Вы находитесь на странице: 1из 20

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “KONSEP DASAR KORUPSI”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan
pendengar.

Garut, 16 Oktober 2018

penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ...................................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................................1
1.3 Tujuan ...............................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Korupsi.............................................................................................................3


2.2 Ciri-Ciri, Bentuk dan Jenis Korupsi..................................................................................3
2.3 Korupsi Dalam Berbagai Perspektif ..................................................................................4
2.4 Sejarah dan Ruang Lingkup Korupsi .................................................................................5
2.5 Sebab-Sebab dan Dampak Korupsi ...................................................................................6
2.6 Penyebab Terjadinya Korupsi ............................................................................................7

BAB III PENUTUP

Kesimpulan ...............................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya
dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagaisuatu proses perubahan yang
direncanakan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan
pembangunan terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber daya manusia, yakni (orang-
orang yang terlibatsejak dari perencanaan samapai pada pelaksanaan) dan pembiayaan.
Diantaradua faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor manusianya.Indonesia
merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber
daya alamnya. Tetapi ironisnya, negaratercinta ini dibandingkan dengan negara lain di
kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah negara yang kaya malahan termasuk negara yang
miskin.Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya
manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi
juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat
kejujuran dari aparat penyelenggara negara menyebabkan terjadinya korupsi.Korupsi di
Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi social (penyakit social) yang sangat
berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara yang sangat
besar. Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan
pengurasankeuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggotalegislatif
dengan dalih studi banding, THR, uang pesangon dan lainsebagainya di luar batas kewajaran.
Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan negara demikian terjadi hampir di seluruh
wilayah tanah air. Hal itumerupakan cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu, sehingga
yang menonjol adalah sikap kerakusan dan aji mumpung. Persoalannya adalah dapatkah
korupsi diberantas? Tidak ada jawaban lain kalau kita ingin maju, adalah korupsi harus
diberantas. Jika kita tidak berhasil memberantas korupsi,atau paling tidak mengurangi sampai
pada titik nadir yang paling rendahmaka jangan harap Negara ini akan mampu mengejar
ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara yang maju.
Karenakorupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat membawa negara ke
jurang kehancuran.
1.2 Rumusan masalah
 Apa pengertian korupsi ?
 Apa saja Ciri-Ciri, Bentuk dan Jenis Korupsi ?
 Bagaimana Korupsi Dalam Berbagai Perspektif
 Bagaimana Sejarah dan Ruang Lingkup Korupsi ?
 Apa saja Sebab-Sebab dan Dampak Korupsi ?
 Bagaimana Penyebab Terjadinya Korupsi ?

1.3 Tujuan
 Untuk mengetahui pengertian korupsi
 Untuk mengetahui Apa saja Ciri-Ciri, Bentuk dan Jenis Korupsi
 Untuk mengetahui Bagaimana Korupsi Dalam Berbagai Perspektif
 Untuk mengetahui Bagaimana Sejarah dan Ruang Lingkup Korupsi
 Untuk mengetahui Apa saja Sebab-Sebab dan Dampak Korupsi
 Untuk mengetahui Bagaimana Penyebab Terjadinya Korupsi
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Korupsi


Secara etimologi Korupsi atau rasuah berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata
kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok adalah
tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat
dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan
publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Pengertian Korupsi Menurut UU No.24 Tahun 1960 adalah perbuatan seseorang, yang
dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau dilakukan dengan menyalah gunakan
jabatan atau kedudukan.
Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah: “Setiap orang yang
dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri,
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
Pengertian Korupsi Menurut UU No. 20 Tahun 2001 adalah tindakan melawan hukum
dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korupsi yang berakibat merugikan
negara atau perekonomian negara
Sedangkan menurut Guy Benveniste dengan cantik memberikan pengertian korupsi
menjadi tiga bagian yaitu korupsi ilegal (corruption illegal), mercenery corruption dan
ideological corruption (korupsi ideologis).
Pengertian illegal corruption (illegal corruption) adalah suatu jenis tindakan yang
membongkar atau mengacaukan, bahasa ataupun maksud maksud hukum, peraturan dan
regulasi tertentu. Efektivitas untuk jenis korupsi ini bisa diukur. Namun ia jauh lebih mudah
untuk dikendalikan.
Kemudian pengertian mercenary corruption adalah sejenis korupsi dengan maksud
untuk memperoleh keuntungan individual / pribadi. Umumnya korupsi jenis ini banyak
digunakan oleh kompetitor politik dalam suksesi ataupun kampanye politik.
Kemudian pengertian korupsi ideologis (ideological corruption) adalah korupsi yang
dilakukan lebih karena kepentingan kelompok, karena komitmen ideologis seseorang yang
mulai tertanam diatas nama kelompok tertentu. Ummnya korupsi ideologis sangat sulit
dilacak dan diketahui secara material.
Secara umum, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi
untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah, pemerintahan rentan korupsi dalam
prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai
dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah
kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura
bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Pengertian Korupsi Menurut Ilmu Politik : Dalam ilmu politik, korupsi didefinisikan
sebagai penyalahgunaan jabatan dan administrasi, ekonomi atau politik, baik yang
disebabkan oleh diri sendiri maupun orang lain, yang ditujukan untuk memperoleh
keuntungan pribadi, sehingga meninmbulkan kerugian bagi masyarakat umum, perusahaan,
atau pribadi lainnya.
Pengertian Korupsi Menurut Ahli Ekonomi : Para ahli ekonomi menggunakan definisi
yang lebih konkret. Korupsi didefinisikan sebagai pertukaran yang menguntungkan (antara
prestasi dan kontraprestasi, imbalan materi atau nonmateri), yang terjadi secara diam-diam
dan sukarela, yang melanggar norma-norma yang berlaku, dan setidaknya merupakan
penyalahgunaan jabatan atau wewenang yang dimiliki salah satu pihak yang terlibat dalam
bidang umum dan swasta.
Pengertian Korupsi Menurut Haryatmoko : Korupsi adalah upaya campur tangan
menggunakan kemampuan yang didapat dari posisinya untuk menyalahgunakan informasi,
keputusan, pengaruh, uang atau kekayaan demi kepentingan keuntungan dirinya.
Pengertian Korupsi Menurut Brooks : Menurut Brooks, korupsi adalah dengan
sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban, atau
tanpa keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi.

2.2 Ciri-Ciri, Bentuk dan Jenis Korupsi


Tindak pidana korupsi dalam berbagai bentuk mencakup pemerasan, penyuapan dan
gratifikasi pada dasarnya telah terjadi sejak lama dengan pelaku mulai dari pejabat negara
sampai pegawai yang paling rendah. Korupsi pada hakekatnya berawal dari suatu kebiasaan
(habit) yang tidak disadari oleh setiap aparat, mulai dari kebiasaan menerima upeti, hadiah,
suap, pemberian fasilitas tertentu ataupun yang lain dan pada akhirnya kebiasaan tersebut
lama-lama akan menjadi bibit korupsi yang nyata dan dapat merugikan keuangan negara.
 Ciri-Ciri Korupsi

Berbicara mengenai Ciri-ciri korupsi, Syed Hussein Alatas memberikan ciri-ciri korupsi,
sebagai berikut :
1. Ciri korupsi selalu melibatkan lebih dari dari satu orang. Inilah yang membedakan
antara korupsi dengan pencurian atau penggelapan.
2. Ciri korupsi pada umumnya bersifat rahasia, tertutup terutama motif yang
melatarbelakangi perbuan korupsi tersebut.
3. Ciri korupsi yaitu melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
Kewajiban dan keuntungan tersebut tidaklah selalu berbentuk uang.
4. Ciri korupsi yaitu berusaha untuk berlindung dibalik pembenaran hukum.
5. Ciri korupsi yaitu mereka yang terlibat korupsi ialah mereka yang memiliki
kekuasaan atau wewenang serta mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
6. Ciri korupsi yaitu pada setiap tindakan mengandung penipuan, biasanya pada badan
publik atau pada masyarakat umum.
7. Ciri korupsi yaitu setiap bentuknya melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari
mereka yang melakukan tindakan tersebut.
8. Ciri korupsi yaitu dilandaskan dengan niat kesengajaan untuk menempatkan
kepentingan umum di bawah kepentingan pribadi.

Sedangkan Ciri – Ciri Perbuatan Korupsi Secara Umum


1. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;
2. Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan, kecuali ia telah begitu
merajalela, dan begitu mendalam berurat akar, sehingga individu-individu yang
berkuasa, atau mereka yang berada daalam lingkungannya tidak tergoda untuk
menyembunyikan perbuatan mereka;
3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik;
4. Mereka yang mempraktikkan cara – cara korupsi biasanya berusaha untuk
menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum;
5. Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan –
keputusan yang tegas dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan –
keputusan itu;
6. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan biasanya pada badan publik atau
masyarakat umum;
7. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan;
8. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang
melakukan tindakan itu ;
9. Korupsi tidak hanya berlaku di kalangan pegawai negeri atau anggota birokrasi
negara, korupsi juga terjadi di organisasi usaha swasta;
10. Korupsi dapat mengambil bentuk menerima sogok, uang kopi, salam tempel, uang
semir, uang pelancar, baik dalam bentuk uang tunai atau benda atau pun wanita;
11. Setiap perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban
dalam tatanan masyarakat,
12. Di bidang swasta, korupsi dapat berbentuk menerima pembayaran uang dan
sebagainya, untuk membuka rahasia perusahaan tempat seseorang bekerja, mengambil
komisi yang seharusnya hak perusahaan.

 Beberapa bentuk korupsi diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Penyuapan (bribery) mencakup tindakan memberi dan menerima suap, baik berupa
uang maupun barang.
2. Embezzlement, merupakan tindakan penipuan dan pencurian sumber daya yang
dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang mengelola sumber daya tersebut, baik
berupa dana publik atau sumber daya alam tertentu.
3. Fraud, merupakan suatu tindakan kejahatan ekonomi yang melibatkan penipuan
(trickery or swindle). Termasuk didalamnya proses manipulasi atau mendistorsi
informasi dan fakta dengan tujuan mengambil keuntungan-keuntungan tertentu.
4. Extortion, tindakan meminta uang atau sumber daya lainnya dengan cara paksa atau
disertai dengan intimidasi-intimidasi tertentu oleh pihak yang memiliki kekuasaan.
Lazimnya dilakukan oleh mafia-mafia lokal dan regional.
5. Favouritism, adalah mekanisme penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi pada
tindakan privatisasi sumber daya.
6. Melanggar hukum yang berlaku dan merugikan negara.
7. Serba kerahasiaan, meskipun dilakukan secara kolektif atau korupsi berjamaah.
 Jenis korupsi yang lebih operasional juga diklasifikasikan oleh tokoh reformasi, M.
Amien Rais yang menyatakan sedikitnya ada empat jenis korupsi, yaitu (Anwar,
2006:18):

1. Korupsi ekstortif, yakni berupa sogokan atau suap yang dilakukan pengusaha kepada
penguasa.
2. Korupsi manipulatif, seperti permintaan seseorang yang memiliki kepentingan
ekonomi kepada eksekutif atau legislatif untuk membuat peraturan atau UU yang
menguntungkan bagi usaha ekonominya.
3. Korupsi nepotistik, yaitu terjadinya korupsi karena ada ikatan kekeluargaan,
pertemanan, dan sebagainya.
4. Korupsi subversif, yakni mereka yang merampok kekayaan negara secara sewenang-
wenang untuk dialihkan ke pihak asing dengan sejumlah keuntungan pribadi.

Diantara model-model korupsi yang sering terjadi secara praktis adalah: pungutan
liar, penyuapan, pemerasan, penggelapan, penyelundupan, pemberian (hadiah atau
hibah) yang berkaitan dengan jabatan atau profesi seseorang.
Jeremy Pope (2007: xxvi) mengutip dari Gerald E. Caiden dalam Toward a
General Theory of Official Corruption menguraikan secara rinci bentuk-bentuk
korupsi yang umum dikenal, yaitu:

1. Berkhianat, subversif, transaksi luar negeri ilegal, penyelundupan.


2. Penggelapan barang milik lembaga, swastanisasi anggaran pemerintah, menipu dan
mencuri.
3. Penggunaan uang yang tidak tepat, pemalsuan dokumen dan penggelapan uang,
mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak,
menyalahgunakan dana.
4. Penyalahgunaan wewenang, intimidasi, menyiksa, penganiayaan, memberi ampun
dan grasi tidak pada tempatnya.
5. Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah, mencurangi dan memperdaya,
memeras.
6. Mengabaikan keadilan, melanggar hukum, memberikan kesaksian palsu, menahan
secara tidak sah, menjebak.
7. Tidak menjalankan tugas, desersi, hidup menempel pada orang lain seperti benalu.
8. Penyuapan dan penyogokan, memeras, mengutip pungutan, meminta komisi.
9. Menjegal pemilihan umum, memalsukan kartu suara, membagi-bagi wilayah
pemilihan umum agar bisa unggul.
10. Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk kepentingan pribadi;
membuat laporan palsu.
11. Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintah, dan surat izin
pemrintah.
12. Manipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak, dan pinjaman uang.
13. Menghindari pajak, meraih laba berlebih-lebihan.
14. Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, konflik kepentingan.
15. Menerima hadiah, uang jasa, uang pelicin dan hiburan, perjalanan yang tidak pada
tempatnya.
16. Berhubungan dengan organisasi kejahatan, operasi pasar gelap.
17. Perkoncoan, menutupi kejahatan.
18. Memata-matai secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunikasi dan pos.
19. Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan, dan hak istimewa
jabatan.

2.3 Korupsi Dalam Berbagai Perspektif

 Dalam perspektif agama korupsi dipandang sebagai suatu perbuatan yang sangat
tercela. Dalam perspektif ajaran islam, korupsi termasuk perbuatan fasad atau
perbuatan yang merusak kemslahatan, kemanfaatan hidup, dan tatanan kehidupan.
Pelakunya dikategorikan melakukan jinayah kubro (dosa besar). Dalam konteks
ajaran islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan
prinsip keadilan (al-‘adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab.[6]
 Dalam perspektif sosial korupsi dipandang suatu perbuatan yang dapat meningkatkan
angka kemiskinan, perusakan moral bangsa, hilangnya rasa percaya terhadap
pemerintah, akan timbul kesenjangan dalam pelayanan umum dan menurunnya
kepercayaan pemerintah dalam pandangan masyarakat. Dalam sistem ini, menerima
sesuatu dari rakyat, walaupun untuk rakyat itu sendiri harus berkorban dan menderita,
tanpa diketahui oleh rakyat itu sendiri mereka telah diperlakukan tidak adil oleh
oknum-oknum korupsi yang tidak bertanggung jawab, merupakan perbuatan tercela
dan penerimaan itu jelas dapat dimasukkan sebagai perbuatan korupsi.
 Dalam perspektif budaya korupsi dipandang suatu perbuatan yang akan membentuk
pandangan buruk terhadap reputasi negara, dan secara perlahan akan memutus budaya
luhur bangsa. Almarhum Dr. Mohammad Hatta yang ahli ekonomi pernah
mengatakan bahwa korupsi adalah masalah budaya. Pernyataan bung Hatta tersebut
dapat diartikan bahwa korupsi di Indonesia tidak mungkin diberantas kalau
masyarakat secara keseluruhan tidak bertekad untuk memberantasnya.
Masalah hukum dapat ditangani dengan hukum, sedangkan masalah budaya tentu saja
ditangani dengan tindakan – tindakan dibidang kebudayaan juga. Inilah hal yang tidak
mudah. Berbeda kalau masyarakat secara keseluruhan sudah menganut ukuran yang
sama dalam hal rasa keadilan, maka usaha pengenalan dan pengendalian korupsi akan
jauh lebih mudah.
 Dalam perspektif teknologi korupsi dipandang sebagai sesuatu yang dapat
menghambat perkembangan teknologi yang ada, penyalahgunaan tindakan yang
merugikan negara, dan terorisme yang terus merajalela.
 Dalam perspektif hukum korupsi menimbulkan pandangan ketidak konsistenan
terhadap hukum yang berlaku, timbul pandangan bahwa hukum bisa diperjual belikan,
kepercayaan masyarakat terhadap hukum menurun, timbul gambaran orang-orang
yang berkuasa dan kaya sebagai pemilik hukum, timbul pemikiran bahwa hukum
terlalu bobrok, dan timbul rasa ketidakadilan didalam diri masyarakat.
 Dalam perspektif politik korupsi dapat mempersulit demokrasi dan tata cara
pemerintahan yang baik dengan cara menghancurkan proses formal, sistem politik
akan terganggu cenderung tidak dipercaya oleh masyarakat, akan timbul aklamasi-
aklamasi untuk menguatkan kekuatan politik (menjaga keberlangsungan korupsi) dan
akan timbul ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga-lembaga politik.
 Dalam perspektif ekonomi korupsi berdampak pada pembangunan infrastruktur yang
tidak merata, tidak sesuai dengan yang dianggarkan sebelumnya. Pemerataan
pendapatan yang buruk, membuat pengusaha asing takut untuk berinvestasi di
Indonesia, pendapatan negara mengalami penurunan dan membuat beban lebih berat
pada masyarakat.
2.4 Sejarah dan Ruang Lingkup Korupsi
Asal mula berkembangnya korupsi barangkali dapat ditemukan sumbernya pada
fenomena sistem pemerintahan monarki absolut tradisional yang berlandaskan pada budaya
feodal. Pada masa lalu, tanah-tanah di wilayah suatu negara atau kerajaan adalah milik
mutlak raja, yang kemudian diserahkan kepada para pangeran dan bangsawan,
yang ditugasi untuk memungut pajak, sewa dan upeti dari rakyat yang menduduki tanah
tersebut. Disamping membayar dalam bentuk uang atau in natura, sering pula rakyat
diharuskan membayar dengan hasil bumi serta dengan tenaga kasar, yakni bekerja untuk
memenuhi berbagai keperluan sang raja atau penguasa. Elite penguasa yang merasa diri
sebagai golongan penakluk, secara otomatis juga merasa memiliki hak atas harta benda
dan nyawa rakyat yang ditaklukkan. Hak tersebut biasanya diterjemahkan dalam tuntutan
yang berupa upeti dan tenaga dari rakyat (Onghokham, 1995).
Seluruh upeti yang masuk ke kantong para pembesar ini selain dipergunakan untuk
memenuhi kebutuhan pembesar itu sendiri, pada dasarnya juga berfungsi sebagai pajak yang
dipergunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan negara. Hanya saja, belum ada lembaga
yang secara resmi ditunjuk sebagai pengumpul pajak, sehingga para pembesar
atau pejabat tadi juga merangkap sebagai pengumpul dana (revenue gathering). Parahnya,
kedudukan dalam pemerintahan sebagai pembesar atau pejabat ini dapat diperjualbelikan
(venality of office), yang menyebabkan pembeli jabatan tadi berusaha untuk mencari
kompensasi atas uang yang telah dikeluarkannya dengan memungut
upeti sebesar-besarnya dari rakyat.
Pada masa-masa sesudahnya, kondisi ini ternyata memperkuat sistem patron – client,
bapak anak, atau kawula ? gusti, dimana seorang pembesar sebagai patron harus dapat
memenuhi harapan rakyatnya, tentu saja dengan adanya jasa-jasa timbal balik dari rakyat
sebagai client-nya. Hubungan patron – client ini merupakan salah satu sumber
korupsi, sebab seorang pejabat untuk membuktikan efektivitasnya harus selalu berbuat
sesuatu tanpa menghiraukan apakah ini untuk kepentingan umum atau kepentingan kelompok
bahkan perorangan, yakni para anak buah yang seringkali adalah saudaranya sendiri. Selain
itu, sistem patron ? client juga menjadi faktor perusak koordinasi dan
kerjasama antar para penguasa, dimana timbul kecenderungan persaingan antara para
penguasa, dimana timbul kecenderungan persaingan antara para pejabat untuk
menganakemaskan orangnya. disinilah faksionalisme dikalangan elite menjadi
berkepanjangan.
Korupsi yang sekarang merajalela di Indonesia, berakar pada masa tersebut ketika
kekuasaan bertumpu pada birokrasi patrimonial (Weber) yang berkembang pada kerangka
kekuasaan feodal dan memungkinkan suburnya nepotisme. Dalam struktur kekuasaan yang
demikian, maka penyimpangan, penyuapan, korupsi dan pencurian akan dengan mudah
berkembang (Mochtar Lubis, 1995).
Dalam perkembangan selanjutnya, dapat dilihat bahwa ruang lingkup korupsi tidak
terbatas pada hal-hal yang sifatnya penarikan pungutan dan nepotisme yang parah, melainkan
juga kepada hal-hal lain sepanjang perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Selain itu juga dapat dikategorikan kedalam
perbuatan korupsi adalah setiap pemberian yang dikaitkan dengan kedudukan atau jabatan
tertentu. UU Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
menentukan bahwa seseorang dianggap melakukan tindak pidana korupsi
apabila :

1. Secara melawan hukum melakukan perbuatan atau memperkaya diri sendiri atau
2. orang lain, atau sesuatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.

3. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau sesuatu badan,
4. menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.

5. Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat sesuatu
kekuasaan dan kewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukannya. Termasuk
dalam hal ini adalah siapa saja yang tanpa alas an yang wajar, tidak melaporkan
pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya setelah menerima suatu pemberian atau janji.

Bahkan untuk mencegah terjadinya korupsi, usaha-usaha percobaan atau permufakatan untuk
melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut diatas, sudah dianggap sebagai perbuatan
korupsi. Adapun dari segi tipologi, Alatas (1987) membagi korupsi kedalam tujuh jenis yang
berlainan. Ketujuh jenis korupsi itu adalah sebagai berikut :

1. Korupsi transaktif (transactive corruption), menunjuk kepada adanya kesepakatan


timbal balik antara pemberi dan pihak penerima, demi keuntungan kedua belah
pihak.
2. Korupsi yang memeras (extortive corruption),menunjuk adanya pemaksaan
3. pihak pemberi untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancan
dirinya, kepentingannya atau hal-hal yang dihargainya.
4. Korupsi investif (investive corruption), adalah pemberian barang atau jasa tanpa
adampertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang
dibayangkan akan diperoleh dimasa yang akan datang.
5. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption) adalah penunjukan yang tidak sah
terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan,
atau tindakan yang memberikan perlakuan istimewa secara bertentangan dengan
norma dan peraturan yang berlaku.
6. Korupsi defensif (defensive corruption) adalah perilaku korban korupsi dengan
pemerasan. Korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan diri.
7. Korupsi otogenik (autogenic corruption) yaitu korupsi yang dilakukan oleh
seseorang seorang diri.
8. Korupsi dukungan (supportive corruption) adalah korupsi yang dilakukan untuk
memperkuat korupsi yang sudah ada.

2.5 Sebab-Sebab dan Dampak Korupsi


Secara politis dan sosiokultural, permasalahan korupsi disebabkan oleh dua kondisi
pokok (Alatas, 1987). Pertama, sebagai akibat dari system birokrasi patrimonial yang tidak
mengenal perbedaan antara lingkup pribadi dengan lingkup resmi, maka pelaksanaan
pemerintahan dianggap sebagai urusan pribadi dan kekuasaan politik
dianggap sebagai bagian dari milik pribadinya, yang dapat dieksploitasi dengan cara menarik
berbagai sumbangan atau pungutan. Bahkan sebagian orang masih menganggap bahwa
pemerintah hanyalah merupakan perluasan belaka, sementara para pemimpin politik serta
birokrat sebagai tokoh-tokoh paternal, yang mana kenyataan ini menimbulkan harapan
terhadap hubungan timbal balik antara pemerintah dengan yang diperintah. Kedua, masih
kuatnya sistem persanakan atau kuatnya solidaritas kekerabatan dan kebiasaan saling
memberi hadiah antar keluarga dalam masyarakat.

Faktor-faktor penyebab timbulnya korupsi tersebut kelihatannya masih berada pada


tataran atau dimensi konsepsional yang abstrak sifatnya, sedangkan dalam tataran atau
dimensi praktis, yang sesungguhnya merupakan ‘faktor pemelihara’ terus berlangsungnya
korupsi, belum tersentuh. Dimensi praktis atau dapat dikatakan juga
aspek administratif penyebab munculnya korupsi adalah sebagai berikut :
1. Sistem administrasi yang belum sempurna untuk mencegah kebocoran. Dalam sistem
manajemen yang baik, fungsi-fungsi perencanaan, pengelolaan / pelaksanaan dan
evaluasi / pengawasan haruslah merupakan suatu sistem yang
integral dan tidak berdiri sendiri. Ini dimaksudkan agar fungsi-fungsi tersebut dapat
menjadi instrumen yang efektif dalam upaya mencapai tujuan organisasi, sekaligus
untuk memastikan bahwa pengelolaan organisasi telah sesuai dengan perencanaan
yang disusun sebelumnya. Jika salah satu fungsi manajemen tadi tidak berjalan ?
misalnya fungsi pengawasannya ? maka dapat diperkirakan bahwa organisasi sedang
menghadapi suatu masalah serius. Kebocoran, pemborosan maupun kesalahan-
kesalahan administrasi lainnya mengindikasikan bahwa sistem
administrasi yang ada belum berfungsi dengan baik.
2. Tingkat kesejahteraan aparatur yang masih dibawah standar. Ada suatu mitos yang
berkembang bahwa Pegawai Negeri atau aparatur adalah pejuang bangsa, abdi negara
dan abdi masyarakat. Oleh karena itu, merupakan hal
yang tabu apabila seorang aparatur lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan
sehari-harinya dibandingkan pengabdiannya. Hal ini menjadi semacam pembenar
mengenai rendahnya penghasilan pegawai negeri. Dengan penghasilan yang pas-
pasan, sementara diluar lingkungannya banyak terjadi kemewahan yang
diperlihatkan oleh para pengusaha dan pejabat tinggi, maka terjadilah kesenjangan
antara kelompok yang memiliki fasilitas, lobby maupun monopoli disatu pihak
dengan aparatur kebanyakan dilain pihak. Selain itu terjadi kesenjangan pula antara
penghasilan yang diterimanya setiap bulan dengan biaya kebutuhan yang harus
dikeluarkan. Berbagai kesenjangan inilah yang mendorong aparatur untuk
menyeleweng manakala ada kesempatan untuk itu.
3. Sanksi hukum secara konkrit belum maksimal dan sulit ditegakkan. Meskipun sudah
ada peraturan yang secara khusus mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana
korupsi, namun dalam implementasinya sulit untuk
ditegakkan. Ini terkait dengan kemauan politik pemerintah yang belum
memperlihatkan secara serius niat untuk memerangi korupsi yang ada di negaranya.
Sering dipakainya hak Mahkamah Agus untuk mendefonir atau menghentikan
penuntutan dengan alasan kepentingan umum, semakin memperlihatkan keengganan
pemerintah untuk memberantas korupsi tadi. Secara sosiologis keadaan seperti ini
terkait dengan sistem birokrasi patrimonial sebagaimana telah disinggung diatas.
Pemberantasan terhadap korupsi bias berarti juga memerangi sanak saudara atau
dirinya sendiri.
4. Kecenderungan kolusi yang sulit dibuktikan. Masih dalam konteks birokrasi
patrimonial dan rendahnya tingkat kesejahteraan aparatur, kesemuanya ini membawa
kepada kecenderungan terjadinya kolusi antara
penguasa dengan pengusaha, atau antara birokrat dengan konglomerat. Dalam
prakteknya, fakta adanya kolusi hanya bisa diketahui secara formil, sedangkan
kebenaran materiilnya sangat sulit untuk dibuktikan. Disinilah diperlukan
pembaharuan sistem hukum yang semata-mata mengandalkan kebenaran formil dalam
pembuktiannya, tetapi juga harus memperhatikan perasaan keadilan dalam
masyarakat secara materiil.

2.6 Penyebab Terjadinya Korupsi


Apapun faktor penyebab terjadinya korupsi, yang pasti kegiatan tersebut membawa
dampak, akibat atau pengaruh yang sangat negatif. Meskipun ada beberapa sarjana yang
mengemukakan akibat positif dari korupsi, tetapi jelas bahwa akibat negatifnya jauh lebih
parah dibanding positifnya. Adapun dampak negatif dari korupsi itu menurut David Bailey
dalam tulisannya yang berjudul The Effect of Corruption in a Developing Nations (dalam
Western Political Quarterly, 1960) adalah sebagai berikut :
1. Korupsi merupakan kegagalan pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan yang
ditetapkannya. Misalnya jika lisensi untuk perusahaan-perusahaan dalam negeri
direncanakan untuk menjamin agar sumber-sumber yang langka dimanfaatkan untuk
proyek-proyek yang mendapat prioritas utama dalam segi pembinaan pembangunan
ekonomi jangka panjang, maka korupsi menyebabkan kerugian karena menghalangi
pembangunan ekonomi secara keseluruhan.
2. Korupsi menyebabkan kenaikan biaya administrasi.
3. Jika korupsi terjadi dalam bentuk komisi, akan mengakibatkan berkurangnya jumlah
dana yang seharusnya dipakai untuk keperluan masyarakat umum. ini merupakan
pengalihan sumber-sumber kepentingan umum untuk keperluan perorangan.
4. Korupsi mempunyai pengaruh buruk pada pejabat-pejabat lain dari aparat
pemerintahan. Korupsi dalam hal ini menyebabkan merosotnya moral dan akhlak,
karena setiap orang berpikir, mengapa hanya ia saja yang harus menjunjung akhlak
yang tinggi.
5. Korupsi menurunkan martabat penguasa dalam pandangan khalayak umum, serta
mengurangi kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
6. Dengan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap keadilan sikap pejabat
pemerintah, timbullah keinginan akan hubungan-hubungan khusus guna
mengumpulkan ‘bobot’ yang cukup untuk membuyarkan tuntutan-tuntutan yang
sama dari orang lain.
7. Korupsi menyebabkan keputusan publik dipertimbangkan berdasarkan uang dan
bukan berdasarkan kebutuhan manusia.
Disamping akibat-akibat korupsi seperti dikatakan Bayley, terdapat identifikasi
faktor-faktor pengaruh korupsi yang dilakukan oleh Alatas (1987). Menurutnya, korupsi
membawa pengaruh sebagai berikut:
1. Timbulnya ketidakefisienan yang menyeluruh didalam birokrasi.
2. Dalam bidang ekonomi, korupsi menimbulkan beban yang harus dipikul oleh
masyarakat. Sebagai implikasi dari tingginya korupsi misalnya, akan maembuat
harga-harga menjadi lebih mahal, disamping beban berupa pajak dan pungutan lain
yang sah. Selain itu, pengelakan pajak yang dilakukan oleh orang yang korup, harus
ditutup dengan pajak dari warga negara yang jujur. Selanjutnya, secara ekonomis
korupsi juga menaikkan biaya pelayanan, serta mengabaikan produktivitas dan
kesejahteraan rakyat.
3. Pengaruh lainnya seperti larinya tenaga ahli ke luar negeri, lahirnya berbagai
bentuk Ketidakadilan yang mempengaruhi pribadi-pribadi yang tidak terhitung
banyaknya,pemerintah yang mengabaikan tuntutan terhadap kelayakan pemerintahan,
sikap masa bodoh yang meluas, kelumpuhan psikologis dalam arti tidak terdapat
kreativitas kerja yang terbit dari suasana yang sehat, menyuburkan jenis kejahatan lain
dalam masyarakat, melemahnya semangat perangkat birokrasi dan mereka yang
menjadi korban, dan sebagainya.
Begitu dalam dan luasnya pengaruh atau akibat yang muncul dari korupsi, sehingga
dapat dikatakan bahwa korupsi seolah-olah merupakan penyakit menular yang sangat
ganas dan tidak mungkin bisa disembuhkan lagi. Kelihatannya korupsi sudah
menjalar kepada seluruh aspek kehidupan umat manusia dan menjangkiti seluruh
lapisan masyarakat, dari pucuk pimpinan pemerintahan hingga anggota masyarakat
kecil di pedesaan. Melihat begitu kompleksnya permasalahan korupsi ini, maka mau
tidak mau harus segera ditemukan langkah-langkah konkrit yang jitu untuk
mengatasinya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara etimologi Korupsi atau rasuah berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata
kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok adalah
tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat
dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan
publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Pengertian Korupsi Menurut UU No.24 Tahun 1960 adalah perbuatan seseorang, yang
dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau dilakukan dengan menyalah gunakan
jabatan atau kedudukan.
Secara umum, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi
untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah, pemerintahan rentan korupsi dalam
prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai
dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah
kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura
bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Beberapa bentuk korupsi diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Penyuapan (bribery) mencakup tindakan memberi dan menerima suap, baik berupa uang
maupun barang.
2. Embezzlement, merupakan tindakan penipuan dan pencurian sumber daya yang dilakukan
oleh pihak-pihak tertentu yang mengelola sumber daya tersebut, baik berupa dana publik
atau sumber daya alam tertentu.
3. Fraud, merupakan suatu tindakan kejahatan ekonomi yang melibatkan penipuan (trickery
or swindle). Termasuk didalamnya proses manipulasi atau mendistorsi informasi dan
fakta dengan tujuan mengambil keuntungan-keuntungan tertentu.
4. Extortion, tindakan meminta uang atau sumber daya lainnya dengan cara paksa atau
disertai dengan intimidasi-intimidasi tertentu oleh pihak yang memiliki kekuasaan.
Lazimnya dilakukan oleh mafia-mafia lokal dan regional.
5. Favouritism, adalah mekanisme penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi pada
tindakan privatisasi sumber daya.
6. Melanggar hukum yang berlaku dan merugikan negara.
7. Serba kerahasiaan, meskipun dilakukan secara kolektif atau korupsi berjamaah.
DAFTAR PUSTAKA

Jancsics, David. 2014. Interdisciplinary Perspectives on Corruption, CUNY Graduate Center


and Rutgers University– Newark

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2011 Pendidikan Anti-Korupsi untuk Perguruan


Tinggi.

Bratsis, Peter. 2003. The Contruction of Corruption, or Rules of Separation and Illusions of
Purity In Bougeois Societies. Terjemahan Bebas. Social Text 77, Vol. 21, No. 4, Duke
University Press, 2003

Alatas, Syed Hussein. 1975. Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP3ES

https://yuokysurinda.wordpress.com/2017/01/02/mengenal-ciri-ciri-perbuatan-korupsi/
Diakses pada tanggal 16 oktober 2018

https://endriputro.wordpress.com/2009/09/24/ruang-lingkup-korupsi-di-negara-berkembang/
Diakses pada tanggal 16 oktober 2018

http://www.ngelmu.id/pengertian-korupsi/
Diakses pada tanggal 16 oktober 2018

Вам также может понравиться