Вы находитесь на странице: 1из 34

BAB I

PENDAHULUAN

Perdarahan post partum adalah perdarahan yang terjadi setelah bayi lahir

yang melewati batas fisiologis normal yaitu perdarahan yang melebihi 500 ml dan

perdarahan yang mencapai 1000 ml, terjadi dalam 24 jam setelah lahir.1

Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan

bahwa angka kematian ibu (AKI) di Indonesia pada tahun 2012 masih tinggi

adalah 359 per 100.000 kelahiran hidup, AKI pada tahun 2012 meningkat jika

dibandingkan dengan AKI pada tahun 2007 yaitu 228 per 100.000. Angka ini

tidak terlalu signifikan dengan target global MDGs (Millenium Development

Goals) ke-5 adalah menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 102 per

100.000 kelahiran hidup. Penyebab kematian ibu adalah perdarahan, infeksi,

gestosis pre-eklamsia dan eklampsia. Hampir 30 persen kematian ibu di Indonesia

terjadi karena perdarahan post partum.3 Perdarahan post partum adalah penyebab

utama kematian ibu di negara-negara berkembang dan penyebab utama hampir

seperempat dari semua kematian global.1 Perdarahan yang masif berasal dari

tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir, dan jaringan sekitarnya.2

Sebagian besar kematian akibat perdarahan post partum terjadi selama 24

jam pertama setelah kelahiran, sebagian besar dapat dihindari melalui penggunaan

uterotonik profilaksis selama tahap ketiga persalinan dan dengan manajemen yang

tepat dan cepat.1 Perdarahan post partum bila tidak mendapat penanganan yang

1
semestinya akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu, serta proses

penyembuhan kembali.2 Meningkatkan perawatan kesehatan bagi wanita selama

persalinan untuk mencegah dan mengobati perdarahan post partum merupakan

langkah penting menuju pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium.1

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi perdarahan post partum

Perdarahan post partum adalah perdarahan yang terjadi setelah bayi lahir

yang melewati batas fisiologis normal. Pada umumnya seorang ibu melahirkan

akan mengeluarkan darah secara fisiologis sampai jumlah 500 ml tanpa

menyebabkan gangguan homeostasis. Dengan demikian secara konvensional

dikatakan bahwa perdarahan pervaginam yang melebihi 500 ml dapat

dikategorikan sebagai perdarahan post partum dan perdarahan abdominal yang

melebihi 1000 ml harus segera ditangani secara serius. Definisi baru mengatakan

bahwa setiap perdarahan yang yang dapat mengganggu homeostasis tubuh atau

mengakibatkan tanda hipovolemia termasuk dalam kategori perdarahan

postpartum.2,4

Berdasarkan terjadinya perdarahan post partum dapat dibagi menjadi

perdarahan post partum primer (early postpartum hemorrhage), yang terjadi

dalam 24 jam pertama dan biasanya disebabkan oleh atonia uteri, robekan jalan

lahir, hematoma dan lain-lain. Perdarahan post partum sekunder (late postpartum

hemorrhage) yang terjadi setelah 24 jam persalinan, biasanya oleh karena

tertinggalnya sebagian plasenta dan lain-lain.

3
2.2. Etiologi perdarahan post partum

Etiologi perdarahan post partum dibedakan atas2:

1. Perdarahan dari tempat implantasi plasenta


a. Hipotoni sampai atonia uteri
i. Akibat anestesi
ii. Distensi berlebihan (gemeli, anak besar, hidramanion)
iii. Partus lama, partus kasep
iv. Partus presipitatus/partus terlalu cepat
v. Multiparitas
vi. Korioamnionitis
vii. Pernah atonia sebelumnya
b. Sisa plasenta
i. Kotiledon atau selaput ketuban tersisa
ii. Plasenta susenturiata
iii. Plasneta akreta, inkreta, perkreta
2. Perdarahan karena robekan
a. Episiotomiyang melebar
b. Robekan pada perineum, vagina, dan serviks
c. Rupture uteri
3. Gangguan koagulasi
a. Jarang terjadi teteapi bisa memperburuk keadaan di atas, misalnya,

pada kasus trombofilia, sindroma HELLP, preeklmasia, solusio

plasenta, kematian janin dalam kandungan, dan emboli air

ketuban.2

2.2.1. Atonia uteri

Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/ kontraksi rahim yang

menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat

implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.2,10

Perdarahan karena atonia uteri dapat dicegah dengan melakukan secara rutin

menajemen kala III pada semua wanita yang bersalin karena hal ini dapat

4
menurunkan insiden perdarahan post partum akibat atonia uteri, dan pemberian

misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600μg) segera setelah bayi lahir.2,5

Faktor predisposisinya adalah sebagai berikut:

1. Regangan rahim berlebihan karena kehamilan gemeli, polihidroamnion,

atau anak terlalu besar.


2. Kelelahan karena persalinan lama atau persalinanan kasep
3. Kehamilan grande-multipara
4. Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemia, atau menderita penyakit

menahun
5. Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim
6. Infeksi intrauterine (korioamnionitis)
7. Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.

A. Diagnosis
Diagnosis ditegakan setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan masih

aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih

setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan

bahwa saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah

sebanyak 500-1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih

terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi

pemberian darah pengganti.2

Diagnosis biasanya tidak sulit, terutama bila timbul perdarahan banyak dalam

waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama, tanpa

disadari penderita telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat.

nadi dan pernafasan menjadi cepat, dan tekanan darah menurun. Diagnosis

perdarahan pasca persalinan.

1. Palpasi uterus: bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri.

5
2. Memeriksa plasenta dan ketuban apakah lengkap atau tidak.
3. Lakukan eksplorasi cavum uteri untuk mencari: sisa plasenta atau selaput
ketuban, robekan rahim, plasenta suksenturiata.
4. Inspekulo: untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises yang
pecah.
5. Pemeriksaan Laboratorium periksa darah yaitu Hb, COT (Clot
Observation Test), dll.

B. Tindakan

Sekali atonia uterus terdiagnosis, manajemen dapat dikategorikan


menjadi medikal, manipulatif, dan pembedahan. Banyaknya darah yang
hilang akan memperngaruhi keadaan umum pasien. Pasien bisa masih dalam
keadaan sadar, sedikit anemis atau sampai syok berat hipovolemik.
Tindakan pertama yang dilakukan tergantung pada keadaan kliniknya.
Tatalaksananya sebagai berikut:2,7,10

- Lakukan penilaian klinik


Pada umumnya dilakukan secara simultan (bila pasien syok) dengan
memposisikan pasien sikap trendelenburg, memasang venous line, dapat
memberikan oksigen.
- Sementara dilakukan pemasangan infus dan pemberian uterotonika,
merangsang kontraksi uterus dengan melakukan masase uterus dan
merangsang putting susu, segera setelah plasenta lahir, melakukan masase
pada fundus uteri dengan menggosok fundus secara sirkuler menggunakan
bagian palmar 4 jari tangan kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba
keras).

6
Gambar 1. Masase uterus
- Derivat oksitosin
Pada sebagian besar unit, setelah plasenta lahir, diberikan oksitosin intravena
atau intramuskular. Satu ampul 1 mL yang mengandung 10 unit Infus yang
biasa digunakan mengandung 10 atau 20 unit dicampur dalam 1000 ml
larutan ringer laktat. Secara intramuskular diberikan 10 unit. Waktu paruh
oksitosin yang diinduskan secara intravena sekitar 3 menit. Menurut
penelitian yang dilakukan oksitosin dapat menyebabkan perubahan
hemodiamik berupa penurunan tekanan darah, dengan demikian, oksitosin
tidak boleh diberikan secara intravena sebagai bolus besar.
Derivat ergot
Jika oksitosin tidak efektif untuk memulihkan atonia uterus, biasanya
diberikan 0,2 mg methylergonovine IM. Obat ini dapat merangsang uterus
untuk berkontraksi adekuat untuk mengendalikan perdarahan. Penting
diingat jika turunan ergot diberikan secara intravena dapat menyebabkan
hipertensi yang berbahaya, khususnya pada perempuan yang mengalami
preeklamsia. Pada kasus perdarahan postpartum, injeksi langsung ke dalam
uterus, baik secara transvaginal atau transabdominal, setelah pelahiran
pervagina atau pelahiran cesar terbukti lebih efektif.
Analog prostaglandin
Turunan 15-metil prostaglandin F2α-carboprost tromethamine telah disetujui
sejak pertengahan abad 1980-an untuk tatalaksana atonia uterus. Dosis awal
yang dianjurkan adalah 250 ug (0,25 mg), diberikan secara intramuskular.
Dosis ini diulangi jika perlu dengan interval 15 hingga 90 menit, maksimum

7
delapan dosis. Pemberian carboprost dapat menimbulkan diare, hipertensi,
muntah, demam, flushing, dan takikardi.
Pemberian per rectal prostaglandin E2 20 mg suppositoria sudah digunakan
untuk mengatasi atonia uterus, tapi belum ada penelitian klinikal trial.
Misoprostol juga telah diteliti untuk profilaksis perdarahan postpartum.
Dalam suatu penilitian acak, Derman dkk., (2006) membandingkan
misoprostol dalam dosis oral 600 ug dengan plasebo yang diberikan saat
pelahiran. Perdarahan postpartum menurun secara signifikan dari12 menjadi
6 persen, dan perdarahan hebat menurun dari 1,2 menjadi 0,2 persen bila
diberikan misoprostol. Namun berdasarkan penelitian mereka terhadap 325
perempuan, Gerstenfeld dan Wing (2001) menyimpulkan bahwa 400ug
misoprostol yang diberikan per rektal tidak lebih efektif dibandingkan
oksitosin intravena dalam mencegah perdarahan postpartum. Selain itu,
dalam ulasan sistematis mereka, Villar dkk., (2002) melaporkan bahwa
sediaan oksitosin dan ergot yang diberikan saat persalinan kala III lebih
efektif dibandingkan misoprostol dalam mencegah perdarahan pascapartum.
- Pastikan plasenta lahir lengkap (bila ada indikasi sebagian plasenta masih
tertinggal, lakukan evakuasi sisa plasenta) dan tak ada laserasi jalan lahir
- Jika perdarahan masih terus berlangsung dan semua tindakan diatas telah
dilakukan maka mulai tindakan spesifik yaitu:
- Kompresi bimanual uterus internal dan atau eksternal, prosedur
sederhana yang dapat mengendalikan sebgian besar perdarahan uterus.
Teknik ini terdiri atas pemijatan sisi posterior uterus dengan tangan yang
diletakan pada abdomen dan pemijatan dinding anterior uterus melalui
vagina dengan tangan yang lain dikepalkan.
Teknik kompresi bimanual internal
 Masukan tangan secara obstetrik ke dalam lumen vagina, ubah menjadi
kepalan dan letakkan dataran punggung jari telunjuk hingga kelingking
pada forniks anterior dan dorong segmen bawah uterus ke kranio-
anterior

8
 Upayakan tangan luar mencakup bagian belakang korpus uteri sebanyak
mungkin
 Lakukan kompresi uterus dengan mendekatkan telapak tangan luar dan
kepalan tangan dalam.
 Tetap berikan tekanan sampai perdarahan berhenti dan uterus
berkontraksi.

Gambar 2. Kompresi bimanual uterus diantara kepalan tangan


dalam fornix anterior dan tangan yang diletakan diatas
abdomen yang juga digunakan untuk pemijatan uterus.
Tindakan ini biasanya dapat mengendalikan perdarahan akibat
atonia uterus.

Teknik Kompresi bimanual eksternal


 Penolong berdiri menghadap pada sisi kanan ibu
 Tekan dinding perut bawah untuk menaikan fundus uteri agar telapak
tangan kiri mencakup dinding belakang uterus
 Pindahkan posisi tangan kanan dapat menekan korpus uteri bagian
depan
 Tekan korpus uteri dengan jalan mendekatkan telapak tangan kiri dan
kanan dan perhatikan pendarahan yang terjadi.
 Perhatikan pendarahan yang terjadi. Bila pendarahan berhenti,
pertahankan posisi demikian hingga kontraksi uterus membaik. Bila
pendarahan belum berhenti lanjutkan ke tindakan berikut.

9
Gambar 3. kompresi bimanual eksternal

- Kompresi aorta abdominalis, dengan raba pulsasi arteri femoralis pada


lipat paha, kepalkan tangan kiri dan tekankan bagian punggung jari telunjuk
hingga kelingking pada umbilikus kearah kolumna vertebralis dengan arah
tegak lurus. Dengan tangan yang lain, raba pulsasi arteri femoralis untuk
mengetahui cukup tidaknya kompresi. Jika pulsasi masih teraba, artinya
tekanan kompresi masih belum cukup, jika kepalan tangan mencapai aorta
abdominalis, maka pulsasi arteri femoralis akan berkurang/terhenti. Jika
perdarahan perdarahan berhenti, pertahankan posisi tersebut dan pemijatan
uterus hingga uterus berkontraksi dengan baik.

Gambar 4. kompresi aorta abdominalis

10
Tatalaksana bedah atonia uterus
Pada atonia yang tidak terkendali dan tidak berespon terhadap tindakan-
tindakan diatas, intervensi bedah dapat menyelamatkan jiwa. Tindakannya dapat
berupa laparatomi dengan pilihan bedah konservatif (mempertahankan uterus)
atau melakukan histerektomi. Alternative lainnya berupa ligasi arteri uterine,
Uterine compression suture (B-Lynch), histerektomi.
- Ligasi arteri uterine. Kurang bermanfaat untuk perdarahan akibat atonia
uteus dibandingkan manfaatnya untuk memperpanjang waktu jika
dilakukan histerektomi saat pelahiran Caesar.
- Ligasi arteria iliaka interna bermanfaat untuk atonia uterus (Clark dkk.,
1985). Dari India Joshi dkk., (2007) memaparkan mengenai 36 perempuan
yang pernah menjalani prosedur ini untuk atonia postpartum, sepertiganya
memerlukan histerektomi. Selain tingginya angka kegagalan,
kekhawatiran dari prosedur ini adalah tekniknya sulit dan menghabiskan
banyak waktu akhirnya diperlukan histerektomi.

Gambar 5 tempat ligasi arteri iliaka interna


- Uterine compression suture (B-Lynch), pertama kali dijelaskan oleh
hristopher B-Lynch. B-Lynch merupakan suatu teknik bedah untuk atonia

11
postpartum berat, yaitu melakukan jahitan chromic sebagai penopang
vertikal disekeliling uterus untuk menekan dinding anterior dan posterior
uterus. Jahitan ini tampak seperti bretel atau brace.

Gambar 6. Uterine compression suture

- Packing uterus, teknik ini harus dipertimbangkan pada perempuan dengan


perdarahan postpartum refrakter yang berkaitan dengan atonia uterus dan
berharap dapat mempertahankan kesuburannya. Kateter foley no.24F
dengan balon 30 ml dimasukan kedalam cavum uteri dan diisi cairan
sebanyak 60-80ml salin. Ujung yang terbuka memungkinkan drainase
uterus terus menerus. Setelah perdarahan berhenti kateter dilepaskan
setelah 12-24 jam.
- Histerektomi
Histerektomi peripartum dilakukan untuk mengentikan perdarahan pada atonia
uteri. Dapat dilakukan bersamaan dengan pelahiran Caesar atau setelah
pelahiran per vagina.

Pencegahan

12
Perdarahan karena atonia uteri dapat dicegah dengan:

 Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang
bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan
pascapersalinan akibat atonia uteri.
 Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600ug) segera setelah bayi
lahir.

2.2.2. Robekan Jalan Lahir

Robekan jalan lahir terjadi bila persalinan dengan trauma. pertolongan

persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan mempermudah robekan

jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan

serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan

spontan perineum, trauma forsep atau vakum ekstraksi, atau karena versi

ekstraksi.2

Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi, robekan

perineum spontan ringan sampai rupture perinei totalis (sfingter ani terputus,

robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan

uretra dan bahkan, yang terberat, rupture uteri). 2

Laserasi perineum

13
Semua laserasi perineum kecuali yang paling superficial, disertai oleh cedera pada
bagian bawah vagina dalam derajat yang bervariasi. Laserasi (robekan) vagina dan
perineum diklasifikasikan menjadi derjata pertama, kedua, ketiga, atau keempat
sebagai berikut:

1. Laserasi derajat pertama mengenai fourchette, kulit perineum, dan membrane


mukosa vagina, tetapi tidak mencapai fasia dan otot dibawahnya
2. Laserasi derajat dua mengenai fasia dan otot perineum, selain kulit dan
membrane mukosa, tetapi tidak mencapai sfingter anus. Robekan ini biasanya
meluas ke atas di satu atau kedua sisi vagina, membentuk segitiga tidak
beraturan.
3. Laserasi derajat ketiga meluas melalui kulit, membrane mukosa, dan korpus
perineum, dan mengenai sfingter anus.
4. Laserasi derajat keempat meluas melewati mukosa rectum sehingga lumen
rectum terpajan. Robekan di daerah uretra yang mungkin menyebabkan
perdarahan hebat juga besar kemungkinannya terjadi pada laserasi ini.

14
Gambar 7 . Derajat laserasi perineum

Laserasi vagina

Laserasi terisolasi yang melibatkan sepertiga tengah atau atas vagina, tetapi tidak
berkaitan dengan laserasi perineum atau serviks, lebih jarang dijumpai. Laserasi
semacam ini biasanya memanjang dan umumnya terjadi karena cedera yang
diperoleh saat pelahiran menggunakan forceps atau vakum. Namun laserasi ini
dapat pula timbul pada pelahiran spontan. Laserasi seperti ini sering meluas
dijaringan dibawahnya dan dapat menyebabkan perdarahan hebat, yang biasanya
dikendalikan dengan penjahitan sesuai indikasi. Laserasi tersebut dapat tidak
teridentifikasi kecuali dilakukan inspeksi yang teliti pada vagina bagian atas.
Perdarahan yang terjadi saat uterus berkontraksi kuat merupakan bukti kuat
adanya laserasi traktus genitalis, tertahannya fragmen plasenta, atau keduanya.2

Laserasi pada dinding anterior vagina yang terletak berdekatan dengan uretra
relatif umum terjadi. Laserasi seperti ini sering superficial dengan sedikit/ tanpa
perdarahan, dan penjahitan biasanya tidak diindikasikan. Jika laserasi ini cukup
besar sehingga memerlukan koreksi luas, dapat diduga akan timbulnya kesulitan
berkemih, dan dipasang kateter indwelling.2

15
Cedera terhadap musculus levator ani

Cedera terhadap musculus levator ani terjadi akibat distensi berlebihan jalan lahir.
Serat otot terpisah, dan penurunan tonisitas mereka dapat cukup berat sehingga
mengganggu fungsi diaphragma pelvis. Pada kasus-kasus seperti ini, dapat timbul
relaksasi pelvis. Jika cedera melibatkan musculus pubokoksigeus, dapat pula
terjadi inkontinensia uri.2

Cedera pada serviks

Serviks mengalami robekan pada lebih dari separuh pelahiran per vagina.
Sebagian besar robekan ini kurang dari 0,5 cm, meskipun robekan serviks dalam
dapat meluas hingga sepertiga atas vagina. Pada kasus yang jarang, serviks dapat
teravulsi sebagian atau sepenuhnya dari vagina. Kondisi ini yang dinamakan
kolporeksis. Kondisi yang dinamakan kolporeksis tersebut dapat terjadi di pars
anterior, posterior, atau lateralis forniks vaginae. Cedera semacam ini kadang
terjadi setelah rotasi forspes yang sulit atau pelahiran yang dilakukan melewati
serviks yang belum membuka lengkap dengan bila forceps menjepit serviks.
Kadang-kadang, robekan serviks dapat mencapai segmen bawah uterus dan arteria
uterine serta cabang-cabang utamanya, dan bahkan dapat meluas hingga
peritoneum. Robekan seperti demikian dapat sama sekali terdeteksi, tetapi lebih
sering, mereka bermanifestasi sebagai perdarahan eksternal massif atau
hematoma.2

Robekan luas atap vagina harus dieksplorasi secara cermat. Jika ada kemungkinan
terdapatnya perforasi peritoneum atau perdarahan retroperitoneal atau
intraperitoneal, laparatomi harus dipertimbangkan. Pada kerusakan seberat ini,
eksplorasi intrauterus untuk mencari kemungkinan ruptur juga diindikasikan.
Biasanya diperlukan koreksi bedah, dan harus dipastikan adanya analgesia atau
anastesia yang efektif, penggantian darah secara agresif, dan penolong yang
adekuat.2

16
Robekan serviks yang berukuran hingga 2 cm harus dianggap sebagai hal yang
tidak dapat dihindari pada pelahiran. Robekan seperti ini sembuh dengan cepat
dan jarang menyebabkan komplikasi. Saat menyembuh mereka menyebabkan
perubahan yang signifikan pada bentuk bundar ostium uteri internum, dan sirkular
sebelum bersalin menjadi bentuk yang agak melebar setelah melahirkan. Akibat
robekan semacam ini mungkin terjadi eversi sehingga epitel endoserviks
penghasil mucus terpajan.2

Kadang-kadang labium anterius serviks yang edema terjepit selama


persalinan dan tertekan diantara kepala janin dan simfisis pubis ibu. Jika iskemia
berat, labium tersebut dapat mengalami nekrosis dan memisah. Terkadang seluruh
portio vaginalis serviks dapat teravulsi dan bagian serviks sisanya disebut pemisah
anular atau sirkular serviks.2

Diagnosis: robekan serviks yang dalam harus selalu dicurigai pada perempuan
yang mengalami perdarahan hebat selama dan setelah kala III persalinan,
khususnya jika uterus berkontraksi kuat. Diperlukan pemeriksaan yang
menyeluruh dan serviks yang lunak sering menyebabkan hasil pemeriksaan
dengan jari tidak memuaskan. Jadi luas cedera hanya dapat diketahui dengan baik
setelah pemajanan dan inspeksi adekuat serviks. Visualisasi terbaik dicapai
dengan cara berikut: asisten menekan uterus kebawah dengan kuat, sementara
operator melakukan traksi pada labia serviks menggunakan forceps cincin.
Dengan mempertimbangkan frekuensi terjadinya robekan pada pelahiran per
vagina dengan bantuan alat serviks harus diinspeksi rutin pada akhir kala III
setelah semua pelahiran sulit, bahkan jika tidak ditemukan perdarahan.2

2.2.3. Retensio Plasenta

Retensi jaringan dan plasenta menyebabkan 5-10% kasus perdarahan


postpartum. Retesi jaringan plasenta terjadi pada cavum uteri pada plasenta
akreta, pengeluaran manual plasenta, manajemen yang salah pada fase III dan
pada plasenta susenteriata yang tak diketahui. 6

17
Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir
disebut sebagai retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan
pertolongan aktif kala III bisa disebabkan oleh ahesi yang kuat antara plasenta dan
uterus. Istilah plasenta akreta digunakan untuk menggambarkan tiap jenis
implantasi yang melekat terlalu erat secara abnormal ke dinding uterus. Akibat
ketiadaan total atau parsial desidua basalis dan ketidaksempurnaan perkembangan
lapisan Nitabuch atau fibrinoid, vili plasenta melekat ke miometrium pada
plasenta akreta. Pada plasenta inkreta, vili benar-benar menginvasi kedalam
miometrium. Akhirnya, pada plasenta perkreta, vili menembus seluruh ketebalan
perimetrium. Berbagai derajat plasenta akreta menyebabkan morbiditas berat, dan
sesekali, mortalitas akibat perdarahan hebat, perforasi uterus dan infeksi.6,7

18
Gambar 8. Perlengketan plasenta yang abnormal.

Perlekatan abnormal ini dapat mengenai semua lobuli-plasenta akreta total


atau dapat hanya melibatkan beberapa hingga sebagian lobuli plasenta akreta
parsial. Semua atau sebagian lobulus tunggal dapat melekat abnormal-plasenta
akreta fokal. Menurut Benirschke dkk (2006), diagnsosis histologist tidak dapat
ditegakan dari plasenta saja, seluruh uterus atau kuretase yang mencapai
miometrium diperlukan untuk konfirmasi histopatologis.2

Selama beberapa dekade terakhir, insiden plasenta akreta, inkreta dan


perkreta telah meningkat. Peningkatan ini terjadi karena bertambahnya angka
pelahiran Caesar. American College of Obstetricians and Gynecologists (2002)
memperkirakan bahwa plasenta akreta timbul sebagai komplikasi dalam 1 diantara
2500 kelahiran. Faktor predisposisi terjadinya plasenta akreta adalah plasenta
previa, bekas seksio sesarea, pernah kuret berulang, dan multiparitas. Bila
sebagian kecil dari plasenta masih tertinggal dalam uterus disebut rest plasenta
dan dapat menimbulkan perdarahan postpartum primer atau sekunder (lebih
sering).2

Perjalanan klinis dan diagnosis: pada trimester pertama, invasi miometrium


abnormal dapat bermanifestasi sebagai kehamilan sikatriks Caesar. Perdarahan
antepartum dengan plasenta akreta lazim terjadi dan biasanya terjadi akibat
plasenta previa yang terjadi bersamaan. Pada banyak kasus, plasenta akreta tidak

19
diidentifikasi hingga persalinan kala III. Dalam kondisi seperti ini ditemukan
plasenta yang melekat.2

Diagnosis

Proses kala III didahului dengan tahap pelepasan/ separasi plasenta akan
ditandai oleh perdarahan pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau plasenta sudah
sebagian lepas tetapi tidak keluar pervaginam (cara pelepasan Schultze), sampai
akhirnya tahap ekspulsi, plasenta lahir. Pada retensio plasenta sepanjang plasenta
belum terlepas, maka tidak akan menimbulkan perdarahan. Sebagian placenta
yang sudah lepas dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak (perdarahan
kala III) dan harus diantispasi dengan segera melakukan placenta manual,
meskipun kala uri belum lewat setengah jam. Sisa plasenta bisa diduga bila kala
uri tidak berlangsung dengan lancar, atau setelah melakukan plasenta manual atau
menemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap pada saat melakukan
pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum pada
saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu,
harus dilakukan eksplorasi kedalam rahim dengan cara manual.7

Pemeriksaan penunjang lain yang dilakukan untuk diagnosis plasenta


inkreta dengan pemeriksaan ultrasonografi tampak berkurangnya darerah
sonolusen yang normalnya terlihat pada tempat implantasi. Pemeriksaan dopler
membantu dalam menegakan diagnosis. MRI juga dapat digunakan untuk
mengetahui plasenta akreta. Diagnosis umumnya dibuat ketika tidak ada potongan
yang ditemukan pada plasenta pad aperdarahan postpartum. Adanya retensi
plasenta menghambat miometrium untuk berkontraksi dan mencapai hemostasis.
Perdarahan akan terjadi. Inspeksi seluruh bagian plasenta terdapat bagian yang
hilang, dan manual plasenta terdapat fragmen plasenta yang tertahan.

20
Tatalaksana

Pelepasan manual plasenta

Analgesia yang adekuat merupakan keharusan, teknik bedah aseptic harus


digunakan. Setelah menggenggam fundus uteri melalui dinding abdomen
menggunakan satu tangan, tangan yang lain dimasukan dalam vagina dan
dimasukan ke dalam uterus, mengikuti tali pusat. Segera setelah mencapai
plasenta, cari tepi plasenta dan dinding uterus. Kemudian dalam posisi punggung
tangan berkontak dengan uterus, plasenta dilepaskan dari perlekatannya ke uterus
dengan gerakan seperti membalik halaman buku. Setelah terlepas seluruhnya
plasenta digenggam dengan seluruh tangan, kemudian ditarik keluar perlahan-
lahan. Ketuban dilepaskan pada saat yang sama dengan cara ditarik secara hati-
hati dari desidua, gunakan forceps cincin untuk memegang ketuban jika perlu.
Metode lain adalah dengan gerakan menyapu kavitas uteri menggunakan spon
laparatomi.2

21
Gambar 9. pengeluaran plasenta manual dilakukan
dengan menyapukan jari sis ke sisi sambil bergerak
maju (A) hingga plasenta terlepas, digenggam, dan
dikeluarkan (B)

Setelah plasenta dikeluarkan, fundus harus dipalpasi, untuk memastikan


bahwa uterus berkontraksi dengan baik. Jika tidak teraba keras, pemijatan fundus
yang agresif harus dilakukan.2 Digital atau kuret dan pemberian uterotonika.
Anemia yang ditimbulkan sesudah perdarahan dapat diberi tranfusi darah sesuai
dengan keperluannya.7 jika terdapat perlekatan plasent total maka persiapkan
untuk hiseterektomi.6

2.2.4. Inversi uterus

22
Kegawatdaruratan pada kala III yang dapat menimbulkan perdarahan

adalah terjadinya inversi uterus. Inversi uterus adalah keadaan di mana lapisan

dalam uterus (endometrium) turun dan keluar lewat ostium uteri eksternum, yang

dapat bersifat inkomplit sampai komplit. 2

Faktor-faktor yang memungkinkan hal itu terjadi adalah atonia uteri,

serviks yang masih terbuka lebar, dan adanya kekuatan yang menarik fundus ke

bawah (misalnya karena plasenta akreta, inkreta dan perkreta, yang tali pusatnya

ditarik keras dari bawah) atau ada tekanan pada fundus uteri dari atas (manuver

Crede) atau tekanan intraabdominal yang keras dan tiba-tiba (misalnya batuk

keras atau bersin).2

Gambar 10. Inversi uterus akibat plasenta akreta


fundal terjadi saat pelahiran dirumah dan
menyebabkan kematian pada perempuan ini

Derajat inversi uteri dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 12

- Derajat I: Fundus menjulur ke serviks, tetapi tidak melewatinya.


- Derajat II: Fundus menonjol ke serviks dan melewati cincin serviks.

23
- Derajat III Fundus menjulur ke perineum. Jika fundus, serviks, dan vagina
terlihat, keadaan ini merupakan prolaps uterus.

Diagnosis

Inversi uteri ditandai dengan tanda-tanda:7

 Syok karena kesakitan


 Perdarahan banyak bergumpal
 Divulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang
masih melekat
 Bila baru terjadi, maka prognosis cukup baik, akan tetapi bila kejadiannya
cukup lama, maka jepitan serviks yang mengecil akan membuat uterus
mengalami iskemia, nekrosis dan infeksi.
Pada pemeriksaan fisik inverse inkomplet didiagnosis dengan terabanya cekungan mirip
kawah pada palpasii abdomen dan terabanya dinding fundus dalam segmen bawah
uterus dan serviks pada palpasii per vagina. 2

Gambar 11. Inversi uterus inkomplet

Tatalaksana

Inversi uterus paling sering dikaitkan dengan perdarahan segera


yang mengancam nyawa. Dimasa lalu diajarkan bahwa syok yang terjadi
tidak sebanding dengan kehilangan darah, kemungkinan diperantarai oleh
rangsangan parasimpatis akibat teregangnya jaringan. Namun, evaluasi

24
cermat mengenai keperluan tranfusi darah dalam jumlah besar yang
dibutuhkan pada banyak kasus, menggambarkan kehilangan darah biasanya
massif dan sering ditaksir terlalu rendah. 2

Penanganannya sebagai berikut:2,7

- Panggil bantuan segera2


- Jika ibu sangat kesakitan, berikan petidin 1 mg/kg BB (tetapi jangan lebih
dari 100 mg) I.M atau I.V secara perlahan atau berikan morfin 0,1 mg/kgBB
I.M. jangan berikan oksitosin sampai inversi telah direposisi.10
- Uterus yang baru mengalami inverse, dan bila plasenta sudah terlepas, sering
dapat dikembalikan ke posisinya dengan mendorong fundus ke atas
menggunakan telapak tangan dan jemari sesuai arah sumbu panjang vagina.2
- Pasang sistem infuse intravena berdiameter besar, serta berikan kristaloid dan
darah untuk mengatasi hipovolemia2
- Jika masih melekat, plasenta tidak dilepas sampai sistem infus siap
digunakan, cairan mulai diberikan dan anestetika perelaksasi-uterus seperti
agen inhalasi terhalogenasi. Obat tokolitik lain, seperti, ristodrine,magnesium
sulfat atau terbutalin 0,25 mg bolus intravena,dan nitrogliserin 50ug/iv dosis
dapat diulang satu kali, telah berhasil digunakan untuk relaksasi dan reposisi
uterus. Sementara itu, jika uterus yang mengalami inversi telah mengalami
prolapsus hingga keluar dari vagina, uterus direposisikan ke dalam vagina.2,6
- Setelah mengeluarkan plasenta, berikan tekanan konstan pada fundus yang
mengalami inversi menggunakan kepalan tangan, dalam upaya mendorong
fundus ke atas ke dalam serviks yang berdilatasi. Alternaif lain ekstensikan
kedua jari tangan secara kaku dan gunakan jari tersebut untuk mendorong
dalam upaya mendorong bagian tengah fundus ke atas. Lakukan dengan hati-
hati agar tekanan yang diberikan dengan ujung jari tangan tidak sampai
menyebabkan perforasi uterus. Segera setelah uterus berhasil dikembalikan ke
konfigurasi normalnya, hentikan pemberian agen tokolitik. Mulai infus
oksitosin sementara operator mempertahankan fundus dalam posisi anatomis
normalnya.2

25
Gambar 12. reposisi inversi uterus

Koreksi kombinasi abdominal –vaginal10

- Lakukan insisi dinding abdomen sampai peritoneum, dan singkirkan usus


dengan kasa. Tampak uterus berupa lekukan
- Dengan jari tangan lakukan dilatasi cincin konstriksi serviks
- Pasang tenakulum melalui cincin serviks pada fundus
- Lakukan tarikan/ traksi ringan pada fundus sementara asisten melakukan
koreksi manual vagina
- Jika tindakan traksi gagal, lakukan insisi cincin konstriksi serviks di bagian
belakang untuk menghindari risiko cedera kandung kemih, ulang tindakan
dilatasi, pemasangan tenakulum dan traksi fundus
- Jika koreksi berhasil, tutup dinding abdomen setelah melakukan penjahitan
hemostatis dan pastikan tidak ada perdarahan
- Jika ada infeksi, pasang drain Karen.

Perawatan pasca tindakan10

- Jika inversi sudah diperbaiki, berikan infuse oksitosin 20 unit dalam 500 ml
I.V (Nacl 0,9 % atau ringer laktat) 10 tetes/ menit

26
 Jika dicurigai terjadi perdarahan, berikan infuse sampai dengan 60 tetes
per menit
 Jika kontraksi uterus kurang baik, berikan ergometrin 0,2 mg atau
prostaglandin
- Berikan antibiotika pofilaksis dosis tunggal:
 Ampisilin 2 g I.V dan metronidazol 500 mg I.V
 Atau sefazolin 1 g I.V dan metronidazol 500 mg I.V
- Lakukan perawatan pasca bedah jika dilakukan koreksi bimanual abdominal-
vaginal
- Jika ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika kombinasi sampai pasien
bebas demam selama 48 jam:
 Ampisilin 2 g I.V tiap 6 jam
 Dengan gentamisin 5 mg/kg berat bada I.V setiap 24 jam
 Dengan metronidazol 500 mg I.V setiap 8 jam
- Berikan analgesik jika perlu.

2.2.5. Perdarahan karena gangguan pembekuan darah

Gangguan pembekuan darah dapat dicurigai bila penyebab yang lain dapat

disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah mengalami hal yang sama pada

persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi mudah terjadi perdarahan setiap

dilakukan penjahitan dan perdarahan akan merembes atau timbul hematoma pada

setiap dilakukan suntikan, perdarahan dari gusi, ronggahidung,dan lain-lain. 2

Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis

yang abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang,

trombositopenia, terjadi hipofibrinogemia, dan terdeteksi adanya FDP (fibrin

degradation product) serta perpanjangan tes protrombin dan PTT (partial

thromboplastin time). 2

Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian

janin dalam kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi yang

27
dilakukan adalah dengan transfuse darah dan produknya seperti plasma beku

segar, trombosit, fibrinogen dan heparinisasi atau pemberian EACA (epsilon

amino caproic acid).2

2.3. Tatalaksana

2.3.1. Manajemen kala III

Membantu proses kelahiran plasenta dilakukan tindakan Penegangan

Talipusat Terkendali (Controlled Cord Traction), hal ini akan mencegah kejadian

perdarahan pasca persalinan. Mengingat Kematian Ibu Bersalin yang terjadi

sebagian besar adalah karena perdarahan pasca persalinan, utamanya disebabkan

karena atonia uteri dan retensio plasenta, maka upaya pencegahan yang baik

adalah melakukan penatalaksanaan aktif kala III.

Manfaat penatalaksanaan aktif adalah:

a. Kala III berlangsung lebih singkat


b. Penggunaan uterotonika (Oksitosin) dapat segera memperbaiki kontraksi

uterus
c. Jumlah perdarahan relatif lebih sedikit
d. Menurunnya angka kejadian retensio plasenta (yang disebabkan gangguan

kontraksi dan atonia uteri), yang berarti menurunkan pula morbiditas dan

mortalitas ibu karena perdarahan pasca persalinan

Prinsip penatalaksanaan aktif kala III :

1. Segera jepit dan potong tali pusat


Segera setelah bayi lahir, jepit tali pusat menggunakan klem Kelly atau kocher

sekitar 3 cm dari umbilikus bayi. Urut tali pusat dari klem ke arah ibu. Jepit

28
tali pusat dengan klem kedua pada jarak 2 cm ke arah ibu dari klem pertama.

Lakukan tindakan asepsis diantara kedua klem menggunakan Povidon iodine

Pegang tali pusat dengan tangan kiri dan potong diantara kedua klem,

sementara tangan kiri penolong persalinan melindungi bayi dari gunting


2. Pemberian utero-tonika sebelum plasenta lahir
Uterotonika diberikan untuk menghasilkan kontraksi yang adekuat. Ada dua

jenis uterotonika yang dapat dipakai yaitu Oksitosin dan Ergometrin.

Uterotonika yang dianjurkan adalah Oksitosin 10 IU secara intramuskuler.


a. Oksitosin8,9
Hormon dengan target organ miometrium, bekerja secara spesifik dan efektif

dalam menimbulkan kontraksi uterus. Pemberian secara intramuskuler

memerlukan waktu 2-3 menit untuk menghasilkan kontraksi uterus yang

cukup baik.
Keuntungan: Bekerja secara cepat dan menghasilkan kontraksi yang adekuat

Efek sampingnya minimal karena bekerja secara spesifik.


Kerugian: Harus dikombinasikan dengan Ergometrin agar segera

menghasilkan kontraksi uterus yang kuat dan dapat bertahan lama (Oksitosin

cepat dimetabolisme oleh hati, waktu paruhnya 2 menit) Harganya lebih mahal

dari Ergometrin Lama kerja oksitosin eksogen, tergantung dari reaksi hipofise

untuk menghasilkan hormon oksitosin endogen, sensitivitas atau ambang

rangsang miometrium yang sangat dipengaruhi oleh kondisi ibu bersalin

(sediaan kalori, faktor kelelahan otot atau infeksi)

b. Ergometrin8,9
Hormon ini menghasilkan kontraksi yang sifatnya tetanik atau spastik. Dapat

diberikan secara oral, intramuskuler (im) atau intravena (iv). Pemberian

intravena memberikan reaksi dalam 45 detik, sedangkan pemberian intra-

29
muskuler menimbulkan efek memadai setelah 6-7 menit. Masa kerja

ergometrin 2 - 4 jam.
Keuntungan: Sediaannya cukup banyak dan dapat diberikan melalui berbagai

cara (tergantung indikasi penggunaan) Harga relatif murah, masa kerja cukup

lama
Kerugian: Efek samping merugikan, mis. peningkatan tekanan darah

(penggunaan pada kasus hipertensi/kelainan jantung harus berhati-hati),

pusing atau sefalgia, mual/muntah dan dapat menurunkan produksi ASI. Dapat

menimbulkan lingkaran konstriksi atau jepitan pada OUI meningkatkan

kejadian plasenta inkarserata Tidak stabil pada suhu kamar (perlu penanganan

khusus) Pemberian secara oral tidak menghasilkan efek yang segera, sehingga

tidak dapat digunakan pada kasus gawat darurat akibat gangguan kontraksi

uterus Perlu dosis ulangan bila diharapkan efektif selama 24 jam.

3. Penegangan Talipusat Terkendali / "Controlled Cord Traction"


Peregangan talipusat terkendali adalah tindakan yang dilakukan untuk

membantu proses kelahiran plasenta. Langkah-langkah utama tindakan ini

adalah :
a. Penolong berdiri di sisi kanan ibu bersalin
b. Pasang klem pada tali pusat (kurang lebih pada 2.5 sentimeter di depan vulva)

kemudian letakkan (4 jari) tangan kiri pada suprasimfisis (di antara korpus

depan dan segmen bawah uterus).


c. Perhatikan kontraksi uterus. Saat terjadi kontraksi, pegang klem dengan

tangan kanan, tegangkan tali pusat, sementara tangan kiri mendorong uterus

ke arah dorsokranial, hingga plasenta masuk ke lumen vagina


d. Apabila plasenta belum meluncur keluar, ulangi langkah-langkah

menegangkan tali pusat dengan tangan kanan, sementara tangan kiri

mendorong uterus ke arah dorsokranial pada saat uterus berkontraksi.

30
Pindahkan tangan kiri pada suprasimfisis, kemudian tegangkan kembali tali

pusat dengan tangan kanan dan tekan suprasimfisis dengan tangan kiri ke arah

dorso-kranial hingga plasenta meluncur keluar.


4. Masase uterus setelah plasenta lahir
Setelah plasenta lahir maka kala III telah berakhir, tetapi tugas penolong

persalinan belum selesai karena masih ada risiko perdarahan yang terjadi.

Diantara penyebab kematian ibu melahirkan, salah satu penyebab utama

adalah perdarahan pasca persalinan. Penyebab terbesar kejadian perdarahan

pasca persalinan adalah atonia uteri. Untuk mengurangi kemungkinan atonia

ini dilakukan masase uterus secara aktif untuk menunjang terjadinya kontraksi

uterus yang baik. Masase uterus dilakukan dengan langkah berikut:


a. Letakkan tangan di atas fundus uteri, lakukan gerakan sirkuler pada

permukaan fundus, sehingga teraba uterus yang mengeras


b. Perhatikan apakah kontrasi uterus baik atau tidak, lakukan penilaian setiap 1–2

menit. Bila uterus melunak lagi, lakukan masase ulang.


Ibu dapat dilatih untuk mengenali bagaimana kontraksi uterus yang baik dan

kontraksi uterus yang lemah.


5. Rangsangan puting susu / Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
a. Rangsangan puting susu secara reflektoris akan menyebabkan dikeluarkannya

oksitosin oleh kelenjar hipofise yang akan menambah kontraksi uterus


b. Rangsangan bisa dilakukan sendiri oleh Ibu, atau dengan menyusukan

bayinya.

PENGELOLAAN PASCA-TINDAKAN

a. Pantau tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut jantung, pernapasan)

setiap 30 menit selama 6 jam berikutnya atau sampai pasien stabil.


b. Palpasi fundus uteri untuk memastikan bahwa uterus tetap berkontraksi

dengan baik
c. Periksa lokhia
d. Teruskan infus cairan IV

31
PENATALAKSANAAN PERDARAHAN PASCA PERSALINAN

32
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. WHO recommendations for the prevention and treatment of

postpartum haemorrhage. WHO,2012


2. Cuningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, dkk. Ed:
Braham U. Pendik, dkk. Obstetri Williams, Edisi 23. 2003. Jakarta:EGC. Hal
795 – 835
3. Pavone ME, Purinton SC, Petersen SM. Postpartum care and breastfeeding.
In: Fortner KB, Szymanski LM, Fox HE, Walfach EE, editors. The Johns
Hopkins and Obstetrics. Third Ed. 2007. Johns Maryland: Lippincot Williams
and Wilkins.p.246
4. AHRQ. Evidence-based Practice Center Systematic Review Protocol Project
Title: Management of Postpartum Hemorrhage. [11 June 2014] cited on [22
Nov 2015] Diunduh dari : www.effectivehealthcare.ahrq.gov
5. Evans AT. Manual of obstetrics. 7 thEd. Texas: Lippincot Williams and
Wilkins.p.72
6. Aghajanian P, Ainbinder SW, Akhter MW, Andre DE, Anti DR, Archie CL, at
all. Postpartum Hemorrhage & The abnormal puerperium. In: Current
Diagnosis and Treatments in Ostetrics. 2007. USA: The McGraw-Hill
Companies
7. Prawirohardjo S. ilmu kebidanan. Edisi 4. 2010. Jakarta: PT. bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. 522-529
8. Khan RU, El-Refaey H. Pathophysiology of postpartum hemorrhage and third
stage of labour. In: B-Lynch C, Keith LG, Lalonde AB, Karoshi M, editors.
Hemorrhage: a comprehensive guide to evaluation, management and surgical
intervention.2006. newdelhi: Jaypee brothers medical publisher.p 96-100
9. Beckmann CRB, Ling FW, Barzansky BM, Herbery WN, Laube DW, att all.
Obstetrics and Gynocology. 6thEd.2010. China:Lippincott Williams &
Wilkins.p 134-38
10. Saifuddin AB. Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan
neonatal.2010. Jakarta:PT. bina Pustaka Prawirohardjo.hal M-25.
11. In- Alarm International, 2nd Ed.

33
12. Saxena R. Evidence based color atlas of obstetrics and gynecology diagnosis
and management. 2013. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers.p
271-73
13. Smith JR,. Postpartum hemorrhage. [23 Sept 2014] cited on [20 Nov 2015]
diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/275038-overview#showall

34

Вам также может понравиться