Вы находитесь на странице: 1из 90

BAB IV

ANALISIS KONSEP PENDIDIKAN ISLAM PERSPEKTIF SYED

MUHAMMAD NAQUIB AL-ATAS

A. Konsep Pendidikan Islam Naquib Al-attas

Dalam dunia pendidikan dikenal adanya tiga rangkaian istilah yang

disering digunakan untuk menunjukkan pendidikan Islam, secara keseluruhan

yang terdapat dalam konotasi istilah tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib, yang dipakai

secara bersamaan. 1 Kata al-ta’lim, merupakan masdar dari kata ‘allama yang

berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengertian dan

keterampilan.2 Kata ‘allama dan kata-kata yang seakar dengannya diulang lebih

dari 105 kali dalam al-Qur’an. Akar Kata ‘Allama jika dikaji secara lebih

mendalam dapat dikatakan serumpun dengan kata mu’allim. Lebih jauh lagi

bahwa kata mu’allim, dikaitkan dengan pengertian pendidik, sebagaimana firman

Allah Subhanahu wa Ta’ala.

  


   
 
 
   

Artinya: “dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu
berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu
mamang benar orang-orang yang benar!"3

1
Wan Mohd Nr Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam “Syed M. Naquib Al-
Attas” cet-1 (Bandung: 1998, Penerbit Mizan), H. 175-177
2
Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,1996, hal 26
3
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, QS. Al-Baqarah (2): 31

75
76

Pengertian al-ta’lim lebih sempit maknanya, yaitu hanya sebatas proses

pentransferan sejumlah nilai antar manusia dan ini kelihatannya sebatas

mempersiapkan peserta didik untuk menguasai nilai yang ditransfer secara

kognitif dan psikomotorik saja. Namun demikian menurut ‘Abd. Fattah Jalal,

bahwa pengertian kata al-ta’lim secara implisit juga menanamkan aspek afektif,

karena pengertian al-ta’lim juga ditekankan pada perilaku yang baik (al-akhlaq

al- karimah).4

Kata tarbiyyah berakar dari kata “rabb,” kata “rabb” ini disebutkan dalam

al-Qur’an sebanyak 224 kali dalam berbagai bentuk kata dan perubahannya. 5

Kata al-tarbiyyah, merupakan masdar dari kata “rabba” yang berarti mengasuh,

mendidik dan memelihara. Dalam al-Qur’an kata al-tarbiyyah yang langsung

merujuk pada pengertian pendidik tidak ditemukan. Namun demikian terdapat

kata lain yang sejajar dengan kata al-tarbiyyah, yaitu “al-rabb,” “rabbani” dan

“rabbayani”. Tetapi pada dasarnya semua kata tersebut mempunyai kesamaan

makna, yaitu mendidik, mengajar dan mengasuh.

Bila merujuk pada QS. al-Isra’ayat: 24, maka akan dijumpai informasi

tentang pendidik yang berangkat dari kata ” rabb”, antara lain:

  


   
  
  
Artinya: “dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".6

4
Abd. Fattah Jalal, Azas-Azas Pendidikan Islam, terj. Noer Ali, Bandung: Diponegoro,
1980,hal.30.
5
Abd.Rahman ‘Abdullah, Aktualisasi Konsep Dasar Pendidikan Islam,
Yogyakarta: UII Press,2001, hal.22.
6
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, QS. Al-Isra (17): 24
77

Jadi dengan demikian kata al-tarbiyyah mengandung makna mengasuh,

memelihara, membesarkan, bertanggung jawab, memberi makan,

mengembangkan, menumbuhkan, memproduksi serta menjinakkan baik yang

berhubungan dengan aspek rohaniyah (non fisik/spiritual) maupun jasmaniyah

(fisik).

Dalam memberikan pengertian dari kata al-tarbiyyah, para ilmuwan

muslim berbeda pendapat. Fakh al-Razi mengartikan term rabbayani sebagai

bentuk pendidikan dalam arti luas, meliputi pendidikan yang bersifat ucapan

(aspek kognitif) dan aspek tingkah laku (afektif). 7 Sedangkan Sayyid Qutb

mengartikannya sebagai “upaya pemeliharaan jasmaniah terdidik dalam

membantunya menumbuhkan kematangan sikap mental yang bermuara pada al-

akhlaq al-karimah pada diri terdidik”.8 Menurut ‘Abd al-Rahman al-Nahlawi, al-

tarbiyyah merupakan proses pentransferan sesuatu sampai batas

kesempurnaan (kedewasaan) dan dilakukan secara bertahap.9

Mustafa al-Maraghi membagi tugas al-tarbiyyah kepada dua dimensi.

Pertama, pengembangan al-tarbiyyah al-khalqiyyah, yaitu upaya pengarahan daya

penciptaan, pembinaan dan pengembangan aspek jasmaniah subyek didik agar

dapat dijadikan sebagai sarana bagi pengembangan rohaniyah. Kedua,

pengembangan al-tarbiyyah al-diniyah al-tahdhibiyyah, yaitu pembinaan jiwa

7
Fakhr al-Razi, Tafsir Fakhr al-Razi, Jil. 21, Teheran: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t., hal.
191.
8
Sayyid Qutb,Tafsir Fi Zilal al-Qur’an, jilid 15, Beirut: Dar al-Ihya’, t.t, hal.15
9
Abd al-Rahman al-Nahlawi, Usul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah wa Asalibuha, Damaskus:
Dar al-Fikr,1993, hal.19-20.
78

subyek didik agar mampu berkembang ke arah kesempurnaan berdasarkan nilai-

nilai ilahiyyah.

Kata “al-ta’dīb,” merupakan masdar dari “addaba” yang berarti proses

mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi

pekerti subyek didik. Subtansinya lebih terfokus pada upaya pembentukan pribadi

muslim yang berakhlak mulia.

Menurut Muhammad Naquib al-Attas,10 penempatan istilah al-ta’dīb

lebih cocok digunakan dalam dirkursus pendidikan Islam dibandingkan dengan

penggunaan term al-ta’lim dan al-tarbiyyah. Sebab bila dibandingkan ketiga kata

tersebut, yaitu al-ta’lim, al-tarbiyyah dan al-ta’dīb, maka akan terdapat pengertian

yang berbeda mengenai fokus yang ingin dicapai oleh subyek didik. Namun

demikian ketiga pengertian di atas pada dasarnya saling berkaitan antara satu

dengan yang lainnya.

Ketika tampil sebagai pembicara utama dalam Konferensi Dunia pertama

tentang pendidikan Islam tahun 1977 di Makkah, Syed Muhammad Naquib Al-

Attas sebagai ketua komite yang membahas tentang cita-cita dan tujuan

pendidikan dalam konferensi tersebut, secara sistematis mengajukan agar definisi

pendidikan Islam diganti menjadi “Penanaman adab” dan istilah pendidikan

dalam Islam, menjadi ta’dib. Setelah melalui perdebatan yang sengit, akhirnya

usul tersebut di atas untuk merujuk kepada istilah pendidikan Islam. Lebih

jelasnya Al-Attas menegaskan bahwa:

10
Muhammad al-Naquib al-Attas, The Concept of Education In Islam, Kuala Lumpur:
ABIM, 1980, hal.25-30
79

Bagi saya, istilah tarbiyah bukanlah istilah yang tepat dan bukan pula
istilah yang benar untuk memaksudkan pendidikan dalam pengertian
Islam. Karena istilah yang dipergunakan mesti membawa gagasan yang
benar tentang pendidikan dan segala yang terlibat dalam proses
pendidikan, maka wajib bagi kita sekarang untuk menguji istilah tarbiyah
secara kritis dan jika perlu menggantikannya dengan pilihan yang lebih
tepat dan benar.11

Menurut Al-Attas, istilah yang paling tepat untuk menunjukkan

pendidikan Islam adalah al-ta‟dib. Konsep ini didasarkan pada hadis Nabi:

‫صلهى ه‬
ُ‫َّللا‬ َ ِ ‫علَى النه ِبي‬ َ ‫ قَد َِم بَنُو نَ ْه ِد ب ِْن زَ ْي ٍّد‬: ‫ قَا َل‬، ُ‫ع ْنه‬ ‫ي ه‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ع ِلي ٍّ َر‬ َ ‫ع ْن‬ َ
‫ َو َما‬، ‫ط َبت َ ُه ْم‬ ْ ‫ َوذَ َك َر ُخ‬، َ‫ي ت ُ َها َمة‬ ْ ‫َاك ِم ْن غ َْو َر‬ َ ‫ أَتَ ْين‬: ‫ فَقَالُوا‬، ‫سله َم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ
‫ ن َْح ُن َبنُو‬، ِ‫َّللا‬ ‫ي ه‬ ْ
‫ يَا نَ ِب ه‬: ‫ فَقُلنَا‬: ‫ قَا َل‬، ‫سل َم‬ ‫ه‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صل ى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ ‫ه‬ َ ‫ي‬ ُّ ‫أ َ َجابَ ُه ْم ِب ِه النه ِب‬
، ُ‫ان َما نَ ْف َه ُم أ َ ْكث َ َره‬ٍّ ‫س‬ َ ‫ب بِ ِل‬ َ ‫ َوإِنه َك لَت ُ َك ِل ُم ْالعَ َر‬، ‫اح ٍّد‬ِ ‫ َونَشَأْنَا فِي بَلَ ٍّد َو‬، ‫اح ٍّد‬ ِ ‫ب َو‬ ٍّ َ ‫أ‬
‫س ْع ِد ب ِْن‬َ ‫ َونَشَأْتُ فِي َبنِي‬، ‫سنَ أ َدَ ِبي‬ َ ‫ع هز َو َج هل أ َده َبنِي فَأ َ ْح‬ ‫ " ِإ هن ه‬: ‫فَقَا َل‬
َ َ‫َّللا‬
‫ وسنده ضعيف جد‬، " ‫بَ ْك ٍّر‬
“Tuhan telah mendidikku (addabani, yang secara literal berarti telah
menanamkan adab pada diriku), maka sangat baiklah mutu pendidikan ku
(ta’dibi). “12
Secara etimologi, ta’dīb merupakan bentuk masdar dari kata kerja

“addaba-yuaddibu-ta’diban“ yang kemudian diterjemahkan menjadi pendidikan

sopan santun atau adab.13 Dari sisi etimologi ini, dapat dipahami bahwa ta’dīb itu

berkenaan dengan budi pekerti, moral, dan etika. Dalam Islam, budi pekerti,

moral, dan etika itu satu rumpun dengan akhlak.

Kata addaba dalam hadis di atas dimaknai Al-Attas sebagai “mendidik”.

Selanjutnya ia mengemukakan, bahwa hadis tersebut bisa dimaknai kepada

“Tuhanku telah membuatku mengenali dan mengakui dengan adab yang

dilakukan secara berangsur-angsur ditanamkan-Nya ke dalam diriku, tempat-

tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam penciptaan, sehingga hal itu

11
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,...... H. 180
12
http://library.islamweb.net/hadith/display_hbook.php?hflag=1&bk_no=1849&pid=908365
13
Mahmud Yunus, Qamus, Jakarta: Mahmud Yunus Wadzuriyah. 1990, Cet. Ke. 8, hal.
37
80

membimbingku ke arah pengenalan dan pengakuan tempat-Nya yang tepat di

dalam tatanan wujud dan kepribadian, serta sebagai akibatnya Ia telah membuat

pendidikanku yang paling baik”.14

Al-Attas adalah orang pertama yang memahami dan menerjemahkan

perkataan “addabani” dengan “mendidikku”. 15


Menurut sarjana-sarjana

terdahulu, kandungan ta’dib adalah akhlak. Fakta bahwasannya pendidikan Nabi

Muhammad SAW. dijadikan Allah sebagai pendidikan yang terbaik didukung

oleh Al-Qur’an yang mengafirmasikan kedudukan Rasulullah yang mulia

(akram), teladan yang paling baik.

Berdasarkan batasan tersebut, maka ta’dib berarti pengenalan dan

pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia

(peserta didik) tentang tempat–tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam

tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi sebagai

pembimbing ke arah pengenalan dan pengakuan Tuhan yang tepat dalam tatanan

wujud dan kepribadiannya.

Al-Attas tidak setuju dengan penerimaan yang kompromis ini kemudian

menyatakan kembali argumentasinya dalam The Concept of Education in Islam

yang disampaikannya pada Konferensi Dunia Kedua mengenai Pendidikan Islam

yang diselenggarakan di Islamabad, pada 1980.16 Menurut Al-Attas, jika benar-

benar dipahami dan dijelaskan dengan baik, konsep ta’dib adalah konsep yang

paling tepat untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyah ataupun ta’lim

sebagaimana yang dipakai pada masa itu.

14
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam adn Secularism,...... H. 87
15
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,...... H. 176
16
Syed Muhammad Naquib Al-attas, The Concept of Education in Islam,...... H. 31
81

Al-Attas dalam Wan Mohd Nor Wan Daud mengatakan, “struktur konsep
ta’dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim), dan
pembinaan yang baik (tarbiyah) sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa
konsep pendidikan Islam adalah sebagaimana terdapat dalam tiga
serangkai konsep “tarbiyah-ta’ lim-ta’dib.” 17

Walaupun Al-Qur‟an tidak memakai istilah adab ataupun istilah lain yang

memiliki akar kata yang sama dengannya, perkataan adab itu sendiri dan cabang-

cabangnya disebutkan dalam ucapan-ucapan Nabi SAW., para sahabat r.a., dalam

puisi ataupun karya sarjana-sarjana Muslim yang datang setelah mereka.

Al-Attas mengungkapkan bahwa orang yang terpelajar adalah orang

baik. “Baik” yang dimaksudkannya di sini adalah adab dalam pengertian yang

menyeluruh dan meliputi kehidupan spiritual dan material seseorang, yang

berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya. 18 Oleh karena itu,

orang yang benar-benar terpelajar menurut perspektif Islam didefinisikan oleh al-

Attas sebagai orang yang beradab dia mengatakan;

A good man is the one who is sincerely conscious of his resposibilities


towards the true God who understands and fulfills his obligations to
himself and others in his society with justice who constantly strives to
improve every aspect of himself towards perfection as a man of ada.19

“Orang yang baik adalah orang yang dengan tulus sadar akan
resposibilitasnya terhadap Tuhan sejati yang memahami dan memenuhi
kewajibannya kepada dirinya sendiri dan orang lain di masyarakatnya
dengan keadilan yang senantiasa berupaya memperbaiki setiap aspek
dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang ada.”
Contoh manusia yang paling beradab, mulia, sempurna, adalah Nabi

Muhammad SAW, karena segala aktifitasnya berupa pengajaran al-Qur’an dan

hikmah dan pensucian ummat adalah manifestasi langsung dari peranan ta’dib.

17
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,...... H. 175
18
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Aims And Objectivitas of Islamic Education, (Jeddah:
King Abdul Aziz, 1979), H. 10
19
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam adn Secularism,...... H. 42-43
82

Kemudian al-Attas berpendapat sebenarnya adab mempunyai banyak arti yang

sangat luas dan mendalam. Akan tetapi kemudian kata adab tersebut digunakan

dalam konteks yang terbatas, seperti untuk sesuatu yang merujuk pada kajian

kesusastaraan dan etika profesional dan masyarakat. oleh karenanya pengaturan

administrasi pendidikan dan ilmu pengetahuan haruslah perwujudan manusia yang

sempurna. Dari konsep ta’dib inilah satu sama lainya saling keterkaitan dalam

berbagi bidang disiplin ilmu pengetahuan lainnya dalam kehidupan.

Konsep adab pada dasarnya berarti “undangan tuhan kepada manusia

untuk menghadiri jamuan makan diatas bumi”, tempat kita perlu mengambil

bagian didalamnya dengan cara mengetahuinya. Al-Attas menjelaskan dengan

sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ibn Mas’ud:

‫إن هذا القرآن مأدبة هللا فتعلموا من‬: ‫قال االلباني في السلسلة الضعيفة‬
‫ إن هذا القرآن هو حبل هللا وهو النور المبين والشفاء‬، ‫مأدبته ما استطعتم‬
‫ وال يزيغ‬، ‫ عصمة لمن تمسك به ونجاء لمن تبعه ال يعوج فيقوم‬، ‫النافع‬
‫ فاتلوه ؛ فإن هللا‬.‫ وال تنقضي عجائبه وال يخلق من كثرة الرد‬، ‫فيستعتب‬
} ‫ {الم‬:‫ أما إني ال أقول لكم‬،‫يأجركم على تالوته بكل حرف عشر حسنات‬
‫ وميم حرف؛ ثالثون حسنة (رواه‬،‫ والم حرف‬،‫ ألف حرف‬:‫ ولكن‬،‫حرف‬
(‫بن مسعود‬
Artinya: sesungguhnya al-qur’an suci adalah undangan tuhan kepada
suatu perjamuan ruhaniyah, dan pencapaian ilmu yang benar tentangnya
berarti memakan makanan yang baik didalamnya.20

Al-attas membagi adab menjadi berbagai macam, serta memberikan

contoh tentang bagaimana adab hadir dalam berbagai tingkat pengalaman

manusia sebagai berikut:21

‫ فرده الذهبي لوجود‬،‫ صحيح اإلسناد ولم يخرجاه‬:‫ أخرجه الحاكم عن عبدهللا بن مسعود رضي هللا عنه وقال‬20
:‫) رقم‬139/ 9( )) ‫ وأخرجه الطبراني في (( المعجم الكبير‬.)) ‫ (( إبراهيم بن مسلم ضعيف‬:‫رجل في السند قال عنه‬
‫ ) وابن أبي‬310 / 2 ( ‫ ) والدارمي‬376 - 375 /3( )) ‫ ) من طريق عبد الرزاق والذي رواه في (( مصنفه‬8646(
. ‫ ) موقوفا ً على عبدهللا بن مسعود رضي هللا عنه‬84 /1 ( )) ‫ والشجري في (( األمالي‬125 /6 ‫شيبة‬
21
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,...... H. 178-179
83

1. Adab bagi diri sendiri (pada manusia) bermula ketika sesorang mengakui
bahwa dalam dirinya terdiri dari akal dan sifat kbinatangannya. Ketika
akal bisa dikuasai dan sifat kebinatangannya dapat dikontrol, pada saat
itulah ia sudah meletakkan dirinya pada tempat yang benar.
2. Adab dalam konteks hubungan antara sesama manusia berarti norma-
norma etika yang diterapkan dalam kehidupan sosial sudah berdasarkan
kepada ilmu pengetahuan, akal fikiran, dan perbuatan yang mulia dengan
menunjukkan sikap rendah hati, kasih sayang, saling menghormati, peduli
dan lain sebagainya. Ini merupakan sikap seseorang yang sudah
mengetahui tempat hubungan antara sesama manusia dengan sebenarnya.
3. Adab dalam konteks ilmu akan menghasikan cara yang tepat dan benar
dalam belajar dan penerapan sciences yang berbeda, seirama dengan itu
rasa hormat terhadap para sarjana dan guru dengan sendirinya merupakan
salah satu pengejawantahan langsung dan adab dari adab terhadap ilmu
pengetahuan.
Setelah ilmu dipelajari dengan baik dan benar yang dilandasi dengan iman

serta dipraktikan langsung dalam bentuk amal itu semua adalah betuk manifestasi

dari konsep ta’dib. Setelah memperoleh ilmu dengan proses ta’dib akan

melahirkan peradan Islam sebagaimana yang dikatan oleh F. Rosenthal;

‘ilm is one those that have dominated Islam and given Muslim civilization
ist distinctive shape and complexion. In fact there is one other concept that
has been operative as of Muslim civilization in all its aspect to the same
extent as ‘ilm.22
“Artinya Ilmu adalah salah satu konsep yang mendominasi Islam dan yang
memberi bentuk dan krakter yang khas terhadap peradaban Muslim.
Sebenarnya tidak ada konsep lain yang setanding dengan konsep ilmu
yang secara efektif menjadi faktor penentu dalam peradaban Muslim
dalam berbagai aspek”
4. Adab dalam kaitannya dengan alam berarti seseorang harus meletakkan
tumbuh tumbuan, bebatuan, gunung, sungai, danau dan binatang pada
tempatnya.
Jika kita banding dengan orang-orang diluar Islam yang mereka tidak

memiliki konsep adad terhadap alam semesta. Maka mereka bebas untuk

melakukan terhadap alam semesta ini dan segala isinya. Sementara bagi Muslim

alam semesta segala yang ada didalamnya tidak boleh dizahlimi karena sesuatu

22
Franz Rosental, Konwladge Triumphant, The Concept of Knowladge in Medieval Islam,
(laiden E.J. Brill,) H. 2
84

yang hal suci untuk dilestarikan serta kita jadikan alam ini jalan untuk menggapai

tujuan yang hakiki melalui adab.

Inilah yang membedakan Muslim dengan Non Muslim sebagaimana yang

digambarkan oleh Isma’il Raji al Faruqi;

..Islam sees it self relevant to all of space-time, and seeks to determine all
of histroy, all of creation, incluiding all of mankind. What is of nature to
eat, good and condemnation. Islam wants humans to pursue what is of
nature to eat and drink, to have lodging and comfort, to make of the word
a garden, to enjoy sex, friendship and all the good things, but to do them
righteously, without injustice to self, to neighbor, to nature to history.
Islam calls man the khalifah, precisely because to do all these things well
is to fulfil the will of God.23
(Artinya Islam menganggap dirinya relevan dengan seluruh ruang dan
waktu, dan berusaha untuk menentukan seluruh sejarah, seluruh ciptaan,
termasuk seluruh ummat manusia. Alam ini adalah suci, karenanya baik
dan patut diinginkan. Ketaqwaan maupun moralitas tidak dapat disadarkan
pada pengutukan terhadap alam. Islam menghendaki agar manusia
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang wajar, seperti makan dan minum
dan minum,rumah yang nyaman, mengubah dunia menjadi taman yang
indah; menikmati, persahabatan dan hal-hal yang baik dalam kehidupan,
mengembangkan ilmu pengetahuan dan belajar, mengelola alam,
berserikat, berkumpul dan membangun struktur sosial-politik-pendeknya,
melakukan semua ini, dan melakukannya dengan cara yang saleh........)
5. Adab terhadap bahasa, berarti pengenalan dan pengakuan adanya tempat
yang benar dan tepat untuk kata, baik dalam tulisan maupunpercakapan
sehingga tidak menimbulkan kerancuan dalam makna bunyi dan konsep.
6. Adab terhadap spiritual, berarti pengenalan dan pengakuan terhadap
tingkatan keluhuran yang menjadi sifat alam spiritual, pengenalan dan
pengakuan terhadap berbagai maqom spiritual berdasarkan ibadah.

Penjelasan al-Attas ini menegaskan bahwa ta’dīb ini meliputi semua

konsep pendidikan dalam Islam, termasuk konsep ta’lim dan tarbiyyah yang

selama ini kedua konsep ini sering dibedakan dengan konsep ta’dīb.24 Sebagai

usaha pembentukan tata krama, Amatullah Armstorng dalam buku “Sufi

23
Isma’il Raja Al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications forThought and Life, (Kuala Lumpur:
IIIT, 1992), H. 85
24
Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan..., hal. 10-21.
85

Terminology (al-Qamus al-Sufi): The Mystic Language of Islam,” menjelaskan

bahwa ta’dīb terbagi empat:

(1) ta’dīb adab al-haq, pendidikan tata karma spiritual dalam kebenaran,
yang memerlukan pengetahuan tentang wujud kebenaran, yang
didalamnya segala yang ada memiliki kebenaran tersendiri dan yang
dengannya segala sesuatu diciptakan; (2) ta’dīb adab al-khidmah,
pendidikan tata karma spiritual dalam pengabdian. Sebagai seorang
hamba, manusia harus mengabdi kepada sang Raja (Malik) dengan
menempuh tata karma yang pantas; (3) ta’dīb adab al-syariah,
pendidikan tata karma spiritual dalam syariah, yang tatacaranya telah
digariskan oleh Tuhan melalui wahyu. Segala pemenuhan syariah
Tuhan akan berimplikasi pada tata karma yang mulia; (4) ta’dīb
adab al-shuhbah, pendidikan tata karma spiritual dalam
persahabatan, berupa saling menghormati dan berprilaku mulia di
antara sesama.

Menurut Al-Attas, tarbiyah merupakan istilah yang relatif baru, yang bisa

dikatakan telah dibuat-buat oleh orang-orang yang mengaitkan dirinya dengan

pemikiran modernis. Istilah tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan makna

pendidikan tanpa memperhatikan sifat yang sebenarnya. Adapun kata – kata Latin

educare dan educatio, yang dalam bahasa Inggris berarti “educate” dan

“education”, secara konseptual dikaitkan dengan bahasa Latin educare atau dalam

bahasa Inggris “educe” menghasilkan, mengembangkan dari kepribadian yang

tersembunyi atau potensial, yang di dalamnya “proses menghasilkan dan

mengembangkan” mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat fisik dan

material.25 Yang dituju dalam konsepsi pendidikan yang diturunkan dari konsep–

konsep Latin yang dikembangkan dari istilah–istilah tersebut di atas meliputi

spesies hewan dan tidak dibatasi pada “hewan berakal”.

25
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,...... H. 189
86

Mereka yang membuat-buat istilah tarbiyah untuk maksud pendidikan

pada hakikatnya mencerminkan konsep Barat tentang pendidikan. Mengingat

istilah tarbiyah, tidak sebagaimana mereka masih nyatakan, adalah suatu

terjemahan yang jelas dari istilah education menurut artian Barat, karena makna-

makna dasar yang dikandung olehnya mirip dengan yang bisa ditemui di dalam

rekanan Latinnya. Meskipun para penganjur penggunaan istilah tarbiyah terus

membela istilah itu yang mereka katakan sebagai dikembangkan dari Al-Qur‟an

pengembangannya didasarkan atas dugaan belaka. Hal ini mengungkapkan

ketidaksadaran mereka akan struktur semantik sistem konseptual al-Qur‟an,

mengingat secara semantik istilah tarbiyah tidak tepat dan tidak memadai untuk

membawakan konsep pendidikan dalam pengertian Islam.

Al-Attas menolak peristilahan tarbiyah dan ta’lim yang selama ini

dianggap sebagai pengertian yang lengkap mengenai pendidikan dalam Islam,

baik salah satu (tarbiyah atau ta‟lim) maupun keduanya (tarbiyah wa ta‟lim),

sebab istilah tersebut menunjukkan ketidaksesuaian makna. Beliau menolak

istilah tarbiyah sebab istilah ini hanya menyinggung aspek fisikal dalam

mengembangkan tanam-tanaman dan terbatas pada aspek fisikal dan emosional

dalam pertumbuhan dan perkembangan binatang dan manusia.

Salah satu tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana yang tercantum

dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003

adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang

berakhlak mulia. Di dalam Bab II Pasal 3 dinyatakan:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan


membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
87

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi


peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”.

Bersamaan dengan itu, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan

menyatakan bahwa dasar dari pengembangan kurikulum baru (Kurikulum 2013)

adalah untuk membangun pendidikan karakter pada anak-anak bangsa. Kurikulum

2013 lebih menekankan pada pengembangkan karakter di samping ketrampilan

dan kemampuan kognitif. Hal itu karena Indonesia saat ini sedang mengalami

krisis karakter yang diperlihatkan dari banyaknya korupsi, tindak kejahatan terjadi

di mana-mana, dan mudahnya anak-anak bangsa menerima kebudayaan dari

negara lain tanpa menyaring baik atau buruknya.

Menurut dokumen Desain Induk Pendidikan Karakter terbitan Kementrian

Pendidikan Nasional,26 pendidikan karakter didefinisikan sebagai:

“pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan


watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk
mengambil keputusan yang baik, memelihara apa yang baik, dan
mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh
hati.”

Kemendikbud telah mengintrodusir 18 macam inti karakter dalam desain

induk yang akan dikembangkan pada semua kegiatan pendidikan dan

pembelajaran serta penciptaan suasana yang kondusif di sekolah, yaitu: religius,

jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu,

semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,

26
Pusat Kurikulum, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa,
(Jakarta:Badan Litbang, Kementrian Pendidikan Nasional, 2010), 9.
88

bersahabat/komuniktif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli

sosial, dan tanggungjawab.

Aristoteles menyebutkan pengertian karakter yang baik adalah kehidupan

berperilaku baik dan penuh kebajikan, berperilaku baik terhadap pihak lain, Tuhan

Yang Maha Esa, manusia, alam semesta, dan terhadap diri sendiri. Jonathan

Webber dalam Journal of Philosophy menjelaskan bahwa karakter adalah

akumulasi dari berbagai ciri yang muncul dalam cara berfikir, merasa dan

bertindak.27 Sikap pemberani atau pengecut seseorang dalam menghadapi bahaya,

sikap ketakutan dalam menghadapi orang banyak, merupakan contoh-contoh

sederhana tentang karakter seseorang.

Thomas Lickona menyatakan bahwa karakter yang baik meliputi:

knowing the good, desiring the good, and doing the good habits of mind,
habits of heart, and habits of action.

(mengetahui yang baik, menginginkan yang baik, dan melakukan yang


baik kebiasaan pikiran, kebiasaan hati, dan kebiasaan tindakan).

Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus yaitu yang

melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan

(action). Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.

Dalam bukunya Islam, Secularism, and the Philosophy of the Future, Syed

Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan:

“Bahwa dalam pendidikan Islam melekat tiga element mendasar yaitu


Process, Content, and Recipient (Proses-Isi-Penerima).”28

27
Jonathan Webber, Sarte’s Theory of Character, Europe Journal of Philosophy, (UK:
Blackwell Publishing House, 2006), 95.
28
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of the Future.
London-(New York: Mansell Publishing Limited. 1985), 173.
89

Yang dimaksud dengan proses adalah proses penanaman (process of

instilling) yang kemudian dirujuk pada metode dan sistem pembelajaran.

Pendidikan adalah sebuah proses penanaman sesuatu kepada manusia (Education

is a process of instilling something into human beings). Dalam pendidikan Islam,

yang ditanam disini adalah “adab”, dengan demikian yang dimaksud dengan

“content” atau isi di atas adalah adab. Sedangkan penerima atau recipient dari

pendidikan tersebut, apakah balita, anak-anak, remaja, orang dewasa, atau orang

lanjut usia. Dari sinilah kemudian muncul beberapa disiplin ilmu, seperti:

psikologi anak, psikologi remaja, pedagogy, andragogy, dan lain-lain. Karena

metode penyampaian isi atau content disesuaikan dengan penerima isi atau

content tersebut, maka mendidik anak-anak tidak sama dengan mendidik remaja,

Namun hal yang terpenting dari ketiga element mendasar yang terdapat

dalam pendidikan Islam tersebut adalah bagaimana metode penanaman content

atau isi tersebut ? Artinya bagaimana metode pembentukan karakter anak didik ?

Al-Attas mencoba mengilustrasikan metode internalisasi adab terhadap peserta

didik layaknya sebuah undangan untuk menghadiri jamuan spiritual, inviting to a

banquet. Sebagaimana yang dijelaskan al-Attas:

Kitab Suci al-Qur ’an adalah undangan Tuhan kepada manusia untuk
menghadiri jamuan kerohanian, dan cara memperoleh ilmu pengetahuan
yang sebenarnya tentang al-Qur ’an itu adalah dengan menikmati
makanan-makanan yang lezat yang tersedia dalam jamuan kerohanian
tersebut. Artinya, karena kenikmatan makanan yang lezat dalam jamuan
istimewa itu ditambah dengan kehadiran kawan yang agung dan pemurah,
dan karena makanan tersebut dinikmati menurut cara-cara, sikap, dan
etiket yang suci, maka hendaknya ilmu pengetahuan yang dimuliakan dan
90

sekaligus dinikmati itu didekati dengan perilaku yang sesuai dengan


sifatnya yang mulia.29

Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa, seseorang ketika menghadiri

jamuan makan di sebuah undangan, dengan dihadiri orang-orang yang terhormat,

maka secara otomatis mulai dari gerak- gerik dan cara makan akan berbeda

dengan ketika di rumah. Berhubung dalam jamuan tersebut banyak orang yang

agung dan terhormat, maka para undangan akan menikmati jamuan tersebut

dengan cara-cara, sikap, dan etiket yang baik, berbeda halnya dengan ketika

makan di rumah sendiri, seseorang akan makan dengan lahapnya, kaki diangkat di

atas kursi, tanpa menghiraukan sikap dan etiket yang baik.

Dengan demikian orang tua harus dapat menciptakan suasana religius di

dalam rumah, bagaimana membuat suasana rumah layaknya inviting to a banquet,

sehingga perilaku anak menjadi sopan, memiliki sikap hati-hati, menjaga

perkataan dan perbuatan layaknya dalam sebuah inviting to a banquet yang

digambarkan oleh al-Attas.

Di antara yang dapat dilakukan orangtua, misalnya adalah membiasakan

diri mengaji setelah maghrib, shalat berjamaah ketika mendengar azan, dan

berbicara sopan kepada anak. Jika demikian, maka sang anak akan merasa malu

jika setelah magrib tidak mengaji padahal orang tuanya mengaji. Anak akan

merasa malu jika ketika azan televisi masih menyala, padahal orang tuanya sudah

siap mau ke masjid. Anak akan merasa malu berbicara kasar pada orang tua,

karena orang tua selalu berbicara sopan dan lembut kepada anak.

29Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur, ArtPrinting
Works Sdn. Bhd. 1993), 149.
91

Demikian halnya di lingkungan kampus, jika seorang dosen ingin

membentuk karakter mahasiswa agar suka menulis, maka paling tidak dosen

tersebut harus sudah pernah menulis buku, menulis di jurnal dan koran, jika tidak,

maka jangan pernah berharap mahasiswa mau menulis, karena sang figur yang

seharusnya dijadikan panutan belum pernah menulis, seperti ungkapan dalam al-

Qu’ran:

    


    
Artinya: “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”30

Dengan demikian, pembentukan karakter sangatlah dipengaruhi oleh figur

dan tokoh sang pembentuk karakter, terbentuknya karakter di keluarga

dipengaruhi oleh orang tua sebagai figur, terbentuknya karakter di sekolah

dipengaruhi oleh guru sebagai figur, dan terbentuknya karakter di masyarakat oleh

tokoh masyarakat. Yang menjadi permasalahan sekarang adalah Indonesia saat ini

sedang krisis “figur ”.

Figur dan lingkungan menjadi faktor utama terbentuknya karakter peserta

didik. Al-Attas menjelaskan bahwa lingkunganlah yang membentuk perilaku dan

karakter peserta didik, layaknya perilaku seseorang tiba-tiba dapat berubah

dikarenakan suasana saat inviting to a banquet tadi sangat dipenuhi figur-figur

yang sangat dihormati dan disegani.

B. Konsep Ilmu dan Kurikulum Pendidikan Islam Naquib Al-attas

Orang yang membaca Al Qur’an akan mendapati materi ‘ilm yang terdapat

dalam surah Makiyah dan Madaniyah secara seimbang dengan semua kata

30
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, QS. As-Saff: 3
92

jadiannya; sebagai kata benda, kata kerja, atau kata keterangan beberapa ratus

kali. Kata kerja ta’lamun (kamu mengetahui) terulang sebanyak 56 kali. Ditambah

3 kali dengan redaksi fasata’lamun (maka kalian akan mengetahui), 9 kali dengan

redaksi ta’lamu (kalian mengetahui), 85 kali dengan redaksi ya’lamun (mereka

mengetahui), 7 kali dengan redaksi ya’lamu (mereka mengetahui) dan sekitar 47

kali terulang kata kerja ‘allama beserta kata jadiannya.

Dari pemaparan diatas ilmu dalam Islam menempati posisi yang sangat

penting. Sehingga orang berilmu menempati kedudukan yang mulia, Allah SWT

berfirman:

  


    
 
     
  
   
  
   
  
Artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah
kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dalam satu hadits, mencari ilmu juga mendapatkan tempat yang mulia;

‫ َحدهثَنَا ُم َح همدُ ب ُْن‬، ‫ظ‬ ُ ِ‫ع َم َر ب ِْن أَ ْح َمدَ ْال َحاف‬


ُ ‫ي ب ُْن‬ ُّ ‫ع ِل‬َ ‫)حديث مرفوع) َحدهثَنَا‬
‫ َحدهثَنَا خَا ِلد ُ ب ُْن‬، ٍّ ‫ع ِلي‬ َ ‫ص ُر ب ُْن‬ ْ َ‫ َحدهثَنَا ن‬، ‫ي‬ ُّ ‫ور ب ِْن أَبِي ْال َج ْه ِم ْال َم ْر َو ِز‬
ِ ‫ص‬ ُ ‫َم ْن‬
‫ع ْن‬َ ، ‫يع ب ِْن أَن ٍَّس‬ ِ ‫الر ِب‬
‫ع ِن ه‬ َ ، ِ ‫الر ِازي‬ ‫ع ْن أ َ ِبي َج ْعفَ ٍّر ه‬ َ ، ‫ب اللُّؤْ لُ ِؤ‬
ُ ‫اح‬ِ ‫ص‬َ ، َ‫َي ِزيد‬
, ‫سله َم‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلهى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ ‫سو َل ه‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫ أَن َر‬، ُ‫ع ْنه‬ َ ‫َّللاُ ت َ َعالَى‬ ‫ي ه‬ َ ‫ض‬ ِ ‫أَن َِس ب ِْن َمالِكٍّ َر‬
31
"‫َّللا َحتهى يَ ْر ِج َع‬ َ ‫ب ْال ِع ْل ِم فَ ُه َو ِفي‬
ِ ‫س ِبي ِل ه‬ ِ َ‫طل‬ َ ‫ " َم ْن خ ََر َج فِي‬: ‫قَا َل‬
Artinya: “Barang siapa yang mencari ilmu maka ia di jalan Allah sampai ia
pulang” (HR. Tirmidzi).

31

http://library.islamweb.net/hadith/display_hbook.php?hflag=1&bk_no=1230&pid=874133
93

Wahyu pertama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad

SAW berkaitan dengan perintah membaca (iqra’).

  


   
   
   
   
    

Artinya: “ (1). bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
Menciptakan, (2). Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
(3). Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, (4). yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam[Maksudnya: Allah mengajar manusia
dengan perantaraan tulis baca.], (5). Dia mengajar kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.
Tetapi, sejak awal, sudah diingatkan bahwa proses membaca tidak boleh

dipisahkan dari ingat kepada Allah SWT. Harus dilakukan dengan mengingat

nama Allah SwT (Iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq). Konsepsi Ilmu dalam Islam

tidak memisahkan secara dikotomis antara iman dan ilmu pengetahuan. Tidak

memisahkan unsur dunia dan unsur akhirat. Karena pada hakikatnya ilmu

pengetahuan dipelajari bermuara pada satu tujuan penting, mengenal Allah,

beribadah kepada-Nya dan kebahagiaan di akhirat.

Sehingga dalam Islam sendiri ilmu itu terkait dengan akidah. Syed

Muhammad Naquib al-Attas mengatakan:

“Mengawali akidah (yang disusun oleh al-Nasafi) dengan pernyataan yang


jelas tentang ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang sangat penting, sebab
Islam adalah agama yang berdasarkan ilmu pengetahuan. Penyangkalan
terhadap kemungkinan dan objektifitas ilmu pengetahuan akan
mengakibatkan hancurnya dasar yang tidak hanya menjadi akar bagi
agama, tetapi juga bagi semua jenis sains”.32
Mendefinisikan ilmu merupakan usaha yang sulit untuk dilakukan. Karena

jika pendefinisian itu tidak mencakup seluruh aspek yang terkandung dalam ilmu

32
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, Bandung, Penerbit Pustaka,
cet 1 1981 terjemahan Karsidjo Djojosuwarno, hal 302
94

maka pendefinisian tersebut menjadi tidak benar.33 Selain itu, setiap definisi ilmu

pengetahuan mengandung elemen-elemen yang mengharuskan adanya

pengetahuan awal mengenai sesuatu yang didefinisikan atau mengandung aspek-

aspek ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pendefinisian ilmu telah menjadi bahan

perdebatan yang melibatkan tidak sedikit dari pemikir muslim.

Secara linguistik, kata (‘ilm) berasal dari akar kata (‘ain-lam-mim) yang

diambil dari kata (‘alamah) yang berarti tanda, penunjuk, indikasi yang

dengannya sesuatu atau seseorang dikenal, kognisi, label, ciri-ciri, dan tanda-

tanda. Dengan demikian, (ma’lam) berarti rambu-rambu, atau sesuatu yang

membimbing seseorang. Seiring dengan itu, (‘alam) juga bisa diartikan sebagai

penunjuk jalan. Itulah sebabnya kata ayat dalam Al Quran yang secara literal

berarti tanda, merujuk pada ayat-ayat Al Quran dan fenomena alam.34 Disebabkan

hal diatas, umat Islam sejak dahulu menganggap (‘ilm) berarti Al Quran, syariat,

sunnah, Islam, iman, ilmu spiritual, hikmah, ma’rifah, cahaya, fikiran, sains, dan

pendidikan, yang semuanya menghimpun seluruh hakekat ilmu. Inilah yang

menjadi dasar umat Islam dalam mendefinisikan ilmu secara deskriptif .

Salah satu definisi ilmu secara deskriptif dikemukakan oleh Al-Baqillani,

ilmu menurut beliau adalah “penyerapan objek yang diketahui sebagaimana

adanya”. Al-Amidi mengkritik definisi ilmu yang dikemukakan oleh Al- Baqillani

ini dalam bukunya Abkar Al- Afkar . Al-Baqillani berpendapat bahwa definisi

ilmu menurut Al-Amidi tidak inklusif karena tidak mencakup ilmu Tuhan, dan

33
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam,......H..
144
34
Khudari Soleh, , Wacana baru Filsafat Islam, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004), H. 45
95

bersifat tautologi, karena objek yang diketahui itu lebih kabur daripada ilmu itu

sendiri.

Definisi ilmu secara deskriptif juga dikemukakan oleh Abu Bakar Ibnu

Furak, Ibnu furak berpendapat bahwa ilmu adalah “ sesuatu yang dengannya

seseorang yang memilikinya mampu bertindak dengan baik dan benar”. Al-Amidi

mengkritik definisi ilmu yang dikemukakan Ibnu Furak ini karena semata-mata

merefleksikan aspek-aspek deskriptif dari suatu definisi selanjutnya Al-Amidi

menyangkal adanya kemungkinan bahwa ilmu mengenai diri kita, Allah SWT,

dan perkara-perkara yang abstrak akan memberi kita kemampuan untuk bertindak

dengan benar.

Setelah mengkritik beberapa definisi ilmu diatas, Al-Amidi berpendapat

bahwa ilmu bisa didefinisikan dengan batasan sebagai berikut:

“ilmu adalah sifat yang dengannya jiwa orang yang memiliki sifat ini bisa
membedakan realitas yang tidak terserap oleh indra-indra jiwa, hingga
menjaganya dari derita, ketika itu, ia sampai pada kondisi yang tidak
memungkinkan sesuatu yang dibedakan itu berbeda dari cara-cara yang
darinya perbedaan itu diperoleh”.35
Dalam definisinya, Jurjani meletakkan adab sebagai sesuatu yang setara

dengan ma’rifah yaitu sejenis ilmu khusus dalam konteks ilmu pengetahuan

yang mencegah orang yang memilikinya dari terjerumus ke dalam berbagai

bentuk kesalahan.36 Oleh karena itu, tidaklah mengherankan sekiranya adab juga

dianggap sebagai representasi keadilan sebagaimana direfleksikan oleh hikmah,

kebijaksanaan. Dengan mensintesiskan arti ilmu pengetahuan, makna dan arti

adab, bisa dikatakan bahwa definisi pendidikan Islam yang lengkap adalah

35
Khudari Soleh, , Wacana baru Filsafat Islam,.. H.50
36
Syed Farid Al-Attas, ―Agama dan Ilmu-Ilmu Sosial‖, Jurnal Ulumul Qur’an, jil.
5, No. 2, 1994
96

sebagaimana terkandung dalam konteks ta’dib, yang didalamnya terkandung

tujuan, kandungan dan metode pendidikan yang sebenarnya.

Al-Attas sebagaimana adab hadir dalam berbagai sumber, mengartikan

adab hadir dalam ilmu:

“adab berarti disiplin intelektual yang mengenal dan mengakui adanya


hierarki ilmu berdasarkan kriteria tingkat-tingkat keluhuran dan
kemuliaan, yang memungkinkanya mengenal dan mengakui, bahwa
seseorang yang pengetahuannya berdasarkan wahyu itu jauh lebih luhur
dan mulia daripada mereka yang pengetahuanya berdasarkan akal;
bahwasanya fardu ain adalah jauh lebih tinggi daripada fardu kifayah; dan
bahwasanya segala sesuatu yang berisi petunjuk kehidupan jauh lebih
mulia daripada segala sesuatu yang dipakai dalam kehidupan. Adab
terhadap ilmu pengetahuan akan menghasilkan cara-cara yang tepat dan
benar dalam belajar dan penerapan pelbagai bidang sains yang berbeda.
Seirama dengan ini, rasa hormat terhadap sarjana dan guru dengan
sendirinya merupakan salah satu pengejewantahan langsung dari adab
terhadap ilmu pengetahuan. Dengan demikian, tujuan yang sebenarnya
dalam upaya pencapaian ilmu dan pendidikan adalah agar seseorang bisa
mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. 37
Dalam usaha pendefinisian ilmu, al-Attas mengajukan definisi ilmu secara

deskriptif, dengan premis bahwa ilmu itu datang dari Allah SWT dan diperoleh

oleh jiwa yang kreatif. 38 Dia membagi pencapaian dan pendefinisian ilmu secara

deskriptif kedalam dua bagian. Yang pertama adalah ilmu yang diberikan oleh

Allah SWT., sebagai karuniaNya kepada insan. Dan yang kedua adalah ilmu yang

dicapai dan diperoleh oleh insan berdasarkan daya usaha akliyahnya sendiri yang

berasal dari pengalaman hidup indera jasmani dan nazar akli serta pemerhatian,

penyelidikan dan pengkajian.

Definisi tersebut ditegaskan kembali oleh Alparslan Acikgence dan Wan

Mohd Nor Wan Daud, yakni :

37
S.M.N. Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains,... hal. 78
38
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, Penj. Saiful
Muzani (Bandung: Mizan, 1995), hal. 78. Lihat juga, S.M.N. Al-Attas, Islam dan
Sekularisme, hal. 179
97

“Pertama, ilmu diisyaratkan sebagai sesuatu yang berasal dari Allah Swt.,
bisa dikatakan bahwa ilmu itu adalah datangnya (husul) makna sesuatu
atau objek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu, kedua sebagai sesuatu yang
diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai
datangnya jiwa (wushul) pada makna sesuatu atau objek ilmu.” 39
Dr. Syamsuddin Arif dalam Prinsip-Prinsip Epistemologi Islam.pdf

dalam academia.edu.document, mengatakan:

“sumber ilmu dalam Islam ada; persepsi indera (idrak al-hawas), proses
akal sehat (ta’aqqul), intuisi sehat (qalb) dan khabar shadiq. Persepsi
inderawi meliputi yang lima (indera pendengar, pelihat, perasa, penyium,
penyentuh), daya ingat atau memori , penggambaran dan estimasi. Proses
akal mencakup nalar dan alur pikir. Dengan alur pikir kita bisa
berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi,
melakukan analogi, membuat putusan dan menarik kesimpulan.”40
Selanjutnya dengan intuisi qalbu seseorang dapat menangkap pesan-pesan

isyarat ilahi, fath, ilham, kasyf dan sebagainya. Sumber lain yang tak kalah

pentingnya adalah khabar shadiq, yang berasal dari dan bersandar pada otoritas.

Sumber khabar shadiq, apalagi dalam urusan agama, adalah wahyu (Kalam Allah

dan Sunnah Rasul-Nya) yang diterima dan diteruskan yakni ditransmit (ruwiya)

dan ditransfer (nuqila) sampai ke akhir zaman.

Satu hal yang ditekankan dalam definisi ini adalah bahwa ilmu adalah

tentang makna.

“Al-Attas mendefinisikan makna sebagai “pengenalan tempat yang tepat bagi


segala sesuatu dalam sebuah sistem, yang berlangsung ketika hubungan sesuatu
dengan yang lainnya dalam sistem itu menjadi jelas dan bisa dipahami.” 41
Objek apapun, fakta maupun suatu peristiwa dikatakan diketahui

seseorang jika bermakna baginya. Dengan demikian, dalam proses kognisi,

pikiran tidak sekedar menerima pasif, tetapi ia aktif dalam arti mempersiapkan

39
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam,......H.
147. Lihat juga, Alparslan Acikgence, Islamic Science Toward A Definition, hal. 49
40
Syamsuddin Arif, Prinsip-Prinsip Epistemologi Islam.pdf dalam academia.edu.documents
hal 3.
41
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,..... H. 149
98

diri untuk menerima apa yang ia ingin terima (mengolah dan menyeleksi makna

yang diterima secara sadar). Ilmu yang pertama itu mempunyai dua kenyataan;

yang satu sebagai “tanzil,” dan yang satu lagi sebagai pengenalan yang merujuk

kepada diri dan alam hakiki dan tuhan yang hak. Sebagai tanzil, ilmu yang

pertama merujuk kepada umat manusia umumnya dan mensifatkan kandungannya

sebagai hidayah yang membimbing ke arah hak ta’ala; suatu petunjuk yang

mengarahkan hidup insan ke jalan yang lurus dan benar. Ilmu inilah yang disebut

al-ilm, yakni ilmu yang sebenarnya. 42 Oleh karena itu dalam definisinya yang

pertama penekanan lebih diberikan kepada Allah Swt., sumber segala ilmu,

sedangkan dalam definisinya yang kedua kepada manusia, si pencari ilmu.

Ilmu ini merupakan suatu kenyataan khusus ilmu yang sebenarnya, yang

biasa disebut dengan ma’rifah, 43 yakni ilmu pengenalan yang merujuk kepada

pengenalan diri akali insan. Ilmu yang sebenarnya, yang dikatakan sebagai tanzil,

itulah ilmu yang utama, sebab ilmu tersebut sudah jelas dan lengkap sempurna

bagi insan dan merupakan hidayah dan petunjuk yang membimbingnya ke arah

yang lurus dan benar.

Ilmu yang kedua, yang disebut ‘ilm yang mempunyai bentuk jamak ‘ulum

adalah ilmu pengetahuan, dan diperoleh sebagai hasil pencapaian sendiri daya

usaha akliah melalui pengalaman hidup indera jasmani dan nazar-akali dan

pemerhatian, penyelidikan dan pengakajian. Ilmu ini berdasarkan pada

pengumpulan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari kenyataan hidup

42
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam,......H..
147
43
S.M.N. Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, hal. 79
99

44
duniawi. Penuntutan ilmu ini tiada batasnya sebab ia merujuk kepada

maklumat-maklumat yang tiada berbatas, yang mempunyai nilai kegunaan hidup

duniawi, yang merupakan alat juga bagi manusia dalam menyesuaikan dirinya

dengan keadaan alam sekelilingnya.

Pendefinisian tentang ilmu tidak akan terlepas dari kaitannya dengan

‘fakta’. Pembahasan tentang fakta itu sendiri menuntut pemahaman yang

komprehensif tentang “haqq”,

“Haqq berarti suatu kesesuaian dengan syarat-syarat kebijaksanaan,


keadilan, kebenaran, ketepatan, realitas, dan kepantasan (moral). Ia
merupakan suatu keadaan, kualitas, atau sifat yang dapat ditemukan dalam
kebijakan, keadilan, ketepatan, kebenaran, realitas, dan kepantasan. Ia
merupakan suatu keadaan keniscayaan, suatu yang tidak terhindarkan,
wajib, hak mesti diberikan. Ia merupakan keadaan eksistensi dan
mencakup segalanya. Hal-hal dan kejadian-kejadian yang ditunjuk oleh
haqq bukan hanya berkaitan dengan kondisinya sekarang, tetapi juga
kondisi yang lalu dan yang akan datang.” 45
suatu istilah yang dalam Islam digunakan untuk mengartikan sekaligus
46
realitas dan kebenaran secara umum. Lawan dari haqq adalah bathil yang

artinya bukan realitas atau kepalsuan.

Menurut Al-Attas seorang pencari ilmu memerlukan mental yang aktif dan

persiapan spiritual dan dipihak lain memerlukan keridhaan serta kasing sayang

Allah Swt., sebagai Zat yang memberi ilmu. Keadaan tersebut bagi seorang

pencari ilmu menurut Al-Attas disebut sebagai “kedatangan”.47

44
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam,......H.
81. Lihat juga, S.M.N. Al-Attas, Islam dan Sekularisme, hal. 182
45
S.M.N Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, hal. 48
46
S.M.N Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, hal. 47
47
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam,......H.
148
100

Al-Attas memberikan penekanan kepada kedua aspek “kedatangan” dan

“makna”, sebuah metode penyatuan yang menurutnya merupakan ciri-ciri tradisi

intelektual Islam yang disebut dengan “metode tauhid”. Richard Rorty yang

dikutip oleh Wan Daud dalam bukunya, mengungkapkan prinsip sofis yang baru

mengenai ilmu pengetahuan, bahwa hakikat ilmu adalah tidak memiliki hakikat,

dan karenanya, tidak ada yang disebut sebagai teori-teori ilmu. 48 Hal ini berbeda

dengan ilmu di dalam Islam, yang mana ilmu itu tersebut merangkumi iman dan

kepercayaan sebagai hakikatnya.

Untuk penanaman nilai-nilai spiritual, termasuk Spiritual Intellegent

dalam pendidikan Islam, Al-Attas menekankan pentingnya pengajaran ilmu

fardhu ain, yaitu ilmu pengetahuan yang menekankan demensi ketuhanan,

intensifikasi, hubungan manusia-Tuhan dan manusia-manusia, dan nilai-nilai

moralitas lainnya yang membentuk cara pandang murid terhadap kehidupan dan

alam semesta. Pembagian ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah ini tidak perlu

dipahami secara dikotomis karena ini hanyalah pembagian hierarki ilmu

pengetahuan berdasarkan tingkat kebenarannya. Ia harus dilihat dari

perspektif integral atau tauhid, yaitu ilmu fardu ain merupakan asas dan rujukan

bagi ilmu fardhu kifayah.

Dalam pemilahan (bukan pemisahan) ilmu ini kita bisa menemukan

beberapa konsep yang diberikan oleh para ilmuwan Islam. Di antaranya adalah

Ibnu Khaldun. Beliau memilah ilmu atas dua macam, yaitu ilmu naqliyah (ilmu

yang berdasarkan pada otoritas atau ada yang menyebutnya ilmu-ilmu tradisional)

48
Syed Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in
Islam,......H. 129
101

dan ilmu ‘aqliyah (ilmu yang berdasarkan akal atau dalil rasional). 49 Termasuk

yang pertama adalah ilmu-ilmu al-Quran, hadis, tafsir, ilmu kalam, tawsawuf, dan

ta’bir al-ru`yah. Sedangkan yang kedua adalah filsafat (metafisika), matematika,

dan fisika, dengan macam-macam pembagiannya.

Selain Ibnu Khaldun, sebelumnya al-Ghazali juga membagi ilmu pada dua

jenis, “ilm syar’iyyah” dan “ilm ghair syar’iyyah”. Yang pertama digolongkan

sebagai ilmu fardhu ‘ain untuk menuntutnya, sedangkan yang kedua sebagai ilmu

fardhu kifayah.50 Sekalipun al-Ghazali membedakan antara keduanya dalam hal

penuntutannya, beliau menggunakan konsep integral dalam memandang ilmu

secara keseluruhan. Setidaknya ini bisa dilihat dari penggolongan kedua ilmu

tersebut dengan fardhu untuk menuntutnya.

Dalam kurikulum pendidikan, semestinya pengajaran ilmu-ilmu fardhu ain

yang berupa ilmu yang berhubungan dengan keimanan dan kewajiban-kewajiban

individu tidak berhenti pada jenjang pendidikan rendah atau menengah, ia harus

dilanjutkan pada tingkat universitas dalam bentuk konsep-konsep. Materi wajib

berupa akidah, tauhid, atau ushuludin pada jenjang pendidikan rendah dan

menengah mestinya dikembangkan materi wajib pada jenjang pendidikan tinggi

yang berupa ilmu kalam atau filsafat yang meliputi konsep-konsep mengenai

Tuhan, manusia, alam, dan din. Itu semua hendaknya diajarkan secara metafisis

sehingga dapat menjadi fondasi bagi pengkajian disiplin ilmu lain atau ilmu

fardhu kifayah. Di sini, sumber pengetahuan indriawi, ‘aqli, dan intuisi disatukan

dalam suatu cara berpikir yang integral sehingga seorang ilmuwan Muslim tidak
49
‫عبد محمد‬THE MUQADDIMAH Abd Ar Rahman bin Muhammed ibn Khaldun Translated
by Franz Rosenthal, H.380
50
Abi Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-din, Jilid 3, penerj. Faris, H. 16
102

lagi terperosok ke dalam cara berpikir dualistis; objektif dan subjektif, idealistis

dan realistis. Dengan cara itu dikotomi ilmu pengetahuan, agama dan umum,

yang telah begitu masuk ke dalam kurikulum pendidikan Islam akibat

sekulerisasi pemikiran dapat secara perlahan-lahan dihilangkan. Menurut Al-

Attas, setiap Muslim wajib menguasai ilmu fardhu ain sesuai dengan tingkat

kecerdasan dan pengetahuan masing-masing. Ilmu fardhu ain bagi seorang

mahasiswa ushuludin, misalnya, tidak sama dengan ilmu fardhu ain bagi siswa

madrasah Aliyah atau mahasiswa fakultas sosiologi. Jika setiap cendikiawan

menguasai ilmu fardhu ain sesuai dengan bidangnya, pada tataran epistemologi

ilmu fardhu ain ini pada akhirnya akan menyatukan berbagai disiplin ilmu

pengetahuan yang termasuk ke dalam ilmu fardhu kifayah, seperti ilmu

kemanusiaan, ilmu alam, sejarah, peradaban dan bahasa.

“Sekali lagi, Al-Ghazali mengemukakan bahwa ada tiga jenis ilmu


Pertama, ilmu rasional murni (‘aqli mahdh). Contoh yang diberikan al-
Ghazali adalah aritmetika (al-hisab), geometri (al-handasa), dan astrologi
(al-nujum). Kedua, adalah ilmu-ilmu tradisional atau ilmu naqli. Kata
“naqli” secara harafiah berarti sesuatu yang didengar atau dinukil dari
sumber terdahulu. Contoh ilmu semacam ini adalah ilmu hadis dan tafsir.
Ketiga adalah ilmu yang menggabungkan antara akal dan tradisi, antara
penalaran dan riwayat. Ilmu semacam ini paling tinggi statusnya dalam
pandangan al-Ghazali, sebab di sana akal dan wahyu bekerja secara
serentak. Contoh ilmu semacam ini antara lain adalah ushul fiqh.” 51

Al-Ghazali mengemukakan argumen tambahan untuk mendukung

pendapatnya tentang keunggulan ilmu naqli. Yakni, bahwa ilmu-ilmu semacam

itu tidak dilandaskan pada taqlid semata yang menjadi ciri utama ilmu naqli,

begitu pula ia tidak bersandar pada akal murni. Taqlid atau meniru secara

51
Afzalur Rahman, Al Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Rineka Cipta cet 2 1992
terjemahan Arifin hal 19.
103

membabi buta ditolak oleh akal, sementara itu berpegangan pada akal semata juga

tidak dapat dibenarkan oleh agama. Ilmu yang unggul adalah yang berdiri di

tengah-tengah antara akal dan wahyu.

Manusia adalah jiwa sekaligus jasad, sekaligus wujud jasmaniah dan

ruhaniah; dan jiwanya mesti mengatur jasadnya sebagaimana Allah mengatur

jagad. Dia terpadukan sebagai satu kesatuan dan dengan adanya saling keterkaitan

antara wujud ruhaniah dengan wujud jasmaniah serta inderanya, ia membimbing

dan memelihara kehidupannya di dalam dunia ini. Sebagaimana manusia memiliki

“Dwi Sifat”, demikian pulalah ilmu terdiri dari dua jenis: yang pertama adalah

berian Allah, dan yang kedua adalah ilmu capaian (yang diperoleh dengan usaha).

Pada hakikatnya, dalam Islam, semua ilmu datang dari Allah, tapi cara

kedatangannya yaitu hushul dan wushul serta wujud-wujud dan indera-indera

yang menerima dan menafsirkannya berbeda. Mengingat ilmu jenis pertama

adalah mutlak penting bagi pembimbingan dan penyelamatan manusia, maka ilmu

tentangnya yang tercakup di dalam ilmu–ilmu agama bersifat perlu dan wajib atas

semua muslim (fardhu’ain : ‫) عين فرض‬. Pencapaian ilmu jenis kedua yang

mencakup ilmu–ilmu rasional, intelektual dan filosofis wajib bagi sebagian

muslim saja (fardhu kifayah :‫)كفاية فرض‬

Skema berikut ini tentang manusia, ilmu dan universitas akan menjelaskan

kaitan yang ditemukan di antara kesemuanya itu :

I. MANUSIA
a. Jiwa dan wujud batini yahya (ruh, nafs, qalb, „aql).
b. Jasad, wujud jasmaniah dan indera – inderanya.
II. PENGETAHUAN
a. Ilmu berian Allah.
b. Ilmu capaian.
104

III. UNIVERSITAS
a. Ilmu – ilmu agama (fardhu „ain).
b. Ilmu – ilmu rasional, intelektual, dan filosofis (fardhu kifayah).52
Pembagian dua jenis ilmu tersebut bisa secara ringkas diikhtisarkan

sebagai berikut :

a. Ilmu–ilmu agama
1) Al-Qur‟an: pembacaan dan penafsirannya (tafsir dan ta‟wil).
2) As-Sunnah: kehidupan Nabi, sejarah dan pesan–pesan para rasul sebelumnya,
hadits, dan riwayat–riwayat otoritatifnya.
3) Asy-Syari‟ah : Undang–undang dan Hukum, prinsip–prinsip dan praktek–
praktek Islam (Islam : ‫ اسالم‬, Iman : ‫ ايمان‬, dan Ihsan : (‫)احسان‬
4) Teologi: Tuhan, Esensi-Nya, Sifat–sifat dan nama–nama–Nya serta tindakan–
tindakan–Nya (at-Tauhid : (‫)التوحيد‬
5) Metafisika Islam (at–Tashawwuf : ‫ ) التصوف‬psikologi, kosmologi dan
ontologi: unsur–unsur yang sah dalam filsafat Islam (termasuk doktrin-
doktrin kosmologis yang benar, berkenaan dengan tingkatan-tingkatan wujud)
6) Ilmu–ilmu Linguistik: bahasa Arab, tata bahasa, leksikografi, dan
kesusasteraannya.
b. Ilmu–ilmu rasional, intelektual, dan filosofis
1) Ilmu–ilmu kemanusiaan.
2) Ilmu–ilmu alam.
3) Ilmu–ilmu terapan.
4) Ilmu–ilmu teknologi.53
Menurut Al-Attas, struktur ilmu pengetahuan dan kurikulum pendidikan

Islam seharusnya menggambarkan manusia dan hakikatnya yang harus

diimplementasikan pertama-tama pada tingkat universitas. Struktur dan kurikulum

ini secara bertahap kemudian diaplikasikan pada tingkat rendah. Secara alami,

kurikulum tersebut diambil dari hakikat manusia yang bersifat ganda (dual

nature); aspek fisikalnya lebih berhubungan dengan pengetahuannya mengenai

ilmu-ilmu fisikal dan teknikal, atau fardhu kifayah; sedangkan keadaan

spiritualnya sebagaimana terkandung dalam istilah-istilah ruh, nafs, qalb, dan „aql

52
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam,......H.35
53
Syed Muhammad Naquib Al-attas, The Concept of Education in Islam,.... H 78
105

lebih tepatnya berhubungan dengan ilmu inti atau fardhu „ain. Kandungan umum

yang terperinci dari dua ketgori tersebut pada tingkat pendidikan tinggi adalah : 54

a. Fardhu ‘Ain (ilmu-ilmu agama)

1) Kitab suci Al-Qur‟an: pembacaannya dan interpretasinya (tafsir dan ta’wil).


Di ISTAC, Al-Attas telah menyetujui mata kuliah sejarah dan metodologi
„Ulum Al-Qur‟an. Ia merupakan studi mengenai Al-Qur’an, konsep dan
sejarah wahyu, penurunannya, pengumpulan,penjagaan, dan penyebarannya,
ilmu-ilmu untuk memahami Al-Qur’an (seperti nasikh-mansukh, al-khashsh
wa al-‘am, muhkam-mutasyabih,dan amr-nahy). Ia juga meliputi studi
komparatif mengenai asal-usul.
2) perkembangan, dan metodologi literatur tafsir, jenis-jenis dan mazhab-
mazhabnya.
3) Sunnah : kehidupan Nabi : sejarah dan risalah nabi-nabi terdahulu, hadis dan
perawiannya. Mata kuliah sejarah dan metodologi hadis wajib bagi semua
mahasiswa ISTAC. Selain itu, mata kuliah ini merupakan pengkajian yang
mendalam mengenai sejarah kritik hadis, beberapa istilah teknisnya
(musthalahat al-hadis), analisis perbandingan terhadap kitab-kitab kumpulan
hadis yang penting dan pengategoriannya, ilmu biografi, dan kamus utama
mengenai biografi.
4) Syariat : fiqih dan hukum; prinsip-prinsip dan pengamalan Islam (Islam,
iman, ihsan). Al-Attas menganggap pengetahuan syariat sebagai aspek
terpenting dalam pendidikan Islam. Bagaimanapun, pelaksanaan syariat
dalam kehidupan individu dan masyarakat harus didasarkan pada ilmu yang
tepat, sikap moderat, dan adil. Al-Attas menilai bahwa pengajaran hukum
Islam mendapat perhatian yang lebih besar daripada yang diperlukan
kebanyakan Muslim dalam bidang pemikiran pendidikan dan administratif,
sampai pada tingkat mengurangi perhatian pada masalah-masalah yang lebih
fundamental lainnya, seperti teologi, metafisika, dan etika.
5) Teologi (Ilmu Kalam): Tuhan, Zat-Nya, Sifat-sifat, Nama-nama, dan
Perbuatan-Nya (al-tauhid). Teologi Islam merupakan subjek yang sangat
penting yang masih belum diberi tempat yang layak dalam kurikulum
pendidikan tinggi Islam sekarang ini. Alasannya, ketidakmampuan banyak
ilmuwan Muslim modern menunjukkan bahwa permasalahan dan isu yang
diangkat dalam subjek ini bukanlah hal kuno dan ketinggalan zaman, karena
itu tidak relevan bagi Muslim modern. Sebaliknya, Al-Attas secara konsisten
berpendapat dan membuktikan bahwa permasalahan dan isu-isu yang
diangkat dalam teologi itu muncul kembali, terutama dari sumber-sumber
kebudayaan. Memahami dengan baik pendapat yang dikembangkan oleh
beberapa ahli teologi Muslim yang terkenal akan sangat membantu
mengurangi kerancuan (pemahaman) keagamaan yang terjadi di kalangan
pemimpin Muslim hari ini.40

54
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam,......H. 271-288
106

6) Metafisika Islam (al-tashawwuf „irfan): psikologi, kosmologi, dan ontologi;


elemen-eleman filsafat Islam yang cukup dikenal terdiri dari doktrin-doktrin
kosmologi yang berkaitan dengan hierarki wujud. Mata kuliah ini mungkin
merupakan yang paling fundamental dalam kurikulum pendidikan Al-Attas,
bukan saja karena meliputi semua elemen yang paling penting dalam
pandangan Islam mengenai realitas dan kebenaran sebagaimana diterangkan
dalam Al-Qur‟an dan hadis, melainkan juga karena mencakup ringkasan
semua disiplin intelektual lain, seperti ilmu Al-Qur‟an, hadis, teologi dan
filsafat, serta ilmu pengetahuan mengenai bahasa Arab klasik.
7) Ilmu bahasa: bahasa Arab, tata bahasanya, leksikografi, dan sastra. Tujuannya
bukan hanya menguasai keterampilan berbicara melainkan lebih penting lagi
untuk menganalisis dan menginterpretasikan sumber-sumber primer dalam
Islam, khazanah intelektual dan spiritual penting dalam bahasa Arab.
Harus disebutkan di sini bahwa kategori fardhu ‘ain merupakan gambaran

dari integrasi berbagai mazhab yang dianut dalam tradisi pendidikan Muslim.

Lebih jauh lagi, harus digarisbawahi bahwa konsepsi Islam mengenai fardhu’ain,

sebagaimana dipahami oleh Al-Attas, pada dasarnya berbeda dari pengategorian

bidang studi pendidikan sekuler liberal modern yang biasanya berupa bidang

studipermanen atau kurikulum inti atau pendidikan umum, dengan alasan berikut.

1) Pertama, bidang studi permanen pada pendidikan umum tidak pernah diberi
status normatif sebagaimana fardhu’ain.
2) Kedua, bidang studi permanen dan pendidikan umum secara keseluruhan
pada dasarnya difokuskan untuk program S1 pada pendidikan universitas,
sedangkan pengetahuan fardhu’ain harus dipelajari sejak akil baligh sampai
tingkat pendidikan tertinggi bahkan sampai meninggal dunia.
3) Ketiga, berbeda dari pengetahuan inti pada pendidikan umum, pengetahuan
fardu’ain diambil dari dan berakar pada Wahyu Ilahi dan hadis Nabi yang
tidak pernah ditentang oleh ilmuwan Muslim siapa pun sepanjang zaman.

b. Fardhu Kifayah

Pengetahuan mengenai fardhu kifayah tidak diwajibkan kepada setiap

Muslim untuk mempelajarinya, tetapi seluruh masyarakat Mukmin akan

bertanggung jawab jika tidak ada seorangpun dari masyarakat tersebut yang

mempelajarinya, karena memberikan landasan teoretis dan motivasi keagamaan

kepada umat Islam untuk mempelajari dan mengembangkan segala ilmu ataupun
107

teknologi yang diperlukan untuk kemakmuran masyarakat. Al-Attas membagi

pengetahuan fardhu kifayah menjadi delapan disiplin ilmu :

1) Ilmu Kemanusiaan.
2) Ilmu Alam.
3) Ilmu Terapan.
4) Ilmu Teknologi.
5) Perbandingan Agama.
6) Kebudayaan Barat.
7) Ilmu Linguistik: Bahasa Islam.
8) Sejarah Islam

Sudah tentu Al-Attas tidak membatasi pengetahuan fardhu kifayah pada

delapan disiplin ilmu di atas. Hal ini bisa dipahami karena pengetahuan (‘ilm) itu

sendiri, sebagai Sifat Tuhan, tidak terbatas. Selain itu, fardhu’ain itu dinamis dan

berkembang seseuai dengan kemampuan intelektual dan spiritual seseorang serta

keadaan masyarakatnya, pengetahuan fardhu kifayah juga akan berkembang

dengan keperluan dan program masyarakat tertentu.

1) Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan

dalam diri manusia sebagai manusia dan sebagai diri individual. Tujuan akhir

pendidikan Islam ialah menghasilkan manusia yang baik dan bukan, seperti dalam

peradaban Barat, warganegara yang baik. “Baik” dalam konsep manusia yang

baik berarti tepat sebagai manusia adab dalam pengertian yang dijelaskan di sini,

yakni meliputi kehidupan material dan spiritual manusia. Karena manusia,

sebelum menjadi manusia telah mengikat perjanjian (mitsaq : ‫ ) ميثاق‬individual

secara kolektif dengan Tuhan, serta telah mengenal dan mengakui Allah sebagai

Tuhan (ar-Rabb : ‫ ) الرب‬ketika ia mempersaksikan untuk dirinya dan menegaskan


108

ْ َ‫اَل‬
“benar!” (bala : ‫ ) بلى‬pada pertanyaan Allah “Bukankah Aku Tuhanmu?” .( ‫س ت‬

‫بير بي ك ْم‬
َ ).

Jika tujuan pengetahuan adalah untuk menghasilkan seorang manusia yang

baik, maka kita tidak bermaksud mengatakan bahwa menghasilkan sebuah

masyarakat yang baik bukanlah merupakan tujuan, karena masyarakat terdiri dari

perseorangan–perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian besar di

antaranya menjadi orang–orang baik berarti pula menghasilkan masyarakat yang

baik.

Pendidikan adalah bahan masyarakat. Penekanan pada adab yang

mencakup „amal dalam pendidikan dan proses pendidikan adalah untuk menjamin

bahwasannya ilmu (‘ilm) dipergunakan secara baik di dalam masyarakat. 55 Karena

alasan inilah maka orang-orang bijak, para cerdik cendekia dan para sarjana di

antara orang–orang Islam terdahulu mengombinasikan ‘ilm dengan ‘amal dan

adab, dan menganggap kombinasi harmonis ketiganya sebagai pendidikan.

Pendidikan dalam kenyataannya adalah ta’dib (‫ )تأديب‬karena adab, sebagaimana

didefinisikan di sini, sudah mencakup ‘ilmu dan ‘amal sekaligus.

Al-Attas, pemikir kontemporer Muslim pertama yang mendefinisikan arti

pendidikan secara sistematis, menegaskan dan menjelaskan bahwa tujuan

pendidikan menurut Islam bukanlah untuk menghasilkan warga negara dan

pekerja yang baik. Sebaliknya, tujuan tersebut adalah untuk menciptakan manusia

yang baik. Pada September 1970, Al-Attas mengajukan kepada Ghazali Syafie,56

yang kemudian menjadi Menteri Dalam Negeri Malaysia, bahwa “tujuan

55
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam,.....H. 271-288
56
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam,......H.81
109

pendidikan dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi

seharusnya tidak ditujukan untuk menghasilkan warga negara yang sempurna

(complete citizen), tetapi untuk memunculkan manusia paripurna”. Hal ini

disebutkannya lagi secara lebih detaildalam bukunya Islam and Secularism dalam

Wan Mohd Nor Wan Daud :

Tujuan mencari ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan ataupun


keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu, bukan
hanya sebagai seorang warga negara ataupun anggota masyarakat. Yang
perlu ditekankan (dalam pendidikan) adalah nilai manusia sebagai manusia
sejati, sebagai warga kota, sebagai warga negara dalam kerajaannya yang
mikro, sebagai sesuatu yang bersifat spiritual, (dengan demikian yang
ditekankan itu) bukanlah nilai manusia sebagai identitas fisik yang diukur
dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi
negara, masyarakat,dan dunia.57

Menurut Imam al-Ghazali tujuan pedidikan Islam adalah mencapai

kedekatan diri kepada Allah Swt, guna mencapai kebahagian dunia dan akhirat.

Namun, Abdul Fattah Jalal, tujuan pendidikan Islam “mempersiapkan manusia

yang ‘abid yang menghambakan dirinya kepada Allh Swt. Ada juga yang

berpendapat tujuan pendidikan Islam yang bersifat universal tersebut memiliki

ciri-ciri sebagai berikut. Mengandung keinginan untuk mewujudkan manusia yang

sempurna (insan kamil) yang dalamnya memiliki wawasan kaffahagar mampu

menjalankan tugas-tugas kehambaan, kekhalifaan, dan pewaris nabi.

2) Sumber Pendidikan Islam

Sudah disinggung di awal, bahwa obyek ilmu dalam Islam tidak hanya

terbatas pada kajian fisik empirik saja, yang hal ini tentunya berbeda dengan

epistemologi Barat Modern. Hal ini berimplikasi pada sumber atau saluran dari

57
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam,......H.149
110

ilmu dalam Islam yang mempunyai perbedaan signifikan dengan epistemologi

Barat, kalau Barat hanya mengakui indera dan rasio, spekulasi filosofis dalam

epistemologinya, maka dalam pandangan filosof Muslim, ilmu yang datang dari

Tuhan dapat diperoleh melalui: (1) Indera sehat (hawass salimah), di sini terdiri

dari dua bagian, yaitu panca indera eksternal dan internal. Panca indera eksternal

terdiri dari peraba (touch), perasa (taste), pencium (smell), pendengaran (hearing),

dan penglihatan (sight). Sedangkan panca indera internal adalah akal sehat

(common sense/al-hiss al-musytarak), indera representative (al-khayaliyyah),

indera estimatif (al-wahmiyyah), indera retentif rekolektif (al-hafizhah al-shadiq),

dan indera imajinatif (al-mutakhayyilah). (2) Laporan yang benar (khabr shadiq)

berdasarkan otoritas yang terbagi menjadi dua, yaitu otoritas mutlak, yaitu otoritas

ketuhanan, yaitu al-Quran, dan otoritas kenabian. Dan otoritas nisbi, yaitu

kesepakatan alim ulama dan kabar dari orang-orang yang terpercaya secara

umum. (3) Intelek, yang terdiri dari dua bagian, yaitu akal sehat (sound

reason/ratio), dan ilham (intuition).

Sebagai penjelasan bahwa Islam tidak pernah mengecilkan peranan indera,

yang dasarnya merupakan saluran yang sangat penting dalam pencapaian ilmu

pengetahuan mengenai realitas empiris. Dalam hal metode yang berasangkutan

dengan indera disebut dengan tajribi (eksperimen atau observasi) bagi obyek-

obyek fisik (mahsusat). Metode observasi ini biasanya menggunakan sumber

pengetahuan panca indera. Namun terkadang ia membutuhkan pada alat-alat

Bantu bagi indera yang tanpanya pengamatan indera tidak akurat dalam

memperoleh pengetahuan.
111

Begitu pula Al-Attas yang bertentangan dengan filsafat dan sains modern

dalam hal sumber dan metode ilmu, Al-Attas memandang bahwa ilmu datang dari

Tuhan dan diperoleh melalui sejumlah saluran, yaitu: indera yang sehat, laporan

(khabar) yang benar yang disandarkan pada otoritas, akal yang sehat, dan intuisi.

a. Indera-indera Lahir dan Batin

Indera-indera lahir terdiri dari perasa tubuh, pencium, perasa lidah,

penglihat dan pendengar, yang semuanya berfungsi untuk mempersepsi hal-hal

partikular dalam dunia lahir.58 Terkait dengan pancaindera ini adalah lima indera

batin yang secara batiniah mempersepsi citra-citra inderawi dan maknanya,

menyatukan atau memisah-misahkannya, menyerap (mengonsepsi) gagasan-

gagasan tentangnya, menyimpan hasil-hasil penyerapan itu, dan melakukan

inteleksi terhadapnya. Kelima indera batin ini adalah indera umum (common

sense), representasi, estimasi, ingatan dan pengingatan kembali, dan imajinasi.

   


   
  
  
  
Artinya: dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.59
Penting untuk diketahui bahwa dalam hal ini, yang dipersepsi adalah

“rupa” dari objek lahiriah, yaitu representasi realitas lahiriah atau inderawi, bukan

realitas itu sendiri. Jadi, yang dipersepsi oleh indera-indera itu bukanlah realitas

sesungguhnya dalam dirinya sendiri, melainkan sesuatu yang menyerupai atau

merupakan representasi dari realitas itu, sebagaimana yang tertangkap oleh

58
Al-Attas, Islam and the Philosophy of Science,....... H. 132-135
59
DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Intermasa, 1993) Qs. An-Nahl (16):
78
112

indera-indera tersebut. Senada dengan penjelasan diatas, Wan Daud menegaskan

bahwa segala sesuatu yang berada diluar akal pikiran bukanlah ilmu pengetahuan,

melainkan fakta dan informasi yang kesemuanya adalah objek ilmu pengetahuan.

b. Akal dan Intuisi

Mengenai “akal yang sehat” (sound reason), kita tidak memaksudkannya

dalam artinya yang hanya terbatas pada unsur-unsur inderawi.60 Dalam definisi

yang lebih luas, akal adalah suatu substansi ruhaniah yang melekat dalam organ

ruhaniah pemahaman yang kita sebut hati atau kalbu. Yang merupakan tempat

terjadinya intuisi.

Adapun intuisi, Al-Attas menggambarkannya sebagai pemahaman


langsung akan kebenaran-kebenaran agama, realitas dan eksistensi Tuhan,
realitas eksistensi sebagai lawan esensi sesungguhnya, dalam tingkatnya
yang lebih tinggi, intuisi adalah intuisi terhadap eksistensi itu sendiri.
Intuisi tidak datang pada sembarang orang, tetapi datang pada orang yang
telah menjalani hidupnya dengan mengalami kebenaran agama melalui
praktik pengabdian kepada Tuhan secara ikhlas.61
Intuisi ini datang pada orang yang merenungkan secara terus-menerus

hakikat realitas ini, dan kemudian, selama perenungan mendalam ini dan dengan

kehendak Tuhan, kesadarannya akan dirinya dan keadaan subjektifnya

dihapuskan, lalu masuk ke dalam keadaan kedirian yang lebih tinggi, baka dalam

Tuhan. Ketika ia kembali ke keadaan manusiawi dan subjektifnya, ia kehilangan

apa yang telah ia temukan, tetapi ilmu tentang apa yang telah ia temukan tetap ada

bersamanya.62

60
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam,......H.132
61
Al-Attas, Islam and the Philosophy of Science,....... H. 254
62
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,..... H. 257
113

Pemahaman langsung dan seketika tersebut terjadi ketika ia berada dalam

keadaan baka dalam Tuhan, yaitu ketika ia memperoleh kediriannya yang lebih

tinggi. Kepadanya telah diberikan kilasan hakikat realitas dalam masa pertemuan

dengan kebenaran itu. Kandungan kognitif dari intuisinya terhadap eksistensi

terungkap kepadanya dalam suatu sistem realitas terpadu secara menyeluruh.

Intuisi datang kepada orang jika ia telah siap untuk itu, yakni jika nalar

dan pengalamannya telah terlatih untuk menerima dan menafsirkannya. Tetapi,

sementara tingkat-tingkat intuisi yang dicapai melalui metode empiris dan

rasional hanya mengacu kepada aspek-aspek khusus, dan bukan keseluruhannya,

dari hakikat realitas. Tingkat-tingkat intuisi pada tingkat kesadaran manusia yang

lebih tinggi, yang dapat dicapai oleh para nabi dan wali, memberikan pandangan

langsung akan hakikat realitas sebagai suatu keseluruhan.

c. Otoritas

Apa yang dipahami sebagai otoritas disini adalah mengenai laporan yang

benar sebagai jalan diperolehnya ilmu. Otoritas tersebut dapat dibagi kedalam dua

macam. Pertama, laporan yang disampaikan secara berangkai dan tidak terputus

oleh sejumlah orang, dan tidak masuk akal jika mereka dianggap dengan sengaja

bermaksud membuat dusta bersama-sama. Yang termasuk dalam golongan ini

adalah sarjana, ilmuwan, dan orang yang berilmu pada umumnya. Laporan jenis

tersebut dapat dipersoalkan oleh nalar dann pengalaman. Kedua, adalah laporan

atau pesan yang dibawa Rasulullah. 63 Laporan jenis ini juga dikukuhkan oleh

kesepakatan umum, namun ia bersifat mutlak.

63
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,..... H. 186
114

Otoritas pada akhirnya didasarkan pada pengalaman intuitif, yaitu baik

yang terkait dengan tatanan indera dan realitas inderawi, maupun yang terdapat

dalam realitas transendental, seperti intuisi pada tingkat-tingkat yang lebih

tinggi.64 Terlepas dari otoritas orang-orang yang berilmu pada umumnya, tingkat

otoritas tertinggi bagi kita adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW, termasuk

pribadi suci Rasulullah.

Dengan demikian ilmu dari Allah akan sampai kepada manusia melalui

jalan-jalan diatas, ditanggapi oleh akal sebagai realitas ruhani dalam kalbu

manusia sekaligus yang mengendalikan proses kognitif manusia. Melalui kalbu,

jiwa rasional (an-nafsu an-natiqah) bisa membedakan antara kebenaran (al-haq)

dari kesalahan (al-bathil). Akal dalam arti kata ratio atau reason tidak berlawanan

dengan intuisi (wijdan). Artinya, dalam hal ini, akal dan intuisi saling berkaitan

dan bersatu melalui intelek (intellect).

C. Konsep Pendidik dan Peserta Didik Naquib Al-attas

pendidik umumnya di sebut dengan beberapa istilah, seperti:

Mudarris,Muallim, Murabby, Mursyid, Dan Muaddib. Masing-masing istilah ini

memiliki tempat tersendiri dalam konteks peristilahan yang dipakai dalam

pelaksanaan dan teori pendidikan Islam.65

Menurut peristilahan yang dipakai dalam pendidikan dalam konteks Islam,

kelima istilah ini mempunyai makna yang berbeda. Murabbi adalah orang yang

mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi serta mampu

64
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,..... H. 205
65
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1991),
h. 250
115

mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka

bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya. Mu’allim adalah orang yang

menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya sertamenjelaskan fungsinya

dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, sekaligus

melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi serta implementasi. Mu’addib

adalah orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggungjawab

dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan. Mudarris adalah

orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbaharui

pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan

peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan

sesuai dengan bakat , minat dan kemampuannya. Mursyid adalah orang yang

mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri atau menjadi pusat anutan,

teladan dan konsultan bagi peserta didiknya.

Jika merujuk pada al-Qur’an, istilah pendidik yang digunakan antara lain

adalah Al-Murabbi (Rabb) Dan Al-Mu’allim (‘Allama-Yu’allimu). Istilah lain

yang langsung dapat dijumpai dalam al-Qur’an berkenaan dengan adanya fungsi

kependidikan dan pengajaran (pendidik) adalah Ahl Az-Zikr, 66 sebagaimana di

sebut dalam QS. Al-anbiya:7, yaitu:

   


   
   
   
Artinya: “Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-
orang lelaki yang kamu beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah

66
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Cet. II ;Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), , Hal. 209
116

kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak


mengetahui.”67

Guru sebagai seorang pendidik disebut Ma’addib yaitu orang yang berusaha

mewujudkan budi pekerti yang baik atau Akhlakul Karimah, sebagai pembentukan

nilai-nilai moral atau transfer of values. Sementara guru sebagai pengajar disebut

mu’allim yaitu orang yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan kepada

peserta didik, sehingga peserta didik mengerti, memahami, menghayati dan dapat

mengamalkan berbagai ilmu pengetahuan yang disebut sebagai transfer of

khowladge.

Pendidik adalah bapak rohani begi peserta didik yang memberikan ilmu,

pembinaan akhlaq mulia, dan memperbaiki akhlaq yang kurang baik. Kedudukan

tertinggi pendidik dalam Islam tertuang dalam teks

‫ وال تكن خا مسا حتى تهلكة‬،‫كن عالما او متعلما او سامعا او محبا‬


“Jadilah engkau sebagai guru, atau pelajar, atau pendengar, atau pecinta
dan janganlah kamu menjadi orang yang kelima, sehingga engkau
menjadi rusak.”

Dalam Al-qur’an disebutkan :


  
    
 
     
  
   
  
   
  
Artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah
67
DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Intermasa, 1993), Qs. QS. An-Nahl
[16] : 43
117

kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang


yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.68

Dalam beberapa hadits Rasulullah juga disebutkan beberapa keutamaan

seorang pendidik, diantaranya :

‫ان هللا سبحا نه ومال ئكته واهل سماواته و ارضه حتى النملة فى‬
( ‫حجرها و حتى الحوت فى البحر ليصلون على معلمى النا س الخير‬
(‫رواه التر مذى‬
“Sesungguhnya Allah yang Mahasuci, malaikat-Nya, penghuni-penghuni
langit dan bumi-Nya, termasuk semut dalam lubangnya dan ikan dalam
laut, akan mendo’akan keselamatan bagi orang-orang yang mengajar
manusia pada kebaikan.” (HR Turmizi)69
‫من علم علما فكتمه الجمه هللا يوم القيا مه بلجام من نار (رواه آبو داود و‬
(‫الترمذي و ابن حبان‬
“Siapa orangnya yang diajari suatu ilmu lalu dia menyembunyikan, maka
Allah akan mengekangnya di hari kiamat dengan kekangan api neraka.”(
HR. Abu Dawud, Tirmizi dan Ibnu Hibban )70
Dari ayat dan hadits di atas, menjelaskan betapa pentingnya menjadi

seorang pendidik karena pendidik mempunyai tanggung jawab dalam

menentukan arah pendidikannya. Oleh karena itu, Islam sangat menghargai

orang–orang yang berilmu dan mau menyampaikan kepada orang lain.

Pendidikan dalam Islam berlandaskan sumber-sumber yang jelas dan

mapan, yang pemahaman, penafsiran, dan penjelasannya membutuhkan ilmu

68
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, QS. al-mujadilah/ayat-11
69
‫ رقم حديث انظر ) صحيح ( الحديثية الدراسات منتدى الحديث أهل ملتقى‬: 1838 ‫صحيح في‬
‫ الجامع‬https://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=109751
70
‫( »صحيحه« في حبان ابن أخرجه األسانيد ودراسة التخريج منتدى > الحديث أهل ملتقى‬96)، ‫في والحاكم‬
«‫( »المستدرك‬1/182)، ‫( »الزهد« في المبارك وابن‬399)، ‫( »المدخل« في والبيهقى‬465)، ‫( »تاريخه« في والخطيب‬5/38)،
‫( »وفضله العلم بيان جامع« في عبدالبر وابن‬6)، (7)، ‫( »مستخرجه« في نعيم وأبو‬14)، ‫( األوسط في والطبراني‬5027)، ‫وابن‬
‫( »المتناهية العلل« في الجوزي‬123)، ‫ ابن عن طرق من‬،‫قال وهب‬: ‫ بن عياش بن هللا عبد حدثنى‬،‫ عن عباس‬،‫عبد أبي عن أبيه‬
‫ عنه الحبلى الرحمن‬https://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=217665
118

pengetahuan yang otoritatif. Al-Quran memerintahkan umat Islamm untuk

mengembalikan amanah kepada mereka yang berhak.

    


  
   
  
    
    
   
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.” 71

Sifat utama yang harus ada pada diri pendidik adalah niat yang lurus dan

teladan. Niat yang lurus adalah menjalankan tugas/ amanah semata-mata sebagai

ibadah kepada Allah. Sementara sikap teladan akan menghasilkan asumsi positif

bagi peserta didik dari pendidik. Pendidikan Islam ditempuh dengan landasan dan

sumber yang jelas, yang pemahaman dan penafsiran serta penjelasannya

membutuhkan ilmu pengetahuan yang benar-benar otoritatif. Al-Qur’an sendiri

menyerukan manusia untuk menyerahkan amanah kepada yang otoritatif

dibidangnya.Oleh karena itu, peran seorang guru dianggap sangat penting dalam

membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkannya.

Pendidik harus berpegang pada asas utamanya sebagai pengemban amanah

yang menuntun arah dan tujuan yang hendak dicapai.Sesuai dengan tujuan

pendidikan yang diformulasikan Al-Attas, ta’dib ialah pembentukan Akhlak.

71
DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Intermasa, 1993), QS. Al-Nisa (4):
58
119

Maka pendidik harus terlebih dahulu menjadi sosok teladan yang patut,

berwibawa, dan taat pada perintah Allah SWT.72

Perlu dijelaskan bahwa pendidikan modern, karena didominasi oleh tujuan

memproduksi warga negara yang berguna, memindahkan otoritas tersebut dari

guru ke universitas yang berfungsi sebagai institusi komersial. Akhirnya,

universitaslah yang berfungsi sebagai institusi komersial. Ketika seorang desen-

apapun kemampuannya-dipensiunkan dari universitas, dengan disengaja atau

tidak, ia akan kehilangan kekuasaannya, atau bahkan identitasnya. Hal ini

merupakan kondisi yang cukup tragis sebagai hasil dari filsafat sekuler mengenai

kehidupan dan nilai-nilai materialistik yang diadobsi darinya. Al-Attas

menjelaskan:

“ketika suatu masyarakat mendasarkan filsafat kehidupannya pada fondasi


sekuler dan mengadopsi nilai-nilai materialistik sabagai jalan hidupnya,
tidak dapat dielakkan bahwa makna dan nilai serta kualitas kehidupan
individu warga negara akan dipahami dan diukur dengan pengertian yang
sesuai denga kedudukannya sebagai warga negara; pekerjaannya dan
kegunaannya, serta kekuatan kerja dan penghasilannya dalam
hubungannya dengan negara. Ketika pada usia tua hal itu hilang, demikian
pula identitasnya-yang memang dibentuk oleh peranan sekuler yang ia
mainkan-akan hilang.73
Jelaslah bahwa prinsip Islam dan aplikasinya lebih efektif dalam

membebaskan pendidikan dal lembaga pendidikan dari monopoli dan kontrol

negara dan kepentingan bisnis. Lebih signifikan lagi, prinsip Islam dan

aplikasinya menjamin individu dapat mempertahankan otoritas, identitas, dan

kebahagiaannya.

72
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Aims And Objectivitas,..... H. 6
73
Al-Attas, Islam and Secularism, H.142-143
120

Syarat-syarat menjadi seorang guru pendidikan islam yang lebih khusus

peneliti mengutip pendapat Athiyah Al-Abrosyi yang mengemukakan beberapa

sifat yang harus dimiliki guru pendidikan islam, yaitu:

1. Zuhud, artinya tidak mengutamakan materi sebagai tujuan dalam


pendidikan, tetapi lebih mementingkan keridhoan Allah SWT.
2. Keberhasilan guru, artinya seorang guru hendaklah bersih dari segala
penilaian yang negative baik yang menyangkut jasmani maupun rohani.
3. Ikhlas dalam pekerjaan, artinya segala aktivitas yang menyangkut tentang
proses belajar mengajar dilakukan dengan penuh kegembiraan.
4. Bertanggung jawab, artinya sebelum menjadi seorang guru, dia harus
menjadi seorang bapak.
5. Suka pemaaf, artinya dapat mengendalikan emosionalnya.
6. Harus mengetahui tabiat murid, latar belakang murid dan keadaan murid.
7. Harus menguasai mata pelajaran dan mampu mengembangkan kreatifitas
dalam diri siswa sebagai inovasi baru.74
Menurut al-Ghazali seperti dikutip oleh Abuddin Nata, ciri-ciri guru yang

baik adalah:

1. Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya sendiri.


2. Guru jangan mengharapkan materi (upah) sebagai tujuan utama dari
pekerjaannya (mengajar) karena mengajar adalah tugas yang diwariskan
oleh Nabi Muhammad SAW.
3. Guru harus mengingatkan muridnya agar tujuannya dalam menuntut ilmu
bukan untuk kebanggaan diri atau mencari keuntunggan pribadi tapi untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
4. Guru harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat yaitu
ilmu yang membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
5. Dihadapan muridnya guru harus memberikan contoh yang baik, seperti
berjiwa halus, sopan, lapang dada, murah hati dan berakhlak terpuji lainnya.
6. Guru harus mengamalkan yang diajarkannya karena ia menjadi idola di
mata anak didiknya.
7. Guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat intelektual
dan daya tangkap anak didiknya.
8. Guru harus memahami minat, bakat dan jiwa anak didiknya sehingga
disamping tidak akan salah dalam mendidik juga terjalin hubungan yang
akrab antara guru dan anak didiknya.
9. Guru harus dapat menanamkan keimanan kedalam pribadi anak didiknya
sehingga akal pikiran anak didik tersbut akan dijiwai oleh keimanan itu.75

74
Burhanuddin Salim, pengantar Pedagogik “Dasar-Dasar Ilmu Mendidik”, (Cetakan I,
Jakarta: PT Rineka Cipta, 2020), h. 5
75
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam…, h. 163-164
121

Tipe ideal guru yang dikehendaki al-Ghazali di atas nampaknya diarahkan

kepada aspek moral dan kepribadian guru, sedangkan aspek keahlian, profesi dan

penguasaan terhadap materi yang diajarkan dan metode yang harus dikuasainya

Nampak kurang diperhatikan. Hal ini mungkin kurang sejalan dengan pola dan

pendekatan dalam pendidikan yang diterapkan pada masyarakat modern saat ini.

Dengan berpijak pada paradigma “belajar sepanjang masa”, maka istilah

yang tepat untuk menyebut individu yang menuntut ilmu adalah peserta didik dan

bukan anak didik. Peserta didik cakupannya lebih luas, yang tidak hanya

melibatkan anak-anak, tetapi juga pada orang-orang dewasa.76 Sementara istilah

anak didik hanya dikhususkan bagi individu yang berusia kanak-kanak.

Penyebutan peserta didik ini juga mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan

tidak hanya di sekolah (pendidikan formal), tapi juga lembaga pendidikan di

masyarakat, seperti Majelis Taklim, Paguyuban, dan sebagainya.

Secara etimologi, murid berarti “orang yang menghendaki”. Sedangkan

menurut arti terminologi, murid adalah pencari hakikat di bawah bimbingan dan

arahan seorang pembimbing spiritual (mursyid).77 Sedangkan thalib secara bahasa

berarti orang yang mencari, sedangkan menurut istilah tasawuf adalah penempuh

jalan spiritual, dimana ia berusaha keras menempuh dirinya untuk mencapai

derajat sufi. Penyebutan murid ini juga dipakai untuk menyebut peserta didik pada

sekolah tingkat dasar dan menengah, sementara untuk perguruan tinggi lazimnya

disebut dengan mahasiswa.

76
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2008), cet. 2, h. 103
77
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam,... H.105
122

Peserta didik adalah amanat bagi para pendidiknya. Jika ia dibiasakan

untuk melakukan kebaikan, niscaya ia akan tumbuh menjadi orang yang baik,

selanjutnya memperoleh kebahagiaan dunia dan akhiratlah kedua orang tuanya

dan juga setiap mu’alim dan murabbi yang menangani pendidikan dan

pengajarannya. 78 Sebaliknya, jika peserta didik dibiasakan melakukan hal-hal

yang buruk dan ditelantarkan tanpa pendidikan dan pengajaran seperti hewan

ternak yang dilepaskan beitu saja dengan bebasnya, niscaya dia akan menjadi

seorang yang celaka dan binasa.

Sama halnya dengan teori barat, peserta didik dalam pendidikan Islam

adalah individu sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, psikologis,

sosial, dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.79

Definisi tersebut memberi arti bahwa peserta didik merupakan individu yang

belum dewasa, yang karenanya memerlukan orang lain untuk menjadikan dirinya

dewasa. Anak kandung adalah peserta didik dalam keluarga, murid adalah peserta

didik di sekolah, dan umat beragama menjadi peserta didik masyarakat sekitarnya,

dan umat beragama menjadi peserta didik ruhaniawan dalam suatu agama.

Dengan demikian dalam konsep pendidikan Islam, tugas mengajar,

mendidik, dan memberikan tuntunan sama artinya dengan upaya untuk meraih

surga. Sebaliknya, menelantarkan hal tersebut berarti sama dengan mejerumuskan

diri ke dalam neraka. Jadi, kita tidak boleh melalaikan tugas ini, terlebih lagi Nabi

bersabda:

78
Jamal Abdul Rahman, Tahapan Mendidik Anak, Penerjemah : Bahrun Abu
Bakar Ihsan Zubaidi, (Bandung : Irsyad Baitus salam, 2008) h. 16.
79
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam,... H.103
123

‫أ َ ْك ِر ُم ْواا َ ْبنَا َء ُك ْم َوأ َ ْح ِسنُ ْوا اَدَبَ ُه ْم‬


“Muliakanlah anak-anakmu dan didiklah mereka dengan baik ” ((hadits
diketengahkan oleh Ibnu Majah 2/1211, tetapi Al-Albani menilainya
dha’if)

Menurut Langeveld anak manusia (peserta didik) itu memerlukan

pendidikan, karena ia berada dalam keadaan tidak berdaya (hulpeoosheid). 80

Dalam Al-Quran dijelakan:

   


   
  
  
  
Artinya: dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.

Peserta didik di dalam mencari nilai-nilai hidup, harus dapat bimbingan

sepenuhnya dari pendidik, karena menurut ajaran Islam, saat anak dilahirkan

dalam keadaan lemah dan suci/fitrah sedangkan alam sekitarnya akan memberi

corak warna terhadap nilai hidup atas pendidikan agama peserta didik.81Hal ini

sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW., yang berbunyi:

َ ‫َص َرانِ ِه ا َ ْويُ َم ِج‬


(‫سانِ ِه (رواه مسلم‬ ِ ‫ان ا َ ْويُن‬ ْ ‫ى ْال ِف‬
ِ َ‫ط َرةِ فَاَبَ َواهُ يُ َه ِود‬ َ َ‫ام ْن َم ْولُ ْو ٍّد ا هِالي ُْولَد ُعل‬
ِ ‫َم‬
Artinya: “Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membaa fitrah
(kecenderungan untuk percaya kepada Allah), maka kedua orang
tuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani,
Majusi (HR. Muslim)

Menurut hadis ini manusia lahir membawa kemampuan-kemampuan;

kemampuan itulah yang disebut pembawaan.82 Fitrah yang disebut di dalam hadis

80
M. Nashir Ali, Dasar-Dasar Ilmu Mendidik, (Jakarta: Mutiara, 1982). h. 93
81
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: BumiAksara,1995),cet.2,h. 170.
82
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : PT. Remaja
Rosda Karya, 2008), cet. 8, h. 35
124

itu adalah potensi. Potensi adalah kemampuan; jadi fitrah yang dimaksud disini

adalah pembawaan. Ayah-ibu dalam hadis ini adalah lingkungan sebagaimana

yang dimaksud oleh para ahli pendidikan. Kedua-duanya itulah, menurut hadis

ini, yang menentukan perkembangan seseorang.

Manusia mempunyai banyak kecenderungan, ini disebabkan oleh banyak

potensi yang dibawanya. Dalam garis besarnya, kecenderungan itu dapat dibagi

dua, yaitu kecenderungan menjadi orang yang baik dan kecenderungan menjadi

orang yang jahat.83 Kecenderungan beragama termasuk ke dalam kecenderungan

menjadi baik. Firman Allah dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat 30:

  


    
    
    
  
   

Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui [Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan
Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama
tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah
wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh
lingkungan.],

Dari ayat dan hadits tersebut jelaslah bahwa pada dasarnya anak itu telah

membawa fitrah beragama, dan kemudian bergantung kepada para pendidiknya

dalam mengembangkan fitrah itu sendiri sesuai dengan usia anak dalam

pertumbuhannya. Dasar-dasar pendidikan agama ini harus sudah ditanamkan

sejak peserta didik itu masih usia muda, karena kalau tidak demikian

83
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,... H. 36
125

kemungkinan mengalami kesulitan kelak untuk mencapai tujuan pendidikan Islam

yang diberikan pada masa dewasa. Dengan demikian, maka agar pendidikan Islam

dapat berhasil dengan sebaik-baiknya haruslah menempuh jalan pendidikan yang

sesuai dengan perkembangan peserta didik, seperti disebutkan dalam hadits Nabi:

‫رواه الديلمي بسند ضعيف عن ابن‬. ‫الناس على قدْر عقو ِلهم‬
َ ِ ُ‫أ ُ ِم ْرنا أن ن‬
‫كل َم‬
‫ وفي الآللئ بعد عزوه لمسند الفردوس عن ابن عباس‬،‫عباس مرفوعا‬
،‫مرفوعا قال وفي إسناده ضعيف ومجهول انتهى‬
“Berbicaralah kepada orang lain sesuai dengan tingkat perkembangan
akalnya” (Al-Hadits)84

Peserta didik hendaklah tidak tergesa-gesa dalam belajar, tetapi perlu

menyiapkan waktu untuk mencari guru yang terbaik pada bidang yang

digemarinya. Sangat penting juga bagi pencari ilmu untuk mencari guru yang

memiliki reputasi yang tinggi untuk memperoleh gelar tertentu. Al-Ghazali

mengingatkan agar peserta didik tidak merasa sombong, namun tetap menghargai

mereka yang telah membantu dalam mencapai kebijaksanaan, kesuksesan dan

kebahagiaan dan tidak hanya memandang mereka yang terkenal. 85 Jadi, peserta

didik bebas untuk menentukan kepada siapa dan dimana ia ingin menggali ilmu

yang diinginkanya, namun dengan memperhatikan kualitas/mutu seorang guru

atau lembaga pendidikan yang akan mengantarkannya untuk mencapai tujuan

tersebut agar tidak lepas dari hakikat utama pembelajaran, yakni mencapai derajat

Insan Kamil. Disini tergambar bahwa seorang pendidik terhadap peserta didik

‫ يقول الشيخ المحدث العالمة محمد ناصر الدين األلباني رحمة هللا علينا وعليه في مثل هذا الحديث‬84
‫ (فر) عن علي مرفوعا وهو في‬: ‫ تخريج السيوطي‬. ‫حدثوا الناس بما يعرفون أتريدون أن يكذب هللا ورسوله‬:
.‫ في ضعيف الجامع‬2701 :‫ (ضعيف) انظر حديث رقم‬: ‫تحقيق األلباني‬. ‫(خ) موقوف‬
85
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum Al-Din, penerj. Faris, H.137
126

merupakan motivator (pendorong), reinforce (pemberdaya), dan instructor

(pelatih) yang mengarahkan peserta didik.

Secara kodrati, anak memerlukan pendidikan atau bimbingan dari orang

dewasa. Dasar kodrati ini dapat dimengerti dari kebutuhan-kebutuhan dasar yang

dimiliki anak yang hidup didunia ini. Sebagaimana hadits Nabi, yang artinya:

‫حدثنا حاجب بن الوليد حدثنا محمد بن حرب عن الزبيدي عن الزهري‬


‫أخبرني سعيد بن المسيب عن أبي هريرة أنه كان يقول قال رسول هللا‬
‫صلى هللا عليه وسلم ما من مولود إال يولد على الفطرة فأبواه يهودانه‬
‫وينصرانه ويمجسانه كما تنتج البهيمة بهيمة جمعاء هل تحسون فيها من‬
‫جدعاء ثم يقول أبو هريرة واقرءوا إن شئتم فطرة هللا التي فطر الناس‬
‫عليها ال تبديل لخلق هللا اآلية حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا عبد األعلى‬
“tidaklah seseorang yang dilahirkan melainkan menurut melainkan
menurut fitrahnya, maka kedua orang tuanyalah yang me-Yahudikannya
atau me-Nasranikannya atau me-Majusikannya. Sebagaimana halnya
binatang yang dilahirkan dengan sempurna, apakah kamu lihat binatan itu
tiada berhidung dan bertelinga? Kemudian Abi Hurairatah berkata, apabila
kau mau bacalah, alazimilah fitrah Allah yang telah Allah menciptakan
manusia di atas fitrah-Nya. Tiada pengantian terhadap ciptaan allah. Itulah
agama yang lurus.” (H.R. Muslim). 86

Disamping itu dalam al-Qur’an Surat an-Nahl ayat 78, juga dijelaskan:

   


   
  
  
  
Artinya:“dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahu sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. “ (QS. An-Nahl: 78).87

Dari hadits dan ayat diatas dapat disimpulkan bahwaa untuk menentukan

status manusia sebagai mestinyha adalah melalui proses pendidikan. Agar

‫ باب معنى كل مولود يولد على الفطرة‬, ‫مسلم كتاب القدر‬, ‫ تصفح موقع المكتبة الجديد الكتب صحيح‬86
‫باب معنى كل مولود يولد على الفطرة وحكم موت أطفال الكفار وأطفال‬, ‫وحكم موت أطفال الكفار وأطفال المسلمين‬
, 2658 ‫المسلمين‬
87
Muh. Shaleh, Bahan Ajar Filsafat Pendidikan..., h. 43
127

pelaksanaan proses pendidikan islam dapat mencapai tujuan yang diinginkannya,

maka setiap peserta didik hendaknya senantiasa menyadari tugas dan

kewajibannya.

Adab guru dan peserta didik dalam filsafat pendidikan Al-Attas tampaknya

diilhami oleh prinsip yang dipertahankan para ilmuwan Muslim terkenal,

khususnya Al-Ghazali. Mungkin akan sangat berguna jika kita merangkum

pandangan Al-Ghazali mengenai tugas-tugas guru dan peserta didik yang saling

memberi manfaat. Selain persiapan spiritual seperti yang telah dijelaskan, guru

dan peserta didik harus mengamalkan adab, yaitru mendisiplinkan pikiran dan

jiwa. Peserta didik harus menghormati dan percaya kepada guru; harus sabar

dengan kekurangan gurunya dan menempatkannya dalam prespektif yang wajar.88

Peserta didik seharusnya tidak menyibukkan diri pada opini yang

bermacam-macam. Sebaiknya, ia menguasai teori sebaik penguasaannya dalam

praktik. Tingkat ilmu seseorang yang bisa dibanggakan adalah yang memuaskan

guru. 89 Guru pun seharusnya tidak menafikan nasihat yang datang dari peserta

didik dan harus memberikannya berproses sesuai dengan kemampuannya. Guru

juga harus menghargai kemampuan peserta didik dan mengoreksinya dengan

penuh rasa simpati.90 Peranan guru sebagai otoritas dalam pendidikan Islam yang

berpengaruh dan sangat penting itu tidak berarti menekan individualitas peserta

didik, kebebasannya atau kreativitasnya.

88
Al-Attas, Comments on the Re-Examination of Al-Raniri’s Hujjat Al-Shiddiq: A
Refutation (Kuala Lumpur: National Museum, 1875). H.11-12
89
Abi-Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-din, Jild. 1, penerj. Faris, H.67-69
90
Abi-Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-din, Jild. 1, penerj. Faris, H. 71-72
128

D. Konsep Ruang Lingkup Pendidikan Islam Naquib Al-Attas

Dalam konstitusi negara Indonesia dikatakan bahwa, pemerintah

mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang

meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.

Untuk melaksanakan amanat ini, melalui proses yang panjang akhirnya

pada tanggal 11 Juni 2003 disahkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional

dalam sidang paripurna DPR-RI, dan pada tanggal 18 Juli 2003 ditandatangani

oleh Presiden, dengan nomor 20 tahun 2003.91

Dalam UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional:

“pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana


belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”92

Pendidikan Islam merupakan sekumpulan ide-ide dan konsep intelektual

yang tersusun dan diperkuat melalui pengalaman dan pengetahuan dan memiliki

ciri yang berorientasi makro, berskala universal, dan bersifat deduktif normatif.

Sehingga ruang lingkup pendidikan Islam sangat luas, tidak hanya menyangkut

landasan ideal dan dasar pendidikan Islam, melainkan secara operasional. Ruang

lingkup pendidikan di dalam pandangan Islam tidak hanya terbatas pada

pendidikan agama dan tidak pula terbatas pada pendidikan duniawi saja, tetapi

setiap individu dari umat Islam supaya bekerja untuk agama dan dunia sekaligus.

91
Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, 2003, h.25
92
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 1 ayat 1
129

Menurut Deswati dan Linda Herdis, ruang lingkup pendidikan Islam yaitu;

“segi sifat, corak kajian (histories dan filosofis) , dan segi komponennya
yang meliputi; tujuan, kurikulum, proses belajar-mengajar, guru, murid,
manajemen, lingkungan, sarana dan pra sarana, biaya dan evaluasi.”
Adapun komponen tujuan pendidikan Islam secara teoritis dibedakan

menjadi tiga bagian, yaitu tujuan normatif, tujuan fungsional, dan tujuan

operasional. 93 Menurut Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, ruang

lingkup ilmu pendidikan Islam:

“pengertian, sumber, dan dasar pendidikan Islam, perpekstif Islam tentang


ilmu, perpekstif Islam tentang manusia, perpekstif Islam tentang tujuan
pendidikan, perpekstif Islam tentang pendidik dan peserta didik, perpekstif
Islam tentang sarana dan prasarana pendidikan, perpekstif Islam tentang
kurikulum pendidikan, perpekstif Islam tentang strategi, pendekatan, dan
metode pendidikan, perpekstif Islam tentang evaluasi pendidikan, dan
perpekstif Islam tentang lingkungan pendidikan.”94

Dengan demikian, pendidikan Islam memiliki ruang lingkup yang luas dan

lintas dimensi, yaitu dimensi di dunia dan di akhirat, urusan dunia sekaligus

urusan akhirat. Oleh karena itu, ruang lingkup pendidikan Islam yang

mengandung aspek definisi, landasan dan sumber pendidikan, tujuan pendidikan,

hakikat manusia dan alam, serta perangkat kasar seperti sarana dan prasarana

penunjangnya, yang keseluruhannya itu bersumber dari nilai-nilai Islam yang

universal

Al-Attas mendefinisikan Ruang lingkup Pendidikan Islam sebagai wadah

penenaman adab (ta,dib) yang bertujuan membentuk manusia seutuhnya, yang

menyadari sepenuhnya akan tanggung jawab dirinya kepada tuhan yang haqq,

93
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana
Prenada Media, 2006), h. 75-76
94
Moh. Haitami & Syamsul Kurniawan, Studi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012), h. 16
130

yang memahami dan menunaikan kewajibannya terhadap dirinya sebagai hamba

yang sekaligus sebagai khalifah fil Al-Ardhi. Ruang lingkup pendidikan islam Al-

Attas meliputi: Ruang lingkup Sekolah berupa Universitas islam, Persiaapan

Spiritual dan Pengembangan Masyarakat.

1. Universitas Islam

Al-Attas menganggap universitas sebagai sebuah institusi yang paling

kritis, yang darinya akan bermula revivalisme (kebangkitan) dan reformulasi

pendidikan dan epistemologi. 95 Penekanan pada pendidikan tinggi, khususnya

universitas, bukanlah cermin pemikiran kaum elitis yang merupakan karakteristik

masyarakat feodal yang didasarkan pada keadaan sosial-ekonomi, melainkan lebih

sebagai interpretasi yang benar terhadap hikmah ilahiah (devine wisdom) yang

menjadikan pendidikan orang dewasa sebagai target utama misi semua nabi, masa

dewasa, dimulai sejak baligh (pubertas) dalam Islam, ditentukan oleh faktor-

faktor perkembangan fisik dan jenjang usia.

Penekananan pada pendidikan tinggi ini adalah karakteristik pokok

masyarakat Islam dan telah menjadi perhatian utama para pemikir Muslim sejak

dahulu hingga adanya pengaruh modernitas yang lebih memberikan penekanan

pada pendidikan dasar dan menengah lanjutan. 96 Alasan rasional dan praktis

penekanan pada pendidikan tinggi tidak sulit untuk dipahami. Universitas disemua

negara, misalnya, adalah tempat individu-individu yang menonjol menjalani

pendidikan dan latihan; keterbatasan sumber daya alam dan manusia telah

menjadikan pengembangan universitas sebagai prioritas utama.

95
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,..... H. 205
96
Al-Attas, Islam and the Philosophy of Science,....... H. 22
131

Al-Attas memberikan perincian yang sangat tepat tentang tujuan dasar

misi Nabi:

“mendidik individu menjadi dewasa dan bertanggung jawab. Dia juga


menegaskan pendekatan yang optimistik terhadap pendidikan: bahwa
kekurangan-kekurangan yang ada pada pendidikan tingkat rendah dapat
diperbaiki jika pendidikan yang benar dapat diberikan di tingkat dalam
bentuk yang kita kenal dengan ta’dib.”
Pentingnya pendidikan tinggi secara strategis dan kultural memang tidak

ternilai. Sebab, dalam sejarahnya semangat, etos kerja, dan kualitas institusi

pendidikan tertingginya. 97 Ketika menebarkan pengaruh, suatu negara intelektual

untuk memperkenalkan khazanah dan warisan keilmuwannya.

Oleh karena itu, konseptualisasi universitas Islam yang didasarkan pada

fondasi filsafat yang benar dengan kurikulum tertentu sebagaimana dirilis Al-

Attas patut mendapat perhatian dan penjelasan lebih lanjut. Dalam suratnya yang

ditunjukan kepada Sekretaris Islam pada 1973, sebagaimana tersebut di atas, dia

mendesak perlunya sebuah universitas Islam yang harus berbeda dari yang sudah

ada di berbagai pelosok Dunia Muslim, baik yang mengikuti model univertitas

tradisional maupun universitas Barat modern. Setelah memberikan penjelasan

singkat mengenai masalah ilmu pengetahuan, dia menyarankan:

“Sebuah universitas Islam memiliki struktur yang berbeda dari universitas


Barat, konsep ilmu yang berbeda dari apa yang diangap sebagai ilmu oleh
para pemikir Barat. Tujuan pendidikan tinggi dalam Islam adalah
membentuk “manusia sempurna” atau “manusia universal”......... Seorang
ulama Muslim bukanlah spesialis dalam salah satu bidang keilmuwan,
melainkan seorang yang universal dalam cara pandangnya dan memiliki
otoritas dalam beberapa bidang keilmuwan yang saling berkaitan.”98
Dalam surat tersebut, Al-attas betul-betul mendesak perlunya sebuah

sistem yang baru dan eksperimental serta berbeda dari sistem tradisional maupun

97
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,..... H. 213
98
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Aims And Objectivitas,..... H.120
132

sekuler modern yang tampaknya sulit dihindari di Dunia Islam. Bagaimanapun,

Al-Attas tidak menafikan elemen-elemen positif yang terdapat dalam kedua

sistem tersebut. Namun, berdasarkan pengalamannya selama lebih dari dua

dekade dalam mengajar dan melakukan administratif pada universitas Muslim

modern dan hubungannya dengan para pemimpin dan alumni beberapa universitas

tradisional, Al-Attas berfikir bahwa usaha untuk memulai dari awal. Dilengkapi

orientasi-orientasi filosofis dan epistemologi yang jelas, ditambah sumber

keuangan dan sumber daya manusia yang kuat dalam masalah akademis,

administarasi, dan masalah yang menyangkut mahasiswa adalah jauh lebih efisien

dan efektif.99

Sistem pendidikan perguruan tinggiu Islam, baik dalam bentuk istitusi,

sekolah tinggi, maupun universitas Islam di Indonesia masih cenderung

merupakan adopsi sistem universitas barat, yang didalamnya kajian Islam hanya

menjadi fakultas di tengah-tengah fakultas ilmu-ilmu sekuler.

Sejauh ini, belum ada usaha-usaha untuk mengintegrasikan fakultas-

fakultas dengan merujuk pada konsep hierarki ilmu fardu ain dan kifayah. Nama

“Universitas Islam” tidak mengambarkan kata sifat universitas tersebut, tetapi

lebih cenderung berarti “universitas milik orang Islam”. 100Sementara itu, IAIN

yang kurikulumnya merupakan rujukan bagi sekolah tinggi dan istitusi yang

tersebar di seluruh Indonesi masih belum mampu menghadirkan kurikulum yang

berisi elemen-elemen yang membentuk pandangan hidup Islam, yang didalamnya

metafisika dan epistemologi Islam dikonseptualisasikan dan dituangkan dalam

99
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Aims And Objectivitas,..... H. 46-47
100
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Aims And Objectivitas,..... H. 32
133

mata kuliah wajib bagi semua fakultas sehingga menjadi asas bagi semua disiplin

ilmu.

Pembagian fakultas Ushuluddin, Syariah, Tarbiyah, dan Dakwah masih

memerlukan pengembangan lebih lanjut sehingga mencerminkan makna Al-

Jami’ah atau Kulliyah yang berarti universal. Kurikulumnya perlu

direorientasikan agar dapat menghasilkan sarjana-sarjana yang tidak hanya

memiliki otoritas di bidangnya, tetapi juga otoritas dalam ilmu-ilmu keislaman di

tingkat nasional dan internasional.

Tampaknya, kurikulum masing-masing fakultas yang didesign secara

sendiri-sendiri dan hampir tidak saling berkaitan antara satu fakultas dengan

fakultas lainnya itu telah menghasilkan sarjana-sarjana yang inferior atau malah

overacting dalam arena percaturan pemikiran keislaman di Indonesia. 101 Sebutlah

misalnya, dalam menghadapi isu-isu yang dilemparkan oleh kelompok sekuler,

rasional, ataupun liberal yang akhir-akhir ini begitu marak di Indonesia,

mahasiswa tataupun sarjana keluaran perguruan tinggi Islam ini tampak kurang

responsif.

Al-Attas menjabarkan idenya mengenai universitas Islam pada Konferensi

Dunia Pertama Pendidikan Islam di Makkah pada 1977 dan mengulasnya lagi

dalam Konferensi Dunia yang kedua di Islamabad pada 1980. Al-Attas

memulainya dengan sebuah perumpamaan bahwa sebagaimana Islam yang

merupakan epiton dari sebuah aturan dan disiplin ilahiah untuk panduan

kehidupan manusia juga, adalah sebuah aturan dan disiplin. Dengan

101
Wan Mohd Nr Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,...H. 32
134

perumpamaan ini, dia bermaksud bahwa manusia sebuah kota atau pemerintah

miniatur, sebuah mikrokosmo (alam kecil) jika dibandingkan makrokosmo (alam

jagat raya). Oleh karena itu, manusia harus memerintah dirinya sendiri

sebagaimana pemerintah mengatur kotanya ataupun seorang raja memerintah

kerajaannya.102

Dalam hal ini, Al-Attas setuju dengan Al-Ghazali yang mengatakan

bahwa:

“secara spiritual, intelek (akal) manusia bagaikan seorang menteri yang


tulus dan bijak. Amarahnya bagaikan seorang polisi, sedangkan hawa
nafsunya bagaikan seorang pembantu jahat yang bisa membawa bekal
kehidupan untuk seluruh kota.”
Oleh karena itu, manusia harus membuat inteleknya mendominasi elemen-

elemen yang lain, seperti amarah dan hawa nafsu dan memanfaatkan mereka

dengan semestinya. Perkembangan kemampuan ini merupakan sebuah aspek

penting dalam pendidikan sebagai proses penanaman adab (ta’dib). Sebuah

universitas merupakan gambaran dari manusia universal atau “Insan Kamil”.

Ide mengenai insal kamil sudah menjadi fokus perhatian beberapa


metafisikawan Muslim, dari Abu Yazid Al-Bisthani (w.875 M), Ibn ‘arabi
(w. 1240 M), ‘Abd Al-Karim Al-Jili (w. 1406/1417 M), Shadr Al-Din Al-
Syirazi atau Mulla Shadra (w. 1641 M), Nuruddin Al-Raniri (w. 1658 M),
hingga Al-Attas sendiri. 103

Secara sederhana, insan kamil adalah seseorang yang sanggup

menampakkan sifat-sifat ketuhanan dalam perilakunya dan betul-betul

menghayati kesatuan esensialnya dengan wujud ilahiah tanpa harus kehilangan

identitasnya sebagai seorang hamba dan makhluk-Nya. Golongan insan kamil ini

dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw., diikuti semua Nabi dan para hamba

102
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Aims And Objectivitas,..... H. 50
103
Syed Muhammad Naquib Al-attas, The Concept of Education in Islam,....H. 155-156
135

pilihan-Nya, yaitu para aulia dan ulama yang ilmu dan pemahaman spiritualnya

yang mendalam. Sejak awal, Al-Attas menganggap ISTAC sebagai nucleus dari

Universitas Islam yang sebenarnya. Dia berjuang untuk menjadikan ISTAC

sebagai refleksi dari insan kamil.

Konsepsi mengenai universitas yang benar-benar islami sebagai sebuah

refleksi dari insan kamil atau manusia universal (al-insan al-kulli atau al-insan al-

kamil) tidak saja signifikan, tetapi juga rill. Alasannya, figur seperti Nabi

Muhammad SAW. Adalah contoh rill insan kamil dan universal tersebut. Tanpa

contoh rill tersebut, penekanan mengenai konsepsi ini akan mendorong kita

terjerumus ke dalam suatu humanisme sofistik, seperti yang dilambangkan oleh

ungkapan Protagoras,“manusia adalah ukuran yang tidak ada adalah tidak ada.”104

Oleh karena itu, universitas dalam Islam harus merefleksikan figus Nabi

Muhammad dalam hal ilmu pengetahuan dan amal saleh dan fungsinya adalah

membentuk laki-laki dan wanita yang beradab agar memiliki kualitas seperti Nabi

Muhammad SAW. Sesuai dengan kemampuan dan potensinya masing-masing.

Pandangan Al-Attas bahwa universitas harus mencerminkan manusia,

bukan hanya berdasarkan pada asas-asas ontologis sebagaimana diterangkan di

atas, melainkan juga pada analisis istilah-istilah penting yang digunakan dalam

proses sejarah universitas. Istilah university itu sendiri diambil dari bahasa latin,

universitas, yang mencerminkan istilah yang berasal dari Islam, Kulliyah, karena

dalam Islam, ilmu pengetahuan (al-Ilm) dan bagian spiritual dari akal adalah

sesuatu yang universal (Kulliyat).

104
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Aims And Objectivitas,.... H. 42
136

Kemudian, penggunaa istilah anatomi kemanusiaan faculty oleh berbagai

universitas adalah terjemahan dari istilah bahasa Arab, quwwah, yang “merujuk

pada sebuah kekuatan yang inheren di dalam organ tubuh” dan ilmu pengetahuan

termaksud di dalamnya. Hal ini berhubungan langsung dengan kenyataan bahwa

universitass mesti dipahami sebagai peniruan terhadap struktur umum, dalam

bentuk, fungsi, dan tujuan seorang manusia.

2. Persiapan Spiritual

Sebagaimana halnya semua tindakanya atau perbuatannya dalam Islam

pendidikan harus didahului oleh suatu niat yang disadari, seperti pernyataan yang

sering kita dengar dalam hadits,

ِ ‫سله َم َقا َل ِإنه َما ْاأل َ ْع َما ُل ِب‬


‫النيه ِة‬ َ ‫صلهى اللههم‬
َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َ ‫َّللا‬ِ ‫سو َل ه‬ ُ ‫ع َم َر أ َ هن َر‬ ُ ‫ع ْن‬ َ
‫سو ِل ِه فَ ِه ْج َرتُهُ ِإلَى ه‬
ِ‫َّللا‬ ُ ‫َّللا َو َر‬ِ ‫َت ِه ْج َرتُهُ ِإلَى ه‬ ْ ‫ئ َما ن ََوى َف َم ْن َكان‬ ٍّ ‫َو ِل ُك ِل ْام ِر‬
‫ُصيبُ َها أ َ ِو ْام َرأَةٍّ يَت َزَ هو ُج َها فَ ِه ْج َرتُهُ إِلَى َما‬
ِ ‫َت ِه ْج َرتُهُ لد ُ ْنيَا ي‬
ْ ‫سو ِل ِه َو َم ْن َكان‬ ُ ‫َو َر‬
105 َ
‫هَا َج َر ِإل ْي ِه‬
Artinya: “Dari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang
hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada
Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang
hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR.
Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits)
Al-Attas menekankan kejujuran dan keikhlasan niat dalam mencari dan

mengajarkan ilmu. Kejujuran menurut Al-Attas adalah sifat dari ucapan atau

pernyataan,106 seperti kesesuaiannya dengan fakta-fakta eksternal dan realitas dan,

yang tak kalah pentingnya adalah, kesesuaiannya dengan niat dalam hati.

Sebagaimana umumnya intelektual Muslim pada masa lalu, Al-Attas

mengakui adanya sifat spiritual yang mendasar dalam pendidikan. Ihkwan Al-

105
Sumber:https://muslim.or.id/21418-penjelasan-hadits-innamal-amalu-binniyat-1.html
106
Al-Attas, Islam and the Philosophy of Science, H. 22
137

Shafa’ pada akhir abad ke-10 mengingatkan akan terjadinya kegagalan jika

pengetahuan hanya dicari berlandaskan tujuan duniawi. 107 Demikian juga Ibn

Hazm (w. 1064 M) di Barat sangat menyayangkan jika manusia mengubah tujuan

spiritual suatu pengetahuan dengan tujuan keduniawian.108 Dalam semangat yang

sama, Al-Ghazali menekankan bahwa membersihkan hati merupakan tugas


109
pertama pelajar dalam mencariilmu pengetahuan. Sedangkan bagi seorang

guru, Al-Ghazali menempatkan keikhlasan sebagai kewajiban kedua setelah

membimbing peserta didik dengan penuh rasa simpati seakan-akan sebagai anak

sendiri.

Hadits terkenal “tindakan itu ditentukan oleh niat”, sebagaimana telah

dikutip sebelumnya, menjadi statement utama Nashir Al-Din Al-Thusi dalam

tesisnya mengenai adab peserta didik. Al-Thusi menekankan bahwa penting bagi

penuntut ilmu mencari Ridha Allah Swt., menghilangkan kebodohan dari hati dan

menjauhkan diri dari segala perbuatan bodoh, menghidupkan agama Allah, dan

melestarikan Islam melalui amar ma’ruf nahi mungkar.110 Al-Attas memberikan

nasihat kepada peserta didik dan guru untuk menumbuhkan sifat keikhlasan dalam

belajar dan mengajar. Dengan kata lain, peserta didik wajib megembangkan adan

yang semourna dalam ilmu pengetahuan karena pengetahuan tidak bisa diajarkan

kepada siapa pun tanpa adab. Adalah kewajiban bagi orang tua dan peserta didik,

khususnya pada taraf pendidikan tinggi, untuk mengerti dan melaksanakan

107
Abd Al-Amiz SyamsAl-Din, Al-Falsafah At-Tarbawi inda Al-Ikhwan Al-Shafa’ min
Khilal Rasa’ilihim Ras’ilihim (Beirut: Al-Syarikat Al-Alimiyah li Al-Kitab, 1988) H. 240-241
108
Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam: Gagasan-Gagasn Besar Para
Ilmuwan Muslim. (Yogyakrta: Pustaka Belajar, 2015). H. 288
109
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum Al-Din, penerj. Faris, H.145-146
110
Wan Mohd Nr Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam “Syed M. Naquib Al-
Attas” cet-1 (Bandung: 1998, Penerbit Mizan), H. 257-258
138

pandangan yang sempurna harus selau diingatkan oleh guru. Di samping itu, Al-

Attas menekankan bahwa penuntut ilmu harus melakukan internalisasi adab dan

mengaplikasikan sikap tersebut:

“ilmu pengetahuan harus dikuasai dengan pendekatan yang berlandaskan


sikap ikhlas, hormat, dan sederhana terhadapnya. Pengetahuan tidak dapat
dikuasai dengan tergesa-gesa seakan-akan pengetahuan adalah sesuatu
yang terbuka bagi siapa saja untuk menguasainya tanpa terlebih dahulu
menilik pada arah dan tujuan, kemampuan, dan persiapan.111
Al-Attas mengarisbawahi prinsip bahwa ilmiwan dan peserta didik harus

datang bersamaan karena kecintaan mereka terhadap ilmu pengetahuan dan Islam,

niat mereka untuk memahami ajaran-ajaran dan sejarahnya, dan membantu dalam

melaksanakan arah dan tujuannya. Al-attas mengecam kondisi beberapa ilmuwan

kontemporer yang bersikap hanya sebagai serdadu akademis. Dalam semangat

sofis Yunani, mereka mengklaimkan dan memperdagangkan produk untuk

keuntungan gaji dan keistimewahan-keistimewahan dari orang awam, sebagai

politisi yang kuat, dan figur pengusaha. Situasi ini merupakan akumulasi dari

ideologi ekonomis yang sedang berlaku.

Al-Attas sependapat dengan Ikhwan Al-Shafa’ yang menjadikan

kedudukan ahli-ahli hikma (al-hukuma) lebih tinggi daripada guru biasa

(al_mu’allimin). Jika ingin membuka pintu hikma bagi guru-guru (al-Mu’allimin)

dan menyingkap rahasia kepada peserta didik (al-Muridin), para ahli hikma

menyarankan bahwa mereka (guru dan peserta didik) “harus” dijinakkan dan

111
Nasir Al-Din Al-Tusi, Kitab Adab Al-Muta’allim. Kata pengantar oleh Yahya Al-
Khattab. Dalam Majallad Ma’ahad Al-Makhthutat Al-Arabiyyah, Rabi’Al-Tsani 1377 (nov. 1957),
jil. 3, bagin 2., H.274
139

disucikan jiwanya melalui ta’dib (an yurawwidha-hum awwaian wa yuhadzadziba

nufusahum bi’l-ta’dib).112

3. Pengembangan Masyarakat

Filsafat pendidikan Al-Attas sangat jelas menekankan pengembangan

individu, tetapi hal ini tidak dapat dipisahkan secara sosial dalam hal cara dan

kontenks pelaksanaannya. Beliau mengacu pada sesuatu yang tak dapat

dipisahkan antara individu dan masyarakat dalam persaudaraan kemanusiaan,

bukan hanya dari tinjauan kontrak sosial secara historis yang telah terjadi,

melainkan juga dari tinjauan ikatan primordial yang telah terjadi antara seluruh

manusia yang diciptakan Tuhan.

Menurut Sudjana, Pengembangan Masyarakat mengandung arti sebagai


upaya yang terencana dan sistematis yang dilakukan oleh, untuk dan dalam
masyarakat guna meningkatkan kualitas hidup penduduk dalam semua
aspek kehidupannya dalam suatu kesatuan wilayah.113
Upaya untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan dalam suatu

kesatuan wilayah ini mengandung makna bahwa pengembangan masyarakat

dilaksanakan dengan berwawasan lingkungan, sumberdaya manusia, sosial

maupun budaya, sehingga terwujudnya pengembangan masyarakat yang

berkelanjutan. Ditempat lain Al-Attas menyatakan:

Ketika menyatakan bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah melahirkan


manusia yang baik, kami tidak bermaksud melahirkan masyarakat yang
baik. Karena masyarakat terdiri dari individu, melahirkan seseorang akan
melahirkan masyarakat yang baik. Pendidikan adalah (pembuat) struktur
masyarakat.114
Seorang individu hanyalah ketika secara simultan ia menyadari

individualitasnya yang unik dan kebersamaan dirinya dengan manusia lain yang

112
Abd Al-Amiz Syams Al-Din, Al-Falsafah At-Tarbawi inda Al-Ikhwa,....H.228
113
Abu Suhu, dkk., Islam Dakwah dan Kesejahteraan Sosial, (Fakultas Dakwah UIN Sunan
kalijaga, Yogyakarta: 2005), hal. 27.
114
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,..... H. 189
140

dekat dengannya dan disekitarnya. Seorang individu tidak memiliki arti apa-apa

dalam keadaan terisolasi, sebab dalam keadaan itu ia tidak lagi menjadi individu,

ia adalah segala sesuatu. Dari penjelasan singkat ini mengenai adab, kini telah

jelas bahwa manusia beradab (insan adabi), seperti yang dipahami Al-Attas,

adalah individu yang sadar sepenuhnya akan individualitasnya dan hubungannya

yang tepat dengan diri, Tuhan, dan alam yang tampak maupun yang ghaib.

    .........


   
   
    
     
  
Artinya: “.............Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu
kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum,
Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung
bagi mereka selain Dia”.115
Itulah sebabnya, dalam pandangan Islam, manusia yang baik atau individu

yang baik secara alami harus menjadi hamba yang baik bagi tuhannya, ayah yang

baik bagi anak-anaknya, suamni yang baik bagi istrinya, anak yang baik bagi

orang tuanya, tetangga yang baik, dan warga negara yang baik bagi negaranya.

Dengan kata lain:

“ia harus mengetahui kedudukan dirinya di tengah-tengah berbagai


tingkatan manusia, yangharus dipahami sebagai sesuatu yang telah disusun
secara hierarkis dan logis ke dalam tingkatan-tingkatan (darajat) kebaikan
yang berdasarkan kriteria Al-Quran mengenai kecerdasan, keilmuan, dan
kebaikan (ihnsan), dan harus berbuat selaras dengan ilmu pengetahuan itu
secara positif, terpercaya, dan terpuji.116

115
“Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-
sebab kemunduran mereka” QS. Ar-Rad (13): 11
116
Wan Mohd Nr Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,..... H. 190
141

Tujuan pendidikan dalam Islam itu bersifat religius,117 tetapi agama, din,

yang dimaksudkan oleh Islam bukan hanya bersifat personal, melainkan juga

secara inheren bersifat sosial dan kultural bahkan seorang sufi yang biasanya oleh

kelompok modernis dipahami sebagai orang yang antisosial, tetapi tidak pernah

mengabaikan kewajiban sosialnya.

Dalam prespektif Islam, makna kemajuan masyarakat dan perkembangan

bukanlah perubahan yang terus-menerus menuju masa depan yang tidak pasti.

Namun, lebih merupakan “sebuah proses pergerakan Muslim yang telah

meyimpang menuju keaslian Islam; perkembangan seperti inilah satu-satunya

yang dapat disebut dengan kemajuan yang sebenarnya”. 118


Kemajuan

mensyaratkan pencapaian tujuan-tujuan yang telah jelas dalam hidup dan

ditetapkan secara permanen; sebab perjuangan menuju tujuan-tujuan yang terus

menerus berubah bukanlah kemajuan. Dalam persoalan ini, Al-Attas mungkin

sependapat dengan Robert Maynard Hutchins bahwa kebingungan yang masih

melanda seluruh jenjang pendidikan, tidak hanya di Amerika, tetapi juga dimana-

mana, disebabkan oleh kesalahn konsep mengenai kemajuan, yang dipahami dan

di sebarkan oleh kelompok pemikir dan pemimpin masyarakat.

Agama islam memiiliki konsep pengembangan masyarakat yang bagus,

seperti dalam kitab sucinya yiatu Al-Qur’an. Q.S Al-Baqoroh ayat 30 :

   


   
   
   
  

117
Khalil A. Totah, The Contribution of Arabto Education (New York: Teacher Collage,
Universitas Colombia 1926), H. 85-86
118
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,..... H. 194
142

  


      
 
Artinya: “ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui."
Pada satu ayat Q.S Al-Baqoroh ayat 30 ini kita memiliki hubungan dengan

perkembangan masyarakat sebanyak Sembilan wacana penting: Pertama, Ayat

ini diawali dengan kata ‫ َوإِذْقَا َل‬bisa diartikan dengan kaca mata perkembangan

masyarakat sebagai sebuah “planning/proyek/rencana” yang dibuat oleh Tuhan.

Kedua, untuk selalu “discussing/musyawarah” anjuran untuk

discussing/musyawarah termaktup pada kata setelahnya yaitu ‫قَا َل َربُّكَ ِل ْل َم َال ِئ َك ِة‬,

Ketiga, tidak Cuma itu Tuhan juga memberitahukan kepada manusia siapakah

yang harusnya diajak untuk discussing/musyawaroh’ dengan makna tersirat yang

bisa kita dapatkan dari sifat makhluk yang diajak discussing/musyawaroh’ oleh

tuhan yaitu malaikat. Keempat, Setelah itu jika kita lihat ayat tadi terdapat kata

‫ جاعل‬menciptakan dengan beberapa unsur dan melalui proses pemilihan. Kelima,

Dari arti tadi bisa diambil kesimpulan untuk kata setelahnya yaitu ‫خليفة‬,

bahwasannya jika manusia ingin dirinya digolongkan sebagai ‫ خليفة‬itu memiliki

kriteria. kriteria yang paling jelas adalah dia merupakan pilihan dari manusia lain

dan memiliki sifat kreatif. Keenam, seorang juga diajarkan oleh Al-qur’an pada

ayat ini adalah setelah membuat planning/proyek/rencan itu harus memiliki lokasi

ِ ‫ َجا ِعل فِي ْاأل َ ْر‬.


yang jelas termaktub pada kata-kata ‫ض‬
143

Dari pandangan keislaman, Al-Attas, kesempurnaan manusia bukanlah

sesuatu yang bersifat evolusioner, melainkan lebih cendrung devolusioner sebab

kesempurnaan itu telah tercapai oleh komunitas Nabi Muhammad Saw. pada abad

ke-7 M. Mengenai motivasi manusia untuk kemajuan masyarakat dan pencapaian

peradaban, demokrasi liberal dan segala produknya sebenarnya adalah sesuatu

yang bersifat formal dan teknis, yang tidak semestinya lebih unggul (superior)

dari bentuk-bentuk pemerintahan yang lain.

E. Konsep Metodologi Pendidikan Islam Naquib Al-attas

Dalam literatur ilmu pendidikan, khususnya ilmu pengajaran, dapat

ditemukan banyak metode pengajaran. Adapun metode mendidik, selain dengan

cara mengajar, tidak terlalu di batasi oleh para ahli. 119 Menurut Muhammad

Athiyah al-Abrasyi mengartikan metode sebagai jalan yang dilalui untuk

memperoleh pemahaman pada peserta didik. Sedangkan Abd al-Aziz mengartikan

metode dengan cara-cara memperoleh informasi, pengetahuan, pandangan,

kebiasaan berfikir, serta cinta kepada ilmu, guru dan sekolah.120

Abdurrahman an-Nawawi mengemukakan bahwa ada beberapa metode

yang dipergunakan dalam pendidikan Islam, yaitu sebagai berikut: (1) Pendidikan

dengan Hiwar Qurani dan Nabawi, (2) Pendidikan Kisah Qurani dan Nabawi, (3)

Pendidikan Dengan Perumpamaan, (4) Pendidikan dengan teladan, (5) Pendidikan

119
Ahmad Tafsir, Ilmu pendidikan dalam Prespektif Islam. (Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 2005), H. 131
120
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kencana Prenade
Media, 2006), H. 167
144

dengan latihan dan pengamatan, (6) Pendidikan dengan ‘ibrah dan Mau’izah (7)

Pendidikan dengan Targib dan Tharib.121

Sedangkan Al-Attas terdapat beberapa aspek dari kurikulum yang di

usulkan Al-Attas memerlukan penjelaskan lebih lanjut, yaitu peranan bahasa,

metode tauhid untuk menganalisis ide, dan instrumen didaktik lainnya, seperti

metafora, perumpamaan, dan cerita. 122 Sementara dimensi-dimensi ini menjadi

komponen pendidikan yang sangat penting bagi ilmuwan Muslim pada masa lalu,

kemampuan dan konsistensi Al-Attas dalam mengaplikasikan dimensi ini dalam

dunia modern merupakan faktor penyebab yang menjadikan dia sebagai salah

seorang ilmuwan yang dihormati dan dihargai, juga ahli debat yang disegani

dalam Dunia Muslim kontemporer. dapat dikatakan bahwa prinsip metode al-

Attas saling berkaitan dan melengkapi satu sama lain, sehingga tujuan dari insan

kamil dapat tercapai bukan hanya di jenjang rendah bahkan perguruan tinggi.

Ciri-ciri metode pendidikan Al-Attas yang lain adalah penggunaan

metafora dan cerita sebagai contoh atau perumpamaan yang juga banyak

digunakan dalam Al-Qur‟an dan hadis. Adalah sesuatu yang wajar bahwa para

ulama, khususnya para sufi (sebagaimana digambarkan oleh Izutsu, yang

mengamati kecenderungan serupa pada kalangan cerdik pandai di Timur)

menggunakan cara-cara ini sebagai bagian integral dari paedagogi mereka.

Efektifitas metode ini tidak diragukan lagi, pun di dalam sejarah pendidikan

Barat. Komentar Izutsu dalam Wan Mohd Nor Wan Daud sangat relevan :

121
Abdurrahman, An-Nahlawi.. Prinsip-Prinsip Metode Pendidikan Islam Dalam
Keluarga, Di Sekolah dan Masyarakat. (Bandung: Diponegoro. 1995), H. 46
122
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,..... H. 255
145

“Para filosof Muslim cenderung menggunakan metafora dan


perumpamaan dalam metafisika, khususnya dalam penjelasan mengenai
hubungan antara Kesatuan dan Keragaman atau realitas absolut dan hal-hal
fenomenal yang tampak kontradiktif. Metafora yang sering dipakai dalam
metafisika adalah salah satu ciri khas filsafat Islam, atau boleh juga kita
katakan filsafat Timur umumnya. Ia tidak dapat dianggap sekadar hiasan
puitis. Sebenarnya, fungsi kognitif itu lebih tepat melalui penggunaan
metafora.” 123

1. Peranan Bahasa

Pendidikan muncul serentak dengan wujudnya manusia. Telah disebut

juga bahawa proses pendidikan pada masyarakat merupakan proses pewarisan

kebudayaan daripada satu generasi kepada satu generasi. Pada peringkat individu

pula, pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang ada pada diri

seseorang. Ketiga-tiga hal itu berkaitan secara langsung dengan soal pertalian

antara bahasa dan pendidikan bahasa yang menjadi fokus kajian ini dengan

pendidikan umum.

Hakikat bahwa pendidikan bermula bersama-sama dengan wujudnya

manusia berkaitan dengan hakikat bahwa bahasa merupakan unsur yang dimiliki

manusia sejak munculnya manusia pertama di dunia, yaitu Nabi Adam a.s. 124

Ulama Islam dari zaman ke zaman mengistilahkan manusia sebagai hayawanun

an-natiq (rational animal), dengan kata natiq itu, selain merujuk kepada akal,

sebenarnya turut merujuk juga kepada pertuturan atau bahasa. Jadi hayawanun

an-natiq atau hayawanun rasional itu ialah makhluk yang kewujudannya ditandai

oleh adanya akal dan adanya ciri atau kemampuan “berbahasa”.

123
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,..... H. 290
124
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam adn Secularism,..... H. 318
146

Menurut ajaran Islam, Nabi Adam A.S. sebagai manusia pertama yang

diciptakan Allah Swt. telah diberi ilmu bahasa oleh Allah dalam bentuk

pengenalan tentang nama sekalian kejadian alam. Menurut Al-Attas, nama-nama

yang diajarkan Allah itu merujuk kepada ilmu tentang segala sesuatu (al-‘ilm al-

ashya’):

  


   
 
 
   

Artinya: “dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu
berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu
mamang benar orang-orang yang benar!"125
Berkaitan dengan perihal Nabi Adam a.s sebagai manusia pertama itu

telah dikaruniai berbahasa, dapat pula diperlihatkan persamaan yang kedua

antara pendidikan bahasa dengan pendidikan umum, bahwa pendidikan berlaku

melalui bahasa sebagai wahananya.126 Pendidikan yang diberikan dalam bentuk

pengajaran ilmu tentang nama seluruh kejadian alam (termasuk segala sifat,

kualiti dan gunanya) jelas menggambarkan begitu pentingnya dwi peranan

bahasa, yaitu bahasa sebagai suatu cabang ilmu dan juga bahasa sebagai

wahana penyerapan ilmu ke dalam diri manusia.

Inilah dua perspektif pendidikan bahasa yang cukup penting dan relevan

untuk sepanjang zaman. Yang pertama, bahasa sebagai suatu cabang ilmu perlu

dipelajari sebagaimana sains perlu dipelajari untuk mengenal binaan dan

strukturnya serta fungsinya dalam kehidupan manusia, dalam rangka mengenal

125
DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Intermasa, 1993), Qs.Al-Baqarah
(2): 31
126
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam adn Secularism,..... H. 320
147

dan mengakui kebesaran Allah sebagai pencipta segala sesuatu. Yang kedua,

bahasa sebagai wahana penyerapan atau penyampaian ilmu menjadi alat

terpenting dalam proses pendidikan keseluruhannya.

Menurut Mackey Bahasa adalah suatu bentuk dan bukan suatu keadaan
(lenguage may be form and not matter) atau sesuatu sistem lambang bunyi
yang arbitrer, atau juga suatu sistem dari sekian banyak sistem-sistem,
suatu sistem dari suatu tatanan atau suatu tatanan dalam sistem-sistem.127
Lain halnya menurut Owen dalam Stiawan, menjelaskan definisi bahasa
yaitu language can be defined as a socially shared combinations of those
symbols and rule governed combinations of those symbols (bahasa dapat
didefenisikan sebagai kode yang diterima secara sosial atau sistem
konvensional untuk menyampaikan konsep melalui kegunaan simbol-
simbol yang dikehendaki dan kombinasi simbol-simbol yang diatur oleh
ketentuan).
Dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan suatu bentuk alat komunikasi

manusia yang berupa lambang bunyi melalui alat ucap, dimana setiap suara yang

dikeluarkannya memiliki arti. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahasa

dinyatakan sebagai sistem bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh anggota suatu

masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.

Dalam firman yang lain, Allah Swt. menjelaskan pendidikan bahasa yang

diberikan-Nya kepada manusia keseluruhannya. Dalam firman- Nya yang

berbunyi:

  


  
  
 
Artinya: “ (tuhan) yang Maha pemurah, yang telah mengajarkan Al
Quran. Dia menciptakan manusia. mengajarnya pandai berbicara128

127
Mackey, W.F. Analisis Bahasa.( Surabaya: Usaha Nasional. 1986) .H. 78
128
DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Intermasa, 1993), QS. Ar-
Rahman (55): 1-4
148

Bahkan wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad

Saw, Rasul terakhir secara khusus memberikan isyarat yang jelas tentang

pentingnya pendidikan bahasa pada manusia. Firman Allah Saw, yang berbunyi:

  


   
   
   
   
    

Artinya: “ bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.129

Dalam ayat tersebut, dengan jelas ditekankan oleh Allah Swt, pentingnya

membaca sebagai salah satu kemahiran berbahasa dan bagaimana Allah mengajar

manusia dengan menggunakan pena (kalam) sebagai wahananya, yang dengan

jelas merujuk kepada kemahiran bahasa dalam bidang tulis baca.

Pengajaran bahasa oleh Allah Swt kepada manusia itulah yang

memungkinkan berlakunya pendidikan pada peringkat masyarakat, yaitu

pewarisan kebudayaan daripada generasi kepada generasi. 130 Tanpa bahasa, tidak

akan wujud konsep-konsep yang mendukung pengertian setiap unsur kebudayaan.

Tanpa bahasa juga tidak mungkin berlaku komunikasi yang dapat bertahan lama

untuk mewujudkan keadaan saling faham antara anggota masyarakat dalam zaman

yang berlainan. Sebaliknya, melalui bahasa yang mapan sistemnya dari zaman ke

zaman, dapatlah berlaku proses pewarisan kebudayaan itu.

129
DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Intermasa, 1993), QS. Al-Alaq
(96): 1-5. “Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.”
130
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,..... H. 316
149

Dalam kurikulum 2013 bahasa (Bahasa Indonesia) mulai menempati

posisi sebagai bahasa pembawa wahana ilmu pengetahuan. Konsep tematik

terpadu (tematik antar mata pelajaran, dan tematik dalam suatu mata pelajaran

telah memfungsikan bahasa Indonesia sebagai penghantar ilmu pengetahuan antar

mata pelajaran. Dalam hal membangun wawasan, pengembangan tema dan

menghubungkan satu tema dengan tema yang lain antar mata pelajaran, bahasa

Indonesia telah mampu berfungsi sebagai bahasa penyalur ilmu pengetahuan.

Dalam kurikulum 2013 yang berdasarkan pendekatan scientific (ilmiah),

yaitu mengamati, menanya, menalar, menyaji dan mencipta, pendekatannya telah

diturunkan melalui metode pembelajaran bahasa Indonesia yang berbasis teks.

Seperti yang disampaikan dalam kata pengantar buku bahasa Indonesia untuk

kelas VII dan kelas X kurikulum 2013 yang diterbitkan oleh Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2013, dikatakan bahwa “Pembelajaran bahasa

Indonesia dilaksanakan dengan menerapkan 4 prinsip yaitu (1) bahasa hendaknya

dipandang sebagai teks, bukan semata kumpulan kata-kata atau kaidah-kaidah

kebahasaan, (2) penggunaan bahasa merupakan proses pemilihan bentuk-bentuk

kebahasaan yang mengungkapkan makna,(3) bahasa bersifat fungsional, yaitu

penggunaan bahasa yang tidak pernah dapat dilepaskan dari konteks karena dalam

bentuk bahasa yang digunakan itu tercermin ide, sikap, nilai, dan ideologi

penggunanya, (4) bahasa juga merupakan sarana kemampuan berpikir manusia.

Dari prinsip-prinsip di atas maka metode pembelajaran ini diterapkan

melalui beberapa tahapan yaitu membangun konteks, membangun teks secara

bersama antara guru dan siswa, membangun teks mandiri dan pada akhirnya dapat
150

menyusun teks secara terampil. Sebagai tambahannya, untuk lebih terintegrasinya

kurikulum 2013 ini, standar kompetensi kelulusan (SKL) untuk tiap- tiap jenjang

pendidikan dan tiap mata pelajaran tetap terbagi dalam tiga aspek yaitu aspek

sikap (religi dan sosial) yang menjadi lebih utama, aspek pengetahuan dan aspek

keterampilan.

Pada prinsipnya kemampuan dan kepekaan tenaga didik dalam

mengelaborasi, menganalisis, menginterpretasikan dan mengintegrasikan standar

kompetensi (SKL), kompetensi inti (KI), dan kompetensi dasar (KD) adalah hal

yang sangat diharapkan penerapan dalam kurikulum 2013 ini. Adapun segala

kompetensi yang diharapkan dalam kurikulum 2013 ini tetap merujuk kepada

tujuan pendidikan nasional yang tercantum pada UU RI No 20 tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional, yang intinya adalah menjadikan peserta didik yang

beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan

bertanggung jawab.

Peranan bahasa sebagai wahana pendidikan dapat juga kita fahami

dengan mengisyaratkan bahwa pendidikan yang disampaikan oleh Allah Swt,

kepada para rasul adalah melalui bahasa sebagai wadahnya. Bahkan mukjizat

terbesar yang diberikan Allah Swt, kepada Nabi Muhammad Saw, ialah bahasa,

yaitu al-Qur’an yang menampung segala wahyu Allah, dengan pengertian bahwa

wahyu itu ialah kandungan bagi proses pendidikan, sementara bahasa ialah

wahananya. 131 Hakikat bahasa sebagai wahana ilmu dan pendidikan ini dengan

131
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,..... H. 293
151

jelas diterapkan oleh Imam al-Ghazali, mujtahid yang hidup dari pertengahan

abad ke-11 hingga awal abad ke-12 Masihi, dalam skema hierarki ilmu atau

penjelasan ilmu yang terpuji, yaitu ilmu yang diridhai dan dituntut oleh agama

Islam sebagai lawan ilmu yang tercela.

Al-Attas membahagi ilmu itu kepada empat kategori, yaitu ilmu yang

bertaraf pokok, cabang, mukadimah, dan pelengkap. Ilmu pokok terdiri daripada

empat sumber, yaitu kitab Allah, Sunnah Rasul, ijmak ulama’, dan warisan para

sahabat. Ilmu cabang pula terdiri daripada ilmu-ilmu duniawi dan ilmu ukhrawi

(khususnya ilmu akhlak). 132 Ilmu mukadimah atau ilmu asas ialah ilmu yang

merupakan alat untuk mengetahui isi kitab Allah dan sunnah Rasul. Ilmu alat itu

terdiri daripada ilmu bahasa dan tatabahasa yang, walaupun tidak termasuk dalam

ilmu syariah, perlu dipelajari untuk keperluan agama, kerana semua agama lahir

melalui bahasa. Yang keempat, yaitu ilmu pelengkap ialah ilmu tentang al-Qur’an

(tajwid, qiraah atau pembacaan, tafsir, hukum, usul fiqh) dan ilmu penyempurna

tentang sunnah Nabi seperti perawi-perawi hadith.

Skema hierarki ilmu menurut rumusan al-Ghazali itu dengan jelas

meletakkan ilmu bahasa dan tatabahasa serta berbagai cabang ilmu linguistik

sebagai ilmu asas atau ilmu bantu yang cukup penting untuk maksud pemerolehan
133
dan penyebaran ilmu keseluruhannya. Hal ini dengan jelas pula

memperlihatkan pertalian yang erat antara pendidikan bahasa dengan pendidikan

umum, khususnya dalam konteks fungsi bahasa sebagai wahana pemerolehan dan

penyebaran ilmu, atau dengan kata lain “bahasa merentas kurikulum”.

132
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum Al-Din, penerj. Faris, H. 186
133
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum Al-Din, penerj. Faris, H. 191
152

2. Metode tauhid

Kalau kita mau berbicara mengenai Kurikulum berbasis Tauhid kita

mulai dari landasan berfikir kita, Firman Allah dalam QS. Al-Dzariyah: 56 dan

QS Al-Ahzab: 21:

    


 
Artinya: “ dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku.”
     
   
  
   

Artinya: “ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.”
‫صلهى ه‬
ُ‫َّللا‬ َ ِ ‫علَى النه ِبي‬ َ ‫ قَد َِم َبنُو نَ ْه ِد ب ِْن زَ ْي ٍّد‬: ‫ قَا َل‬، ُ‫ع ْنه‬ ‫ي ه‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ع ِلي ٍّ َر‬ َ ‫ع ْن‬ َ
ْ َ
‫ َو َما‬، ‫ َوذ َك َر ُخط َبت َ ُه ْم‬، ‫ي ت َها َمة‬ َ ُ ْ ‫َاك ِم ْن غ َْو َر‬ َ ُ
َ ‫ أتَ ْين‬: ‫ فَقَالوا‬، ‫سل َم‬ ‫ه‬ َ ‫عل ْي ِه َو‬ َ َ
‫ ن َْح ُن َبنُو‬، ِ‫َّللا‬ ‫ي ه‬ ‫ َيا نَ ِب ه‬: ‫ فَقُ ْلنَا‬: ‫ قَا َل‬، ‫سله َم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلهى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ي‬ ُّ ‫أ َ َجا َب ُه ْم ِب ِه النه ِب‬
، ُ‫ان َما نَ ْف َه ُم أ َ ْكث َ َره‬ٍّ ‫س‬ َ ‫ب ِب ِل‬ ِ ‫ َونَشَأْنَا فِي بَلَ ٍّد َو‬، ‫اح ٍّد‬
َ ‫ َو ِإنه َك لَت ُ َك ِل ُم ْال َع َر‬، ‫اح ٍّد‬ ِ ‫ب َو‬ ٍّ َ ‫أ‬
‫س ْع ِد ب ِْن‬َ ‫ َونَشَأْتُ فِي َبنِي‬، ‫سنَ أ َدَبِي‬ َ ‫ع هز َو َج هل أَده َبنِي فَأ َ ْح‬ ‫ " إِ هن ه‬: ‫فَقَا َل‬
َ َ‫َّللا‬
‫ وسنده ضعيف جد‬، " ‫َب ْك ٍّر‬
“Tuhan telah mendidikku (addabani, yang secara literal berarti telah
menanamkan adab pada diriku), maka sangat baiklah mutu pendidikan
ku (ta’dibi). “134
Dari sini kita harus menyadari bahwa tujuan penciptaan manusia adalah

untuk beribadah kepada Allah dalam arti luas, cara beribadah kita kepada Allah

telah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Jadi konsep dasar dari

Kurikulum Berbasis Tauhid adalah menerapkan sebuah kurikulum pendidikan

yang muatan maupun metode pembelajarannya mengarah kepada pembentukan

karakter Islami untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. dan yang

lebih prinsip dalam KBT akan menghadirkan Allah pada semua materi pelajaran

134
http://library.islamweb.net/hadith/display_hbook.php?hflag=1&bk_no=1849&pid=908365
153

yang dipelajari siswa jadi tidak ada pemisahan antara agama dengan kehidupan.

Kehidupan di dunia adalah sarana mencapai kesuksesan di akherat, kehidupan

akherat merupakan kontrol kehidupan kita di dunia.

Salah satu karakteristik pendidikan dan epistemologi Islam yang

dijelaskan secara tajam dan dipraktikkan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas

adalah apa yang dinamakannya sebagai metode tauhid dalam ilmu pengetahuan.

Metode tauhid ialah metode dengan fitrah mengacu pada metodologi pendidikan

Islam yang dinyatakan dalam al-Qur‟an yang menggunakan sistem multi

approach, di antaranya adalah pendidikan religius bahwa manusia diciptakan

memiliki dasar (fitrah) atau bakat agama.

kegiatan pendidikan yang meliputi pembimbingan, pembinaan dan

pengembangan potensi diri manusia sesuai dengan bakat, kadar kemampuan dan

keahlian masing-masing yang bersumber dan bermuara kepada Tuhan, Allah

SWT. Selanjutnya ilmu dan keahlian yang dimilki diaplikasikan dalam kehidupan

sebagai realisasi konkret pengabdian dan kepatuhan kepada Allah. 135 Upaya ke

arah itu diawali dari menanamkan nilai-nalai akhlaq al karimah (budi pekerti,

tatakrama, menurut istilah lokal kita di indonesia) dalam diri setiap peserta didik

kemudian diimplementasikan kelak melalui peran kekhalifahan sebagai

pemakmur dan pemelihara kehidupan diduna ini. Sebab pada dasarnya tujuan

akhir pendidikan menurut islam adalah:

a. Terbentuknya insan kamil (manusia universal,conscience) berwajah


Qurani
b. Terciptanya insan kaffa yang memilki dimensi-dimensi religius, budaya,
dan ilmiah

135
Ismail Faruqi Razy, Tauhid, (Bandung: Pustaka, 1988), hlm. 27
154

c. Penyadaran terhadap eksistensi manusia sebagai abd (hamba), khalifah,


pewaris perjuangan risalah para Nabi atau Rosul Allah SWT
Metode Tauhid merupakan proses interaksi terencana dan sengaja dengan

tujuan tertentu dan dilandasi nilai-nilai tauhid. Posisi tauhid dalam pendidikan

merupakan materi dan juga sekaligus nilai-nilai dasar yang diyakni mulya dan

harus diwariskan oleh pendidik kepada peserta didik.

Akar metode tauhid adalah keyakinan yang didasarkan ilmu bahwa

manusia merupakan hamba dan khalifah Allah SWT. Dasar itu menuntut untuk

menjadikan Allah SWT sebagai tujuan dari seluruh aktivitas yang dilakukan

  


  
  
 
  
   
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
yang lurus[Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan
jauh dari kesesatan.], dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.136
Aktivitas yang dimaksud selanjutnya dikenal dengan terminologi sebagai

aktivitas amal saleh. Dengan demikian pendidikan tauhid mengajarkan nilai-nilai

yang menjadi syarat terpenuhinya suatu amal sebagai amal saleh, yakni aktivitas

yang tidak hanya di dasarkan penerimaan dikalangan manusia tapi mutlak

diterima dalam persyaratan amal yang diterima oleh Allah SWT.

Sebagai sebuah pendidikan, metode tauhid harus memenuhi syarat-syarat

pendidikan sebagaimana telah dinyatakan diatas.

a. metode tauhid diterap oleh pendidik yang memiliki nilai-nilai tauhid


kepada peserta didik.

136
DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Intermasa, 1993), QS. Al-
Bayyinah: 5
155

b. Tujuan metode tauhid adalah menegakan tuntutan tauhid yakni menjadikan


muara seluruh amal sebagai pengabdian tulus hanya kepada Allah SWT.
c. Metode tauhid dilakukan secara sengaja dan terencana dalam bentuk
materi yang tegas .
d. Evaluasi dilakukan pendidik untuk melihat perubahan prilaku peserta
didik.137

Al-Qur’an secara jelas mengandung beberapa ayat yang menerangkan

beberapa prinsip yang dapat membimbing Muslim untuk memahami masalah-

masalah penting yang berkaitan dengan realitas dan masyarakat. Sedikit contoh

dapat dibaca dari ayat-ayat di bawah ini:

    )1


Artinya: “tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.138

  )2
  
  
  

Artinya: “orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara.
sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua
saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu
mendapat rahmat.”139

     .......... )3


    
  
Artinya: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-
hamba-Nya, hanyalah ulama .Sesungguhnya Allah Maha Perkasa
lagi Maha Pengampun.140

     )4


  
 

137
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,..... H. 58
138
DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Intermasa, 1993), QS. Ali-Imran
(3): 185
139
DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Intermasa, 1993), QS. Al-Hujurat
(49): 10
140
DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Intermasa, 1993), QS.Fatir (35):
28
156

 
  
Artinya: “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh
dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran.”141

Ungkapan metode tauhid yang menjadi karakteristik dan epistemologi

Islam al-Attas, secara sederhana dapat digambarkan bahwa manusia menerima

pengetahuan dan kearifan spiritual dari Allah SWT melalui pengertian langsung

atau pengindraan spiritual, yaitu pengalaman yang hampir secara serentak

mengungkapkan suatu kenyataan dan kebenaran sesuatu kepada pandangan

spiritualnya (kasf). Ia bersatu padu dengan adab mencerminkan kearifan dan

sehubungan dengan masyarakat yang beradab adalah perkembangan tata tertib

yang adil di dalamnya.

Syed Muhammad Naquib al-Attas menekankan dan menerangkan di

beberapa tempat bahwa yang objektif dan subjektif tidak dapat dipisahkan, sebab

hal itu merupakan aspek dari realitas yang sama sehingga melengkapi. Sebagai

contoh, dalam rangka mencari kata kunci secara objektif mengenai sistem mistik

Hamzah Fanshuri, Syed Muhammad naquib al-Attas harus memiliki pengetahuan

yang cukup mengenai bahasa, pemahaman penuh mengenai struktur makna dan

partisipasi penuh dalam kesadaran linguistik karya-karya Hamzah Fanshuri.

Ditambah lagi ia memasuki kedalaman alur emosi tasawuf Melayu,

melalui Hamzah sebagai representasi terbesar dan terbaik, mengahayati perasaan-

perasaannya, dan merasakan cara-caranya dalam membuat simbol-simbol. Setelah

141
DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Intermasa, 1993), QS. Al-Ashr
(103): 2-3
157

melibatkan diri dalam semua proses ini dan merenungkan kesatuan yang

mendalam antara kesarjanaan dan kehidupan, al-Attas kemudian berusaha

menyampaikan eksposisi ilmiah konsep-konsep Hamzah dan hubungannya

dengan yang lain.

Metode tauhid Syed Muhammad Naquib al-Attas menjadi sangat pribadi

sehingga ia sering jengkel ketika beberapa orang yang merasa telah memahami

agama Islam, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip etikanya bertanya mengenai cara

mengimplementasikan masalah-masalah ini ke dalam kehidupan dan profesi

pribadi mereka. Syed Muhammad Naquibal-Attas menggarisbawahi bahwa jika

seseorang telah benar-benar memahami ini semua, pertanyaan itu tidak diperlukan

lagi. Dia sering menekankan bahwa tidak ada dikotomi antara apa yang dianggap

teori dan praktik. Jika benar-benar mengetahui suatu teori, seseorang mestinya

mampu melaksanakannya dalam praktik, kecuali jika terhalang oleh sebab-sebab

eksternal yang tidak dapat dielakkan.

Pendidikan berbasis metode tauhid adalah salah satu ide besar dalam

berbagi solusi pendidikan Islam dalam mempersiapkan generasi Islam masa

depan. Sehingga diperlukan sebuah identitas yang jelas dalam eksistensinya.

Ada pilar -pilar penumpu metode tauhid, yang mana di dalamnya


dikembangkan sistem nilai sebagai berikut sebagai pilar dasarnya: 142 1).
Berpegang Teguh Pada Nilai-nilai Tauhid, 2). Ketaatan Yang tinggi
(Budaya Sami’na wa atho’na), 3). Ukhuwah Islamiyah dan silahturahmi,
4). Kerja Keras (mujahadah dan sa’i), 5). Belajar terus (budaya Iqra’), 6).
Perjuangan dan Pengorbanan (jihad dan hijrah), 7). Keikhlasan, 8).
Kejujuran (siddiq), 9). Kemandirian dan ulet, 10). Keteladanan (uswatun
hasanah), 11). Kebersihan, kerapian dan keindahan, 12). Kedisiplinan, 13).
Inovasi dan kreasi.

142
Tim editor, Orientasi Nilai Dasar Islam, (Yogyakarta : UII Press, 2004), hlm.22
158

Salah satu ciri masyarakat Indonesia adalah religius. Sedangkan nilai

keagamaan yang paling mendasar adalah nilai ketauhidan. Termasuk dalam dunia

pendidikan. Tujuan pendidikan hendaknya tidak direduksi hanya pada aspek

material semata. Pendidikan seharusnya justru mengintegrasikan kekuatan besar

manusia, yaitu akal dan jiwa. Akal membutuhkan informasi, dan jiwa sangat

membutuhkan petunjuk (wahyu). Oleh karena itu kita perlu satu konsep

pendidikan yang berbasis tauhid. Sebuah konsep pendidikan yang mengantarkan

peserta didik mengenal dirinya sekaligus mengenal Allah, tumbuh spirit

belajarnya, tampil dengan semangat etos kerja yang membanggakan, dengan niat

semata-mata karena Allah demi umat Islam.

Karena itu sistem pendidikan bangsa kita haruslah berlandaskan

ketauhidan. Pengembangan kurikulum berasaskan tauhid yang kondusif dan

memudahkan para peserta didik biasanya dikembangkan dalam isi materi,

sehingga para pengembang kurikulum haruslah orang yang tidak hanya pakar

dalam ilmu mereka masing-masing tetapi juga orang yang memiliki kepakaran

dalam bidang agama. Kurikulum berasaskan tauhid adalah kurikulum yang dalam

penyampaiannya tidak lepas dari “keesaan tuhan”.143

Efektifitas dan implementasi makna Metode tauhid dalam kurikulum

pendidikan nasional tergantung pada para pelaksana pendidikan di lapangan.

Karena itu kurikulum dalam arti luas tidak hanya mengenai isi materi tetapi juga

terdapat komponen-komponen lain yang mendukung seperti :

143
Drs.H.Ayat Dimyati,M.dkk. Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan.
(Nuansa Bandung. 2010), H.78
159

a. Sarana dan prasarana pendidikan misalnya : lingkungan, situasi dan


kondisi,gedung, ruang kelas, audio visual aid, perpustakaan dan lain-
lain.
b. komponen pelaksana pendidikan seperti : guru/dosen, petugas
administrasi, petugas kebersihan, dan lain-lain.
Dalam jenjang pendidikan tinggi mulai dilakukan penekanan pada proses

disipliner dengan metode tauhid yang lebih nalariah, kritis, kreatif, namun tetap

imaniah. Melalui pendidikan akademik maupun pendidikan profesional dibangun

jalur-jalur pendidikan yang memperhatikan mobilitas mahasiswa dalam memilih

bidang studi. sebagai sistem filsafat yang mendasari keseluruhan sistem

pendidikan.

Dalam bahasa Prof Dr. H. Mastuhu, M.Ed, tauhid akan menjadi “payung”
yang akan menaungi keseluruhan proses pendidikan agar tetap berada
dalam bingkainya. Pengayaan materi pelajaran dalam proses belajar
mengajar harus merupakan cerminan dari tauhid.144
Karena subyek utama dalam pendidikan adalah manusia, maka dengan

tauhid ini pendidikan hendak mengarahkan anak didik menjadi manusia tauhid,

dalam arti memiliki komitmen yang tinggi terhadap Tuhannya dan menjaga

hubungan baik dengan sesama dan lingkungannya. Dengan kalimat lain,

pendidikan dalam perspektif tauhid hendak mengarahkan manusia pada tiga pola

hubungan fungsional: hubungan dengan Tuhan (aspek teologis), manusia

(antropologis) dan alam (kosmologis).

3. Metafora dan Cerita

Ciri-ciri metode pendidikan Syed Muhammad Naquib al-Attas yang

menonjol ialah penggunaan metafora dan cerita sebagai contoh dan

perumpamaan. Metafora adalah gaya bahasa yang mengungkapkan ungkapan

144
Syafaruddin. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2009),
H. 20
160

secara langsung berupa perbandingan analogis. Kata atau kelompok kata yang

dipakai bukan dalam arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang

berdasarkan persamaan atau perbandingan.

Pada jaman Yunani kuno, Aristoteles dalam karyanya yang berjudul


Rhetoric (Retorika) menyatakan bahwa metafora adalah simile
(perumpamaan) yang diungkapkan dengan kata-kata like, as, resemble
(seperti, bak, bagai) yang mengalami proses ellipsis atau dilesapkan.
Metafora dalam the woman is a red rose, misalnya, sebenarnya merupakan
perpanjangan dari simile, yaitu the woman is like a red rose, namun kata
like dilesapkan. Aristoteles menyebutkan bahwa metafora berkaitan
dengan substitusi atau transfer.
Lakoff dan Johnson menyatakan bahwa, “...metaphor is pervasive in
everday life, not just in language but in thought and action. Our ordinary
conceptual system, in terms of which we both think and act, is
fundamentally methaporical in nature”. Metafora diperoleh dan dimengerti
secara kognitif oleh manusia berdasarkan pengalaman hidup sehari-hari
yang diungkapkan melalui bahasa mereka. Cara seseorang berpikir dan
bertindak sehari-hari sebenarnya bersifat metaforis.
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sesorang

dapat memahami sesuatu hal melalui proses pemahamannya akan hal lain yang

telah dikenal dan dipahami sebelummya dari pengalamannya sehari-hari. Dengan

demikian, metafora mengorganisasi hubungan antar objek dan menciptakan

pemahaman mengenai objek tertentu melalui pemahaman mengenai objek lain.

Dengan kata lain, ranah sumber (source domain) digunakan manusia untuk

memahami konsep abstrak dalam ranah sasaran (target domain).

“Dalam Handbook of Semiotics, Nöth : menyatakan bahwa terdapat dua


istilah metafora yaitu metafora dalam arti sempit (narrow sense), dan
metafora dalam arti luas (broad sense). Metafora dalam arti sempit adalah
bentuk kiasan tertentu di antara bentuk-bentuk kiasan yang lain, sedangkan
metafora dalam arti luas mencakup semua bentuk kiasan.”

Salah satu metafora yang paling sering diulang-ulang oleh Syed

Muhammad Naquib al-Attas ialah metafora papan penunjuk jalan (sign post)

untuk melambangkan sifat teologis alam dunia ini, yang sering dilupakan orang,
161

khususnya para ilmuwan. Sebenarmnya doktrin-doktrin filosofi dan epistemologis

plato yang paling terkenal itu juga diabadikan melalui metafora. Komentar Izutsu

sangat relevan:

“Para filosof muslim cenderung menggunakan metafora dan perumpamaan


dalam metafisika, khususnya dalam penjelasan mengenai hubungan antara
kesatuan dan keagamaan atau realitas absolut dan hal-hal fenomenal yang
tampak kontradiktif. Metafora yang sering dipakai dalam metafisika
adalah salah satu ciri khas filsafat islam,atau boleh jadi kita katakan
filsafat Timur umumnya. Ia tidak dapat dianggap sekedar hiasan puitis,
sebenarnya, fungsi kognitif itu lebih tepat melalui penggunaan
metafora”.145
Dunia ini bagaikan penunjuk jalan yang memberi petunjuk kepada

musafir, arah yang harus diikuti serta jarak yang diperlukan untuk berjalan

menuju tempat yang akan dituju. Jika papan itu jelas (muhkam), dengan kata-kata

tertulis yang dapat dibaca menunjukkan tempat dan jarak, sang musafir akan

membaca tanda-tanda itu dan menempuhnya tanpa masalah apa-apa. 146 Namun

bayangkan, kata al-Attas dalam berbagai kesempatan, jika papan tanda itu

“terbuat dari marmer yang dibentuk dengan indah, tangan yang menunjuk itu

diukir dalam bentuk yang sempurna lagi menakjubkan, nama-nama tempat dan

jarak masing-masing terbuat dari serpihan emas murni yang dirancang menjadi

huruf-huruf yang dirangkai dengan batu-batu permata, sudah tentu, sang musafir

akan berhenti di situ untuk mencermati, mengagumi dan menyelidiki pelbagai

aspeknya, tidak hanya komponen dan desain materialnya, tetapi juga asal-usul

masing-masing serta kemungkinan-kemungkinan nilai ekonominya.

Dalam keadaan demikian, papan tanda itu tidak ada lagi menunjukkan

arah yang berguna bagi sang musafir, sebab arti tanda-tanda itu tidak jelas. Tanda-

145
Wan Mohd Nr Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,..... H.311
146
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,..... H. 310
162

tanda itu tidak menunjukkan makna yang berada di balik simbol-simbol tersebut,

tetapi kepada dirinya sendiri. Seperti itu juga papan tanda, dunia ini diharapkan

menunjukkan makna-makna dan realiatas-realitas di balik lambang-lambangnya,

dan kajian serta penyelidikan kita mengenai dunia ini hendaknya untuk

memahami dunia sebagai salah satu dari ayat-ayat Tuhan.

Namun, para ilmuwan modern telah dibingungkan oleh keindahan,

struktur, dan keragaman dunia yang menakjubkan ini dan menjadikannya tidak

lebih dari sekadar aspek ilmu pengetahuan.

Syed Muhammad Naquib al-Attas juga gemar mengibaratkan

cendikiawan yang menguasai ilmu secara mendalam sebagai pohon yang besar

dengan akar-akar yang mendalam, subur, kukuh, dan kuat. Ia tidak bergeming

atau patah oleh hembusan angin yang berubah-ubah. Ia akan menghasilkan buah

dan memberi keteduhan yang bermanfaat bagi makhluk lain. Dia bandingkan

pohon semacam ini dengan tanaman dalam pot, yang tidak saja lemah dan mudah

pecah oleh tekanan yang ringan, tetapi juga mudah dipindahkan dari satu tempat

ke tempat yang lain. Demikian pula seorang cendikiawan yang memiliki ilmu

yang mendalam akan mudah menerima dan membenarkan kebenaran yang

diwahyukan, yang dari situ ia menemukan pandangan intelektualnya, dan karena

itu tidak mengubahnya agar sesuai dengan situasi yang terus berubah. Dalam

pengantarnya untuk edisi perdana Al-Syajarah, dia menyatakan bahwa kata-kata

yang baik (kalimah thayyibah) adalah kata-kata kebenaran, dan mengutip kiasan

Al-Quran mengenai pohon yang baik (syajarah thayyibah):147

147
Al-Attas, “Foreword”, Al-Syajarah, jild. 1 no 1&2, 1996, H.i
163

     


  
  
   
   
   
  
  
  
   
    
 
Artinya: “tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat
perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh
dan cabangnya (menjulang) ke langit, 25. pohon itu memberikan buahnya
pada Setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu
ingat. 26. dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang
buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi;
tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.148

Al-Attas kemudian menerangkan: “Fakultas dalam jiwa manusia bagaikan

akar yang terpendam di dalam tanah yang tersembunyi dari realitas, disirami oleh

air ilmu pengetahuan. Badan dan fakultas-fakultasnya bagaikan batang, cabang,

dan dedaunan yang terbuka bagi pengalaman indra dan indrawi. Buah yang terus

–menerus memberikan kelangsungan hidup pada badan dan jiwa. Hati adalah

pusat pohon. Ketika akar-akar itu menghujam lebih dalam lagi ke bumi, pohon itu

akan berdiri tegak.”149

Mengenai metode pendidikan, di samping kedua metode di atas, yang

merupakan karakteristiknya, al-Attas juga menggunakan metode sebagaimana

yang telah diaplikasikan dalam tradisi Islam, seperti religius, ilmiah, empiris,

rasional, deduktif, induktif, subjektif, dan objektif. Namun demikian al-Attas

148
DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Intermasa, 1993), QS. Ibrahim
(14): 24-26.
149
Wan Mohd Nr Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,..... H. 311
164

sebenarnya memberikan kritikan, yakni tanpa menjadikan salah satu metode lebih

dominan dari yang lain.

Untuk menekankan gagasan awalnya bahwa setiap objek ilmu

pengetahuan terdapat batas kebenaran, Al-Attas sering menggunakan analogi

kursi unutk menjelaskan bagaimana riset dan pengetahuan modern telah

kehilangan fokus dan melampaui batasan-batasan kebenaran, Al-Attas juga

menyampaikan gagasan mengenai keindahan (inner beauty) dalam Islam yang

permanen, yang bertentangan dengan konsidi temporer dalam umat Islam yang

negatif, dan kesalahan mereka dalam mengamati fenomena kondisi itu secara

ekstrem serta mereka yang tertutup matanya untuk mengenal keindahan itu.

Вам также может понравиться