Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
STUDI KASUS
Disusun Oleh:
TEKNIK MESIN
SERPONG
2017
Studi Kasus 1
KORUPSI MENJADI MUSUH TERBESAR
Korupsi kini menjadi musuh terbesar bangsa Indonesia. Pada saat ini perjuangan
melawan korupsi terus dilakukan, bentuk-bentuk korupsi baru juga terus bermunculan dan
menyebar ke sejumlah daerah. Saat ini, hampir tidak ada daerah di Indonesia yang bebas
korupsi. Kesadaran bersama untuk membe-rantas diperlukan. Demikian sebagian kutipan
berita SK Kompas tanggal 25/9-2017.
Lebih lanjut diberitakan, bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai 30/6-
2017 telah menangani 31 provinsi dan perwakilan kita di luar negeri, disamping Instansi
Pusat. Sedangkan Kejak-saan Agung telah memproses di semua daerah. Ada 13 orang
Kepala/Wakil Kepala daerah yang tersangkut korupsi Diberhentikan Tetap, 9 orang
Diberhentikan Sementara, 3 orang Diaktifkan Kem-bali dan Tidak ada Penjelasan 14
orang. Bentuk korupsipun macam-macam: 1) dititipkan ke dealer; 2) disampaikan langsung
pada istri simpanan; 3) uang suap tetap atas nama penyuap, namun penggunaan ATM diatur
pemegang/koruptor; 4) sumbangan perusahaan untuk klub sepak bola dan lain sebagainya.
1) Era Orla, dibentuk Operasi Budi (SK Presiden no 275/1963) dan dipimpin A. H.
Nasution, dibubarkan setelah akan menyeret Dirut Perusahaan Dagang Negara dan ada gejala
politisasi. Berdiri lembaga baru, Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi yang
dipimpin Presiden. Karena keterbatasan sumber daya manusia, bubar dengan sendirinya;
Korupsi di indonesia memang jadi suatu kebiasaan buruk yang dilakukan oleh
pemerintahan, perusahaan, lembaga, bahkan kelompok kecil. Kalau di kutip dari pemicu
masalah, korupsi sudah ada pada saat sebelum indonesia merdeka. Tetapi kita memfokuskan
ke wilayah pemerintahan dan pengusaha. Korupsi disebabkan oleh keserakahan para oknum
yang ingin mendapatkan materi atau jabatan yg lebih tinggi. Dengan kata lain Indonesia
memiliki tingkat keserakahan yg tinggi. Pemerintahan yang seharusnya memiliki tugas
mengayomi negara serta rakyatnya. Angka korupsi di indonesia mencapai 50% dari total nya,
itu sebabnya sangat signifikan sekali. Pihak yang seharusnya disalahkan itu adalah per-
orangan itu tersebut. Mengapa turun temurun?? Karena otak kita sudah di cuci oleh suatu hal
yg berhubungan dengan kekuasaan dan kekayaan. Tetapi kesalahan tidak secara totalitas ada
di orang-orang tersebut, melainkan dari pihak KPK. Pihak KPK pun jg punya peran untuk
menyelesaikan korupsi dimana pun di Indonesia. KPK harus memiliki kinerja yang lebih
maksimal lagi dalam hal pencarian, terutama dalam hal korupsi yang turun temurun. Tidak
hanya itu kita dituntut pula juga untuk menyadari bahwa korupsi adalah dosa besar. Karena
korupsi membohongi serta mencuri haka milik oranh lain. Penerapan agama dalam diri
masing2 juga perlu diterapkan untuk menjalin hidup dengan baik dan tentram. Adanya dasar-
dasar penerapan yang baik dalam ber-organisasi jg bisa membuat kondisi korupis bisa di
tekan mundur perlahan lahan.
Studi Kasus 2
Sumber www.dw.com/id/korupsi-e-ktp
Korupsi E-KTP Rp 2,3 Triliun, Banyak Pejabat dan Politisi Disebut Terlibat. Banyak
nama-nama pejabat dan politisi yang disebut dalam surat dakwaan kasus korupsi E-KTP
yang kini digelar KPK. Belum tentu semua nama yang disebut terlibat.
Puluhan nama pejabat dan politisi teras disebut dalam surat dakwaan kasus korupsi
proyek kartu identitas penduduk - elektronik atau E-KTP. Di antaranya ada nama Menteri
Hukum dan HAM Yasonna Laoly, mantan Menteri Dalam Negeri era Susilo Bambang
Yudhoyono, Gamawan Fauzi, Mantan Ketua DPR Marzuki Ali, Gubernur Jawa Tengah saat
ini Ganjar Pranowo. Belum tentu semua nama-nama itu dapat dibuktikan terlibat korupsi di
pengadilan. Namun banyaknya politisi dan pejabat yang disebut-sebut terlibat dan nilai
kerugian negara yang mencapai Rp 2,3 triliun, mencatat sejarah baru kasus-kasus korupsi
besar di Indonesia. Yang saat ini ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK baru dua orang,
yaitu Irman, mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam
Negeri, dan Sugiharto, mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan di
Kementerian Dalam Negeri yang saat itu bertugas sebagai Pejabat Pembuat Komitmen.
KPK sudah memperingatkan agar tidak terjadi guncangan politik. Dalam surat dakwaan yang
dibacakan hari Kamis (9/3) juga disebut-sebut nama Ketua Umum Golkar saat ini, Setya
Novanto, yang menjabat sebagai Ketua DPR. Pada saat kasus korupsi itu bergulir, Setya
Novanto menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR. Sebelum menggelar kasus ini
di pengadilan, KPK sudah memperingatkan agar tidak terjadi goncangan politik, karena
banyak "nama besar" yang akan disebut. Menurut KPK, kasus korupsi E-KTP melibatkan
sekitar 80 konspirator dan beberapa perusahaan besar. Proyek itu dianggarkan di parlemen
dengan dana total Rp. 5,9 triliun.
Setya Novanto, namanya disebut-sebut memegang peran penting dalam proyek E-KTP. Dari
anggaran tersebut, sekitar setengahnya direncanakan untuk pembuatan sistem E-KTP,
sedangkan sisanya, sekitar Rp 2,6 triliun, rencananya akan dibagikan kepada para politisi dan
pejabat untuk memenangkan tender dan memuluskan pencairan anggaran. Hingga kini, sudah
ada sembilan politisi yang membantah terlibat dalam korupsi E-KTP, antara lain Ketua DPR
Setya Novanto dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Korupsi E-KTP menjadi ujian
baru bagi pemerintahan Jokowi untuk menunjukkan komitmen terhadap upaya
pemberantasan korupsi dan memperkuat institusi anti-korupsi. Transparency International
tahun lalu menempatkan Indonesia di peringkat 90 dari 176 negara, jauh dari target Indonesia
untuk mencapai peringkat ke 50 pada tahun 2016.
Studi kasus 3
Sumber http://bisniskeuangan.kompas.com
Pada 18 Januari 2017, mantan Direktur Utama (dirut) PT Garuda Indonesia Emirsyah
Satar ditetapkan sebagai tersangka korupsi olehKPK. Emirsyah, saat menjadi dirut Garuda,
diduga menerima suap dalam bentuk transfer uang dan aset senilai lebih dari 4 juta dollar AS
terkait pengadaan mesin Rolls-Royce untuk pesawat Airbus milik Garuda Indonesia.
Penyuapan diduga dilakukan agar perusahaan asal Inggris tersebut menjadi penyedia mesin
bagi maskapai penerbangan nomor satu di Indonesia tersebut.
KOMPAS.com/
ABBA GABRILLIN Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, seusai
diperiksa sebagai tersangka di Gedung KPK Jakarta, Jumat (17/2/2017). Berselang sekitar 2,5
bulan, tepatnya pada 31 Maret 2017, giliran Dirut PT Pal
Indonesia M Firmansyah Arifin dicokok KPK. Firmansyah dan sejumlah koleganya diduga
menerima suap terkait pembuatan dua kapal perang untuk pemerintah Filipina. Proyek
pengadaan dua kapal perang tersebut senilai 86,96 juta dollar AS. Diduga, pejabat PT Pal
menyepakati adanya cash back dengan perusahaan perantara, dari keuntungan penjualan
sebesar 4,75 persen. Keuntungan sebesar 1,25 persen atau senilai 1,087 juta dollar AS akan
diberikan kepada pejabat PT Pal. Sementara, keuntungan 3,5 persen menjadi bagian untuk
perusahaan perantara.
KOMPAS.com/
ABBA GABRILLIN Direktur Utama PT PAL Indonesia, Muhammad Firmansyah
Arifin, mengenakan rompi oranye saat memasuki mobil tahanan di Gedung KPK Jakarta,
Jumat (31/3/2017). Garuda Indonesia dan PT Pal Indonesia merupakan dua Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) yang tergolong perusahaan papan atas. Garuda Indonesia merupakan
maskapai penerbangan terbesar di Indonesia, sementara PT Pal merupakan galangan kapal
terbesar di nusantara. Dua kasus itu seolah menegaskan masih kentalnya budaya korupsi di
tubuh BUMN. Sebelum mereka, sudah berderet-deret pejabat BUMN yang menjadi pesakitan
kasus korupsi. Bahkan, ada indikasi budaya korupsi di BUMN semakin kental. Hal itu antara
lain tercermin dari meningkatnya kasus korupsi yang ditangani KPK, yang melibatkan
pejabat dan pegawai BUMN. Berdasarkan data KPK, jumlah perkara korupsi yang
melibatkan BUMN/BUMD mencapai 11 kasus pada 2016. Jumlah tersebut meningkat
signifikan dibandingkan tahun 2015 yang hanya 5 kasus. Pada tahun-tahun sebelumnya pun,
jumlah perkara yang melibatkan BUMN/BUMD paling banyak 7 kasus, yakni pada 2010.
Indikasi lainnya terlihat dari laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) yang
diterima Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Selama Januari -
Februari 2017, PPATK menerima LTKM yang dilakukan pegawai atau pejabat
BUMN/BUMD sebanyak 159 laporan. Jumlah tersebut meningkat signifikan dibandingkan
periode sama tahun 2016 yang sebanyak 89 laporan. LTKM merupakan laporan transaksi
seseorang yang tidak sesuai dengan profil pekerjaannya. Misalnya seorang PNS dengan gaji
Rp 10 juta per bulan, diketahui melakukan transaksi miliaran rupiah tanpa penjelasan apapun.
Transaksi mencurigakan umumnya terkait dengan praktik korupsi atau pencucian uang.
Maraknya korupsi di tubuh BUMN selama ini telah membuat kinerja BUMN kurang optimal
dan tidak efisien. Pada tahun 2013, total aset dari seluruh BUMN sebanyak 138 perusahaan
mencapai Rp 4.024 triliun dengan suntikan modal dari pemerintah sebesar Rp 934 triliun.
Namun, dividen yang diterima negara hanya sebesar Rp 34 triliun. Artinya, return on
investment (ROI) BUMN hanya 3,6 persen.
Penyertaan modal Negara
Kentalnya budaya korupsi BUMN harusnya mendorong pemerintah untuk melakukan
pembenahan menyeluruh dan memperketat pengawasan terhadap BUMN Namun,
pemerintahan Presiden Jokowi malah menggelontorkan dana ratusan triliunan rupiah sebagai
Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada sejumlah BUMN. Pada tahun 2017, pemerintah
kembali menganggarkan PMN untuk sejumlah BUMN, dengan nilai sebesar Rp 4 triliun.
Adapun pada tahun 2015 dan 2016, pemerintah menggelontorkan PMN masing-masing Rp
64,53 triliun dan Rp 50,48 triliun. PMN dalam jumlah besar diberikan karena pemerintahan
Jokowi ingin menjadikan BUMN sebagai pilar utama pembangunan ekonomi pemerintah.
BUMN-BUMN yang mendapatkan PMN akan menjadi pemain utama dalam pembangunan
infrastruktur, pertanian, dan maritim yang menjadi sektor prioritas pemerintahan Jokowi.
Namun pertanyaannya, di tengah kultur korupsi yang masih membelit BUMN, bukankah
banyaknya proyek yang dipercayakan kepada BUMN malah akan memperbesar potensi
korupsi?
Terbukti, sejak digelontorkannya PMN dalam jumlah besar mulai 2015, praktik korupsi
BUMN cenderung meningkat dengan jumlah kasus korupsi terbanyak terjadi pada 2016. Kita
tentu berharap tingkat korupsi BUMN pada 2017 akan berkurang. Namun, melihat kasus
korupsi yang terjadi pada dua BUMN besar di bulan-bulan awal 2017, wajar kalau kita
menjadi pesimistis. Apalagi, di era Presiden Jokowi, makin terang-terangan posisi komisaris
BUMN dijadikan jatah untuk para tokoh pendukung pemerintah yang tidak mendapatkan
jabatan di pemerintahan. Tentu tidak masalah sepanjang para tokoh tersebut memiliki
kompetensi terkait bidang usaha yang digeluti BUMN bersangkutan. Namun, sayangnya
lebih banyak yang latar belakangnya tidak sesuai. Kondisi ini tentu akan memperlemah
pengawasan terhadap BUMN. Dengan pengawasan yang lemah, korupsi BUMN bisa makin
menggila.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat ketentuan Pasal 374, yang
apabila dilihat dari kaca mata praksisnya dapat berbentuk penggelapan dana kegiatan, mark-
up nilai transaksi, pemalsuan tanda-tangan, pemalsuan surat keterangan dokter,
penerimaan grativikasi, pembobolan sistem aturan lembaga, dll. Kendati sudah diatur dalam
undang-undang, tidak semua perusahaan memutuskan pada tahap awal untuk langsung
menyerahkan kasus ini ke ranah hukum. Kasus-kasus demikian biasanya diproses lebih dulu
secara internal.
Proses penanganan kasus-kasus tersebut secara internal tentu harus dilakukan dengan
penyidikan atas laporan yang diterima dan kemudian ditemukan beberapa bukti sebagai
syarat atas adanya pelanggaran tersebut. Selanjutnya, pihak yang berwenang di internal
melakukan klarifikasi kepada pekerja termaksud dengan tetap mengedepankan asas praduga
tak bersalah. Apabila dalam klarifikasi tersebut diketahui bahwa pekerja terbukti melakukan
tindak pidana Pasal 374 KUHP tersebut, maka pihak berwenang di perusahaan meminta
dibuatkan surat pernyataan dari pekerja terkait. Surat Pernyataan yang telah ditandatangani
oleh pekerja tersebut akan menjadi salah satu pembuktian tambahan agar dapat dilaporkan
kepada pihak yang berwajib, yakni pengajuan laporan adanya tindak pidana ke kantor
Kepolisian setempat.
Jerat pidana sebagai sanksi atas pelanggaran yang dilakukan terhadap penyalahgunaan
wewenang yang dimiliki pekerja diatur sebagai pidana penjara selama 5 (lima) tahun, akan
tetapi dalam pelaksanaannya memungkinkan terjadinya “pengampunan” atas kesalahan
penggelapan karena adanya kewenangan dalam suatu hubungan kerja ini dengan pemberian
sanksi yang lebih ringan di mana para pihak sepakat untuk tidak melanjutkan ini ke dalam
ranah hukum, artinya sama-sama menyepakati untuk menyelesaikan masalah secara damai
dengan ditandai oleh keinginan pekerja untuk melakukan penggantian kerugian perusahaan
sebesar nilai kerugian yang terjadi. Selanjutnya pekerja yang melakukan penyalahgunaan
wewenang tersebut biasanya mengajukan pengunduran diri. Hal ini disinggung
pengaturannya dalam UU No. 13 Tahun 2013, tepatnya pada Pasal 162 ayat (1,2,3,4),
bahwa pengunduran diri yang dilakukan pekerja menjadi dasar penurunan atas sanksi pidana
yang ada, karena dalam ayat (4) pasal ini disebutkan bahwa pengakhiran hubungan kerja
dengan pengunduran diri oleh pekerja dilakukan tanpa adanya penetapan dari Lembaga PPHI.
Dan tentunya dengan adanya pengunduran diri ini tidak memberikan implikasi atas
pembayaran pesangon kepada pekerja.
Jika subjek pelaku tindak pidana ini adalah pegawai negeri dan/atau pemegang
jabatan publik lainnya, maka ketentuan Pasal 415 KUHP dapat dijadikan acuannya. JIka
pegawai atau pejabat ini diberi kewenangan menguasai uang atau surat berharga dan
kemudian menyalahgunakan kewenangan ini, baik dilakukannya sendiri maupun
membiarkannya dilakukan oleh orang lain, maka perbuatan ini juga dikualifikasikan sebagai
penggelapan. Kualifikasi tindak pidana ini juga beririsan dengan tindak pidana korupsi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Indriyanto Seno Adji (www.kabarindoneia.com 2008) menjelaskan bahwa pegawai
negeri atau pejabat publik yang melakukan penggelapan terkait kewenangan yang dimilikinya
untuk kepentingan tertentu termasuk sebagai adminstrative penal law, yaitu perbuatan-
perbuatan yang masuk dalam kewenangan administratif, tetapi mempunyai sarana penal
(pidana) sebagai sanksi atas pelanggarannya.