Вы находитесь на странице: 1из 33

MAKALAH AGAMA

KEPRIBADIAN ISLAMI

Disusun Oleh :

Nama : 1. Agnes Maya Abrianto (03)

2. Amirah Eno Ardiningrum (06)

3. Fathia Azzahra Madjid (14)

4. Naseem Marden (28)

5. Sarakonesia (35) - Ketua

Kelas : 1-03

Prodi : DIII Pajak

Dosen : Masturi Istamar Suhadi,Lc.,M.Phil

Tahun Ajaran 2018 / 2019

Politeknik Keuangan Negara STAN

Jl. Bintaro Utama Sektor V, Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Banten

http://www.pknstan.ac.id
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah
memberikan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah kami yang berjudul “Kepribadian Islami”. Penulisan makalah ini merupakan
salah satu kelengkapan tugas mahasiswa – mahasiswi Politeknik Keuangan Negara
STAN Program Diploma III Pajak Kelas 1-03 mata kuliah Pendidikan Agama Islam.

Dalam penulisan makalah ini, kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga
kepada pihak-pihak yang membantu dalam proses pembuatan makalah ini. Terutama
kepada :

1. Bapak Masturi Istamar Suhadi selaku dosen pengampu mata kuliah


Pendidikan Agama Islam,
2. Bapak/Ibu petugas perpustakaan Politeknik Keuangan Negara STAN yang
telah membantu kami menenemukan sumber pustaka,
3. Teman-teman semua yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang turut
membantu dalam penyelesaian makalah ini.

Diharapkan makalah ini bermanfaat untuk menambah informasi dan


pengetahuan bagi kita tentang hakikat manusia, peran serta tugasnya di muka bumi
menurut Al-Qur’an.Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak
kekurangan baik pada teknik penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang
kami miliki.Untuk itu, kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat
kami harapkan demi penyempurnaan makalah ini.Akhir kata kami mengucapkan,
semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

Dalam kehidupan manusia sebagai individu maupun makhluk sosial


kepribadian senantiasa mengalami warna warni kehidupan.Ada kalanya senang,
tentram dan gembira.Tetapi pengalaman hidup membuktikan bahwa manusia juga
kadang kadang mengalami hal-hal yang pahit, gelisah, frustasi dan sebagainya, ini
menunjukan bahwa manusia senantiasa mengalami dinamika kehidupan.

Berbagai macam cara dilakukan agar manusia dapat menyalurkan rasa senang,
tenang dan gembira atau dengan kata lain agar manusia memperoleh kebahagiaan dan
terhindar dari hal-hal yang mengecewakan. Mampu tidaknya seseorang dalam
mencapai keinginannya tergantung dari vitalitas, temperamen, watak serta kecerdasan
seseorang. Vitalitas merupakan semangat hidup, pusat tenaga seseorang, ia
merupakan dasar kepribadian dan merupakan unsur penting yang ikut menentukan
kemampuan berprestasi, dan bersifat dinamis. Setiap orang memiliki vitalitas yang
berbeda ada yang kuat ada juga lemah.

Kepribadian juga merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan


manusia.Ia akan ikut menentukan sukses tidaknya seseorang. Kepribadian meskipun
ia merupakan faktor yang penting dalam kejiwaan dan berada pada tataran rohani
namun wujudnya dapat terlihat pada tingkah laku dan sikap hidup seseorang.

Beberapa ahli psikologi telah banyak mengemukakan teori tentang


kepribadian antara lain William James, ia berpendapat bahwa kepribadian merupakan
unsur kesatuan yang berlapis-lapis. Terdiri dari The Material Self atau diri
materi, The Social Self atau diri sosial, The Spiritual Self atau diri rohani dan Pure
Ege atau ego murni atau Self of Selves. Sementara itu Sigmund Freud menyatakan
bahwa kepribadian itu terdiri atas tiga system yaitu id, ego dan super
ego. Id merupakan kepribadian yang berhubungan dangan prnsip kesenangan atau
pemuasan biologis, sedang ego merupakan bagian kepribadian yang berhubungan
dengan lingkungan dasarnya adalah kenyataan dan super ego merupakan bagian
kepribadian yang berhubungan dengan norma sosial, moral dan rohani.

Di kalangan intelektual Muslim masalah psikologi sudah banyak dibahas oleh


para ahli diantaranya Al-Farabi, Ibnu Sina, Ikhwan Ash Shafa, Al-Ghazali, Ibnu
Rusyd, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al Jauzi.

Psikologi Islam juga membahas tentang syakhsiyah atau personality atau


kepribadian.Dalam literature klasik seperti Al-Gazali telah membahas tentang
keajaiban hati dan Ibnu Maskawaih ditemukan pembahasan tentang akhlak yang
maksudnya mirip dengan syakhsiyah.Bedanya syakhsiyah dalam psikologi berkaitan
dengan tingkah laku yang didevaluasi sedangkan akhlak adalah tingkah laku yang
dievaluasi.

Karena itu kepribadian muslim selain mendiskripsikan tentang tingkah laku


seseorang juga menilai baik buruknya. Makalah ini akan membahas tentang struktur
kepribadian muslim meliputi substansi jasmani, substansi ruhani dan substansi
nafsani, juga akan membahas pergulatan psikologis dan ciri-ciri kepribadian muslim.
BAB II
ISI

A. Pengertian Kepribadian

Kepribadian dalam bahasa Arab disebut as-syakhshiyyah, berasal dari kata


syakhshun, artinya, orang atau seseorang atau pribadi. Kepribadian bisa juga
diartikan identitas seseorang (haqiiqatus syakhsh). Kepribadian atau syakhshiyyah
seseorang dibentuk oleh cara berpikirnya (aqliyah) dan caranya berbuat untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginannya (nafsiyah).

Kepribadian berasal dari kata Personality (bahasa Latin) yang berarti kedok
atau topeng.Yaitu tutup muka yang sering dipakai oleh pemain-pemain panggung,
yang maksudnya untuk menggambarkan perilaku, watak atau pribadi seseorang.Hal
itu dilakukan oleh karena terdapat ciri-ciri yang khas, yang hanya dimiliki oleh
seseorang tersebut baik dalam arti kepribadian yang baik, ataupun yang kurang baik.
Secara filosofis dapat dikatakan bahwa pribadi adalah ”aku yang sejati” dan
kepribadian merupakan “penampakan sang aku” dalam bentuk prilaku tertentu.

Disini muncul gagasan umum bahwa kepribadian adalah kesan yang diberikan
seseorang kepada orang lain yang diperoleh dari apa yang dipikir, dirasakan,
diperbuat yang terungkap mealui perilaku.

Selanjutnya berdasarkan pengertian kata-kata tersebut para ahli


mengemukakan definisinya sebagai berikut:

1. Woodworth: Kualitas dari seluruh tingkah laku seseorang.


2. Morrison: Keseluruhan dari apa yang dicapai seseorang individu
dengan jalan menampilkan hasil- hasil kultural dari evolusi social.
3. Hartmann: Susunan yang terintegrasikan dari ciri-ciri umum seseorang
individu sebagaimana yang dinyatakan dalam corak khas yang tegas
yang diperhatikannya kepada orang lain.
4. William James: kepribadian ialah unsur kesatuan yang berlapis lapis
dari diri materi, diri sosial, diri ruhani dan ego murni.
5. Sigmond Freud: kepribadian adalah terdiri atas tiga sistem yaitu id,
ego dan super ego. Sementara itu John Hocke telah mengemukakan
teori tabula, rasa atau papan lilin yang siap untuk digambari, berbeda
dengan Islam yang menempatkan fitrah sebagai potensi dasar
kejiwaan.
6. Para intelektual Muslim: mendefinisikan kepribadian yakni merupakan
bentuk integrasi antara system kalbu, akal dan nafsu manusia yang
menimbulkan tingkah laku.

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian

Perkembangan kepribadian individu dipengaruhi oleh berbagai factor


diantaranya adalah faktor hereditas (genetika) dan lingkungan. Faktor hereditas
mempengaruhi kepribadian misalnya : bentuk tubuh, cairann tubuh, dan sifat-sifat
yang diwariskan dari orang tua. Sedangkan faktor lingkungan antara lain lngkungan
rumah, sekolah, masyarakat, di samping itu meskipun kepribadian seseorang itu
relative konstan, kenyataanya sering sering ditemukan perubahanperubahan itu terjadi
dipengaruhi oleh factor gangguan fisik dan lingkungan. Keluarga dipandang sebagai
penentu yang paling utama dalam pembentukan kepribadian anak. Alasannya adalah
keluarga merupakan kelompok social pertama yang menjadi pusat identifikasi anak,
dan anak banyak menghabiskan waktunya bersama keluarga. Disamping itu keluarga
dipandang sebagai lembaga yang dapat memenuhi kebutuhan insani (manusiawi),
terutama bagi pengembangan kepribadiannya dan pengembangan ras manusia.
Perlakuan orang tua yang penuh kasih saying dan pendidikan tentang nilai-nilai
kehidupan yang diberikan kepada anak, baik nilai agama maupun nilai social budaya
merupakan factor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan
warga masyarakat yang sehat dan produktif

C. Cara Membangun Kepribadian Muslim


Untuk menyusun kepribadian Islam dalam diri seseorang, langkah pertama
yang harus diintroduksikan dan ditanamkan pada diri seseorang adalah aqidah Islam.
Sehingga seseorang sadar bahwa dirinya adalah seorang muslim. Bukan seorang
Kristen, bukan Katolik, bukan Budha, bukan Yahudi, bukan Hindu, dan bukan Athe-
is. Pendeknya dia seorang muslim, bukan kafir. Ia bersaksi bahwa tiada Tuhan yang
patut disembah (laa ma’buuda) kecuali Allah, lailahaillallah. Dia juga bersaksi bahwa
Nabi Muhammad saw. adalah rasul utusan Allah. Artinya tidak, ada satu bentuk cara
penyembahan (ibadah) kepada Allah, dalam arti sempit maupun umum, kecuali cara
yang telah diterangkan dan dicontohkan oleh Sayyidina Muhammad rasulullah saw.

Iman kepada dua kalimat syahadat itu disadarinya sebagai iman kepada
seluruh persoalan yang harus diimani menurut ajaran Islam, baik iman kepada sifat-
sifat Allah dan asmaul husnaNya, iman kepada para malaikat-Nya, iman kepada
kitab-kitab-Nya, iman kepada para Rasul utusan-Nya, iman kepada hari kiamat, dan
iman kepada qodlo dan qodar-Nya, yang baik maupun yang buruk.

Iman kepada hari akhir dia fahami sebagai tempat pertanggungjawaban


seluruh keimanan dengan segala konsekuensi dan konsistensi dalam kehidupan di
dunia.Ia paham bahwa dunia adalah ladang menanam kebajikan untuk dituai buahnya
di akhirat. Sebaliknya, orang yang lalai akan ceroboh dan berbuat yang justru
membahayakan dirinya sendiri di akhirat nanti. Barang siapa menabur angin, akan
menuai badai. Allah SWT memang menciptakan hidup dan mati ini untuk diuji siapa
yang terbaik amalannya.

Dia berfirman:

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu
yang lebih baik amalnya.Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Qs. Al
Mulk [67]: 2).

Langkah kedua, adalah bertekad menjadikan aqidah Islam sebagai landasan


dalam berfikir menilai segala sesuatu dan dijadikan landasan dalam bersikap dan ber-
perilaku. Dengan tekad itu, telah seorang memiliki cara berfikir Islami (aqliyah
Islamiyah) dan sikap jiwa Islami (nafsiyah Islami).

Dengan langkah kedua ini seorang muslim telah selesai dalam pembentukan
kepribadian Islam. Dia telah dikatakan telah memiliki kepribadian Islam
(syakhshiyyah Islamiyah) sekalipun baru tahap awal dalam berfikir secara Islami dan
mengolah sikap jiwa secara Islami.

Seorang muslim sudah dikatakan sudah memiliki cara berfikir Islam


walaupun belum bisa berbahasa Arab apalagi berijtihad seperti Imam As Syafi’I rahi-
mahullah. Dia sudah dikatakan telah berfikir Islami walaupun baru tahu sholat lima
waktu itu wajib, sholat berjama’ah di masjid itu lebih utama 25-27 kali daripada
sholat di rumah, judi dan khomer serta undian itu adalah permainan syaithon yang
harus dijauhi, menyuap maupun menerima suap itu hukumnya haram. Seorang yang
berfikir Islami memang tidak disyaratkan mesti canggih dulu berfikirnya.

Seorang muslim dikatakan telah memiliki sikap jiwa Islami apabila telah
bertekad untuk mengubah sikap hidupnya secara total mengikuti Islam dan istiqomah.
Ketika ada orang meminta nasihat kepada Rasulullah saw. yang dengan nasihat itu
dia tidak bertanya lagi, beliau saw. menjawab:

“Katakanlah aku beriman kepada Allah, lalu bersikaplah istiqomah.” [HR. Muslim].

Asal orang sudah bertekad seperti itu, dia dikatakan telah memiliki sikap jiwa
Islami (nafsiyah islamiyah) sekalipun belum banyak beribadah. Sekalipun dia baru
melaksanakan sholat wajib dan sedikit sholat sunnah. Sekalipun dia baru belajar
sholat tahajjud.Sekalipun dia baru belajar membaca Al Fatihah dan Qulhu.Sikap jiwa
dan istiqomah untuk selalu mengendalikan perilaku dengan ajaran Islamlah yang
membuat seorang memiliki sikap jiwa Islami. Rasulullah saw. bersabda:

“Tiada beriman salah seorang di antara kamu sehingga mempersiapkan hawa


nafsunya mengikuti ajaran Islam yang kubawa.” [HR. An-Nawawi].
C. Psikologi dan Kepribadian Muslim

Para psikolog memandang kepribadian sebagai struktur dan proses psikologis


yang tetap, yang menyusun pengalaman-pengalaman individu serta membentuk
berbagai tindakan dan respons individu terhadap lingkungan tempat hidup. Dalam
masa pertumbuhannya, kepribadian bersifat dinamis, berubah-ubah dikarenakan
pengaruh lingkungan, pengalaman hidup, ataupun pendidikan. Kepribadian tidak
terjadi secara serta merta, tetapi terbentuk melalui proses kehidupan yang panjang.
Dengan demikian, apakah kepribadian seseorang itu baik atau buruk, kuat atau lemah,
beradab atau biadab sepenuhnya ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi
dalam perjalanan kehidupan seseorang tersebut.

Substansi nafsani memiliki tiga daya yaitu: (1) kalbu atau fitrah ilahiyah, akal
atau fitrah insani dan nafsu atau firah hayawaniah. Kepribadian pada dasarnya
merupakan perpaduan antara ketiga daya tersebut, hanya saja biasanya ada salah satu
diantaranya yang mendominasi yang lain.

Al Kindi mendefinisikan jiwa adalah an nafs nathiqah substansinya bersifat


ilahi rabbani yang berasal dari cahaya (nur) sang pencipta. Oleh karena itu jiwa atau
hati harus senantiasa dihidupkan dengan cahaya ilahi. Dalam Islam hati yang hidup
adalah sumber kebaikan dan kematian hati adalah sumber keburukan.Akar semua
kebaikan dan kebahagiaan seorang hamba adalah kesempurnaan hidup dan
cahayanya. Hati yang sehat dan hidup akan bisa membedakan antara kebaikan dan
keburukan.

Kepribadian seorang Muslim berarti menuntut agar jiwanya selalu hidup


dengan nur ilahi.Inilah yang membedakan antara kepribadian menurut konsep
Islam.Kepribadian Islam merupakan ciri khas, watak maupun karakter umat
Islam.Kepribadian Muslim atau sering disebut akhlak Islami yaitu prilaku seorang
Muslim yang merupakan perpaduan harmonis antara kalbu, akal dan fitrah insani.
Kepribadian bagi seorang Muslim ialah yang senantiasa menjaga hatinya
untuk selalu taat kepada Allah dan berbahagia karena dekat kepada Allah sehingga
memperoleh sinarnya dengan senantiasa mengerjakan ibadah dan amal saleh lainya..
sedangkan hati yang kotor dan ingkar kepada Allah yang muncul dari anggota
badanya adalah sifat keji adalah bekas hati yang kotor dan gelap tanpa sinar.

Dalam hal ini Hasan al Basri berkata : Kebagusan Akhlak ialah manis
mukanya, memberi kelebihan dan mencegah kesakitan. Sedang Al Washili berkata
akhlak yang baik ialah menyenangkan manusia pada waktu suka dan duka.Dan Sahal
al Tsauri berkata akhlak yang baik ialah sekurang-kurangnya menanggung
penderitaan orang lain, tidak membalas kezaliman orang lain, memintakan ampunan
kepada Allah terhadap orang yang berbuat zalim dan belas kasih kepadanya.

Jika dilihat dari definisi definisi tersebut maka menurut pendapat penulis
maka hal-hal seperti tersebut adalah buah dari akhlak karena akhlak itu sendiri adalah
system kerja rohani yang terdapat dalam jiwa manusia.

Kadang-kadang dalam kondisi tertentu terjadi perubahan tingkah laku.Hal ini


disebabkan karena salah satu substansi jiwa mendominasi yang lainnya.Jika dalam
interaksi seseorang didominasi oleh nafsu maka yang muncul ialah sifat pendusta,
egois, bakhil, suka mengancau dan amarah.Hal ini dalam psikologi Islam dinamakan
jiwa yang sedang sakit. Tetapi apabila yang mendominasi akal dan kalbu maka yang
muncul adalah sifat-sifat terpuji dan ma’rifat kepada Allah, inilah yang akan
mendatangkan kebahagiaan.

Hasil kerja kalbu atau kepribadian yang didominasi dengan kalbu akan
menghasilkan kepribadian mutmainah wujudnya kepribadian atas dasar iman, Islam,
dan ikhsan. Sedangkan kepribadian yang didominasi dengan akal akan menghasilkan
kepribadian lawwamah, suatu kepribadian yang berdasarkan sosial moral dan
rasional. Dan kepribadian yang didominasi oleh nafsu menghasilkan kepribadian
amarah, ia bersifat produktif, kreatif dan konsumtif.
Oleh karena itu kepribadian ada yang menarik dan ada yang
tercela.Kepribadian yang menarik ialah kepribadian yang memiliki sifat-sifat positif
seperti rajin, sabar, pemurah dan suka menolong.Sedangkan kepribadian yang tercela
yaitu kepribadian yang negatif seperti pemalas, pemarah, kikir, sombong dan
sebagainya.

D. Struktur Kepribadian Islam

Wacana psikologi Islam tentang struktur dan kepribadian sangat erat


pembahasannya dengan substansi manusia.Substansi jiwa menurut para filosof
maupun psikolog Islam terdiri atas tiga bagian yaitu jasmani, rohani dan nafsani atau
nafsu. Substansi jasmani berupa organisme fisik manusia ia lebih sempurna
dibanding makhluk-makhluk yang lain bersifat lahiriyah yang memiliki unsur-unsur
tanah, udara, api, dan air ia akan hidup jika diberi daya hidup atau al bayah.

Substansi ruh adalah substansi yang merupakan kesempurnaan awal.Al Gazali


menyebutnya lathifah yang halus dan bersifat ruhani.Ruh sudah ada ketika tubuh
belum ada dan tetap ada meskipun jasadnya telah mati. Fathur Rahman menyatakan
bahwa ruh adalah amanah, karena itu ia memiliki keunikan dibanding dengan
makhluk yang lain. Dengan amanah inilah iamenjadi kalifah di muka bumi. Substansi
nafsani berarti jiwa, nyawa atau ruh, konotasinya ialah kepribadian dan substansi
psiko fisik manusia.Nafs ini merupakan gabungan dari jasad dan ruh.Karena itu nafs
adalah potensi jasadi dan rohani.Ia berupa potensi aktualisasinya akan membentuk
suatu kepribadian Muslim yaitu merupakan perpaduan harmonis antara kalbu, akal
dan nafsani.

Struktur kepribadian Islam merupakan perpaduan harmonis antara kalbu, akal, dan
nafsani

1. Al Qalb atau kalbu merupakan materi organik yang memiliki system kognisi
yang berdaya emosi.Al Gazali menyatakan bahwa kalbu memiliki insting
yang disebut al nur al ilahy dan al bashirah al bathinah (mata batin).Kalbu
dalam arti jasmani adalah jantung (heart) bukan hati (lever).Kalbu dalam
artian rohani ialah menunjukan kepada hati nurani (conscience) dan ruh
(soul). Kalbu ini berfungsi sebagai pemandu, pengontrol dan pengendali
struktur nafs yang lain. Apabila kalbu ini berfungsi normal maka manusia
menjadi baik sesuai dengan fitrah aslinya.Karena kalbu memiliki nature
ilahiyah yang dipancarkan dari Tuhan. Ia tidak saja mampu mengenal fisik
dan lingkungannya tetapi juga mampu mengenal lingkungan spiritual
ketuhanan dan keagamaan Mengenai kalbu ini Rasulullah SAW pernah
bersabda : “Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging, apabila
ia baik maka semua tubuh menjadi baik, tetapi apabila ia rusak maka semua
tubuh menjadi rusak pula, ingatlah bahwa ia adalah kalbu” .

Menurut Huzaifah, hati terbagi menjadi empat yaitu hati yang bersih, yaitu
(1) hatinya orang beriman dan mendapat sinar (2) hati yang tertutup yaitu
hatinya orang kafir, hati yang buta dan tidak melihat kebenaran (3) hati yang
terjungkir yaitu hatinya orang munafik yaitu melihat kebenaran tetapi
kemudian mengingkarinya (4) hati yang memiliki dua bekal yakni bekal iman
dan bekal kemunafikan, ia tergantung dari mana yang paling dominan. Orang
yang kalbunya disinari Tuhan maka ia akan memiliki kepribadian yang kuat,
teguh dan tidak mudah putus asa. Dan apabila ia memiliki nafsu muthmainah
ia akan tenang dan optimis karena ia yakin rahmat Tuhan pasti akan
diberikan.

Agar kalbu selalu mandapat sinar Ilahiyah menurut imam Al Gazali maka
harus berilmu dan iradah (kemauan). Dengan ilmu manusia akan mengetahui
segala urusan dunia dan akhirat, dan menurut al Gazali kalbu berfungsi untuk
memperoleh kebahagiaan akhirat. Secara psikologis kalbu memiliki daya
emosi (al infialy) dan kognisi.
2. Akal secara estimologi memiliki arti al imsak (menahan) al-
Ribath (ikatan) al Bajr (menahan) al Naby (melarang)
dan manin (mencegah).

Berdasarkan makna ini maka yang disebut orang berakal adalah orang yang
mampu menahan dan mengikat hawa nafsunya.Jika hawa nafsunya terikat
maka rasionalitinya mampu bereksistensi.Dengan akal seseorang mampu
membedakan yang baik dan yang buruk, yang menguntungkan dan
merugikan.Akal mampu memperoleh pengetahuan dengan daya nalar (al
Nazhr) dan daya argumentatif.

Melalui akal manusia bisa bermuhasabah yakni menunda keinginan tidak


terburu-buru mengerjakannya sehingga menjadi jelas olehnya kelayakannya
untuk dikerjakan atau ditinggalkan.

Menurut al Hasan jika pekerjaan tersebut dimotivasi untuk mengharap ridho


Allah maka kerjakanlah, tetapi jika tidak karena Allah lebih baik ditunda
dahulu. Dan jika motivasinya untuk memperoleh ridha Allah maka harus
berfikir dahulu apakah dalam mengerjakan sesuatu itu ia memperoleh
pertolongan atau tidak, jika tidak sebaiknya ditunda terlebih dahulu. Dan
apabila sudah mendapat kepastian akan pertolongan Allah maka kerjakanlah
sehingga ia akan mendapat keberuntungan.

Muhasabah juga bisa dilakukan setelah selesai mengerjakan sesuatu, yakni


apakah yang dikerjakan sudah ikhlas karena Allah, sesuai dengan ketentuan
Allah.Apakah waktu mengerjakan lepas kendali atau tidak, bagus akibatnya
atau tidak. Dengan muhasabah orang akan selamat dan bisa menjadi lebih
baik perilkunya dan kepribadiannya.

Sebagaimana Plato, Al Zukhaily berpendapat bahwa jiwa rasional itu


bertempat di kepala sehingga yang berfikir adalah akal bukan kalbu. Antara
akal dan kalbu sama sama memperoleh daya kognisi tetapi cara dan hasilnya
berbeda. Akal mampu mencapai pengetahuan rasionaltetapi tidak yang supra
rasional, sehingga ia mampu mencapai kebenaran tetapi tidak mampu
merasakan hakekatnya.

Menurut Al Gazali agar manusia dapat senantiasa berdekatan dan mendapat


nur ilahy maka ia harus berilmu dan mempunyai iradah (kemauan). Dengan
ilmu seseorang akan mengetahui segala urusan dunia dan akhirat serta segala
sesuatu yang berhubungan dengan akal. Dengan kemauan dan akal seseorang
akan mengetahui cara-cara untuk memperbaiki serta mencari sebab sebab
yang berhubungan dengan hal itu. Al Gazali berpendapat bahwa orang yang
sakit nafsunya selalu menginginkan makanan yang enak.

Hal ini memberi pengertian kepada kita bahwa jika orang tersebut sehat
maka secara akal berarti semua makanan asalkan sehat dan halal dan toyyiban
pasti akan terasa enak (lezat). Dengan demikian nafsu untuk selalu
menginginkan hal hal yang enak enak akan dapat dikurangi atau dilawan
dengan kondisi sehat.

Al Gazali juga berpendapat bahwa ilmu yang diperoleh dalam hati akan
memiliki kekuatan untuk melihat dan dapat membedakan aneka bentuk.
Pandangan batin dan pandangan lahir sesungguhnya sama sama memiliki
kebenaran, tetapi berbeda derajatnya. Hati laksana pengendara sedang akal
laksana kendaraan. Buruknya hati atau pengendara akan lebih membahayakn
dari pada buruknya kendaraan itu sendiri. Namun demikian akal tetap
diperlukan untuk menyelesaikan problem-problem kehidupan. Akal yang
sehat akan mempengaruhi tindakan dan emosi seseorang juga kepribadiannya.

Akal terbagi menjadi dua yaitu akal dharuri dan akal muktasabah.dharuri
yaitu akal yang dapat mengetahui secara mudah. Akal muktasabah ialah akal
yang baru mengetahui dengan cara diusahakan, akal muktasabah terbagi dua
yaknu muktasabah duniawi ialah akal yang digunakan untuk menyelesaikan
masalah yang berhubungan dengan keduniawiyan. Akal muktasabah ukhrawi
yakni akal yang digunakan untuk mencapai akhirat.

Secara psikologis orang-orang yang memiliki jiwa yang bersih dan akal
yang sempurna maka ia akan mampu mengaktualisasikan diri dalam hidup
dan kehidupan, yakni melihat realitas secara cermat, tepat apa adanya dan
lebih efisien. Ia dapat menerima keadaan dirinya dan orang lain secara
professional, yakni mengakui segala kelebihan dan keterbatasan masing-
masing, dengan demikian ia akan bisa menerima masukan-masukan dari
orang lain secara alamiah tanpa paksaan.

3. Nafsani

Nafsu merupakan daya nafsani, ia memiliki dua kekuatan yaitu, al-


Ghadhabiyah dan al-Syahwaniyah. Al-Ghadhabiyah adalah suatu daya yang
berpotensi untuk menghindari segala hal yang membahayakan. Ghadab dalam
psikoanalisa disebut defenci (pertahanan, pembelaan dan penjagaan), yaitu
suatu tindakan untuk melindungi egonya sendiri terhadap kesalahan,
kecemasan, dan rasa malu atas perbuatannya sendiri, sedang syahwat dalam
psikologi disebut appetite yaitu hasrat atau keinginan atau hawa nafsu,
prinsipnya adalah kenikmatan. Apabila keinginannya tidak dipenuhi maka
terjadilah ketegangan, prinsip kerjanya adalah sama dengan prinsip kerja
binatang, baik binatang buas yang suka menyerang maupun binatang jinak
yang cenderung pada nafsu seksual.

Nafsu merupakan struktur di bawah sadar dalam kepribadian manusia,


apabila manusia didominasi oleh nafsunya, maka ia tidak akan dapat
bereksistensi baik di dunia maupun diakhirat. Karena itu apabila kepribadian
seseorang didomonasi oleh nafsu maka prinsip kerjanya adalah mengejar
kenikmatan dunia, tetapi apabila nafsu tersebut dibimbing oleh kalbu cahaya
ilahi maka ghadabnya akan berubah menjadi kemampuan yang tinggi
derajatnya.
Jika nafsu tersebut dikuasai oelh cahaya ilahi yang muncul adalah sifat-sifat
kebaikan, tetapi jika nafsu itu dikuasai oleh syaitan maka yang muncul adala
sifat-sifat syaitaniyah dan ini disebut hati yang sakit ,hati yang sakit bisa
sembu apabila ia kembali kepada cahaya ilahi tetapi akan lebih sakit apabila ia
dikuasai oleh nafsu syaitan.

Dalam ilmu jiwa orang yang terganggu mentalnya tidaklah mudah diukur
atau diperiksa dengan alat-alat kesehatan, untuk mengetahuinya biasanya
hanya bisa dilihat gejalanya seperti tindakannya, tingkah laku dan pikirannya,
seperti gelisah, iri hati, sedih yang tidak beralasan, hilangnya rasa
kepercayaan diri, pemarah, keras kepala, merosot kecedasannya, suka
memfitnah, mengganggu orang lain dan sebagainya.

Kesehatan mental juga berpengaruh terhadap kesehatan badan, akhir-akhir


ini dalam ilmu kedokteran ditemukan istilah psychomtic yaitu penyakit yang
disebabkan oleh mental, misalnya tekanan darah tinggi, tekanan darh rendah,
exceem, sesak nafas, dan sebagainya.

Obat dari berbagai penyakit mental dan yang disebabkan oleh mental adalah
berfungsinya system kerja yang harmonis antara kalbu, akal, dan nafsu.Dan
ini hanya bisa dilakukan melalui latihan-latihan kejiwaan secara terus
menerus.

Harmonisnya jiwa memungkinkan seseorang dapat berhubungan secara


harmonis ditengah masyarakat.Untuk itu diperlukan The Art of
Interction yaitu seni berhubungan yang baik menuju akhlak yang baik,
sebagai landasan utama kebahagian umat, akhlak yang baik juga merupakan
faktor utama dalam memperbaiki kepribadian seseorang.

Dalam ilmu tasawuf jiwa yang bersih dan jiwa kotor termasuk dalam nafsu.
Dan mereka membagi nafsu menjadi 3 bagian :
1. Nafsu amarah, ia senantiasa cenderung maksiat, baik maksiat lahir
maupun maksiat bathin. Orang yang didominasi oleh nafsu amarah maka
wujud kepribadiannya ialah tamak, serakah, keras kepala, angkuh, dan
perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji lainnya seperti free sexs, suka
berkelahi dan sebagainya.

2. Nafsu lawamah, ia sudah mendapat nur ilahi dan suka beribadah tetapi
masih sering melakukan maksiat bathin kemudian bersegera beristighfar dan
berusaha memperbaikinya. Orang yang berkepribadian lawamah maka
senantiasa akan mengevaluasi diri (self correction) untuk menjadi lebih baik.

3. Nafsu muthmainah, suatu kepribadian yang bersumber dari kalbu


manusia, di dalamnya selalu terhindar dari sifat-sifat yang tercela dan tumbuh
sifat-sifat yang terpuji dan selalu tenang. Kecenderungannya ialah beribadah,
mencintai sesama, bertambah tawakal, dan mencari ridho Allah dan bersifat
teosentris.Menurut Ibnu Kholdum bahwa ruh kalbu itu disinggahi oleh ruh
akal. Ruh akal ini substansinya mampu mengetahui apa saja di alam amar. Ia
menjadi tidak mampu mencapai pengetahuan disebabkan adanya hijab,
apabila hijab itu hilang maka ia akan mampu menemukan pengetahuan.
Bahkan sebagian ahli tasawuf yang lain membagi nafsu menjadi 7 bagian,
yaitu : nafsu amarah, nafsu lawamah, nafsu malhamah, nafsu muthmainah,
nafsu al rodhiyah, nafsu mardhiyah, dan nafsu kamilah.

E. Pergulatan Psikologis

Dalam kepribadian manusia terkandung sifat-sifat hewan dan sifat-sifat


malaikat yang terkadang timbul pergulatan antara dua aspek kepribadian manusia
tersebut. Adakalanya, manusia tertarik oleh kebutuhan dan syahwat tubuhnya, dan
adakalanya ia tertarik oleh kebutuhan spiritualnya.

Al-Qur’an mengisyaratkan pergulatan psikologis yang dialami oleh manusia,


yakni antara kecenderungan pada kesenangan-kesenangan jasmani dan
kecenderungan pada godaan-godaan kehidupan duniawi.Jadi, sangat alamiah bahwa
pembawaan manusia tersebut terkandung adanya pergulatan antara kebaikan dan
keburukan, antara keutamaan dan kehinaan, dan lain sebagainya.Untuk mengatasi
pergulatan antara aspek material dan aspek spiritual pada manusia tersebut
dibutuhkan solusi yang baik, yakni dengan menciptakan keselarasan di antara
keduanya.

Disamping itu, Al-Qur’an juga mengisyaratkan bahwa manusia berpotensi


positif dan negatif.Pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat daripada
potensi negatifnya.Hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat dibanding daya tarik
kebaikan.Potensi positif dan negatif manusia ini banyak diungkap oleh Al-Qur’an, di
antaranya ada dua ayat yang menyebutkan potensi positif manusia, yaitu Surah at-Tin
[95] ayat 4:

4. Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-


baiknya .

Dan Surah al-Isra’ [17] ayat 70:

Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut


mereka di daratan dan di lautan[862], kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan
kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk
yang Telah kami ciptakan. [862] Maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam
pengangkutan-pengangkutan di daratan dan di lautan untuk memperoleh
penghidupan.

Di samping itu, banyak juga ayat Al-Qur’an yang mencela manusia dan
memberikan cap negatif terhadap manusia. Di antaranya adalah manusia amat aniaya
serta mengingkari nikmat (Q.S. Ibrahim [14]: 34) manusia sangat banyak membantah
(Q.S. al-Kahfi [18]: 54), dan manusia bersifat keluh kesah lagi kikir (Q.S. al-Ma’arij
[70]: 19).
Sebenarnya, dua potensi manusia yang saling bertolak belakang ini
diakibatkan oleh perseteruan di antara tiga macam nafsu, yaitu nafsu ammarah bi as-
suu’ (jiwa yang selalu menyuruh kepada keburukan), lihat Surah Yusuf [12] ayat
53; nafsu lawwamah (jiwa yang amat mencela), lihat Surah al-Qiyamah [75] ayat 1-2;
dan nafsu muthma’innah (jiwa yang tenteram), lihat Surah al-Fajr [89] ayat 27-
30. Konsepsi dari ketiga nafsu tersebut merupakan beberapa kondisi yang berbeda
yang menjadi sifat suatu jiwa di tengah-tengah pergulatan psikologis antara aspek
material dan aspek spiritual.

F. Pola dan Ciri – Ciri Kepribadian Muslim

Kepribadian merupakan “keniscayaan”, suatu bagian dalam (interior) dari diri


kita yang masih perlu digali dan ditemukan agar sampai kepada keyakinan siapakah
diri kita yang sesungguhnya.Dalam Al-Qur’an Allah SWT telah menerangkan model
kepribadian manusia yang memiliki keistimewaan dibanding model kepribadian
lainnya.

Di antaranya adalah Surah al-Baqarah [2] ayat 1-20.Rangkaian ayat ini


menggambarkan tiga model kepribadian manusia, yakni kepribadian orang beriman,
kepribadian orang kafir, dan kepribadian orang munafik.

Berikut ini adalah sifat-sifat atau ciri-ciri dari masing-masing tipe kepribadian
berdasarkan apa yang dijelaskan dalam rangkaian ayat tersebut, adapun sesuai dengan
tema pada kali ini, fokus pada ciri atau sifat kepribadian muslim sesuai Al-Qur'an dan
Sunnah, yang merupakan dua pusaka Rasulullah Saw yang harus selalu dirujuk oleh
setiap muslim dalam segala aspek kehidupan. Satu dari sekian aspek kehidupan yang
amat penting adalah pembentukan dan pengembangan pribadi muslim. Pribadi
muslim yang dikehendaki oleh Al- Qur'an dan sunnah adalah pribadi yang shaleh,
pribadi yang sikap, ucapan dan tindakannya terwarnai oleh nilai-nilai yang datang
dari Allah Swt. Ada sepuluh profil atau ciri khas yang harus lekat pada pribadi
muslim, yaitu:
1. Salimul Aqidah Aqidah yang bersih (salimul aqidah) merupakan sesuatu
yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan
memiliki ikatan yang kuat kepada Allah Swt dan dengan ikatan yang kuat itu dia
tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan- ketentuan-Nya. Dengan kebersihan
dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya
kepada Allah sebagaimana firman-Nya yang artinya:

“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semua bagi Allah


Tuhan semesta alam” (QS Al-An’am [6] :162).

2. Shahihul ‘Ibadah Ibadah yang benar (shahihul ibadah) merupakan salah


satu perintah Rasul Saw yang penting, dalam satu haditsnya; beliau menyatakan:

“shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.” Dari ungkapan ini
maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah
merujuk kepada sunnah Rasul Saw yang berarti tidak boleh ada unsur penambahan
atau pengurangan.

3. Matinul Khuluq Akhlak yang kokoh (matinul khuluq) atau akhlak yang
mulia merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik
dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk-makhluk-Nya.

4. Qowiyyul Jismi Kekuatan jasmani (qowiyyul jismi) merupakan salah


satu sisi pribadi muslim yang harus ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim
memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal
dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam
Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat atau kuat, apalagi perang di
jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya. Oleh karena itu, kesehatan
jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh
lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai
sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi, dan jangan sampai seorang
muslim sakit-sakitan. Karena kekuatan jasmani juga termasuk yang penting, maka
Rasulullah Saw bersabda yang artinya:

“Mu'min yang kuat lebih aku cintai daripada mu'min yang lemah” (HR.
Muslim).

5. Mutsaqaful Fikri Intelek dalam berpikir (mutsaqqoful fikri) merupakan


salah satu sisi pribadi muslim yang penting. Karena itu salah satu sifat Rasul adalah
fatonah (cerdas) dan Al-Qur'an banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang
manusia untuk berpikir, dalam firman Allah SWT:

“Mereka bertanya kepadamu tentang, khamar dan judi. Katakanlah: 'pada


keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya”.

Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah:

“Yang lebih dari keperluan.'Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya


kepadamu supaya kamu berpikir” (QS 2:219).

6. Mujahadatun Linafsihi Berjuang melawan hawa nafsu (mujahadatun


linafsihi) merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang muslim,
karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk.
Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat
menuntut adanya kesungguhan dan kesungguhan itu akan ada manakala seseorang
berjuang dalam melawan hawa nafsu. Oleh karena itu hawa nafsu yang ada pada
setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam, Rasulullah Saw
bersabda yang artinya:

“Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya


mengikuti apa yang aku bawa (ajaran islam)” (HR. Hakim).

7. Haritsun 'ala Waqtihi Pandai menjaga waktu (harishun ala waqtihi)


merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu itu sendiri mendapat
perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt banyak bersumpah
di dalam Al-Qur'an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal
asri, wallaili dan sebagainya. Allah Swt memberikan waktu kepada manusia dalam
jumlah yang sama setiap, Yakni 24 jam sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu,
ada manusia yang beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat
sebuah semboyan yang menyatakan:

“Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan waktu”.

Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali
lagi. Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk memenej waktunya dengan
baik, sehingga waktu dapat berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-
sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi Saw adalah:

“memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni


waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, senggang
sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin. “

8. Munazhzhamun fi Syu'unihi Teratur dalam suatu urusan (munzhzhamun


fi syuunihi) termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al-Qur'an
maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam, baik yang terkait dengan
masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan dilaksanakan dengan
baik.Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama, maka diharuskan
bekerjasama dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepadanya.

9. Qodirun 'alal Kasbi Memiliki kemampuan usaha sendiri atau yang juga
disebut dengan mandiri (qodirun alal kasbi) merupakan ciri lain yang harus ada pada
seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan.Mempertahankan
kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang
memiliki kemandirian, terutama dari segi ekonomi.

10. Naafi'un Lighoirihi Bermanfaat bagi orang lain (nafi'un lighoirihi)


merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang dimaksud tentu saja
manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan
keberadaannya karena bermanfaat besar. Ini berarti setiap muslim itu harus selalu
berpikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat
dalam hal-hal tertentu sehingga jangan sampai seorang muslim itu tidak bisa
mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. HR. Bukhari Muslim:
"Khoirunnas Anfa 'uhum linnas", yang artinya:

“ sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya”.[41]

Gambaran manusia mukmin dengan segenap ciri yang terdapat dalam Al-
Qur’an ini merupakan gambaran manusia paripurna (insan kamil) dalam kehidupan
ini, dalam batas yang mungkin dicapai oleh manusia. Allah menghendaki kita untuk
dapat berusaha mewujudkannya dalam diri kita, Rasulullah saw telah membina
generasi pertama kaum mukminin atas dasar ciri-ciri tersebut. Beliau berhasil
mengubah kepribadian mereka kaum jahilin secara total serta membentuk mereka
sebagai mukmin sejati yang mampu mengubah wajah sejarah dengan kekuatan
pribadi dan kemuliaan akhlak mereka. Singkatnya, kepribadian orang beriman dapat
menjadi teladan bagi orang lain.

G. METODE MEMPERKUAT SYAKHSHIYAH ISLAMIYAH


Memang terlalu sederhana jika kita hanya bicara soal ‘ada atau tidaknya’
syakhshiyah Islamiyah pada seseorang. Yang lebih penting bagaimana membentuk
syakhshiyah Islamiyah yang kuat dan tangguh, atau pribadi muslim yang cerdik,
cekatan, tawadhu, istiqomah dan tawakal. Maka syakhshiyah yang terbentuk, jangan
dibiarkan apa adanya saja. Jangan disia-siakan apalagi dihancurkan. Pribadi harus
diperkuat, ditumbuhkan dan dikembangkan.
Caranya, dengan meningkatkan kualitas aqliyah dan nafsiyah Islamiyah.
Kualitas aqliyah Islamiyah ditingkatkan dengan menambah perbendaharaan khazanah
keilmuan Islam (tsaqofahIslamiyah). Sedangkan kualitas nafsiyah Islamiyah
ditingkatkan dengan melatih diri melakukan ketaatan, menjalankan ibadah-ibadah
yang diperintahkan Allah SWT. Dengan demikian syakhshiyah Islamiyah akan
meningkat terus-menerus, seiring dengan bergulirnya waktu. Semakin tua usia,
semakin meningkat kualitas pribadi yang dimiliki. Pemikiran Islamnya bertambah
cemerlang, jiwanya semakin mantap, dan ia semakin dekat dengan Allah SWT.
Karena itu, Islam memerintahkan setiap muslim agar memiliki semangat
mencari ilmu, kapan dan di manapun. Dengan perbendaharaan ilmu-ilmu Islam yang
cukup, diharapkan ia akan mampu menangkal semua bentuk pemikiran yang merusak
dan bertentangan dengan Islam. Selembut apapun pemikiran yang merusak itu, akan
mampu ia tangkal. Juga dengan itu diharapkan ia akan mampu mengembangkan
keilmuan Islam. Atau, jika mungkin, ia akan mencapai tingkat mujahid atau
mujaddid.
Untuk memperkuat nafsiyah Islamiyah, Islam memerintahkan setiap muslim
mengerjakan amalan-amalan fardhu dan sejauh mungkin menghindari hal yang
haram. Juga Islam menganjurkan setiap muslim agar selalu menyuburkan amalan-
amalan sunnah, menjauhi hal-hal yang makruh dan dengan sikap wara’
meninggalkan yang subhat. Jika di kerjakan semua itu, nafsiyah menjadi kuat dan
mampu menolak setiap kecenderungan yang bejat dan bertentangan dengan Islam.
Allah SWT berfirman dalam sebuah hadits Qudsi:
“… dan tidaklah bertaqarrub (beramal) seorang hamba-Ku dengan seseuatu
yang lebih Aku sukai seperti bila ia melakukan amalan fardhu yang Aku perintahkan
atasnya, kemudian hamba-Ku senantiasa bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Ku
dengan amalan-amalan sunnah, sehingga aku mencintainya….” (HR. Bukhari dari
Abu Hurairah)
Dengan demikian, telah jelas bahwa pembentukan syakhshiyah Islamiyah
dimulai dengan penetapan aqidah Islam dalam diri seseorang, lalu difungsikan
sebagai tolok ukur (miqyas) dalam setiap aktivitas berfikir dan pemenuhan
kebutuhannya. Kesalahan pada manusia dapat saja terjadi. Suatu saat pemikirannya
dapat terlepas dari aqidah, demikian juga kecenderungannya. Ia mungkin lalai, atau ia
tidak tahu tentang soal itu. Apakah benar atau salah, halal atau haram.
H. UNSUR – UNSUR PELEMAH SYAKHSHIYAH ISLAMIYAH
Seorang muslim adalah manusia biasa, ia bukan malaikat dan bukan iblis.
Karena itu wajar jika kadang-kadang melakukan perbuatan haram, atau malas
mengerjakan perintah-perintah Allah SWT. Sekali, dua kali atau beberapa kali bisa
saja itu terjadi pada dirinya, mungkin ia lalai. Bisa juga ia tidak tahu, bahwa
perbuatan itu bertentangan dengan Islam dan sifat-sifat mulia seorang pribadi muslim.
Atau mungkin setan telah merasuk dalam dirinya dan nafsu telah mencengkramnya,
sehingga ia terjerumus dalam perbuatan dosa. Ia melakukan itu semua, sementara
aqidah Islam bersemayam di dalam dirinya.
Ada yang menganggap melakukan perbuatan dosa berarti telah mengeluarkan
seseorang dari Islam. Melakukan perbuatan yang berlawanan dengan sifat seorang
muslim, berarti menghapus syakhshiyah Islamiyah pada diri seorang muslim.
Itu tidak benar. Tingkah laku seorang muslim yang bertentangan dengan
Islam, tidak otomatis menghilangkan syakhshiyahnya. Apalagi mengeluarkannya dari
Islam. Tapi secara berangsur-angsur perbuatan itu akan menggerogoti
syakhshiyahnya. Jika hal itu terus dilakukannya, maka syakhshiyahnya makin
melemah.
Selama aqidah Islam masih ada dalam dirinya maka ia tetap seorang muslim,
walaupun perbuatan-perbuatan maksiat tak henti-hentinya ia lakukan. Dan selama
aqidahnya itu digunakan sebagai tolok ukur bagi pemikiran dan perbuatannya, maka
dapat dikatakan bahwa ia memiliki syakhshiyah Islamiyah selemah apapun. Seorang
muslim tidak akan kehilangan syakhshiyahnya, selama ia belum keluar dari Islam. Ia
tidak akan keluar dari Islam, Selama aqidah Islam masih dipeluknya. Ia tidak akan
kehilangan syakhshiyahnya, kecuali jika ia hanya membiarkan aqidahnya
bersemayam di hati, tidak difungsikannya sebagi tolok ukur bagi pemikiran dan
kecenderungannya. Atau ia menggunakan aqidah dan tata nilai lain –selain Islam-.
Karena itu bisa saja terjadi ada seorang muslim, tetapi tidak memiliki syakhshiyah
Islamiyah.
Hanya dengan pengakuan aqidah islam, belum tentu memiliki syakhshiyah
Islamiyah, sebab ikatan aqidah dengan pemikiran manusia bukan bersifat mekanis
yang secara otomatis bergerak bersama. Tapi antara keduanya memiliki
kecenderungan memisah dan bertemu. Karenanya jangan heran, apabila ada orang-
orang yang mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan aqidahnya. Yang penting
tatkala ia sadar, yang ia lakukan bertentangan dengan aqidahnya, ia segera bertobat
kembali ke jalan yang benar.
Jadi, seseorang yang melakukan penyelewengan terhadap perintah dan
larangan Allah SWT, tidak berarti ia kehilangan aqidahnya. Hanya saja ia telah
merusak ikatan aqidah dengan amal perbuatannya. Ia dipandang sebagai orang yang
bermaksiyat kepada Allah SWT. Di hari kiamat nanti, ia akan disiksa karena
melakukan perbuatan itu.
Penjelasan itu tidak berarti membuka peluang –apalagi mendorong- seorang
muslim untuk mengkhianati Allah SWT dan Rasul-Nya. Seorang muslim tidak boleh
melakukan itu. Sebab larangan dalam Al Qur’an sudah teramat jelas. Dan siksa di
akhirat teramat pedih. Allah SWT berfirman:

‫ياايها الذين امنوا ال تخونوا هللا والرسول وتخونوا امنتكم وانتم تعلمون‬

Artinya :“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah


dan Rasul-Nya dan jangan pula mengkhianati amanat-amanat (yang dilimpahkan)
bagimu padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Anfal: 27)
Untuk dapat memiliki syakhshiyah Islamiyah, seorang muslim bukan berarti
harus mengembangkan sifat-sifat yang berlebihan di luar petunjuk Syari’at. Seorang
muslim adalah manusia. Dan syakhshiyah Islamiyah itu ada pada manusia, bukan
pada malaikat.Jika seorang terjerumus dalam dosa, tidak berarti dia telah mengganti
syakhshiyah-nya dengan selain Islam. Tapi jika melepas aqidah Islamnya, maka
lepaslah syakhshiyahnya. Tiada gunanya ia melakukan amal perbuatan apa pun.
Karena itu, yang terpenting adalah soal keselamatan aqidah Islam. lalu dengan
aqidahnya itu ditetapkannya pemikiran dan kecenderungan dirinya. Ingatlah, saat ini
terlalu banyak hal yang mengancam keselamatan aqidah. Faham-faham sekularisme,
penerimaan terhadap sebagian yang lain, pemelukan faham kebebasan gaya Barat.
Jika seorang telah kufur, maka tidak berguna seluruh amal kebaikannya. Amalannya
laksana debu yang dihambur-hamburkannya. Dia akan dijebloskannya ke dalam
neraka.

A. TELADAM SYAKHSHIYAH ISLAMIYAH


Kiranya tak perlu disangsikan lagi perihal kepribadian para sahabat dan
tabi’in. Mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk melaksanakan setiap anjuran
Rasulullah. Tak heran bila kita dibuat takjub oleh pengalaman mereka yang demikian
konsisten, seperti batu karang di tengah gelombang kekufuran yang dahsyat
menimpa. Dari perilaku sahabat-sahabat itu, kita pun bisa menilai betapa suksesnya
Rasulullah membina dan menempa pribadi-pribadi mereka. Keberhasilan itu sampai
kini tak tertandingi hingga semerbak harumnya masih dapat kita rasakan setelah
empat belas abad berlalu dari masa beliau.
Ciri khas syakhshiyah pada sahabat dan tabi’in berbeda-beda sesuai dengan
tingkatan ilmu, aqliyah, kemampuan hafalan Al-Quran dan hadits Rasul. Abu
Ubaidah bin Zarrah adalah salah seorang sahabat yang demikian teguh keimanannya.
Beliau pantas menduduki jabatan khalifah, sehingga Abu Bakar sendiri pernah
mencalonkannya sebagai khalifah dan menunjuknya ketika terjadi musyawarah di
Tsaqifah Bani Sa’idah. Hal ini mengingat keahlian dan keamanahannya. Abu
Ubaidah termasuk salah seorang sahabat yang menguasai dan hafal Al-Quran
seluruhnya. Beliau pun mempunyai sifat amanah.
Selain itu beliau memiliki sifat terpuji, lapang dada dan tawadhu’. Sangat
tepatlah bila Abu Bakar mengangkatnya sebagai pengelola Baitul Maal dan pada saat
yang lain beliau dipercaya sebagai komandan pasukan untuk membebaskan Syam.
Di kalangan sahabat terkenal pula seorang dermawan bernama Thalhah bin
Zubeir, yang oleh Rasulullah pernah dijuluki Thalhah bin Khoir (Thalhah yang
baik) dalam perang Uhud. Karena kedermawanannya ia juga mendapat gelar-gelar
lain yang serupa, semisal Thalhah Fayyadl (Thalhah yang pemurah) pada saat
perang Dzul ‘Aisyiroh, dan Thalhah Al Juud (Thalhah yang pemurah) dalam perang
Khaibar. Beliau sering menyembelih unta untuk dibagikan kepada rakyat dan selalu
menyediakan air untuk kepentingan umum. Beliau tak pernah lupa menyediakan
kebutuhan orang faqir yang ada di sekeliling kaumnya (bani Tim) dan selalu melunasi
hutang-hutang mereka.
Beliau tidak pernah absen dalam setiap peperangan sejak masa Nabi
Muhammad saw hingga masa Khalifah Utsman bin Affan. Demikian tinggi semangat
jihadnya dengan lapang dada beliau menjual rumahnya untuk kepentingan jihad fi
sabilillah. Rupanya andil yang tidak kecil inilah yang menyebabkan Zubeir bin
Awwam termasuk salah satu dari enam orang yang berhak menduduki jabatan
Khalifah menjelang berakhirnya masa Umar bin Khathab.
Figur lain di antara sahabat yang ditunjuk Umar sebagai calon Khalifah adalah
Abdurrahman bin Auf. Beliau adalah seorang dermawan yang memberikan sebagian
besar hartanya untuk kepentingan jihad fi sabilillah.
Selain itu, diantara yang layak menduduki jabatan Khalifah dan komandan
pasukan adalah Khalid bin Said bin Ash. Beliau diangkat oleh Rasul sebagai Wali di
San’a (Yaman), kemudian di masa Abu Bakar beliau diangkat sebagai komandan
pasukan untuk membebaskan Syam. Sedangkan saudaranya yang bernama Abban,
pada tahun 9 Hijriyah diangkat oleh Rasulullah sebagai Wali di Bahrain.
Di antara sahabat yang mempunyai keahlian di bidang pemerintahan dan
perancangan tata kota adalah Utbah bin Hazwan. Beliau diangkat oleh Umar bin
Khaththab sebagai Wali sekaligus menata kota Bashroh. Ada pula sahabat terkenal
ahli pidato adalah Tsabit bin Qois, Abdullah bin Rawabah, Hasan bin Tsabit dan
Ka’ab bin Malik. Dan tidak ketinggalan, sahabat Utsman bin Affan yang terkenal
dengan sifat pemalunya.
Masih ada empat orang sahabat yang terkenal kecerdikannya, yaitu Muawiyah
bin Abu Sufyan yang mempunyai jiwa tenang dan lapang dada, Amr bin Ash yang
ahli memecahkan masalah pelik dan cepat berfikirnya, Mughiroh bin Syu’bah yang
mampu memecahkan masalah besar dan genting, serta Ziyad yang ahli dalam
masalah kecil maupun besar.
Selain itu di masa sahabat terdapat seorang sahabat yang mampu berbicara
dalam seratus bahasa. Ini adalah kemampuan yang tak tertandingi oleh bangsa dan
ummat yang lain hingga kini. Beliau adalah Abdullah bin Zubeir. Adapun sahabat
Zaid bin Tsabit mempunyai keahlian dalam bidang qadla/kehakiman dan fatwa.
Sahabat yang ahli dalam pengkajian kitab Taurat adalah Abdullah bin Amr bin Ash
dan Abil Jalad Al-Jauli. Di masa sahabat, ilmu astronomi telah terkenal. Sahabat yang
mashur di bidang ini adalah Rabi’ bin Ziyad. Pada masa tabi’in tersebutlah Khalid
bin Yazid bin Muawiyah yang ahli dalam berbagai cabang ilmu di kalangan Quraisy.
“Beliau memiliki keahlian dalam teori kimia dan kedokteran” Beliau pun banyak
menerjemahkan literatur mengenai Astronomi, kedokteran dan Kimia. Dan masih
banyak lagi sahabat yang memiliki kemampuan dan keahlian dalam berbagai disiplin
ilmu.
BAB III :PENUTUP
Kesimpulan

Kepribadian atau watak, ciri khas atau karakter seseorang yang secara eksis
dan terus menerus dipertahankan, meskipun demikian kepribadian bisa berubah ubah
sesuai dengan faktor yang mempengaruhi.

Dalam Islam kepribadian Muslim identik dengan akhlak Islam, ia merupakan


perpaduan harmonis antara system kalbu, akal dan nafsu yang menimbulkan tingkah
laku dan merupakan ciri khas umat Islam. Karena itu ciri khas kepribadian Muslim
ialah yang selalu menjaga hatinya untuk taat kepada Allah sehingga senantiasa
mendapat sinarnya dan menjauhi segala larangannya yang merupakan kotoran-
kotoran manusia.

Struktur kepribadian Muslim meliputi tiga substansi, yaitu jasad atau jasmani,
ruh atau ruhani dan nafsani atau jiwa, jiwa itu sendiri terdiri dari kalbu, akal dan
nafsu.Sedangkan nafsu terdiri dari nafsu amarah, lawamah dan muthmainah.
Semuanya ini merupakan struktur kepribadian Islam, yang jika system kerjanya
bagus semua akan membentuk kepribadian kamil atau manusia paripurna yang
tenang, selalu berbuat kebaikan, tawakal dan terhindar dari sifat sifat tercela.

Dan ciri – ciri kepribadian muslim ada 10: Aqidah yang bersih, Ibadah yang
benar, Akhlak yang kokoh, Kekuatan jasmani, Intelek dalam berpikir, Berjuang
melawan hawa nafsu, Pandai menjaga waktu, Teratur dalam suatu urusan, Memiliki
kemampuan usaha sendiri atau yang juga disebut dengan mandiri dan Bermanfaat
bagi orang lain.

Tetapi kenyataanya sering ada gangguan-gangguan kejiwaan yang dapat


menurunkan derajat kepribadianya atau kesehatan mentalnya. Untuk
menyembuhkannya harus melalui latihan latihan mental secara terus menerus seperti
sabar ,taubat , tawakal, ridha dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA

Afifi, AE, Filsafat Mistik Ibnu Arabi, terj Syahrir Mawi dan Nandi Rahman, judul: A
Mystical Philosophy of Muhyidin Ibnu Arabi, Jakarta, Media Pratama, 1995

Al Jauriah, Ibnu Qoyyim, Keajaiban Hati, Jakarta, Pustaka Ahzam, 2000

Al Gazali, Imam, Ihya Ulumuddin, Bab Keajaiban Hati, terj. H. Ismail Yakub,
Jakarta, Faisan, 1984

Al Gazali, Muhammad, Abu Hamid, Ihya Ulumu al Din, Beirut, Dar a Fikr, 1980

Al Kindi, Al Qaul fi an Nafs dalam Risail al Kindi al Falasifat, TP, TT Ali Rajab,
Mansur, Ta’am Mulat Fi Falsafah al Akhlaq, Mesir, Maktabah al Anjalu al
Ibn Kholdum, Abd Rahman, Muqaddimah min Kitab al Ibar wa Diwan al
Mubtada’ wa al Khabar fi Ayyam al Arab wa al Ajam wa al Bar bar, Beirut,
Dar al Fikr, Mishroyah, 1961

An Nabhani, Syekh Taqiyuddin, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, jilid I, TT Asyim


Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Telaah atas Pemikiran
Psikologi Humanistik Abraham Maslaw, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002

Bastaman, Djumhana, Hanna, Integrasi Psikologi dengan Islam, Menuju Psikologi


Islami, Yogyakarta , Pustaka Pelajar, 1997

Bukhary, Imam, Shahih al Bukhary Juz I, Semarang, Thaha Putra, TT De Bali


Tj, The History of The Philosophy in Islam, New York, Dowh Publication
Inc, 1967

Fauzi, Ahmad, Drs, H, Psikologi Umum, Bandung, Pustaka Setia, 1999

Ibn Abd Allah Muhammad Ibn Ismail Ibn al Mughirah Ibn Bardhahal al ya’fi al
Intan, Ciri – Ciri Pribadi Muslim, dalam http://kmmtp.lifeme.net/t45-ciri-ciri-
pribadi-muslim diakses pada: 19 Nov 2018, Pkl. 22.54 wib
Maisyaroh, Siti, Dalam pengertian kepribadian muslim, http://id.shvoong.com/social-
sciences/education/2191444-pengertian-kepribadian-muslim/ dikases pada: 19
Nov 2018. Pkl. 21.13 WIB

Maslaw, Abraham, Motivasi dan Kepribadian, terj Nurul Iman jilid I, Bandung,
Pustaka Binaan Pressindo, 1993 Mujib, Abdul, M.Ag, Pemikiran Pendidikan
Islam, Kajian Filasofik dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Bandung,
Tri Genda Karya, 1993

Mujib, Abdul, M.Ag dan Yusuf Mudzakir, M.Si, Nuansa Nuansa Psikologi Islam,
Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001

Najali, Utsman, Muhammad Dr., Jiwa dalam Pandangan Para Filsafat Muslim, terj.
Gari Saloom, S.Psi, Bandung, 2002

Said Basil, Victor, Manhaj al Babs an al Ma’rifah inda al Gazali, Beirut, Dar al
Kutub, TT Sayyid Mujtaba Musafi Hari, Psikologi Islam, Bandung, Pustaka
Hidayah, 1990

Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004

Zakiah Derajat Dr. Kesehatan Mental, Jakarta, Gunung Agung , 1970

Zidadat, Maan, dkk, al Mansu’at al Falasafiyah al Arabiyah, Arab, Imam al Araby,


1986

Вам также может понравиться