Вы находитесь на странице: 1из 13

TUGAS KEWARGANEGARAAN

STUDI KASUS

Disusun Oleh:

Diego Bramasta Tolla 1121500024

Shohib Syaifullah Ramadhan 1121500032

Wahyudi Wijaya 1121500045

TEKNIK MESIN

INSTITUT TEKNOLOGI INDONESIA

SERPONG

2017
Studi Kasus 1
KORUPSI MENJADI MUSUH TERBESAR

Korupsi kini menjadi musuh terbesar bangsa Indonesia. Pada saat ini perjuangan
melawan korupsi terus dilakukan, bentuk-bentuk korupsi baru juga terus bermunculan dan
menyebar ke sejumlah daerah. Saat ini, hampir tidak ada daerah di Indonesia yang bebas
korupsi. Kesadaran bersama untuk membe-rantas diperlukan. Demikian sebagian kutipan
berita SK Kompas tanggal 25/9-2017.

Lebih lanjut diberitakan, bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai 30/6-
2017 telah menangani 31 provinsi dan perwakilan kita di luar negeri, disamping Instansi
Pusat. Sedangkan Kejak-saan Agung telah memproses di semua daerah. Ada 13 orang
Kepala/Wakil Kepala daerah yang tersangkut korupsi Diberhentikan Tetap, 9 orang
Diberhentikan Sementara, 3 orang Diaktifkan Kem-bali dan Tidak ada Penjelasan 14
orang. Bentuk korupsipun macam-macam: 1) dititipkan ke dealer; 2) disampaikan langsung
pada istri simpanan; 3) uang suap tetap atas nama penyuap, namun penggunaan ATM diatur
pemegang/koruptor; 4) sumbangan perusahaan untuk klub sepak bola dan lain sebagainya.

Pernyataan bahwa korupsi merupakan musuh terbesar bangsa telah disampaikan


sejumlah ka-langan beberapa tahun selumnya. Bung Hatta—Wapres Pertama—pada tahun
1960, bahkan menyebut korupsi telah menjadi budaya di Indonesia.

Ungkapan Bung Hatta—telah diulas SK Kompas 4/7-1970—saat menjadi penasehat


Komisi IV ben-tukan Presiden Suharto untuk memberantas korupsi. Komisi ini
beranggotakan: Wilopo (mantan PM); I.J.Kasimo (mantan Menteri); Anwar Tjokroaminoto
(pimpinan PSII) dan Johannes (mantan Rektor UGM). Dalam ulasan SK Kompas nyebutkan
bahwa menurut Bung Hatta korupsi dipicu bobroknya sistem politik dan dapat membuat
bangkrut demokrasi. Rohaniwan Franz Magnis-Suseno menyatakan bahwa korupsi adalah
pembusukan nyata yang dialami bangsa Indonesia. Meskipun telah menyebar ke daerah-
daerah, Mantan Ketua Umum DPP Muhammaddiyah Ahmad Syafii Maarif menegaskan,
bukan berarti Indonesia menyerah dalam upaya memberantas korupsi.

Kompas, 26/9-2017 menurunkan judul berita: Lembaga Antikorupsi Selalu Diganggu.


Menurutnya komitmen Pemerintah diperlukan. Dalam berita utama digambarkan kronologi
keberadaan lembaga pem-berantasan korupsi:

1) Era Orla, dibentuk Operasi Budi (SK Presiden no 275/1963) dan dipimpin A. H.
Nasution, dibubarkan setelah akan menyeret Dirut Perusahaan Dagang Negara dan ada gejala
politisasi. Berdiri lembaga baru, Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi yang
dipimpin Presiden. Karena keterbatasan sumber daya manusia, bubar dengan sendirinya;

2) Era Orba, dibentuk Tim Pemberan-tasan Korupsi (Keppres no 228/1967), tugas:


Jaksa Agung membantu Pem. mencegah dan menindak korupsi; Jan 1970 Komisi IV
dibentuk (Keppres no 12/1970) tugas: penelitian dan memberi pertimbangan kepada Pem.
dalam hal korupsi, Juli 1970 dibubarkan setelah ada indikasi sejumlah Pers. Negara terlibat
korupsi; dibentuk Tim Operasi Tertib (Keppres no 9/1977) tugas: mengordinasi dan
mengendalikan secara operasional seluruh kegiatan pemberantasan pungutan liar, menangani
1.127 kasus (1977-1981);

3) Era Reformasi, dibentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara


(Keppres no 27/1999) tugas melakukan pemeriksaan kekayaan pejabat negara, KPKPN
dilebur dalam KPK th 2002 berdasar UU no 30/2002, th 2000 dibentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi (UU no 31/1999 ttg Korupsi, PP 19/2000 tugas:
mengungkap kasus yang sulit ditangani Jagung, Judicial Review MA (2001) menyatakan
PPnya tidak sah. Komisi Pemberantasan Korupsi (UU no 30/2002 ttg KPK) Kewenangan:
menyelidik, menyidik,dan menuntut perkara korupsi, antara 2004 s/d Juni 2017 menyelidiki
896 kasus, UU KPK telah diuji materi hingga 18 kali dan beberapa kali dirancang direvisi.
Tim Gabungan Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi, dibentuk Mei 2005 (Keppres no
11/2005) bertanggung jawab lansung kepa Presiden, masa tugas 2 tahun, anggota: kepolisian,
kejaksaan, dan BPKP. Dibubarkan 2 Mei 2007 (Keppres no 10/2007)

KPK sekarang ini merupakan lembaga antikorupsi—menurut sejarahwan Anhar


Gonggong—yang lebih siap dibandingkan dengan pendahulunya, dimana masalah hak dan
kewajibannya telah tertuang secara jelas. Oleh karena itu Presiden maupun masyarakat harus
tetap mendukung secara nyata tidak retorika. Siapapun yang menjabat di KPK harus
melepaskan kepentingan institusi sebelumnya, sehingga tidak terpengaruh oleh para politisi
yang ingin melemahkan lembaga ini setelah banyak politisi terlibat dalam upaya korupsi.
Sementara itu poara koruptor—terutama dakalangan politisi—malah melaksanakan
regenerasi korupsi. Berita Kompas 27/9-2017, ada bupati dan walikota yang tertangkap,
dimana orang tua mereka sebagai pejabat yang sama diberhentikan dan dihukum karena
melakukan tindak korupsi. Demikian gambaran sepintas tentang korupsi di negara kita.

Hasil pembahasan kelompok kami :

Korupsi di indonesia memang jadi suatu kebiasaan buruk yang dilakukan oleh
pemerintahan, perusahaan, lembaga, bahkan kelompok kecil. Kalau di kutip dari pemicu
masalah, korupsi sudah ada pada saat sebelum indonesia merdeka. Tetapi kita memfokuskan
ke wilayah pemerintahan dan pengusaha. Korupsi disebabkan oleh keserakahan para oknum
yang ingin mendapatkan materi atau jabatan yg lebih tinggi. Dengan kata lain Indonesia
memiliki tingkat keserakahan yg tinggi. Pemerintahan yang seharusnya memiliki tugas
mengayomi negara serta rakyatnya. Angka korupsi di indonesia mencapai 50% dari total nya,
itu sebabnya sangat signifikan sekali. Pihak yang seharusnya disalahkan itu adalah per-
orangan itu tersebut. Mengapa turun temurun?? Karena otak kita sudah di cuci oleh suatu hal
yg berhubungan dengan kekuasaan dan kekayaan. Tetapi kesalahan tidak secara totalitas ada
di orang-orang tersebut, melainkan dari pihak KPK. Pihak KPK pun jg punya peran untuk
menyelesaikan korupsi dimana pun di Indonesia. KPK harus memiliki kinerja yang lebih
maksimal lagi dalam hal pencarian, terutama dalam hal korupsi yang turun temurun. Tidak
hanya itu kita dituntut pula juga untuk menyadari bahwa korupsi adalah dosa besar. Karena
korupsi membohongi serta mencuri haka milik oranh lain. Penerapan agama dalam diri
masing2 juga perlu diterapkan untuk menjalin hidup dengan baik dan tentram. Adanya dasar-
dasar penerapan yang baik dalam ber-organisasi jg bisa membuat kondisi korupis bisa di
tekan mundur perlahan lahan.

Studi Kasus 2
Sumber www.dw.com/id/korupsi-e-ktp

Korupsi E-KTP Rp 2,3 Triliun, Banyak Pejabat dan Politisi Disebut Terlibat. Banyak
nama-nama pejabat dan politisi yang disebut dalam surat dakwaan kasus korupsi E-KTP
yang kini digelar KPK. Belum tentu semua nama yang disebut terlibat.

Puluhan nama pejabat dan politisi teras disebut dalam surat dakwaan kasus korupsi
proyek kartu identitas penduduk - elektronik atau E-KTP. Di antaranya ada nama Menteri
Hukum dan HAM Yasonna Laoly, mantan Menteri Dalam Negeri era Susilo Bambang
Yudhoyono, Gamawan Fauzi, Mantan Ketua DPR Marzuki Ali, Gubernur Jawa Tengah saat
ini Ganjar Pranowo. Belum tentu semua nama-nama itu dapat dibuktikan terlibat korupsi di
pengadilan. Namun banyaknya politisi dan pejabat yang disebut-sebut terlibat dan nilai
kerugian negara yang mencapai Rp 2,3 triliun, mencatat sejarah baru kasus-kasus korupsi
besar di Indonesia. Yang saat ini ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK baru dua orang,
yaitu Irman, mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam
Negeri, dan Sugiharto, mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan di
Kementerian Dalam Negeri yang saat itu bertugas sebagai Pejabat Pembuat Komitmen.
KPK sudah memperingatkan agar tidak terjadi guncangan politik. Dalam surat dakwaan yang
dibacakan hari Kamis (9/3) juga disebut-sebut nama Ketua Umum Golkar saat ini, Setya
Novanto, yang menjabat sebagai Ketua DPR. Pada saat kasus korupsi itu bergulir, Setya
Novanto menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR. Sebelum menggelar kasus ini
di pengadilan, KPK sudah memperingatkan agar tidak terjadi goncangan politik, karena
banyak "nama besar" yang akan disebut. Menurut KPK, kasus korupsi E-KTP melibatkan
sekitar 80 konspirator dan beberapa perusahaan besar. Proyek itu dianggarkan di parlemen
dengan dana total Rp. 5,9 triliun.

Setya Novanto, namanya disebut-sebut memegang peran penting dalam proyek E-KTP. Dari
anggaran tersebut, sekitar setengahnya direncanakan untuk pembuatan sistem E-KTP,
sedangkan sisanya, sekitar Rp 2,6 triliun, rencananya akan dibagikan kepada para politisi dan
pejabat untuk memenangkan tender dan memuluskan pencairan anggaran. Hingga kini, sudah
ada sembilan politisi yang membantah terlibat dalam korupsi E-KTP, antara lain Ketua DPR
Setya Novanto dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Korupsi E-KTP menjadi ujian
baru bagi pemerintahan Jokowi untuk menunjukkan komitmen terhadap upaya
pemberantasan korupsi dan memperkuat institusi anti-korupsi. Transparency International
tahun lalu menempatkan Indonesia di peringkat 90 dari 176 negara, jauh dari target Indonesia
untuk mencapai peringkat ke 50 pada tahun 2016.

Studi kasus 3
Sumber http://bisniskeuangan.kompas.com

Pada 18 Januari 2017, mantan Direktur Utama (dirut) PT Garuda Indonesia Emirsyah
Satar ditetapkan sebagai tersangka korupsi olehKPK. Emirsyah, saat menjadi dirut Garuda,
diduga menerima suap dalam bentuk transfer uang dan aset senilai lebih dari 4 juta dollar AS
terkait pengadaan mesin Rolls-Royce untuk pesawat Airbus milik Garuda Indonesia.
Penyuapan diduga dilakukan agar perusahaan asal Inggris tersebut menjadi penyedia mesin
bagi maskapai penerbangan nomor satu di Indonesia tersebut.

KOMPAS.com/

ABBA GABRILLIN Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, seusai
diperiksa sebagai tersangka di Gedung KPK Jakarta, Jumat (17/2/2017). Berselang sekitar 2,5
bulan, tepatnya pada 31 Maret 2017, giliran Dirut PT Pal
Indonesia M Firmansyah Arifin dicokok KPK. Firmansyah dan sejumlah koleganya diduga
menerima suap terkait pembuatan dua kapal perang untuk pemerintah Filipina. Proyek
pengadaan dua kapal perang tersebut senilai 86,96 juta dollar AS. Diduga, pejabat PT Pal
menyepakati adanya cash back dengan perusahaan perantara, dari keuntungan penjualan
sebesar 4,75 persen. Keuntungan sebesar 1,25 persen atau senilai 1,087 juta dollar AS akan
diberikan kepada pejabat PT Pal. Sementara, keuntungan 3,5 persen menjadi bagian untuk
perusahaan perantara.
KOMPAS.com/
ABBA GABRILLIN Direktur Utama PT PAL Indonesia, Muhammad Firmansyah
Arifin, mengenakan rompi oranye saat memasuki mobil tahanan di Gedung KPK Jakarta,
Jumat (31/3/2017). Garuda Indonesia dan PT Pal Indonesia merupakan dua Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) yang tergolong perusahaan papan atas. Garuda Indonesia merupakan
maskapai penerbangan terbesar di Indonesia, sementara PT Pal merupakan galangan kapal

terbesar di nusantara. Dua kasus itu seolah menegaskan masih kentalnya budaya korupsi di
tubuh BUMN. Sebelum mereka, sudah berderet-deret pejabat BUMN yang menjadi pesakitan
kasus korupsi. Bahkan, ada indikasi budaya korupsi di BUMN semakin kental. Hal itu antara
lain tercermin dari meningkatnya kasus korupsi yang ditangani KPK, yang melibatkan
pejabat dan pegawai BUMN. Berdasarkan data KPK, jumlah perkara korupsi yang
melibatkan BUMN/BUMD mencapai 11 kasus pada 2016. Jumlah tersebut meningkat
signifikan dibandingkan tahun 2015 yang hanya 5 kasus. Pada tahun-tahun sebelumnya pun,
jumlah perkara yang melibatkan BUMN/BUMD paling banyak 7 kasus, yakni pada 2010.
Indikasi lainnya terlihat dari laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) yang
diterima Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Selama Januari -
Februari 2017, PPATK menerima LTKM yang dilakukan pegawai atau pejabat
BUMN/BUMD sebanyak 159 laporan. Jumlah tersebut meningkat signifikan dibandingkan
periode sama tahun 2016 yang sebanyak 89 laporan. LTKM merupakan laporan transaksi
seseorang yang tidak sesuai dengan profil pekerjaannya. Misalnya seorang PNS dengan gaji
Rp 10 juta per bulan, diketahui melakukan transaksi miliaran rupiah tanpa penjelasan apapun.
Transaksi mencurigakan umumnya terkait dengan praktik korupsi atau pencucian uang.

Dok KPK Perkembangan jumlah kasus korupsi yang ditangani KPK


berdasarkan instansi per 2016.

Maraknya korupsi di tubuh BUMN selama ini telah membuat kinerja BUMN kurang optimal
dan tidak efisien. Pada tahun 2013, total aset dari seluruh BUMN sebanyak 138 perusahaan
mencapai Rp 4.024 triliun dengan suntikan modal dari pemerintah sebesar Rp 934 triliun.
Namun, dividen yang diterima negara hanya sebesar Rp 34 triliun. Artinya, return on
investment (ROI) BUMN hanya 3,6 persen.
Penyertaan modal Negara
Kentalnya budaya korupsi BUMN harusnya mendorong pemerintah untuk melakukan
pembenahan menyeluruh dan memperketat pengawasan terhadap BUMN Namun,
pemerintahan Presiden Jokowi malah menggelontorkan dana ratusan triliunan rupiah sebagai
Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada sejumlah BUMN. Pada tahun 2017, pemerintah
kembali menganggarkan PMN untuk sejumlah BUMN, dengan nilai sebesar Rp 4 triliun.
Adapun pada tahun 2015 dan 2016, pemerintah menggelontorkan PMN masing-masing Rp
64,53 triliun dan Rp 50,48 triliun. PMN dalam jumlah besar diberikan karena pemerintahan
Jokowi ingin menjadikan BUMN sebagai pilar utama pembangunan ekonomi pemerintah.
BUMN-BUMN yang mendapatkan PMN akan menjadi pemain utama dalam pembangunan
infrastruktur, pertanian, dan maritim yang menjadi sektor prioritas pemerintahan Jokowi.
Namun pertanyaannya, di tengah kultur korupsi yang masih membelit BUMN, bukankah
banyaknya proyek yang dipercayakan kepada BUMN malah akan memperbesar potensi
korupsi?

Terbukti, sejak digelontorkannya PMN dalam jumlah besar mulai 2015, praktik korupsi
BUMN cenderung meningkat dengan jumlah kasus korupsi terbanyak terjadi pada 2016. Kita
tentu berharap tingkat korupsi BUMN pada 2017 akan berkurang. Namun, melihat kasus
korupsi yang terjadi pada dua BUMN besar di bulan-bulan awal 2017, wajar kalau kita
menjadi pesimistis. Apalagi, di era Presiden Jokowi, makin terang-terangan posisi komisaris
BUMN dijadikan jatah untuk para tokoh pendukung pemerintah yang tidak mendapatkan
jabatan di pemerintahan. Tentu tidak masalah sepanjang para tokoh tersebut memiliki
kompetensi terkait bidang usaha yang digeluti BUMN bersangkutan. Namun, sayangnya
lebih banyak yang latar belakangnya tidak sesuai. Kondisi ini tentu akan memperlemah
pengawasan terhadap BUMN. Dengan pengawasan yang lemah, korupsi BUMN bisa makin
menggila.

TINDAK PIDANA KORUPSI PERUSAHAAN

Pasal 372 KUHP:


Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya
atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan
karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat
tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Pasal 374 KUHP:


Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan
karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Sedangkan mengenai Pasal 374 KUHP, R. Soesilo menjelaskan bahwa ini adalah
penggelapan dengan pemberatan. Pemberatan-pemberatan itu adalah:
a) Terdakwa diserahi menyimpan barang yang digelapkan itu karena hubungan
pekerjaannya (persoonlijke dienstbetrekking), misalnya perhubungan antara majikan dengan
buruh;
b) Terdakwa menyimpan barang itu karena jabatannya, misalnya tukang binatu
menggelapkan pakaian yang dicucikan kepadanya;
c) Karena mendapat upah uang (bukan upah yang berupa barang), misalnya pekerja stasiun
membawakan barang orang penumpang dengan upah uang, barang itu digelapkannya.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat ketentuan Pasal 374, yang
apabila dilihat dari kaca mata praksisnya dapat berbentuk penggelapan dana kegiatan, mark-
up nilai transaksi, pemalsuan tanda-tangan, pemalsuan surat keterangan dokter,
penerimaan grativikasi, pembobolan sistem aturan lembaga, dll. Kendati sudah diatur dalam
undang-undang, tidak semua perusahaan memutuskan pada tahap awal untuk langsung
menyerahkan kasus ini ke ranah hukum. Kasus-kasus demikian biasanya diproses lebih dulu
secara internal.
Proses penanganan kasus-kasus tersebut secara internal tentu harus dilakukan dengan
penyidikan atas laporan yang diterima dan kemudian ditemukan beberapa bukti sebagai
syarat atas adanya pelanggaran tersebut. Selanjutnya, pihak yang berwenang di internal
melakukan klarifikasi kepada pekerja termaksud dengan tetap mengedepankan asas praduga
tak bersalah. Apabila dalam klarifikasi tersebut diketahui bahwa pekerja terbukti melakukan
tindak pidana Pasal 374 KUHP tersebut, maka pihak berwenang di perusahaan meminta
dibuatkan surat pernyataan dari pekerja terkait. Surat Pernyataan yang telah ditandatangani
oleh pekerja tersebut akan menjadi salah satu pembuktian tambahan agar dapat dilaporkan
kepada pihak yang berwajib, yakni pengajuan laporan adanya tindak pidana ke kantor
Kepolisian setempat.
Jerat pidana sebagai sanksi atas pelanggaran yang dilakukan terhadap penyalahgunaan
wewenang yang dimiliki pekerja diatur sebagai pidana penjara selama 5 (lima) tahun, akan
tetapi dalam pelaksanaannya memungkinkan terjadinya “pengampunan” atas kesalahan
penggelapan karena adanya kewenangan dalam suatu hubungan kerja ini dengan pemberian
sanksi yang lebih ringan di mana para pihak sepakat untuk tidak melanjutkan ini ke dalam
ranah hukum, artinya sama-sama menyepakati untuk menyelesaikan masalah secara damai
dengan ditandai oleh keinginan pekerja untuk melakukan penggantian kerugian perusahaan
sebesar nilai kerugian yang terjadi. Selanjutnya pekerja yang melakukan penyalahgunaan
wewenang tersebut biasanya mengajukan pengunduran diri. Hal ini disinggung
pengaturannya dalam UU No. 13 Tahun 2013, tepatnya pada Pasal 162 ayat (1,2,3,4),
bahwa pengunduran diri yang dilakukan pekerja menjadi dasar penurunan atas sanksi pidana
yang ada, karena dalam ayat (4) pasal ini disebutkan bahwa pengakhiran hubungan kerja
dengan pengunduran diri oleh pekerja dilakukan tanpa adanya penetapan dari Lembaga PPHI.
Dan tentunya dengan adanya pengunduran diri ini tidak memberikan implikasi atas
pembayaran pesangon kepada pekerja.

Pasal 415. KUHP


Seorang pejabat atau oorang lain yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum
terus-menerus atau untuk sementara, yang dengan sengaja menggelapkan uang atau surat
berharga yang disimpannya karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga itu
diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu orang lain itu dalam melakukan
perbuatan tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (KUHP 35 dst.,
92, 372 dst., 375, 437, 486.)

Jika subjek pelaku tindak pidana ini adalah pegawai negeri dan/atau pemegang
jabatan publik lainnya, maka ketentuan Pasal 415 KUHP dapat dijadikan acuannya. JIka
pegawai atau pejabat ini diberi kewenangan menguasai uang atau surat berharga dan
kemudian menyalahgunakan kewenangan ini, baik dilakukannya sendiri maupun
membiarkannya dilakukan oleh orang lain, maka perbuatan ini juga dikualifikasikan sebagai
penggelapan. Kualifikasi tindak pidana ini juga beririsan dengan tindak pidana korupsi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Indriyanto Seno Adji (www.kabarindoneia.com 2008) menjelaskan bahwa pegawai
negeri atau pejabat publik yang melakukan penggelapan terkait kewenangan yang dimilikinya
untuk kepentingan tertentu termasuk sebagai adminstrative penal law, yaitu perbuatan-
perbuatan yang masuk dalam kewenangan administratif, tetapi mempunyai sarana penal
(pidana) sebagai sanksi atas pelanggarannya.

Pasal tindak pidana dikalangan pemerintah


Mengacu pada UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh UU No. 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi (UU Tipikor) yang memuat delik
mengenai adanya sistem pembuktian (Reversing The Burden Of Proof) terbalik yaitu, sistem
dimana beban pembuktian berada pada terdakwa dalam proses pemeriksaan di sidang
pengadilan. Sistem pembuktian ini bersifat terbatas atau berimbang.
Yaitu para terdakwa harus mampu membuktikan sendiri bahwa perbuatannya ataupun
hartanya bukan bagian maupun hasil dari tindak pidana korupsi ( Pasal 37 ayat 1 UU Tipikor
) dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaanya ( Pasal 37A ; 3 UU
Tipikor ).
ada beberapa teori yang digunakan atas dasar pembenaran dari pemidanaan dalam
keputusan hukuman
 Pertama, teori retributif atau teori pembalasan. Teori ini menitik beratkan penjatuhan
pidana haruslah sesuai dan setimpal dengan perbuatan tindak pidana yang dilakukan
dengan tujuan memberikan penderitaan yang setimpal.
 Kedua, teori utilitarian atau teori tujuan. Teori ini memiliki pandangan bahwa
penjatuhan pidana tidak hanya melihat sebagai pembalasan melainkan harus melihat
ke masa yang akan datang. Oleh karena itu, penjatuhan pidana menurut teori ini
bukanlah ‘’ quia peccatum est ’’ ( karna orang membuat kejahatan ) melainkan ‘’ ne
peccatur ‘’( supaya orang jangan melakukan kejahatan ).
 Ketiga,teori integratif atau teori gabungan. Teori ini meninjau dari segala perspektif
yakni tujuan utama dari pemidanaan pengenaan penderitaan yang setimpal dan
pencegahan kejahatan. Teori ini menggunakan terminologi ‘’Retributivisme
Teleologis’’. Karana pada dasarnya pemidanaan itu bersifat plural menghubungkan
prinsip teologis.
Bertolak dari pemikiran bahwa pidana pada hakikatnya hanya merupakan alat untuk
mencapai tujuan, maka konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)
baru pertama-tama merumuskan tentang tujuan pemidanaan berupa pencegahan,pembinaan
penyelesaian konflik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana serta
mencegah Recidivis dengan tidak menderitakan pidana sebagai upaya merendahkan martabat
manusia melainkan memperbaiki atau rehabilitasi (Pasal 50 RKUHP).
Terkait dengan tindak pidana korupsi dalam RKUHP, menjadi sangat urgent untuk
dibahas. Karna masalah korupsi itu sudah merajalela secara luar biasa dalam masyarakat kita.
Masuknya soal korupsi dalam RKUHP merupakan konsep dari kodefikasi dan unifikasi
selanjutnya konsolidasi dan harmonisasi artinya semua tindak pidana masuk dalam satu
RUU.
Dalam RKUHP ada 15 pasal yang berhubungan dengan korupsi. Secara terpisah pasal
– pasal korupsi dalam RKUHP ini lebih menekankan pada subtansinya sedangkan cara proses
dan penegakkannya itu ada didalam penjelasan UU KPK secara tersendiri sebagai lex
specialis. Selama ini pengaturan menganai Tindak pidana korupsi (UU No. 2O Tahun 2001)
dan KPK (UU No. 30 Tahun 2002) itu tersendiri terpisah satu sama lain dan bukan dalam
satu buku UU.
Pilihan memasukan pidana korupsi ke dalam RKUHP tidaklah berarti bahwa kedepan
tidak akan ada lagi ketentuan khusus(lex specialis). Bagi suatu negara kesejahteraan (welfare
state) seperti Indonesia adanya ketentuan pidana khusus merupakan suatu keniscayaan.
campur tangan negara dalam sendi- sendi kehidupan guna mewujudkan kesejahteraan bagi
rakyat yang sebesar-besarnya mengharuskan negara membuat berbagai macam peraturan.
Penegasan adanya hukum pidana khusus di luar kodifikasi juga di tegaskan dalam Pasal 211
RKUHP.
Penjatuhan pidana bagi perkara korupsi yang diakomodir dalam RKUHP dalam BAB
XXXI menganai tindak pidana jabatan (Pasal 661 – Pasal 687 ) dengan ancaman pidana
paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling banyak kategori V( Pasal
80 ayat 3 huruf e ,dengan denda sebesar Rp. 1.200.000.000,00)
Sedangkan pada BAB XXXII mengenai tindak pidana korupsi ( Pasal 668 – Pasal 701
) cukup bervariatif mulai dari pidana penjara paling singkat satu tahun, lima tahun, tujuh
tahun, sembilan tahun, dan paling lam 15 tahun serta pemberatan pidana satu per tiga masa
tahanan apabila merugikan keuangan dan perekonomian negara ( Pasal 702 ). Dan denda
paling sedikit kategori I (Pasal 80 ayat 3 huruf a dengan denda sebesar Rp.6.000.000 ) paling
banyak kategori VI (Pasal 80 ayat 3 huruf f dengan denda sebesar Rp. 12.000.000.00)
Meskipun kalau kita lihat, pemidanaannya ( penjatuhan pidana) dimana hukuman
yang diberikan tidak berat dan tidak setimpal dengan perbuataan para pelaku korupsi yang
merugikan negara dan masyarakat. Namun didalam penjatuhan pidana seorang hakim
mempunyai tindakan dan kebijaksanaan dalam memutuskan perkara tentunya dengan
memperhatikan dan mempertimbangkan bagian – bagian yang berkaitan dengan perkara.
Cara Menyelesaikan Permasalahan-Permasalahan Studi Kasus Di Atas :
Dilihat/ditinjau dari studi kasus diatas dapat di simpulkan bahwa korupsi terjadi
dikarenakan tidak adanya kepuasan tersendiri terhadap kekuasaan serta hal-hal yang terkait
dengan faktor pengeluaran kebutuhan antaranya : gaji yang tidak sesuai (Rendah) dan tidak
adanya hukum yang tegas. Selain itu pengawasan dari pihak yang berwajib juga kurang sigaf,
bahkan sistemnya pun sangat lemah. Mereka (para koruptor) tidak memiliki dasar yang baik
dalam dirinya. Dengan itu kepintaran mereka dibuat/dilakukan untuk sesuatu hal yang
dianggap bodoh atau merugikan.
Eksistensi mereka ikut merajalela dihanpir pelosok Indonesia. Mengapa demikian? Kerja
menjadi kebiasaan diri untuk mengambil hak dan kewajiban orang lain / lembaga. Anak
muda sekarang harus dapat berpikir positif dan kritis dalam menghadapi masalah. Mulai dari
hal tersebut hendak nya remaja dituntut untuk jujur, tanggung jawab, dan mempunyai
integritas dalam hidup.

Langkah-Langkah Memerangi Korupsi


1. Monopoli perlu dibatasi, transparansi perlu diwujudkan, ruang pengambilan keputusan
juga harus dibatasi, dan kemungkinan untuk meminta pertanggung jawaban baik secara
politik maupun hukum perlu diperkuat.
2. Pembatasan dan desentralisasi kekuasaan pusat. Apabila keputusan mengenai pembagian
barang terpusat disatu instansi saja, maka disaat stok persediaan barang menipis,
kesempatan untuk korupsi semakin besar.
3. Mekanisme pengawasan eksternal. Keberhasilan implementasi tanggung jawab politik dan
hukum membutuhkan tanggung jawab politik dan hukum membutuhkan dukungan dan
pengawasan dari orang-orang luar aparat pemerintah.
4. Pemberantasan korupsi harus dilakukan oleh sebuah tim yang secara moral memiliki
komitmen sungguh-sungguh untuk memerangi korupsi.
5. Melihat dan meneliti ulang tentang mekanisme delik dalam KUHP
6. Pemberian ruang seluas-luasnya bagi partisipasi publik sebagai kontrol atau pengawasan
terhadap penyelenggaraaan pemerintahan dalam pengelolaan dana public.
7. Magnifikasi sumpah. Cara kerjanya yaitu acara sumpah adalah sesuatu yang sudah
terlembaga dalam praktek bernegara di seluruh dunia

Вам также может понравиться