Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “KONSEP DASAR KORUPSI”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan
pendengar.
penyusun
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
Kesimpulan ...............................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui pengertian korupsi
Untuk mengetahui Apa saja Ciri-Ciri, Bentuk dan Jenis Korupsi
Untuk mengetahui Bagaimana Korupsi Dalam Berbagai Perspektif
Untuk mengetahui Bagaimana Sejarah dan Ruang Lingkup Korupsi
Untuk mengetahui Apa saja Sebab-Sebab dan Dampak Korupsi
Untuk mengetahui Bagaimana Penyebab Terjadinya Korupsi
BAB II
PEMBAHASAN
Berbicara mengenai Ciri-ciri korupsi, Syed Hussein Alatas memberikan ciri-ciri korupsi,
sebagai berikut :
1. Ciri korupsi selalu melibatkan lebih dari dari satu orang. Inilah yang membedakan
antara korupsi dengan pencurian atau penggelapan.
2. Ciri korupsi pada umumnya bersifat rahasia, tertutup terutama motif yang
melatarbelakangi perbuan korupsi tersebut.
3. Ciri korupsi yaitu melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
Kewajiban dan keuntungan tersebut tidaklah selalu berbentuk uang.
4. Ciri korupsi yaitu berusaha untuk berlindung dibalik pembenaran hukum.
5. Ciri korupsi yaitu mereka yang terlibat korupsi ialah mereka yang memiliki
kekuasaan atau wewenang serta mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
6. Ciri korupsi yaitu pada setiap tindakan mengandung penipuan, biasanya pada badan
publik atau pada masyarakat umum.
7. Ciri korupsi yaitu setiap bentuknya melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari
mereka yang melakukan tindakan tersebut.
8. Ciri korupsi yaitu dilandaskan dengan niat kesengajaan untuk menempatkan
kepentingan umum di bawah kepentingan pribadi.
1. Penyuapan (bribery) mencakup tindakan memberi dan menerima suap, baik berupa
uang maupun barang.
2. Embezzlement, merupakan tindakan penipuan dan pencurian sumber daya yang
dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang mengelola sumber daya tersebut, baik
berupa dana publik atau sumber daya alam tertentu.
3. Fraud, merupakan suatu tindakan kejahatan ekonomi yang melibatkan penipuan
(trickery or swindle). Termasuk didalamnya proses manipulasi atau mendistorsi
informasi dan fakta dengan tujuan mengambil keuntungan-keuntungan tertentu.
4. Extortion, tindakan meminta uang atau sumber daya lainnya dengan cara paksa atau
disertai dengan intimidasi-intimidasi tertentu oleh pihak yang memiliki kekuasaan.
Lazimnya dilakukan oleh mafia-mafia lokal dan regional.
5. Favouritism, adalah mekanisme penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi pada
tindakan privatisasi sumber daya.
6. Melanggar hukum yang berlaku dan merugikan negara.
7. Serba kerahasiaan, meskipun dilakukan secara kolektif atau korupsi berjamaah.
Jenis korupsi yang lebih operasional juga diklasifikasikan oleh tokoh reformasi, M.
Amien Rais yang menyatakan sedikitnya ada empat jenis korupsi, yaitu (Anwar,
2006:18):
1. Korupsi ekstortif, yakni berupa sogokan atau suap yang dilakukan pengusaha kepada
penguasa.
2. Korupsi manipulatif, seperti permintaan seseorang yang memiliki kepentingan
ekonomi kepada eksekutif atau legislatif untuk membuat peraturan atau UU yang
menguntungkan bagi usaha ekonominya.
3. Korupsi nepotistik, yaitu terjadinya korupsi karena ada ikatan kekeluargaan,
pertemanan, dan sebagainya.
4. Korupsi subversif, yakni mereka yang merampok kekayaan negara secara sewenang-
wenang untuk dialihkan ke pihak asing dengan sejumlah keuntungan pribadi.
Diantara model-model korupsi yang sering terjadi secara praktis adalah: pungutan
liar, penyuapan, pemerasan, penggelapan, penyelundupan, pemberian (hadiah atau
hibah) yang berkaitan dengan jabatan atau profesi seseorang.
Jeremy Pope (2007: xxvi) mengutip dari Gerald E. Caiden dalam Toward a
General Theory of Official Corruption menguraikan secara rinci bentuk-bentuk
korupsi yang umum dikenal, yaitu:
Dalam perspektif agama korupsi dipandang sebagai suatu perbuatan yang sangat
tercela. Dalam perspektif ajaran islam, korupsi termasuk perbuatan fasad atau
perbuatan yang merusak kemslahatan, kemanfaatan hidup, dan tatanan kehidupan.
Pelakunya dikategorikan melakukan jinayah kubro (dosa besar). Dalam konteks
ajaran islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan
prinsip keadilan (al-‘adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab.[6]
Dalam perspektif sosial korupsi dipandang suatu perbuatan yang dapat meningkatkan
angka kemiskinan, perusakan moral bangsa, hilangnya rasa percaya terhadap
pemerintah, akan timbul kesenjangan dalam pelayanan umum dan menurunnya
kepercayaan pemerintah dalam pandangan masyarakat. Dalam sistem ini, menerima
sesuatu dari rakyat, walaupun untuk rakyat itu sendiri harus berkorban dan menderita,
tanpa diketahui oleh rakyat itu sendiri mereka telah diperlakukan tidak adil oleh
oknum-oknum korupsi yang tidak bertanggung jawab, merupakan perbuatan tercela
dan penerimaan itu jelas dapat dimasukkan sebagai perbuatan korupsi.
Dalam perspektif budaya korupsi dipandang suatu perbuatan yang akan membentuk
pandangan buruk terhadap reputasi negara, dan secara perlahan akan memutus budaya
luhur bangsa. Almarhum Dr. Mohammad Hatta yang ahli ekonomi pernah
mengatakan bahwa korupsi adalah masalah budaya. Pernyataan bung Hatta tersebut
dapat diartikan bahwa korupsi di Indonesia tidak mungkin diberantas kalau
masyarakat secara keseluruhan tidak bertekad untuk memberantasnya.
Masalah hukum dapat ditangani dengan hukum, sedangkan masalah budaya tentu saja
ditangani dengan tindakan – tindakan dibidang kebudayaan juga. Inilah hal yang tidak
mudah. Berbeda kalau masyarakat secara keseluruhan sudah menganut ukuran yang
sama dalam hal rasa keadilan, maka usaha pengenalan dan pengendalian korupsi akan
jauh lebih mudah.
Dalam perspektif teknologi korupsi dipandang sebagai sesuatu yang dapat
menghambat perkembangan teknologi yang ada, penyalahgunaan tindakan yang
merugikan negara, dan terorisme yang terus merajalela.
Dalam perspektif hukum korupsi menimbulkan pandangan ketidak konsistenan
terhadap hukum yang berlaku, timbul pandangan bahwa hukum bisa diperjual belikan,
kepercayaan masyarakat terhadap hukum menurun, timbul gambaran orang-orang
yang berkuasa dan kaya sebagai pemilik hukum, timbul pemikiran bahwa hukum
terlalu bobrok, dan timbul rasa ketidakadilan didalam diri masyarakat.
Dalam perspektif politik korupsi dapat mempersulit demokrasi dan tata cara
pemerintahan yang baik dengan cara menghancurkan proses formal, sistem politik
akan terganggu cenderung tidak dipercaya oleh masyarakat, akan timbul aklamasi-
aklamasi untuk menguatkan kekuatan politik (menjaga keberlangsungan korupsi) dan
akan timbul ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga-lembaga politik.
Dalam perspektif ekonomi korupsi berdampak pada pembangunan infrastruktur yang
tidak merata, tidak sesuai dengan yang dianggarkan sebelumnya. Pemerataan
pendapatan yang buruk, membuat pengusaha asing takut untuk berinvestasi di
Indonesia, pendapatan negara mengalami penurunan dan membuat beban lebih berat
pada masyarakat.
2.4 Sejarah dan Ruang Lingkup Korupsi
Asal mula berkembangnya korupsi barangkali dapat ditemukan sumbernya pada
fenomena sistem pemerintahan monarki absolut tradisional yang berlandaskan pada budaya
feodal. Pada masa lalu, tanah-tanah di wilayah suatu negara atau kerajaan adalah milik
mutlak raja, yang kemudian diserahkan kepada para pangeran dan bangsawan,
yang ditugasi untuk memungut pajak, sewa dan upeti dari rakyat yang menduduki tanah
tersebut. Disamping membayar dalam bentuk uang atau in natura, sering pula rakyat
diharuskan membayar dengan hasil bumi serta dengan tenaga kasar, yakni bekerja untuk
memenuhi berbagai keperluan sang raja atau penguasa. Elite penguasa yang merasa diri
sebagai golongan penakluk, secara otomatis juga merasa memiliki hak atas harta benda
dan nyawa rakyat yang ditaklukkan. Hak tersebut biasanya diterjemahkan dalam tuntutan
yang berupa upeti dan tenaga dari rakyat (Onghokham, 1995).
Seluruh upeti yang masuk ke kantong para pembesar ini selain dipergunakan untuk
memenuhi kebutuhan pembesar itu sendiri, pada dasarnya juga berfungsi sebagai pajak yang
dipergunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan negara. Hanya saja, belum ada lembaga
yang secara resmi ditunjuk sebagai pengumpul pajak, sehingga para pembesar
atau pejabat tadi juga merangkap sebagai pengumpul dana (revenue gathering). Parahnya,
kedudukan dalam pemerintahan sebagai pembesar atau pejabat ini dapat diperjualbelikan
(venality of office), yang menyebabkan pembeli jabatan tadi berusaha untuk mencari
kompensasi atas uang yang telah dikeluarkannya dengan memungut
upeti sebesar-besarnya dari rakyat.
Pada masa-masa sesudahnya, kondisi ini ternyata memperkuat sistem patron – client,
bapak anak, atau kawula ? gusti, dimana seorang pembesar sebagai patron harus dapat
memenuhi harapan rakyatnya, tentu saja dengan adanya jasa-jasa timbal balik dari rakyat
sebagai client-nya. Hubungan patron – client ini merupakan salah satu sumber
korupsi, sebab seorang pejabat untuk membuktikan efektivitasnya harus selalu berbuat
sesuatu tanpa menghiraukan apakah ini untuk kepentingan umum atau kepentingan kelompok
bahkan perorangan, yakni para anak buah yang seringkali adalah saudaranya sendiri. Selain
itu, sistem patron ? client juga menjadi faktor perusak koordinasi dan
kerjasama antar para penguasa, dimana timbul kecenderungan persaingan antara para
penguasa, dimana timbul kecenderungan persaingan antara para pejabat untuk
menganakemaskan orangnya. disinilah faksionalisme dikalangan elite menjadi
berkepanjangan.
Korupsi yang sekarang merajalela di Indonesia, berakar pada masa tersebut ketika
kekuasaan bertumpu pada birokrasi patrimonial (Weber) yang berkembang pada kerangka
kekuasaan feodal dan memungkinkan suburnya nepotisme. Dalam struktur kekuasaan yang
demikian, maka penyimpangan, penyuapan, korupsi dan pencurian akan dengan mudah
berkembang (Mochtar Lubis, 1995).
Dalam perkembangan selanjutnya, dapat dilihat bahwa ruang lingkup korupsi tidak
terbatas pada hal-hal yang sifatnya penarikan pungutan dan nepotisme yang parah, melainkan
juga kepada hal-hal lain sepanjang perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Selain itu juga dapat dikategorikan kedalam
perbuatan korupsi adalah setiap pemberian yang dikaitkan dengan kedudukan atau jabatan
tertentu. UU Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
menentukan bahwa seseorang dianggap melakukan tindak pidana korupsi
apabila :
1. Secara melawan hukum melakukan perbuatan atau memperkaya diri sendiri atau
2. orang lain, atau sesuatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
3. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau sesuatu badan,
4. menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
5. Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat sesuatu
kekuasaan dan kewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukannya. Termasuk
dalam hal ini adalah siapa saja yang tanpa alas an yang wajar, tidak melaporkan
pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya setelah menerima suatu pemberian atau janji.
Bahkan untuk mencegah terjadinya korupsi, usaha-usaha percobaan atau permufakatan untuk
melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut diatas, sudah dianggap sebagai perbuatan
korupsi. Adapun dari segi tipologi, Alatas (1987) membagi korupsi kedalam tujuh jenis yang
berlainan. Ketujuh jenis korupsi itu adalah sebagai berikut :
Bratsis, Peter. 2003. The Contruction of Corruption, or Rules of Separation and Illusions of
Purity In Bougeois Societies. Terjemahan Bebas. Social Text 77, Vol. 21, No. 4, Duke
University Press, 2003
https://yuokysurinda.wordpress.com/2017/01/02/mengenal-ciri-ciri-perbuatan-korupsi/
Diakses pada tanggal 16 oktober 2018
https://endriputro.wordpress.com/2009/09/24/ruang-lingkup-korupsi-di-negara-berkembang/
Diakses pada tanggal 16 oktober 2018
http://www.ngelmu.id/pengertian-korupsi/
Diakses pada tanggal 16 oktober 2018