Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
Perdarahan post partum adalah perdarahan yang terjadi setelah bayi lahir
yang melewati batas fisiologis normal yaitu perdarahan yang melebihi 500 ml dan
perdarahan yang mencapai 1000 ml, terjadi dalam 24 jam setelah lahir.1
bahwa angka kematian ibu (AKI) di Indonesia pada tahun 2012 masih tinggi
adalah 359 per 100.000 kelahiran hidup, AKI pada tahun 2012 meningkat jika
dibandingkan dengan AKI pada tahun 2007 yaitu 228 per 100.000. Angka ini
Goals) ke-5 adalah menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 102 per
terjadi karena perdarahan post partum.3 Perdarahan post partum adalah penyebab
seperempat dari semua kematian global.1 Perdarahan yang masif berasal dari
tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir, dan jaringan sekitarnya.2
jam pertama setelah kelahiran, sebagian besar dapat dihindari melalui penggunaan
uterotonik profilaksis selama tahap ketiga persalinan dan dengan manajemen yang
tepat dan cepat.1 Perdarahan post partum bila tidak mendapat penanganan yang
1
semestinya akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu, serta proses
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Perdarahan post partum adalah perdarahan yang terjadi setelah bayi lahir
yang melewati batas fisiologis normal. Pada umumnya seorang ibu melahirkan
melebihi 1000 ml harus segera ditangani secara serius. Definisi baru mengatakan
bahwa setiap perdarahan yang yang dapat mengganggu homeostasis tubuh atau
postpartum.2,4
dalam 24 jam pertama dan biasanya disebabkan oleh atonia uteri, robekan jalan
lahir, hematoma dan lain-lain. Perdarahan post partum sekunder (late postpartum
3
2.2. Etiologi perdarahan post partum
ketuban.2
Perdarahan karena atonia uteri dapat dicegah dengan melakukan secara rutin
menajemen kala III pada semua wanita yang bersalin karena hal ini dapat
4
menurunkan insiden perdarahan post partum akibat atonia uteri, dan pemberian
menahun
5. Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim
6. Infeksi intrauterine (korioamnionitis)
7. Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.
A. Diagnosis
Diagnosis ditegakan setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan masih
aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih
setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan
bahwa saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah
sebanyak 500-1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih
Diagnosis biasanya tidak sulit, terutama bila timbul perdarahan banyak dalam
waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama, tanpa
nadi dan pernafasan menjadi cepat, dan tekanan darah menurun. Diagnosis
5
2. Memeriksa plasenta dan ketuban apakah lengkap atau tidak.
3. Lakukan eksplorasi cavum uteri untuk mencari: sisa plasenta atau selaput
ketuban, robekan rahim, plasenta suksenturiata.
4. Inspekulo: untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises yang
pecah.
5. Pemeriksaan Laboratorium periksa darah yaitu Hb, COT (Clot
Observation Test), dll.
B. Tindakan
6
Gambar 1. Masase uterus
- Derivat oksitosin
Pada sebagian besar unit, setelah plasenta lahir, diberikan oksitosin intravena
atau intramuskular. Satu ampul 1 mL yang mengandung 10 unit Infus yang
biasa digunakan mengandung 10 atau 20 unit dicampur dalam 1000 ml
larutan ringer laktat. Secara intramuskular diberikan 10 unit. Waktu paruh
oksitosin yang diinduskan secara intravena sekitar 3 menit. Menurut
penelitian yang dilakukan oksitosin dapat menyebabkan perubahan
hemodiamik berupa penurunan tekanan darah, dengan demikian, oksitosin
tidak boleh diberikan secara intravena sebagai bolus besar.
Derivat ergot
Jika oksitosin tidak efektif untuk memulihkan atonia uterus, biasanya
diberikan 0,2 mg methylergonovine IM. Obat ini dapat merangsang uterus
untuk berkontraksi adekuat untuk mengendalikan perdarahan. Penting
diingat jika turunan ergot diberikan secara intravena dapat menyebabkan
hipertensi yang berbahaya, khususnya pada perempuan yang mengalami
preeklamsia. Pada kasus perdarahan postpartum, injeksi langsung ke dalam
uterus, baik secara transvaginal atau transabdominal, setelah pelahiran
pervagina atau pelahiran cesar terbukti lebih efektif.
Analog prostaglandin
Turunan 15-metil prostaglandin F2α-carboprost tromethamine telah disetujui
sejak pertengahan abad 1980-an untuk tatalaksana atonia uterus. Dosis awal
yang dianjurkan adalah 250 ug (0,25 mg), diberikan secara intramuskular.
Dosis ini diulangi jika perlu dengan interval 15 hingga 90 menit, maksimum
7
delapan dosis. Pemberian carboprost dapat menimbulkan diare, hipertensi,
muntah, demam, flushing, dan takikardi.
Pemberian per rectal prostaglandin E2 20 mg suppositoria sudah digunakan
untuk mengatasi atonia uterus, tapi belum ada penelitian klinikal trial.
Misoprostol juga telah diteliti untuk profilaksis perdarahan postpartum.
Dalam suatu penilitian acak, Derman dkk., (2006) membandingkan
misoprostol dalam dosis oral 600 ug dengan plasebo yang diberikan saat
pelahiran. Perdarahan postpartum menurun secara signifikan dari12 menjadi
6 persen, dan perdarahan hebat menurun dari 1,2 menjadi 0,2 persen bila
diberikan misoprostol. Namun berdasarkan penelitian mereka terhadap 325
perempuan, Gerstenfeld dan Wing (2001) menyimpulkan bahwa 400ug
misoprostol yang diberikan per rektal tidak lebih efektif dibandingkan
oksitosin intravena dalam mencegah perdarahan postpartum. Selain itu,
dalam ulasan sistematis mereka, Villar dkk., (2002) melaporkan bahwa
sediaan oksitosin dan ergot yang diberikan saat persalinan kala III lebih
efektif dibandingkan misoprostol dalam mencegah perdarahan pascapartum.
- Pastikan plasenta lahir lengkap (bila ada indikasi sebagian plasenta masih
tertinggal, lakukan evakuasi sisa plasenta) dan tak ada laserasi jalan lahir
- Jika perdarahan masih terus berlangsung dan semua tindakan diatas telah
dilakukan maka mulai tindakan spesifik yaitu:
- Kompresi bimanual uterus internal dan atau eksternal, prosedur
sederhana yang dapat mengendalikan sebgian besar perdarahan uterus.
Teknik ini terdiri atas pemijatan sisi posterior uterus dengan tangan yang
diletakan pada abdomen dan pemijatan dinding anterior uterus melalui
vagina dengan tangan yang lain dikepalkan.
Teknik kompresi bimanual internal
Masukan tangan secara obstetrik ke dalam lumen vagina, ubah menjadi
kepalan dan letakkan dataran punggung jari telunjuk hingga kelingking
pada forniks anterior dan dorong segmen bawah uterus ke kranio-
anterior
8
Upayakan tangan luar mencakup bagian belakang korpus uteri sebanyak
mungkin
Lakukan kompresi uterus dengan mendekatkan telapak tangan luar dan
kepalan tangan dalam.
Tetap berikan tekanan sampai perdarahan berhenti dan uterus
berkontraksi.
9
Gambar 3. kompresi bimanual eksternal
10
Tatalaksana bedah atonia uterus
Pada atonia yang tidak terkendali dan tidak berespon terhadap tindakan-
tindakan diatas, intervensi bedah dapat menyelamatkan jiwa. Tindakannya dapat
berupa laparatomi dengan pilihan bedah konservatif (mempertahankan uterus)
atau melakukan histerektomi. Alternative lainnya berupa ligasi arteri uterine,
Uterine compression suture (B-Lynch), histerektomi.
- Ligasi arteri uterine. Kurang bermanfaat untuk perdarahan akibat atonia
uteus dibandingkan manfaatnya untuk memperpanjang waktu jika
dilakukan histerektomi saat pelahiran Caesar.
- Ligasi arteria iliaka interna bermanfaat untuk atonia uterus (Clark dkk.,
1985). Dari India Joshi dkk., (2007) memaparkan mengenai 36 perempuan
yang pernah menjalani prosedur ini untuk atonia postpartum, sepertiganya
memerlukan histerektomi. Selain tingginya angka kegagalan,
kekhawatiran dari prosedur ini adalah tekniknya sulit dan menghabiskan
banyak waktu akhirnya diperlukan histerektomi.
11
postpartum berat, yaitu melakukan jahitan chromic sebagai penopang
vertikal disekeliling uterus untuk menekan dinding anterior dan posterior
uterus. Jahitan ini tampak seperti bretel atau brace.
Pencegahan
12
Perdarahan karena atonia uteri dapat dicegah dengan:
Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang
bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan
pascapersalinan akibat atonia uteri.
Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600ug) segera setelah bayi
lahir.
jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan
serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan
spontan perineum, trauma forsep atau vakum ekstraksi, atau karena versi
ekstraksi.2
Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi, robekan
perineum spontan ringan sampai rupture perinei totalis (sfingter ani terputus,
robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan
Laserasi perineum
13
Semua laserasi perineum kecuali yang paling superficial, disertai oleh cedera pada
bagian bawah vagina dalam derajat yang bervariasi. Laserasi (robekan) vagina dan
perineum diklasifikasikan menjadi derjata pertama, kedua, ketiga, atau keempat
sebagai berikut:
14
Gambar 7 . Derajat laserasi perineum
Laserasi vagina
Laserasi terisolasi yang melibatkan sepertiga tengah atau atas vagina, tetapi tidak
berkaitan dengan laserasi perineum atau serviks, lebih jarang dijumpai. Laserasi
semacam ini biasanya memanjang dan umumnya terjadi karena cedera yang
diperoleh saat pelahiran menggunakan forceps atau vakum. Namun laserasi ini
dapat pula timbul pada pelahiran spontan. Laserasi seperti ini sering meluas
dijaringan dibawahnya dan dapat menyebabkan perdarahan hebat, yang biasanya
dikendalikan dengan penjahitan sesuai indikasi. Laserasi tersebut dapat tidak
teridentifikasi kecuali dilakukan inspeksi yang teliti pada vagina bagian atas.
Perdarahan yang terjadi saat uterus berkontraksi kuat merupakan bukti kuat
adanya laserasi traktus genitalis, tertahannya fragmen plasenta, atau keduanya.2
Laserasi pada dinding anterior vagina yang terletak berdekatan dengan uretra
relatif umum terjadi. Laserasi seperti ini sering superficial dengan sedikit/ tanpa
perdarahan, dan penjahitan biasanya tidak diindikasikan. Jika laserasi ini cukup
besar sehingga memerlukan koreksi luas, dapat diduga akan timbulnya kesulitan
berkemih, dan dipasang kateter indwelling.2
15
Cedera terhadap musculus levator ani
Cedera terhadap musculus levator ani terjadi akibat distensi berlebihan jalan lahir.
Serat otot terpisah, dan penurunan tonisitas mereka dapat cukup berat sehingga
mengganggu fungsi diaphragma pelvis. Pada kasus-kasus seperti ini, dapat timbul
relaksasi pelvis. Jika cedera melibatkan musculus pubokoksigeus, dapat pula
terjadi inkontinensia uri.2
Serviks mengalami robekan pada lebih dari separuh pelahiran per vagina.
Sebagian besar robekan ini kurang dari 0,5 cm, meskipun robekan serviks dalam
dapat meluas hingga sepertiga atas vagina. Pada kasus yang jarang, serviks dapat
teravulsi sebagian atau sepenuhnya dari vagina. Kondisi ini yang dinamakan
kolporeksis. Kondisi yang dinamakan kolporeksis tersebut dapat terjadi di pars
anterior, posterior, atau lateralis forniks vaginae. Cedera semacam ini kadang
terjadi setelah rotasi forspes yang sulit atau pelahiran yang dilakukan melewati
serviks yang belum membuka lengkap dengan bila forceps menjepit serviks.
Kadang-kadang, robekan serviks dapat mencapai segmen bawah uterus dan arteria
uterine serta cabang-cabang utamanya, dan bahkan dapat meluas hingga
peritoneum. Robekan seperti demikian dapat sama sekali terdeteksi, tetapi lebih
sering, mereka bermanifestasi sebagai perdarahan eksternal massif atau
hematoma.2
Robekan luas atap vagina harus dieksplorasi secara cermat. Jika ada kemungkinan
terdapatnya perforasi peritoneum atau perdarahan retroperitoneal atau
intraperitoneal, laparatomi harus dipertimbangkan. Pada kerusakan seberat ini,
eksplorasi intrauterus untuk mencari kemungkinan ruptur juga diindikasikan.
Biasanya diperlukan koreksi bedah, dan harus dipastikan adanya analgesia atau
anastesia yang efektif, penggantian darah secara agresif, dan penolong yang
adekuat.2
16
Robekan serviks yang berukuran hingga 2 cm harus dianggap sebagai hal yang
tidak dapat dihindari pada pelahiran. Robekan seperti ini sembuh dengan cepat
dan jarang menyebabkan komplikasi. Saat menyembuh mereka menyebabkan
perubahan yang signifikan pada bentuk bundar ostium uteri internum, dan sirkular
sebelum bersalin menjadi bentuk yang agak melebar setelah melahirkan. Akibat
robekan semacam ini mungkin terjadi eversi sehingga epitel endoserviks
penghasil mucus terpajan.2
Diagnosis: robekan serviks yang dalam harus selalu dicurigai pada perempuan
yang mengalami perdarahan hebat selama dan setelah kala III persalinan,
khususnya jika uterus berkontraksi kuat. Diperlukan pemeriksaan yang
menyeluruh dan serviks yang lunak sering menyebabkan hasil pemeriksaan
dengan jari tidak memuaskan. Jadi luas cedera hanya dapat diketahui dengan baik
setelah pemajanan dan inspeksi adekuat serviks. Visualisasi terbaik dicapai
dengan cara berikut: asisten menekan uterus kebawah dengan kuat, sementara
operator melakukan traksi pada labia serviks menggunakan forceps cincin.
Dengan mempertimbangkan frekuensi terjadinya robekan pada pelahiran per
vagina dengan bantuan alat serviks harus diinspeksi rutin pada akhir kala III
setelah semua pelahiran sulit, bahkan jika tidak ditemukan perdarahan.2
17
Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir
disebut sebagai retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan
pertolongan aktif kala III bisa disebabkan oleh ahesi yang kuat antara plasenta dan
uterus. Istilah plasenta akreta digunakan untuk menggambarkan tiap jenis
implantasi yang melekat terlalu erat secara abnormal ke dinding uterus. Akibat
ketiadaan total atau parsial desidua basalis dan ketidaksempurnaan perkembangan
lapisan Nitabuch atau fibrinoid, vili plasenta melekat ke miometrium pada
plasenta akreta. Pada plasenta inkreta, vili benar-benar menginvasi kedalam
miometrium. Akhirnya, pada plasenta perkreta, vili menembus seluruh ketebalan
perimetrium. Berbagai derajat plasenta akreta menyebabkan morbiditas berat, dan
sesekali, mortalitas akibat perdarahan hebat, perforasi uterus dan infeksi.6,7
18
Gambar 8. Perlengketan plasenta yang abnormal.
19
diidentifikasi hingga persalinan kala III. Dalam kondisi seperti ini ditemukan
plasenta yang melekat.2
Diagnosis
Proses kala III didahului dengan tahap pelepasan/ separasi plasenta akan
ditandai oleh perdarahan pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau plasenta sudah
sebagian lepas tetapi tidak keluar pervaginam (cara pelepasan Schultze), sampai
akhirnya tahap ekspulsi, plasenta lahir. Pada retensio plasenta sepanjang plasenta
belum terlepas, maka tidak akan menimbulkan perdarahan. Sebagian placenta
yang sudah lepas dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak (perdarahan
kala III) dan harus diantispasi dengan segera melakukan placenta manual,
meskipun kala uri belum lewat setengah jam. Sisa plasenta bisa diduga bila kala
uri tidak berlangsung dengan lancar, atau setelah melakukan plasenta manual atau
menemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap pada saat melakukan
pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum pada
saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu,
harus dilakukan eksplorasi kedalam rahim dengan cara manual.7
20
Tatalaksana
21
Gambar 9. pengeluaran plasenta manual dilakukan
dengan menyapukan jari sis ke sisi sambil bergerak
maju (A) hingga plasenta terlepas, digenggam, dan
dikeluarkan (B)
22
Kegawatdaruratan pada kala III yang dapat menimbulkan perdarahan
adalah terjadinya inversi uterus. Inversi uterus adalah keadaan di mana lapisan
dalam uterus (endometrium) turun dan keluar lewat ostium uteri eksternum, yang
serviks yang masih terbuka lebar, dan adanya kekuatan yang menarik fundus ke
bawah (misalnya karena plasenta akreta, inkreta dan perkreta, yang tali pusatnya
ditarik keras dari bawah) atau ada tekanan pada fundus uteri dari atas (manuver
Crede) atau tekanan intraabdominal yang keras dan tiba-tiba (misalnya batuk
23
- Derajat III Fundus menjulur ke perineum. Jika fundus, serviks, dan vagina
terlihat, keadaan ini merupakan prolaps uterus.
Diagnosis
Tatalaksana
24
cermat mengenai keperluan tranfusi darah dalam jumlah besar yang
dibutuhkan pada banyak kasus, menggambarkan kehilangan darah biasanya
massif dan sering ditaksir terlalu rendah. 2
25
Gambar 12. reposisi inversi uterus
- Jika inversi sudah diperbaiki, berikan infuse oksitosin 20 unit dalam 500 ml
I.V (Nacl 0,9 % atau ringer laktat) 10 tetes/ menit
26
Jika dicurigai terjadi perdarahan, berikan infuse sampai dengan 60 tetes
per menit
Jika kontraksi uterus kurang baik, berikan ergometrin 0,2 mg atau
prostaglandin
- Berikan antibiotika pofilaksis dosis tunggal:
Ampisilin 2 g I.V dan metronidazol 500 mg I.V
Atau sefazolin 1 g I.V dan metronidazol 500 mg I.V
- Lakukan perawatan pasca bedah jika dilakukan koreksi bimanual abdominal-
vaginal
- Jika ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika kombinasi sampai pasien
bebas demam selama 48 jam:
Ampisilin 2 g I.V tiap 6 jam
Dengan gentamisin 5 mg/kg berat bada I.V setiap 24 jam
Dengan metronidazol 500 mg I.V setiap 8 jam
- Berikan analgesik jika perlu.
Gangguan pembekuan darah dapat dicurigai bila penyebab yang lain dapat
disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah mengalami hal yang sama pada
dilakukan penjahitan dan perdarahan akan merembes atau timbul hematoma pada
thromboplastin time). 2
janin dalam kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi yang
27
dilakukan adalah dengan transfuse darah dan produknya seperti plasma beku
2.3. Tatalaksana
Talipusat Terkendali (Controlled Cord Traction), hal ini akan mencegah kejadian
karena atonia uteri dan retensio plasenta, maka upaya pencegahan yang baik
uterus
c. Jumlah perdarahan relatif lebih sedikit
d. Menurunnya angka kejadian retensio plasenta (yang disebabkan gangguan
kontraksi dan atonia uteri), yang berarti menurunkan pula morbiditas dan
sekitar 3 cm dari umbilikus bayi. Urut tali pusat dari klem ke arah ibu. Jepit
28
tali pusat dengan klem kedua pada jarak 2 cm ke arah ibu dari klem pertama.
Pegang tali pusat dengan tangan kiri dan potong diantara kedua klem,
cukup baik.
Keuntungan: Bekerja secara cepat dan menghasilkan kontraksi yang adekuat
menghasilkan kontraksi uterus yang kuat dan dapat bertahan lama (Oksitosin
cepat dimetabolisme oleh hati, waktu paruhnya 2 menit) Harganya lebih mahal
dari Ergometrin Lama kerja oksitosin eksogen, tergantung dari reaksi hipofise
b. Ergometrin8,9
Hormon ini menghasilkan kontraksi yang sifatnya tetanik atau spastik. Dapat
29
muskuler menimbulkan efek memadai setelah 6-7 menit. Masa kerja
ergometrin 2 - 4 jam.
Keuntungan: Sediaannya cukup banyak dan dapat diberikan melalui berbagai
cara (tergantung indikasi penggunaan) Harga relatif murah, masa kerja cukup
lama
Kerugian: Efek samping merugikan, mis. peningkatan tekanan darah
pusing atau sefalgia, mual/muntah dan dapat menurunkan produksi ASI. Dapat
kejadian plasenta inkarserata Tidak stabil pada suhu kamar (perlu penanganan
khusus) Pemberian secara oral tidak menghasilkan efek yang segera, sehingga
tidak dapat digunakan pada kasus gawat darurat akibat gangguan kontraksi
adalah :
a. Penolong berdiri di sisi kanan ibu bersalin
b. Pasang klem pada tali pusat (kurang lebih pada 2.5 sentimeter di depan vulva)
kemudian letakkan (4 jari) tangan kiri pada suprasimfisis (di antara korpus
tangan kanan, tegangkan tali pusat, sementara tangan kiri mendorong uterus
30
Pindahkan tangan kiri pada suprasimfisis, kemudian tegangkan kembali tali
pusat dengan tangan kanan dan tekan suprasimfisis dengan tangan kiri ke arah
persalinan belum selesai karena masih ada risiko perdarahan yang terjadi.
ini dilakukan masase uterus secara aktif untuk menunjang terjadinya kontraksi
bayinya.
PENGELOLAAN PASCA-TINDAKAN
dengan baik
c. Periksa lokhia
d. Teruskan infus cairan IV
31
PENATALAKSANAAN PERDARAHAN PASCA PERSALINAN
32
DAFTAR PUSTAKA
33
12. Saxena R. Evidence based color atlas of obstetrics and gynecology diagnosis
and management. 2013. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers.p
271-73
13. Smith JR,. Postpartum hemorrhage. [23 Sept 2014] cited on [20 Nov 2015]
diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/275038-overview#showall
34