilan emosi, gangguan menstruasi berupa amenore, dan
polidefekasi. Klinis sering ditemukan adanya pembesaran kelenjar tiroid, kadang terdapat juga
manifestasi pada mata berupa eksoftalmus dan miopatia otot ekstrabulbi. Walaupun etiologi
penyakit Graves tidak diketahui, tampaknya terdapat peran dari suatu antibodi yang dapat
ditangkap oleh reseptor TSH, yang menimbulkan stimulus terhadap peningkatan produksi
hormone tiroid. Penyakit ini juga ditandai dengan peningkatan absobsi yodium radioaktif oleh
kelenjar tiroid.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kelenjar tiroid berkembang dari endoderm yang berasal dari sulcus pharyngeus pertama
dan kedua, pada garis tengah. Tempat pembentukan kelenjar tiroid ini menjadi foramen sekum di
pangkal lidah. Jaringan endodermal ini turun ke leher sampai setinggi cincin trakea kedua dan
ketiga yang kemudian membentuk dua lobus. Penurunan ini terjadi pada garis tengah. Saluran
pada struktur endodermal ini tetap ada dan menjadi duktus tiroglosus biasanya akan mengalami
obliterasi setelah usia 6 minggu menjadi lobus piramidalis kelenjar tiroid. Kelenjar tiroid janin
secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke – 12 masa kehidupan intrauterine. 1,2
Kelenjar tiroid terletak di leher, antara fasia koli media dan fasia prevertebralis. Di dalam
ruang yang sama terdapat trakea, esophagus, pembuluh darah besar, dan saraf. Kelenjar tiroid
melekat pada trakea dan fasia pretrachealis, dan melingkari trakea dua pertiga bahkan sampai
tiga perempat lingkaran. Tiroid yang normal terdiri dari dua lobus, kedua lobus tersebut
2
dihubungkan oleh istmus. Keempat kelenjar paratiroid umumnya terletak pada permukaan
belakang kelenjar tiroid, tetapi letak dan , mungkin juga jumlah kelenjar ini sering bervariasi.
Arteri karotis komunis, vena jugularis interna, dan nervus vagus terletak bersama di dalam suatu
sarung tertutup di laterodorsal tiroid. 1,2
Nervus rekurens laringeal terletak di dorsal tiroid, lateral dari ligamen Berry sebelum
masuk laring. Letak nervus ini bervariasi, 25 % pasien nervus rekurens laringeal masuk ke laring
bersama dengan ligament. Pada sisi kanan, nervus rekurens laringeal terpisah dari nervus vagus
saat melewati a. subclavian, kemudian berjalan posterior dan naik di lateral dari trakea
sepanjang tracheoesophageal groove. Nervus rekurens laringeal kanan dapat dengan mudah
ditemukan karena tidak lebih dari 1 cm lateral atau bersama dengan tracheoesophageal groove
pada batas bawah dari tiroid. Ketika naik kebagian tengah dari tiroid, nervus ini terbagi menjadi
satu, dua, atau lebih cabang dan masuk ke cincin pertama atau kedua trakea. Nervus frenikus dan
trunkus simpatikus tidak masuk ke dalam ruang antara fasia media dan prevetebralis.1,2
Kelenjar tiroid kaya vaskularisasi, yaitu yang berasal dari empat sumber, a.karotis
superior kanan dan kiri, yang merupakan cabang dari a.karotis eksternus kanan dan kiri, dan
kedua a.tiroidea inferior kanan dan kiri, yang merupakan cabang dari a.brakialis kanan dan kiri.
Kadang kala dijumpai a.tiroidea ima, cabang dari trunkus brakiosefalika, yang sering
menimbulkan perdarahan pada waktu melakukan trakeostomi. Adapun sistem venanya terdiri
atas v.tiroidea superior berjalan bersama arterinya, v.tiroidea media berada di lateral, berdekatan
dengan a.tiroidea inferior, dan v.tiroidea inferior, yang berada dalam satu arah dengan a.tiroidea
ima ( jika ada ). Terdapat dua saraf yang mensarafi laring dengan pita suara, yaitu n.rekurens dan
cabang dari n.laringeus superior.1
3
Gambar 2.2 Anatomi Tiroid 2
2.2. Fisiologi
Kelenjar tiroid menghasilkan hormone tiroid utama, yaitu tiroksin ( T4 ). Bentuk aktif
hormone ini adalah triyodotironin ( T3 ), yang sebagian besar berasal dari konversi hormone T 4
di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tiroid. Iodine anorganik yang
diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormone tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya
menjadi 30 – 40 kali yang afinitasnya sangat tinggi di jaringan tiroid. Iodine anorganik
mengalami oksidasi menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tirosin yang
terdapat dalam tiroglobulin sebagai monoyodotirosin ( MIT ) atau diyodotirosin ( DIT ).
Senyawa atau konjugasi DIT menjadi MIT atau dengan DIT yang lain akan menghasilkan T3
atau T4, yang disimpan di dalam koloid kelenjar tiroid. Sebagian besar T4 dilepaskan ke
4
sirkulasi, sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar yang kemudian mengalami deyodinasi untuk
selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi, hormone tiroid terikat pada protein, yaitu
globulin pengikat tiroid ( thyroid – binding globulin, TBG ) atau prealbumin pengikat tiroksin (
thyroxine – binding prealbumine , TBPA ) .1
Sekresi hormone tiroid dikendalikan oleh suatu hormone stimulator tiroid ( thyroid
stimulating hormone, TSH ) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Kelenjar
hipofisis secara langsung dipengaruhi dan diatur aktivitasnya oleh kadar hormone tiroid dalam
sirkulasi yang bertindak sebagai negative feedback terhadap lobus anterior hipofisis, dan
terhadap sekresi thyrotropine releasing hormone ( TRH ) dari hipotalamus. Hormon tiroid
mempunyai pengaruh yang sangat bervariasi terhadap jaringan atau organ tubuh yang pada
umumnya berhubungan dengan metabolisme sel. Pada kelenjar tiroid juga didapatkan sel
parafolikuler, yang menghasilkan kalsitonin. Kalsitonin adalah suatu polipeptida yang turut
mengatur metabolisme kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum, melalui pengaruhnya
terhadap tulang.1
5
Gambar 2.4 Hypothalamic–pituitary–thyroid hormone axis 4
Etiologi yang menimbulkan proses autoimun pada penyakit Graves masih belum
diketahui secara pasti. Namun, beberapa keadaan seperti postpartum, intake yodium yang
berlebih, terapi litium, dan infeksi bakteri atau virus diduga menjadi pemicu dari proses
autoimun. Faktor genetik juga memegang peranan penting, karena dari hasil penelitian, penyakit
Graves berhubungan dengan human leukocyte antigen ( HLA ) haplotipe – HLA – B8 dan HLA –
DR3 dan HLADQA1*0501 pada pasien kulit putih, sedangkan HLA – DRB1*0701 adalah faktor
pelindung. Polimorfisme dari gen cytotoxic T-lymphocyte antigen 4 ( CTLA – 4 ) juga
berhubungan dengan perkembangan penyakit Graves. Setelah terinisiasi, maka proses tersebut
akan mensensitisasi limfosit T-helper untuk menstimulasi limfosit B, yang akan memproduksi
6
antibodi yang akan bekerja pada reseptor hormone tiroid. Antibodi yang merangsang produksi
tiroid akan menstimulasi tirosit untuk berkembang dan mensintesis hormone tiroid yang berlebih,
yang merupakan tanda khas dari penyakit Graves. Penyakit Graves biasanya juga berhubungan
dengan penyakit autoimun lainnya seperti dibetes mellitus tipe I, penyakit Addison, anemia
pernisiosa, dan miastenia gravis.4
Tanda dan gejala yang muncul tergantung dari keparahan tirotoksitosis, durasi dari
penyakit, kemampunan individu untuk menerima kelebihan hormon tiroid, dan usia pasien. Pada
pasien usia lanjut maka tanda dan gejala dari tirotoksitosis dapat tidak terlalu menonjol, dan
pasien mungkin hanya merasakan mudah lelah dan mengalami penurunan berat badan, kondisi
seperti ini dikenal dengan istilah apathetic thyrotoxicosis. Tirotoksitosis dapat menyebabkan
penurunan berat badan tanpa sebab, disebabkan karena metabolism yang meningkat. Peningkatan
berat dapat ditemukan pada 5 % pasien, namun ini disebabkan karena intake makanan yang
meningkat. . Gejala lainnya yang dapat muncul seperti hiperaktifitas, cemas, iritabel, merasa
mudah lelah. Insomnia dan kesulitan dalam berkonsentrasi juga sering ditemukan. Apathetic
thyrotoxicosis pada orang lanjut usia dapat salah diagnosis dianggap depresi. Tremor halus juga
sering ditemukan. Manifestasi neurologis yang sering termasuk hiperefleks, pengecilan otot, dan
miopati proksimal tanpa disertai fasikulasi.5
Manifestasi kardiovaskular yang paling sering muncul adalah takikardi, sering disertai
juga dengan palpitasi, kadang – kadang dapat menyebabkan supraventrikular takikardi. Cardiac
output yang tinggi menyebabkan nadi menjadi kuat, dan murmur sistolik aorta dan dapat
memperburuk angina atau gagal jantung pada pasien usia lanjut yang memiliki penyakit jantung.
Atrial fibrilasi lebih sering muncul pada pasien yang berusia > 50 tahun. Kulit pasien biasanya
hangat dan lembab, pasien juga biasa mengeluhkan mudah berkeringat dan tidak tahan udara
panas. Palmar eritem, onkilosis, yang lebih jarang seperti pruritus, urtikaria dan hiperpigmentasi
difus juga dapat muncul. Rambut pasien akan menjadi tipis, alopesia difus terjadi pada lebih dari
40 % pasien, dan bertahan beberapa bulan setelah menjadi eutiroid. Waktu transit di saluran
cerna menjadi lebih sebentar, menyebabkan pasien sering BAB, sering disertai diare dan kadang
– kadang steatorea ringan. Pasien perempuan biasanya akan mengalami oligomenorea atau
7
amenorea, pada pria akan mengalami disfungsi seksual, pada kasus yang jarang muncul
ginekomastia. Efek langsung dari hormone tiroid pada resopsi tulang menyebabkan osteopenia,
hiperkalsemia ringan muncul pada lebih dari 20 % pasien, namun hiperkalsiuria lebih sering
muncul.5
Gambar 2.5 Penarikan kelopak mata, edema periorbital, injeksi konjungtiva, dan proptosis
8
Tabel 2.1 Tanda dan Gejala Tirotoksitosis
2.5 Diagnosis
Pembesaran massa tiroid disertai dengan adanya tanda dan gejala tirotoksitosis dapat
membantu diagnosis. Namun masih diperlukan pemeriksaan penunjang, yang paling murah
adalah tes fungsi tiroid. Kadar TSH akan menurun sedangkan kadar hormone tiroid total dan
yang bebas akan meningkat. Pada 2 – 5% pasien, ditemukan hanya T3 yang meningkat ( T3
toksikosis ). Pada hipertiroid yang disebabkan karena intake yodium yang berlebih sehingga
substrat untuk sintesis hormone tiroid berlebih akan didapatkan peningkatan dari kadar total dan
bebas dari T4 ( T4 toksikosis ) dan kadar T3 yang normal. Anti-Tg dan antibodi anti-TPO
meningkat pada lebih dari 75 % pasien, namun tidak spesifik. Peningkatan reseptor thyroid –
stimulating hormone atau TSAb merupakan pemeriksaan diagnostik untuk penyakit Graves dan
meningkat pada sekitar 90 % pasien. Pengukuran TBII atau TSI akan semakin menegakkan
diagnosis namun biasanya tidak rutin dilakukan. Beberapa keadaan yang dapat membingungkan
diagnosis tirotoksitosis seperti peningkatan bilirubin, enzim hati, dan feritin. Pada
pemeriksaan radionukletida akan didapatkan uptake difus pada kelenjar tiroid yang membesar.
USG atau CT scan leher dapat digunakan untuk mengevaluasi pasien. MRI orbita dapat
bermanfaat untuk mengevaluasi Graves' ophthalmopathy. 2,4,5
9
Gambar 2.6 Algoritma Evaluasi Tirotoksitosis
Diagnosis penyakit Graves langsung dapat ditegakkan pada pasien dengan pemeriksaan
fisik pada palpasi didapatkan pembesaran tiroid yang difus, ophthalmopathy, fungsi tiroid
didapatkan tirotoksitosis, dan TPO atau antibody TSH – R positif, dan terdapat riwayat yang
memiliki penyakit autoimun. Pada pasien dengan tirotoksitosis namun tanda – tanda lainnya
99m
kurang jelas, pemeriksaan diagnostic yang paling reliable adalah dengan radionukletida ( Tc,
123 131
I, atau I ), yang dapat membedakan penyakit Graves dengan penyakit tiroid nodular,
tiroiditis destruktif, jaringan tiroid ektopik. Pada hipertiroid sekunder yang disebabkan karena
sekresi TSH karena tumor pituitary, juga dapat ditemukan pembesaran tiroid difus, namun tidak
10
disertai dengan peningkatan kadar TSH dan pada pemeriksaan CT atau MRI scan dapat dengan
mudah ditemukan tumot pituitary pada pasien tersebut. Manifestasi klinis tirotoksitosis dapat
menyerupai pasien dengan serangan panik, mania, feokromatositoma, dan penurunan berat badan
yang disebabkan karena keganasan. Diagnosis tirotoksikosis dapat dengan mudah disingkirkan
jika kadar TSH dan T3 bebas normal. Kadar TSH yang normal juga dapat menyingkirkan
penyakit Graves sebagai penyebab dari pembesaran tiroid.
Tatalaksana penyakit Graves dapat dilakukan dengan tiga cara: obat antitiroid, ablasi
131
tiroid dengan radioaktif I, dan tiroidektomi. Pilihan terapi tergantung dari beberapa faktor
termasuk usia pasien, keparahan penyakit, ukuran dari tiroid, adanya patologi lain yang
menyertai, ada tidaknya ophthalmopathy, keinginan pasien, dan keinginan untuk mengandung.4
a. Obat Antitiroid
Obat antitiroid umumnya diberikan sebagai persiapan pasien sebelum dilakukan ablasi
tiroid dengan radioaktif atau operasi. Obat yang banyak digunakan adalah propiltiourasil ( PTU,
100 sampai 300 mg tiga kali sehari ) dan methimazole ( 10 – 30 mg tiga kali sehari ).
Methimazole memiliki waktu paruh yang lebih panjang sehingga dapat diberikan satu kali sehari.
Kedua obat tersebut dapat menurunkan produksi hormone tiroid dengan menghambat pengikatan
iodine organik dan pengikatan dari iodotirosin ( dimediasi oleh tiroid peroksidase ). Sebagai
tambahan, PTU juga menghambat konversi perifer T4 menjadi T3, sehingga berguna untuk terapi
badai tiroid. Kedua obat tersebut dapat menembus sawar plasenta, menghambat fungsi tiroid
fetus, dan diekskresikan dalam ASI, risiko PTU menembus sawar plasenta lebih rendah
dibandingkan dengan methimazole. Methimazole juga berhubungan dengan aplasia congenital,
oleh karena itu PTU lebih dipilih untuk terapi pada wanita hamil dan menyusui. Efek samping
dari obat antitiroid antara lain granulositopenia yang reversibel, kemerahan pada kulit, demam,
neuritis perifer, poliarteritis, vaskulitis, dan efek samping yang jarang seperti agralunositosis dan
anemia aplastik. Pasien harus dimonitor untuk adanya kemungkinan dari komplikasi tersebut dan
harus diperingatkan untuk menghentikan penggunaan PTU atau methimazole segera dan mencari
pertolongan medis jika muncul komplikasi tersebut. Terapi agranulositosis termasuk dirawat
11
dalam bangsal, menghentikan konsumsi obat antitiroid, antibiotic spektrum luas. Operasi harus
ditunda hingga granulosit mencapai 1000 sel/m3. 4
Dosis obat antitiroid dititrasi sesuai dengan kadar TSH dan T4. Kebanyakan pasien
menunjukkan perbaikan gejala dalam waktu 2 minggu dan kembali mencapai eutiroid dalam
waktu 6 minggu. Beberapa dokter menambahkan tirosin ( 0.05 sampai 0.10 mg ) untuk
mencegah hipotiroid dan penekanan sekresi TSH. Lamanya pemberian antirioid masih
diperdebatkan. Jika obat antitiorid dihentikan maka ada kemungkinan untuk rekuren kembali.
Sekitar 40 – 80 % pasien kembali rekuren setelah menghentikan pengobatan antitiroid satu
hingga dua tahun. Tirotoksitosis dapat meningkatkan kadar katekolamin, efek pada jantung dapat
diatasi dengan pemberian obat β – blocker. Obat ini juga memiliki efek menurunkan konversi
perifer T4 menjadi T3. Propanolol adalah obat yang sering digunakan dengan dosis sekitar 20
sampai 40 mg empat kali sehari.4
Keuntungan dari terapi obat antitioid adalah tidak diperlukannya tindakan operatif dan
juga tidak terpapar oleh zat radioaktif, namun kekurangan dari terapi ini adalah pengobatan harus
dilakukan dalam jangka waktu yang panjang dan angka kekambuhan yang cukup tinggi jika obat
antitiroid dihentikan.3
Radioiodine menimbulkan kerusakan pada sel tiroid dan dapat digunakan sebagai terapi
awal setelah terapi antitiroid gagal. Radioiodine memiliki risiko kecil untuk menimbulkan krisis
tirositoksis, namun dapat diminimalisir dengan terapi obat antitiroid sekitar satu bulan sebelum
terapi radioiodine.Methimazole atau carbimazole harus dihentikan tiga hari sebelum terapi
radioiodine untuk mencapai uptake iodine yang optimal. Sedangkan PTU memiliki efek
radioprotektif yang lebih panjang sehingga harus dihentikan penggunaannya beberapa minggu
sebelum terapi radioiodine, atau dapat menggunakan dosis radioiodine yang lebih besar. 5
Dosis radioiodine yang optimal untuk mencapai eutiroid tanpa insiden rekurensi yang
tinggi atau justru menyebabkan hipotiroid masih belum diketahui dengan pasti. Beberapa pasien
muncul rekurensi setelah pemberian dosis tunggal karena efek biologik dari radiasi bervariasi
antar individu. Cara yang dapat digunakan untuk penentuan dosis yang tetap berdasarkan gejala
12
klinis, seperti keparahan dari tirotoksitosis, ukuran dari pembesaraan kelenjar tiroid
( meningkatkan dosis yang dibutuhkan ), dan kadar penyerapan radioiodine ( menurunkan dosis
131
yang dibutuhkan ). Dosis I umumnya antara 185 MBq ( 5 mCi ) hingga 555 MBq ( 15mCi ).
Setelah mendapatkan radiasi pasien sebaiknya menghindari dekat dengan anak – anak dan wanita
yang sedang mengandung untuk beberapa hari karena ada kemungkinan transmisi dari sisa isotop
radiasi. Pada kasus yang jarang dapat terjadi nyeri pada tiroid sebagai akibat dari radiasi selama
1 – 2 minggu setelah terapi. Hipertiroidisme dapat bertahan selama 2 – 3 bulan sebelum
radioiodine mencapai efek maksimal. Karena itu adrenergik blocker atau obat antitiroid dapat
digunakan untuk mengontrol gejala selama masa interval ini. Hipertiroid persisten dapat diatasi
dengan pemberian radioiodine dosis kedua, biasanya 6 bulan setelah dosis pertama. Risiko
menjadi hipotiroid setelah pemberian radioiodine tergantung dari dosis, sekitar 10 – 20 % terjadi
pada tahun pertama dan 5 % setiap tahun berikutnya dan lebih dari 70 % setelah tahun ke – 11,
sehingga membutuhkan terapi pengganti tiroksin. Pasien harus diberitahukan kemungkinan ini
sebelum dimulainya terapi dan membutuhkan pemantauan yang ketat selama tahun pertama dan
perlu dilakukan tes fungsi tiroid setiap tahunnya. Wanita hamil dan menyusui adalah
kontraindikasi absolute untuk terapi radioiodine. Pasien dengan ophthalmopati yang berat
memerlukan perhatian khusus, beberapa ahli memberikan prednisone 40 mg/ hari, pada saat
pasien mendapatkan terapi radioiodine, kemudian dosis diturunkan sedikit demi sedikit selama 2
– 3 bulan untuk mencegah eksaserbasi ophthalmopati.4,5
13
iodine atau supersaturasi kalium iodine ( SSKI ) harus diberikan sebelum operasi, 3 tetes 2 kali
sehari, dimulai 10 hari sebelum operasi, yang bertujuan untuk mengurangi vaskularisasi dari
kelenjar tiroid dan menurunkan risiko badai tiroid. Mekanisme aksi dari iodine pada keadaan ini
adalah dengan menghambat pelepasan dari hormone tiroid.4
Pasien yang menderita penyakit penyerta kanker tiroid, dan pasien yang menolak terapi
radioiodine, menderita ophthalmopati berat, atau adanya reaksi dari obat antiroid yang
mengancam jiwa seperti, vaskulitis, agranulositosis, atau gagal hati, harus dilakukan total atau
Inear – total tiroidektomi. Tiroidektomi subtotal dengan menyisakan jaringan tiroid 4 – 7 g,
direkomendasikan untuk semua pasien. Sisa jaringan yang lebih kecil dari 3 g berhubungan
dengan risiko rekurensi 2 – 10 %, namun risiko hipotiroid cukup tinggi (> 40 % ). Pada
stiroidektomi subtotal, maka jaringan tiroid disisakan 1 – 2 g pada setiap sisi tiroid ( tiroidektomi
subtotal bilateral ), atau dapat dilakukan lobektomi total pada satu sisi sedangkan sisi lainnya
dilakukan tiroidektomi subtotal ( prosedur Hartley – Dunhill ). Tirotpksikosis rekuren, biasanya
diterapi dengan radioiodine, dibutuhkan follow – up jangka panjang dan dilakukan pemeriksaan
kadar TSH untuk mendeteksi kemungkinan hipotiroid onset lama atau rekuren hipertiroid.4
Perdarahan kapsular
Biopsi Terbuka Visualisasi langsung Membutuhkan ruang Kasus yang kompleks
operasi, dan mungkin dimana dengan AJH
dibutuhkan anestesi gagal memberikan
umum diagnosis
Nodulektomi Tidak ada Jika diagnosis kanker Tidak ada
( lebih sedikit dari maka diperlukan
lobektomi ) tindakan operasi
kedua yang sulit
untuk melakukan
lobektomi komplit
Lobektomi ( dengan Risiko hipokalsemia Jika diagnosis kanker Curiga kuat lesi jinak
istmektomi ) dan cedera nervus maka perlu dilakukan
14
lebih rendah tindakan tiroidektomi Kanker diferensiasi
baik < 1 cm
Near – total Risiko hipokalsemia Ada kemungkinan Multinodul yang jinak
Tiroidektomi dan cedera nervus rekurensi dari jaringan
lebih rendah tiroid yang tersisa Nodul < 2 cm pada
sisi yang pernah
dilakukan lobektomi
komplit
Hipertiroidisme
Tiroidektomi total Paling efektif jika Risiko hipokalsemia Multinodul yang
menggunakan I131 dan cedera nervus meluas
post operasi lebih tinggi
Hipertiroidisme
Sindrom Horner
Sternotomi median Dapat melihat daerah Perdarahan Perluasan keganasan
mediastinal hingga ke mediastinal
Nonunion sternum anterior
15
2.9 Komplikasi Tatalaksana Bedah
a. Hipokalsemia
Hipokalsemia baik sementara atau permanen adalah komplikasi operasi yang paling
sering yang berhubungan dengan tiroidektomi.. Rasio hipokalsemia sementara setelah dilakukan
tindakan operatif sekitar 50 % sedangkan hipokalsemia permanen sekitar 3 – 25 %, pada 80 %
kasus akan sembuh dengan sendirinya dalam jangka waktu 12 bulan. Hipokalsemia disebabkan
karena cedera atau sekunder dari devaskularisasi dari kelenjar paratiroid. Insiden hipokalsemia
berhubungan dengan pengalaman ahli bedah, teknik operasi, kelainan patologi yang mendasari,
penyakit yang sudah meluas atau merupakan tindakan operasi ulang. Devaskularisasi kelenjar
paratiroid terjadi karena ligasi dari arteri tiroidea inferior pada saat mengidentifikasi nervus
rekuren laryngeal. Aliran darah ini mensuplai 80 % dari peredaran darah pada kelenjar
paratiroid. Untuk mencegah hipokalsemia dapat dilakukan autotransplantasi paratiroid 1 mm
fragmen jaringan saline beku ditanam di otot sternokleidomastoideus atau dapat juga dilakukan
di otot brachiradialis.2,6
Nervus rekuren laryngeal merupakan cabang dari nervus vagus yang merupakan gabungan
dari sensorik , motorik, dan otonom yang mempersarafi seluruh otot laring kecuali krikotiroid,
dan sensorik dari laring dibawah pita suara . Cedera pada nervus ini dapat memberi gambaran
sulit menelan atau perubahan suara. Faktor yang berhubungan dengan komplikasi ini adalah
penyakit yang mendasari ( goiter vs keganasan ), reseksi tiroidektomi yang luas, pengalam ahli
bedah, kelainan anatomi, dan tindakan operasi ulang. Cedera nervus rekuren laryngeal biasanya
terjadi pada saat ligasi ateri tiroidea inferior dan diseksi dekat ligament Berry. Insiden palsi
nervus rekuren laryngeal sekitar 0 – 17 %. Identifikasi rutin dari nervus rekuren laryngeal
selama tiroidektomi dapat menurunkan risiko dari cedera nervus ini. Goiter retrosternal
membutuhkan perhatian khusus dalam mengidentifikasi nervus ini. Monitor nervus rekuren
laryngeal dengan stumulasi nervus intraoperatif dapat menurunkan angka insidensi paralisis
nervus ini. Kebanyakan cedera nervus ini bersifat sementara dan hanya membutuhkan terapi
suportif jika tidak ada gangguan pernafasan dan perubahan suara masih dapat ditolerir.
16
Penyembuhan nervus rekuren laryngeal biasanya membutuhkan waktu beberapa hari setelah
operasi.2,6
Nervus laryngeal superior pada setinggi tulang hyoid akan bercabang menjadi dua, cabang
internal yang memiliki serabut sensorik yang menuju laring, cedera pada bagian ini terjadi jika
terjadi pembesaran kutub superior dari kelenjar tiroid yang meluas hingga batas atas kartilago
tiroid dan ahli bedah melakukan diseksi di area tersebut. Cedera pada cabang internal akan
menyebabkan hilangnya sensasi di setengah bagian atas laring dan faring posterior, sehingga
menimbulkan disfagia, aspirasi dan pneumonitis. Cabang eksternal yang memiliki serabut
motorik menuju otot krikotiroid dan pita suara. Cabang eksternal berjalan dekat dengan arteri
tiroidea superior. Cabang eksternal ini dikenal juga dengan nama nervus Amelita Galli – Curci.
Cedera pada nervus ini menyebabkan perubahan suara, volume suara yang kecil dan monoton,
dan tidak mampu menyanyi dengan nada tinggi. 2,6
d. Perdarahan
17
BAB III
KESIMPULAN
Tatalaksana penyakit Graves dapat dilakukan dengan tiga cara: obat antitiroid, ablasi
131
tiroid dengan radioaktif I, dan tiroidektomi. Pilihan terapi tergantung dari beberapa faktor
termasuk usia pasien, keparahan penyakit, ukuran dari tiroid, adanya patologi lain yang
menyertai, ada tidaknya ophthalmopathy, keinginan pasien, dan keinginan untuk mengandung.
Komplikasi yang dapat terjadi dalam tindakan operatif seperti hipokalsemia, cedera nervus
rekuren laryngeal, nervus laringeal superior dan perdarahan.
18