Вы находитесь на странице: 1из 34

TAX PLANNING PPH BADAN

Dosen Pengampu:
Saprudin, SE, M.Si, Ak, CA

Disusun Oleh:

Patricia Devina C1C115043


Putri Noorkhaliza C1C115108
Meditia Monica Putri C1C115088

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2018
Tax Planning PPH Badan
Pajak penghasilan adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan
dikenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan. Dalam menetapkan penghasilan kena pajak
harus dihitung dulu berapa penghasilan bruto yang menjadi objek pajak, kemudian dikurangi
dengan pengeluaran-pengeluaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible
expenses) tersebut. Selisih atas keduanya (penghasilan bruto – biaya deductible) adalah laba kena
pajak (net taxable income/profit) yang menjadi objek pengenaan pajak penghasilan. Tentu saja
terdapat perbedaan antara perhitungan pajak versi PSAK dengan versi fiskal, tetapi perbedaan
tersebut tidak perlu dipertentangkan karena masing-masing memiliki tujuan penggunaan yang
berbeda, meski pengukuran profitnya diperoleh dari sumber data yang sama, yakni laporan
keuangan komersial. Sebagai contoh laporan keuangan komersial yang telah diaudit oleh Kanot
Akuntan Publik Terdaftar (Registered Public Accountant) disyaratkan secara formal harus
dipenuhi pada saat perusahaan mengajukan permohonan kredit dari bank. Tanpa dokumen
tersebut permohonan akan ditolak oleh bank. Disisi lain laporan keuangan fiskal sebagai produk
akuntansi pajak secara khusus digunakan untuk membuat SPT tahunan badan bersangkutan.
Bagaimanapun juga sumber data atau informasi tersebut tidak bisa terlepas dari kewajiban wajib
pajak badan melakukan pembukuan atau perencanaan sesuai dengan ketentuan pasal 28 UU KUP
No. 28 Tahun 2007, untuk dapat menghitung penghasilan kena pajak secara benar dan akurat.

Sehubungan dengan hal itu, setiap wajib pajak dituntut untuk mengetahui dan memahami
dengan sebaik-baiknya sebab-sebab terjadinya perbedaan antara perlakuan akuntansi dan pajak.
Pengetahuan semacam itu sangat penting diketahui oleh wajib pajak agar dapat melakukan tax
planning dengan baik, dalam koridor, tidak menabrak peraturan perpajakan.

Pada perinsipnya ada beberapa elemen dasar yang menjadi penyebab perbedaan, seperti
berikut ini:

1. Pendapatan/ penghasilan – ada yang merupakan objek pajak dan bukan objek pajak
2. Penghasilan – ada yang merupakan objek pajak yang dikenakan PPH Final dan tidak
3. Biaya/pengeluaran – ada yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible
expenses) dan ada yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (non deductible
expenses)
4. Pembukuan/ pencatatan – apakah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan perpajakan diperbolehkan
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan
neto dan wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas, sehingga diperbolehkan menggunakan pencatatan.
5. Pembukuan – diselenggarakan dengan prinsip taat asas dengan pilihan stelsel akrual atau
stelsel kas.

Menyusun perencanaan pajak PPh badan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri tanpa
memfaktorkan jenis-jenis pajak lainnya, karena perhitungan PPh badan memiliki keterkaitan atau
interdepedensi dengan PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh pasal 23/26, PPh Final dan juga PPN.

Contoh:

 Total omzet penjualan dalam SPT PPh Badan harus sama dengan total omzet penjualan
yang ada dalam akumulasi SPT masa PPN bulan terakhir (masa pajak) pada akhir tahun
pajak. Jika terjadi perbedaan, perlu dilakukan equalisasi atau rekonsiliasi.
 Ketika perusahaan memilih apakah menerapkan metode net atau gross up pada saat
menghitung PPh pasal 21, keputusan itu kan berpengaruh pada besarnya PPh badan.
 Pengeluaran biaya gaji, upah, honorarium, dan sebagainya yang menyangkut kesejahtraan
karyawan yang tercantum dalam SPT PPh Badan yang bersangkutan harus sama dengan
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh pasal 21 berupa penghasilan bruto yang dibayarkan
kepada pegawai dan penerimaan penghasilan lainnya. Jika terjadi perbedaan, perlu
dilakukan equalisasi atau rekonsiliasi.
 Pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan kepada pegawai adalah non deductible
expenses, tidak bisa diperlakukan sebagai biaya fiskal sesuai dengan pasal 9 ayat (1)
huruf e UU PPh, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan di daerah tertentu dan
yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Peraturan Mentri
Keuangan ( PMK. No 82/PMK.03/2011)
 Didalam laporan keuangan/neraca terdapat PPh Pasal 22/23/26 yang menjadi dasar
pengitungan PPh Badan yang terutang. Bila pendapatan perusahaan sudah dikenakan PPh
final, tidak dihitung lagi sebagai penghasilan kena pajak yang terutang PPh badan.
Contohnya adalah pendapatan bunga deposito bank.

Laba Fiskal vs Laba Komersial

Laporan keuangan komersial yang berupa neraca dan laba rugi disusun berdasarkan
prinsip akuntansi yang lazim diterima dalam prektik. Sejak tahun 1995 prinsip akuntansi yang
berlaku di Indonesia adalah Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Dari laporan keuangan
komersial tersebut dapat dihitung laba komersial atau penghasilan secara akuntansi. Laba
komersial in lah yang menjadi ukuran yang digunakan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan/stakeholders, para investor, atau calon investor, para kreditur termasuk
perbankan, untuk kepentingan pasar modal, Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dan
kepentingan bisnis lainnya.

Laporan keuangan komersial dapat diubah menjadi laporan keuangan fiskal dengan
melakukan koreksi seperlunya atau penyesuaian melalui rekonsiliasi antara standat akuntansi dan
ketentuan perpajakan. Dengan kata lain, laporan yang disusun khusus untuk kepentingan
perpajakan dengan mengindahkan semua peraturan perpajakan disebut dengan laporan keuangan
fiskal. Laporan keuangan fiskal disusun tanpa harus mengubah database pembukuan atau tidak
perlu dibuat suatu sistem akuntansi khusus untuk keperluan perpajakan.

Pada dasarnya yang membedakan laporan keuangan fiskal dengan laporan keuangan
komersail adalah bahwa penyusunan laporan keuangan fiskal didasarkan pada penerapan
mekanisme atau prinsip taxable dan deductible (taxability-deductibility mechanism).

Prinsip taxable (dapat dipajaki) dan deductible (dapat dikurangi) merupakan prinsip yang
lazim diterapkan dalam perencanaan pajak, yang pada umumnya mengubah penghasilan yang
merupakan objek pajak (taxable) menjadi penghasilan yang tidak merupakan objek pajak (non
taxable), serta mengubah biaya yang tidak boleh dikurangkan (non deductible) menjadi biaya
yang boleh dikurangkan (deductible), atau sebaliknya, didasarkan pada ketentuan perpajakan,
dengan konsekuensi terjadinya perubahan pajak terutang akibat pengubahan tersebut.

Implementasi dari konsep taxability deductibility juga berarti bahwa biaya-biaya baru
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dari pihak pembayar apabila pihak penerima uang atas
biaya perusahaan tersebut melaporkannya sebagai penghasilan dan penghasilan tersebut
dikenakan pajak.

Penghitungan laba komersial mengacu pada konsep matching of cost with revenue
(pengaitan biaya dan pendapatan). Konsep ini melibatkan pengakuan penghasilan dan beban
secara gabungan atau bersamaan yang dihasilkan secara langsung dan bersama-sama dari
peristiwa lain yang sama. Apabila pengakuan suatu pendapatan ditunda, maka pembebanan
biayanya juga akan ditunda sampai saat diakuinya pendapatan tersebut.

Laba kena pajak atau penghasilan kena pajak merupakan laba yang dihutung berdasarkan
ketentuan perpajakan. Prinsip taxability deductibility yang dianut dalam melakukan
penghitungan penghasilan kena pajak dengan benar dan tepat, pada dasarnya adalah penjabaran
dari ketentuan perpajakan yang ditetapkan pada pasal 4 ayat 1 dan 2 (penghasilan) dan pasal 6
ayat 1 (biaya deductible), serta pasal 9 ayat 1 (biaya non deductible) UU No 7 tahun 1983 yang
diubah terakhir kali dengan UU No.36 tahun 2008 mengenai pajak penghasilan beserta peraturan
pelaksanaannya, yakni:

1. Penghasilan yang menjadi objek (Taxable Income)


Penghasilan yang menjadi objek diatur dalam pasal 4 ayat 1 UU Pajak
penghasilan No. 36 tahun 2008.
Penghasilan yang menjadi objek pajak adalah setiap tambahan kemampuan
ekonomi yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan
dengan nama dan dalam bentuk apa pun termasuk:
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh, termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi,
uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya.
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan.
c. Laba usaha
d. Karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk:
1) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal
2) Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya.
3) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam benuk apapun.
4) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan badan sosial termasuk yayasan,
koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuanya diukur lebih lanjut dengan Peraturan Mentri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan
diantara pihak-pihak yang bersangkutan.
5) Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan
e. Penerimaan kembali ppembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak
f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang
g. Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
h. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aset
n. Asuransi
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak
q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah
r. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan
s. Surplus bank indonesia

2. Penghasilan Yang Pajaknya Dikenakan PPh Bersifat Final


Penghasilan yang pajaknya dikenakan PPh bersifat final diatur dalam pasal 4 ayat 2 UU
PPh No. 36 tahun 2008. Penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final adalah sebagai
berikut:
a. Penghasilan berupa bunga deposito an tabungan lain, bunga obligasi dan surat utang
negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi
orang pribadi
b. Hadiah undian
c. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura
d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta beryupa tanah dan atau bengunan, usaha
jasa konstruksi, usaha real estate dan persewaan tanah dan atau bangunan dan
penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan
pemerintah.

3. Penghasilan yang bukan objek pajak (Non taxable income)


Penghasilan yang bukan objek pajak diatur dalam Pasal 4 PPh No. 36 Tahun 2008,
sebagai berikut :
a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah dan yang diterima
oleh penerima zakat yang berhak, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
peraturan pemerintah.
b. Harta hibah yang diterima oleh keluarga serdarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara
pihak-pihak yang bersangkutan
c. Warisan.
d. Harta, termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan
modal.
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah.
Kecuali yang diberikan oleh bukan wajib pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak
secara final atau wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus
(deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
f. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi beasiswa
g. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
wajib pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik
daerah, dan pernyataan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat
1) Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.
2) Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan
dividen paling rendah 25 % (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang
disetor
h. luran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai
i. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud
pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan
Mentri Keuangan
j. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif
k. Dihapus
l. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan, modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan
di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1) Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan
dalam sektor usaha yang diatur denganatau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan
2) Sahamnya tidak diperdaganykan di bursa efek Indonesia.
m. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
n. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan. yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk
sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan atau penelitian dan pengembangan,
dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih
tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
o. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
kepada wajib pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

4. Biaya-biaya yang boleh dikurangkan (Deductible Expenses)


Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam Pasal 5 UU PPh No.
36 Tahur, 2008.
Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan, termasuk:
a. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha,
antara lain:
1) Biaya pembelian bahan
2) berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus,
gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang.
3) Bunga, sewa, dan royalti
4) Biaya perjalanan
5) Biaya pengolahan limbah
6) Premi asuransi
7) Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan
8) Biaya administrasi
9) Pajak, kecuali Pajak Penghasilan.
b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal
11A
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih.dan memelihara
penghasilan
e. Kerugian selisih kurs mata uang asing
f. penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia
g. Biaya beasiswa, mugang, dan pelatihan
h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapar ditagih dengan syarat:
1) Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial.
2) Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak
3) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada pengadilan negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara;atau adanya perjanjian tertulis
mengenai penghapusan piutang atau pembebasan antara kreditur dan debitur yang
bersangkutan; atau celah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus;atau
adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah
utang tertentu
4) Syarat, sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan
piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1)
huruf k, yang pelaksanaanya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Mentri Keuangan.
i. Smbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah
j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang di lakukan di Indonesia
yang kerentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah
k. Pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah
l. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah
m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya datur dengan
Peraturan Pemerintah

5. Biaya yang tidak boleh dikurangkan (Non Deductible Expenses)


Biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam Paal 9 UU PPh
No. 36 tahun 2008 sebagai berikut
a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun seperti dividen, termasuk
dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang, polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi.
b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham,
sekutu, atau anggota.
c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali
1) Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan
konsumen, dan perusahaan pajak piutang
2) Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk
oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
3) Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan.
4) Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan
5) Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan
6) Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri
untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-syaratnya
diatur dengan atau berdasarkain Peraturan Menteri Keuangan
d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan. asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi beasiswa yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar
oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak
yang bersangkutan
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura atau kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman
bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau
kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang
diatur dengan atan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalin sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan.
g. Harta yang dihibahkan, bantuan arau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai huruf m, serta zakat yang diterima
oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagı pemeluk agama
yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamsan yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah, yang kerentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerinrah.
h. Pajak Penghasilan.
i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak atau
orang yang menjadi tanggungannya
j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, frma, atau perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham.
k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa
denda yang berkenan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
l. Pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun tidak boleh di
bebankan sekaligus melainkan dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi
m. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan
merupakan objek pajak
n. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang pengenaan
pajaknya bersifat final.
o. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali PPh Pasal 26
ayat (1) UU PPh tetapi tidak termasuk dividen sepanjang Pajak Penghasilan tersebut
ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk pemotongan pajak.
p. Kerugian dari harta atau utang yang tidak dimiliki dan tidak dipergunakan dalam
usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagilh, dan memelihara penghasilan yang
merupakan objek pajak.

Tax Planning dalam Rangka Mengefisiensikan PPh Badan

Strategi yang telah diuraikan dalam bab-bab terdahulu terkait dengan upaya wajib pajak untuk
mengefisiensikan PPh Badan dengan penerapan tax planning yang disesuaikan dengan situasi
dan kondisi perusahaan. Masing-masing perusahaan mempunyai karakter masalah yang berbeda-
beda sesuai nature of business perusahaan tersebut, sehingga dalam melakukan perencanaan
pajak kita juga tidak boleh mengeneralisasi permasalahan, tapi fleksibel mengikuti alurnya
dengan fokus kepada pencapaian tujuan yang kita inginkan.

Beberapa upaya yang bisa dilakukan wajib pajak dalam mengefisienkan pembayaran PPh Badan

1. Memilih sistem pembukuan yang tepat.


2. Memilih metode penyusutan aset tetap dan amortisasi aset tidak berwujud.
3. Memilih metode penilaian persediaan yang tepat
4. Pemilihan pemberian kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk natura atau cash
5. Memilih metode pemotongan PPh Pasal 21 yang tepat

1. Memilih sistem pembukuan yang tepat


a. Metode Penghitungan Penghasilan dan Biaya (stelsel akrual vs stelsel kas)
Wajib pajak badan dan wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan. Pembukuan
diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual (acerual basis) atau
stelsel kas (cash basis)
Menurut stalsel akrual, penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui
pada waktu terutang. Jadi, tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan
biaya itu dibayar secara tunai.
Pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan berdasarkan metode
persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai dalam bidang
konstruksi dan metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti build
operate and transfer (BOT) dan real estate
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum
diterima atau belum sepenuhnya diterima atau pada saat impor Barang Kena Pajak.
Menurut stelsel kas. penghasilan baru dianggap sebagai penghasian apabila benar-
benar telah diterima secara tunai dalam suatu periode tertentu, serta biaya baru dianggap
sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam suatu periode tertentu.
Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadiatau
perusahaan jasa, misalnya transportasi, hiburan, dan restoran yang tenggang waktu antara
penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama.
Penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga dinamakan stelsel
campuran. Oleh karena itu, untuk penghitungan Pajak Penghasilan dengan memakai
stelsel kas harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh
penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok
penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan
2) Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi,
biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui
penyusutan dan amortisasi.
3) Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten).

Apabila dibandingkan antara stelsel akrual dan stelsel kas, menurut versi
perpajakan, dalam hal biaya administrasi dan umum pada basis akrual dibebankan pada
saat timbulaya kewajiban, sedangkan pada basis kas biaya tersebut baru dilaporkan pada
saat terjadinya pembayaran. Dari segi strategi perpajakan, lebih menguntungkan memilih
basis akrual daripada basis kas

Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Perpajakaan tahun 1983, seluruh Wajib


pajak badan diwajibkan menyelenggarakan pembukuan (Pasal 8 ayat 1 KUP). Hanya
wajib pajak perorangan yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp 1,8
miliar yang diperkenankan untuk menghitung penghasilan bruto dengan menggunakan
“Norma Penghitungan Penghasilan Neto” (Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2007)
mereka inilah yang dikecualikan dari kewajibin menyelerggarakan pembukuan tetapi
wajib melakukan pencatatan (Pasal 28 ayat 2 KUP).

b. Analisis Perbandingan Pembukuan dengan Pencatatan


Wajib pajak orang pribadı yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan
Wajib pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan. Pengecualian
diberikan pada Wajib pajak orang pribadi
1) Yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto; dan
2) Wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas

Namun, disadari bahwa tidak semua waib pajak mampu menyelenggarakan


pembukuan. Semua wajib pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan
menyelenggarakan pembukuan, kecuali bagi wajib pajak orang pribadi yang menjalankan
usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertertu tidak
diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan.
Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi
Wajib pajak orang pribadi vang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan
peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan.

Pencatatan itu terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran
atau penerimaan bruto dan atau penghasilan bruto yang digunakan sebagai dasar untuk
menghitung jumlah pajak yarg terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak
dan atau yang dikenai pajak yang bersifat final, dengan kriteria sebagai berikur:

a. Bagi wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas,
pencatatan meliputi Peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan
lainnya
b. Bagi Wijib pajak orang pribadi vang semata-mata menerima penghasilan dari luar
usaha dan pekerjaan bebas, pencatatantaya hanya mengenai: Penghasılan bruto,
pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan objek pajak penghasilan
c. Pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenai
pajak yang bersifat final

Besarnya peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun bagi wajib pajak orang pribadi yang boleh
meghitung penghasilan neto dengan menggunkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Pasal 14 ayat 2 UU Nomor
36 Tahun 2008, menjadi kurang dari Rp 4.800.000.000.

Untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan pajak orang pribadi harus
memberitahu Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun
pajak yang bersangkutarn

Untuk melihat mana yang paling menguntungkan bagi wajib pajak, apakah menggunakan
pembukuan atau pencatacan, berikut ini contoh analisis perbandingan pembukuan dengan
pencatatan

Perhitungan Rugi Laba Tahun 2011

Kantor Notaris Badu

Pos Perkiraan Pencatatan Pembukuan


Penghasilan Bruto 900.000.000 900.000.000
Biaya 3M 720.000.000
Laba Bersih Usaha 495.000.000 180.000.000
PTKP (mis.TK/1) 18.480.000 18.480.000
Penghasilan Kena Pajak 476.520.000 161.520.000
PPh Terutang 23.826.000 8.076.000
Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk Notaris di Jakarta = 55%

Perhitungan penghasilan neto notaris di Jakarta dengan norma 55% =

55% x Rp 900 Jt = Rp. 495 Jt

Bila diasumsikan rate of return adalah 15%, maka laba bersih usaha (pembukuan) =

15% x Rp 900 Jt =Rp 180 jt

Dari contoh perhitungan diatas, lebih emnguntungkan bagi notaris Badu membuat
pembukuan dari pada harus menggunakan norma penghitungan penghasilan neto dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya, karena PPh terutangnya lebih rendah.

Keuntungan menyelenggarakan pembukuan dapat dilihat dari perbandingan dengan


pencatatan berikut ini:

Uraian Pencatatan Pembukuan


Harga pokok dan biaya usaha Tidak boleh diperhitungkan
Bisa diperhitungkan
(pengeluaran yang deducible)
Kompensasi kerugian Tidak boleh diperhitungkan Bisa dikompensasikan ke
tahun berikutnya
Penetapan penghasilan kena Sesuai norma penghitungan Sesuai kondisi riil:
pajak penghasilan neto penghasilan – pengeluaran
deductible
Bila perusahaan mengalami PPh tetap harus dibayar PPh nihil
kerugian sesuai norma

2. Pemilihan Metode Penyusutan Aktiva Tetap dan Amortisasi Atas Aktiva Tidak Berwujud
Metode penyusutan aktiva tetap diatur dalam PSAK No. 16. Berbeda dengan akuntansi
komersial yang memperbolehkan perusahaan menggu- nakan metode garis lurus (straight-line
method), metode saldo menurun(diminishing balance method), metode jumlah unit(stam of the
unit method), metode penyusutan aset dipilih berdasarkan ekspektasi pola konsumsi manfaat
ekonomis masa depan dari aset, maka untuk tujuan perpajakan perusahaan hanya boleh memilih
metode garis lurus atau metode saldo menurun.
Sesuai Pasal 11 Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 yang diubah terakhir kali dengan
Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 mengenai Pajak Penghasilan, di mana metode penyusutan
yang diperbolehkan berdasarkan ketentuan ini, dilakukan dengan:
a. Metode garis lurus atau straight-line method:
Metode ini menghasılkan pembebanan yang tetap selama masa umut manfaat aset jika nilai
residunya tidak berubah; atau
b. Metode saldo menurun atau declining balance method:
Metode ini menghasilkan pembebanan yang menurun selama masa umur manfaat dengan
cara menerapkan rarif penyusutan atas nilai sisa buku.

Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat asas. Untuk harta
berwujud bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus. Harta berwujud selain
bagunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun. Dalam hal
wajib pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa
manfaat harus disusutkan sekaligus. Masing-masing metode penyusutan tersebut memiliki
kelebihan dan kekurangannya dan pilihan penggunaannya tergantung pada kepentingan
pemakainya (user).

Misalnya untuk kepentingan pemegang saham (dividen), lebih cenderung menggunakan


metode penyusutan garis lurus karena akan lebih menguntungkan bagi wajib pajak dari segi laba
komersialnya. Dibandingkan dengan metode garis lurus, metode saldo menurun akan
menghasilkan beban penyusutan lebih besar pada tahun awal pembelian atau perolehan aktiva
tetap dan kemudian akan makin menurun pada tahun-tahun berikutnya (walaupun pada akhir
umur ekonomis aktiva tersebut jumlah akumulasi penyusutan kedua metode tersebut akan sama)
sehingga perolehan proft pada tahun pertama akan lebih rendah. Namun bila kedua metode
tersebut dilihat dari future value atas penyusutan fiskalnya, maka hasilnya akan berbeda, seperti
terlihat dalam ilustrasi berikut ini.

PT. Kontinental

Jenis Harta : Mesin

Tgl. Pembelian : Awal tahun 2008

Masa Manfaat Ekonomis : 4 Tahun

Masa Manfaat Fiskal : 8 Tahun ( Kelompok II )

Nilai Residu : Nihil

MGL = Metode Garis Lurus ; MSM = Metode Saldo Menurun


Tahun Penyusutan Fiskal Future Value Tingkat Bunga 10%
MGL MSM MGL MSM
2009 31.250.000 62.500.000 60.906.250 121.812.500
2010 31.250.000 46.875.000 55.375.000 83.062.500
2011 31.250.000 35.156.250 50.343.750 56.636.500
2012 31.250.000 26.367.188 45.750.000 38.601.563
2013 31.250.000 19.775.391 41.593.750 26.321.045
2014 31.250.000 14.831.543 37.812.500 17.946.167
2015 31.250.000 11.123.657 34.375.000 12.236.023
2016 31.250.000 33.370.972 31.250.000 31.250.000
250.000.000 250.000.000 387.406.250 387.406.250

Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan:

 Bahwa future value dari penyusutan fiskal dengan metode garis lurus lebih kecil
dibandingkan dengan metode saldo menurun. Ini berarti metode garis lurus menghasilkan
laba fiskal yang lebih tinggi dibanding dengan metode saldo menurun, yakni sebesar Rp
387.866.516 - Rp 357.406.250 = Rp 30.460.266.
 Dampaknya terhadap PPh badan yang terutang adalah, beban PPh badan menggunakan
metode garis lurus lebih tinggi dibanding dengan metode saldo menurun yakni sebesar 25%
x Rp 30.460.266 = Rp 7.615.066.

Selanjutnya kita akan menganalisis seberapa besar efisiensi PPh yang dapat diperoleh
dari masing-masing tahun yang diakibatkan dari pengurangan PPh (tarif PPh Th 2009 = 25%),
yakni sebagai berikut:

Tahun Penyusutan Fiskal Future Value Tingkat Bunga Efiisiensi PPh


10%
MGL MSM MGL MSM
2009 31.250.000 62.500.000 7.812.500 15.625.000 7.812.500
2010 31.250.000 46.875.000 7.812.500 11.718.750 1.906.250
2011 31.250.000 35.156.250 7.812.500 8.789.063 976.563
2012 31.250.000 26.367.188 7.812.500 6.591.797 (1.220.703)
2013 31.250.000 19.775.391 7.812.500 4.943.848 (2.868.652)
2014 31.250.000 14.831.543 7.812.500 3.707.886 (4.104.614)
2015 31.250.000 11.123.657 7.812.500 2.780.914 (5.031.586)
2016 31.250.000 33.370.972 7.812.500 8.342.743 530.243
250.000.000 250.000.000 250.000.000 250.000.000

Hanya tahun pertama hingga tahun ketiga saja diperoleh efisiensi PPh, di tahun keempat
hingga tahun ketujuh terjadi sebaliknya (inefIsiensi). Tapi kesimpulan ini masih taksiran kasar,
belum bisa dijadikan pedoman dan harus dianalisis lebih lanjut dengan menghitung futme value
dari pengurangan PPh akibat penyusutan fiskal, seperti terlihat di table di bawah ini:

Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa:

 Metode garis lurus akan menghasilkan future value dari pengurangan PPh akibat penyusutan
fiskal yang lebih kecil dibandingkan dengan metode saldo menurun. Ini berarti metode garis
lurus menghasilkan laba fiskal yang lebih kecil dibanding dengan metode saldo menurun.
 Dampaknya terhadap PPh badan yang terutang adalah beban PPh badan yang terutang
menggunakan metode saldo menurun lebih ef sien dibanding dengan metode garis lurus,
dengan mendapatkan penghematan sebesar Rp 120.404.129, - 112.789.063 = Rp 7.615.067
Konklusi dari analisis diatas adalah:
 Dilihat dari prespektif future value, penggunaan metode garis lurus bisa menghasilkan laba
fiskal yang lebih tinggi dibanding dengan menggunakan metode saldo menurun, dalam
contoh diatas besarnya = Rp 30.460.266, namun hal ini berdampak pada beban PPh badan
menjadi lebih tinggi yaitu sebesar Rp 7.615.067, tapi dari sisi lain beban PPh badan yang
terutang menggunakan metode saldo menurun lebih efisien dibanding dengan metode garis
lurus sebesar Rp 7.615.067.

3. Memilih Metode Penilaian Persediaan


Metode penilaian persediaan diatur dalam PSAK No. 14, dalam edisi revisi 2008
disebutkan biaya persediaan harus dihitung menggunakan rumus biaya masuk pertama keluar
pertama (FIFO method) atau rata-rata tertimbang (Weighted Average method). Sesuai Pasal 10
ayat(6) Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 yang diubah terakhir kali dengan Undang-Undang No.
36 Tahun 2008 mengenai Pajak Penghasilan, di mana metode penilaian persediaan yang dibolehkan
berdasarkan ketentuan sebagai berikut:
 Penilaian persediaan barang hanya boleh menggunakan harga perolehan.
 Penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok hanya boleh dilakukan dengan
cara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama (FIFO).

Penggunaan metode penilaian persediaan harus dilakukan secara taat asas. Masing-masing
metode penilaian persediaan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya dan pilihan
penggunaannya tergantung pada kepentingan dari pemakainya (user). Misalnya, untuk kepentingan
pemegang saham (dividen), perusahaan lebih cenderung menggunakan metode penilaian persediaan
FIFO karena akan lebih menguntungkan bagi wajib pajak dari segi laba komersialnya. Dibandingkan
dengan metode FIFO, metode rata-rata akan menghasilkan beban harga pokok lebih besar.

Dalam analisis berikut ini kita akan melihat perbandingan kedua metode tersebut, harga
pokok barang yang dijual atau dipakai dan bagaimana untung ruginya penggunaan metode tersebut
dilihat dari perpektif perpajakan:

Jenis Barang : Sabun ABx

Metode Pencatatan Persediaan : Perpetual Inventory Method

Metode Penilaian Persediaan : Metode FIFO

Bulan : Januari 2011


Rekapitulasi : FIFO
Unit Jumlah Rp
Saldo Awal 500 400.000
+/+ : Pembelian 1.900 3.250.000
Jumlah Barang yang tersedia untuk dijual 2.400 3.650.000
-/- : Penjualan (HPP) 2.000 2.850.000
Saldo Akhir 400 800.000

Jenis Barang : Sabun ABx

Metode Pencatatan Persediaan : Perpetual Inventory Method

Metode Penilaian Persediaan : Metode Rata-rata


Rekapitulasi : Rata – Rata
Unit Jumlah Rp
Saldo Awal 500 400.000
+/+ : Pembelian 1.900 3.250.000
Jumlah Barang yang tersedia untuk dijual 2.400 3.650.000
-/- : Penjualan (HPP) 2.000 2.929.184
Saldo Akhir 400 720.816

Berdasarkan analisis pada tabel di atas dapat ditarik kesimpulan:

 Penggunaan metode FIFO akan menghasilkan harga pokok penjualan atau pemakaian yang
lebih kecil dibandingkan metode rata-rata. Karena laba kena pajak (profit after tax) nya
adalah lebih besar, maka beban PPh badan akan menjadi lebih besar.
 Penggunaan metode rata-rata akan menghasilkan harga pokok penjualan atau pemakaian
yang lebih besar dibandingkan metode FIFO, sehingga karena laba kena pajak (profit after
tax) nya adalah lebih kecil, maka beban PPh badan akan menjadi lebih kecil.
 Dalam situasi di mana terdapat terdapat kecenderungan harga barang semakin naik (tingkat
inflasi tinggi), maka metode rata-rata adalah lebih tepat digunakan.
4. Pemilihan pemberian kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk natura atau cash
Strategi utama efisiensi PPh badan yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan ini
sangat tergantung dari kondisi perusahaan. Contoh kiat perusahaan dalam memberikan fasilitas
perumahan dan transportasi untuk karyawan, dibahas lebih lanjut di poin 5 dan 6 dibawah ini.

Pemberian natura atau kenikmatan untuk kesejahteraan Karyawan tidak cocok dalam
kondisi sebagai berikut:

1. Pada perusahaan yang sedang menderita kerugian.


 Di sisi perusahaan atau pemberi kerja, pemberian natura atau kenikmatan sebagai
tunjangan hanya akan memperbesar pembayaran PPh Pasal 21, sementara PPh badan
tetap nihil, sehingga cara ini tidak efisien dan efektif bagi perusahaan.
2. Pada perusahaan yang dikenakan PPh badan secara final.
 Di sisi perusahaan atau pemberi kerja, biaya-biaya pemberian natura tersebut tidak
memengaruhi besarnya PPh badan karena PPh Badan final dihitung dari persentase atas
penghasilan bruto sebelum dikurangi dengan biaya-biaya.
 Pemberian dalam natura kepada karyawan, misalnya pemberian beras atau sembako
sebagai pengganti gaji-uang tunai harus dimasukkan sebagai penambah penghasilan
karyawan yang bersangkutan, sehingga menambah beban PPh Pasal 21 bagi perusahaan.
 Karena itu, harus dimaksimalkan pemberian kesejahteraan kepada karyawan dalam
bentuk natura atau kenikmatan yang bukan objek PPh Pasal 21 dengan tujuan
meminimalkan pembayaran PPh Pasal 21 karyawan. Contoh pemberian penyediaan
makanan dan minuman bagi seluruh pegawai (Pasal 9 ayat 1e UU PPh) dan penyediaan
bus antar jemput pegawai (Per-51/P]/2009).

Terdapat banyak cara untuk mengoptimalkan kesejahteraan karyawan, dengan


memanfaatkan peluang efisiensi beban pajak yang berkaitan dengan pengeluaran biaya berikut ini:

1. PPh Pasal 21 karyawan

Pilihan terhadap metode PPh Pasal 21 karyawan dapat berupa:

 Bila beban PPh Pasal 21 sepenuhnya menjadi tanggungan karyawan, dalam hal ini
perusahaan hanya menjadi perantara pemotong PPh Pasal 21. Dalam laporan laba rugi
perusahaan tidak akan terlihat biaya PPh Pasal 21.
 Bila karyawan diberi tunjangan PPh Pasal 21, tunjangan ini tercan- tum dalam slip gaji
pegawai dan SPT PPh Pasal 21 karyawan (form 1720), sehingga tunjangan tersebut
dikenai PPh (taxable), dan karena itu boleh dibebankan sebagai biaya (deductible).
Dalam laporan laba rugi perusahaan akan terlihat biaya tunjangan PPh Pasal 21.
 Bila PPh Pasal 21 ditanggung oleh perusahaan, bukan sebagni tunjangan PPh Pasal 21,
dan karena itu merupakan kenikmatan(benefit im kind) dan tidak boleh dibebankan
sebagai biaya. Dalam laporan laba rugi perusahaan akan terlihat biaya PPh Pasal 21
terpisah dari gaji dan tunjangan karyawan lainnya.
2. Pengobatan Kesehatan Karyawan
Terdapat beberapa cara yang dilakukan oleh perusahaan dalam memberikan fasilitas pengobatan
untuk kesehatan karyawannya:
a. Reimbursement kwitansi biaya medikal dari dokter/klinik/rumah sakit.
- Cara ini banyak dilakukan oleh perusahaan menengah kebawah dan tertuang dalam
kontrak kerja, di mana karyawannya diperke nankan berobat ke rumah sakitklinik/doker
dengan membayar terlebih dahulu, kemudian oleh perusahaan akan diberikan
penggantian (reimbursement) sesuai bukti asli atas nama karyawan qq perusahaan yang
bersangkutan.
- Perlakuan perpajakannya: Pengeluaran semacam ini merupakan bagian dari
penghasilan karyawan yang bersangkutan karena diterima secara tunai dari perusahaan,
boleh dibiayakan (deductible) tetapi harus ditambahkan sebagai penghasilan karyawan
dalam SPT PPh pasal 21.
b. Karyawan diberi tunjangan pengobatan atau kesehatan (medical allowance) setiap bulan,
sakit maupun tidak sakit.
- Perlakuan perpajakannya: Pengeluaran semacam ini merupakan bagian dari
penghasilan karyawan yang bersangkutan yang diterima secara teratur, boleh dibiayakan
(deductible) tetapi harus ditambahkan sebagai penghasilan karyawan dalam SPT PPh
pasal 21.
c. Karyawan berobat di rumah sakit/klinik/dokter langganan dan pengambilan obat dari apotik
langganan.
- Cara ini banyak dilakukan oleh perusahaan menengah keatas dan tertuang dalam
kontrak kerja, di mana karyawannya diperkenankan berobat ke rumah
sakit/klinik/dokter yang ditunjuk.
- Perlakuan perpajakannya: Pengeluaran semacam ini merupakan natura atau kenikmatan
(benefit in kinds) dan tidak boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan.
d. Perusahaan mendirikan rumah sakit/klinik berikut dokter.
- Cara ini banyak dilakukan oleh perusahaan besar dan tertuang dalam kontrak kerja, di
mana karyawannya diperkenankan berobat ke rumah sakit/k-linik perusahaan.
- Perlakuan perpajakannya: Pengeluaran semacam ini merupakan natura atau
kenikmatan (benefit in kinds) dan tidak boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan.

3. Pembayaran Premi Asuransi untuk pegawai


Bila perusahaan semakin maju, akan semakin besar juga alokasi dana pembiayaan
perusahaan yang diberikan untuk peningkatan kesejahteraan karyawannya dalam bentuk
asuransi di samping tabungan hari tua. Asuransi yang diberikan dapat berupa asuransi
kesehatan, asuransi dwiguna, asuransi jiwa, asuransi kematian, asuransi kecelakaan kerja,
dan asuransi bea siswa. Sesuai Pasal 6 ayat(1) a UU PPh No. 36 Tahun 2008, pembayaran
premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya boleh dibebankan sebagai
biaya perusahaan (deductible), tetapi bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebut
merupakan penghasilan (taxable).

4. Iuran Pensiun dan Iuran JHT/THT yang dibayar oleh perusahaan


Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 berupa
iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan, iuran tunjangarn hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan
penyelenggara tun- jangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja
yang dibayar oleh pemberi kerja (Peraturan Dirjen Pajak No. 31/PJ./2009 dan Pasal 6 UU PPh
No. 36 Tahun 2008). luran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada
dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak
boleh dibebankan sebagai biaya.

5. Perumahan Untuk Karyawan


Ada beberapa alternatif fasilitas perumahan yang diberikan oleh perusahaan
karyawannya untuk kesejahteraan karyawannya:
a. Penempatan pada rumah dinas yang dibuat atau dibeli oleh perusahaan.
b. Penempatan pada rumah dinas yang yang disewa oleh perusahaan.
c. Perusahaan memberikan penggantian sewa rumah dinas yang dibayar oleh karyawan,
penggantian ini dimasukkan ke dalam tunjangan perumahan bagi pegawai.
d. Perusahaan memberikan tunjangan perumahan kepada karyawan.
Perlakuan Perpajakan: Dasar acuannya adalah Pasal 4(3) huruf d jo Pasal 9 ayat(1)
huruf d UU Nomor 7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir kalinya dengan UU No. 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yakni:
- Pembayaran untuk pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura kepada karyawan tidak dapat
dipotongkan sebagai biaya perusahaan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak dari
perusahaan yang bersangkutan, sedangkan bagi karyawan yang menerima pemberian
tersebut tidak merupakan penghasilan.
- Sebaliknya bilamana diberikan dalam bentuk uang, maka apa yang diterima oleh
karyawan yang bersangkutan merupakan penghasilan dan bagi perusahaan yang
bersangkutan merupakan biaya.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas dan mengacu ke Surat Dirjen Pajak No. S-
1215/PJ.23/1984 yang ditegaskan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. 42/PJ.23/1984, maka:
- Alternatif 1 dan 2 termasuk dalam kriteria pemberian natura atau kenikmatan sehingga
biaya-biaya terkait seperti biaya penyusutan, biaya eksploitasi atau pemeliharaan,
biaya sewa, tidak boleh dibe- bankan sebagai biaya.
- Agar tidak dikategorikan sebagai natura atau kenikmatan, kepada karyawan yang
menempati rumah dinas diberikan tunjangan peru- mahan yang dimasukkan ke dalam
daftar upah/gaji karyawan. Besarnya tunjangan ini tidak boleh lebih kecil dari biaya
eksploitasi dan penyusutan rumah tersebut. Dengan demikian biaya eksploitasi rumah
dan biaya penyusutannya dapat dibebankan sebagai biaya.
- Pengeluaran pada alternatif 3 dan 4 ini, boleh dibiayakan(deductible), tetapi
tunjangan perumahan harus dicatat dan dilaporkan sebagai unsur penghasilan bagi
karyawan dan dicantumkan dalam daftar upah atau gaji karyawan.
- Tunjangan"rental" yang dibayarkan kepada karyawan baru boleh dikurangkan sebagai
biaya perusahaan apabila jumlahnya minimal sama besarnya dengan depresiasi
ditambah biaya eksploitasi rumah tersebut.
- Biaya sewa rumah yang dibayarkan kepada karyawan merupakan penghasilan
karyawan, sedang bagi perusahaan merupakan biaya yang dapat diperhitungkan
didalam perhitungan Penghasilan Kena Pajak.
- Sedangkan atas biaya pemeliharaan atau perawatan dan lain-lain biaya yang
dikeluarkan untuk rumah perusahaan secara fiskal tidak dapat diterima didalam
menghitung Penghasilan Kena Pajak, sebab biaya-biaya tersebut adalah biaya atas
kenikmatan yang diperoleh karyawan.
6. Transportasi untuk karyawan
Dasar pengaturannya adalah Surat Dirjen Pajak No. S-1215/P].23/1984 yang
ditegaskan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. 42/PJ.23/1984, dengan menyatakan bahwa
masalah transportasi secara keseluruhan telah diatur dalam surat Direktur Jenderal Pajak
kepada Menteri Tenaga Kerja R.I. tanggal 7 Juni 1984 nomor S-336/PJ.23/1984, yang intinya
adalah sbb:
a. Biaya eksploitasi kendaraan antar jemput karyawan merupakan biaya perusahaan dan
bukan merupakan penghasilan bagi karyawan.
b. Seluruh biaya eksploitasi dan depresiasi untuk kendaraan perusahaan yang dikuasai atau
dipegang oleh karyawan tertentu atau dibawa pulang setelah jam kerja merupakan biaya
perusahaan dan bagi karya wan bukan merupakan penghasilan karena merupakan
kenikmatan.
c. Tunjangan transport yang diberikan kepada karyawan untuk keper luan pergi dan pulang
kantor merupakan penghasilan bagi karyawan dan biaya bagi perusahaan
d. Biaya dalam rangka menjalankan tugas perusahaan, misalnya berupa biaya transport,
hotel, dan sebagainya merupakan biaya perusahaan dan bukan penghasilan karyawan,
sepanjang jumlahnya tidak mengandung unsur-unsur pengeluaran untuk keperluan
pribadi.
Transportasi karyawan ke tempat kerja dapat diberikan dalam bentuk:
I. Antar jemput dengan mobil perusahaarn.
- Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaran bus, minibus, atau
yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk antar jemput para
pegawai, dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya perusahaan melalui penyusutan
aktiva tetap kelompok II.
- Atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan bus minibus, atau yang
sejenis yang dimiliki dan dipergunakan per usahaan untuk antar jemput para pegawai,
dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya perusahaan dalam tahun pajak yang
bersangkutan.
II. Diberikan kendaraan sedan atau yang sejenis yang dimiliki dan di pergunakan perusahaan
untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya (KEP Dirjen Pajak No. KEP-
220/PJ./2002 tentang Perlakuan PPh atas biaya pemakaian telepon seluler dan kenderaan
perusahaan serta Surat Dirjen Pajak No.S-1215/PJ.23/1984 dan Peraturan Dirjen Pajak
No. PER-51/PJ./2009 dan UU PPh No.36/2008 penjelasan pasal 9 ayat I huruf e):
- Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar dapat dibebankan sebagai
biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah biaya perolehan atau
pembelian atau perbaik an besar melalui penyusutan aktiva tetap kelompok II.
- Atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan yang dimiliki dan
dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya
dapat dibebankan sebagai biay perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari
jumlah biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin dalam tahun pajak yang ber
sangkutan.
- Pemberian natura atau kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan
pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut
mengharuskannya, seperti pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian
seragam petugas keamanan(satpam), antar jemput karyawan, serta peng inapan
untuk awak kapal dan yang sejenisnya(UU PPh No.36/2008, penjelasan pasal 9 ayat
I huruf e).
III. Karyawan yang diberi tunjangan transport, tunjangan transport ini boleh dibebankan
sebagai biaya, tetapi tunjangan tersebut merupakan penghasilan karyawan yang
dikenakan PPh Pasal 21 dan biaya bagi perusahaan. Untuk tujuan perencanaan pajak,
apabila pada posisi jabatan tertentu diberikan kendaraan, agar biaya kenderaan tersebut
dapat di- bebankan sebagai biaya dapat di atasi dengan cara, kepada karyawan yang
menguasai kendaraan diberikan pinjaman (car loan) seharga mobil yang
diperuntukkannya, setiap bulan karyawan tersebut diberi tunjangan transport setelah
dikurangi PPh Pasal 21, diperlakukan sebagai unsur pengurangan piutang karyawan yang
bersangkutan.

7. Pakaian Seragam Untuk Karyawan


Cara lainnya untuk mengoptimalkan kesejahteraan karyawan adalah melalui
pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan, seperti pakaian seragam untuk karyawan
tertentu, yang bisa dibiayakan. Kriteria yang disyaratkan oleh fiskus mengenai pemberian
natura atau kenikmatan (termasuk pakaian seragam) ini adalah sebagai berikut:
1. Pemberian natura atau kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan bagi Pegawai yang menerimanya adalah
a. Pemberian atau penyediaan makanan dan atau minuman bagi seluruh pegawai yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.
b. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan
berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka
menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah
tersebut.
c. Pemberian natura atau kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan
pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat rekerjaan tersebut
mengharuskannya. (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.03/2009 dan
Peraturan Dirjen Pajak No. PER-51/PJ./2009 serta penjelasan Pasal 9 ayat I huruf
e UU No. 36/2008).
2. Pemberian natura atau kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan
sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya,
meliputi pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan
(satpam). Pengertian keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan berkaitan dengan keamanan
atau keselamatan pekerja yang diwajibkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
atau pemerintah daerah setempat. (Peraturan Dirjen Pajak No. PER-51/P) /2009).

8. Perjalanan Dinas Karyawan


Biaya dalam rangka menjalankan tugas perusahaan, misalnya biaya tiket pesawat,
hotel, transportasi, dan sebagainya merupakan biaya perusahaan dan bukan penghasilan
karyawan, sepanjang jumlahnya tidak mengandung unsur-unsur untuk keperluan pribadi
(Surat Dirjen Pajak No. S-1215/PJ.23/1984 yang ditegaskan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak
No. 42/PJ.23/1984). Namun dalam praktik, ada pemberian uang saku (travelling allowance)
yang di dalamnya terdapat komponen biaya perjalanan dinas, dan karena pemberian ini
dibayarkan secara tunai sebagai uang saku, maka pembe rian tersebut dikategorikan sebagai
penghasilan bagi karyawan yang bersangkutan. Bila perusahaan menginginkan agar travelling
allowance tersebut dapat dibiayakan(deductible) dalam laporan keuangan fiskal perusahaan,
maka travelling allowance tersebut harus dimasukkan dalam SPT PPh Pasal 21 (form 1721-
A1) atas nama karyawan yang bersangkutan sebagai unsur tambahan penghasilannya yang
dikenakan PPh Pasal 21.
Misalnya PT. XXX membayar biaya perjalanan dinas Tuan Badu dalam tahun 2011
sebesar Rp 140 juta, yang teridiri atas:
Tiket Pesawat 40.000.000
Hotel 50.000.000
Transportasi (Taxi) 20.000.000
Travelling Allowance 30.000.000
Total 140.000.000
Untuk biaya tiket pesawat, hotel, dan transportasi (taksi) bisa dibiayakan
berdasarkan kwitansi resmi yang diterima, namun untuk travelling allowance masih harus
dipertanyakan bagaimana tax planning yang terbaik bagi perusahaan.
Selanjutnya kita akan menganalisis bagaimana efeknya bila travelling allowance
tersebut dimasukkan atau tidak dimasukkan sebagai unsur tambahan penghasilan dalam SPT
PPh Pasal 21.

Dari analisis tersebut dapat kita simpulkan bahwa:


1. Di lapisan penghasilan manapun, bila travelling allowance tidak di masukkan sebagai
unsur penghasilan dalam SPT PPh Pasal 21, akan berdampak pada timbulnya beban
tambahan PPh badan perusahaan, dalam contoh di atas sebesar Rp 7.500.000
2. Untuk lapisan penghasilan karyawan yang paling rendah(tarif PPh WPOP 5% ) , bila
travelling allowance tersebut dimasukkan sebagai unsur penghasilan dalam SPT PPh
Pasal 21, maka efsiensi pajak yang akan diperoleh adalah yang terbesar dibandingkan
dengan lapisan penghasilan lainnya dengan tarif PPh WPOP yang lebih tinggi, dalam
contoh di atas sebesar Rp 6.000.000
3. Untuk lapisan penghasilan karyawan yang kedua(tarif PPh WPOP 15% ) , bila
travelling allowance dimasukkan sebagai unsur penghasilan dalam SPT PPh Pasal 21,
efisiensi pajak yang akan diperoleh masih tetap ada hanya lebih kecil dari lapisan
penghasilan yang terendah, dalam contoh di atas besarnya Rp 3.000.000
4. Untuk lapisan penghasilan karyawan yang ketiga(tarif PPh WPOP 25% ) , bila
travelling allouance dimasukkan sebagai unsur penghasilan dalam SPT PPh Pasal 21,
ehsiensi pajak yang akan diperoleh tidak ada(dalam contoh di atas adalah nihil) karena
pengurangan beban PPh badan sama besarnya dengan penambahan beban PPh Pasal 21
5. Untuk lapisan penghasilan karyawan yang tertinggi(tarif PPh WPOP 30% ) , bila
travelling allouance dimasukkan sebagai unsur penghasilan dalam SPT PPh Pasal 21,
justru terjadi keadaan sebaliknya/inefisiency (dalam contoh di atas tambahan beban PPh
adalah sebesar Rp 1.500.000) karena pengurangan beban PPh badan lebih rendah dari
penambahan beban PPh Pasal 21.

9. Bonus dan Jasa Produksi


Ada beberapa trik yang harus diperhatikan dalam pemberian bonus dan gratifkasi,
tantiem dan jasa produksi kepada komisaris, direksi, atau pegawai sebagai berikut:
1) Dalam pemberian bonus dan gratifkasi, tantiem dan jasa produksi tersebut, bisa
diperlakukan sebagai biaya perusahaan (deductible), bilamana dibebankan dalam biaya
tahun berjalan. Namun bila dibebankan ke pos laba ditahan(retained carning), tidak bisa
merupakan biaya perusahaan
2) Tantiem merupakan bagian keuntungan yang diberikan kepada direksi dan komisaris dari
pemegang saham yang didasarkan pada presentase tertentu dari laba perusahaan setelah
kena pajak, tidak dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung Penghasilan Kena
Pajak dan bagi penerimanya merupakan penghasilan dan dikenakan PPh Pasal 21.
3) Untuk keperluan perencanaan pajak, harus dihindari pembayaran gaji, bonus, gratifikasi
jasa produksi yang melebihi kewajaran kepada pemegang saham yang juga menjadi
komisaris, direksi, atau pegawai, karena pembayaran tersebut merupakan dividen dan
tidak boleh di- bebankan sebagai biaya perusahaan, sehingga dipotong PPh Pasal 25/26
(Peraturan Dirjen Pajak No. PER-15/PJ/2006 yang direvisi dengan PER-31/PJ./2009 dan
57/PJ./2008, dan penjelasan Pasal 9 ayat 1 huruf f UU No. 36/2008)

10. Pemberian Natura didaerah tertentu dan atau terpencil


Pemberian natura atau kenikmatan di daerah tertentu/terpencil, diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan No. 83/PMK.03/2009 dan Peraturan Dirjen Pajak No.
51/PJ./2009
1. Pengertian daerah tertentu atau terpencil:
a. Daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi
keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh
transportasi umum, baik melalui darat, laut maupun udara, sehingga untuk
mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata,
penanam modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan masa pengembalian yang
relatif panjang
b. Termasuk Daerah perairan laut dengan kedalaman lebih dari 50 m yang di dasar
lautnya memiliki cadangan mineral.
2. Pemberian natura atau kenikmatan yang boleh dibebankan sebagai biaya adalah:
a. Pemberian atau penyediaan makanan dan atau minuman bagi seluruh pegawai yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan, meliputi:
1) Pemberian makanan dan atau minuman yang disediakan oleh pemberi kerja di
tempat kerja.
2) Pemberian kupon makanan dan atau minuman bagi pegawai yang karena sifat
pekerjaannya tidak dapat memanfaatkan pemberian, meliputi pegawai bagian
pemasaran, bagian trans portasi, dan dinas luar lainnya.
b. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan
berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang
kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut.
Penggantian atau imbalan adalah sarana dan fasilitas di lokasi kerja untuk:
1) Tempat tinggal, termasuk perumahan bagi pegawai dan keluarganya
2) Pelayanan kesehatan
3) Pendidikan bagi pegawai dan, keluarganya.
4) Peribadatan
5) Pengangkutan bagi pegawai dan keluarganya
6) Olahraga bagi pegawai dan keluarganya ini tidak termasuk golf, power boating,
pacuan kuda, dan terbang layang, sepanjang sarana dan fasilitas tersebut tidak
tersedia, sehingga pemberi kerja harus menyediakannya sendiri
c. Pemberian natura atau kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan
pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut
mengharuskannya, meliputi; pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja,
pakaian seragam petugas keamanan(satpam), sarana antar jemput pegawai, serta
penginapan untuk awak kapal, dan yanyg scjenisnya.
3. Pengeluaran perusahaan dalam bentuk natura di atas bukan merupa kan penghasilan
karyawan
4. Penetapan daerah tertentu diberikan untuk jangka waktu 5(lima) tahun, yang berlaku
sejak tahun pajak diterbitkannya keputusan dan dapat diperpanjang 1(satu) kali. Jangka
waktu perpanjangan adalah 5(lima) tahun.
5. Permohonan keputusan tentang penerapan daerah tertentu/terpencil diajukan kepada
Kantor Wilayah DJP yang membawahi KPP tempat Wajib Pajak yang bersangkutan
terdaftar.

4 Formula Perhitungan Pajak Penghasilan


Dalam rangka mendesain suatu perencanaan pajak, ada beberapa alternatif pendekatan
sistematis yang dapat dilakukan, tetapi semua itu ber titik tolak kepada formula umum perhitungan
pajaknya, seperti formula perhitungan pajak penghasilan pada tabel berikut ini:
Dulu, sebelum terbitnya UU PPh No. 36 tahun 2008, sasaran untuk mengefisienkan beban
pajak terutang dilakukan dengan membidik lapis- an tarif pajak yang lebih rendah dari tarif PPh
badan, sehingga untulk memperoleh lapisan bawah yang minimal tersebut, pengaturan harus
dilakukan dengan melibatkan semua komponen di atasnya secara maksimal. Tetapi dengan adanya
UU PPh No. 36 tahun 2008 tersebut tarif PPh Badan yang berlaku adalah tarif tunggal sebesar 25%
semenjak tahun 2010, 2011, 2012, sehingga untuk meminimalisasi PPh Badan yang terutang,
strategi perencanaan pajak di optimalkan dengan upaya meminimalkan beban pajak dan
memaksimalkan biaya fiskal yang dapat dikurangkan serta memaksimalkan penghasilan yang
ditangguhkan atau dikecualikan dari pengenaan pajak.
Perencanaan pajak bersifat dinamis, membutuhkan keahlian dalam bidang perencanaan
pajak dengan cara mendalami dan mempelajari masalahnya secara berkesinambungan, serta
melakukan penelitian yang kontinyu yang dipadu dengan terapan ide-ide dan teknik-teknik
perencanaan pajak. Begitu juga interaksi dengan undang-undang pajak yang juga menyangkut
pendekatan internal dan alternatif-alternatif kebijakan yang dapat mengarahkan ke tujuan
meminimalkan beban pajak, karena perencanaan pajak itu pada hakikatnya merupakan hasil
penelitian yang didesain untuk suatu kejadian atau transaksi fhnansil sehingga dalam penstrukturan
fakta-fakta hasil penelitian tersebut harus dilakukan secara berhati-berhati sebelum peristiwanya
terjadi. Secara bertahap dianjurkan melakukan langkah-langkah berikut ini:
- Mempelajari pokok pemasalahannya secara komprehensitf.
- Review keinginan untuk mencapai tujuan perusahaan dengan pengeluaran pajak minimal atau
berupa keuntungan bebas pajak(tax exemption) melalui tindakan atau persyaratan yang
ditentukan
- Mencari data sebanyak mungkin berkenaan dengan permasalahan tersebut.
- Teliti dan tentukan fakta-fakta yang relevan, kemudian buat asumsi- asumsi yang harus disusun
dan tentukan peraturan perpajakan yang sesuai dengan situasi semacam itu.
DAFTAR PUSTAKA

Chairil Anwar Pohan. Manajemen Perpajakan, Strategi Perencanaan Pajak dan Bisnis. 2013.
Jakarta: Gramedia Pustaka Umum

Вам также может понравиться