Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Dosen Pengampu:
Saprudin, SE, M.Si, Ak, CA
Disusun Oleh:
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2018
Tax Planning PPH Badan
Pajak penghasilan adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan
dikenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan. Dalam menetapkan penghasilan kena pajak
harus dihitung dulu berapa penghasilan bruto yang menjadi objek pajak, kemudian dikurangi
dengan pengeluaran-pengeluaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible
expenses) tersebut. Selisih atas keduanya (penghasilan bruto – biaya deductible) adalah laba kena
pajak (net taxable income/profit) yang menjadi objek pengenaan pajak penghasilan. Tentu saja
terdapat perbedaan antara perhitungan pajak versi PSAK dengan versi fiskal, tetapi perbedaan
tersebut tidak perlu dipertentangkan karena masing-masing memiliki tujuan penggunaan yang
berbeda, meski pengukuran profitnya diperoleh dari sumber data yang sama, yakni laporan
keuangan komersial. Sebagai contoh laporan keuangan komersial yang telah diaudit oleh Kanot
Akuntan Publik Terdaftar (Registered Public Accountant) disyaratkan secara formal harus
dipenuhi pada saat perusahaan mengajukan permohonan kredit dari bank. Tanpa dokumen
tersebut permohonan akan ditolak oleh bank. Disisi lain laporan keuangan fiskal sebagai produk
akuntansi pajak secara khusus digunakan untuk membuat SPT tahunan badan bersangkutan.
Bagaimanapun juga sumber data atau informasi tersebut tidak bisa terlepas dari kewajiban wajib
pajak badan melakukan pembukuan atau perencanaan sesuai dengan ketentuan pasal 28 UU KUP
No. 28 Tahun 2007, untuk dapat menghitung penghasilan kena pajak secara benar dan akurat.
Sehubungan dengan hal itu, setiap wajib pajak dituntut untuk mengetahui dan memahami
dengan sebaik-baiknya sebab-sebab terjadinya perbedaan antara perlakuan akuntansi dan pajak.
Pengetahuan semacam itu sangat penting diketahui oleh wajib pajak agar dapat melakukan tax
planning dengan baik, dalam koridor, tidak menabrak peraturan perpajakan.
Pada perinsipnya ada beberapa elemen dasar yang menjadi penyebab perbedaan, seperti
berikut ini:
1. Pendapatan/ penghasilan – ada yang merupakan objek pajak dan bukan objek pajak
2. Penghasilan – ada yang merupakan objek pajak yang dikenakan PPH Final dan tidak
3. Biaya/pengeluaran – ada yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible
expenses) dan ada yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (non deductible
expenses)
4. Pembukuan/ pencatatan – apakah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan perpajakan diperbolehkan
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan
neto dan wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas, sehingga diperbolehkan menggunakan pencatatan.
5. Pembukuan – diselenggarakan dengan prinsip taat asas dengan pilihan stelsel akrual atau
stelsel kas.
Menyusun perencanaan pajak PPh badan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri tanpa
memfaktorkan jenis-jenis pajak lainnya, karena perhitungan PPh badan memiliki keterkaitan atau
interdepedensi dengan PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh pasal 23/26, PPh Final dan juga PPN.
Contoh:
Total omzet penjualan dalam SPT PPh Badan harus sama dengan total omzet penjualan
yang ada dalam akumulasi SPT masa PPN bulan terakhir (masa pajak) pada akhir tahun
pajak. Jika terjadi perbedaan, perlu dilakukan equalisasi atau rekonsiliasi.
Ketika perusahaan memilih apakah menerapkan metode net atau gross up pada saat
menghitung PPh pasal 21, keputusan itu kan berpengaruh pada besarnya PPh badan.
Pengeluaran biaya gaji, upah, honorarium, dan sebagainya yang menyangkut kesejahtraan
karyawan yang tercantum dalam SPT PPh Badan yang bersangkutan harus sama dengan
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh pasal 21 berupa penghasilan bruto yang dibayarkan
kepada pegawai dan penerimaan penghasilan lainnya. Jika terjadi perbedaan, perlu
dilakukan equalisasi atau rekonsiliasi.
Pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan kepada pegawai adalah non deductible
expenses, tidak bisa diperlakukan sebagai biaya fiskal sesuai dengan pasal 9 ayat (1)
huruf e UU PPh, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan di daerah tertentu dan
yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Peraturan Mentri
Keuangan ( PMK. No 82/PMK.03/2011)
Didalam laporan keuangan/neraca terdapat PPh Pasal 22/23/26 yang menjadi dasar
pengitungan PPh Badan yang terutang. Bila pendapatan perusahaan sudah dikenakan PPh
final, tidak dihitung lagi sebagai penghasilan kena pajak yang terutang PPh badan.
Contohnya adalah pendapatan bunga deposito bank.
Laporan keuangan komersial yang berupa neraca dan laba rugi disusun berdasarkan
prinsip akuntansi yang lazim diterima dalam prektik. Sejak tahun 1995 prinsip akuntansi yang
berlaku di Indonesia adalah Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Dari laporan keuangan
komersial tersebut dapat dihitung laba komersial atau penghasilan secara akuntansi. Laba
komersial in lah yang menjadi ukuran yang digunakan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan/stakeholders, para investor, atau calon investor, para kreditur termasuk
perbankan, untuk kepentingan pasar modal, Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dan
kepentingan bisnis lainnya.
Laporan keuangan komersial dapat diubah menjadi laporan keuangan fiskal dengan
melakukan koreksi seperlunya atau penyesuaian melalui rekonsiliasi antara standat akuntansi dan
ketentuan perpajakan. Dengan kata lain, laporan yang disusun khusus untuk kepentingan
perpajakan dengan mengindahkan semua peraturan perpajakan disebut dengan laporan keuangan
fiskal. Laporan keuangan fiskal disusun tanpa harus mengubah database pembukuan atau tidak
perlu dibuat suatu sistem akuntansi khusus untuk keperluan perpajakan.
Pada dasarnya yang membedakan laporan keuangan fiskal dengan laporan keuangan
komersail adalah bahwa penyusunan laporan keuangan fiskal didasarkan pada penerapan
mekanisme atau prinsip taxable dan deductible (taxability-deductibility mechanism).
Prinsip taxable (dapat dipajaki) dan deductible (dapat dikurangi) merupakan prinsip yang
lazim diterapkan dalam perencanaan pajak, yang pada umumnya mengubah penghasilan yang
merupakan objek pajak (taxable) menjadi penghasilan yang tidak merupakan objek pajak (non
taxable), serta mengubah biaya yang tidak boleh dikurangkan (non deductible) menjadi biaya
yang boleh dikurangkan (deductible), atau sebaliknya, didasarkan pada ketentuan perpajakan,
dengan konsekuensi terjadinya perubahan pajak terutang akibat pengubahan tersebut.
Implementasi dari konsep taxability deductibility juga berarti bahwa biaya-biaya baru
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dari pihak pembayar apabila pihak penerima uang atas
biaya perusahaan tersebut melaporkannya sebagai penghasilan dan penghasilan tersebut
dikenakan pajak.
Penghitungan laba komersial mengacu pada konsep matching of cost with revenue
(pengaitan biaya dan pendapatan). Konsep ini melibatkan pengakuan penghasilan dan beban
secara gabungan atau bersamaan yang dihasilkan secara langsung dan bersama-sama dari
peristiwa lain yang sama. Apabila pengakuan suatu pendapatan ditunda, maka pembebanan
biayanya juga akan ditunda sampai saat diakuinya pendapatan tersebut.
Laba kena pajak atau penghasilan kena pajak merupakan laba yang dihutung berdasarkan
ketentuan perpajakan. Prinsip taxability deductibility yang dianut dalam melakukan
penghitungan penghasilan kena pajak dengan benar dan tepat, pada dasarnya adalah penjabaran
dari ketentuan perpajakan yang ditetapkan pada pasal 4 ayat 1 dan 2 (penghasilan) dan pasal 6
ayat 1 (biaya deductible), serta pasal 9 ayat 1 (biaya non deductible) UU No 7 tahun 1983 yang
diubah terakhir kali dengan UU No.36 tahun 2008 mengenai pajak penghasilan beserta peraturan
pelaksanaannya, yakni:
Strategi yang telah diuraikan dalam bab-bab terdahulu terkait dengan upaya wajib pajak untuk
mengefisiensikan PPh Badan dengan penerapan tax planning yang disesuaikan dengan situasi
dan kondisi perusahaan. Masing-masing perusahaan mempunyai karakter masalah yang berbeda-
beda sesuai nature of business perusahaan tersebut, sehingga dalam melakukan perencanaan
pajak kita juga tidak boleh mengeneralisasi permasalahan, tapi fleksibel mengikuti alurnya
dengan fokus kepada pencapaian tujuan yang kita inginkan.
Beberapa upaya yang bisa dilakukan wajib pajak dalam mengefisienkan pembayaran PPh Badan
Apabila dibandingkan antara stelsel akrual dan stelsel kas, menurut versi
perpajakan, dalam hal biaya administrasi dan umum pada basis akrual dibebankan pada
saat timbulaya kewajiban, sedangkan pada basis kas biaya tersebut baru dilaporkan pada
saat terjadinya pembayaran. Dari segi strategi perpajakan, lebih menguntungkan memilih
basis akrual daripada basis kas
Pencatatan itu terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran
atau penerimaan bruto dan atau penghasilan bruto yang digunakan sebagai dasar untuk
menghitung jumlah pajak yarg terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak
dan atau yang dikenai pajak yang bersifat final, dengan kriteria sebagai berikur:
a. Bagi wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas,
pencatatan meliputi Peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan
lainnya
b. Bagi Wijib pajak orang pribadi vang semata-mata menerima penghasilan dari luar
usaha dan pekerjaan bebas, pencatatantaya hanya mengenai: Penghasılan bruto,
pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan objek pajak penghasilan
c. Pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenai
pajak yang bersifat final
Besarnya peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun bagi wajib pajak orang pribadi yang boleh
meghitung penghasilan neto dengan menggunkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Pasal 14 ayat 2 UU Nomor
36 Tahun 2008, menjadi kurang dari Rp 4.800.000.000.
Untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan pajak orang pribadi harus
memberitahu Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun
pajak yang bersangkutarn
Untuk melihat mana yang paling menguntungkan bagi wajib pajak, apakah menggunakan
pembukuan atau pencatacan, berikut ini contoh analisis perbandingan pembukuan dengan
pencatatan
Bila diasumsikan rate of return adalah 15%, maka laba bersih usaha (pembukuan) =
Dari contoh perhitungan diatas, lebih emnguntungkan bagi notaris Badu membuat
pembukuan dari pada harus menggunakan norma penghitungan penghasilan neto dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya, karena PPh terutangnya lebih rendah.
2. Pemilihan Metode Penyusutan Aktiva Tetap dan Amortisasi Atas Aktiva Tidak Berwujud
Metode penyusutan aktiva tetap diatur dalam PSAK No. 16. Berbeda dengan akuntansi
komersial yang memperbolehkan perusahaan menggu- nakan metode garis lurus (straight-line
method), metode saldo menurun(diminishing balance method), metode jumlah unit(stam of the
unit method), metode penyusutan aset dipilih berdasarkan ekspektasi pola konsumsi manfaat
ekonomis masa depan dari aset, maka untuk tujuan perpajakan perusahaan hanya boleh memilih
metode garis lurus atau metode saldo menurun.
Sesuai Pasal 11 Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 yang diubah terakhir kali dengan
Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 mengenai Pajak Penghasilan, di mana metode penyusutan
yang diperbolehkan berdasarkan ketentuan ini, dilakukan dengan:
a. Metode garis lurus atau straight-line method:
Metode ini menghasılkan pembebanan yang tetap selama masa umut manfaat aset jika nilai
residunya tidak berubah; atau
b. Metode saldo menurun atau declining balance method:
Metode ini menghasilkan pembebanan yang menurun selama masa umur manfaat dengan
cara menerapkan rarif penyusutan atas nilai sisa buku.
Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat asas. Untuk harta
berwujud bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus. Harta berwujud selain
bagunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun. Dalam hal
wajib pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa
manfaat harus disusutkan sekaligus. Masing-masing metode penyusutan tersebut memiliki
kelebihan dan kekurangannya dan pilihan penggunaannya tergantung pada kepentingan
pemakainya (user).
PT. Kontinental
Bahwa future value dari penyusutan fiskal dengan metode garis lurus lebih kecil
dibandingkan dengan metode saldo menurun. Ini berarti metode garis lurus menghasilkan
laba fiskal yang lebih tinggi dibanding dengan metode saldo menurun, yakni sebesar Rp
387.866.516 - Rp 357.406.250 = Rp 30.460.266.
Dampaknya terhadap PPh badan yang terutang adalah, beban PPh badan menggunakan
metode garis lurus lebih tinggi dibanding dengan metode saldo menurun yakni sebesar 25%
x Rp 30.460.266 = Rp 7.615.066.
Selanjutnya kita akan menganalisis seberapa besar efisiensi PPh yang dapat diperoleh
dari masing-masing tahun yang diakibatkan dari pengurangan PPh (tarif PPh Th 2009 = 25%),
yakni sebagai berikut:
Hanya tahun pertama hingga tahun ketiga saja diperoleh efisiensi PPh, di tahun keempat
hingga tahun ketujuh terjadi sebaliknya (inefIsiensi). Tapi kesimpulan ini masih taksiran kasar,
belum bisa dijadikan pedoman dan harus dianalisis lebih lanjut dengan menghitung futme value
dari pengurangan PPh akibat penyusutan fiskal, seperti terlihat di table di bawah ini:
Metode garis lurus akan menghasilkan future value dari pengurangan PPh akibat penyusutan
fiskal yang lebih kecil dibandingkan dengan metode saldo menurun. Ini berarti metode garis
lurus menghasilkan laba fiskal yang lebih kecil dibanding dengan metode saldo menurun.
Dampaknya terhadap PPh badan yang terutang adalah beban PPh badan yang terutang
menggunakan metode saldo menurun lebih ef sien dibanding dengan metode garis lurus,
dengan mendapatkan penghematan sebesar Rp 120.404.129, - 112.789.063 = Rp 7.615.067
Konklusi dari analisis diatas adalah:
Dilihat dari prespektif future value, penggunaan metode garis lurus bisa menghasilkan laba
fiskal yang lebih tinggi dibanding dengan menggunakan metode saldo menurun, dalam
contoh diatas besarnya = Rp 30.460.266, namun hal ini berdampak pada beban PPh badan
menjadi lebih tinggi yaitu sebesar Rp 7.615.067, tapi dari sisi lain beban PPh badan yang
terutang menggunakan metode saldo menurun lebih efisien dibanding dengan metode garis
lurus sebesar Rp 7.615.067.
Penggunaan metode penilaian persediaan harus dilakukan secara taat asas. Masing-masing
metode penilaian persediaan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya dan pilihan
penggunaannya tergantung pada kepentingan dari pemakainya (user). Misalnya, untuk kepentingan
pemegang saham (dividen), perusahaan lebih cenderung menggunakan metode penilaian persediaan
FIFO karena akan lebih menguntungkan bagi wajib pajak dari segi laba komersialnya. Dibandingkan
dengan metode FIFO, metode rata-rata akan menghasilkan beban harga pokok lebih besar.
Dalam analisis berikut ini kita akan melihat perbandingan kedua metode tersebut, harga
pokok barang yang dijual atau dipakai dan bagaimana untung ruginya penggunaan metode tersebut
dilihat dari perpektif perpajakan:
Penggunaan metode FIFO akan menghasilkan harga pokok penjualan atau pemakaian yang
lebih kecil dibandingkan metode rata-rata. Karena laba kena pajak (profit after tax) nya
adalah lebih besar, maka beban PPh badan akan menjadi lebih besar.
Penggunaan metode rata-rata akan menghasilkan harga pokok penjualan atau pemakaian
yang lebih besar dibandingkan metode FIFO, sehingga karena laba kena pajak (profit after
tax) nya adalah lebih kecil, maka beban PPh badan akan menjadi lebih kecil.
Dalam situasi di mana terdapat terdapat kecenderungan harga barang semakin naik (tingkat
inflasi tinggi), maka metode rata-rata adalah lebih tepat digunakan.
4. Pemilihan pemberian kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk natura atau cash
Strategi utama efisiensi PPh badan yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan ini
sangat tergantung dari kondisi perusahaan. Contoh kiat perusahaan dalam memberikan fasilitas
perumahan dan transportasi untuk karyawan, dibahas lebih lanjut di poin 5 dan 6 dibawah ini.
Pemberian natura atau kenikmatan untuk kesejahteraan Karyawan tidak cocok dalam
kondisi sebagai berikut:
Bila beban PPh Pasal 21 sepenuhnya menjadi tanggungan karyawan, dalam hal ini
perusahaan hanya menjadi perantara pemotong PPh Pasal 21. Dalam laporan laba rugi
perusahaan tidak akan terlihat biaya PPh Pasal 21.
Bila karyawan diberi tunjangan PPh Pasal 21, tunjangan ini tercan- tum dalam slip gaji
pegawai dan SPT PPh Pasal 21 karyawan (form 1720), sehingga tunjangan tersebut
dikenai PPh (taxable), dan karena itu boleh dibebankan sebagai biaya (deductible).
Dalam laporan laba rugi perusahaan akan terlihat biaya tunjangan PPh Pasal 21.
Bila PPh Pasal 21 ditanggung oleh perusahaan, bukan sebagni tunjangan PPh Pasal 21,
dan karena itu merupakan kenikmatan(benefit im kind) dan tidak boleh dibebankan
sebagai biaya. Dalam laporan laba rugi perusahaan akan terlihat biaya PPh Pasal 21
terpisah dari gaji dan tunjangan karyawan lainnya.
2. Pengobatan Kesehatan Karyawan
Terdapat beberapa cara yang dilakukan oleh perusahaan dalam memberikan fasilitas pengobatan
untuk kesehatan karyawannya:
a. Reimbursement kwitansi biaya medikal dari dokter/klinik/rumah sakit.
- Cara ini banyak dilakukan oleh perusahaan menengah kebawah dan tertuang dalam
kontrak kerja, di mana karyawannya diperke nankan berobat ke rumah sakitklinik/doker
dengan membayar terlebih dahulu, kemudian oleh perusahaan akan diberikan
penggantian (reimbursement) sesuai bukti asli atas nama karyawan qq perusahaan yang
bersangkutan.
- Perlakuan perpajakannya: Pengeluaran semacam ini merupakan bagian dari
penghasilan karyawan yang bersangkutan karena diterima secara tunai dari perusahaan,
boleh dibiayakan (deductible) tetapi harus ditambahkan sebagai penghasilan karyawan
dalam SPT PPh pasal 21.
b. Karyawan diberi tunjangan pengobatan atau kesehatan (medical allowance) setiap bulan,
sakit maupun tidak sakit.
- Perlakuan perpajakannya: Pengeluaran semacam ini merupakan bagian dari
penghasilan karyawan yang bersangkutan yang diterima secara teratur, boleh dibiayakan
(deductible) tetapi harus ditambahkan sebagai penghasilan karyawan dalam SPT PPh
pasal 21.
c. Karyawan berobat di rumah sakit/klinik/dokter langganan dan pengambilan obat dari apotik
langganan.
- Cara ini banyak dilakukan oleh perusahaan menengah keatas dan tertuang dalam
kontrak kerja, di mana karyawannya diperkenankan berobat ke rumah
sakit/klinik/dokter yang ditunjuk.
- Perlakuan perpajakannya: Pengeluaran semacam ini merupakan natura atau kenikmatan
(benefit in kinds) dan tidak boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan.
d. Perusahaan mendirikan rumah sakit/klinik berikut dokter.
- Cara ini banyak dilakukan oleh perusahaan besar dan tertuang dalam kontrak kerja, di
mana karyawannya diperkenankan berobat ke rumah sakit/k-linik perusahaan.
- Perlakuan perpajakannya: Pengeluaran semacam ini merupakan natura atau
kenikmatan (benefit in kinds) dan tidak boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Chairil Anwar Pohan. Manajemen Perpajakan, Strategi Perencanaan Pajak dan Bisnis. 2013.
Jakarta: Gramedia Pustaka Umum