Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Oleh:
PROGRAM STUDI PROFESI NERS STIKES MAHARANI MALANG
Kelompok 12 :
VANNESSIA PRASETYA CIA
Mengetahui,
Pembimbing Ruangan
Pembimbing Institusi
Klinik
___________________
___________________
Kepala Ruangan
PAKET PENYULUHAN
___________________
REHAB
SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)
A. Latar Belakang
Difteri pada umumnya lebih banyak menyerang pada usia anak 5-7
tahun. Penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium
diphtheria (Kementerian Kesehatan, 2014). Menurut Purwana (2010) bahwa
semua glongan umur dapat terinfeksi oleh bakteri Corynebacterium diphtheria,
namun 80% kasus terjadi diderita pada anak usia kurang dari 15 tahun dan
yang tidak mendapatkan imunisasi dasar. Golongan umur yang sering terkena
difteri adalah 5-7 tahun. Jarang ditemukan pada bayi yang berusia di bawah
6 bulan dikarenakan, adanya imunitas pasif melalui plasenta dari ibunya. Bahkan
juga jarang pada usia di atas 10 tahun. Dan jenis kelamin yang sering menderita
difteri adalah perempuan dikaitkan dengan daya imunitasnya yang rendah.
Menurut Setyowati (2011) kasus difteri pada umumnya dipengaruhi oleh
beberapa faktor risiko seperti status gizi anak, status imunisasi yang tidak
lengkap, serta adanya riwayat kontak dengan si penderita.
Di Indonesia difteri tersebar merupakan masalah kesehatan berbasis
lingkungan yang tersebar di seluruh dunia. Di Asia Tenggara (South East Asia
Regional Office) pada Tahun 2011 Indonesia menduduki peringkat kedua
dengan 806 kasus difteri setelah India jumlah kasus difteri 3485 dan Nepal
merupakan negara ketiga 94 kasus difteri. Pada tahun 2010 Indonesia negara
kedua tertinggi dengan 432 kasus difteri. Sedang kan kasus difteri tertinggi
pertama di dunia tahun 2011 adalah India dengan 3485 kasus (WHO, 2012). Pada
Tahun 2011, jumlah kasus difteri di Indonesia tersebar 18 provinsi dengan
total 811 kasus dengan 38 orang meninggal yaitu di Provinsi Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung, DKI
Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa
Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara dan Bali. Pada tahun 2014, jumlah kasus difteri
sebanyak 296 kasus dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 16 orang dengan
nilai CFR disteri sebesar 4,0%. Dari 22 provinsi yang melaporkan adanya kasus
difteri, provinsi tertinggi terjadi di Provinsi Jawa Timur yaitu sebanyak 295
kasus yang berkonstribusi sebesar 74%. Dari total kasus tersebut, sebanyak
37% tidak mendapakan vaksin campak (Kementerian Kesehatan, 2014).
Kasus difteri meningkat setiap tahunnya di Provinsi Jawa Timur yang
tersebar di kabupaten/kota yang dengan angka kematian yang cukup tinggi. KLB
difteri ditetapkan di Jawa Timur. Tahun 2015 di Kabupaten/Kota Bangkalan
mengalami kenaikan pada tahun 2014 sebanyak 11 kasus sedangkan distribusi
kasus difteri pada tahun 2015 meningkat sebanyak 19 dengan nilai CFR 15,79%
yang tersebar di beberapa kecamatan dan 5 kecamatan dengan kasus tertinggi
antara lain di Kecamatan Geger (2 kasus), Kecamatan Bangkalan (3 kasus),
Kecamatan Tanjung Bumi (1 kasus), Kecamatan Sepulu (2 kasus), dan
Kecamatan Klampis (3 kasus). Jumlah kematian sebanyak 3 orang terjadi di
wilayah kerja Puskesmas Bangkalan, Geger, dan Tanjung Bumi.
Tahun 2015 berdasarkan indikator keberhasilan program imunisasi
DPT berdasarkan RPJM dan Kementerian Kesehatan bahwa prosentasi desa
yang telah mencapai Universal Child Immunization (UCI) mencapai 183 desa
(65,1%). Angka tersebut mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yaitu
pada tahun 2014 sebanyak 201 desa UCI (71,5%). Sementara bila dilihat
dari pencapaian imunisasi dasar lengkap tahun 2015 sebanyak 11,567
(77,57%). Dan capaian ini juga menurun dibandingkan pada tahun sebelumnya
dimana pada tahun 2014 mencapai 88% (Dinkes Kabupaten Bangkalan,
2015).Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan-Madura (2015)
diketahui bahwa difteri merupakan 10 penyakit berbasis lingkungan tertinggi di
Kabupaten Bangkalan antara lain: ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas)
berjumlah 8.604 kasus (15,12%), diare dengan berjumlah 6.542 kasus
(11,50%), penyakit otot berjumlah 3.028 kasus (5,32%), difteri berjumlah
2.752 (4,84%), gastritis berjumlah 2.507 kasus (4,41%), penyakit darah tingi
berjumlah 2.389 kasus (4,20%), penyakit gizi berjumlah 2.157 kasus (3,79%),
asma berjumlah 2.039 kasus (3,58%), stomatis berjumlah 1.900 kasus(3,34%),
dan TB.Paru berjumlah 1.680 kasus (2,95%).
Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri di Kabupaten Bangkalan terjadi pada
tahun 2015 berdasarkan hukum pernyataan KLB oleh Gubernur Jawa Timur.
Distribusi kasus difteri terjadi di 19 Kelurahan/Desa dengan jumlah kematian
sebanyak 3 orang dengan jumlah kasus sebanyak 19 kasus dengan nilai CFR
15,79%. Pemahaman mengenai difteri dan hal apa saja yang perlu
diperhatikan sebagai faktor risiko penyebab difteri anak masih sangat
terbatas bagi tenaga kesehatan terutama dalam hal mendiagnosis suatu penyakit
diperlukan pemeriksaan yang tepat. Apabila terjadi keterlambatan dalam
mendiagnosis maka akan menyebabkan pula terlambatnya penanganan medis
akibatnya akan timbul komplikasi klinik yang fatal bahkan menyebabkan
kematian.
B. Tujuan Penyuluhan
Tujuan Intruksional Umum (Tiu)
Setelah mengikuti penyuluhan pentingnya imunisasi, diharapkan semua
peserta penyuluhan mengerti dan memahami difteri dan cara mengatasi
penularan, pencegahan dan cara mengobati
C. Sasaran
Sasaran penyuluh adalah pasien, keluarga pasien dan pengunjung
D. Media
1. Leafleat
2. LCD
3. Laptop
E. Metode
1. Ceramah
2. Tanya Jawab
F. Kegiatan Penyuluhan
Tahap Kegiatan
Waktu
Kegiatan Kegiatan Penyuluh Kegiatan Sasaran
5 Pembukaan 1. Mengucapkan salam 1. Menjawab salam
Menit 2. Memperkenalkan diri 2. Mendengarkan
3. Menjelaskan maksud 3. Menyetujui
dan tujuan kontrak
4. Kontrak waktu 4. Menjawab
5. Menggali pengetahuan pertanyaan
peserta sebelum
dlakukan kegiatan
penyuluhan
A. PENGERTIAN
Difteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang
menderita difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk,
bersin atau berbicara. Beberapa laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit
merupakan predisposisi kolonisasi pada saluran nafas.
B. PENYEBAB
D. MANIFESTASI KLINIS
Difteri Tonsil
Gejala biasanya tidak khas berupa malaise, anoreksia, sakit tenggorok dan
demam. Difteri tonsil dan faring khas ditandai dengan adanya adenitis /
periadenitis cervical, kasus yang berat ditandai dengan bullneck (limfadenitis
disertai edema jaringan lunak leher). Suhu dapat normal atau sedikit meningkat
tetapi nadi biasanya cepat.
Pada kasus ringan membran biasanya akan menghilang antara 7-10 hari
dan penderita tampak sehat. Pada kasus sangat berat ditandai dengan gejala-
gejala toksemia berupa lemah, pucat, nadi cepat dan kecil, stupor, koma dan
meninggal dalam 6-10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan lambat disertai
komplikasi seperti miokarditis dan neuritis.
Difteri Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai
gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan
kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada
pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorpsi toksin
sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis
lambat dibuat.3
Difteri Laring
E. DIAGNOSIS
F. DIAGNOSIS BANDING
Difteri Hidung
a. Rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis)
b. Benda asing dalam hidung
c. Snuffles (lues congenita).
Difteri Faring :
a. Tonsilitis membranosa akuta oleh karena streptokokus (tonsillitis
akuta/septic sore throat)
b. Mononucleosis infectiosa
c. Tonsilitis membranosa non bakterial
d. Tonsillitis herpetika primer
e. Moniliasis
f. Blood dyscrasia
g. Pasca tonsilektomi.
Difteri Laring :
a. Infectious croup yang lain
b. Spasmodic croup
c. Angioneurotic edema pada laring
d. Benda asing dalam laring.
Diphtheria Kulit :
a. Impetigo
b. Infeksi o.k. streptokokus/stafilokokus.
G. KOMPLIKASI
Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke
laring dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda pasien makin
cepat timbul komplikasi ini.
Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio
kordis.
Kelumpuhan otot palatum molle, otot mata untuk akomodasi, otot faring
serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau
dan kelumpuhan otot-otot pernafasan.
Albuminuria sebagai akibat dari komplikasi ke ginjal.
H. PENATALAKSANAAN
Isolasi dan Karantina
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa
akut terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut
terlaksana :
a. biakan hidung dan tenggorok
b. seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)
c. diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid
diphtheria.
I. PENGOBATAN
Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang
terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.
Umum
Istirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu, pemberian cairan serta diit yang
adekwat. Khusus pada diphtheria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta
dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. Bila tampak
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif hal-hal
tersebut merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
Khusus :
1. Antitoksin : serum anti diphtheria (ADS)
a. Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis diphtheria.
Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh
karena pada pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya reaksi
anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.
b. Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam
fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit terjadi
indurasi > 10 mm.
c. Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1 : 10
dalam garam faali. Pada mata yang lain diteteskan garam faali. Tes positif
bila dalam 20 menit tampak gejala konjungtivitis dan lakrimasi.
d. Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi
(Besredka). Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus
diberikan sekaligus secara tetesan intravena.
e. Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara empiris berdasarkan berat
penyakit, tidak tergantung pada berat badan penderita, dan berkisar antara
20.000-120.000 KI.
f. Dosis ADS di ruang Menular Anak RSUD Dr. Soetomo disesuaikan
menurut derajat berat penyakit sebagai berikut :
20.000 KI i.m. untuk diphtheria ringan (hidung, kulit, konjungtiva).
40.000 KI i.v. untuk diphtheria sedang (pseudomembran terbatas pada
tonsil, diphtheria laring).
100.000 KI i.v. untuk diphtheria berat (pseudomembran meluas ke luar
tonsil, keadaan anak yang toksik; disertai "bullneck", disertai penyulit
akibat efek toksin).
g. Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam larutan
200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan
efek samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan
selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi
hipersensitivitas lambat (serum sickness).
2. Antimikrobial
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk menghentikan
produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari selama 7-10
hari, bila alergi bisa diberikan eritromisin 40 mg/kg/hari.
3. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini
pada diphtheria. Di Ruang Menular Anak RSUD Dr. Soetomo
kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran
nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.
4. Pengobatan penyulit
Pengobatan terutama ditujukan terhadap menjaga agar
hemodinamika penderita tetap baik oleh karena penyulit yang disebabkan
oleh toksin pada umumnya reversibel.
5. Pengobatan Carrier
Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan,
mempunyai reaksi Schick negatif tetapi mengandung basil diphtheria dalam
nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin oral atau
suntikan, atau eritromisin selama satu minggu. Mungkin diperlukan
tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.
J. PENCEGAHAN
Umum
Kebersihan dan pengetahuan tentang bahaya penyakit ini bagi anak-anak.
Pada umumnya setelah menderita penyakit difteri kekebalan penderita
terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi.
Khusus
Terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan carrier.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Isnaniyanti Fajrin, Corie Indria Prasasti. 2016. Faktor Yang Berhubungan
Dengan Kasus Difteri Anak Di Puskesmas Bangkalan Tahun 2016.
Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga Surabaya. Jawa Timur : Indonesia.
Arvin, Behrman Klirgman. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC.
Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke lima.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004.
www.medicastore.com
DOKUMENTASI PENYULUHAN ORAL HYGIENE DAN PENCEGAHAN
PENYAKIT DIFTERI DI R.7A IRNA IV
DAFTAR HADIR PESERTA PENYULUHAN