Вы находитесь на странице: 1из 16

GRADENIGO SYNDROME

Maliftha Dwi Aini, Siti Atikah Nurjannah, Nur Hilaliyah

Pendahuluan

Telinga adalah organ pendengaran dan keseimbangan. Telinga dibagi atas tiga
bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Otitis media supuratif
kronis (OMSK) adalah infeksi kronis pada telinga tengah dengan perforasi membran
tympani dan sekret keluar dari telinga terus menerus atau hilang timbul, sekret dapat
encer atau kental, bening atau berupa nanah. Jenis otitis media supuratif kronis dapat
terbagi dua jenis, yaitu OMSK tipe benigna dan OMSK tipe maligna. 1
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan otitis media akut menjadi otitis
media kronis yaitu terapi yang terlambat diberikan, terapi tidak adekuat, virulensi
kuman yang tinggi, daya tahan tubuh yang rendah misalnya pada keadaan gizi buruk
atau hygiene buruk. Gejala otitis media supuratif kronis antara lain otorrhoe yang
bersifat purulen atau mukoid, terjadi gangguan pendengaran, otalgia, tinitus, rasa
penuh di telinga dan vertigo.2
Komplikasi OMSK dibagi menjadi komplikasi intratemporal dan komplikasi
intrakranial. Sindrom gradenigo pada petrositis akibat komplikasi OMSK merupakan
salah satu komplikasi intratemporal yang cukup jarang terjadi.Walaupun kasus ini
jarang ditemukan namun sindrom gradenigo harus ditangani segera karena dapat
berakibat fatal. Neuroanatomi nervus abdusen (N.VI) dan nervus trigeminus cabang
oftalmika (N.V1) pada regio temporal menjelaskan patofisiologi sindrom gradenigo
pada petrosis akibat komplikasi OMSK ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang tomografi komputer atau MRI.
Pemeriksaan tomografi komputer mastoid dan atau MRI sangat penting untuk
membedakan inflamasi dengan penyakit non inflamasi pada aspek petrosus tulang
temporal. Penatalaksanaan sindrom gradenigo pada petrositis akibat komplikasi
OMSK meliputi terapi konservatif dan operatif.7

A. DEFINISI
Pada tahun 1907 Guiseppe Gradenigo mendeskripsikan gejala kompleks otitis
media supuratif ialah nyeri dalam distribusi saraf trigeminal dan kelumpuhan dari
nervus abdusen. Sejak saat itu adanya antibiotic kejadian ini kondisi yang berpotensi
fatal telah berkurang, tetapi kasus ini sesekali masih terjadi. Kondisi ini sering
dikenal terlambat. tentang etiologi dan gejala klinik yang dapat mengarah ke awal
diagnosa. 6
Gradenigo Syndrome secara klasik digambarkan sebagai trias klinis otitis media,
nyeri wajah dan kelumpuhan dari nervus abdusen yang pada masa lalu sering
berkembang dari infeksi tulang temporal petrosa ( yaitu, petrositis apikal). Trias dari
gradenigo syndrome tidak selalu timbul terutama di era pasca-antibiotik.9

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI


a) Anatomi Telinga Tengah4
1. Membran Timpani4

Gambar 1. Membran Timpani4


Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani dan
memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Ketebalannya rata-rata 0, 1
mm .Letak membrana timpani tidak tegak lurus terhadap liang telinga akan
tetapi miring yang arahnya dari belakang luar kemuka dalam dan membuat
sudut 45o dari dataran sagital dan horizontal. Dari umbo kemuka bawah
tampak refleks cahaya.
Membran timpani mempunyai tiga lapisan yaitu:
1) Stratum kutaneum (lapisan epitel) berasal dari liang telinga.
2) Stratum mukosum (lapisan mukosa) berasal dari kavum timpani.
3) Stratum fibrosum (lamina propria) yang letaknya antara stratum
kutaneum dan mukosum.
Secara Anatomis membrana timpani dibagi dalam 2 bagian:
1) Pars tensa
2) Pars flasida atau membran Shrapnell, letaknya dibagian atas muka dan
lebih tipis dari pars tensa dan pars flasida dibatasi oleh 2 lipatan yaitu :
a. Plika maleolaris anterior (lipatan muka).
b. Plika maleolaris posterior (lipatan belakang).

2. Kavum Timpani4

Gambar 2. Kavum Timpani4


Kavum timpani terletak didalam pars petrosa dari tulang temporal,
bentuknya bikonkaf. Diameter anteroposterior atau vertikal 15 mm, sedangkan
diameter transversal 2-6 mm. Kavum timpani mempunyai 6 dinding yaitu :
1) Atap kavum timpani.
Dibentuk tegmen timpani, memisahkan telinga tengah dari fosa kranial dan
lobus temporalis dari otak. bagian ini juga dibentuk oleh pars petrosa tulang
temporal dan sebagian lagi oleh skuama dan garis sutura petroskuama.
2) Lantai kavum timpani.
Dibentuk oleh tulang yang tipis memisahkan lantai kavum timpani dari bulbus
jugularis, atau tidak ada tulang sama sekali hingga infeksi dari kavum timpani
mudah merembet ke bulbus vena jugularis.
3) Dinding medial
Dinding medial ini memisahkan kavum timpai dari telinga dalam, ini juga
merupakan dinding lateral dari telinga dalam
4) Dinding Posterior
Dinding posterior dekat keatap, mempunyai satu saluran disebut aditus, yang
menghubungkan kavum timpani dengan antrum mastoid melalui epitimpanum.
Dibelakang dinding posterior kavum timpani adalah fosa kranii posterior dan
sinus sigmoid.
5) Dinding anterior
Dinding anterior bawah adalah lebih besar dari bagian atas dan terdiri dari
lempeng tulang yang tipis menutupi arteri karotis pada saat memasuki tulang
tengkorak dan sebelum berbelok ke anterior. Dinding ini ditembus oleh saraf
timpani karotis superior dan inferior yang membawa serabut-serabut saraf
simpatis kepleksus timpanikus dan oleh satu atau lebih cabang timpani dari arteri
karotis interna1. Dinding anterior ini terutama berperan sebagai muara tuba
eustachius.

Kavum timpani terdiri dari :


1) Tulang-tulang pendengaran (maleus, inkus, stapes)
2) Dua otot: otot tensor timpani dan otot stapedius.
3) Saraf korda timpani
Merupakan cabang dari nervus fasialis masuk ke kavum timpani dari
analikulus posterior yang menghubungkan dinding lateral dan posterior. Korda
timpani juga mengandung jaringan sekresi parasimpatetik yang berhubungan
dengan kelenjar ludah sublingual dan submandibula melalui ganglion
submandibular. Korda timpani memberikan serabut perasa pada 2/3 depan lidah
bagian anterior.
4) Saraf pleksus timpanikus
Berasal dari n. timpani cabang dari nervus glosofaringeus dan dengan nervus
karotikotimpani yang berasal dari pleksus simpatetik disekitar arteri karotis
interna.

3. Prosesus Mastoideus4

Gambar 3. Prosessus Mastoideus4


Rongga mastoid berbentuk seperti bersisi tiga dengan puncak mengarah ke
kaudal. Atap mastoid adalah fossa kranii media. Dinding medial adalah dinding
lateral fosa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak dibawah duramater pada daerah
ini
Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum. Aditus antrum
mastoid adalah suatu pintu yang besar iregular berasal dari epitisssmpanum posterior
menuju rongga antrum yang berisi udara, sering disebut sebagai aditus ad antrum.
Dinding medial merupakan penonjolan dari kanalis semisirkularis lateral. Dibawah
dan sedikit ke medial dari promontorium terdapat kanalis bagian tulang dari n.
fasialis. Prosesus brevis inkus sangat berdekatan dengan kedua struktur ini dan jarak
rata-rata diantara organ : n. VII ke kanalis semisirkularis 1,77 mm; n.VII ke prosesus
brevis inkus 2,36 mm : dan prosesus brevis inkus ke kanalis semisirkularis 1,25 mm.
Antrum mastoid adalah sinus yang berisi udara didalam pars petrosa tulang
temporal. Berhubungan dengan telinga tengah melalui aditus dan mempunyai sel-sel
udara mastoid yang berasal dari dinding-dindingnya. Antrum sudah berkembang baik
pada saat lahir dan pada dewasa mempunyai volume 1 ml, panjang dari depan
kebelakang sekitar 14 mm, daria atas kebawah 9mm dan dari sisi lateral ke medial 7
mm. Dinding medial dari antrum berhubungan dengan kanalis semisirkularis
posterior dan lebih ke dalam dan inferiornya terletak sakus endolimfatikus dan dura
dari fosa kranii posterior. Atapnya membentuk bagian dati lantai fosa kranii media
dan memisahkan antrum dengan otak lobus temporalis. Dinding posterior terutama
dibentuk oleh tulang yang menutupi sinus. Dinding lateral merupakan bagian dari
pars skumosa tulang temporal dan meningkat ketebalannya selama hidup dari sekitar
2 mm pada saat lahir hingga 12-15 mm pada dewasa. Dinding lateral pada orang
dewasa berhubungan dengan trigonum suprameatal ( Macewen’s) pada permukaan
luar tengkorak. Lantai antrum mastoid berhubungan dengan otot digastrik dilateral
dan sinus sigmoid di medial, meskipun pada aerasi tulang mastoid yang jelek,
struktur ini bisa berjarak 1 cm dari dinding antrum inferior. Dinding
anterior antrum memiliki aditus pada bagian atas, sedangkan bagian bawah dilalui
n.fasialis dalam perjalanan menuju ke foramen stilomastoid.
Prosesus mastoid sangat penting untuk sistem pneumatisasi telinga.
Pneumatisasi didefinisikan sebagai suatu proses pembentukan atau perkembangan
rongga-rongga udara didalam tulang temporal, dan sel-sel udara yang terdapat
didalam mastoid adalah sebagian dari sistem pneumatisasi yang meliputi banyak
bagian dari tulang temporal. Sel-sel prosesus mastoid yang mengandung udara
berhubungan dengan udara didalam telinga tengah. Bila prosesus mastoid tetap berisi
tulang-tulang kompakta dikatakan sebagai pneumatisasi jelek dan sel-sel yang
berpneumatisasi terbatas pada daerah sekitar antrum. Prosesus mastoid berkembang
setelah lahir sebagai tuberositas kecil yang berpneumatisasi secara sinkron dengan
pertumbuhan antrum mastoid. Pada tahun pertama kehidupan prosesus ini terdiri dari
tulang-tulang seperti spon sehingga mastoiditis murni tidak dapat terjadi. Diantara
usia 2 dan 5 tahun pada saat terjad i pneumatisasi prosesus terdiri atas campuran
tulang-tulang spon dan pneumatik. Pneumatisasi sempurna terjadi antara usia 6 – 12
tahun. Luasnya pneumatisasi tergantung faktor herediter konstitusional dan faktor
peradangan pada waktu umur muda. Bila ada sifat biologis mukosa tidak baik maka
daya pneumatisasi hilang atau kurang. Ini juga terjadi bila ada radang pada telinga
yang tidak menyembuh. Maka nanti dapat dilihat pneumatisasi yang terhenti atau
pneumatisasi yang tidak ada sama sekali (teori dari Wittmack).

Pneumatisasi prosesus mastoideus ini dapat dibagi atas :


1) Prosesus Mastoideus Kompakta ( sklerotik), diomana tidak ditemui sel-sel.
2) Prosesus Mastoideus Spongiosa, dimana terdapat sel-sel kecil saja.
3) Prosesus Mastoideus dengan pneumatisasi yang luas, dimana sel-sel disini
besar.

Gambar 4. Perjalanan nervus abdusen ke otot mata, tampak lateral7

Guisseppe gradenigo menyatakan hubungan anatomi apek petrosus tulang


temporal dengan perjalanan nervus trigeminus cabang oftalmika dan nervus abdusen
menyebabkan nervus tersebut mudah cedera akibat inflamasi ataupun trauma. Secara
neuroanatomi ganglion trigeminal terletak di kavum Meckel basis kranii di antero-
superior apek os petrosus, tepat di lateral bagian posterolateral sinus kavernosus.
Ganglion ini membentuk tiga buah cabang nervus trigeminus ke area wajah yang
berbeda, yaitu nervus oftalmikus (V1) yang keluar dari tengkorak melalui fisura
orbitalis superior, nervus maksilaris (V2) yang keluar melalui foramen rotundum dan
nervus mandibularis (V3) yang keluar melalui foramen ovale. Nervus trigeminus
cabang oftalmika merupakan serabut sensorik bola mata. Sedangkan nukleus nervus
kranial abdusen terletak di kaudal tegmen pontis, tepat di bawah ventrikel keempat.
Nervus abdusen keluar dari batang otak kemudian berjalan disepanjang klivus yaitu 1
cm di bawah apek petrosus pada ligamen petroklinoid bersama nervus trigeminus
cabang oftalmika yang kemudian masuk ke kanal Dorello. Melalui kanal ini nervus
abdusen dan nervus trigeminus cabang oftalmika berjalan ke sinus petrosal inferior
selanjutnya menembus duramater yang kemudian bergabung dengan saraf saraf otot
mata lain di sinus kavernosus. Nervus ini terus menuju ke fisura orbita superior
masuk ke medial muskulus rektus lateral. Nervus abdusen bekerja pada muskulus
rektus lateral untuk menggerakkan bola mata ke lateral. Inflamasi disekitar daerah
tersebut akan mengiritasi nervus abdusen sehingga melumpuhkan muskulus rektus
lateral dan mengiritasi nervus trigeminus cabang oftalmika yang menimbulkan rasa
nyeri pada retroorbita.

4. Tuba Eustachius4
Gambar 5. Tuba Eustachius4

Tuba eustachius disebut juga tuba auditory atau tuba faringotimpani.


Bentuknya seperti huruf S. Pada orang dewasa panjang tuba sekitar 36 mm berjalan
ke bawah, depan dan medial dari telinga tengah 13 dan pada anak dibawah 9 bulan
adalah 17,5 mm.Tuba terdiri dari 2 bagian yaitu:
1) Bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian).
2) Bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3 bagian).
Otot yang berhubungan dengan tuba eustachius yaitu:
1) M. tensor veli palatini
2) M. elevator veli palatini
3) M. tensor timpani
4) M. salpingofaringeus

b) Fisiologi pendengaran3
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea.
Getaran tersebut menggetarkan membrane timpani diteruskan ke telinga tengah
melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui
daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membrane timpani
dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke
stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibule
bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner yang mendorong
endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relative antara membrane basilaris dan
membrane tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan
terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses
depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis
yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke
nucleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.

C. EPIDEMIOLOGI
Petrositis apikal umumnya ditemukan sebelum pengenalan antibiotik.
Sekarang tampaknya sangat jarang. Sebagian besar laporan tentang petrositis apikal
dalam literatur adalah kasus klinis tunggal, dan menentukan frekuensinya sulit.8
Petrositis dengan gejala yang lengkap memenuhi kriteria trias sindrom
gradenigo sangat jarang, hanya 24 kasus yang ditemukan dari 57 kasus yang diteliti
oleh Gradenigo. Keterlambatan dalam mendiagnosis petrositis ataupun terapi yang
tidak adekuat dapat berakibat fatal yaitu mengakibatkan komplikasi intrakranial
seperti abses ektradural, sindrom horner, rupture karotis, labirintis, dan meningitis.7
Dalam review retrospektif dari kasus petrositis apikal yang terjadi selama
periode 40 tahun, Gadre dan Chole menemukan bahwa enam dari 44 pasien dengan
kondisi (13,6%) memiliki sindrom Gradenigo.10

D. ETIOLOGI
Pada pasien dengan infeksi otitis media supuratif dapat menyebar ke apeks
petrosa dari tulang temporal, sehingga menimbulkan petrositis apikal. Petrositis
apikal dapat disebabkan oleh organisme, biasanya disebabkan oleh Streptococcus
pneumonia, Haemophilus influenza, Pseudomonas, dan Staphylococcus aureus yang
terperangkap di dalam sistem sel udara kompleks dari apeks petrosa. Penyumbatan
sistem sel udara ini dapat terjadi akibat peradangan akut atau kronis atau
penyumbatan mekanis dari lesi yang menganggu. 9,10
Perluasan langsung infeksi mastoid dan telinga tengah melalui traktus
saluran udara pneumatisasi ke apeks petrosa, yang dapat terjadi sebagai komplikasi
yang jarang terjadi pada otitis media akut atau kronis. tidak terdeteksinya dan
kurangnya drainase dari sel udara yang terinfeksi dari apeks petrosa harus melalui
saluran udara kecil ke telinga tengah dan mastoid. Saluran ini terdiri dari saluran sel
udara infralabyrinthine, saluran retrofacial, dan sel-sel udara peritubal superior ke
tuba eustachius.9,10

E. PATOFISIOLOGI
Bakteri pindah dari telinga tengah ke sel-sel udara mastoid, yang
mengandung banyak pembuluh darah dan rentan terhadap infeksi. Kemudian
menyebar ke tulang temporal petrosa. Tulang petrosa dapat terdiri dari tiga jenis :
pneumatisasi dengan sel udara memanjang ke apeks petrosa, diploic yang hanya
mengandung vascular dan sklerotik. Pneumatisasi apeks petrosa terjadi hanya pada
30% kasus dengan sel yang membentang dari telinga tengah atau mastoid ke apeks
petrosa. Biasanya ada dua saluran : 10
1. Saluran posterior yang dimulai pada mastoid dan berjalan dibelakang atau di atas
labirin tulang ke puncak petrosa; beberapa sel bahkan melewati lengkungan
superior kanalis semisirkularis untuk mencapai puncak.10
2. Saluran anteroinferior yang dimulai pada hypotympanum dekat tuba eustachius
mengelilingi koklea mencapai puncak petrosa10
Proses infeksi berjalan disepanjang saluran dan jangkauan sel ini puncak
petrosa. Proses patologis serupa dengan coalescent mastoiditis membentuk abses
epidural pada puncak petrosa melibatkan saraf cranial VI dan ganglion trigeminal.10

F. DIAGNOSIS
Diagnosis sindrom gradenigo pada petrositis akibat komplikasi OMSK
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
tomografi komputer atau MRI. Sindrom gradenigo ditegakkan berdasarkan adanya
trias gejala yaitu otore, nyeri retroorbita dan parese nervus abdusen ipsilateral
Gambar 6. Bola mata kiri tidak bisa digerakkan ke arah lateral

Gambar 7. Bola mata kanan tidak bisa di gerakkan kea rah lateral

Sindrom gradenigo tidak hanya terdapat pada petrositis tapi juga bisa pada
trombosis sinus lateral akibat komplikasi OMSK. Trombosis sinus lateral terjadi
akibat penyebaran infeksi pada sinus lateral melalui dehiscence tulang diatasnya
sebagai salah satu akibat komplikasi OMSK. Gejala klinisnya berupa trias sindrom
gradenigo, demam, anemia, dan berlanjut dengan gejala septik emboli seperti papil
edema, sakit kepala hebat yang menandakan perluasan inflamasi ke sinus kavernosus
melalui sinus petrosal superior dan inferior yang dapat menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial (TIK) akibat gangguan drainase otak. Papil edema dapat
merupakan gejala dari suatu trombosis sinus lateral atau trombosis sinus kavernosus.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan radiologi dengan tomografi computer (CT scan) atau MRI sangat
penting dalam membuat diagnosis sindrom gradenigo ec petrositis. Tomografi
komputer mastoid atau MRI dapat membedakan suatu inflamasi dengan non
inflamasi pada os petrosus tulang temporal. Adanya suatu inflamasi akan terlihat
gambaran lesi berupa perselubungan, cairan (air fluid level) atau pneumatisasi tidak
beraturan pada tulang temporal yang menandakan suatu destruksi atau erosi.
Diagnosis banding sindrom gradenigo ec petrositis antara lain granuloma kolesterol,
osteomilitis, trombosis sinus lateral, trauma tulang temporal, infiltrasi tumor
nasofaring, neoplasma seperti neuroma akustik, meningioma, kondroma dan

16,17 18
kordoma. Dikutip dari Tornabe , Jacky dan Parker menyatakan tomografi
komputer sebagai pemeriksaan pilihan yang cukup sensitif dengan angka positif palsu
yang rendah. Damrose EJ19 menyatakan bahwa petrositis pada tomografi komputer
terlihat berupa bayangan opak atau koalesen pada sel udara di apek petrosus. Namun
pemeriksaan MRI lebih baik dibandingkan tomografi komputer (CT scan) karena
pada MRI dapat melihat gambaran jaringan lunak lebih jelas untuk menilai suatu
inflamasi.

Gambar 8. foto polos kepala pada CT scan menunjukkan adanya otomastoiditis


pada petrous apicitis
Gambar 9. Gambaran MRI kepala dengan contrast menunjukkan adanya
Penebalan jaringan lunak serta meckel’s cave yang mengkompresi nervus
abdusen

G. TATA LAKSANA

Penatalaksanaan sindrom gradenigo pada petrositis tergantung kepada


etiologi. Sejak era antibiotik, tidak semua kasus petrositis membutuhkan intervensi
bedah. Pembedahan pada petrositis diperlukan bila tidak respon terhadap terapi
konservatif atau berpotensi untuk terjadi komplikasi intrakranial. Sesuai kepustakaan
terapi konservatif meliputi antibiotik sistemik intravena sesuai kultur sensitivitas
selama 2 sampai 4 minggu seperti ceftriaxone, cefotaxime, imipenem, atau
piperacilin/tazobactam. Anti inflamasi sistemik intravena, cuci telinga dengan H 2O2

3% dan antibiotik tetes telinga. Sedangkan terapi operatif meliputi mastoidektomi dan

18,19,20
bila terjadi destruksi pada apek petrosus dilakukan petrosektomi.

F. PROGNOSIS
Parese nervus abdusen pada kasus sindrom gradenigo akibat petrositis akan
mengalami perbaikan dan kembali normal seiring penyembuhan proses inflamasi

20
pada apek petrosus tulang temporal. Burston BJ dkk melaporkan 2 kasus parese
nervus abdusen pada petrositis yang diterapi konservatif mengalami pemulihan pada

20
muskulus rektus lateral setelah 6 sampai 12 minggu. Dikutip dari Burston , Hilding
dan Price melaporkan satu kasus petrositis yang dilakukan mastoidektomi dan
pemberian antibiotik intravena mengalami pemulihan pada nervus abdusen setelah 9
hari pasca operasi. Sedangkan Pada kasus ini perbaikan parese nervus abdusen mulai
jelas terlihat pada hari ke- 7 pasca operasi mastoidektomi dan perbaikan total pada
hari ke-30 pasca operasi mastoidektomi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adams FL, Boies LR, Higler PA. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed.
Jakarta: EGC. h 95-114.
2. Pangemanan DM, Palandeng OI, Pelealu OC. 2018. Otitis Media
Supuratif Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP Prof. Dr. R. D.
KandouPeriode Januari 2014-Desember 2016. Bagian Ilmu THT-KL
Fakultas Kedokteran Sam Ratulangi. Manado; Fakultas Kedokteran Sam
Ratulangi.
3. Soetirto Indro, Hendarmin Hendarto, Bashiruddin Jenny. 2012.
Gangguan Pendengaran (Tuli) dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, dan Tenggorokan 7th ed. Jakarta : FK UI. h 14.
4. Dhingra PL, Dhingra S. 2007. Disease of ear, nose and throat, 6 t h
ed, India: Elsevier
5. Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. 2012. Komplikasi Otitis Media
Supuratif dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan
Tenggorokan 7 th ed. Jakarta : FK UI. h 73-74.
6. Motamed M, Kalan A. Gradenigo’s Syndrome. Postgrad Med J :
First published 10.1136/pmj.76.899.559 on 1 September 2000.
Available from :
https://pmj.bmj.com/content/postgradmedj/76/899/559.full.pdf .
7. Edward Y, Yurni. Sindrom Gradenigo pada Otitis Media
Supuratif Kronis tipe Bahaya. Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL
Fakultas Kedokteran Andalas. Padang; Fakultas Kedokteran
Andalas. Available from :
http://repository.unand.ac.id/18114/1/Sindrom%20Gradenigo
%20pada%20OMSK%20tipe%20bahaya-%20Yurni.pdf .
8. Gadre AK, MD, FACS, MS (Bom), DORL; Chole, RA, MD,
PhD. The Changing Face of Petrous Apicitis-A 40 Year
Experience. The American Laryngological Rhinological and
Otological Society, Inc; Laryngoscope, 128:195-201,2018.
Available from :
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1002/lary.26571 .
9. Vickers A,DO, Kini A, Ponce CP,MD. Maret, 2018. Gradenigo
Syndrome. American Academy of Ophtalmology. Available
from : http://eyewiki.aao.org/Gradenigo_Syndrome .
10. Yeung, AH. Agustus, 2018. Skull Base, Petrous Apex, Infection.
Department of Otolaryngology-Head and Neck Surgery, University of
California San Francisco. Available from :
https://emedicine.medscape.com/article/883256-overview.

Вам также может понравиться